Ayu Widyawati
122074219
PB 2012
1. IDENTIFIKASI
Saya memiliki sepupu namanya Galuh Angger Sesilia yang akrab dipanggil dengan
Angger. Ayah dan Ibu Angger, yakni om dan tanteku merupakan keturunan Jawa tapi Angger
lahir di Bogor dan si Angger dalam berkomunikasi dengan ayah, ibu, dan kakaknya
menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi pada saat lebaran, ia pulang ke Jawa (Lamongan)
pada saat itulah ia melakukan alih kode. Saat si mbah yang notabene tidak bisa menggunakan
bahasa Indonesia, saat si mbah menanyai Angger seperti dalam percakapan, “piye kabare
ndok?” Yang terjadi hanyalah si Angger plonga-plongo saja karena tidak bisa mengetahui apa
maksud pembicaraan dari si mbah. Tapi setelah tiga hari ke depan, Angger mulai mengerti
bahasa Jawa meskipun hanya sedikit. Saat akau tanya “mangan opo ngger?” Angger
menjawab “mangan ayam”, meskipun ada ketidakkonsistenan dalam pengujaran Angger
karena adanya percampuran bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia, inilah yang disebut
dengan campur kode (code mixing) hal itu akan saya maklumi karena Angger merupakan
penutur pemula dalam menggunakan ujaran bahasa Jawa.
Lalu pada percakapan selanjutnya, pada malam hari saat aku tanya, “loh kok durung
turu ngger?” Lalu si Angger menjawab, “gag iso turu mbak”. Nah, di sini si Angger mulai
melakukan alih kode (code switching).
2. ANALISIS
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode lainnya
dalam suatu peristiwa tutur. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih
menggunakan bahasa daerah. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa
(language dependency) dalam masyarakat multilingual dimana masing-masing bahasa masih
cenderung mendukung fungsi masing-masing.
Thelender dalam Chaer dan Agustina (2010:115) memaparkan mengenai alih kode
dan campur kode. Bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu
bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di
dalam suatu peristiwa tutur, klausa-kaluasa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari
klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau
frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah
campur kode.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara alih kode dan campur kode. Persamaannya
adalah keduanya lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua
bahasa atau lebih (Chaer dan Agustina, 2010:114). Sedangkan perbedannya adalah jika alih
kode merupakan dua bahasa otonom digunakan secara bertgantian, sedangkan campur kode
merupakan sebuah unsur bahasa lain hanya menyusup atau disisipkan pada sebuah bahasa
yang menjadi kode utama atau kode dasar. Dengan kata lain, dalam campur kode, elemen
yang diambil itu milik sistem yang berbeda. Motivasinya adalah motivasi linguistik dan
hasrat untuk menjelaskan atau interpretasi semata, tidak didorong atau dipengaruhi oleh
faktor situasional. Sedangkan alih kode lebih banyak berkaitan dengan aspek situasional.
Faktor-faktor terjadinya alih kode dan campur kode adalah :
1. Penutur
2. Mitra tutur
3. Hadirnya penutur ketiga
4. Tempat tinggal dan waktu tuturan berlangsung
5. Modus tuturan
6. Topik tuturan
3. SIMPULAN
Kontak yang intensif antara dua bahasa tau lebih di dalam situasi yang bilingual atau
multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala
alih kode dan campur kode. Alih kode terjadi jika dalam suatu peristiwa tutur terjadi
peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, sedangkan campur kode
terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung
suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara alih kode dan campur kode. Persamaannya
adalah keduanya lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua
bahasa atau lebih (Chaer dan Agustina, 2010:114). Sedangkan perbedannya adalah jika alih
kode merupakan dua bahasa otonom digunakan secara bertgantian, sedangkan campur kode
merupakan sebuah unsur bahasa lain hanya menyusup atau disisipkan pada sebuah bahasa
yang menjadi kode utama atau kode dasar. Dengan kata lain, dalam campur kode, elemen
yang diambil itu milik sistem yang berbeda. Motivasinya adalah motivasi linguistik dan
hasrat untuk menjelaskan atau interpretasi semata, tidak didorong atau dipengaruhi oleh
faktor situasional. Sedangkan alih kode lebih banyak berkaitan dengan aspek situasional.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perekenalan Awal. Jakarta :
Rineka Cipta.