RS RK CHARITAS PALEMBANG
BELL’S PALSY
1. Pengertian (Definisi) Penyakit lower motor neuron yang mengenai nervus fasialis (N.VII)
perifer. Etiologi infeksi virus dengan gangguan imunitas.
2. Anamnesis Wajah mencong mendadak secara akut (dalam 48 jam), nyeri leher
atau belakang telinga
3. Pemeriksaan Fisik Paresis N.VII perifer unilateral, gangguan sekresi air mata, gangguan
rasa mengecap, hiperakusis
4. Kriteria Diagnosis Akut onset, paresis N.VII perifer
5. Diagnosis Kerja Bell’s Palsy
6. Diagnosis Banding Otitis media, Guillain Barre syndrome, lesi pontine, tumor, herpes
zoster (Ramsay Hunt), meningitis
7. Pemeriksaan Penunjang EMG untuk menentukan letak lesi
Darah tepi
Foto mastoid, MRI sesuai indikasi
8. Konsultasi THT, Rehabilitasi Medik
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar informed consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana Terapi Medikamentosa (lihat point 11)
Terapi Non Medikamentosa:
Fisioterapi setelah hari ke-4 awitan
11. Terapi Medikamentosa Prednisone 1 mg/kgBB (5hari), diturunkan 2 tab/ hari sampai 10
hari (stadium akut)
Mecobalamin 500 ug (3 kali sehari)
Acyclovir 5x 400mg atau valacyclovir 3x1 gr selama 7 hari
Analgetik bila nyeri, obat tetes mata (untuk mencegah keratitis)
12. Diet Diet bebas
13. Komplikasi Infeksi mata (keratitis, konjungtivitis)
Tics fasialis
14. Edukasi Istirahat yang cukup untuk perbaikan imunitas tubuh.
Tutup mata yang terbuka, supaya tidak iritasi
15. Prognosis 85% sembuh dalam 3 minggu. 15% sembuh dalam 3-6 bulan
16. Tingkat Evidens B (untuk antiviral+prednisone)
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan Budiman R. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006
Sjahrir H, eds. Neurology update 2009
RS RK CHARITAS PALEMBANG
D. Kejang
Fenitoin 200mg oral dilanjutkan 3x100mg/hari
Pada status epileptikus beri diazepam 10mg iv, dapat diulang
2-3 x selang 15 menit.
Jika masih kejang: fenitoin drip dengan dosis inisial 15mg/kg
BB, dengan kecepatan 50mg/menit
E. Terapi simptomatis: analgetik, anti emetik, antipiretik, antibiotika,
anti stress ulcer
F. Perawatan Umum: Oksigenasi yang adekuat, jaga keseimbangan
gas darah, jaga kebersihan kandung kemih, ubah posisi untuk
mencegah dekubitus, pasang selang nasogastrik pada pasien yang
tidak sadar
G. Operasi dekompresi atau evakuasi hematoma sesuai indikasi
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet Kebutuhan energi protein 1.5-2 gr/kgbb/hari, zinc 12 mg/hari.
Gula darah dipertahankan <200 mg/dl.
Kalori 25-30 kalori/hari setelah 3-4 hari nutrisi paroral bisa di
mulai sebanyak 2000-3000 kalori/hari
13. Komplikasi Sindrom pasca-kontusio
Epilepsi (30%-50%)
Sekuele kerusakan hemisfer
Kelumpuhan saraf otak
Gangguan mental dan neuropsikologis
Penyulit :
Perawatan dan konsistensi neurorehabilitasi yang kurang cermat dapat
menimbulkan gejala sisa
14. Edukasi Sesuai derajat cedera otak
15. Prognosis Tergantung SKG dan kerusakan struktural otak.
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan Budiman R. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006
RS RK CHARITAS PALEMBANG
RS RK CHARITAS PALEMBANG
2. Medikamentosa
Berikan metilprednisolon 30 mg/kgBB, i,v perlahan-lahan
selama 15 menit. 45 menit kemudian per infuse 3mg/kgBB
selama 24 jam. Kortikosteroid mencegah peroksidasi lipid
dan peningkatkan sekunder asam arakidonat.
Bila terjadi spastisitas otot
A. Diazepam 3 x 5-10 mg/hari
B. Baklofen 3 x 5 mg hingga 3 x 20 mg/ hari
Bila ada rasa nyeri dapat diberikan
A. Analgetika
B. Antidepresan: amitriptilin 3 x 20 mg/hari
C. Antikonvulsan: gabapentin 3 x 300 mg/hari
Bila terjadi hipertensi akibat gangguan saraf otonom (tensi >
180/100mmHg), pertimbangkan pemberian obat
antihipertensi.
- Operasi
Tindakan operatif dilakukan bila
RS RK CHARITAS PALEMBANG
DEMENSIA ALZHEIMER
F.00
1. Pengertian (Definisi) Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual
progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional,
sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan
aktivitas sehari-hari.
2. Anamnesis Awitan penyakit perlahan-lahan
Perburukan progredif memori (jangka pendek) disertai gangguan
fungsi berbahasa (afasia) dan perubahan perilaku penderita yang
mengakibatkan gangguan aktivitas hidup sehari-hari (ADL)
Bisa didapatkan riwayat keluarga dengan penyakit yang serupa.
Kelainan neurologis lain pada tahap lanjut berupa gangguan
motorik seperti hipertonus, mioklonus, gangguan lenggang jalan
(gait), atau bangkitan (seizure)
Gejala penyerta lain berupa depresi, insomnia, inkontinensia,
delusi, ilusi, halusinasi, pembicaraan katastrofik, gejala
emosional atau fisikal, gangguan seksual, dan penurunan berat
badan
3. Pemeriksaan Fisik Gangguan motorik (tahap lanjut)
4. Kriteria Diagnosis Probable Demensia Alzheimer
Demensia ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinik dan tes
neuropsikologi (algoritma penanganan demensia, MMSE, CDT,
ADL, IADL, FAQ, CDR, NPI, Skala Depresi Geriatrik, Trail
making test A dan B terlampir)
Defisit meliputi dua atau lebih area kognisi terutama perburukan
memori yang disertai gangguan kognisi lain yang progresif
Tidak terdapat gangguan kesadaran
Awitan (onset) antara 40-90 tahun, sering setelah usia 65 tahun
Tidak ditemukan gangguan sistemik atau penyakit otak sebagai
penyebab gangguan memori dan fungsi kognisi yang progresif
tersebut
Possible Demensia Alzheimer
Penyandang sindroma demensia tanpa gangguan neurologis,
psikiatris dan gangguan sistemik lain yang dapat menyebabkan
demensia
Awitan, presentasi atau perjalanan penyakit yang bervariasi
dibanding Demensia Alzheimer klasik.
Pasien demensia dengan komorbiditas (gangguan
sistemik/ganggungan otak sekunder) tetapi bukan sebagai
penyebab demensia.
Non medikamentosa
Untuk mempertahankan fungsi kognisi
Program adaptif dan restrorative yang dirancang individual :
Orientasi realitas
Stimulasi kognisi : memory enchancement program
Reminiscence
Olahraga Gerak Latih Otak
Edukasi pengasuh
Training dan konseling
Intervensi lingkungan
Keamanan dan keselamatan lingkungan rumah
Fasilitasi aktivitas
Terapi cahaya
Pet Therapy
Penanganan ganggungan perilaku
Mendorong untuk melakukan aktivitas keluarga (menyanyi,
ibadah, rekreasi dan lain-lain)
Menghindari tugas yang kompleks
Bersosialisasi
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet Terkait dengan penyakit penyerta lain, seperti hipertensi dll
13. Komplikasi Infeksi saluran kemih dan pernafasan
Gangguan gerak dan jatuh pada tahap lanjut
14. Edukasi Edukasi kepada keluarga, care giver dan pasien
15. Prognosis dubia
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan Budiman R. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006
RS RK CHARITAS PALEMBANG
EPILEPSI
ICD G.40
1. Pengertian (Definisi) Suatu keadaan neurologi yang ditandai oleh bangkitan epilepsi yang
berulang, yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan, bangkitan
epilepsi sendiri adalah suatu manifestasi klinik yang disebabkan oleh
lepasnya muatan listrik abnormal berlebih dan sinkron, dari neuron
yang (terutama) terletak pada korteks serebri. Aktivitas paroksismal
abnormal ini umumnya timbul intermiten dan “self-limited”
Sindroma Epilepsi adalah penyakit epilepsi yang di tandai oleh
sekumpulan gejala yang timbul bersama (termasuk tipe bangkit,
etiologi, anatomi, faktor presipitan usia saat awitan, beratnya
penyakit, siklus harian dan prognosa).
2. Anamnesis 1. Pola/ bentuk bangkitan
2. Lama bangkitan
3. Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
4. Frekuensi bangkitan
5. Factor pencetus
6. Ada/tidak adanya penyakit lain yang di derita sekarang
7. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
8. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan
perkembangan bayi/ anak.
9. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
10. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
3. Pemeriksaan Fisik Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telingan atau sinus, gangguan
kongenital, gangguan neurologik, fokal atau difus, kecanduan alkohol
atau obat terlarang dan kanker.
4. Kriteria Diagnosis Adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk bangkitan epilepsi
berulang (minimum 2 kali) yang di tunjang oleh gambaran
epileptiform pada EEG.
5. Diagnosis Kerja EPILEPSI
6. Diagnosis Banding 1. Bangkitan Psikogenik
2. Gerak Involunter (Tics, headnodding, paraxysmalchoreoathetosis/
dystonia, benign sleep myoclonus, paroxysmal torticolis, startle
response, jitterness, dll)
3. Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA,
narkolepsi, attention deficit)
4. Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi)
5. Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares,
confusion, sindroma psikotik akut)
Radiologi
1. Computed Tomography (CT) Scan kepala dengan kontras, untuk
mengidentifikasi kondisi patologi yang mendasari jika Magnetic
Resonance Imaging (MRI) tidak tersedia.
2. Magnetic Resonance Imaging kepala MRI, pada:
a. Penderita dengan epilepsi berumur <2 tahun atau dewasa.
b. Penderita dengan onset fokal baik dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, maupun EEG (kecuali terdapat bukti yang
jelas adanya epilepsi benign focal)
c. Penderita dengan kejang terus menerus meskipun pada
pengobatan lini pertama.
8. Konsultasi Spesialis Bedah Saraf untuk intractable epilepsy
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
Antikonvulsan Utama:
1. Fenobarnital: dosisi 2-4 mg/kgBB/hari.
2. Phenitoin : 5-8 mg/kgBB/hari.
3. Carbamazepine : 20mg/kgBB/hari.
4. Valproate: 30-80 mg/kgBB?hari
Penghentian OAE:
Dilakukan secara bertahap/perlahan dalam beberapa bulan setelah 2-5
tahun pasien bebas kejang, tergantung dari bangkitan dan sindrom
epilepsi yang di derita pasien.
RS RK CHARITAS PALEMBANG
1. Pengertian (Definisi) Defisi WHO untuk AIDS di Asia Tenggara adalah pasien yang
memenuhi kriteria A dan B dibawah ini:
a. Hasil positif untuk antibodi HIV dari dua kali test yang
menggunakan dua antigen yang berbeda.
b. Salah satu dari kriteria yang di bawah ini:
Berat badan menurun 10% atau lebih yang tidak diketahui
sebabnya.
Diare kronik selama 2 bulan terus menerus atau periodik.
Tuberkolosis milier atau menyebar
Kandidias esophagus yang dapat didiagnosis dengan adanya
kandidiasis mulut yang disertai disfagia/odinofagia.
Gangguan neurologist disertai gangguan aktifitas sehari-hari,
yang tidak diketahui sebabnya.
Sarcoma Kaposii.
Infeksi HIV akan menimbulkan penyakit yang kronik dan progresif
sehingga setelah bertahun-tahun tampaknya mengancam jiwa.
Pengobatan yang tersedia sekarang dapat memperpanjang masa
hidup dan kualitas hidup dengan cara memperlambat penurunan
sistem imun dan mencegah infeksi oportunistik. Terdapat variasi
yang luas dari respon imun terhadap efek patologik HIV. Karena itu
mungkin saja sebagian dari mereka tetap hidup dan sehat dalam
jangka panjang sedangkan sekitar 40-50% dari mereka menjadi
AIDS dalam waktu 10 tahun.
2. Anamnesis Penurunan berat badan, malaise, diare kronik, batuk/sesak nafas,
nyeri kepala, muntah, kejang, kelemahan tungkai/lengan, penurunan
kesadaran.
Riwayat perilaku berisiko, kebiasaan merokok, alkohol, narkoba.
3. Pemeriksaan Fisik Defisit fokal neurologis tergantung letak lesi, dapat berupa paresis,
hipestesi, lesi Nn.craniales, gangguan visus, kaku kuduk.
Bila lesi luas dapat disertai tanda-tanda peningkatan TIK, penurunan
kesadaran, kejang, muntah, sefalgi
4. Kriteria Diagnosis Fase I - Infeksi HIV primer (infeksi HIV akut)
Fase II - Penurunan imunitasi dini (sel CD4>500/ul)
Fase II - Penurunan imunitasi sedang sel (sel CD4 500-200/ul)
Fase IV - Penurunan imunitasi berat (sel CD4<200/ul)
sekali sehari
Stavudine (d4T) 30 mg @12 jam (BB < 60kg)
Zidovudine (ZDV atau AZT) 300 mg @12 jam
Nucleotide RTI
Tenofivir (TDF) 300 mg sekali sehari
Non-nucleoside RTIs
Efavirensz (EFV) 600 mg sekali sehari
Nevirapine (NVP) 200 mg sekali sehari (14 hari)
Kemudian 200mg @ 12 jam
Protease Inhibitors
Indinavir / Ritonavir (IDV/r) 800mg/100mg @ 12 jam
Liponavir / Ritonavir (LPV/r) 400mg/100mg @ 12 jam
Nefinavir (NFV) 1250mg @ 12 jam
Squinavir / Ritonavir (SQV/r) 1000mg/100mg @ 12 jam atau
1600mg/200mg sekali sehari
Ritonavir (RTV/r) capsule 100mg,
Larutan oral 400mg/5 ml
Infeksi Oportunistik :
1. Kandidiasis orofaring nistatin drop 4-5x kumur 500.000U
sampai lesi hilang (10-14 hari), flukonazol oral 1x100mg
2. Kriptokokosis amfoterisin B IV 0,7-1 mg/kgBB/hr dan 5-
fluorositosin oral 100 mg/kgbb/hr selama 2 minggu
3. Toxoplasmosis pirimetamin 200mg/hari pertama, selanjutnya
50-75 mg/hari+leukovorin oral 10-20 mg/hari+sulfadiazin 1000-
1500mg/hari atau
Pirimetamin + leukovorin + klindamisin 4x600 mg
4. Cytomegalovirus gansiklovir IV 2x5mg/kg selama 3-6
minggu, lanjutkan terapi rumatan dengan gansiklovir IV 5
mg/kgbb/hari sekali sehari
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet Jenis diet sesuai dengan keadaan penyakitnya.
13. Komplikasi 1. Drug toxicity
2. AIDP
3. CIDP
4. Mononeuropathy
5. Focal brain lesions
6. Distal Symmetric Polineuropathy
7. Inflammatory demyelinating polyneuropathy
8. Progressive polyradiculopathy
9. Mononeuritis multiplex
10. Spinal cord syndrome / vacuolar myelopathy
14. Edukasi Keluarga yang terkait dan pasangan hidup – konseling psikososial
dan respons emosional, seks aman, ARV, nutrisi dan olahraga
15. Prognosis Angka kekambuhan tinggi
Angka kematian tinggi
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
RS RK CHARITAS PALEMBANG
MENINGITIS TUBERKULOSIS
ICD A.17.0
1. Pengertian (Definisi) Meningitis tuberkolosa adalah reaksi peradangan yang mengenai
selaput otak yang di sebebkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis
2. Anamnesis Didahului oleh gejala prodomal berupa nyeri kepala, anoreksia,
mual/muntah, demam subfebris, disertai dengan perubahan tingkah
laku dan penurunan kesadaran, onset subakut, riwayat penderita TB
atau adanya fokus infeksi sangat mendukung.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Tanda-tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda laseque,
kernig, brudzinski.
2. Kelumpuhan saraf otak dapat sering dijumpai.
3. Hemiparesis, drowsy, kejang
4. Kriteria Diagnosis Lihat Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang
5. Diagnosis Kerja Meningitis Tuberkulosis
6. Diagnosis Banding Meningoensefalitis karena virus
Menginitis bakterial yang pengobatannya tidak sempurna
Menginitis oleh karena infeksi jamur/parasit (Cryptococcus
neoformans atau Toxoplasma gondii), Sarkoid meningitis.
Tekanan selaput yang difus oleh sel ganas, termasuk karsinoma,
limfoma, leukemia, glioma, melanoma, dan meduloblastoma.
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium :
Pemeriksaan LCS: terdapat peningkatan tekanan, Warna jernih
atau xantokhrom, peningkatan protein 150-200 mg/dl, penurunan
glukosa dan klorida, ditemukan pleiositosis, jumlah sel meningkat
biasanya tidak melebihi 300 sel/mm3, hitung jenis MN
predominan dan limfositik.
Pemeriksaan darah rutin, kimia, elektrolit, fungsi hati dan ginjal
Pemerikaan bakteriologis: bakteriologis Ziehl Nielsen (+), sputum
BTA (+).
Pemeriksaan radiologik:
- Foto polos baru
- CT Scan kepala atau MRI dibuat sebelum dilakukan fungsi
lumbal bila dijumpai peninggian tekanan intrakranial.
Pemeriksaan penunjang lain:
- IgG anti TB (untuk mendapatkan antigen bakteri diperiksa
counterimmunoelectrophoresis, radioimmunoassay atau
teknik ELISA)
- PCR
8. Konsultasi Bedah saraf
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana Umum
Terapi kausal: kombinasi Obat Anti Tuberkolosa (OAT).
INH : 1X400 mg/hari, oral
Rifampisin : 1X 600 mg/hari, oral
Pirazinamid : 15-30 mg/kg/hari/, oral
Streptomisin : 15 mg/kg/hari, oral
Etambutol : 15-20mg/ kg/hari, oral
Steroid
Diberikan untuk:
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edema cerebri
Mencegah perlekatan
Mencegah arterisis/ infark otak
Indikasi
Kesadaran menurun
Defisit neurologis fokal
Dosis :
Dexamethasone 10mg bolus intravena, kemudian 4 kali 5 mg
intravena selama 2-3 minggu selanjutnya turunkan perlahan selama 1
bulan.
Di samping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengobatan
dengan deksametason untuk menghambat edema cerebri dan
timbulnya perlengkatan antara arachnoid dan otak
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet Diet tinggi kalori dan protein
13. Komplikasi Hidroseflus, Kelumpuhan saraf cranial, Iskemi dan infark pada otak
dan mielum, epilepsi, SIADH, retardasi mental, dan atrofi nervus
optikus.
14. Edukasi Keluarga mengenai keteraturan minum obat jangka panjang
15. Prognosis - Meningitis tuberkolosis sembuh lambat dan umumnya meninggal
kan sekuele neurologis.
- Bervariasi dari sembuh sempurna, sembuh dengan cacat,
meninggal.
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan Budiman R. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006
Infeksi pada sistem saraf. Kelompok studi Neuroinfeksi.
Airlangga. 2011
RS RK CHARITAS PALEMBANG
MENINGITIS BAKTERIAL
ICD G.00
1. Pengertian (Definisi) Meningitis bakterial (disebut juga meningitis piogenik akut atau
meningitis purulenta) adalah suatu infeksi likuorcerebrospinalis
dengan proses peradangan yang melibatkan piameter, arakhnoid,
ruangan, subarkhnoid dan dapat meluas ke permukaan otak dan
medulla spinalis.
Etiologi: Steptococcus pneumonia, Neisseria menginitides, H.
influenzae, Staphylococci, Listeria monocytogenes, basil gram
negative.
2. Anamnesis Gejala timbul dalam 24 jam setelah onset, dapat juga subakut antara
1-7 hari. Gejala berupa demam tinggi, menggigil, sakit kepala,
fotofobia, mialgia, mual, muntah, kejang, perubahan status mental
sampai penurunan status kesadaran.
3. Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda rangsang meningeal.
Papil edema biasanya tampak beberapa jam setelah onset.
Gejala neurologis fokal berupa gangguan saraf kranialis.
Gejala lain: infeksi ekstrakranial misalnya sinusitis, otitis media,
mastoiditis, pneumonia, infeksi saluran kemih, arthritis (N.
Meningitidis)
4. Kriteria Diagnosis Lihat Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
5. Diagnosis Kerja Meningitis Bakterial
6. Diagnosis Banding Meningitis Virus, Perdarahan Subarachnoid, Meningitis Khemikal,
Meningitis TB, Meningitis Leptospira, Meningoensefalitis fungsal.
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
Lumbal pungsi: mutlak dilakukan bila tidak ada kontraindikasi.
Pemeriksaan LCS: tekanan meningkat >180 mmH2O, pleiositosis
lebih dari 1.000/mm³ dapat sampai 10.000/mm³ terutama PMN,
protein meningkat lebih dari 150mg/dl dapat > 1.000mg/dl,
glukosa menurun < 40% dari GDS. Dapat ditentukan
mikroorganisme dengan pengecatan gram.
Pemeriksaan darah rutin: leukositosis, LED meningkat.
Pemeriksaan kimia darah ( gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati)
dan elektrolit darah.
Radiologis
Foto polos paru
CT-Scan kepala
RS RK CHARITAS PALEMBANG
MIASTENIA GRAVIS
a. Foto dada
b. CT Scan dada
3. Prosedur Lain
a. Tes Wartenberg
b. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
c. Single-Fiber Electromyography
d. Tes Fungsi Tiroid
4. Pemeriksaan dengan Uji Terapi
a. Tes Prostigmin
b. Tes Tensilon (Edrofonium Klorida)
8. Konsultasi Spesialis bedah toraks
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana 1. Medikamentosa Inhibitor Antikolinesterase
Inhibitor AChE dipertimbangkan sebagai terapi dasar MG. Terapi
Kortikosteroid jangka panjang dan obat-obatan imunosupresif juga
diketahui efektif. Agen-agen yang meng-inhibisi AChE,
meningkatkan komsentrasi Ach pada NMJ dan meningkatkan
kesempatan aktivitas AChE increasing the chance of activating the
AChR
Dapat diberikan piridostigmine 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau
neotigmine bromide 15-45 mf per oral tiap 3 jam. Piridostigmin
adalah suatu agen yang beraksi intermediet, lebih disukai digunakan
di klinis daripada neotigmine bromide (prostigmin) yang beraksi
lebih pendek, maupun ambenonim chloride (mytalase) yang beraksi
lebih lama. Terapi kombinasi tidak menunjukan hasil yang
signifikan. Apabila diperlukan, neostigmine metilsulfat dapat
diberikan secara subkutan/intramuskularis), didahului dengan
pemberian atropine 0,5-1,0 mg. neostigmine dapat menginaktifkan
atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera
dihancurkan. Akibatnya aktivitas otot dapat dipulihkan mendekati
normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia
gravis golongn IIA dan IIB.
Efek samping pemberian antikolineterase karena stimilasi
parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salvias
berlebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronchial berlebihan.
Efek samping gatro intestinal (efek samping muskarinik) berupa
kram atau diare dapat diatasi dengn pemberian propantelin bromide
atau atropine. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari
bahwa gejala-gelaja ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang
diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk
mengindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling
mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan
lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek
samping tersebut (Shah, 2011)
2. Terapi Imunomodulator
MG adalah penyakit autoimun, sehingga imunomodulator mulai
3. Pembedahan (Timektomi)
Pada penderita tertentuk perlu dilakukan timektomi, terumata bila
dijumpai timoma. Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas
harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa
hari pasca operasi dan tidak dimanfaatnya pemberitan
antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-
paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
Efikasi timektomi terbukti dalam banyak case report dan small
series, belum secara controlled trial. Namun demikian, terapi ini
menjadi standar terapi dan sebagiknya dilakukan pada seluruh pasien
timoma yang berusia 10-55 tahun atau atau tanpa timoma namun
dengan MG menyeluruh / generalisata (sebagai terapi lini pertama).
Remission rate meningkat seiring dengan waktu : 7 – 10 tahun
setelah pembedahan, mencapai 40% - 60 % pada seluruh kategori
pasien kecuali dengan timoma.
Tidak ada konsesus yang menyatakan salah satu metode operasi
lebih efektif daripada yang lainnya, namun baru-baru ini metode
robotik dengan invasi yang minimal dianggap cukup menjanjikan.
Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA)
mengklasifikasikan teknik-teknik timektomi dari berbagai
laporan/publikasi sebagai berikut :
a. T-1 timektomi teranservikal
Basic
Extended
b. T-2 videoscopic thymectomy
Klasik/VATS (video-assisted thoracic surgery)
VATET (video-assisted thoracoscopic extended
tymectomy)
c. T-3 timektomi trans-sternal
Standard
Extended
d. T-4 timektomi trans-servikal dan trans-sternal
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
RS RK CHARITAS PALEMBANG
1. Pengertian (Definisi) Myelitis Transversa adalah kelainan neurologis yang disebabkan oleh
peradangan di kedua sisi dari satu tingkat, atau segmen, dari sumsum
tulang belakang. Istilah myelitis mengacu pada radang sumsum
tulang belakang; transversal menggambarkan posisi peradangan,
yaitu, di seberang lebar dari sumsum tulang belakang. Serangan
peradangan bisa merusak atau menghancurkan myelin, substansi
lemak yang meliputi isolasi sel serabut saraf. Ini menyebabkan
kerusakan sistem syaraf yang mengganggu impuls antar syaraf-syaraf
di sumsum tulang belakang dan seluruh tubuh.
2. Anamnesis Myelitis transversa dapat bersifat akut (berkembang selama beberapa
jam sampai beberapa hari) atau subakut (berkembang lebih dari 2
minggu hingga 6 minggu). Gejala awal biasanya mencakup lokal
nyeri punggung bawah, tiba-tiba paresthesia (sensasi abnormal
seperti membakar, menggelitik, menusuk atau kesemutan) di kaki,
hilangnya sensorik, dan paraparesis (kelumpuhan parsial kaki).
Paraparesis sering berkembang menjadi paraplegia. Dan
mengakibatkan gangguan genitourinari dan defekasi. Banyak pasien
juga melaporkan kejang otot, perasaan umum tidak nyaman, sakit
kepala, demam, dan kehilangan nafsu makan. Tergantung segmen
tulang belakang yang terlibat, beberapa pasien mungkin juga akan
mengalami masalah pernafasan.
Dari berbagai macam gejala , empat ciri-ciri klasik myelitis
transversa yang muncul :
1) Kelemahan kaki dan tangan
2) Nyeri
3) Perubahan sensorik, dan
4) Disfungsi pencernaan dan kandung kemih
3. Pemeriksaan Fisik Paraparesis atau tetraparesis, tergantung lokasi lesi
Hipestesi atau parestesi setinggi lesi
Retentio urine et alvi
Refleks fisiologis meningkat, refleks patologis positif
4. Kriteria Diagnosis Lihat Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang
5. Diagnosis Kerja Mielitis Transversa Akut
6. Diagnosis Banding Mielopati kompresi medula spinalis baik karena proses neoplasma
medulla spinalis intrinsik maupun ekstrinsik,
Ruptur diskus intervertebralis akut,
Infeksi epidural, dan
Polineuritis pasca infeksi akut (Sindrom Guillain Barre). Dan pada
sindrom Guillain Barre, jenis kelumpuhannya adalah flaksid serta
RS RK CHARITAS PALEMBANG
MIGRAIN
RS RK CHARITAS PALEMBANG
NPB AKUT
Medikamentosa :
- Asetaminofen, ASA, NSAID
- Reklasan otot: esperison, tizanidin, diazepam
Nonmedikamentosa
Edukasi:
- Reassurance
- Kembali aktivitas normal dini dan bertahap
- Mengenal dan menangani Yellow flags (faktor biopsikososial).
- Heat-wrap therapy
Tindakan:
- Injeksi epidural (steroid, tidokain, opioid) pada sindroma
radikauler.
- Terapi diatermic
- Terapi laser
- RSWT
NPB KRONIK
Medikamentosa: antidepresan, antikonvulsan
Nonmedikamentosa:
- Edukasi
- Terapi perilaku
- Intensive exercise therapy
- neurointervensi
11. Terapi Medikamentosa NSAID
Analgesik non opioid
Analgesik opioid
Relaksan otot
Antidepresan
Antikonvulsan
12. Diet Atasi obesitas dengan diet seimbang
13. Komplikasi Terutama pada NPB dengan tanda bahaya (red flags) dan NPB
dengan sindroma radikuler.
14. Edukasi Program latihan dan relaksasi
Menghindari kegemukan
Posisi kerja yang ergonomis
15. Prognosis Bonam
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan Budiman, R. Yoseph. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan
Standar Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1.
November 2013.
Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006
Nyeri punggung bawah. Perdossi Pokdi Nyeri
RS RK CHARITAS PALEMBANG
PENYAKIT PARKISON
ICD G.20
1. Pengertian (Definisi) Penyakit Parkinson adalah kelainan gerak yang kronik dan progresif,
di mana gejalanya berlanjut dan memburuk sepanjang waktu.
Penyebabnya tidak diketahui, dan walaupun sekarang belum ada obat
penyembuhnya, ada beberapa pilihan terapi seperti medikasi dan
pembedahan untuk manajemen gejalanya.
Penyakit Parkinson terjadi ketika sekelompok sel dalam area otak
yang disebut substansia nigra mulai mengalami malfungsi dan
kematian. Sel-sel dalam substansia nigra ini memproduksi zat kimia
yang disebut Dopamin. Dopamin adalah semacam neurotransmitter,
atau pembawa pesan kimia, yang mengirim informasi pada bagian
otak yang mengontrol gerakan dan koordinasi.
Pesan dari otak yang memerintahkan bagaimana dan kapan tubuh
bergerak kemudian dikirim lebih lambat, mengakibatkan kemampuan
seseorang memulai dan mengontrol gerakan seperti pada kondisi
normal.
2. Anamnesis Beberapa gejala yang paling sering muncul pada penyakit Parkinson
adalah:
Tremor pada tangan, lengan kaki, rahang dan wajah
Kekakuan ekstremitas dan tulang belakang (rigiditas)
Bradikinesia atau kelambatan gerak
Ketidakstabilan postural atau gangguan keseimbangan dan
koordinasi.
3. Pemeriksaan Fisik Kaku otot, tremor menyeluruh, kelemahan otot, dan hilangnya refleks
postural. Penderita kesukaran dalam memulai, mempertahankan dan
membentuk aktivitas motorik. Tremor menyeluruh dengan
karakteristik lambat, gerakan membalik (pronasi-supinasi) pada
lengan bawah dan telapak tangan dan gerakan ibu jari terhadap jari-
jari seolah-olah memutar sebuah pil di antara jari-jari. Ekspresi wajah
datar, perubahan gaya berjalan dan sikap tubuh, kehilangan ayunan
tangan norma, ekstremitas kaku dan lemah, pasien berdiri dengan
kepala cenderung ke depan, berjalan dengan gaya seperti didorong,
dengan tanda-tanda depresi
4. Kriteria Diagnosis A. Klinis
Umum:
1. Gejala dimulai satu sisi (himiparkinson)
2. Tremor saat istirahat
3. Tidak didapatkan gejala naurologis lain
4. Tidak dijumpai kelainan laboratorium dan rediologi
5. Perkembangan penyakit lambat
3. Corticobasal degeneration
4. Hutington Disease
5. Primary PAllidal Atrophy
6. Diffuse Levy Body Disease
7. Parkinson sekunder: toxic, infeksi SSP, drug induced, vaskuler.
7. Pemeriksaan Penunjang - Laboratorium: tidak ada
- Radiologis: CT-scan kepala untuk menyingkirkan causa lain
- Patologi anatomi: degenerasi ganglia basalis terutama disubtansia
nigra pars kompakta dan adanya Lewys body.
8. Konsultasi - Bagian rehabilitasi medis
- Bedah saraf
- Psikiater
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana A. Medikamentosa
1) Amantadine
2) Antikholinergik: trihexyphenidil.
3) Dopaminergik: carbidopa dan levodopa, Benzerazide dan
levodopa.
4) Dopamine agonis: Bromokriptin mesilat, pergolide mesilat,
pramipexole.
5) COMT inhibitor: Entacapone, tolcapone
6) MAO-B inhibitor: Selegiline, lazabemide
7) Antioksidan: Glutamat antagonis, alfatocoferol, asam
ascorbat, beta carotene
8) Propanolol
B. Non Medikamentosa
1) Rehabilitasi medis
2) Psikoterapi
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet Bebas
13. Komplikasi Fluktuasi obat (fenomena wearing off-on), Hipotensi postural,
Perubahan tingkah laku : dementia, depresi, sleep disorder, psikosis.
14. Edukasi
15. Prognosis Biasanya berlangsung kronis progresif
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan Budiman, R. Yoseph. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan
Standar Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November
2013.
RS RK CHARITAS PALEMBANG
RABIES
ICD A.82
1. Pengertian (Definisi) Rabies adalah penyakit peradangan akut SSP oleh virus rabies,
bermanifestasi sebagai kelainan neurologi yang umumnya berakhir
dengan kematian.
2. Anamnesis Penderita mempunyai riwayat tergigit, tercakar atau kontak dengan
anjing, kucing atau binatang lainnya yang :
- Positif rabies (hasil pemeriksaan otak hewan tersangka)
- Mati dalam waktu 5-10 hari sejak menggigit ( bukan dibunuh)
- Tak dapat di observasi setelah menggigit (hilang, dibunuh, lari
dan sebagainya).
- Tersangka rabies (hewan berubah sifat, malas makan dan lain-
lain).
Gambaran Klinis :
- Stadium prodormal (2-10 hari) :
Sakit dan rasa kesemutan di sekitar luka gigitan (tanda awal
rabies), sakit kepala, lemah, anoreksia, demam, rasa takut, cemas
dan agitasi.
- Stadium kelainan neurologis (2-7 hari) :
Bentuk spastik : peka terhadap rangsangan ringan, kontraksi
otot faring dan esophagus, kejang, aerofobia, hidrofobia, kaku
kuduk, delirium, semikoma, meninggal 3-5 hari
Bentuk demensia : kepekaan terhadap rangsangan bertambah,
gila mendadak, dapat melakukan tindakan kekerasan, koma,
mati.
Bentuk paralitik (7-10 hari) : Gejala tidak khas, penderitas
meninggal sebelum diagnosis tegak, terdapat monoplegi atau
paraplegi flaksid, gejala bulbar, kematian karena kelumpuhan
otot nafas.
3. Pemeriksaan Fisik Delirium, hipersalivasi, hidrofobia, kejang, aerofobia, gejala bulbar
4. Kriteria Diagnosis Klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Kerja Rabies
6. Diagnosis Banding Intoksikasi obat-obatan
Ensefalitis
Tetanus
Histerikal pseudorabies
Poliomyelitis
8. Konsultasi Anestesi
9. Pengisian form Sebelum di lakukan vaksinasi dengan VAR/ pemberian serum anti
rabie (SAR) terhadap penderita terlebih dahulu diminta persetujuan
dari penderita ataupun keluarga terdekat penderita atas pemberian
vaksinasi/serum/ tersebut dalam hal ini penderita atau keluarga
terdekaat penderita harus menandatangani surat persetujuan
(informed consent) disaksikan oleh dua orang saksi termasuk dokter
atau perawat.
10. Tata laksana Bila sudah timbul gejala prodormal prognosis infaust dalam 3 hari
Terapi hanya bersifat simptomatis dan supportif (Infus dextrose,
anti kejang)
Vaksin antirabies/ serum antirabies : tidak diperlukan
Jenis
N
Indikasi Tindakan VAR+ Boster Keterangan
o
dosis
1 Luka Gigitan 1. Dicuci dengan …. …. Menunda
air sabun penjahitan
(deterjen) 5-10 luka, jika
menit kemudian penjahitan
dibilas dengan diperlukan
air bersih. gunakan anti
2. Alkohol 40-70% serum lokal.
3. Berikan yodium, Bila
betadin solusio diindikasikan
atau senyawa dapat diberikan
ammonium 0.1% Toxoid
4. Penyuntikan Tetanus,
SAR secara antibiotic, anti
infiltrasi inflamasi dan
sekeliling luka. analgetik.
2 Kontak, tetapi …. …. …. ….
tanpa lensi,
kontak tak
langsung, tak
ada kontak
RS RK CHARITAS PALEMBANG
1. Pengertian (Definisi) SGB merupakan suatu polineuropati yang dimediasi oleh faktor
imune dan merupakan salah satu penyebab penting kelumpuhan
neuromuskular akut.
2. Anamnesis Kelemahan kedua tungkai atau lengan yang progresif
Rasa kesemutan, rasa baal pada tungkai atau lengan simetris
Saraf otak lain dapat terkena (muka, menelan)
Nyeri punggung dan tungkai
Dapat terjadi gangguan pernafasan
Puncak defisit dicapai 4 minggu
3. Pemeriksaan Fisik Paraparesis atau tetraparesis, ascending simetris
Parestesi atau hipestesi distal simetris
Reflex: absen atau hiporefleksi
Reflex patologi: -
Disfungsi otonom: takikardi, aritmia, hipotensi postural, hipertensi
dan gejala vasomotor
Gangguan pernafasan, disfagia, disfoni. Dapat terjadi juga gagal
nafas
4. Kriteria Diagnosis Gejala klinis (progresif, simetris, gangguan sensibilitas ringan, saraf
kranial, disfungsi otonom)
Gejala kelainan cairan serebrospinal (peningkatan protein, jumlah sel
<10)
Gambaran elektrodiagnostik (perlambatan konduksi saraf, blok saraf)
RS RK CHARITAS PALEMBANG
STATUS EPILEPTIKUS
ICD G.41.0
1. Pengertian (Definisi) SE adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit, atau
adanya dua bangkitan atau lebih dimana di antara bangkitan-
bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran. SE merupakan
keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan dan terapi
segera guna menghentikan bangkitan (dalam waktu 30 menit).
2. Anamnesis Kejang lebih dari 30 menit
Tidak terdapat pemulihan kesadaran
Riwayat epilepsi sebelumnya, riwayat pemakaian obat-obatan,
riwayat penyakit lain
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fungsi kardiorespirasi, tekanan darah, nadi dan suhu
Pemeriksaan status neurologik GCS, defisit fokal neurologis,
Nn.craniales
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis Kerja Status Epileptikus
6. Diagnosis Banding Narkolepsi dan berbagai gangguan tidur, cataplexy
Psikogenik (non-epileptic attack disorder=NAED)
Tics dan gerakan involunter
Panic attacks
7. Pemeriksaan Penunjang ECG
EEG
Laboratorium : cari etiologi selain epilepsi
CT/MRI kepala
8. Konsultasi Anestesi
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana Status epileptikus merupakan suatu keadaan yang emergensi,
sehingga membutuhkan penatalaksanaan yang cepat dan tepat.
1. Perbaikan fungsi vital.
A. Amankan jalan napas dan lakukan resusitasi jika diperlukan;
pastikan respirasi adekuat, periksa tekanan darah dan irama
jantung, lakukan pemasangan jalur intravena, pipa nasogastrik,
dan kateter dower.
B. Pemeriksaan segea:
a. Tes darah: evaluasi metabolik, level obat antiepilepsi, dan
zat toksik.
b. EKG
C. Monitoring tanda-tanda vital.
2. Terapi medikamentosa
Terapi ini diberikan dengan tujuan untuk menghentikan kejang
RS RK CHARITAS PALEMBANG
STROKE ISKEMIK
ICD G.40
1. Pengertian (Definisi) Stroke adalah suatu keadaan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi
neurologis (defisit neurologik fokal atau global) yang terjadi secara
mendadak, berlangsung lebih 24 jam atau menyebabkan kematian,
yang semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak
karena berkurangnya suplai darah (stroke iskemik) atau pecahnya
pembuluh darah secara spontan (stroke perdarahan)
2. Anamnesis Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat aktivitas/istirahat,
kesadaran baik/terganggu, nyeri kepala/tidak, muntah/tidak, riwayat
hipertensi, DM, jantung, dislipidemi, gangguan koagulasi (faktor
risiko stroke lainnya) lamanya (onset), serangan pertama/ulang.
3. Pemeriksaan Fisik Ada defisit neurologis:
Hemiparesis / defisit sensorik (hipestesi, parestesi)
Gangguan Nn.kraniales
Afasia, disartria, apraksia, alexia, agrafia
Hemianopsia parsial / komplit
Gangguan kesadaran / kebingungan ( confusion )
Diplopia, vertigo, nistagmus, ataksia
4. Kriteria Diagnosis Lihat anamnesis + Pemeriksaan Fisik + CT scan (gold standar)
5. Diagnosis Kerja Stroke Iskemik (Stroke Non Hemoragik, Infark Otak, Penyumbatan)
6. Diagnosis Banding 1. Ensefalopati toksik atau metabolik
2. Kelainan non neurologis/fungsional (contoh: kelainan jiwa)
3. Bangkitan epilepsi yang disertai paresis Todd’s
4. Migrain hemiplegik
5. Lesi struktural intrakranial (hematoma subdural, tumor otak,
AVM)
6. Infeksi ensefalitis, abses otak
7. Trauma kepala
8. Ensefalopati hipertensif
7. Pemeriksaan Penunjang Tergantung gejala dan tanda, usia, kondisi pre dan pasca stroke,
risiko pemeriksaan biaya, kenyamanan pemeriksaan penunjang.
Laboratorium :
- Darah rutin (Hb, Leukosit, Eritrosit, Trombosit, Hematokrit)
- Gula Darah Sewaktu (GDS)
- Fungsi Ginjal (Ureum, Kreatinin dan Asam Urat)
- Fungsi Hati (SGOT dan SGPT)
- Hemostasis (fibrinogen, APTT)
- Profil Lipid (Kolesterol, Trigliserida, HDL, LDL)
Penatalaksanaan Spesifik
RS RK CHARITAS PALEMBANG
RS RK CHARITAS PALEMBANG
TETANUS
ICD A.35
1. Pengertian (Definisi) Penyakit sistem saraf yang perlangsungannya akut dengan
karakteristik spasme tonik persisten dan eksaserbasi singkat.
2. Anamnesis Lihat Kriteria Diagnosis
Riwayat luka pada ekstremitas, luka bakar, luka bekas operasi
Riwayat imunisasi tetanus
3. Pemeriksaan Fisik Lihat Kriteria Diagnosis
4. Kriteria Diagnosis Hipertonik dan spasme otot:
- Trimus, risus sardonikus, otot leher kaku dan nyeri,
opistotonus, dinding perut tegang, anggota gerak spastik
- Kesukaran menelan, asfiksia dan sianosis, nyeri pada otot-otot
di sekitar luka.
Kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu.
Umumnya ada luka.
Retensi urine dan hiperpireksia
Tetanus lokal
5. Diagnosis Kerja TETANUS
6. Diagnosis Banding Kejang karena hipokalsemia
Reaksi distonia
Rabies
Meningitis
Abses retrofaringeal, abses gigi, subluksasi mandibula
Sindrom hiperventilasi / reaksi histeri
Epilepsy/ kejang tonik konik umum
7. Pemeriksaan Penunjang EKG bila ada tanda-tanda gangguan jantung
Foto toraks bila ada tanda-tanda komplikasi paru-paru
8. Konsultasi Dokter gigi, dokter ahli bedah, dokter ahli kebidanan dan kandungan,
dokter ahli THT, dokter ahli anesthesi.
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana Infus dekstrose 5% : RL= 1:1/6 jam, NaCI 0,9%
Kausal:
- Antitoksin tetanus;
a. Serum antitetanus (ATS) diberikan dengan dosis 20.000
IU /i.m. single dose. TES KULIT SEBELUMNYA, ATAU
b. Humam tetanus Immunoglobulin (HTIG). Dosis 500-3.000
IU/I.M. tergantung beratnya penyakit. Diberikan SINGLE
DOSE.
- Antibiotik:
a. Metronidazole 500 mg/8 jam drips i.v
b. Ampicillin dengan dosis 1 gr/ 8jam i.v (TES KULIT
SEBELUMNYA)
Bila alergi terhadap Penisilin dapat diberikan :
- Erythromysin 500 mg/6 jam /oral. ATAU
- Tetracycline 500 mg/6 jam/oral.
- Penangan luka:
Dilakukan cross incision dan irigrasi menggunakan H2O2
RS RK CHARITAS PALEMBANG
TRIGEMINAL NEURALGIA
ICD G50.0
1. Pengertian (Definisi) Suatu keluhan serangan nyeri wajah satu sisi yang berulang,
sesuai dengan daerah distribusi persyarafan salah satu cabang
syaraf trigeminal yang diakibatkan oleh berbagai penyebab
Serangan nyeri paroksismal, tiba-tiba, nyeri tajam, superficial,
seperti ditusuk, tersentrum, terbakar pada wajah atau frontal
(umunya unilateral) beberapa detik sampai <2 menit, berulang,
terbatas pada ≥1 cabang N. trigeminus (N.V).
2. Anamnesis Anamesis pada penderita dengan usia 40 tahun (kecuali pasien
multiple sklerosis) :
Serangan nyeri timbul mendadak, sangat hebat, durasinya pendek
(kurang dari satu menit), dan dirasakan pada satu bagian dari
syaraf trigeminal , misalnya bagian rahang atau sekitar pipi.
Nyeri sering kali terpancing bila suatu daerah tertentu dirangsang
(trigger area atau trigger zone). Trigger zone sering dijumpai di
sekitar cuping, hidung atau sudut mulut. Yang unik dari trigger
zone ini adalah rangsangannya harus berupa sentuhan atau
tekanan pada kulit atau rambut di daerah tersebut. Rangsang
dengan cara lain, misalnya dengan menggunakan panas,
walauipun menyebabkan nyeri pada tempat itu, tidak dapat
memancing terjadinya serangan neuralgi.
Sensasi nyeri kebanyakan dilaporkan seperti kilatan, terasa seperti
kesetrum listrik, atau seperti sewaktu dibor oleh dokter gigi.
Sifat nyeri adalah sangat intens, berlangsung hanya 20-30 sekon
saja, tetapi karena berulang sangat menakutkan pasien.
Waktu istirahat antara serangan paling lama hanya satu menit.
Seluruh rangkaian bisa berlangsung beberapa jam dan tiap
serangan bisadisertai gerak muka unilateral, seperti “tic”.
Setelah suatu periode yang bisa berlangsung beberapa minggu
hingga bulan, nyeri bisa secara spontan menghilang dan timbul
lagi setelah masa istirahat yang bisa berkisar dari beberapa
minggu hingga setahun lebih.
Nyeri hampir selalu unilateral. Ada yang mengatakan sisi kiri
lebih sering terkena dari pada sisi kanan.
Suatu varian neuralgi trigeminal yang dinamakan tic convusif
ditandai dengan kontraksi sesisih dari otot muka yang disertai
nyeri yang hebat. Keadaan ini perlu di dibedakan dengan gerak
otot muka yang bisa menyertai neuralgi biasa, yang dinamakan tic
douloureux. Tics convulsive yang disertai nyeri hebat lebih sering
Terapi Non-medikamentosa:
TENS
Terapi laser
Diatermic
Bedah :
Bila terapi medikamentosa adekuat gagal
Radiofrequency rhizotomy
Percutaneous retrogasserian rhizolisis dengan gliserol
Microvascular decompression
Stereotactic radiosurgery dengan gamma knife
RS RK CHARITAS PALEMBANG
TUMOR INTRAKRANIAL
ICD C.71
1. Pengertian (Definisi) Masa tumor primer atau sekunder dalam rongga intrakranial yang
menimbulkan efek desak ruang akut atau kronis dan gejala fokal
neurologis tergantung dari letak masa tumor tersebut.
2. Anamnesis 1. Gangguan Kesadaran akibat tekanan intrakanial yang meninggi :
Gangguan kesadaran akibat peningkatan intrakranial dapat
berakhir hingga koma
Tekanan intrakranial yang meninggi dapat menyebabkan ruang
tengkorak yang tertutup terdesak dan dapat pula menyebabkan
perdarahan setempat.
Jaringan oak sendiri akan bereaksi dengan menimbulkan
edema, yang berkembang karena penimbunan katabolit di
sekitar jaringan neoplasmatik.
Stasis dapat pula terjadi karena penekanan pada vena dan
disusul dengan terjadi edema
Pada umumnya tumor di fosa cranium posteriorlebih cepat
menimbulkan gejala-gejala yang mencerminkan tekanan
intracranial yang meninggi. Hal ini mungkin disebabkan karena
aliran CSF pada aquaductusyang berpusat di fosa cranium
posterior dapat tersumbat sehingga tekanan dapat meninggi
dengan cepat.
Fenomena peningkatan tekanan intrakranial dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu :
a. Sindroma Unkus atau sindroma kompresi diensefalon ke
lateral.
Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral dari fosa
cranium medial dan biasanya mendesak ke tepi bagian medial
unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke
kolong tepi bebas daun tentorium. Karena desakan itu, bukan
diensefalon yang pertama kali mengalami gangguan melainkan
bagian ventral nervus okulomotoris. Akibatnya, pada awalnya
akan terjadi dilatasi pupil kontralateral, kemudian disusul
dengan gangguan kesadaran. Biasanya setelah ini akan terjadi
herniasi tentorial, yaitu keadaan terjepitnya diensefalon oleh
tentorium. Pupil yang melebar merupakan cerminan terjepitnya
nervus okulomotoris oleh arteri serebeli superior. Pada tahap
berkembangnya paralisis okulomotoris, keadaan akan menurun
secara progresif.
b. Sindroma kompresi sentral rosto-kaudal terhadap batang otak
Pada tahap dini, kompresi rosto-kaudal terhadap batang otak
akan menyebabkan :
- Respirasi yang kurang teratur
- Pupil kedua sisi sempit sekali
- Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke samping kiri
dan kanan
- Gejala UMN pada kedus sisi
Pada Tahap kompresi rosto-kaudal yang lebih berat, akan
terjadi :
- Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah
- Suhu badan mulai meningkat dan cenderung melonjak terus
- Respirasi cepat dan bersuara mendengkur
- Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar dan
tidak bereaksi terhadap sinar cahaya.
c. Herniasi serebelum di foramen magnum
Herniasi ini akan menyebabkan jilatan pada medula oblongata.
Gejala-gejala ganggungan pupil, pernapasan, okuler dan tekanan
darah berikut nadi yang menandakan gangguan pada medula
oblongata, pons ataupun mesensefalon akan terjadi.
3. Tanda-tanda lokalisatorik
a. Tumor di lobus frontalis
Sakit kepala akan muncul pada tahap awal, sedangkan muntah
RS RK CHARITAS PALEMBANG
VERTIGO
1. Pengertian (Definisi) Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau
lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang timbul, terutama dari
jaringan otonomik yang disebabkan oleh gangguan alat
keseimbangan tubuh oleh berbagai keadaan atau penyakit.
Klasifikasi :
Vestibulogenik
a. Primer : motion sickness, Bening Paroxysmal Positional Vertigo,
Meniere disease, Neuronitis Vestibuler, Drug Induced
b. Sekunder : Migrain Vertebrobasiler, Insufisiensi vertebrobasiler,
Neuroma akustik
Nonvestibuler
Gangguan serebellar, hiperventilasi, psikogenik, dll.
2. Anamnesis Bentuk vertigo: melayang, goyang berputar, dan sebagainya.
Keadaan yang memprovokasikan: perubahan posisi kepala dan
tubuh , keletihan ketegangan.
Profil waktu: akut, paroksimal, kronik.
Adanya gangguan pendengaran yang menyertai.
Penggunaan obat-obatan misalnya stretomisin, kanamisin,
salisilat.
Adanya penyakit sistematik seperti anemia, penyakit jantung,
hipertensi, hipotensi, penyakit paru.
Adanya nyeri kepala.
Adanya kelemahan anggota gerak.
3. Pemeriksaan Fisik Umum: keadaan umum, anemia, tekanan daah saat berbaraing dan
tegak, nadi, jantung, paru, abdomen.
Pemeriksaan neurologis umum:
Kesadaran
Syaraf-syaraf otak : visus, kampus, okulomotor, sensori dimuka,
otot wajah, pendengaran, dan menelan.
Pemeriksaan khusus Oto neurologis untuk menentukan lesi sentral
dan perifer :
Fungsi Vestibular/Serebelar :
1. Tes Nylen Barany atau Dix Hallpike
2. Tes Kalori
3. Tes Romberg, Tandem Gait, Post Pointing test, Tes Fukuda,
dll
Fungsi Pendengaran :
1. Tes Garputala
2. Audiometri
Pemeriksaan Nistagmus
4. Kriteria Diagnosis Vertigo merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala subjektif
(symptoms) dan objektif (signs) dari gangguan alat keseimbanagn
tubuh.
Gejala subjektif:
Pusing, rasa kepala ringan
Rasa terapung, terayun
Mual
Gejala objektif:
Keringat dingin
Pucat
Muntah
Sempoyongan waktu berdiri atau berjalan
Nistagmus
3x50mg/hr.
c. Histamik (inhibisi neuron polisinaptik pada N.vestibularis
lateralis): Betahistine (Merislon) 3x8 mg
d. Fenctine (pada komoreseptor trigger zone dan pusat muntah di
M. cblongata): Chlorpromazine (largaktil) 3x 25 m/hr
e. Benzodiazepine 3 x 2-5 mg/hr (diazepam menurunkan resting
activity neuron pada n. vestibularis).
f. Antiepileptic: carbamazepine (tegretot) 3x200 mg/hr, Fenitoin
(dilantin) 3 x 100 mg (bila ada tanda kelainan epilepsy dan
kelaianan EEG).
g. Campuran obat-obatan.
Pengobatan simptomatik otonom (mis. Muntah)
Metoclopramide (Primperan, Raclonid) 3 x 10 mg/hr
h. Terapi rehabilitasi
Latihan visual-vestibular, Metode Brandt-daroff, gay exercise
11. Konsultasi THT dan Unit pelayanan lain yang terkait sesuai indikasi
12. Komplikasi Dehidrasi, Gangguan elektrolit
13. Edukasi Penjelasan diagnosis, rencana tindakan, tata cara pelaksanaan, tujuan
terapi , resiko terapi, komplikasi dan prognosa
14. Prognosis Tergantung penyebab
15. Tingkat Evidens
16. Tingkat
Rekomendasi
17. Penelaah Kritis KSM Saraf
18. Indikator Medis
19. Kepustakaan Budiman, R. Yoseph. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan
Standar Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1.
November 2013.
Pedoman Tata Laksana Vertigo. Perdossi. 2012