Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sektor konstruksi merupakan bagian yang penting dalam
pembangunan suatu negara, dimana proyek konstruksi pembangunan gedung,
jalan, jembatan dan infrastruktur lainnya merupakan ukuran perkembangan
ekonomi negara tersebut. Keberhasilan proyek konstruksi secara tradisional
diukur dalam capaian waktu, biaya, dan kualitas. Keberhasilan tersebut
dipengaruhi oleh faktor-faktor penting (Critical Success Factors, CFS). Salah
satu CFS tersebut adalah aspek keselamatan (safety) dalam pelaksanaan
proyek.
Selalu ada resiko dalam pekerjaan, salah satunya adalah tentang
keselamatan kerja. Dan saat kecelakaan kerja sekecil apapun itu terjadi, akan
terjadi kerugian. Karena itu sedini mungkin potensi kecelakaan harus di cegah
atau setidaknya di kurangi dampaknya. Penanganan masalah keselamatan
dalam sebuah perusahaan harus di lakukan secara serius oleh seluruh
komponen pelaku usaha. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah salah
satu bentuk upaya untuk menciptakan kerja yang aman, sehat dan bebas dari
pencemaran lingkungan, sehingga dapat melindungi dengan bebas dari
kecelakaan kerja dan akhirnya dapat meningkatkan efektivitas dan
produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak menimbulkan kerugian korban,
namun juga materi bagi pekerja dan pengusaha, dan dapat menganggu proses
produksi secara menyeluruh, Penyebab lain yang sering menimbulkan
kecelakaan kerja adalah kurangnya pengetahuan dan kemampuan karyawan
dalam menggunakan peralatan yang berkaitan dengan pekerjaannya. Berbagai
perusahaan telah melakukan pelatihan secara insentif kepada banyak
karyawan dalam menggunakan peralatan dan perlengkapan kerja, namun
tingkat kecelakaan kerja masih tetap tinggi. Berbagai undang-undang dan

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 1
peraturan pemerintah tentang kesehatan dan keselamatan kerja yang di jadikan
sebagai acuan untuk meminimalkan resiko kecelakaan kerja, namun resiko
kecelakaan kerja masih tetap terjadi. Berdasarkan laporan dari biro pelatihan
tenaga kerja, penyebab kecelakaan kerja yang terjadi saat ini adalah akibat
perlakuan tidak aman, seperti tidak mematuhi peraturan, tidak mengikuti
standar prosedur kerja, tidak memakai alat pelindung diri, dan kondisi badan
lemah.
Kecelakaan kerja di proyek konstruksi bisa membuat pekerjaan
berhenti, membuat rendah semangat kerja, sehingga produktifitas menurun.
Kerugian itu juga termasuk kerugian terkait pekerja, biaya kerusakan
peralatan, material terbuang akibat terjadinya kecelakaan tersebut.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan ini adalah untuk :
1. Mengidentifikasi masalah/kasus yang terjadi di lapangan, dikhususkan
mengenai penggunaan alat pelindung diri (APD)
2. Menjelaskan faktor penyebab masalah beserta solusi yang harus diambil
untuk pemecahan masalah tersebut

1.3 Pembatasan Masalah


Dalam penulisan laporan ini, pembatasan masalah yang diambil yaitu :
1. Pembahasan mengenai penerapan tentang keselamatan kerja yang harus
diterapkan dilapangan pada proyek Peningkatan Jalan Bongkudai-
Purworejo dikhususkan pada penerapan penggunaan alat pelindung diri
(APD).

1.4 Metodologi Penelitian


Untuk mencapai tujuan dari penelitian laporan ini, maka metode yang
dilakukan antara lain adalah mengikuti dan memperhatikan proses pekerjaan
dilapangan apakah penerapan keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja
(K3) diterapkan pada proyek Peningkatan Jalan Bongkudai-Purworejo atau

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 2
tidak, serta mempelajari kajian-kajian ilmiah mengenai keamanan, kesehatan
dan keselamatan kerja (K3).

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 3
BAB II

DASAR TEORI

2.1 Pengertian Studi Kasus


Studi kasus berasal dari terjemahan dalam bahasa inggris “a case
study” atau “case studies”. Studi kasus merupakan sebuah penelitian dimana
peneliti menggali suatu fenomena tertentu (kasus) dalam suatu waktu dan
kegiatan serta mengumpulkan informasi secara terinci dan mendalam dengan
menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode tertentu.
Seperti halnya pada tujuan penelitian lain pada umumnya, pada
dasarnya peneliti yang menggunakan metode penelitian studi kasus bertujuan
untuk memahami obyek yang ditelitinya. Meskipun demikian, berbeda dengan
penelitian yang lain, penelitian studi kasus bertujuan secara khusus
menjelaskan dan memahami obyek yang ditelitinya secara khusus sebagai
suatu ‘kasus’. Berkaitan dengan hal tersebut, Yin (2003, 2009) menyatakan
bahwa tujuan penggunaan penelitian studi kasus adalah tidak sekedar untuk
menjelaskan seperti apa obyek yang diteliti, tetapi untuk menjelaskan
bagaimana keberadaan dan mengapa kasus tersebut dapat terjadi. Dengan kata
lain, penelitian studi kasus bukan sekedar menjawab pertanyaan penelitian
tentang ‘apa’ (what) obyek yang diteliti, tetapi lebih menyeluruh dan
komprehensif lagi adalah tentang ‘bagaimana’ (how) dan ‘mengapa’ (why)
obyek tersebut terjadi, terbentuk dan dapat dipandang sebagai suatu kasus.
Sementara itu, strategi atau metode penelitian lain cenderung menjawab
pertanyaan siapa (who), apa (what), dimana (where), berapa (how many) dan
seberapa besar (how much).
2.2 Pengertian Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja diartikan sebagai suatu pemikiran atau upaya untuk
menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah
tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya serta hasil karya

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 4
dan budayanya. Menurut Budiono (2003) keselamatan kerja merupakan ilmu
dan penerapan yang terkait dengan mesin, alat, bahan dan proses kerja guna
menjamin keselamatan tenaga kerja dan seluruh aset produksi agar terhindar
dari kecelakaan kerja atau kerugian lainnya.
Keselamatan kerja merupakan usaha tindakan pengamanan proses
produksi, menjamin agar setiap orang yang berada ditempat kerja senantiasa
dalam kondisi aman. Keselamatan kerja dapat membantu peningkatan
produksi (Suma’mur, 2001:15). Masalah keselamatan kerja merupakan suatu
hal yang penting, karenanya dengan lingkungan kerja yang aman, tenang dan
tentram maka orang yang bekerja akan bersemangat dan dapat bekerja secara
baik sehingga hasil kerjanya memuaskan.
Perlindungan tenaga kerja meliputi berbagai aspek dan salah satunya
yaitu perlindungan keselamatan, perlindungan tersebut bermaksud agar tenaga
kerja secara aman melakukan pekerjaannya sehari-hari untuk meningkatkan
produktivitas. Tenaga kerja harus memperoleh perlindungan dari berbagai soal
disekitarnya dan pada dirinya yang dapat menimpa atau mengganggu dirinya
serta pelaksanaan pekerjaannya.
Keselamatan kerja merupakan rangkaiaan usaha untuk menciptakan
suasana kerja yang aman dan tentram bagi para pekerja yang bekerja di
perusahaan yang bersangkutan (Mangkunegara, 2001:163).
Triyusliyanti (2007:245) menyatakan bahwa “Keselamatan adalah
merujuk pada perlindungan fisik seseorang terhadap cedera yang terkait
dengan pekerjaan“.
Keselamatan kerja sangat penting dalam sebuah instansi terutama pada
bagian yang bersingguangan langsung dengan pekerjaan yang mengandung
resiko tinggi seperti bagian produksi karena berhubungan langsung pada alat-
alat produksi yang mungkin dapat membahayakan keselamatan kerja.
Demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa keselamatan kerja atau
Occupational Safety, dalam istilah sehari-hari sering disebut dengan Safety
saja, secara filosofi diartikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk
menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 5
kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya serta hasil budaya dan
karyanya.
2.3 Faktor-Faktor Keselamatan Kerja
Sesuai dengan pengertian keselamatan kerja yang dikemukakan diatas
maka menurut Syafi’i (2008:36), menyebutkan faktor-faktor dari keselamatan
kerja adalah :
a) Lingkungan kerja secara fisik
1. Penempatan benda atau barang sedemikian rupa sehingga tidak
membahayakan atau mencelakakan orang-orang yang berada ditempat
kerja atau sekitarnya. Penempatan dapat pula dilakukan dengan diberi
tanda, batas-batas dan peringatan yang cukup.
2. Perlindungan para pegawai atau pekerja yang melayani alat-alat kerja
yang dapat menyebabkan kecelakaan, dengan cara memberikan alat
perlindungan yang sesuai dan baik. Perlengkapan perlindungan
misalnya helm pengaman (helm safet), rompi keselamaatan (safety
vest), sepatu keselamatan (safety boots), masker, penutup telinga dan
sebagainya.
3. Penyediaan perlengkapan yang mampu untuk digunakan sebagai alat
pencegahan pertolongan dan perlindungan. Perlengkapan pencegahan
misalnya: pintu/terowongan darurat, pertololongan apabila terjadi
kecelakaan seperti: tabung oksigen, mobil ambulan dan sebagainya.
b) Lingkungan sosial psikologis
Sedangkan jaminan keselamatan kerja secara psikologis dapat dilihat pada
aturan organisasi sepanjang mengenai berbagai jaminan lihat pada aturan
organisasi atas pegawai atau pekerja menurut Syafi’i (2008:36) yang
meliputi :
1. Perlakuan yang adil terhadap semua pegawai atau pekerja tanpa
membedakan agama, suku, kewarganegaraan, turunan dan lingkungan
sosial.

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 6
2. Perawatan atau pemberian asuransi terhadap para pegawai yang
melakukan pekerjaan berbahaya dan beresiko, yang kemungkinan
terjadi kecelakaan kerja sangat besar.
3. Masa depan pegawai terutama dalam keadaan tidak mampu lagi
melakukan pekerjaan akibat suatu kecelakaan, baik fisik maupun
mental.
4. Kepastian kedudukan dalam pekerjaan, hal ini merupakan salah satu
jaminan bahwa orang-orang dalam organisasi itu dilindungi hak dan
kedudukannya oleh peraturan. Faktor pegawai dijamin secara
seimbang dengan kewajibannya.
2.4 Pengertian Kesehatan Kerja
Kesehatan kerja (Occupational health) merupakan bagian dari
kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan semua perkerjaan yang
berhubungan dengan faktor potensial yang mempengaruhi kesehataan pekerja.
Program kesehataan kerja merupakan suatu hal yang penting dan perlu
diperhatikan oleh pihak pengusaha karena dengan adanya program kesehataan
yang baik akan menguntungkan para karyawan secara material, karena
karyawan akan lebih jarang absen, bekerja dengan lingkungan yang lebih
menyenangkan, sehingga secara keseluruhan karyawan akan mampu bekerja
lebih lama.
Mangkunegara (2001:161) menyatakan program kesehatan kerja
menunjukan pada kondisi yang bebas dari gangguan fisik, mental, emosi, atau
rasa sakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Resiko kesehatan
merupakan faktor-faktor dalam lingkungan kerja yang bekerja melebihi priode
waktu yang ditentukan, lingkungan yang dapat membuat stress, emosi atau
gangguan fisik. Sedangkan menurut Suma’mur (2001:161) kesehatan kerja
merupakan spesialisasi ilmu kesehatan beserta prakteknya yang bertujuan agar
pekerja atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya
baik fisik, mental maupun sosial dengan usaha preventif atau kuratif terhadap
gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor pekerjaan dan lingkungan kerja
serta terhadap penyakit umum. Kesehatan kerja diartikan sebagai aturan-

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 7
aturan dan usaha untuk menjaga buruh dari kejadian atau keadaan perburuhan
yang merugikan kesehatan dan kesesuaian dalam seseorang itu melakukan
atau karena ia melakukan pekerjaan dalam satu hubungan kerja
(Padminingsih, 2007:19).
Disimpulkan bahwa kesehatan kerja adalah suatu usaha dan aturan-
aturan untuk menjaga kondisi perburuhan dari kejadian atau keadaan yang
merugikan kesehatan dan kesusilaan baik dalam keadaan yang sempurna fisik,
mental maupun sosial sehingga memungkinkan dapat bekerja secara optimal.
2.5 Dimensi Kesehatan Kerja
Kesehatan memiliki tujuh dimensi dan ketika semua dimensi itu
terpenuhi maka kita dianggap utuh dan lengkap. Berikut adalah masing-
masing dimensi yang berarti bagi pekerja atau karyawan :
1. Sosial Wellness
Maksudnya ini adalah bagaimana seseorang memberikan
kontribusi untuk lingkungan mereka dan karyawan dan bagaimana ia
membangun ruang hidup yang lebih baik dan jaringan sosial. Dimensi
sosial mendorong berkontribusi terhadap lingkungan seseorang dan
karyawan.
2. kerja Wellness
Pengembangan kerja berhubungan dengan sikap seseorang tentang
pekerjaan seseorang dan mengakui kepuasan pribadi dan pengayaan dalam
kehidupan seseorang melalui pekerjaan. Pilihan propesi, kepuasan, ambisi,
karir dan kinerja pribadi merupakan komponen penting dari dimensi ini.
Untuk menjadi occupationally baik, seseorang akhirnya melakukan persis
dengan apa yang mereka ingin lakukan dalam hidup dan merasa nyaman
dengan rencana masa depan mereka.
3. Kesehatan Spiritual
Maksudnya kita mencari makna dan tujuan dalam eksistensi
manusia. Ini berarti seseorang itu religius, tetapi itu lebih baik untuk
merenungkan makna hidup dan menjadi toleran terhadap keyakinan orang
lain daripada untuk menutupi pikiran kita dan menjadi tidak toleran.

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 8
Rohani juga orang mengambil waktu dari hari mereka untuk pertumbuhan
rohani dan belajar mereka memiliki rasa yang jelas tentang benar dan
salah dan mereka bertindak sesuai.
4. Intelektual Wellness
Dimensi ini mengakui kegiatan kreatif dan merangsang mental
seseorang serta memperluas pengetahuan dan keterampilan. Orang
intelektual juga terbuka untuk ide-ide baru, berfikir kritis dan mencari
tantangan baru. Orang-orang ini akan merenggangkan dan menantang
pikiran mereka dengan tujuan intelektual dan kreatif, bukan menjadi puas
diri dan tidak produktif.
5. Kesehatan Emosional
Dimensi ini mencakup kemampuan untuk mengelola perasaan dan
perilaku yang terkait termasuk penilaian realistis kebatasan seseorang,
pengembangan otonomi dan kemampuan untuk mengatasi stres secara
efektif. Emosional baik orang yang memiliki kemampuan untuk
mengekspresikan perasaan bebas dan mengelola perasaan secara efektif.
Mereka juga menyadari dan menerima berbagai perasaan dalam diri
mereka sendiri dan orang lain.
6. Lingkungan Wellness
Dimensi ini mencakup kemampuan untuk mempromosikan
tindakan kesehatan yang meningkatkan standar hidup dan kualitas hidup
dimasyarakat, termasuk hukum dan lembaga yang melindungi lingkungan
fisik. Lingkungan baik adalah menyadari sumber daya alam, menghemat
energi, membeli makanan organik dan produk dan menikmati dan
menghargai menghabiskan waktu dipengaturan alam.
7. Fisik Wellness
Dimensi ini adalah apa yang kita semua lakukan dengan baik
diklub kesehatan kita. Hal ini dipenuhi melalui kombinasi dari latihan
yang baik dan kebiasaan makan, mengambil tindakan pencegahan untuk
perawatan diri dan menerima pemeriksaan kesehatan sesuai sepanjang
hidup kita. Ini juga berarti mengambil tanggung jawab pribadi dan

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 9
perawatan untuk penyakit ringan dan mengetahui ketika perhatian medis
profesional diperluka. Secara fisik baik orang memahami dan menghargai
hubungan antara nutrisi yang sehat. Manfaat fisik terlihat baik dan merasa
hebat paling sering mengarah pada manfaat psikologis ditingkatkan harga
diri, penentuan kontrol diri dan rasa arah.

Kesehatan merujuk pada pengembangan dan aplikasi seperangkat


prinsip-prinsip praktis yang diarahkan kepada pencapaian dan pemeliharaan
unsur psikologis dan pencegahan dari kemungkinan timbulanya penyakit dan
kerusakan mental. Menurut Yusuf (2009) adapun karakteristik pribadi yang
kesehatanya juga dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Fisik, yaitu dapat dijelaskan melalui pengembangannya normal, berfungsi
untuk melakukan tugas-tugasnya, sehat serta tidak sakit-sakitan.
2. Psikis, yaitu respek terhadap diri sendiri dan orang lain, memiliki Insight
dan rasa humor, memiliki respons emosional yang wajar, mampu berfikir
realistik dan objektif, terhindar dari gangguan-gangguan psikologis,
bersifat kreatif dan inovatif, bersifat terbuka dan fleksibel, tidak difensif
dan memiliki perasaan bebas untuk memilih, menyatakan pendapat dan
bertindak.
3. Sosial, yaitu memiliki perasaan empati dan rasa kasih sayang (affection)
terhadap orang lain, serta senang untuk memberikan pertolongan kepada
orang-orang yang memerlukan pertolongan (sikap alturis), mampu
berhubungan dengan orang lain secara sehat, penuh cinta kasih dan
persahabatan dan bersifat toleran dan mau menerima tanpa memandang
kelas sosial, tingkat pendidikan, politik, agama, suku, ras, atau warna kulit.
4. Moral-religius, yaitu beriman kepada Allah, dan taat mengamalkan ajaran-
Nya, jujur, amanah (bertanggung jawab), dan ikhlas dalam beramal

Uraian diatas, menunjukan ciri-ciri mental yang sehat, sedangkan yang


tidak sehat cirinya antara lain perasaan tidak nyaman (inadequacy), perasaan
tidak aman (insecurity), kurang memiliki rasa percaya diri (self-confidence),
kurang memahami diri (self-understanding), kurang mendapat kepuasan

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 10
dalam berhubungan sosial, ketidakmatangan emosi, kepribadiannya
terganggu, mengalami patologi dalam struktur sistem syaraf (schneiders
(1964) dalam Yusuf (2009)).
2.6 Faktor-Faktor Kesehatan Kerja
Menurut Syafi’i (2008:38) adapun faktor-faktor dari kesehatan kerja adalah:
a) Lingkungan kerja secara medis
Sarana dalam hal ini lingkungan kerja secara medis dapat dilihat dari sikap
perusahaan dalam menangani hal-hal sebagai berikut :
1. Kebersihan lingkungan kerja.
2. Suhu udara dan ventilasi ditempat kerja.
3. Sistem pembuangan sampah dan limbah industri.
b) Sarana kesehatan tenaga kerja
Upaya-upaya dari perusahaan untuk meningkatkan kesehatan dari tenaga
kerjanya hal ini dapat di lihat dari :
1. Penyedia air bersih.
2. Sarana olah raga dan kesempatan rekreasi.
3. Sarana kamar mandi dan WC.
4. Pemeliharaan kesehatan tenaga kerja.
c) Sarana pemeliharaan kesehatan kerja
1. Pemeliharaan makanan yang bergizi.
2. Pelayanan kesehatan tenaga kerja.
3. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja.
2.7 Dasar Hukum Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Hukum-hukum keselamatan dan kesehatan kerja terdahulu ditunjukan
untuk memperbaiki kesalahan yang isinya cenderung pesektif yaitu isinya
cenderung menetapkan cara memperbaiki kesalahan dan membatasi lingkup
pekejaan. Hukum keselamatan dan kesehatan keja muncul untuk melindungi
pekerja dari bahaya yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi (Ridley,
2006:2).
Dasar hukum yang terkait dengan pelaksanaan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia (Syafi’i, 2008:46) antar lain :

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 11
a. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan dan kesehatan
kerja.
b. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan.
c. Undang–undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakejaan.
d. Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : Kep-51/Men/1999 Tentang
Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di tempat kerja.
e. Keputusan Menteri Tenaga kerja RI Nomor : Kep-187/Men/1999 Tentang
Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya di tempat kerja.
f. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan.
g. Surat Edaran Dirjen Binawas No. SE.05/BW/1997 tentang Penggunaan
Alat Pelindung Diri.
h. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No : PER. 05/MEN/1996 tentang Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Keja.
i. Keputusan Presiden No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul
Akibat Hubungan Kerja.
j. Keputusan Menteri Kesehatan No. 876/Menkes/SK/IX/VIII/2001 tentang
Pedoman Teknis Analisis Dampak Lingkungan.
k. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1217/Menkes/SK/IX/2001 tentang
Pedoman Penanganan Dampak Radiasi.
l. Keputusan Menteri Kesehatan No. 315/Menkes/SK/III/2003 tentang
Komite Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sektor Kesehatan.
2.8 Faktor-Faktor Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Manajemen keselamtan dan kesehatan kerja perlu adanya standarisasi
dalam pengelolaan dan implementasi dari keselamatan dan kesehatan kerja.
Lestari dan Triyulianti (2007) membagi faktor-faktor keselamatan dan
kesehatan keja menjadi lima faktor. Faktor tersebut antara lain :
1. Pelatihan keselamatan.
2. Publikasi keselamatan.
3. Kontrol lingkungan kerja.
4. Pengawasan dan disiplin.

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 12
5. Peningkatan kesadaran K3.

Peraturan menteri tenaga kerja No. PER.05/MEN/1996 tentang sistem


manajemen keselamatan dan kesehatan kerja memberikan indikator tentang
faktor-faktor yang harus ditaati oleh setiap perusahaan dalam pengelolaan
keselamatan dan kesehatan kerja, diantarana adalah setiap perusahaan yang
memperkerjakan seratus orang dengan tingkat bahaya maka wajib
melaksanakan manajemen K3, perencanaan tempat kerja, komitmen dan
kebijakan keselamatan dan kesehatan keja, perencanaan identifikasi bahaya,
penilaian dan pengendalian resiko, penerapan pelatihan keselamatan,
komunikasi, audit manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dan pelaporan.
Sementara dalam UU No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja
menjelaskan tentang syarat-syarat keselamatan kerja diantaranya adalah
mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik psikologis
maupun fisik, keracunan, infeksi dan penularan, memberi alat pertolongan diri
pada pekerja, menyenggarakan penyegaran udara yang cukup, memperoleh
keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses
kerjanya.
Dalam lingkungan Internasional standar keselamatan dan kesehatan
kerja ditentukan oleh perkumpulan lembaga standarisasi berbagai negara yang
terhimpun menjadi Occuptional Health and Safety Assesment Dalam OHSAS
18001:2007 memberikan enam kriteria manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja yang wajib dilaksanakan perusahaan dengan standar Internasional.
Keenam kriteria tersebut antara lain :

1. Persyaratan umum.
2. Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Perencanaan keselamatan dan kesehatan kerja
a. Identifikasi bahaya, penilaian dan penentuan resiko.
b. Hukum dan persyarat lain.
c. Program dan tujuan.
4. Aplikasi dan operasional

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 13
a. Sumber daya, peran, tanggung jawab, akuntabilitas dan otoritas.
b. Kompetensi, pelatihan dan kesadaran.
c. Dokumentasi.
d. Pengawasan dokumentasi.
e. Pengawasan operasional.
f. Kesiapsiagaan dan tanggap darurat.
5. Pengawasan
a. Pemantauan dan pengukuran kinerja.
b. Evaluasi kepatuhan.
c. Penyelidikkan insiden, tindakan koretif dan tindakan pencegahan.
d. Pengawasan catatan.
e. Internal audit.
6. Tinjauan manajemen.
2.9 Tujuan dari Keselamatan dan Kesehatan kerja
Tujuan yang diharapkan perusahaan dalam keselamatan dan kesehatan
kerja diantaranya adalah mencegah terjadinya penyakit akibat kerja,
meningkatkan derajat kesehatan kerja dengan melakukan promosi kesehatan,
menjaga status kesehatan dan kebugaran pekerja pada kondisi yang optimal,
menciptakan sistem kerja yang aman mulai dari input proses sampai output,
mencegah terjadinya kerugian (loss) baik moril maupun materil akibat
terjadinya accident atau incident.
Melakukan pengendalian terhadap resiko yang ada ditempat kerja
menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat dari bahaya health
hazard, menciptakan interaksi semua sub di perusahaan dalam interaksi yang
sehat dan tidak berdampak terhadap penurunan deajat kesehatan atau adanya
ketidaknyamanan.
Mencegah timbulnya Cummulative Trauma Disorders yang
diakibatkan oleh posisi kerja yang tidak baik, mencegah kerugian akibat
timbulnya cidera maupun kesalahan karena ketidaksesuaian antara pekerja
dengan pekerjaannya dan secara tidak langsung meningkatkan produktivitas
kerja.

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 14
Menurut Mangkunegara (2001), tujuan keselamatan dan kesehatan
kerja adalah sebagai berikut :
a) Setiap karyawan mendapat jaminan kesehatan dan keselamatan kerja baik
secara fisik, sosial dan psikologis.
b) Setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya dan
seefektif mungkin.
c) Semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
d) Adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi
pekerja.
e) Meningkatkan kegairahan, keserasian kerja dan partivasi kerja.
f) Terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau
kondisi kerja.
g) Setiap karyawan merasa aman dan terlindung dalam bekerja.

Maksud dan tujuan perusahaan melaksanakan K3 menurut Silalahi


(1995:125) antara lain :
a) Pemeliharaan kondisi kerja yang aman dan sehat.
b) Taat asas dengan setiap prosedur operasional yang dirancang untuk
mencegah luka atau penyakit.
c) Mematuhi undang – undang pokok K3.

Tujuan keselamatan dan kesehatan kerja menurut Kurniawati (2008:1)


antar lain :
a) Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pekerja
disemua lapangan pekerjaan ketingkat yang setinggi-tingginya baik fisik,
mental maupun kesehatan sosial.
b) Mencegah timbulnya gangguan kesehatan masyarakat pekerja yang
diakibatkan oleh tindakan atau kondisi lingkungan kerjanya.
c) Memberikan perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari
kemungkinan bahaya yang disebabkan oleh faktor-faktor yang
membahaykan kesehatan.

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 15
d) Menepatkan dan memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuan fisik pekerjanya.
2.10 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pendekatan sistem pada manajemen K3 dimulai dengan pertimbangan
tujuan keselamatan, teknik dan peralatan yang digunakan, proses produk dan
perancanaan tempat kerja (Mangkunegara, 2001). Sistem manajemen K3
adalah bagian sistem manajemen secara keseluruahan yang meliputi struktur
organisasi, kegiatan perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur,
proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, pengkajian dan
pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka
pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna tecapainya
lingkungan kerja yang aman, efisien dan produktif (Santoso, 2004).
Tujuan sistem manajemen K3 adalah menciptakan suatu sistem
keselamatan dan kesehatan kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga
kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintrigasi dalam mencegah dan
mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tenaga
kerja yang sehat, aman, efisien dan produktif (Sugeng, 2005).
2.11 Peran Keselamatan dan kesehatan Kerja dalam Perusahaan
Keselamatan dan kesehatan kerja berkontribusi dalam upaya
perlindungan kesehatan pekerja dalam upaya-upaya promosi kesehatan,
pemantauan dan survei kesehatan serta upaya meningkatkan daya tubuh dan
kebugaran pekerja. Menciptakan sistem kerja atau proses kerja yang aman
atau yang mempunyai potensi risiko yang rendah terhadap terjadinya
kecelakaan dan menjaga asset perusahaan dari kemungkinan terjadinya loss.
Nasution (1994:251) Program K3 merupakan salah satu usaha untuk
melindungi pekerja ditempat kerja. Dengan terlindungnya pekerja dari was-
was keselamatan dan kesehatan kerja diharapkan akan dapat meningkatkan
efisiensi perusahaan melalui peningkatan produktivitas pekerja.
Memberikan pertimbangan dan rekomendasi untuk menentukan
performa lingkungan kerja tehadap potensi timbulnya penyakit, gangguan
kesehataan dan ketidaknyamanan di tempat kerja yang diakibatkan adanya

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 16
health hazards. Selain itu juga memberikan ketenangan kepada pekerja dalam
upaya untuk tetap menjaga keselamatan kerja, sehingga pekerja dapat bekerja
secara maksimal karena tidak memiliki ketakutan dalam melakukan segala
aktifitasnya dan ini sangat mempengaruhi kinerja mereka.

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 17
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Identifikasi Masalah


1. Bahaya K3
Definisi bahaya K3 adalah Semua sumber, situasi ataupun aktivitas
yang berpotensi menimbulkan cedera dan atau penyakit akibat kerja
(PAK). Adapun sumber-sumber bahaya K3 yaitu :
 Manusia.
 Mesin.
 Material.
 Metode.
 Lingkungan.

Dari penjelasan diatas masalah yang akan dibahas dikhususkan pada


masalah Manusianya. Manusia merupakan unsur yang paling penting dan
paling menentukan dalam keselamatan dan kesehatan kerja. Banyak contoh
yang membuktikan bahwa terjadinya kecelakaan kerja lebih banyak
diakibatkan oleh kesalahan manusia dibandingkan dengan diakibatkan oleh
faktor di luar manusia seperti peralatan maupun alam. Beberapa persyaratan
yang wajib dipunyai pelaku kegiatan pekerjaan konstruksi agar terjamin
keselamatan dan kesehatan kerja dengan baik seperti:

• Terampil dalam menjalankan pekerjaannya;


• Sehat jasmani dan rohani;
• Tekun;
• Disiplin;
• Mematuhi ketentuan peraturan keselamatan kerja;
• Menggunakan alat pelindung diri yang sesuai bidang tugasnya; dan
• Berkonsentrasi terhadap kegiatan yang sedang dilaksanakan.

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 18
Identifikasi masalah yang terjadi adalah para pekerja maupun
pelaksana dan juga pengawas lapanganya tidak mematuhi ketentuan peraturan
keselamatan kerja yang ada. Dikhususkan pada menerapkanya alat pelindung
diri yang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing dalam melaksanakan
pekerjaan pada saat awal proyek sampai dengan berakhirnya proyek tersebut.

2. Factor Penyebab Masalah


a) Masalah Umum
➢ Adanya perlengkapan keselamatan kerja yang tidak melalui
pengujian laboratorium, sehingga tidak diketahui derajat
perlindungannya atau tidak memenuhi ketentuan keselamatan.
➢ Pekerja merasa tidak nyaman dan kadang-kadang pemakai merasa
terganggu.

Terdapat kemungkinan menimbulkan bahaya baru atas penggunaan


perlengkapan keselamatan kerja
➢ Pengawasan terhadap keharusan penggunaan perlengkapan
keselamatan kerja sangat lemah.
➢ Kewajiban untuk memelihara perlengkapan keselamatan kerja
yang menjadi tanggung jawab perusahaan sering dialihkan kepada
pekerja.
b) Masalah Pemakaian perlengkapan keselamatan kerja secara umum
➢ Pekerja tidak mau memakai perlengkapan keselamatan kerja
dengan alasan:

­ Yang bersangkutan tidak mengerti atas maksud keharusan


pemakaian.

­ Pemakaian perlengkapan keselamatan kerja dirasakan pekerja


tidak nyaman seperti panas, sesak dan tidak memenuhi nilai
keindahan

­ Pekerja merasa terganggu dalam melaksanakan pekerjaan.


­ Jenis perlengkapan keselamatan kerja yang dipakai tidak sesuai
dengan jenis bahaya yang dihadapi.

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 19
­ Tidak dikenakan sanksi terhadap pekerja yang tidak memakai
perlengkapan keselamatan kerja

­ Atasannya juga tidak memakai perlengkapan keselamatan kerja


tanpa dikenakan sanksi.
➢ Perusahaan tidak menyediakan perlengkapan keselamatan kerja
dengan alasan:

­ Perusahaan tidak mengerti adanya ketentuan pemakaian


perlengkapan keselamatan kerja.

­ Rendahnya kesadaran perusahaan atas pentingnya K3 dan


secara sengaja melalaikan kewajibannya untuk menyediakan
perlengkapan keselamatan kerja.

­ Perusahaan merasa sia-sia menyediakan perlengkapan


keselamatan kerja, karena pada akhirnya perlengkapan
keselamatan kerja tidak dipakai oleh pekerja.
➢ Jenis perlengkapan keselamatan kerja yang disediakan oleh
perusahaan tdak sesuai dengan jenis bahaya yang dihadapi pekerja
➢ Perusahaan mengadakan perlengkapan keselamatan kerja hanya
sekedar memenuhi persyaratan formal tanpa mempertimbangkan
kesesuaiannya dengan maksud pemakaiannya.

Gambar 3.1. Proses Pelaksanaan Pengaspalan Para Pekerja Tidak Menggunakan APD
Sumber : https://www.icloud.com/#photos

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 20
Gambar 3.2. Proses Pelaksanaan Pengaspalan Para Pekerja Tidak Menggunakan APD
Sumber : https://www.icloud.com/#photos

Gambar 3.3. Proses Pelaksanaan Pengaspalan Para Pengawas Lapangan Tidak


Menggunakan APD
Sumber : https://www.icloud.com/#photos

3.2 Pemecahan Masalah


• Solusinya

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 21
Dari analisis kasus yang dijelaskan diatas maka solusi yang harus
dilakukan oleh pihak terkait yaitu :
 Perbaiki system manajemen dan perencanaan K3 proyek
 Lengkapi alat pelindung diri pada para pekerja/karyawan yang
disesuaikan dengan kebutuhan proyek
 Mendemonstrasikan dan menjelaskan fungsinya kepada para
pekerja/karyawan tentang pemakaian alat pelindung diri terhadap
pentingnya keselamatan kerja
 Terapkan peraturan mengenai kewajiban menggunakan APD
 Memberikan sanksi kepada pekerja/karyawan yang melanggar
peraturan misalnya pekerja/karyawan yang tidak memakai alat
pelindung diri

Adapun alat-alat pelindung diri tersebut meliputi :

Gambar 3.4. Animasi Alat Pelindung Diri (APD) yang Biasa di Pakai Pada Pekerjaan
Konstruksi
Sumber : https://www.google.com/search- Animasi Alat Pelindung Diri (APD)

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 22
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat di ambil beberapa kesimpulan antara lain :

1. Identifikasi masalah yang terjadi adalah para pekerja maupun pelaksana


dan juga pengawas lapanganya tidak mematuhi ketentuan peraturan
keselamatan kerja yang ada. Dikhususkan pada menerapkanya alat
pelindung diri yang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing dalam
melaksanakan pekerjaan pada saat awal proyek sampai dengan
berakhirnya proyek tersebut.
2. Factor penyebab masalah yang terjadi terbagi atas 2 yaitu, masalah umum
dan masalah pemakaian perlengkapan keselamatan kerja secara umum.
Poin-poin yang membahas tentang kedua factor tersebut berkaitan dengan
pembahasan mengenai alat pelindung diri (APD).
Solusi yang didapatkan dalam pembahasan diatas yaitu harus adanya
kesadaran diri terhadap pentingnya penggunaan APD pada proses
pelaksanaan pekerjaan dilapangan. Baik dari atasan maupun bawahannya
harus menyadari pentingnya peraturan tersebut, untuk meminimalisirkan
resiko yang mungkin terjadi.

ANANTA BELLA TOLINGGI


15 013 015 Page 23

Anda mungkin juga menyukai