Anda di halaman 1dari 15

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK

(CONTRACTVRIJHEID BEGINSELEN) DAN


PENYALAHGUNAAN KEADAAN
( MISBRUIK VAN OMSTANDIGHEDEN )
PADA KONTRAK JASA KONSTRUKSI

Bambang Poerdyatmono

ABSTRAKSI
Dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi, para pihak diikat dalam suatu kontrak kerja
konstruksi yang ditandatangani kedua belah pihak dan berfungsi sebagai hukum. Permasalahan
yang sering dihadapi dan belum banyak dibahas, khususnya dibidang jasa konstruksi,
sehingga memunculkan 2 (dua) pertanyaan : (1) Apakah kontrak kerja konstruksi tersebut
telah memenuhi syarat-sayarat sahnya suatu kontrak dan tidak adanya pelangggaran azas
kebebasan berkontrak (contractvrijheid beginselen)? (2) Apakah sebelum penandatanganan
kontrak kerja konstruksi telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu kontrak kerja konstruksi
dan tidak terjadi penyalahgunaan keadaan ( misbruik van omstandigheden ) ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, selain menggunakan sumber-sumber literatur,
juga akan dipadukan dengan pengalaman lapangan sehingga diharapkan akan dapat dihimpun
masukan terhadap penyiapan sebuah kontrak kerja jasa konstruksi mulai dari konsep kontrak,
sebelum kontrak ditandatangani, dilaksanakan, maupun akibat hukum yang terjadi manakala
kontrak kerja jasa konstruksi tersebut diingkari ( wanprestas ) atau terjadi sengketa.

Kata kunci : Kontrak, Azas Kebebasan Berkontrak, Penyalahgunaan Keadaan, dan Jasa
Konstruksi

1. PENDAHULUAN
1.2. Latar Belakang
Dalam melaksanakan pekerjaan profesi, seorang profesional teknik, sering dihadapkan
pada kenyataan bahwa kontrak kerja jasa konstruksi yang ditandatangani mereka cukup
membuat repot dan pada akhirnya merupakan “pekerjaan tambahan” yang kadangkala dapat
menjebak profesional tersebut pada tuntutan hukum. Hal ini dapat dipahami, karena umumnya
para profesional teknik tersebut belum banyak yang memiliki pengetahuan ilmu hukum yang
cukup. Saat sekarang ini profesional teknik sudah saatnya perlu mempelajari ilmu hukum,
karena sepanjang pekerjaan yang mereka lakukan tersebut manakala sudah diikat dengan
sebuah kontrak kerja, maka hukumlah yang berlaku terhadapnya. Selain itu, manakala
profesional teknik tersebut dalam perencanaan dan perancangan misalnya, bila diaplikasikan
pada suatu lokasi, selalu akan berbenturan dengan hukum misalnya hukum
pertanahan/agraria, hukum yang berkaitan status kepemilikan tanah, hukum waris, Peraturan
Daerah (Perda) Setempat, dan sebagainya.

44
Volume 6 No. 1, Oktober 2005 : 44 - 58
Hal-hal tersebut di atas amat disadari para profesional dalam Rapat Kerja Daerah
(Rakerda) salah satu profesi teknik di Surabaya, tanggal 27 November 2004 yang lalu
khususnya dalam rangka sertifikasi nasional anggota-anggotanya. Selain itu, dengan
berlakunya hukum yang mengikat profesi jasa konstruksi antara lain :

1. Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi;


2. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat
Jasa Konstruksi;
3. PP Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
4. PP Nomor 30 Tahun 2000 tentang Pembinaan Jasa Konstruksi;
5. UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (yang PP-nya masih digodok);
6. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti UU Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah);
7. UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang IPTEK;
8. UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
9. Keputusan Presiden RI Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah (yang kemungkinan untuk tahun 2004 ini sedang dibahas/belum
ditandatangani presiden);
10.Peraturan Menteri atau di bawahnya termasuk Peraturan Daerah (Perda) Setempat.

akan membuat para profesional teknik lebih berhati-hati di dalam melaksanakan pekerjaan
profesinya, paling tidak bertanya kepada ahlinya, agar kemungkinan-kemungkinan yang tidak
diinginkan tidak terjadi.

1.2. Permasalahan
Kebutuhan akan pengetahuan ilmu hukum bagi para profesional teknik amat
diperlukan dalam menunjang pekerjaan profesi masing-masing, di samping karena kebutuhan
tuntutan, juga untuk mengantisipasi kemungkinan resiko hukum yang terjadi mengingat
semakin globalnya pengetahuan dan permasalahan dalam masyarakat.
Sejak 1 Januari 1992, mulai diberlakukannya aliran Penyalahgunaan Keadaan
(Misbruik van Omstandigheden) ke dalam Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW – KUH
Perdatanya Belanda) yang dalam praktek peradilan di Indonesia pun sudah menerapkan aliran
ini, walaupun masih sangat terbatas, turut mendorong kita untuk mempelajari ilmu hukum
sebagai kelengkapan pengetahuan profesi teknik.
Ciri masyarakat modern antara lain adalah kecenderungan terhadap pelayanan jasa
secara praktis, cepat, efisien dan efektif. Untuk mewujudkan hal ini, pelayanan kontrak yang
sifatnya standar (baku) atau standaarcontract telah dilakukan beberapa pelaku bisnis jasa
konstruksi. Sebagai contoh pada proyek pemerintah, sekitar tahun 1980-an hingga 1990-an,
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur melalui Kepala Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya
Daerah Provinsi Dati I Jawa Timur, menerbitkan standar kontrak di lingkungan pekerjaan
keciptakaryaan yang isinya cukup lengkap yang kini cenderung banyak yang diubah dan
dikurangi oleh instansi di bawahnya sehingga justru menjadi tidak jelas, sebagai akibat
otonomi daerah dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah.
Penerbitan standar kontrak sebenarnya merupakan upaya pelayanan praktis, cepat,
efisien dan efektif dan berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Pihak pemerintah (pengguna
jasa) berusaha dengan asas kebebasan berkontrak itu telah menawarkan (aanbod) bentuk atau
Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen) Dan Penyalahgunaan Keadaan 45
(Misbruik Van Omstandigheden) Pada Kontrak Jasa Konstruksi
(Bambang Poerdyatmono)
model kontrak standar untuk diterima atas penawaran (akseptasi) oleh penyedia jasa
(konsultan dan kontraktor). Namun pada kenyataannya masyarakat jasa konstruksi tidak bisa
berbuat lain kecuali menerima model kontrak standar tersebut, karena memang pada dasarnya
masyarakat jasa konstruksi tidak memiliki pengetahuan ilmu hukum selain masalah-masalah
kepraktisan di atas, sebagaimana asas kebebasan berkontrak dalam penerbitan standar
kontrak. Dengan cara ini sebenarnya telah terjadi pelanggaran terhadap asas kesepakatan
karena standar kontrak dibuat sepihak, dan pihak lainnya hanya tinggal menandatangani tanpa
harus membaca, mempelajari atau merubah isi kontrak tersebut apabila ada bagian-bagian
dalam isi kontrak standar tersebut yang belum disepakati. Selain asas kesepakatan, telah
terjadi penyalahgunaan keadaan oleh pengguna jasa atas ketidaktahuan atau
ketidakmengertian penyedia jasa terhadap pengetahuan ilmu hukum serta memanfaatkan
masalah-masalah kepraktisan sebagai alasan untuk menerbitkan kontrak standar.

1.3. Tujuan Penulisan


Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulisan ini bertujuan untuk mengadakan
studi tentang hal-hal sebagai berikut :
1. Membahas permasalahan kontrak kerja khususnya kontrak kerja jasa konstruksi terhadap
pelanggaran terhadap azas kebebasan berkontrak para pihak.
2. Membahas permasalahan kontrak kerja khususnya kontrak kerja jasa konstruksi terhadap
adanya penyalahgunaan keadaan ( misbruik van omstandigheden ) oleh para pihak dengan
permasalahan yang sering terjadi dalam praktek ( lapangan ).

1.4. Pembatasan Masalah


Penulisan ini hanya dibatasi pada kontrak kerja jasa konstruksi dalam negeri,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 UU Nomor 18 Tahun 1999 jo PP Nomor 29 Tahun
2000, baik antara pemerintah/swasta sebagai pihak pertama (pengguna jasa) dengan konsultan
atau kontraktor sebagai pihak kedua (penyedia jasa).

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN


2.1. Kontrak
Kontrak pada dasarnya merupakan undang-undang yang mengikat dan memiliki
konsekuensi hukum bagi para pihak. Oleh karenanya pembahasan berikutnya lebih tepat
dengan istilah hukum kontrak (Michael D. Bayles, 1987 dan Lawrence M. Friedman, 2001).
Dalam bahasa Inggris, hukum kontrak merupakan terjemahan dari contract of law,
sedangkan dalam bahasa Belanda adalah overeenscomstrecht. Friedman (2001) mengartikan
hukum kontrak sebagai :

“ Perangkat hukum yang mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis
perjanjian tertentu”

Friedman selanjutnya tidak menjelaskan aspek tertentu dan jenis perjanjian tertentu
itu. Namun bila kita kaji aspek pasar, pikiran kita akan mengarah pada segala aktivitas bisnis
yang hidup dan berkembang dalam sebuah market termasuk dunia industri jasa konstruksi
yang dilakukan oleh para pelaku usaha masing-masing, serta menimbulkan berbagai macam
kontrak.

46
Volume 6 No. 1, Oktober 2005 : 44 - 58
Disisi lain, Bayles (1987), mengartikan bahwa hukum kontrak adalah aturan hukum
yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.
Beberapa definisi hukum kontrak yang lain, umumnya tidak membahas tahapan
kontrak tersebut dibuat dan dilaksanakan. Ensiklopedi Indonesia (dalam Salim, H.S., 2003)
mengkajinya dari aspek lingkup pengaturannya, yaitu persetujuan dan ikatan warga hukum,
sebagaimana yang ertuang dalam Pasal 1348 KUH Perdata. Tampaknya definisi ini
menyamakan pengertian antara kontrak (perjanjian) dengan persetujuan, padahal keduanya
berbeda. Kontrak (perjanjian) merupakan salah satu sumber perikatan, sedangkan persetujuan
merupakan salah satu syarat sahnya kontrak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Adalah lebih tepat apabila kita mendasarkan pada pendapat Van Dunne (1990),
seorang ahli hukum perdata Belanda, yang tidak hanya mengkaji dari sisi kontraktual belaka,
akan tetapi juga memperhatikan tahapan-tahapan sebelumnya. Yang dimaksud dengan
tahapan-tahapan sebelumnya adalah tahap precontractual yang merupakan tahap penawaran
dan penerimaan dan postcontractual yang merupakan pelaksanaan perjanjian. Hubungan
hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya
hak dan kewajiban. Hak berupa kenikmatan, sedangkan kewajiban berupa beban.
Dari pendapat dan definisi hukum kontrak di atas, maka definisi hukum kontrak
adalah sebagai berikut :
“ Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum “
Dengan demikian, maka unsur-unsur yang tercantum dalam hukum kontrak adalah
sebagai berikut :
1. Adanya Kaidah Hukum
Kaidah dalam hukum kontrak dibagi menjadi 2 (dua) bagian : tertulis dan tidak tertulis.
Kontrak hukum kontrak tertulis adalah kontrak kaidah-kaidah hukum yang terdapat di
dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah
hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup
dalam mesyarakat (konsep yang berasal dari hukum adat).

2. Adanya Subjek Hukum


Subjek hukum dalam istilah lain adalah rechtsperson, yang diartikan sebagai pendukung
hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan
debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang
berutang.

3. Adanya Prestasi ( Objek Hukum )


Prestasi merupakan hak kreditur dan menjadi kewajiban bagi debitur. Prestasi menurut
Pasal 1234 KUH Perdata terdiri dari 4 (empat) hal :
a. memberikan sesuatu
b. berbuat sesuatu, dan
c. tidak berbuat sesuatu

4. Kata Sepakat
Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian.
Salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara para pihak.
Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen) Dan Penyalahgunaan Keadaan 47
(Misbruik Van Omstandigheden) Pada Kontrak Jasa Konstruksi
(Bambang Poerdyatmono)
5. Akibat Hukum
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, akan menimbulkan akibat hukum. Akibat
hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban
adalah suatu beban.

2.2. Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen)


Asas-asas perjanjian sangat perlu untuk dikaji lebih dahulu sebelum memahami
berbagai ketentuan undang-undang mengenai sahnya suatu perjanjian. Suatu perkembangan
yang terjadi terhadap suatu ketentuan undang-undang akan lebih mudah dipahami setelah
mengetahui asas-asas yang bersangkutan.
Banyak pendapat ahli-ahli hukum tentang asas-asas dalam suatu perjanjian, namun
pada dasarnya bertujuan untuk tercapainya kepastian hukum, ketertiban hukum, dan keadilan
berdasarkan asas konsensualisme (berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian). Tabel 1
berikut adalah pendapat para ahli hukum tentang asas-asas suatu perjanjian.

Tabel 1. Pendapat Para Ahli Hukum tentang Asas Perjanjian

Nama Ahli Hukum


No
J.H. Nieuwhuis Mariam Darus B. Sudikno Mertokusumo
1  Asas Otonomi (adanya  Asas Kepercayaan
kewenangan
 Asas Konsensualisme
mengadakan hubungan  Asas Persamaan
(berhubungan dengan
hukum yang mereka
lahirnya suatu
pilih diantara mereka) Hukum
perjanjian)
atau asas kemauan yang
bebas.  Asas Keseimbangan
2  Asas Kepercayaan
(adanya kepercayaan  Asas Kepastian  Asas Kekuatan
yang ditimbulkan Mengikatnya suatu
dalam perjanjian itu Hukum Perjanjian ( berhubungan
yang perlu dilindungi) dengan akibat suatu
atau asas melindungi  Asas Moral perjanjian)
pihak beritikat baik.
3  Asas Kepatutan
 Asas Kausa (adanya
saling ketergantungan
 Asas Kebiasaan  Asas Kebebasan
dalam suatu cara dan
Berkontrak
tujuan sehubungan
 Asas Perlindungan (berhubungan dengan isi
dengan adanya
perjanjian)
perikatan yang timbul
(Protection)
karena perjanjian)
Sumber : Panggabean, H.P (2001) dan Lokakarya Hukum Perikatan Depkeh (1985)

Dari penjelasan tersebut, maka terdapat 5 (lima) asas penting dalam suatu perjanjian,
yaitu :

1. Asas Kebebasan Berkontrak, sebagaimana hasil analisis Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata,
yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
48
Volume 6 No. 1, Oktober 2005 : 44 - 58
undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan Berkontrak ini memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk :
a. membuat atau tidak membuat perjanjian
b. mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. menentukan isi perjanjian dengan siapapun
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

2. Asas Konsensualisme, sebagaimana dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal
ini ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua
belah pihak. Asas konsensualisme pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi
cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Disini kesepakatan merupakan
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

3. Asas Pacta Sunt Servanda, merupakan asas kepastian hukum sebagai akibat perjanjian.
Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi :
“Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang” Selain itu pada asas
ini juga dikatakan bahwa pihak lain (hakim atau pihak ketiga) harus menghormati dan
tidak boleh mengintervensi substansi kontrak yang dibuat para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang.

4. Asas Itikat Baik (Goede Trouw)


Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi :
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik”. Asas itikat baik ini merupakan asas
para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan yang baik dari para
pihak. Asas itikat baik ini dibagi 2 (dua) : itikat baik nisbi, dimana orang memperhatikan
tingkah laku nyata orang atau subjek. Sedangkan itikat baik mutlak, penilaiannnya terletak
pada akal sehat dan keadilan, dan penilaian keadaan yang dibuat dengan ukuran objektif
(penilaian yang tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

5. Asas Kepribadian (Personalitas)


Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau
membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja, sebagaimana dalam Pasal
1315 KUH Perdata yang berbunyi : “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”, dan Pasal 1340 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa : “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Namun
ketentuan ini ada pengecualiannya sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH
Perdata, yang menyatakan : “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak
ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa
seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga. Sedangkan dalam
Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga
untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari
padanya.
Jika dibandingkan dengan kedua pasal tersebut, maka dalam Pasal 1317 KUH Perdata
mengatur perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata untuk
kepentingan : (a) diri sendiri, (b) ahli warisnya, dan (c) orang-orang yang memperoleh hak

Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen) Dan Penyalahgunaan Keadaan 49


(Misbruik Van Omstandigheden) Pada Kontrak Jasa Konstruksi
(Bambang Poerdyatmono)
dari padanya. Selain itu Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya,
sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata tentang ruang lingkupnya yang luas.
Disamping itu menurut Mariam D.B.(1997) terdapat rumusan 8 (delapan) asas hukum
perikatan nasional, yaitu : (a) asas kepercayaan, (b) asas persamaan hukum, (c) asas
keseimbangan, (d) asas kepastian hukum, (e) asas moral, (f) asas kepatutan, (g) asas
kebiasaan, (h) asas perlindungan.
Dari semua penjelasan tentang asas-asas perjanjian, maka asas-asas yang ada saling
melengkapi dan dijadikan dasar pijakan para pihak dalam menentukan dan membuat kontrak.

2.3. Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden)


Sebelum aliran Penyalahgunaan Keadaan dicantumkan dalam NBW dan diberlakukan
1 Januari 1992 yang lalu, telah banyak permasalahan yang dibahas para ahli hukum dan
ilmuwan lainnya, khususnya dalam kaitannya dengan pemutusan perkara oleh para hakim.
Terbentuknya aliran Penyalahgunaan Keadaan disebabkan karena pada waktu itu
belum ada ketentuan Burgerlijk Wetboek Belanda yang mengatur hal itu. Sebagai contoh,
sering terjadi seorang hakim sering menemukan adanya keadaan yang bertentangan dengan
kebiasaan, sehingga sering pula mengakibatkan putusan hakim yang membatalkan suatu
perjanjian, baik sebagian atau keseluruhan. Dalam kenyataannya putusan hakim tersebut
tidaklah berdasarkan pertimbangan salah satu alasan pembatalan perjanjian yaitu cacat
kehendak klasik (Pasal 1321 KUH Perdata), yaitu : (1) kesesatan (dwaling), (2) paksaan
(dwang), (3) penipuan (berdog).
Prof. Mr. J.M. van Dunné dan Prof. Mr. Gr. Van den Burght (1987) dalam sebuah
Diktat Kursus Hukum Perikatan Bagian III yang diterjemahkan Prof. Dr. Sudikno
Mertokusumo, SH., menanggapi beberapa pendapat para ahli hukum menyatakan bahwa :

“ Pada Penyalahgunaan Keadaan tidaklah semata-mata berhubungan dengan isi


perjanjian, tetapi berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya
perjanjian, yaitu penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak
dan dengan sendirinya persetujuan satu pihak tanpa cacat”

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan keadaan lebih tepat
mempengaruhi syarat-syarat subjektif dari pada syarat objektif. Sebagaimana diketahui bahwa
menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat)
syarat :
1). Harus ada kesepakatan
2). Harus ada kecakapan
3). Harus ada pokok persoalan (hal tertentu)
4). Tidak merupakan sebab yang dilarang
Dua syarat pertama merupakan syarat subjektif karena menyangkut subjek yang mengadakan
perjanjian, sedang dua syarat terakhir merupakan syarat objektif.
Lebih lanjut Van Dunné menjelaskan bahwa selain 2 (dua) syarat subjektif tersebut di
atas, penyalahgunaan keadaan juga dikarenakan 2 (dua) hal :
1. Karena keunggulan ekonomi, yang menyebabkan salah satu pihak terpaksa mengadakan
perjanjian.
2. Karena keunggulan kejiwaan, salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif
(seperti hubungan kepercayaan : orang tua – anak, suami – istri, dokter – pasien, termasuk
antara pengguna jasa / pimpinan proyek / bagian proyek / user – penyedia jasa / konsultan /
kontraktor, dan sebagainya ). Disamping salah satu pihak menggunakan penyalahgunaan

50
Volume 6 No. 1, Oktober 2005 : 44 - 58
keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan (gangguan jiwa, tidak berpengalaman,
gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang kurang baik, dan sebagainya).
Penekanan terhadap Asas Kebebasan Berkontrak semata-mata karena menyangkut isi
perjanjian (Mertokusumo, 1988) dan Penyalahgunaan Keadaan (Panggabean, H.P., 2001),
kesemuanya ditekankan pada tahap precontractual yang menjadi pokok bahasan tulisan ini.
Sedangkan pembahasan yang menyangkut perbedaan isi perjanjian yang berakibat hukum,
akan dibahas sepintas sebagai bagian dari tahapan kontrak yang kedua, yaitu postcontractual.

2.4. Jasa Konstruksi


Segala sesuatu yang berkaitan dengan jasa konstruksi telah diatur dalam UU Nomor
18 Tahun 1999 beserta PP Nomor 28, 29, dan 30 Tahun 2000 serta peraturan perundang-
undangan lain yang berkaitan. Sebagaimana diketahui bahwa UU Nomor 18 Tahun 1999 ini
menganut asas kejujuran dan keadilan, asas manfaat, asas keserasian, asas keseimbangan, asas
keterbukaan, asas kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara (Pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 1999). Sedangkan pengaturan jasa
konstruksi bertujuan untuk :

1). Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan
struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi
yang berkualitas.
2). Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan
kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta
meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
3). Mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.

Bagi profesional teknik, yang perlu menjadi perhatian adalah beberapa bagian yang
sangat terkait dengan pekerjaan profesinya, antara lain :

1. Jenis Usaha Jasa Konstruksi dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) :
(a) Usaha perencanaan konstruksi, yaitu memberikan layanan jasa perencanaan dalam
pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan
mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja
konstruksi.
Selanjutnya Pasal 5 PP Nomor 28 Tahun 2000 menyebutkan bahwa layanan pekerjaan
perencanaan jasa konstruksi terdiri dari : survey, perencanaan umum, studi makro dan
mikro, studi kelayakan proyek, industri dan produksi, perencanaan teknik, operasi dan
pemeliharaan, serta penelitian.
(b) Usaha pelaksanaan konstruksi, yaitu memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam
pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan
mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan
konstruksi. Secara spesifik, PP Nomor 28 Tahun 2000 tidak menyebutkan layanan apa
saja yang dilakukan oleh jasa pelaksanaan konstruksi, namun dalam Pasal (3)
menyatakan :
“ Lingkup jasa perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan secara strategis
dapat terdiri dari jasa : rancang bangun, perencanaan, pengadaan, dan
pelaksanaan terima jadi, penyelenggaraan pekerjaan terima jadi”.

Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen) Dan Penyalahgunaan Keadaan 51


(Misbruik Van Omstandigheden) Pada Kontrak Jasa Konstruksi
(Bambang Poerdyatmono)
(c) Usaha pengawasan konstruksi, yaitu memberikan layanan jasa pengawasan baik
keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan
lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi.
Pasal 2 PP Nomor 28 Tahun 2000 menyatakan bahwa jasa layanan pengawasan
meliputi : pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi, pelaksanaan keyakinan mutu
dan ketepatan waktu, dan proses perusahaan dari hasil pekerjaan konstruksi.

2. Bidang Usaha Jasa Konstruksi dalam Pasal 6 UU Nomor 18 Tahun 1999 :


Bidang usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan :
(a) Arsitektural dan/ atau
(b) Sipil dan/atau
(c) Mekanikal dan/atau
(d) Elektrikal dan/atau
(e) Tata Lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya Dalam melaksanakan
pekerjaan profesinya, tenaga ahli wajib memiliki sertifikat keahlian bagi perencana dan
pengawas konstruksi (Pasal 9 ayat 1), dan bagi pelaksana konstruksi wajib memiliki
sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat keahlian kerja (Pasal 9 ayat 2) termasuk bagi
perorangan yang dipekerjakan (Pasal 9 ayat 3 dan 4).

Selanjutnya Pasal 7 PP Nomor 28 Tahun 2000 menyebutkan bahwa bidang usaha yang
dimaksud adalah :
1). Bidang pekerjaan arsitektural yang meneliti : arsitektur bangunan berteknologi
sederhana, menengah dan tinggi, arsitektur ruang dalam (interior), arsitektur lansekap,
termasuk perawatannya.
2). Bidang pekerjaan sipil yang meliputi : jalan dan jembatan, jalan kereta api, landasan,
terowongan, jalan bawah tanah, saluran drainase dan pengendalian banjir, pelabuhan ,
bendungan, bangunan dan jaringan pengairan atau prasarana sumber daya air, struktur
bangunan gedung, geoteknik, struktur bangunan tambang dan pabrik, termasuk
perawatannya, dan pekerjaan penghancuran bangunan (demolition).
3). Bidang pekerjaan mekanikal yang meliputi instalasi tata udara/AC, instalasi
minyak/gas/geotermal, instalasi industri, isolasi termal dan suara, konstruksi lift dan
eskalator, perpipaan, termasuk perawatannya.
4). Bidang pekerjaan elektrikal yang meliputi : instalasi pembangkit, jaringan transmisi dan
distribusi, instalasi listrik, sinyal, dan telekomunikasi kereta api, bangunan pemancar
radio, telekomunikasi dan sarana bantu navigasi udara dan laut, jaringan
telekomunikasi, sentral telekomunikasi, instrumentasi, penangkal petir, termasuk
perawatannya.
5). Bidang pekerjaan tata lingkungan yang meliputi : perkotaan/planologi, analisis dampak
lingkungan, tata lingkungan lainnya, pengembangan wilayah, bangunan pengolahan air
bersih dan pengolahan limbah, perpipaan air bersih dan perpipaan limbah, termasuk
perawatannya
Pembagian bidang pekerjaan menjadi sub-sub bidang pekerjaan dan bagian dari sub-sub
bidang pekerjaan tersebut menjadi kewenangan lembaga (Pasal 33 UU Nomor 18 Tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi). Adapun jenis, tugas dan penjelasan lembaga dalam PP.
Nomor 28 Tahun 2000 adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam Tabel 2 berikut.

52
Volume 6 No. 1, Oktober 2005 : 44 - 58
Tabel 2. Jenis dan Tugas Lembaga Jasa Konstruksi
Tugas Lembaga
Jenis Lembaga Penjelasan Pasal 33
Jasa Konstruksi
No Jasa Konstruksi UU. No.18/1999 pada
(Pasal 33 UU No.
(Pasal 33 UU. No. 18/1999) Pasal 24 PP No. 28 /2000
18/1999)

1 Asosiasi Perusahaan Jasa 1. Melakukan dan Asosiasi Perusahaan berupa satu atau
Konstruksi mendorong penelitian lebih wadah organisasi atau himpunan
dan pengembangan jasa pengusaha orang perseorangan dan
konstruksi. atau perusahaan, baik yang berbadan
hukum atau tidak yang bergerak di
2. Menyelenggarakan bidang jasa konstruksi yang bersifat
pendidikan dan umum atau spesialis serta memiliki
pelatihan jasa ketrampilan dan atau keahlian sesuai
konstruksi. dengan kriteria : nasional,
memperjuangkan aspirasi anggotanya,
3. Melakukan registrasi menjunjung tinggi kode etik profesi,
tenaga kerja konstruksi meningkatkan manajemen anggotanya.
yang meliputi
2 Asosiasi Profesi Jasa klasifikasi, kualifikasi Asosiasi Profesi adalah satu atau lebih
Konstruksi dan sertifikasi wadah organisasi atau himpunan orang
ketrampilan dan perorangan terampil dan atau ahli atas
keahlian kerja. dasar kesamaan disiplin keilmuan dan
atau profesi di bidang konstruksi yang
4. Melakukan registrasi memenuhi kriteria : nasional,
badan usaha jasa memperjuangkan kepentingan/aspirasi
konstruksi anggotanya, menjunjung kode etik
profesi, meningkatkan kemampuan,
5. Mendorong dan ketrampilan dan keahlian anggotanya
meningkatkan peran
3 Pakar dan Perguruan Tinggi arbitrase, mediasi dan 1. Pakar selain memiliki keahlian
yang berkaitan dengan Bidang penilai ahli di bidang dibidangnya, juga memiliki minat
Jasa Konstruksi jasa konstruksi. untuk berperan dalam
pengembangan jasa konstruksi dan
bukan pengusaha jasa konstruksi.
2. Adalah wakil Perguruan Tinggi
yang ditunjuk dan direkomensai
pimpinan perguruan tinggi untuk
berpartisipasi pada lembaga, baik
satu orang atau lebih dengan
kriteria : disiplin/jurusan yang sana
bidang jasa konstruksi, akreditasi
perguruan tinggi.

4 Instansi Pemerintah yang Yaitu pejabat satu orang atau lebih


terkait yang direkomndasi oleh Menteri yang
melakukan pembinaan atau bidang
tugasnya.

3. Tanggung Jawab Profesional (Pasal 11 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3)


Yang dimaksudkan adalah pertanggungjawaban penyedia jasa terhadap hasil pekerjaannya
yang dilandasi prinsip-prinsip keahlian sesuai dengan kaidah keilmuan, kepatutan, dan
kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap mengutamakan

Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen) Dan Penyalahgunaan Keadaan 53


(Misbruik Van Omstandigheden) Pada Kontrak Jasa Konstruksi
(Bambang Poerdyatmono)
kepentingan umum. Mekanisme pertanggungjawaban adalah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tanggung jawab profesional ini lebih ditekankan pada persyaratan sertifikasi tenaga ahli
baik kecakapan, keahlian maupun keterampilan profesional.
Pertanggungjawaban dari pihak pengguna jasa antara lain adalah pembayaran biaya
pekerjaan sesuai dengan isi kontrak dan laporan hasil pekerjaan dari penyedia jasa.

4. Kontrak Kerja Jasa Konstruksi (pasal 14 s.d Pasal 22 UU Nomor 18 Tahun 1999 jo Pasal
20 s.d Pasal 23 PP Nomor 29 Tahun 2000 jo Pasal 29 s.d Pasal 35 Keppres Nomor 80
Tahun 2003).
Pada dasarnya penyusunan kontrak jasa konstruksi mengikuti aturan atau ketentuan sahnya
sebuah kontrak kerja sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata kita. Akan tetapi
sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu pada tahapan precontractual
memunculkan 2 (dua) pertanyan :
(a) Apakah sudah mengikuti ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata diantara para pihak
tentang isi kontrak, sebelum kontrak tersebut ditandatangani sebagaimana asas
kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata) dan diterapkan secara adil dan
seimbang, termasuk itikat baik para pihak. Padahal yang penting apakah pada saat
perjanjian tersebut ditutup, apakah perjanjian itu telah dibuat dan dilaksanakan secara
adil.
Dalam proses ini antara para pihak (pengguna jasa dan penyedia jasa) harus ada
kecocokan pernyataan kehendak yang dikaitkan penyesuaian dan syarat-syarat
perjanjian yang bersangkutan, sehingga kata sepakat (toestemming) terjadi. Dua elemen
yang mendasari kata sepakat adalah penawaran (aanbod) dan penerimaan atas
enawaran (akseptasi). Dengan adanya penyesuaian diantara dua kehendak tersebut,
perjanjian abligator atau verbintenissen scheppende overeenkomst (perjanjian yang
melahirkan perikatan) telah terjadi, dan karena itu terjadi pula perikatan yang
melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak.
(b) Apakah tidak terjadi Penyalahgunaan Keadaan sebelum kontrak ditandatangani, yaitu
cacat kehendak (wilsgebrek) sebagai awal dari penyalahgunaan keadaan. Menurut Pasal
1320 KUH Perdata cacat kehendak merupakan persyarat subjektif pertama yang tidak
dipenuhi, termasuk syarat subjektif kedua yaitu kecakapan. Selanjutnya Pasal 1321
KUH Perdata merinci cacat kehendak tersebut menjadi :
1. Kesesatan (dwalling) : sesat terhadap hakikat benda (error in substantia) dan sesat
terhadap orang (error in persona). Jadi antara yang dinyatakan dengan yang
dikehendaki terjadi perbedaan persepsi (Pasal 1322 KUH Perdata).
2. Penipuan (berdog) yaitu perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada
pihak lain dengan maksud untuk menimbulkan kesesatan pihak lain. Contoh : pujian
yang berlebihan terhadap hasil pekerjaan konstruksi (Pasal 1328 KUH Perdata)
3. Paksaan (dwang) yaitu ancaman yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak
lain sehingga menimbulkan rasa takut atas kerugian harta bendanya, juga apabila
ancaman tersebut ditujukan pada fisik dan atau kehormatan serta kemerdekaan.
Bilamana kita bandingkan antara Asas Kebebasan Berkontrak dalam KUH Perdata
kita dengan Penyalahgunaan Keadaan dalam NBW (KUH Perdatanya Belanda) yang
sudah diterapkan oleh para hakim di Indonesia, maka akan terdapat hubungan
diantaranya yaitu antara lain Penyalahgunaan Keadaan karena Keunggulan ekonomi
dan keunggulan kejiwaan :
(a) Salah satu pihak memiliki keunggulan ekonomi dari pihak lain ( contoh :
Pemilik Proyek/Pimpro/Pimbapro sebagai Pengguna Jasa yang punya uang,

54
Volume 6 No. 1, Oktober 2005 : 44 - 58
sedangkan Penyedia Jasa yang berkepentingan dan ingin mendapatkan
pekerjaan/proyek Pengguna Jasa).
(b) Penyalahgunaan Keadaan karena keunggulan kejiwaan, yang mengakibatkan
keterpaksaan pihak lain untuk mengadakan perjanjian. Disini terjadi
ketergantungan relatif. Contoh : Pihak Pengguna Jasa masih ada hubungan
kekerabatan, guru-murid, atasan-bawahan, pertemanan, dan sebagainya dengan
Pihak Penyedia Jasa, termasuk Pengguna jasa juga pemilik proyek. Contoh lain
adalah, misalnya penyedia jasa tidak berpengalaman, tidak tahu/mengerti,
kurang pengetahuan sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu
pihak lain.
Kedua permasalahan pada precontractual tersebut sudah dapat dikatakan memenuhi
unsur-unsur subjek dan objek yang tidak memenuhi persyaratan kontrak kerja,
sehingga perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar) dan batal demi hukum
(nietig).

5. Tanggung Jawab Profesional secara Perdata dan Pidana


Tanggung jawab profesional yang dimaksudkan disini adalah sanksi hukum bagi
profesional yang melakukan pelanggaran baik secara perdata dan atau secara pidana.
Menurut ketentuan Pasal 23 UU Nomor 18 Tahun 1999, penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi meliputi : kegiatan penyiapan, kegiatan pengerjaan, dan kegiatan pengakhiran.
Sanksi hukum dapat diberlakukan kepada profesional ini untuk pekerjaan yang sedang
berlangsung (Pasal 31 PP Nomor 29 Tahun 2000) dan kegagalan bangunan setelah
penyerahan akhir pekerjaan konstruksi (Pasal 34 PP Nomor 29 Tahun 2000) dan jangka
waktu pertanggungjawaban atas kegagalan bangunan tersebut adalah maksimum 10
(sepuluh) tahun sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi (Pasal 35 PP Nomor 29
Tahun 2000). Namun dalam Pasal 35 PP Nomor 29 Tahun 2000 ini tidak dijelaskan apakah
jangka waktu maksimum 10 tahun tersebut untuk bangunan apa saja, dan yang kurang dari
10 tahun untuk bangunan apa saja. Hanya dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) PP Nomor 29
Tahun 2000, selain berlaku sanksi di atas juga berlaku ketentuan sanksi profesi dan ganti
rugi (denda). Sedangkan dalam ayat (2) pasal 34 dalam PP ini, pada saat lewat tenggang
waktu masa tanggungan dikenakan ketentuan sanksi profesi.
Untuk mengetahui bentuk sanksi bagi profesional yang melanggar ketentuan hukum, maka
dapat dibagi menjadi sanksi hukum perdata dan sanksi hukum pidana, sedangkan sanksi
administratif merupakan peringatan awal bagi para profesional yang ternyata telah
melakukan pelanggaran dan merugikan salah satu pihak (dalam hal ini adalah pengguna
jasa konatruksi) dalam melaksanakan pekerjaan profesinya.
Sanksi administratif merupakan sanksi yang mengawali terjadinya sanksi-sanksi berikutnya
yaitu sanksi perdata maupun sanksi pidana, manakala sanksi administratif tidak dipenuhi
atau dilaksanakan oleh para profesional (pribadi) maupun lembaga (perusahaan jasa
konstruksi).
Bagi profesional perorangan, sanksi administratif yang mengakibatkan dicabutnya
sertifikat keprofesian adalah merupakan kerugian besar secara pribadi, karena sertifikat
keahlian profesi tersebut merupakan “ SIM “ – nya untuk bekerja. Sedangkan bagi
perusahaan jasa konstruksi, pencabutan izin perusahaan akan mengakibatkan kerugian dua
sisi yaitu pada pekerjaan yang dikerjakan sekarang dan pekerjaan lain di masa mendatang.
Adapun jenis pelanggaran, bentuk sanksi administratif, sanksi perdata maupun sanksi
pidana sebagaimana ketentuan UU Nomor 18 Tahun 1999 jo PP Nomor 29 Tahun 2000
dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen) Dan Penyalahgunaan Keadaan 55
(Misbruik Van Omstandigheden) Pada Kontrak Jasa Konstruksi
(Bambang Poerdyatmono)
Tabel 3. Sanksi Administratif, Perdata dan Pidana bagi Profesional Jasa Konstruksi
Menurut UU Nomor 18 Tahun 1999 jo PP Nomor 29 Tahun 2000

No Jenis Pelanggaran Sanksi Administratif Sanksi Perdata Sanksi Pidana


1 Kegagalan Pekerjaan  Peringatan Tertulis  Maksimum  Pidana penjara
Konstruksi yang  Penghentian denda 10 % maksimum 5
mengakibatkan sementara sebagian dari nilai (lima) tahun
kegagalan konstruksi dan atau keseluruhan kontrak (Pasal (Pasal 43 ayat
kegagalan bangunan pekerjaan konstruksi 43 ayat (1) UU (1) UU
(Pasal 43 ayat (1) UU  Pembekuan izin No.18/1999) No.18/1999)
No. 18/1999) pelaksanaan
pekerjaan
2 Kegagalan bangunan konstruksi/profesi  Maksimum  Pidana penjara
akibat pekerjaan  Pencabutan izin denda 5 % dari maksimum 5
konstruksi yang pelaksanaan nilai kontrak (lima) tahun
disebabkan karena pekerjaan (Pasal 43 ayat (Pasal 43 ayat
pelaksanaan pekerjaan konstruksi/profesi (2) UU (2) UU
yang bertentangan dan  Larangan sementara No.18/1999) No.18/1999)
tidak sesuai dengan penggunaan hasil
ketentuan keteknikan pekerjaan konstruksi
(Pasal 43 ayat (2) UU (Pasal 42 UU
No. 18/1999) No.18/1999 jo Pasal 56
PP No. 29/2000)

3 Kegagalan yang  Maksimum  Pidana penjara


disebabkan karena denda 10 % maksimum 5
pengawas pelaksanaan dari nilai (lima) tahun
pekerjaan konstruksi kontrak (Pasal (Pasal 43 ayat
dengan sengaja 43 ayat (3) UU (3) UU No.
memberikan kesempatan No. 18/1999) 18/1999)
pihak lain yang
melaksanakan pekerjaan
konstruksi melakukan
penyimpangan terhadap
ketentuan keteknikan
yang menimbulkan
kegagalan pekerjaan atau
kegagalan bangunan
(Pasal 43 ayat (3) UU
No.18/1999)

Sepintas terlihat bahwa antara UU Nomor 18 Tahun 1999 dengan PP Nomor 29 Tahun
2000 yang menyangkut tentang sanksi, terdapat perbedaan. UU Nomor 18 Tahun 1999 secara
tegas menyatakan bentuk dan jenis sanksi baik sanksi administratif, sanksi perdata maupun
sanksi pidana. Akan tetapi dalam PP Nomor 29 Tahun 2000, lebih cenderung kepada sanksi
administratif. Hal ini disebabkan beberapa kemungkinan :
1. Inisiatif rancangan UU Nomor 18 Tahun 1999 bukan dari Pemerintah tetapi dari DPRRI
2. Pemerintah di dalam membahas UU Nomor 18 Tahun 1999 untuk dijabarkan kedalam PP
Nomor 29 Tahun 2000 kurang jeli, biasanya dengan alasan klasik : Memberi kesempatan
berusaha kepada pihak lain untuk berusaha di bidang jasa konstruksi yang nyata-nyata
memberikan peluang tenaga kerja yang cukup banyak dan dana yang besar.
56
Volume 6 No. 1, Oktober 2005 : 44 - 58
3. Pemberian sanksi perdata dan pidana bukan kewenangan Pemerintah yang menangani
proyek konstruksi, akan tetapi merupakan kewenangan penyidik dan penyelidik (kuasa
hukum/pengacara, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan negeri), disamping juga badan
arbitrase.

3. KESIMPULAN DAN SARAN


3.1. Kesimpulan
1. Dalam pelaksanaan perjanjian jasa konstruksi khususnya pada tahapan
precontractual, masing-masing pihak (pengguna dan penyedia jasa konstruksi) harus
mengadakan kesepakatan dengan menghindari pelanggaran terhadap ketentuan asas
kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigheden) sebagaimana ketentuan yang berlaku.
2. Sanksi bagi pengguna jasa dan penyedia jasa dapat dikenai sanksi administratif,
sanksi perdata, maupun sanksi pidana apabila melakukan pelanggaran sesuai
ketentuan UU Nomor 18 Tahun 1999 dan PP Nomor 29 Tahun 2000
3. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi sebagai akibat pelanggaran dan sanksi yang
diberlakukan belum dibahas dalam tulisan ini.

3.2. Saran
1. Walaupun sudah disosialisasi dan diberlakukan, UU Nomor 18 Tahun 1999, PP
Nomor 28, 29, 30 serta peraturan perundang-undangan lainnya masih belum banyak
yang mengetahui khususnya masyarakat jasa konstruksi sendiri. Untuk itu perlu
kesungguhan baik Pemerintah, Asosiasi Profesi, Profesional Perorangan, Pakar dan
Perguruan Tinggi dan pihak-pihak yang terkait bekerja sama untuk meningkatkan
intensitas pemahaman peraturan perundang-undang ini, sehingga dicapai
peningkatana kualitas SDM yang profesional.
2. Untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat, perlu diterapkan
sanksi yang tegas dalam action karena dalam proyek konstruksi banyak dijumpai
peluang pelanggaran mulai dari precontrancual dan postcontractual hingga
pelaksanaan fisik pekerjaan konstruksi.
3. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi perlu dibahas juga sebagai alternatif
penyelesaian sengketa kasus-kasus konstruksi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-buku
Badrulzaman, Mariam Darus, 1993, KUH Perdata, Buku III, Hukum Perikatan dengan
Penjelasannya, Penerbit Alumni, Bandung.
Bayles, Michael D., 1987, Principles of Law A Normatif Analysis, Holland : Riding
Publishing Company Dordrecht.
Dunné, Van dan Van der Burght, 1987, Hukum Perjanjian (terjemahan Lely Niwan), Dewan
Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek hukum Perdata, Jogjakarta.
Friedman, Lawrence M (2001), American Law An Introduction (terjemahan Whisnu Basuki),
Penerbit Tata Nusa, Jakarta.
Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen) Dan Penyalahgunaan Keadaan 57
(Misbruik Van Omstandigheden) Pada Kontrak Jasa Konstruksi
(Bambang Poerdyatmono)
Mertokusumo, Sudikno, 1988, Mengenal Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Panggabean, H.P., 2001, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) Sebagai
Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di
Negeri Belanda), Cetakan Pertama, Penerbit Liberty, Jogjakarta.
Poerdyatmono, B., 2003, Sengketa Pelaksanaan Kontrak Kerja Konsultan Pengawas
Konstruksi, Skripsi S-1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sunan Giri
Surabaya (tidak dipublikasikan).
Salim, H.S., 2004, Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Kedua,
Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Cetakan Pertama, Penerbit
Predana Media, Jakarta.
Wijaya, G. dan Mulyadi, K., 2003, Hapusnya Perikatan, Edisi I, Cetakan I, Penerbit PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta.

2. Landasan Hukum

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran
Masyarakat Jasa Konstruksi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Jasa Konstruksi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Pembinaan Jasa Konstruksi
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah
Subekti dan Tjitrosudibio (1999), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (terjemahan dari
Burgerlijk Wetboek), Cetakan ketigapuluh, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.

RIWAYAT PENULIS
Ir. Bambang Poerdyatmono, S.H.,M.T., adalah Dosen Jurusan Teknik Sipil Fakultas
Teknik Universitas Madura – Pamekasan, kini sedang menyelesaikan studi S-2
Magister Ilmu Hukum di Unisma - Malang

58
Volume 6 No. 1, Oktober 2005 : 44 - 58

Anda mungkin juga menyukai