Anda di halaman 1dari 19

ANALISIS ALIH KODE DALAM LIRIK LAGU CAMPURSARI CINTA

TAK TERPISAHKAN CIPTAAN CAK DIQIN

Diajukan untuk memenuhi tugas akhir semester lima mata kuliah


Sosiolinguistik

Oleh
Citra Nugraheni 1401040039

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan
oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri
(Kridalaksana, 1993:21). Bahasa dipergunakan oleh manusia dalam segala
aktivitas kehidupan. Dengan demikian, bahasa merupakan hal yang paling hakiki
dalam kehidupan manusia dan sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan
pesan atau maksud pembicara kepada pendengar (Nababan, 1984:66). Bahasa
menjadi salah satu media yang paling penting dalam komunikasi baik secara lisan
maupun tulis.
Setiap manusia didunia menggunakan bahasa untuk mengungkapkan
maksud kepada lawan bicara agar lawan bicara dapat mengerti maksud yang
diungkapkan. Namun bahasa terbagi menjadi dua, yaitu bahasa resmi atau baku
dan bahasa tidak resmi atau tidak baku. Dalam penggunaannya harus
memperhatikan situasi dan kondisi, dengan siapa lawan bicaranya, dimana, dan
kapan digunakan. Bahasa baku cenderung digunakan pada situasi resmi, misalnya
dalam belajar mengajar, surat dinas, dan sebagainya, sedangkan bahasa tidak
resmi umumnya digunakan pada situasi santai misalnya keseharian.
Seperti penjelasan diatas bahwa bahasa merupakan sarana dalam
berkomunikasi, karena dengan bahasa manusia dapat menyampaikan gagasan, ide
dan pikirannya kepada orang lain. Salah satunya dengan sebuah lagu atau
nyanyian karena lagu selain sebagai sarana hiburan juga terdapat pesan yang
terkandung untuk pendengarnya. Hal tersebut dituangkan pada lirik-lirik lagu
yang dipadu padankan dengan irama musik yang pas. Sehingga lagu tersebut enak
didengar dan disamping menghibur juga dapat menyampaikan pesan untuk
pendengarnya.
Dalam lirik lagu campursari yang berjudul Cinta Tak Terpisahkan karya
Cak Diqin menyajikan dua bahasa yaitu bahasa jawa dan bahasa indonesia. Lirik
lagu tersebut mengalami peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain
yang disebut dengan alih kode. Lagu campursari sendiri berasal dari daerah Jawa
sehingga tidak dipungkiri penggunaan lirik dalam lagu tersebut menggunakan
bahasa Jawa. Seiring dengan majunya ilmu pengetahuan yang semakin
berkembang maka sekarang banyak ditemui lagu-lagu campursari dengan
penambahan bahasa Indonesia yang pada akhirnya menjadi ciri khas dari lagu
campursari.

B. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan uraian latar belakang yang telah dipaparkan dapat
dirumuskan permasalahan dalam makalah ini sebagai berikut.
1. Bagaimanakah proses terjadinya peristiwa alih kode dalam lirik lagu
campursari Cinta Tak Terpisahkan karya Cak Diqin?
2. Apa makna yang terkandung dalam lagu campursari Cinta Tak Terpisahkan
karya Cak Diqin?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian yang mengkaji peristiwa alih kode dalam lirik lagu
campursari Cinta Tak Terpisahkan karya Cak Diqin sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan peristiwa alih kode dalam lirik lagu campursari Cinta
Tak Terpisahkan karya Cak Diqin.
2. Untuk mengetahui makna yang terkandung dalam lagu campursari Cinta Tak
Terpisahkan karya Cak Diqin

D. Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :
1. Dapat mengetahui peristiwa alih kode dalam lirik lagu campursari Cinta Tak
Terpisahkan karya Cak Diqin.
2. Dapat mengetahui makna yang terkandung dalam lagu campursari Cinta Tak
Terpisahkan karya Cak Diqin
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Alih Kode


Alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubah
situasi (Appel dalam Chaer dan Agustina, 1995:141). Berbeda dengan Appel yang
mengatakan alih kode itu terjadi antarbahasa, maka Hymes (dalam Chaer dan
Agustina, 1995:142) mengatakan alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa,
dalam satu bahasa. Dengan demikian, alih kode itu merupakan gejala peralihan
pemakaian bahasa yang terjadi karena situasi dan terjadi antarbahasa serta
antarragam dalam satu bahasa.
Disamping perubahan situasi, alih kode ini terjadi juga karena beberapa
faktor. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode antara lain:
a) siapa yang berbicara;
b) dengan bahasa apa;
c) kepada siapa;
d) kapan; dan
e) dengan tujuan apa.
Dalam beberapa kepustakaan linguistik, secara umum penyebab terjadinya alih
kode ialah:
1. Pembicara (Penutur)
Seorang pembicara atau penutur sering melakukan alih kode untuk
mendapatkan keuntungan dari tindakannya itu. Misalnya, Indah setelah
beberapa saat berbicara dengan Rebecca mengenai usul kenaikan
pangkatnya baru tahu bahwa Rebecca itu berasal dari daerah yang sama
dengan dia dan juga mempunyai bahasa ibu yang sama. Dengan tujuan
supaya urusannya cepat selesai dia melakukan alih kode dari bahasa
Indonesia ke bahasa daerahanya. Apabila Rebecca ikut terpancing untuk
menggunakan bahasa daerah, bisa diharapkan urusan menjadi lancar.
Namun, jika Rebecca tidak terpancing dan tetap menggunakan bahasa
Indonesia, bahasa resmi untuk urusan kantor. Urusan mungkin saja
menjadi tidak lancar karena rasa kesamaan satu masyarakat tutur yang
ingin dikondisikannya tidak berhasil, yang menyebabkan tiadanya rasa
keakraban. Dalam kehidupan, kita menjumpai banyak tamu kantor
pemerintah yang sengaja menggunakan bahasa daerah dengan pejabat
yang ditemuinya untuk memperoleh manfaat dari adanya rasa kesamaan
satu masyarakat tutur. Dengan penggunaan bahasa daerah, rasa keakraban
pun lebih mudah dijalin daripada menggunakan bahasa Indonesia. Alih
kode yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan ini biasanya
dilakukan oleh penutur yang mengharapkan bantuan lawan tuturnya.
2. Pendengar (Lawan Tutur)
Lawan bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena si
penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tutur itu.
Biasanya, kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang baik karena
memang mungkin saja bukan bahasa pertamanya. Kalau si lawan tutur itu
berlatar belakang bahasa yang sama dengan penutur, alih kode yang
terjadi hanya berupa peralihan varian (baik regional maupun sosial). Selain
varian, bisa juga yang berubah itu ragam, gaya, register. Bila si lawan tutur
berlatar belakang bahasa yang tidak sama dengan si penutur, hal yang
terjadi adalah alih bahasa. Contohnya:
Ani pramuniaga sebuah toko cideramata. kemudian, ia kedatangan tamu
seorang turis asing. Turis itu pun mengajak bercakap-cakap dalam bahasa
Indonesia.
Ketika kemudian si bule kelihatan kehabisan kata-kata untuk terus
berbicara dalam bahasa Indonesia, Ani pun bersegera beralih kode untuk
bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Hasilnya, percakapan menjadi
lancar kembali.
3. Perubahan Situasi (Hadirnya Orang Ketiga)
Kehadiran orang ketiga yang tidak berlatar belakang selaku pengguna
bahasa sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur, dapat
menyebabkan terjadinya alih kode. Sebagai contoh:
Sewaktu Nurul dan Wina bercakap-cakap dalam bahasa Sunda, masuklah
Riama, orang batak yang tidak menguasi bahasa Sunda ke bahasa
Indonesia. Apabila Riama mengerti bahasa Sunda mungkin alih kode tidak
dilakukan oleh Nurul dan Wina.
4. Perubahan dari Formal ke Informal (atau Sebaliknya)
Percakapan dimulai dalam bahasa Indonesia karena tempatnya di kantor,
dan yang dibicarakan adalah tentang surat. Jadi situasinya formal. Namun,
begitu yang dibicarakan bukan lagi tentang surat, melainkan tentang
pribadi orang yang disurati sehingga situasi menjadi tidak formal,
terjadilah alih kode. Untuk situasi tak resmi, memang lebih mudah
menggunakan bahasa pertama daripada bahasa kedua bila situasi
mendukung.
5. Perubahan Topik Pembicaraan
Perubahan topik pembicaraan dapat menyebabkan terjadinya alih kode.
Contohnya: Percakapan menggunakan bahasa Indonesia tetapi ketika
permbicaraan beralih ke topik lain sehingga terjadilah alih kode dari
bahasa Indonesia ke bahasa Ibu. Apabila kedua pembicara tidak
menggunakan bahasa ibu tentu alih kode akan dilakukan ke dalam bahasa
Indonesia nonformal bukan bahasa ibu.
Alih kode tidak akan terjadi meskipun topik permbicaraan berganti
misalnya dari topik pengiriman surat menjadi topik penagihan utang atau
pembayaran gaji pegawai sebab situasi tetap formal, yang dalam
masyarakat tutur Indonesia harus menggunakan ragam resmi yang
mungkin berubah adalah penggunaan registernya. Sementara itu,
perubahan register dianggap juga sebagai alih kode (sebab berubah ragam
atau dialek juga dianggap persitwa alih kode) yang persoalannya menjadi
lain. Untuk kegiatan tertentu, diperlukan register tertentu.

Suwito membedakan alih kode atas dua macam, yakni alih kode internal
dan alih kode eksternal. Alih kode internal terjadi antar bahasa sendiri, seperti dari
bahasa Indonesia ke bahasa Jawa,atau sebaliknya, seperti yang terdapat dalam
lirik lagu campursari Cinta Tak Terpisahkan karya Cak Diqin. Sedangkan alih
kode eksternal terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang
ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.

B. Sistem Tingkat Tutur Sebagai Salah Satu Jenis Kode


Perlu disampaikan kembali bahwa kode sebenarnya adalah suatu sistem
struktur yang penerapan unsur-unsurnya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan
latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan situasi yang ada
(bdk. Poedjosoedarmo, 1978). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
sebenarnya dalam sebuah kode terdapat beberapa unsur bahasa seperti kalimat,
kata, morfem, dan juga fonem yang pemakaiannya dikendalai oleh semacam
pembatasan umum yang berupa faktor-faktor luar bahasa atau faktor
nonlinguistik. Faktor-faktor yang dimaksud dapat juga disebut dengan istilah
komponen tutur.
Biasanya kode berbentuk varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai
dalam berkomunikasi dan berinteraksi antara orang yang satu dengan orang yang
lain. Dalam suatu masyarakat ekabahasa kode hanyalah berupa varian dari bahasa
yang satu itu saja. Akan tetapi bagi masyarakat multilingual dan atau bilingual,
kode itu dapat jauh lebih kompleks daripada yang ada pada masyarakat
monolingual. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa kode atau varian bahasa
dapat dibedakan menjadi tiga, yakni dialek, undha-usuk atau tingkat tutur, dan
ragam. Dialek dapat dibedakan berdasarkan geografi, sosial, usia, jenis kelamin,
aliran, dan suku. Undha usuk atau tingkat tutur dapat dibedakan menjadi ragam
suasana, ragam komunikasi, dan ragam register.
Tingkat tutur dapat dikatakan merupakan sistem kode dalam suatu
masyarakat tutur. Kode dalam jenis ini faktor penentunya adalah relasi antara si
penutur dengan si mitra tutur. Manakal seorang penutur bertutur dengan seseorang
yang perlu dihormati, maka pastilah penutur itu akan menggunakan kode tutur
yang memiliki makna hormat. Demikian pula manakala si penutur berbicar
dengan seseorang yang tidak perlu dihormati, maka penutur sudah barang tentu
akan menggunakan kode tutur yang tidak hormat pula.
Pada umumnya di dalam sebuah bahasa terdapat cara-cara tertentu untuk
menentukan perbedaan sikap hubungan antara penutur dengan mitra tutur dalam
bertutur. Sikap hubungan itu biasanya bervariasi dan sangat ditentukan oleh
anggapan tentang tingkatan sosial para peserta tutur itu. Terdapat anggota
golongan masyarakat tertentu yang sangat perlu untuk dihormati dalam bertutur,
tetapi terdapat juga anggota golongan masyarakat tertentu yang tidak perlu
mendapatkan penghormatan yang khusus. Dengan perkataan lain, sebenarnya
bentuk tingkat tutur itu secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni
bentuk hormat dan bentuk biasa. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya dua
macam tingkat tutur itu ternyata bermacam-macam dan berbeda antara masyarakat
yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Ada anggota masyarakat yang
dihormati atau barangkali tidak dihormati karena bentuk dan kondisi tubuhnya.,
kekuatan ekonomi, status sosialnya, kekuatan dan pengaruh politisnya, alur
kekerabatan, usia, jenis kelain, kondisi psikis, dan lain sebagainya.
Bahasa jawa juga memiliki gejala-gejala khusus dalam sistem tingkat
tuturnya. Ada tingkat tutur halus yang berfungsi membawakan rasa kesopanan
yang tinggi, ada tingkat tutur menengah yang membawakan rasa kesopanan yang
sedang-sedang saja, dan ada pula tingkat tutur biasa yang berfungsi membawakan
rasa kesopanan rendah. Jadi dalam bahasa Jawa terdapat tingkat tutur ngoko,
tingkat tutur madya, dan tingkat tutur krama.
Perlu disampakan bahwa tingkat tutur ngoko, madya dan krama itu tidak
sama dengan kosa kata ngoko, madya, dan krama. Tingkat tutur menunjuk kepada
suatu sistem kode penyampaiannya rasa kesopanan yang didalamnya terdapat
unsur kosa kata tertentu, aturan sintaksis tertentu, aturan morfologi dan fonologi
yang juga tertentu. Adapun kosa kata ngoo, madya, dan krama hanya semata-mata
inventarisasi kata-kata di mana masing-masing kata itu di dalamnya terdapat
persamaan arti kesopanan yang sama (bdk. Poedjosoedarmo, 1979). Sementara
orang memilah tingkat tutur dalam bahasa jawa itu menjadi dua macam, yakni
tingkat tutur ngoko dan tingkat tutur basa. Tingkat tutur ngoko menggunakan
unsur-unsur morfologi dan kosa kata yang pada dasarnya merupakan kosa kata
ngoko. Tingkat tutur ngoko ini memiliki bentuk yanghalus, ada yang tidak halus.
Tingkat tutur ngoko ini memiliki bentuk yang bermacam-macam, ada
bentuk halus, ada yang tidak halus. Tingkat tutur ngoko halus mengandung kata-
kata krama inggil atau krama andhap di dalamnya. Kadang-kadang tingkat ngoko
ini juga mengandung kata-kata krama didalamnya. Semakin banyak kata-kata
krama inggil, krama andhap, dan krama di dalamnya semakin halus pulalah
tingkat ngoko itu.
Dengan bercampurnya kata-kata krama, krama inggil, dan krama andhap
ke dalam tingkat tutur, akan semakin rumitlah pembedaan tingkat tuturnya.
Namun demikian dalam bahasa Jawa terdapat kata-kata tugas yang dapat
digunakan sebagai penanda tingkat tutur itu. Manakala kata tugas yang terdapat
pada kalimat itu berasal dari kata ngoko, maka tingkat tutur itu dapat digolongkan
sebagai tingkat tutur ngoko. Demikian pula manakal kata tugas dalam kalimat itu
bukan berasal dari kata ngoko, maka bukan ngoko pulalah tingkat tutur dari
kalimat itu. Sebagai sekadar gambaran, yang dimaksud dengan kata tugas dalam
bahasa Jawa itu adalah kata-kata seperti ampun ‘jangan’, ajeng ‘akan’, empun
‘sudah’, niki ‘itu’, sakniki ‘sekarang’, mawon ‘saja’, teng ‘ke’, saking ‘dari’
ngoten ‘begitu’, napa ‘bagaimana’, mangkih ‘nanti’ dan sebagainya.
Bentuk tingkat tutur basa sering pula dibagi menjadi dua, yakni basa yang
halus dan basa yang tidak halus. Tingkat tutur basa yang halus ini disebut juga
tingkat tutur krama, dan basa yang tidak halus ini disebut juga tingkat tutur ngoko,
dalam tingkat ini terdapat pula semacam penanda tingkatan yang ditunjukan oelh
kata tugas. Tingkat tutur krama mengandung kata tugas dari kosakata krama dan
tingkat tutur madya mengandung kosa kata yang bukan krama. Tingkat tutur
krama ini dibedakan kembali menjadi beberapa tingkat pula, seperti muda krama,
yakni kramanya orang muda terhadap orang tua, kramantara yakni kramanya
orang-oarng yang dianggap sederajad, dan wredakrama, yakni kramanya orang tua
terhadap orang muda (bdk. Poedjosoedarmo, 1979).
Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur krama yang telah mengalami
proses penurunan tingkat, proses informalisasi, dan proses rulalisasi (bdk.
Poedjosoedarmo, 1979). Tingkat tutur madya ini berada ditengah-tengah antara
tingkat tutur ngoko dan krama. Biasanya tingkat tutur madya ini ditandai oleh
beberapa kata tugas dan juga pronomina sebagai berikut : samang ‘kamu’,
kiyambake ‘dia’, niki ‘ini’, niku ‘itu’, onten ‘ada’, ampun ‘jangan’, engga ‘mari’,
ajeng ‘akan’, nikilo ‘ini lho’, teng ‘ke’ dan beberapa lagi yang lainnya.
BAB III
METODE PENELITIAN

Dalam makalah ini untuk metode pengumpulan data digunakan metode


simak atau dapat disejajarkan dengan metode pengamatan atau observasi. Metode
simak menurut Mahsun (2012, 92) merupakan metode penyediaan data untuk
memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Istilah
menyimak disini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan,
tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis. Teknik yang digunakan yaitu
metode observasi tidak langsung karena menggunakan alat bantu/instrumen
berupa kutipan-kutipan kalimat dalam lirik lagu campursari Cinta Tak
Terpisahkan karya Cak Diqin.
Kemudian dalam metode analisis data, digunakan metode deskriptif. Karena data
yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa data deskriptif. Dikarenakan
penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka analisisnya fokus pada
penunjukan makna, deskripsi, penjernihan, dan penempatan data pada konteksnya
masing-masing dan sering kali melukiskannya dalam bentuk kata-kata daripada
angka-angka (Mahsun, 2012: 257). Jadi dalam penelitian ini digunakan teknik
deskriptif karena data yang disediakan berupa uraian pembahasan mengenai
bahasa dan serpihan-serpihan bahasa atau kata yang terdapat dalam lirik lagu
campursari Cinta Tak Terpisahkan karya Cak Diqin.
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Analisis Penggunaan Alih Kode dalam lirik lagu campursari Cinta Tak
Terpisahkan karya Cak Diqin.
Lagu campursari berasal dari Jawa dan sangat populer di daerah Jawa
Tengah, yogyakarta, dan Jawa Timur hal itu dibuktikan dengan penggunaan
bahasa dalam lirik lagu campursari yang menggunakan bahasa Jawa. Namun saat
ini banyak dijumpai lagu-lagu campursari yang liriknya menggunakan dua bahasa
yaitu bahasa jawa dan bahasa Indonesia seperti pada salah satu lagu yang berjudul
Cinta Tak Terpisahkan karya Cak Diqin. Berikut lirik lagu Cinta Tak
Terpisahkan:
Cinta Tak Terpisahkan
Vokal : Cak Diqin & Safitri
Ciptaan : Cak Diqin

Duh denok gandulaning ati


Tegane nyulayani
Janjimu sehidup semati
Amung ono ing lati
Rasa sayangmu sudah pergi
Tak menghiraukan aku lagi
Duh denok gandolaning ati
Tegane nyulayani

Duh kangmas jane aku tresno


Lilakno aku lungo
Ati ra kuat nandang roso
Roso keronto-ronto
Cintamu sudah nggak beneran
Aku Cuma buat mainan
Duh kangmas jane aku tresno
Lilakno aku lunga

Tresno iki dudu mung dolanan


Kabeh mau amergo kahanan
Sing tak jaluk among kesabaran
Mugi Allah paring kasembadan
Mung ngedem atiku, ben aku ra mlayu
Dan tanggung jawabmu, iku palsu

Denok aku cinta beneran


Pastikan ku buktikan
Bapak ibuku akan datang
Melamar dikau sayang

Hatiku slalu mendoakan


Semoga Tuhan mengabulkan

Cinta kita tak terpisahkan


Walau di akhir jaman

Cinta kita tak terpisahkan


Walau di akhir jaman
Cinta kita tak terpisahkan
Walau di akhir jaman.

Dalam lirik Cinta Tak Terpisahkan tersebut banyak terdapat alih kode yang terjadi
akibat peralihan bahasa Jawa ke bahasa Indonesia atau bahasa Indonesia ke
bahasa Jawa. Ini yang disebut alih kode intern.
1. Analisis (1)
Bait 1 :
Duh denok gandulaning ati
Tegane nyulayani
Janjimu sehidup semati
Amung ono ing lati
Rasa sayangmu sudah pergi
Tak menghiraukan aku lagi
Duh denok gandolani ati
Tegane nyulayani

Dalam bait pertama atau pembukaan, lagu dinyanyikan dengan menggunakan


bahasa Jawa oleh Cak Diqin. Ini dilakukan untuk mengungkapkan perasaan yang
dialami oleh vokal laki-laki dan membuka lagu dengan bahasa Jawa krama. “Duh
denok gandulaning ati” yang berarti “Duh gadis tambatan hati” dan dilanjutkan
dengan kalimat “Tegane nyulayani” yang artinya “teganya menghianati”.
Selanjutnya masuk ke lirik berikutnya beralih dari bahasa Jawa ke bahasa
Indonesia yaitu “janjimu sehidup semati” dan beralih ke bahasa Jawa kembali
dengan kalimat “amung ono ing lati” yang mempunyai arti “hanya ada di dalam
ucapan”. Kemudian dilanjutkan dengan peralihan kembali ke dalam bahasa
Indonesia yaitu “Rasa sayangmu sudah pergi, tak menghiraukan aku lagi”.
Sebagai penutup dari bait pertama lirik kembali beralih ke dalam bahasa Jawa
yakni “duh denok gandulaning ati, tegane nyulayani”. Berikut merupakan sebab
mengapa peralihan bahasa ini dilakukan :
1. Karena Penutur (Cak Diqin) tersebut merupakan orang Jawa tepatnya
Banyuwangi Jawa Timur yang melalang buana di Solo Jawa Tengah, sehingga ia
menggunakan bahasa Jawa agar lawan tutur dan pendengar dapat mengerti
maksud yang diutarakan. Terlebih ciri khas campursari yang memang
menggunakan bahasa Jawa sebagai lirik lagu.
2. Bahasa Indonesia hanya digunakan sebagai pelengkap atau inti dari maksud
lirik bait pertama tersebut. Terlihat dari penggunaan bahasa Indonesia lebih
sedikit dari pada bahasa Jawa.

2. Analisis (2)
Bait 2 :
Duh kangmas jane aku tresno
Lilakno aku lungo
Ati ra kuat nandang roso
Roso keronto-ronto
Cintamu sudah nggak beneran
Aku Cuma buat mainan
Duh kangmas jane aku tresno
Lilakno aku lunga

Dalam bait kedua diatas dinyanyikan oleh lawan bicara Cak Diqin yaitu
Safitri yang merupakan vokal wanita pembawa lagu tersebut. Pada lirik bait kedua
yang dinyanyikan oleh Safitri merupakan jawaban atau balasan dari bait pertama
dan juga terlihat menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Jawa dan Bahasa
Indonesia. “duh kangmas jane aku tresno” yang mempunyai arti “duh kakak
sebenarnya saya cinta”. “lilakno aku lungo” yang berarti “relakan aku pergi”, “ati
ra kuat nandang roso” yang mempunyai arti “hati tidak kuat menghadapi rasa”,
“roso keronto-ronto” yang berarti “rasa yang semakin sakit”. Selanjutnya ketika
masuk kalimat berikutnya beralih ke dalam bahasa Indonesia yaitu “Cintamu
sudah gak beneran, aku cuma buat mainan”, dan beralih kembali menggunakan
bahasa Jawa yaitu “Duh kangmas jane aku tresno, lilakno aku lungo”. Sebab
mengapa peralihan bahasa dilakukan dalam bait kedua karena vokal wanita yaitu
Safitri merupakan lawan bicara atau lawan tutur sehingga penggunaan bahasa
Jawa dimaksudkan untuk mengimbangi si penutur selain itu bait kedua merupakan
jawaban atau balasan dari bait pertama. Sehingga lirik lagu terdengar nyambung
dan komunikatif.

3. Analisis (3)
Bait 3:
Tresno iki dudu mung dolanan
Kabeh mau amergo kahanan
Sing tak jaluk among kesabaran
Mugi Allah paring kasembadan

Bait 4:

Mung ngedem atiku, ben aku ra mlayu


Dan tanggung jawabmu, iku palsu

Bait 5:

Denok aku cinta beneran


Pastikan ku buktikan
Bapak ibuku akan datang
Melamar dikau sayang

Bait 6:
Hatiku slalu mendoakan
Semoga Tuhan mengabulkan
Bait 7:
Cinta kita tak terpisahkan
Walau di akhir jaman
Bait 8:
Cinta kita tak terpisahkan
Walau di akhir jaman
Cinta kita tak terpisahkan
Walau di akhir jaman.
Berdasarkan lirik pada bait ke 3, 4, dan 5 dapat dilihat bahwa terdapat
peralihan bahasa Jawa ke bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia ke bahasa Jawa.
Pada bait ke 3 menggunakan bahasa Jawa “Tresno iki dudu mung dolanan” yang
mempunyai arti “Cinta ini bukan mainan”, “kabeh mau amergo kahanan” yang
berarti “semua itu karena keadaan”, “sing tak jaluk among kesabaran” yang
artinya “yang kuminta hanya kesabaran”, “mugi Allah paring kasembadan” yang
artinya “semoga Allah mengabulkan”. Penggunaan bahasa Jawa juga terjadi pada
bait ke 4 baris pertama yaitu “Mung ngedem atiku, ben aku ra mlayu” yang
artinya “hanya menanangkan hatiku, agar aku tidak lari” dilanjutkan pada bait ke
4 baris kedua beralih menjadi bahasa Indonesia yaitu “Dan tanggung jawabmu”
dan kembali lagi ke bahasa Jawa “iku palsu” yang artinya “itu palsu”. Dan pada
bait ke 5,6,7, dan 8 seluruh lirik beralih menggunakan bahasa Indonesia.
Selanjutnya dapat dijelaskan beberapa faktor yang menyebabakan terjadinya
peralihan, yakni sebagai berikut :
1. Penutur ingin mnyelaraskan bunyi nada lagu, sehingga liriknya pun harus
mengalami peralihan bahasa dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia dan
sebaliknya.
2. Pada bait ke 3 penutur ingin menegaskan keseriusan melalui lirik tersebut
bahwa cinta yang ia rasakan bukan permainan tetapi itu semua karena keadaan,
dapat dibuktikan dengan lirik “tresno iki dudu mung dolanan, kabeh mau amergo
kahanan, sing tak jaluk amung kesabaran, mugi Allah paringkasembadan”.
3. Pada bait ke 4 merupakan lirik dari lawan bicara dengan seolah-olah membalas
lirik pada bait ke 3 yaitu “mung ngedem atiku, ben aku ra mlayu, dan tanggung
jawabmu iku palsu” menandakan bahwa lawan bicara atau Safitri tidak
mempercayai omongan si penutur. Dengan peralihan bahasa pada baris kedua
yaitu “Dan tanggung jawabmu” merupakan sebuah penekanan inti dari lirik
tersebut yang dilanjutkan dengan kalimat “iku palsu”.
4. pada bait ke 5 yang dinyanyikan oleh si penutur seolah-olah merupakan
penegasan atas lirik-lirik yang dinyanyikan oleh si penutur atau vokal laki-laki
dengan dibuktikan menggunakan bahasa Indonesia.
5. Pada bait selanjutnya yaitu bait ke 6 merupakan jawaban dari lawan bicara
bahwa ia telah mempercayai si Penutur atau vokal laki-laki.
6. pada bait 7 dan 8, penutur serta lawan bicara yaitu Cak Diqin dan Safitri
menyayikan lirik tersebut dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal ini
mereka ingin mengajak pendengar untuk mengetahui akhir dari cerita lagu Cinta
Tak Terpisahkan karena bait ke 7 dan 8 merupakan bait terakhir lagu tersebut.

Dilihat dari jenis-jenis alih kode, lirik Cinta Tak Terpisahkan ini hanya
terdapat alih kode jenis intern. Hal ini karena banyak bahasa Jawa yang
terkandung dalam lirik tersebut dengan dibarengi penggunaan bahasa Indonesia.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang diuraikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
mengenai alih kode dalam lirik lagu campursari Cinta Tak Terpisahkan ciptaan
Cak Diqin :
1. Alih kode yang terdapat dalam lirik lagu campursari Cinta Tak Terpisahkan
hanya satu jenis yaitu alih kode intern.
2. Penyebab alih kode intern dalam lirik lagu Cinta Tak Terpisahkan adalah
sebagai berikut :
a. Penutur Cak Diqin sebagai vokal laki-laki ingin memberikan sebuah
gambaran tentang penegasan sebuah cinta untuk lawan tuturnya yaitu Safitri
vokal perempuan.
b. Penutur ingin menyelaraskan nada. Baik itu dengan bahasa Jawa maupun
bahasa Jawa.
c. Penutur yang sebelumnya menggunakan bahasa Jawa beralih ke bahasa
Indonesia karena ingin mengungkapkan inti dari lagu yang dinyanyikannya
tersebut. Dengan kata lain, karena penutur (penyanyi) adalah orng asli Jawa
Timur yang tinggal di Solo dan pendengar sebagian besar orang Indonesia,
sehingga penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia mudah dipahami
inti pokoknya.
DAFTAR PUSTAKA

Aslinda dan Leni Syafyahya. 2010. Pengantar Sosiolinguistik.Bandung: Refika


Aditama

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2014. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.


Jakarta: Rineka Cipta.

M.S, Mahsun. 2012. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada

Purwosunarto, Nodya.“Apa faktor-faktor penyebab alih kode?”.


http://hestunodya.blogspot.co.id/2014/01/apa-faktor-faktor-penyebab-alih-
kode_1741.html?m=1 (diakses tanggal 28 Desember 2016)

Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai