Anda di halaman 1dari 71

1

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG
BELL’S PALSY
1. Pengertian (Definisi) Penyakit lower motor neuron yang mengenai nervus fasialis (N.VII)
perifer. Etiologi infeksi virus dengan gangguan imunitas.
2. Anamnesis Wajah mencong mendadak secara akut (dalam 48 jam), nyeri leher
atau belakang telinga
3. Pemeriksaan Fisik Paresis N.VII perifer unilateral, gangguan sekresi air mata, gangguan
rasa mengecap, hiperakusis
4. Kriteria Diagnosis Akut onset, paresis N.VII perifer
5. Diagnosis Kerja Bell’s Palsy
6. Diagnosis Banding Otitis media, Guillain Barre syndrome, lesi pontine, tumor, herpes
zoster (Ramsay Hunt), meningitis
7. Pemeriksaan Penunjang  EMG untuk menentukan letak lesi
 Darah tepi
 Foto mastoid, MRI  sesuai indikasi
8. Konsultasi THT, Rehabilitasi Medik
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar informed consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana Terapi Medikamentosa (lihat point 11)
Terapi Non Medikamentosa:
Fisioterapi setelah hari ke-4 awitan
11. Terapi Medikamentosa  Prednisone 1 mg/kgBB (5hari), diturunkan 2 tab/ hari sampai 10
hari (stadium akut)
 Mecobalamin 500 ug (3 kali sehari)
 Acyclovir 5x 400mg atau valacyclovir 3x1 gr selama 7 hari
 Analgetik bila nyeri, obat tetes mata (untuk mencegah keratitis)
12. Diet Diet bebas
13. Komplikasi Infeksi mata (keratitis, konjungtivitis)
Tics fasialis
14. Edukasi Istirahat yang cukup untuk perbaikan imunitas tubuh.
Tutup mata yang terbuka, supaya tidak iritasi
15. Prognosis 85% sembuh dalam 3 minggu. 15% sembuh dalam 3-6 bulan
16. Tingkat Evidens B (untuk antiviral+prednisone)
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan  Budiman R. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
 Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006
 Sjahrir H, eds. Neurology update 2009

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


2

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

CEDERA KEPALA (CEDERA OTAK)


ICD G.20
1. Pengertian (Definisi) Cedera Otak (CO) adalah cedera yang mengenai kepala dan otak,
baik yang terjadi secara langsung (kerusakan primer/primary effect)
maupun tidak langsung (kerusakan sekunder/secondary effect).
Cedera otak yang terjadi sebagian besar adalah cedera otak tertutup,
akibat kekerasan (rudapaksa), karena kecelakaan lalu lintas, dan
sebagian besar (84%) menjalani terapi konservatif dan sisanya
sebanyak 16% yang membutuhkan tindakan operatif.
2. Anamnesis Benturan pada kepala, nyeri kepala, pusing berputar, muntah,
penurunan kesadaran, kejang, perdarahan THT
3. Pemeriksaan Fisik  Kesadaran (compos mentis, somnolen, sopor, koma)
 Vital Sign (tensi, nadi, respirasi, suhu)
 Status lokalis (jejas, vulnus, laserasi, battle’s sign, racoon eye)
 Status Neurologi (meningeal sign, doll’s eye phenomenon, periksa
saraf motorik, saraf sensorik, saraf kraniales, reflek patologis,
refleks fisiologis)
 GCS (eye, verbal, motorik)
4. Kriteria Diagnosis  Minimal=Simple Head Injury (SHI)
Nilai SKG 15 (normal), kesadaran baik, tidak ada amnesia
 Cedera Otak Ringan
Nilai SKG 14-15, amnesia pasca cedera<24 jam, hilang
kesadaran < 10 menit, disertai gejala lainnya, seperti: mual
muntah, sakit kepala atau vertigo
 Cedera Otak Sedang
nilai SKG 9-13, hilang kesadaran >10 menit, tetapi kurang dari 6
jam, dapat atau tidak ditemukan adanya defisit neurologis,
amnesia pasca cedera selama kurang lebih 7 hari
 Cedera Otak Berat
nilai SKG 5-8, hilang kesadaran > 6 jam, ditemukan defisit
neurologis, amnesia pasca sidera >7 hari
 Kondisi kritis
nilai SKG 3-4, hilang kesadaran > 6 jam, ditemukan defisit
neurologis
5. Diagnosis Kerja Cedera Kepala (cedera otak)
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium :
 Darah Perifer Lengkap
 Gula Darah Sewaktu
 Ureum/Kreatinin

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


3

 Analisa Gas Darah (ASTRUP) atas indikasi


 Elektrolit
Radiologi :
 Foto Kepala Polos, posisi AP/Lat/Tangensial (sesuai indikasi)
 CT Scan kepala (gambaran bisa normal, kontusio, perdarahan,
edema, fraktur tulang kepala)
8. Konsultasi  Bedah saraf/bedah lainnya sesuai indikasi Neuroemergensi
 Neurobehavior
 Neurorestorasi/ neurorehabilitasi
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar informed consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana 1. Minimal / SHI:
- tirah baring, kepala ditingikan sekitar 30 derajat
- istirahat di rumah
- diberi edukasi agar kembali ke RS bila ada tanda sakit kepala
bertambah hebat, muntah, terlihat mengantuk dan sukar
dibangunkan
2. Cedera Otak ringan:
- tirah baring, kepala ditinggikan 30 derajat
- observasi di RS 2 hari
- keluhan hilang  mobilisasi
- simptomatis: anti vertigo, anti emetik, analgetika
- antibiotika atas indikasi
3. Cedera Otak sedang-berat:
A. Resusitasi (tindakan ABC)
 Airway: pembebasan jalan nafas.
 Breathing: oksigenasi, cari faktor penyebab, ventilator jika
perlu.
 Circulation: hentikan perdarahan, perbaikan fungsi jantung,
ganti darah yang hilang, pertahankan TD sistolik>100mmhg.

B. Penatalaksanaan TTIK (Tekanan tinggi intrakranial)


Penyebab: edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial.
Gejala: nyeri kepala, muntah, kejang, penurunan kesadaran.
 Diuretic
 Osmotik (manitol 20%) dosis 0,25-1gr/kgbb: 200cc-150cc-
selang 6 jam, diinfus dalam 20menit , diberikan selama 48-
96 jam.
 Loop diuretic (furosemid) dosis 40mg/hari iv.
 Barbiturat
 Bila terapi di atas tidak respon.
 10mgv/kgbb iv selama ½ jam, dilanjutkan 2-3 mg selama 3
jam, lalu pertahankan 1 mg/kgbb/jam, setelah TIK
terkontrol selama 24-48 jam. Dosis diturunkan selama 3
hari
 Steroid
 Masih kontroversial, tidak dianjurkan, hanya terbukti
untuk tumor otak.
 Posisi tidur

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


4

 Posisi kepala 20◦-30◦.


 Hindarkan posisi fleksi atau laterofleksi agar vena leher
tidak terjepit.
 Suhu tubuh
 Jaga agar suhu <37,5◦C – acetaminofen 3x0,5-1 gr/ hari

C. Keseimbangan cairan dan elektrolit


 Batasi cairan 1500-2000cc/hari
 Dapat menggunakan cairan isotonis NaCI atau RL
 Hindari cairan glukosa.

D. Kejang
 Fenitoin 200mg oral dilanjutkan 3x100mg/hari
 Pada status epileptikus beri diazepam 10mg iv, dapat diulang
2-3 x selang 15 menit.
 Jika masih kejang: fenitoin drip dengan dosis inisial 15mg/kg
BB, dengan kecepatan 50mg/menit
E. Terapi simptomatis: analgetik, anti emetik, antipiretik, antibiotika,
anti stress ulcer
F. Perawatan Umum: Oksigenasi yang adekuat, jaga keseimbangan
gas darah, jaga kebersihan kandung kemih, ubah posisi untuk
mencegah dekubitus, pasang selang nasogastrik pada pasien yang
tidak sadar
G. Operasi dekompresi atau evakuasi hematoma sesuai indikasi
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet  Kebutuhan energi protein 1.5-2 gr/kgbb/hari, zinc 12 mg/hari.
 Gula darah dipertahankan <200 mg/dl.
 Kalori 25-30 kalori/hari setelah 3-4 hari nutrisi paroral bisa di
mulai sebanyak 2000-3000 kalori/hari
13. Komplikasi  Sindrom pasca-kontusio
 Epilepsi (30%-50%)
 Sekuele kerusakan hemisfer
 Kelumpuhan saraf otak
 Gangguan mental dan neuropsikologis
Penyulit :
Perawatan dan konsistensi neurorehabilitasi yang kurang cermat dapat
menimbulkan gejala sisa
14. Edukasi Sesuai derajat cedera otak
15. Prognosis Tergantung SKG dan kerusakan struktural otak.
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan  Budiman R. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
 Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


5

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

CEREBRITIS & ABSES OTAK


ICD G 06.0
1. Pengertian (Definisi)  Penumpukan material piogenik yang terlokalisir di dalam/di
antara parenkim otak.
 Etiologis:
- Bakteri (tersering): Staphylococcus aureus, streptococcus
anaerob, S. beta hemolitikus, S. alfa hemolitikus, E. coli,
Bacteroides
- Jamur: N. asreroids, spesies candida, aspergillus.
- Parasit (jarang): E. Histolitika, cystecircosis, schistosomiasis.
2. Anamnesis Nyeri kepala, mual, muntah, dapat disertai kejang
3. Pemeriksaan Fisik Defisit neurologis fokal  lesi Nn.craniales, gangguan motorik
ataupun kognitif. Tergantung dari letak lesi.
4. Kriteria Diagnosis  Gambaran klinisnya tidak khas, kriteria terdapat tanda infeksi +
TTIK (Tekanan Tinggi Intrakranial) khas bila terdapat trias :
gejala infeksi + TTIK + tanda neurologis fokal
 Darah rutin : 50-60% didapati leukositosis 10.000-20.000/cm2
70-95% LED meningkat
 CT/MRI kontras: terdapat gambaran abses serebri dengan ring
enhancement dan atau efek massa.
5. Diagnosis Kerja Cerebritis dan Abses Otak
6. Diagnosis Banding - Space occupying lesion (SOL) lainnya: metastase tumor,
glioblastoma
- Meningitis
7. Pemeriksaan Penunjang  Darah rutin (leukosit, LED)
 LP: Bila tak ada kontraindikasi untuk kultur dan tes sensitivitas.
 CT-Scan kepala dengan kontras atau MRI kepala dengan kontras
8. Konsultasi Bedah saraf
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana  Prinsipnya menghilangkan focus infeksi dan efek massa.
- Ampisillin 2 gr/6 jam iv (200-400mg/kgBB/hari selama 2
minggu).
- Kloramfenikol 1gr/6jam iv selama 2 minggu.
- Metronidazole 500mg/8 jam iv selama 2 minggu.
 Antiedema: manitol, dexamethasone.
 Operasi bila tindakan konservatif gagal atau abses berdiameter 2
cm.
 Lama perawatan minimal 6 minggu.
11. Terapi Medikamentosa Lihat tata laksana

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


6

12. Diet Tinggi kalori tinggi protein


13. Komplikasi Herniasi, Hidrosefalus obstruktif, Koma
14. Edukasi Hindari mengedan, bed rest elevasi kepala 30-45 derajat
15. Prognosis Sembuh, sembuh + cacat, atau meinggal.
Prognosis: tergantung dari: umur penderita, lokasi abses, dan sifat
absesnya.
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan  Budiman R. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
 Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


7

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

CEDERA MEDULA SPINALIS


ICD G.20
1. Pengertian (Definisi) Cedera Medula Spinalis (CMS) atau cedera spinal adalah cedera pada
tulang belakang yang menyebabkan penekanan medula spinalis
sehingga menimbulkan myelopati dan merupakan keadaan darurat
neurologi yang memerlukan tindakan yang cepat, tepat dan cermat
untuk mengurangi kecacatan.
2. Anamnesis Adanya riwayat trauma. Gangguan motorik dan sensibilitas pada
lengan dan atau tungkai. Gangguan berkemih ataupun BAB.
Cedera Medula Spinalis mempunyai gambaran klinik yang berbeda
tergantung letak dan luas lesi, secara garis besar dapat dibedakan
menjadi 4 kelompok, yaitu :
Sindroma Kausa utama Gejala dan tanda klinis
Hemicord (Brown Cedera tembus, kompresi Gangguan sensorik kontralateral,
Sequard Syndrome) ekstrinsik parese ipsilateral, gangguan
propioseptif ipsilateral, rasa raba
normal
Sindroma Spinalis Infark aspinalis anterior Gangguan sensorik bilateral,
Anterior ‘wetershed’ (T4-T6), propioseptif normal, parese UMN
iskemik akut, HNP dibawah lesi, parese LMN setinggi
lesi, disfungsi spincter
Sindroma Spinalis Syrinyomyelia, Parese LMN pada lenga, parese
Sentral Hypotensive spinal cord tungkai (bervariasi tingkat
ischemic Trauma spinal kelumpuhannya), dan spatistitas,
(fleksi-ekstensi) tumor Nyeri hebat dan hiperpati, gangguan
spinal sensorik pada lengan, disfungsi
sphincter atau retensio urin
Sindroma Spinalis Trauma, Infark a.spinalis Gangguan propioseptif bilateral,
Posterior poterior nyeri dan parestesi pada leher,
punggung dan bokong, parese ringan
3. Pemeriksaan Fisik Parapararesis atau tetraparesis (tergantung letak lesi)
Parestesi atau hipestesi
Retensio urine atau alvi.
Refleks patologis +
4. Kriteria Diagnosis Riwayat trauma
Defisit neurologis
5. Diagnosis Kerja Cedera Medula Spinalis
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium
a. Darah Perifer Lengkap
b. Gula Darah Sewaktu , Ureum dan Kreatinin
 Radiologi
a. Foto vertebra posisi AP/LAT dengan sentrasi sesuai dengan
letak lesi.
b. CT Scan atau MRI jika diperlukan tindakan operasi

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


8

 Neurofisiologi klinik-EMG, NCV, SSEP.


8. Konsultasi A. Bedah syaraf
B. Bedah orthopedi
C. Neurorestorasi/ Neurorehabilitasi
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana 1. Umum
 Jika ada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis
servikalis, segera pasang kerah fiksasi leher, jangan
gerakkan kepala atau leher.
 Jika ada fraktur kulumna vertebralis thorakalis, angkut
pasien dalam keadaan tertelungkup, lakukan fiksasi torakal
(pakai korset)
 Fraktur daerah lumbal, fiksasi dengan korset lumbal.
 Kerusakan medula spinalis dapat menyebabkan tonus
pembuluh darah menurun karena paralisis fungsi sistem
syaraf ortosimpatik dengan akibat menurunnya tekanan
darah.
 Beri infus, bila mungkin plasma atau darah, dextran-40 atau
eskpafusin. Sebaiknya jangan diberi cairan isotonic seperti
NaCI 0,9% atau glukosa 5%. Bila perlu diberikan 0,2 mg
adrenalin s.k boleh diulang 1 jam kemudian. Bila denyut
nadi <44 kali/menit, berikan sulfas atropine 0,25 mg iv.
 Gangguan pernapasan, kalau perlu beri bantuan dengan
respirator atau cara lain. Jaga jalan nafas tetap lapang.
 Jika lesi di atas C-8, termoregulasi tidak ada, mungkin
terjadi hiperhidrosis, usahakan suhu badan tetap normal.
 Jika ada gangguan miksi pasang kondom kateter atau dauer
kateter dan jika ada gangguan defekasi, berikan laksan/
klisma

2. Medikamentosa
 Berikan metilprednisolon 30 mg/kgBB, i,v perlahan-lahan
selama 15 menit. 45 menit kemudian per infuse 3mg/kgBB
selama 24 jam. Kortikosteroid mencegah peroksidasi lipid
dan peningkatkan sekunder asam arakidonat.
 Bila terjadi spastisitas otot
A. Diazepam 3 x 5-10 mg/hari
B. Baklofen 3 x 5 mg hingga 3 x 20 mg/ hari
 Bila ada rasa nyeri dapat diberikan
A. Analgetika
B. Antidepresan: amitriptilin 3 x 20 mg/hari
C. Antikonvulsan: gabapentin 3 x 300 mg/hari
 Bila terjadi hipertensi akibat gangguan saraf otonom (tensi >
180/100mmHg), pertimbangkan pemberian obat
antihipertensi.

- Operasi
Tindakan operatif dilakukan bila

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


9

A. Ada fraktur, pecahan tulang menekan medulla spinalis


B. Gambaran neurologis progresif memburuk
C. Fraktur, dislokasi yang labil
D. Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan
medulla spinalis
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet Tidak terdapat diet khusus
13. Komplikasi Tergantung beratnya dan waktu datang ke rumah sakit (lewat “golden
period”), tidak dapat sembuh sempurna
14. Edukasi
15. Prognosis Prognosis penyembuhan tergantung pada dua faktor yaitu:
1. Beratnya defisit neurologis yang timbul.
2. Lamanya defisit neurologis sebelum dilakukan tindakan
dekompresi CMS merupakan kasus emergensi neurologi dan
perlu mendapat perhatian lebih, oleh karena saku kali medulla
spinalis rusak, sebagian besar fungsinya tidak dapat kembali
normal.
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan  Budiman R. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
 Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


10

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

DEMENSIA ALZHEIMER
F.00
1. Pengertian (Definisi) Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual
progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional,
sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan
aktivitas sehari-hari.
2. Anamnesis  Awitan penyakit perlahan-lahan
 Perburukan progredif memori (jangka pendek) disertai gangguan
fungsi berbahasa (afasia) dan perubahan perilaku penderita yang
mengakibatkan gangguan aktivitas hidup sehari-hari (ADL)
 Bisa didapatkan riwayat keluarga dengan penyakit yang serupa.
 Kelainan neurologis lain pada tahap lanjut berupa gangguan
motorik seperti hipertonus, mioklonus, gangguan lenggang jalan
(gait), atau bangkitan (seizure)
 Gejala penyerta lain berupa depresi, insomnia, inkontinensia,
delusi, ilusi, halusinasi, pembicaraan katastrofik, gejala
emosional atau fisikal, gangguan seksual, dan penurunan berat
badan
3. Pemeriksaan Fisik Gangguan motorik (tahap lanjut)
4. Kriteria Diagnosis Probable Demensia Alzheimer
 Demensia ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinik dan tes
neuropsikologi (algoritma penanganan demensia, MMSE, CDT,
ADL, IADL, FAQ, CDR, NPI, Skala Depresi Geriatrik, Trail
making test A dan B terlampir)
 Defisit meliputi dua atau lebih area kognisi terutama perburukan
memori yang disertai gangguan kognisi lain yang progresif
 Tidak terdapat gangguan kesadaran
 Awitan (onset) antara 40-90 tahun, sering setelah usia 65 tahun
 Tidak ditemukan gangguan sistemik atau penyakit otak sebagai
penyebab gangguan memori dan fungsi kognisi yang progresif
tersebut
Possible Demensia Alzheimer
 Penyandang sindroma demensia tanpa gangguan neurologis,
psikiatris dan gangguan sistemik lain yang dapat menyebabkan
demensia
 Awitan, presentasi atau perjalanan penyakit yang bervariasi
dibanding Demensia Alzheimer klasik.
 Pasien demensia dengan komorbiditas (gangguan
sistemik/ganggungan otak sekunder) tetapi bukan sebagai
penyebab demensia.

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


11

 Dapat dipergunakan untuk keperluan penelitian bila terdapat


suatu defisit kognisi berat, progresif bertahap tanpa penyebab lain
yang teridentifikasi
5. Diagnosis Kerja Demensia Alzheimer
6. Diagnosis Banding  Demensia Vaskuler
 Demensia Lewi body
 Demensia lobus frontal
 Pseudodemensia (depresi)
7. Pemeriksaan Penunjang  Radioimaging :
- CT – Scan : atrofi cerebri terutama daerah temporal dan
parietal
- MRI : atrofi cerebri dan atrofi hipokampus
 Laboratorium :
- Urinalis
- Elelektrolit serum
- Kalsium
- BUN
- Fungsi hati
- Hormon tiroid
- Kadar asam Folat dan Vitamin B 12
- Absorpi antibodi treponemal flouresen neurosifilis dan
pemeriksaan HIV pada pasien resiko tinggi
8. Konsultasi  Bila diagnosa demensia belum tegak/ragu-ragu seperti presentasi
klinik spesifik atau terdapat progresitas yang tidak khas.
 Bila keluarga membutuhkan pendapat kedua.
 Bila tidak ada perbaikan dengan terapi farmokologi spesifik.
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana Medikamentosa
 Simptomatik :
* Penyekat Asetilkolinesterase :
- Donepezil HCI tablet 5mg, 1 x 1 tablet/hari
- Rivastigmin tablet, interval titrasi 1 bulan, mulai dari 2 x 1,5
mg sampai maksimal 2 x 6mg
- Galantamin tablet, interval titrasi 1 bulan mulai dari 2 x 4 mg
sampai maksimal 2 x 16mg
 Ganggungan perilaku :
* Depresi
- Antidepresan golongan SSRI ( pilihan utama) : Sertraline
tablet 1 x 50 mg, Fluoxetine tablet 1 x 20 mg
- Golongan Monoamine Oxidase (MAO) Inhibitors: reversible
MAO-A inhibitor (RIMA) : Moclobemide
* Delusi / halusinasi / agitasi
- Neuroleptik atipikal
- Risperidon tablet : 1 x 0,5 mg – 2 mg/hari
- Olanzapin
- Quetiapin tablet : 2 x 25 mg – 100 mg
- Neuroleptik tipikal
- Haloperidol tablet : 1 x 0,5 mg – 2 mg/hari

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


12

Non medikamentosa
Untuk mempertahankan fungsi kognisi
Program adaptif dan restrorative yang dirancang individual :
 Orientasi realitas
 Stimulasi kognisi : memory enchancement program
 Reminiscence
 Olahraga Gerak Latih Otak
Edukasi pengasuh
 Training dan konseling
Intervensi lingkungan
 Keamanan dan keselamatan lingkungan rumah
 Fasilitasi aktivitas
 Terapi cahaya
 Pet Therapy
Penanganan ganggungan perilaku
 Mendorong untuk melakukan aktivitas keluarga (menyanyi,
ibadah, rekreasi dan lain-lain)
 Menghindari tugas yang kompleks
 Bersosialisasi
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet Terkait dengan penyakit penyerta lain, seperti hipertensi dll
13. Komplikasi  Infeksi saluran kemih dan pernafasan
 Gangguan gerak dan jatuh pada tahap lanjut
14. Edukasi Edukasi kepada keluarga, care giver dan pasien
15. Prognosis dubia
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan  Budiman R. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
 Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


13

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

EPILEPSI
ICD G.40
1. Pengertian (Definisi) Suatu keadaan neurologi yang ditandai oleh bangkitan epilepsi yang
berulang, yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan, bangkitan
epilepsi sendiri adalah suatu manifestasi klinik yang disebabkan oleh
lepasnya muatan listrik abnormal berlebih dan sinkron, dari neuron
yang (terutama) terletak pada korteks serebri. Aktivitas paroksismal
abnormal ini umumnya timbul intermiten dan “self-limited”
Sindroma Epilepsi adalah penyakit epilepsi yang di tandai oleh
sekumpulan gejala yang timbul bersama (termasuk tipe bangkit,
etiologi, anatomi, faktor presipitan usia saat awitan, beratnya
penyakit, siklus harian dan prognosa).
2. Anamnesis 1. Pola/ bentuk bangkitan
2. Lama bangkitan
3. Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
4. Frekuensi bangkitan
5. Factor pencetus
6. Ada/tidak adanya penyakit lain yang di derita sekarang
7. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
8. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan
perkembangan bayi/ anak.
9. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
10. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
3. Pemeriksaan Fisik Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telingan atau sinus, gangguan
kongenital, gangguan neurologik, fokal atau difus, kecanduan alkohol
atau obat terlarang dan kanker.
4. Kriteria Diagnosis Adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk bangkitan epilepsi
berulang (minimum 2 kali) yang di tunjang oleh gambaran
epileptiform pada EEG.
5. Diagnosis Kerja EPILEPSI
6. Diagnosis Banding 1. Bangkitan Psikogenik
2. Gerak Involunter (Tics, headnodding, paraxysmalchoreoathetosis/
dystonia, benign sleep myoclonus, paroxysmal torticolis, startle
response, jitterness, dll)
3. Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA,
narkolepsi, attention deficit)
4. Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi)
5. Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares,
confusion, sindroma psikotik akut)

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


14

6. Ganggusan persepsi(vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen )


7. Keadaan episodik dari penyakit tertentu (tetralogu spells, cardiac
arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi, periodic paralysis,
migren, dll)
7. Pemeriksaan Penunjang Gold standard
EEG iktal.
EEG dengan deprivasi

Laboratorium (atas indikasi):


A. Untuk penapisan dini metabolik:
1. Kadar glukosa darah.
2. Pemeriksaan elektroit termasuk kalsium dan magnesium
Atas indikasi:
a. Penepisan dini racun/toksin
b. Pemeriksaan serologis
c. Kadar vitamin dam nutrient lainnya
Perlu diperiksa pada sindroma tertentu:
a. Asam Amino
b. Asam Organik
c. NH3
d. Enzim lysosomal
e. Serum laktat
f. Serum piruvat
B. Pada kecugigaan infeksi SSP akut
Lumbal Fungsi

Radiologi
1. Computed Tomography (CT) Scan kepala dengan kontras, untuk
mengidentifikasi kondisi patologi yang mendasari jika Magnetic
Resonance Imaging (MRI) tidak tersedia.
2. Magnetic Resonance Imaging kepala MRI, pada:
a. Penderita dengan epilepsi berumur <2 tahun atau dewasa.
b. Penderita dengan onset fokal baik dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, maupun EEG (kecuali terdapat bukti yang
jelas adanya epilepsi benign focal)
c. Penderita dengan kejang terus menerus meskipun pada
pengobatan lini pertama.
8. Konsultasi Spesialis Bedah Saraf untuk intractable epilepsy
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


15

10. Tata laksana Medikamentosa


Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk
bangkitan dan sindrom epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan
kemudahan pemakaiannya. Penggunaan terapi tunggal dan dosis
tunggal menjadi pilihan utama. Kepatuhan paasien juga ditentukan
oleh harga dan efek samping OAE yang timbul.
OAE mulai diberikan bila :
 Diagnosis epilepsi sudah dipastikan.
 Terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun.
 Setelah pasien dan/atau keluarganya menerima penjelasan tentang
tujuan pengobatan.
 Pasien dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang
kemungkinan efek samping.

Antikonvulsan Utama:
1. Fenobarnital: dosisi 2-4 mg/kgBB/hari.
2. Phenitoin : 5-8 mg/kgBB/hari.
3. Carbamazepine : 20mg/kgBB/hari.
4. Valproate: 30-80 mg/kgBB?hari

Keputusan memberikan pengobatan setelah bangkitan pertama dibagi


dalam 3 kategori:
1. Definitely treat (pengobatan perlu dilakukan segera)
Bila terdapat lesi struktural, seperti:
a. Tumor Otak
b. AVM
c. Infeksi: seperti abses, ensefalitis herpes
Tanpa lesi Struktural :
a. Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan
orang tua).
b. EEG dengan gambaran epileptik yang jelas.
c. Riwayat bangkitan simpomatik.
d. Riwayat trauma kepala, stroke infeksi SSP.
e. Status epilepstikus pada awitan kejang.
2. Possibly treat (kemungkinan harus di lakukan pengobatan).
Pada bangkitan yang tidak diprovokasi atau tanpa disertai faktor
resiko di atas.
3. Probably not treat (walupun pengobatan jangka panjang mungkin
diperlukan):
a. Kecanduan alkohol
b. Ketergantungan obat-obatan
c. Bangkitan dengan penyakit akut ( demam tinggi, dehidrasi,
hipoglikemia)
d. Bangkitan segera setelah benturan dikepala.
e. Sindroma epilepsi spesifik yang ringan, seperti kejang ringan.
f. Bangkitan yang diprovokasi oleh kurang tidur.

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


16

Pemilihan OAE berdasarkan tipe bangkitan Epilepsi :


TIPE OAE LINI
OAE LINI KEDUA
BANGKITAN PERTAMA
Bangkitan parsial Fenitoin, karbamasepin, Acetazolamide, clobazam,
(sederhana atau asam valproat clonazepam, ethosiximide,
kompleks) felbamate, gabapentin, lamotrigine,
levetiracetam, oxcarbazepine,
tiagabin, topiramate, vigabatrin,
phenobartibital, pirimidone.
Bangkitan umum Karbamasepin, phenitoin, Acetazolamide, clobazam,
sekunder asam valproat clonazepam, ethosiximide,
felbamate, gabapentin, lamotrigine,
levetiracetam, oxcarbazepine,
tiagabin, topiramate, vigabatrin,
phenobartibital, pirimidone
Bangkitan umum Karbamazepin, phenytoin, Acetazolamide, clobazam,
tonik klonik asam valproat, clonazepam, ethosiximide,
Phenobarbital felbamate, gabapentin, lamotrigine,
levetiracetam, oxcarbazepine,
tiagabin, topiramate, vigabatrin,
pirimidone
Bangkitan lena Asam valporoat Acetazolamide, clobazam,
(absence) clonazepam, lamotrigine, ,
phenobartibital, pirimidone
Bangkitan mioklonik Asam valporoat clobazam, clonazepam,
ethosiximide, lamotrigine,
phenobartibital, pirimidone,
piracetam

Penghentian OAE:
Dilakukan secara bertahap/perlahan dalam beberapa bulan setelah 2-5
tahun pasien bebas kejang, tergantung dari bangkitan dan sindrom
epilepsi yang di derita pasien.

11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana


12. Diet
13. Komplikasi Trauma akibat serangan kejang
14. Edukasi Menghindari faktor pencetus, meminum obat dengan dosis dan cara
yang benar
15. Prognosis Bonam
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan  Budiman R. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
 Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


17

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

HIV-AIDS (SUSUNAN SARAF PUSAT)

1. Pengertian (Definisi) Defisi WHO untuk AIDS di Asia Tenggara adalah pasien yang
memenuhi kriteria A dan B dibawah ini:
a. Hasil positif untuk antibodi HIV dari dua kali test yang
menggunakan dua antigen yang berbeda.
b. Salah satu dari kriteria yang di bawah ini:
 Berat badan menurun 10% atau lebih yang tidak diketahui
sebabnya.
 Diare kronik selama 2 bulan terus menerus atau periodik.
 Tuberkolosis milier atau menyebar
 Kandidias esophagus yang dapat didiagnosis dengan adanya
kandidiasis mulut yang disertai disfagia/odinofagia.
 Gangguan neurologist disertai gangguan aktifitas sehari-hari,
yang tidak diketahui sebabnya.
 Sarcoma Kaposii.
Infeksi HIV akan menimbulkan penyakit yang kronik dan progresif
sehingga setelah bertahun-tahun tampaknya mengancam jiwa.
Pengobatan yang tersedia sekarang dapat memperpanjang masa
hidup dan kualitas hidup dengan cara memperlambat penurunan
sistem imun dan mencegah infeksi oportunistik. Terdapat variasi
yang luas dari respon imun terhadap efek patologik HIV. Karena itu
mungkin saja sebagian dari mereka tetap hidup dan sehat dalam
jangka panjang sedangkan sekitar 40-50% dari mereka menjadi
AIDS dalam waktu 10 tahun.
2. Anamnesis Penurunan berat badan, malaise, diare kronik, batuk/sesak nafas,
nyeri kepala, muntah, kejang, kelemahan tungkai/lengan, penurunan
kesadaran.
Riwayat perilaku berisiko, kebiasaan merokok, alkohol, narkoba.
3. Pemeriksaan Fisik Defisit fokal neurologis tergantung letak lesi, dapat berupa paresis,
hipestesi, lesi Nn.craniales, gangguan visus, kaku kuduk.
Bila lesi luas dapat disertai tanda-tanda peningkatan TIK, penurunan
kesadaran, kejang, muntah, sefalgi
4. Kriteria Diagnosis  Fase I - Infeksi HIV primer (infeksi HIV akut)
 Fase II - Penurunan imunitasi dini (sel CD4>500/ul)
 Fase II - Penurunan imunitasi sedang sel (sel CD4 500-200/ul)
 Fase IV - Penurunan imunitasi berat (sel CD4<200/ul)

Kriteria diagnosis presumtif untuk indikator AIDS:


1. Kandidiasis Esofagus: nyeri reterosternal saat menelan dan bercak

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


18

putih di atas dasar kemerahan.


2. Retinitis virus sitomegalo
3. Mikobakteriosis
4. Sarcoma Kaposi: bercak merah atau ungu pada kulit atau selaput
mukosa.
5. Pneumonia pneumosistis karnii: riwayat sesak napas/batuk non
produktif dalam 3 bulan terakhir
6. Toksoplasmosis otak, ensefalitis, meningitis, CNS limfoma.
5. Diagnosis Kerja HIV-AIDS (SUSUNAN SARAF PUSAT)
6. Diagnosis Banding  Massa intrakranial
 Meningitis TB
 Ensefalitis virus
 Demensia karena penyebab lain
7. Pemeriksaan Penunjang  Enzym-linked immunosorbent assay (ELISA)
 Western Blot Analysis
 Biakan darah, urin dan sifilis.
 Antigen/antibody HIV
 Lymphosit cell CD 4 dan CD 8
 Viral Load
 Serologi sifilis, antigen kriptokokus
 Ig Toxoplasma, HSV, sitomegalovirus, rubella
 Lumbal Pungsi
 Brain CT Scan, MRI dengan kontras
 Memory test
 Roentgen thorax
 Mikroskopis dan biakan dahak, serta pharynx swab
8. Konsultasi Pokja HIV-AIDS RS Setempat, klinik VCT, Sp Penyakit dalam
terkait, Sp Paru, Sp Bedah saraf
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar informed consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana Terapi :
Antiretroviral (rekomendasi WHO 2004)
ARV first line:
 d4T/3TC/NVP ( Stavudin/lamifudin/Neviapin)
 d4T/3TC/ELV ( Stavudin/lamifudin/Neviapin)
 AZT/3TC/NVP (Zidovudin/Lamifudin/Neviapin)
 AZT/3TC/ELV (Zidovudin/Lamifudin/Neviapin)

Dosis anti retroviral untuk ODHA dewasa (pedoman Nasional


2004)

Gol/Nama Obat Dosis


Nucleoside RTI
Abacavir (ABC) 300 mg setiap 12 jam
Didanoside 400 mg sekali sehari
250 mg @12 jam (BB < 60kg)
atau 250 mg sekali sehari bila diberi
bersama TDF
Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 mg

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


19

sekali sehari
Stavudine (d4T) 30 mg @12 jam (BB < 60kg)
Zidovudine (ZDV atau AZT) 300 mg @12 jam
Nucleotide RTI
Tenofivir (TDF) 300 mg sekali sehari
Non-nucleoside RTIs
Efavirensz (EFV) 600 mg sekali sehari
Nevirapine (NVP) 200 mg sekali sehari (14 hari)
Kemudian 200mg @ 12 jam
Protease Inhibitors
Indinavir / Ritonavir (IDV/r) 800mg/100mg @ 12 jam
Liponavir / Ritonavir (LPV/r) 400mg/100mg @ 12 jam
Nefinavir (NFV) 1250mg @ 12 jam
Squinavir / Ritonavir (SQV/r) 1000mg/100mg @ 12 jam atau
1600mg/200mg sekali sehari
Ritonavir (RTV/r) capsule 100mg,
Larutan oral 400mg/5 ml
Infeksi Oportunistik :
1. Kandidiasis orofaring  nistatin drop 4-5x kumur 500.000U
sampai lesi hilang (10-14 hari), flukonazol oral 1x100mg
2. Kriptokokosis  amfoterisin B IV 0,7-1 mg/kgBB/hr dan 5-
fluorositosin oral 100 mg/kgbb/hr selama 2 minggu
3. Toxoplasmosis  pirimetamin 200mg/hari pertama, selanjutnya
50-75 mg/hari+leukovorin oral 10-20 mg/hari+sulfadiazin 1000-
1500mg/hari atau
Pirimetamin + leukovorin + klindamisin 4x600 mg
4. Cytomegalovirus  gansiklovir IV 2x5mg/kg selama 3-6
minggu, lanjutkan terapi rumatan dengan gansiklovir IV 5
mg/kgbb/hari sekali sehari
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet Jenis diet sesuai dengan keadaan penyakitnya.
13. Komplikasi 1. Drug toxicity
2. AIDP
3. CIDP
4. Mononeuropathy
5. Focal brain lesions
6. Distal Symmetric Polineuropathy
7. Inflammatory demyelinating polyneuropathy
8. Progressive polyradiculopathy
9. Mononeuritis multiplex
10. Spinal cord syndrome / vacuolar myelopathy
14. Edukasi Keluarga yang terkait dan pasangan hidup – konseling psikososial
dan respons emosional, seks aman, ARV, nutrisi dan olahraga
15. Prognosis Angka kekambuhan tinggi
Angka kematian tinggi
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


20

20. Kepustakaan  Budiman R. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar


Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
 Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006
 Infeksi Oportunistik pada AIDS. Pokdisus AIDS FK UI. 2005

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


21

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

MENINGITIS TUBERKULOSIS
ICD A.17.0
1. Pengertian (Definisi) Meningitis tuberkolosa adalah reaksi peradangan yang mengenai
selaput otak yang di sebebkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis
2. Anamnesis Didahului oleh gejala prodomal berupa nyeri kepala, anoreksia,
mual/muntah, demam subfebris, disertai dengan perubahan tingkah
laku dan penurunan kesadaran, onset subakut, riwayat penderita TB
atau adanya fokus infeksi sangat mendukung.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Tanda-tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda laseque,
kernig, brudzinski.
2. Kelumpuhan saraf otak dapat sering dijumpai.
3. Hemiparesis, drowsy, kejang
4. Kriteria Diagnosis Lihat Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang
5. Diagnosis Kerja Meningitis Tuberkulosis
6. Diagnosis Banding  Meningoensefalitis karena virus
 Menginitis bakterial yang pengobatannya tidak sempurna
 Menginitis oleh karena infeksi jamur/parasit (Cryptococcus
neoformans atau Toxoplasma gondii), Sarkoid meningitis.
 Tekanan selaput yang difus oleh sel ganas, termasuk karsinoma,
limfoma, leukemia, glioma, melanoma, dan meduloblastoma.
7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan laboratorium :
 Pemeriksaan LCS: terdapat peningkatan tekanan, Warna jernih
atau xantokhrom, peningkatan protein 150-200 mg/dl, penurunan
glukosa dan klorida, ditemukan pleiositosis, jumlah sel meningkat
biasanya tidak melebihi 300 sel/mm3, hitung jenis MN
predominan dan limfositik.
 Pemeriksaan darah rutin, kimia, elektrolit, fungsi hati dan ginjal
 Pemerikaan bakteriologis: bakteriologis Ziehl Nielsen (+), sputum
BTA (+).
 Pemeriksaan radiologik:
- Foto polos baru
- CT Scan kepala atau MRI dibuat sebelum dilakukan fungsi
lumbal bila dijumpai peninggian tekanan intrakranial.
 Pemeriksaan penunjang lain:
- IgG anti TB (untuk mendapatkan antigen bakteri diperiksa
counterimmunoelectrophoresis, radioimmunoassay atau
teknik ELISA)
- PCR
8. Konsultasi Bedah saraf

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


22

9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana  Umum
 Terapi kausal: kombinasi Obat Anti Tuberkolosa (OAT).
 INH : 1X400 mg/hari, oral
 Rifampisin : 1X 600 mg/hari, oral
 Pirazinamid : 15-30 mg/kg/hari/, oral
 Streptomisin : 15 mg/kg/hari, oral
 Etambutol : 15-20mg/ kg/hari, oral
 Steroid
Diberikan untuk:
 Menghambat reaksi inflamasi
 Mencegah komplikasi infeksi
 Menurunkan edema cerebri
 Mencegah perlekatan
 Mencegah arterisis/ infark otak
Indikasi
 Kesadaran menurun
 Defisit neurologis fokal
Dosis :
Dexamethasone 10mg bolus intravena, kemudian 4 kali 5 mg
intravena selama 2-3 minggu selanjutnya turunkan perlahan selama 1
bulan.
Di samping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengobatan
dengan deksametason untuk menghambat edema cerebri dan
timbulnya perlengkatan antara arachnoid dan otak
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet Diet tinggi kalori dan protein
13. Komplikasi Hidroseflus, Kelumpuhan saraf cranial, Iskemi dan infark pada otak
dan mielum, epilepsi, SIADH, retardasi mental, dan atrofi nervus
optikus.
14. Edukasi Keluarga mengenai keteraturan minum obat jangka panjang
15. Prognosis - Meningitis tuberkolosis sembuh lambat dan umumnya meninggal
kan sekuele neurologis.
- Bervariasi dari sembuh sempurna, sembuh dengan cacat,
meninggal.
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan  Budiman R. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
 Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006
 Infeksi pada sistem saraf. Kelompok studi Neuroinfeksi.
Airlangga. 2011

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


23

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

MENINGITIS BAKTERIAL
ICD G.00
1. Pengertian (Definisi)  Meningitis bakterial (disebut juga meningitis piogenik akut atau
meningitis purulenta) adalah suatu infeksi likuorcerebrospinalis
dengan proses peradangan yang melibatkan piameter, arakhnoid,
ruangan, subarkhnoid dan dapat meluas ke permukaan otak dan
medulla spinalis.
 Etiologi: Steptococcus pneumonia, Neisseria menginitides, H.
influenzae, Staphylococci, Listeria monocytogenes, basil gram
negative.
2. Anamnesis Gejala timbul dalam 24 jam setelah onset, dapat juga subakut antara
1-7 hari. Gejala berupa demam tinggi, menggigil, sakit kepala,
fotofobia, mialgia, mual, muntah, kejang, perubahan status mental
sampai penurunan status kesadaran.
3. Pemeriksaan Fisik  Tanda-tanda rangsang meningeal.
 Papil edema biasanya tampak beberapa jam setelah onset.
 Gejala neurologis fokal berupa gangguan saraf kranialis.
 Gejala lain: infeksi ekstrakranial misalnya sinusitis, otitis media,
mastoiditis, pneumonia, infeksi saluran kemih, arthritis (N.
Meningitidis)
4. Kriteria Diagnosis Lihat Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
5. Diagnosis Kerja Meningitis Bakterial
6. Diagnosis Banding Meningitis Virus, Perdarahan Subarachnoid, Meningitis Khemikal,
Meningitis TB, Meningitis Leptospira, Meningoensefalitis fungsal.
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
 Lumbal pungsi: mutlak dilakukan bila tidak ada kontraindikasi.
 Pemeriksaan LCS: tekanan meningkat >180 mmH2O, pleiositosis
lebih dari 1.000/mm³ dapat sampai 10.000/mm³ terutama PMN,
protein meningkat lebih dari 150mg/dl dapat > 1.000mg/dl,
glukosa menurun < 40% dari GDS. Dapat ditentukan
mikroorganisme dengan pengecatan gram.
 Pemeriksaan darah rutin: leukositosis, LED meningkat.
 Pemeriksaan kimia darah ( gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati)
dan elektrolit darah.

Radiologis
 Foto polos paru
 CT-Scan kepala

Pemeriksaan penunjang lain:

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


24

Bila hasil analisis likuor cerebrospinalis mendukung, tetapi pada


pengecatan gram negatif maka untuk menentukan bakteri penyebab
dapat dipertimbangkan pemeriksaan antigen bakteri spesifik seperti C
Reactive protein atau PCR ( Polymeras Chain Reaction)
8. Konsultasi Bedah Saraf
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana  Perawatan umum
 Kausal: lama pemberian 10-14 hari
USIA Bakteri Penyebab Antibiotika
≤50 tahun S. pnemumoniae  Cefotaxime 2gr/6 jam max 12 g/ hari
N. meningitis atau Cefriaxone 2gr/ 4 jam/ IV
L. monocytogenes (200mg/kg BB/IV/ hari)
 Chloramphenicol 1gr/ 6 jam =
Trimetoprim/ sulfametoxazole 20
mg/ kg BB/ hari
 Bila prevarensi S. Pneumoniae
resisten cephalosporin ≥2%
diberikan: Cefotaxime/ ceftriaxone+
vancomycin 1gr/ 12 jam/ IV
(max.3gr/ hari)
≥50 tahun S. pnemumoniae - Cefotaxime 2gr/6 jam max 12 g/ hari
N. influenza atau Cefriaxone 2gr/ 4 jam/ IV
Spesies listeria (200mg/kg BB/IV/ hari)
Pseudomonas - Bila prevarensi S. Pneumoniae
aeroginosa resisten cephalosporin ≥2%
N. Meningitis diberikan: Cefotaxime/ cetriaxone+
vancomycin 1gr/ 12 jam/ IV
(max.3gr/ hari)
- Ceftadizime 2gr/8jam/IV
Bila bakteri penyebab tidak dapat diketahui, maka terapi antibiotik
empiris sesuai dengan kelompok umur, harus segera di mulai
 Terapi tambahan: dianjurkan hanya pada penderita risiko tinggi,
penderita dengan status mental sangat terganggu, edema otak atau
TIK meninggi yaitu dengan dexamethasone 0,15
mg/kgBB/6jam/IV selama 4 hari dan diberikan 20 menit sebelum
pemberian antibiotik.
 Penanganan meningkat TIK:
- Meningginya letak kepala 30◦ dari tempat tidur.
- Cairan hiperosmolar: manitol 20% atau gliserol
- Hiperventilasi untuk mempertahankan pC02 anatara 27-30
mmHg.
 Bila setelah diberi terapi yang tepat selama 10 hari pasien masih
demam, cari sebabnya diantaranya:
- Efusi subdural
- Abces
- Hidrosefalus
- Empiema subdural
- Trombosis
- Sekresi hormone antidiuretik yang berkurang
- Pada anak-anak: ventrikulitis

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


25

11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana


12. Diet Tinggi kalori dan protein
13. Komplikasi  Gangguan serebrovaskuler
 Edema otak
 Hidrosefalus
 Perdarahan otak
 Shock sepsis
 ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome)
 Disseminated intravascular Coagulation
 Efusi subdural
 SIADH
14. Edukasi
15. Prognosis Bervariasi dari sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, meninggal
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan  Budiman R. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
 Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006
 Infeksi pada sistem saraf. Kelompok studi Neuroinfeksi.
Airlangga. 2011

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


26

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

MIASTENIA GRAVIS

1. Pengertian (Definisi) Miastenia gravis adalah gangguan auto-imun yang menyebabkan


otot skelet menjadi lemah dan cepat lelah akibat defisiensi reseptor
asetelkolin pada sambungan neuromuskular Miastenia Gravis
merupakan satu-satunya penyakit neuromukular yang merupakan
gabungan antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot volunter dan
lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih
lama dari normal).
2. Anamnesis Adanya gangguan kelopak mata menutup, sulit ditahan, serta
pandangan ganda, yang biasanya semakin bertambah setelah istirahat
atau aktivitas.
Dapat disertai kelemahan lengan dan tungkai, dan kesulitan menelan
bahkan bernafas (sesak)
3. Pemeriksaan Fisik Ptosis, diplopia, disfagia paresis ekstremitas
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik dan RNS
5. Diagnosis Kerja Miastenia Gravis
6. Diagnosis Banding Diagnosis banding penyakit miastenia gravis adalah :
 Amyotrophic Lateral Sclerosis  Multiple Sklerosis
 Trombosis arteri basilar  Sarkoidosis dan Neuropati
 Brainstem Gliomas  Penyakit tiroid
 Cavdernous Sinus Syndromes  Tolosa-Hunt Syndrome
 Dermatomyositis/Polymyositis  Lambert-Eaton Myasthenic
Syndrome

Masalah lain yang patut dipertimbangkan yang memiliki kemiripan


dengan MG adalah sebagai berikut:
 Botulisme
 Sindrom Brainstem
 Lesi komplikasi nervus kranialis
 Sindrom miastenik kognetial
 Mitochondrial cytopathies
 Miopati Mitokondrial dengan atau tanpa external
ophthalmoplegia
 Neurasthenia
 Oculopharyngeal muscular dystrophy
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Antibodi
a. Antibodi Anti-Reseptor Asetilkolin (Ab Anti-AchR)
b. Tes Antibodi Anti MuSK
2. Pemeriksaan Radiologis

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


27

a. Foto dada
b. CT Scan dada
3. Prosedur Lain
a. Tes Wartenberg
b. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
c. Single-Fiber Electromyography
d. Tes Fungsi Tiroid
4. Pemeriksaan dengan Uji Terapi
a. Tes Prostigmin
b. Tes Tensilon (Edrofonium Klorida)
8. Konsultasi Spesialis bedah toraks
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana 1. Medikamentosa Inhibitor Antikolinesterase
Inhibitor AChE dipertimbangkan sebagai terapi dasar MG. Terapi
Kortikosteroid jangka panjang dan obat-obatan imunosupresif juga
diketahui efektif. Agen-agen yang meng-inhibisi AChE,
meningkatkan komsentrasi Ach pada NMJ dan meningkatkan
kesempatan aktivitas AChE increasing the chance of activating the
AChR
Dapat diberikan piridostigmine 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau
neotigmine bromide 15-45 mf per oral tiap 3 jam. Piridostigmin
adalah suatu agen yang beraksi intermediet, lebih disukai digunakan
di klinis daripada neotigmine bromide (prostigmin) yang beraksi
lebih pendek, maupun ambenonim chloride (mytalase) yang beraksi
lebih lama. Terapi kombinasi tidak menunjukan hasil yang
signifikan. Apabila diperlukan, neostigmine metilsulfat dapat
diberikan secara subkutan/intramuskularis), didahului dengan
pemberian atropine 0,5-1,0 mg. neostigmine dapat menginaktifkan
atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera
dihancurkan. Akibatnya aktivitas otot dapat dipulihkan mendekati
normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia
gravis golongn IIA dan IIB.
Efek samping pemberian antikolineterase karena stimilasi
parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salvias
berlebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronchial berlebihan.
Efek samping gatro intestinal (efek samping muskarinik) berupa
kram atau diare dapat diatasi dengn pemberian propantelin bromide
atau atropine. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari
bahwa gejala-gelaja ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang
diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk
mengindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling
mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan
lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek
samping tersebut (Shah, 2011)

2. Terapi Imunomodulator
MG adalah penyakit autoimun, sehingga imunomodulator mulai

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


28

diperkenalkan sejak dikenalnya steroid. Meskipun berbagai


percobaan klinis untuk membuktikan efikasi terapi ini pada MG
telah dilakukan, namun beberapa uncontrolled trial dan penelitian
repospektif mendukung penggunaan terapi ini untuk pasien-pasien
MG. Terapi-terapi imunomodulator yang digunakan pada pasien MG
meliputi prednisone, azathioprine, IVIg, plasmapheresis dan
cyclosporine (Shah, 2011)
a. Steroid
b. Azathioprine
c. Immune globulin intravenous/IVIg (Gamimune, Gammagrad,
Sandoglobulin)
d. Cyclosporine
e. Cyclophosphamide
f. Mycophenolate mofetil
g. Plasmaferesis/Plasma Exchange

3. Pembedahan (Timektomi)
Pada penderita tertentuk perlu dilakukan timektomi, terumata bila
dijumpai timoma. Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas
harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa
hari pasca operasi dan tidak dimanfaatnya pemberitan
antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-
paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
Efikasi timektomi terbukti dalam banyak case report dan small
series, belum secara controlled trial. Namun demikian, terapi ini
menjadi standar terapi dan sebagiknya dilakukan pada seluruh pasien
timoma yang berusia 10-55 tahun atau atau tanpa timoma namun
dengan MG menyeluruh / generalisata (sebagai terapi lini pertama).
Remission rate meningkat seiring dengan waktu : 7 – 10 tahun
setelah pembedahan, mencapai 40% - 60 % pada seluruh kategori
pasien kecuali dengan timoma.
Tidak ada konsesus yang menyatakan salah satu metode operasi
lebih efektif daripada yang lainnya, namun baru-baru ini metode
robotik dengan invasi yang minimal dianggap cukup menjanjikan.
Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA)
mengklasifikasikan teknik-teknik timektomi dari berbagai
laporan/publikasi sebagai berikut :
a. T-1 timektomi teranservikal
 Basic
 Extended
b. T-2 videoscopic thymectomy
 Klasik/VATS (video-assisted thoracic surgery)
 VATET (video-assisted thoracoscopic extended
tymectomy)
c. T-3 timektomi trans-sternal
 Standard
 Extended
d. T-4 timektomi trans-servikal dan trans-sternal
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


29

12. Diet Tidak spesifik


13. Komplikasi Gagal nafas
14. Edukasi -
15. Prognosis Tergantung kondisi – bervariasi jika terjadi krisis myathenia maka
risiko tinggi untuk terjadi kematian.
Tingkat kekambuhan tinggi.
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan  Budiman R. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
 Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


30

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

MIELITIS TRANSVERSA AKUT

1. Pengertian (Definisi) Myelitis Transversa adalah kelainan neurologis yang disebabkan oleh
peradangan di kedua sisi dari satu tingkat, atau segmen, dari sumsum
tulang belakang. Istilah myelitis mengacu pada radang sumsum
tulang belakang; transversal menggambarkan posisi peradangan,
yaitu, di seberang lebar dari sumsum tulang belakang. Serangan
peradangan bisa merusak atau menghancurkan myelin, substansi
lemak yang meliputi isolasi sel serabut saraf. Ini menyebabkan
kerusakan sistem syaraf yang mengganggu impuls antar syaraf-syaraf
di sumsum tulang belakang dan seluruh tubuh.
2. Anamnesis Myelitis transversa dapat bersifat akut (berkembang selama beberapa
jam sampai beberapa hari) atau subakut (berkembang lebih dari 2
minggu hingga 6 minggu). Gejala awal biasanya mencakup lokal
nyeri punggung bawah, tiba-tiba paresthesia (sensasi abnormal
seperti membakar, menggelitik, menusuk atau kesemutan) di kaki,
hilangnya sensorik, dan paraparesis (kelumpuhan parsial kaki).
Paraparesis sering berkembang menjadi paraplegia. Dan
mengakibatkan gangguan genitourinari dan defekasi. Banyak pasien
juga melaporkan kejang otot, perasaan umum tidak nyaman, sakit
kepala, demam, dan kehilangan nafsu makan. Tergantung segmen
tulang belakang yang terlibat, beberapa pasien mungkin juga akan
mengalami masalah pernafasan.
Dari berbagai macam gejala , empat ciri-ciri klasik myelitis
transversa yang muncul :
1) Kelemahan kaki dan tangan
2) Nyeri
3) Perubahan sensorik, dan
4) Disfungsi pencernaan dan kandung kemih
3. Pemeriksaan Fisik Paraparesis atau tetraparesis, tergantung lokasi lesi
Hipestesi atau parestesi setinggi lesi
Retentio urine et alvi
Refleks fisiologis meningkat, refleks patologis positif
4. Kriteria Diagnosis Lihat Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang
5. Diagnosis Kerja Mielitis Transversa Akut
6. Diagnosis Banding  Mielopati kompresi medula spinalis baik karena proses neoplasma
medulla spinalis intrinsik maupun ekstrinsik,
 Ruptur diskus intervertebralis akut,
 Infeksi epidural, dan
 Polineuritis pasca infeksi akut (Sindrom Guillain Barre). Dan pada
sindrom Guillain Barre, jenis kelumpuhannya adalah flaksid serta

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


31

pola gangguan sensibilitasnya di samping mengenai kedua tungkai


juga terdapat pada kedua lengan.
 Lesi kompresi medula spinalis dapat dibedakan dari mielitis
karena perjalanan penyakitnya tidak akut seting didahului dengan
nyeri segmental sebelum timbulnya lesi parenkim medulla
spinalis.
7. Pemeriksaan Penunjang 1. pungsi lumbal
 Mielitis transversa : biasanya tidak didapati blokade aliran
likuor, pleositosis moderat (antara 20-200 sel/mm³) terutama
jenis limfosit, protein sedikit meninggi (50-120 mg/ 100 ml)
dan kadar glukosa normal.
 Sindrom Guillain Barre : di jumpai peningkatan kadar protein
tanpa disertai pleositosis.
 Lesi kompresi medulla spinalis : dijumpai blokade aliran likuor
dengan kadar protein yang meningkat tanpa disertai adanya sel.
2. MRI
3. Pemeriksaan darah – Ig M dan Ig G HSV, CMV
8. Konsultasi -
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar informed consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana Pemberian glukokortikoid atau ACTH, biasanya diberikan pada
penderita yang datang dengan gejala awitannya sedang berlangsung
dalam waktu 10 hari pertama atau bila terjadi progresivitas defisit
neurologik. Glukokortikoid dapat diberikan dalam bentuk prednisone
oral 1 mg/kg berat badan/ hari sebagai dosis tunggal selama 2 minggu
lalu secara bertahap dan dihentikan setelah 7 hari. Bila tidak dapat
diberikan per oral dapat pula diberikan metilprednisolon interavena
dengan dosis 0,8 mg/kg/hari dalam waktu 30 menit. Untuk mencegah
efek samping kortikosteroid, penderita diberi diet rendah garam dan
simetidin 300mg 4 kali/ hari atau ranitidine 150 mg 2 kali/ hari.
Selain itu sebagai anternatif dapat diberikan antacid per oral.
Pemasangan kateter diperlukan karena adanya retensi urin, dan untuk
mencegah terjadinya infeksi traktus urinarius dilakukan irigrasi
dengan antiseptik dan pemberian antibiotik sebagai prolifilaksis
(trimetroprima-sulfametoksasol, 1 gram tiap malam).
Konstipasi dengan pemberian laksan.
Pencegahan dekubilitas dilakukan dengan alih baring tiap 2 jam. Bila
terjadi hiperhidrosis dapat diberikan propantilinbromid 15 mg
sebelum tidur.
Di samping terapi medikamentosa maka diet nutrisi juga harus
diperhatikan, 125 gram protein, vitamin dosis tinggi dan cairan
sebanyak 3 liter perhari diperlukan.
Setelah masa akut berlaku maka tonus otot mulai meninggi sehingga
sering menimbulkan spesme kedua tungkai, hal ini dapat diatasi
dengan pemberian Baclofen 15-80 mg/hari, atau diazepam 3-4 kali
5mg/hari. Rehabilitasi harus dimulai sedini mungkin untuk
mengurangi kontraktur dan mencegah komplikasi tromboemboli
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet Tidak spesifik

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


32

13. Komplikasi Kontraktur, tromboemboli


14. Edukasi
15. Prognosis Ad vitam bonam, ad fungsionam dubia
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan  Budiman R. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
 Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


33

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

MIGRAIN

1. Pengertian (Definisi) Migraine adalah gangguan yang ditandai dengan serangan


berulang, sakit kepala dalam intensitas, frekuensi dan durasi yang
bervariasi. Serangan biasanya unilateral dan biasanya
berhubungan dengan anoreksia, mual dan muntah
2. Anamnesis Nyeri kepala berdenyut, unilateral, dapat disertai muntah,
gangguan visual dan sensorik (aura).
Nyeri biasanya bertambah dengan aktivitas fisik. Lama 4-72 jam.
Sensitif terhadap cahaya dan suara
3. Pemeriksaan Fisik Kencang di leher atau kepala, horner syndrome, conjuctival
injection.
Hemisensorik atau hemiapresis defisit pada migraine komplikata.
4. Kriteria Diagnosis  Klinis
Migraine tanpa aura (G430.0):
a. Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan nyeri kepala
berulang dengan manifestasi serangan berlangsung 4-72
jam, yang mempunyai sedikitnya 2 karaktristik berikut:
unilateral, berdenyut, intensitas sedanag atau berat,
bertambah berat dengan aktivitas fisik.
b. Selama nyeri kepala disertai salah satu berikut: nausea: dan
atau muntah, fotofobia dan fonofobia.
c. Serangan nyeri kepala tidak berkaitan dengan kelainan yang
lain.

Migrain dengan aura (G43.1):


a. Sekurang-kurangnya terjadi dua serangan nyeri kepala
berlangsung yang didahului gejala neurologi fokal yang
reversibel secara bertahap 5-20 menit dan berlangsung
kurang dari 60 menit.
b. Terdapat sedikitnya satu aura berikut ini yang reversibel
seperti: gangguan visual, gangguan sensoris, gangguan
bicara disfasia.
c. Paling sedikit dua dari karaktristik berikut:
i. Gejala visual homonim dan/gejala sensoris unilateral
ii. Paling tidak timbul satu macam aura secara gradual ≥ 5
menit dan / atau jenis aura yang lainnya ≥ 5 menit
iii. Tiap gejala berlangsung ≥ 5 menit dan ≤ 60 menit.
d. Tidak berkaitan dengan kelalaian lain.

Status Migrainous (G43.2)

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


34

a. Serangan migraine dengan intensitas berat yang berlangsung


≥ 72 jam (tidak hilang dalam 72 jam).
b. Tidak berkaitan dengan gangguan lain.

5. Diagnosis Kerja Migrane


6. Diagnosis Banding 1. Nyeri kepala penyakit lain: THT, gigi mulut, mata hipertensi,
infeksi, toksik, gangguan metabolik/elektrolit, anemia, gagal
ginjal, gagal hati.
2. SOL (space-occupying lesion) misal: subdural hematom,
neoplasma, dan lain-lain.
3. Temporal arteritis
4. Medication-related headache
5. Trigeminal neuralgia
7. Pemeriksaan
Penunjang  Laboratorium Darah rutin, elektrolit, kadar gula darah, dan lain-lain
(atas indikasi, atau menyingkirkan penyebab sekunder)
 Radiologi Atas indikasi (untuk menyingkirkan penyebab
sekunder)
 Gold Kriteria diagnostic nyeri Kepala Kelompok Studi Nyeri
Standard Kepala Perdossi 2005 yang diadaptasi dari HIS
(Internasional Headache Society)

8. Konsultasi Tergantung kasus, interna, THT, mata, gigi mulut, psikiatri


9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana 1) Terapi abortif :
i. Nonspesifik: analgetik/NSAIDs, Narkotik analgetik,
adjunctive therapy (misal: metoklopramaide)
a. NSAIDs
ii. Aspirin: 900-1000 mg PO; diulang dengan dosis yang
sama setelah 1-2 jam prn.
iii. Ibuprofen : 400-1200 mg/serangan PO; dapat diulang
400-800 mg dalam 1-2 jam; maksimal 3200 mg/hari.
iv. Naproxen sodium: 825 mg PO; dapat diberikan 550
mg setelah 1-2 jam prn.
v. Ketorolac: 10 mg PO q4h prn; tidak lebih 40 mg/hari;
batas sampai 5 hari dengan dosis 30-60 mg IM;
diulang q6g prn; tidak lebih dari 120 mg/d.
b. Antiemetik
i. Droperidol: 2.5-10 mg (sendiri atau dengan
antihistamine) diberikan secara IM atau IV pelan.
ii. Chlorpramide:10-20 mg PO q4-6h prn; 50-100 mg PR
q6-8h prn; 25-50 mg IM q3-4h; 5-50 mg IV
iii. Metaclopramide: 10-20 mg PO/IM.
iv. Obat spesifik : Triptans, DHE, obat kombinasi (missaspirin
dengan asetaminophen dan kafein), obat gol.ergotamin.
Kombinasi analgesic :
v. Sumatripan dan naproxen: 1 tab PO saat onset
migraine; jangan melebihi 2 tab/24 h; jika perlu dosis
kedua, jangan diberikan sampai sedikitnya 2 jam

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


35

setelah dosis pertama.


vi. Butalbital: 1-2 tab PO q4h prn; jangan melebihi 6
tabs/hr.
vii. Isometgeptene and dichloralphenazone: 2 kaps PO
awal kemudian 1 kaps q1h sampai hilang gejala;
jangan melebihi 5 kaps dalam 12-jam.
viii. Bila tidak repon: opiat dan analgetik yang mengundang
butalbital.
2. Terapi profilaksis
i. Terapi profilaksis dapat dipertimbangkan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Dua atau lebih serangan setiap bulan dengan disabilitas
yang signifikan yang berlangsung selama 3 hari atau
lebih.
b. Kontraindikasi atau tidak efektif dengan obat
simtomatik.
c. Penggunaan obat yang gagal lebih dari dua kali
seminggu.
d. Varian migraine seperti migraine hemiplegik atau
serangan sakit kepala yang jarang yang menghasilkan
gangguan mendalam atau risiko cedera neurologis
permanen.
ii. Mekanisme obat profilaksis pada migraine:
a. Antagonis 5-HT2 -> Methysergide
b. Regulation of voltage-gated ion channels  Calcium
channel blockers.
c. Modulasi sentral neurotransmitter  Beta-blocker,
antidepresan trisiklik
d. Meningkat inhibisi GABAergic  asam valporat,
gabapentin.
e. Mekanisme lain yang terkenal adalah melalui
perubahan metabolisme oksidatif neuronal oleh
riboflavin yang mengurangi hipereksitabilitas neuronal
oleh pengganti magnesium.
iii. Obat-obatan
a. Valproate: 125-250 mg/hari PO; titrasi dosis prn;
jangan melebihi 1500 mg/hari; dosis lebih tinggi dari
250 mg/d harus di bagi 2 dosis/ hari.
b. Topiramate: kenaikan titrasi secara perlahan dengan
minimum interval 1 minggu, sbb:
Minggu 1 : 25 mg PO qhs
Minggu 2 : 25 mg PO bid
Minggu 3 : 25 mg PO qam and 50 mg PO qhs
Minggu 4 : 50 mg PO bid
c. Gabapentin (Neurontin) : 300 mg PO titrasi dosis prn;
jangan melebihi 2400 mg/hari
d. Propranolol: mulai dosis rendah, 60 mg PO qd
(sustained release) atau 40 mg dalam dosis terbagi;
titrasi prn; maks 320 mg/d.
e. Metoprolol: 50 mg PO qd or bid di awal; titrasi prn;

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


36

maks 200 mg/d.


f. Calcium channel blockers: Verapamil (Calan, Covera)
: 120 mg/d PO qd (sustained release) di awal atau 40
mg tid; meningkat bertahap; maks 480 mg/d.
g. Amitripyline 50-150 mg/hari
h. Serotonin antagonists: Methysergide (Sansert); 2mg/d
PO awal: dosis meningkat bertahap; maks 8 mg/d.
3. Tindakan bedah
i. Perawatan bedah dapat menonaktifkan pemicu migraine dan
dapat membantu menghilangkan atau secara signifikan
mengurangi gejala migraine.
ii. Reseksi otot Corrugator memiliki manfaat yang lebih baik
untuk perbaikan sakit kepala migraine yang ringan.
iii. Toksin botulium-A (BOTOX ®) telah digunakan dalam
beberapa uji coba untuk sakit kepala migraine. Beberapa
hasil campuran terjadi pada pengguna toksin batulinum –A
untuk sakit kepala migraine.
a. Pericrainial injeksi 50-U botulinum toksin-A telah
menunjukkan keberhasilan yang baik dan tolerabilitas
sebagai agen profilaksis.
b. Tidak ada bukti untuk efek menguntungkan dari toksin
botulinum dan dengan demikian, mereka tidak
mendukung penggunaan luas terapi botulunium toksin
dalam sakit kepala.
4. Aktivitas.
i. Mindfulness berbasis pengurangan stress dan meditasi rumah
telah dipelajari sebagai metode untuk mengurangi rasa sakit
yang meningkatkan kualitas kesehatan yang terkait dengan
kehidupan pada pasien dengan sindrom rasa sakit kronis.
ii. metode ini terbukti efektif untuk pasien arthritis kronis, tidak
dianggap efektif pada pasien dengan kronis/migraine atau
fibromyalgia.
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet i. Sebagian kecil dari orang-orang yang mengalami migraine
memiliki makanan pemicu. Makanan yang sering memicu
sakit kepala migraine adalah coklat, keju tua dan daging,
anggur dan bir (yaitu, sulfida), dan buah jeruk.

13. Komplikasi Adanya penyakit penyerta misalnya stroke, infark miokard,


epilepsi dan ansietas, penderita hamil (efek teratogenik)
14. Edukasi Hindari pencetus/trigger
15. Prognosis Bonam
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


37

20. Kepustakaan  Budiman, R. Yoseph, dr. SpS. Pedoman Standar Pelayanan


Medik dan Standar Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-
1. November 2013.
 Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006
 Konsensus Nasional III Diagnostik dan penatalaksanaan Nyeri
Kepala. Perdossi. 2010

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


38

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

NYERI PUNGGUNG BAWAH


ICD M.54
1. Pengertian (Definisi) Nyeri punggung bawah (NPB) adalah nyeri yang dirasakan daerah
punggung bawah, dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri
redikuler atau keduanya.
2. Anamnesis Nyeri punggung bawah , dapat berlangsung akut dan kronik
(>3bulan), sisi yang nyeri, lokasi dan penyebaran, cara awitan, faktor
yang memperberat, faktor yang meringankan, riwayat trauma,
riwayat pekerjaan , penyakit lainmya
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik Umum: tanda penyakit sistemik lainnya (mata,
orofaring, leher, paru, abdomen, muskuloskeletal)
Pemeriksaan Neurologis: motorik, sensorik, otonom, SLR, Patrick
sign, refleks fisiologis, refleks patologis.
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Nyeri punggung bawah
6. Diagnosis Banding 1. NPB mekanikal: degeneratif, sprain, stenosis spinalis, fraktur
kompresi, spondilolistesis, fraktur traumatik, kongenital
(kifosis,skoliosis), diskogenik NPB
2. NPB non mekanikal : Neoplasma, Infeksi, Artritis, osteokondrosis,
Penyakit Paget
3. Penyakit viseral: penyakit organ pelvis, ginjal, aneurisma,
gastrointestinal
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium :
 Laju endap darah
 Darah perifer lengkap
 C-reaktif protein (CRP)
 Faktor rematoid
 Fosfatase alkali/asam
 Kalsium, fosfor serum
 Urinalisa
 Likuor cerebrospinal (CRP)
2. Neuroimaging : MRI, CT scan, Foto polos
3. Pemeriksaan elektroneuromyografi
8. Konsultasi - Bag. Ortopedi
- Bag.Bedah Saraf
- Unit Rehabilitasi Medik
- Psikolog
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana Kausal: terutama kasus NPB dengan tanda bahaya (red flags)

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


39

NPB AKUT
Medikamentosa :
- Asetaminofen, ASA, NSAID
- Reklasan otot: esperison, tizanidin, diazepam
Nonmedikamentosa
Edukasi:
- Reassurance
- Kembali aktivitas normal dini dan bertahap
- Mengenal dan menangani Yellow flags (faktor biopsikososial).
- Heat-wrap therapy
Tindakan:
- Injeksi epidural (steroid, tidokain, opioid) pada sindroma
radikauler.
- Terapi diatermic
- Terapi laser
- RSWT

NPB KRONIK
Medikamentosa: antidepresan, antikonvulsan
Nonmedikamentosa:
- Edukasi
- Terapi perilaku
- Intensive exercise therapy
- neurointervensi
11. Terapi Medikamentosa NSAID
Analgesik non opioid
Analgesik opioid
Relaksan otot
Antidepresan
Antikonvulsan
12. Diet Atasi obesitas dengan diet seimbang
13. Komplikasi Terutama pada NPB dengan tanda bahaya (red flags) dan NPB
dengan sindroma radikuler.
14. Edukasi Program latihan dan relaksasi
Menghindari kegemukan
Posisi kerja yang ergonomis
15. Prognosis Bonam
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan  Budiman, R. Yoseph. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan
Standar Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1.
November 2013.
 Buku Pedoman SPM & SPO Neurologi. Perdossi. 2006
 Nyeri punggung bawah. Perdossi Pokdi Nyeri

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


40

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

PENYAKIT PARKISON
ICD G.20
1. Pengertian (Definisi) Penyakit Parkinson adalah kelainan gerak yang kronik dan progresif,
di mana gejalanya berlanjut dan memburuk sepanjang waktu.
Penyebabnya tidak diketahui, dan walaupun sekarang belum ada obat
penyembuhnya, ada beberapa pilihan terapi seperti medikasi dan
pembedahan untuk manajemen gejalanya.
Penyakit Parkinson terjadi ketika sekelompok sel dalam area otak
yang disebut substansia nigra mulai mengalami malfungsi dan
kematian. Sel-sel dalam substansia nigra ini memproduksi zat kimia
yang disebut Dopamin. Dopamin adalah semacam neurotransmitter,
atau pembawa pesan kimia, yang mengirim informasi pada bagian
otak yang mengontrol gerakan dan koordinasi.
Pesan dari otak yang memerintahkan bagaimana dan kapan tubuh
bergerak kemudian dikirim lebih lambat, mengakibatkan kemampuan
seseorang memulai dan mengontrol gerakan seperti pada kondisi
normal.
2. Anamnesis Beberapa gejala yang paling sering muncul pada penyakit Parkinson
adalah:
 Tremor pada tangan, lengan kaki, rahang dan wajah
 Kekakuan ekstremitas dan tulang belakang (rigiditas)
 Bradikinesia atau kelambatan gerak
 Ketidakstabilan postural atau gangguan keseimbangan dan
koordinasi.
3. Pemeriksaan Fisik Kaku otot, tremor menyeluruh, kelemahan otot, dan hilangnya refleks
postural. Penderita kesukaran dalam memulai, mempertahankan dan
membentuk aktivitas motorik. Tremor menyeluruh dengan
karakteristik lambat, gerakan membalik (pronasi-supinasi) pada
lengan bawah dan telapak tangan dan gerakan ibu jari terhadap jari-
jari seolah-olah memutar sebuah pil di antara jari-jari. Ekspresi wajah
datar, perubahan gaya berjalan dan sikap tubuh, kehilangan ayunan
tangan norma, ekstremitas kaku dan lemah, pasien berdiri dengan
kepala cenderung ke depan, berjalan dengan gaya seperti didorong,
dengan tanda-tanda depresi
4. Kriteria Diagnosis A. Klinis
 Umum:
1. Gejala dimulai satu sisi (himiparkinson)
2. Tremor saat istirahat
3. Tidak didapatkan gejala naurologis lain
4. Tidak dijumpai kelainan laboratorium dan rediologi
5. Perkembangan penyakit lambat

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


41

6. Respon teerhadap ledovopa cepat dan dramatis


7. Reflekspostural tidak dijumpai pada awal penyakit
 Khusus :
1. Tremor: laten, saat istirahat, bertahan saat istirahat
2. Rigiditas
3. Akinestasi/bradikinesia:
a. Kedeipan mata berulang
b. Wajah seperti topeng
c. Hipotonia
d. Hipersalivasi
e. Tachikinesia
f. Tulisan semakin kecil-kecil
g. Cara berjalan langkah kecil-kecil
4. Hilangnya reflex postural
5. Gambaran motorik lain:
a. Distonia
b. Rasa kaku
c. Sulit memulai gerak
d. Palilalia
Perjalanan klinis penyakit Parkinson (menurut Hoehn dan Yahr)
Stadium I:
 Gejala dan tanda pada satu sisi
 Gejala ringan
 Gejala yang timbul mengganggu tapi tidak menimbulkan
cacat
 Tremor pada satu anggota gerak
 Gejala awal dapat dikenali orang terdekat.
Stadium II:
 Gejala bilateral
 Trerjadi kecacatan minimal
 Siakp/ cara berjalan terganggu
Stadium III:
 Geerakan tubuh nyata lambat diri
 Gangguan lkeseimbangan saat berjalan/ berdiri
 Disfungsi umum sedang
Stadium IV:
 Gejala lebih berat
 Keterbatasan jarak berjalan
 Rigiditas dan bradikinesia
 Tidak mampu mandiri
 Tremor berkurang
Stadium V:
 Stadium kakeksia
 Kecacatan kompleks
 Tidak mampu berjalan dan berdiri
 Memerlukan perawatan tetap.
5. Diagnosis Kerja Penyakit Parkison
6. Diagnosis Banding 1. Progressive Supranuclear palsy
2. Multiple system atrophy

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


42

3. Corticobasal degeneration
4. Hutington Disease
5. Primary PAllidal Atrophy
6. Diffuse Levy Body Disease
7. Parkinson sekunder: toxic, infeksi SSP, drug induced, vaskuler.
7. Pemeriksaan Penunjang - Laboratorium: tidak ada
- Radiologis: CT-scan kepala untuk menyingkirkan causa lain
- Patologi anatomi: degenerasi ganglia basalis terutama disubtansia
nigra pars kompakta dan adanya Lewys body.
8. Konsultasi - Bagian rehabilitasi medis
- Bedah saraf
- Psikiater
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana A. Medikamentosa
1) Amantadine
2) Antikholinergik: trihexyphenidil.
3) Dopaminergik: carbidopa dan levodopa, Benzerazide dan
levodopa.
4) Dopamine agonis: Bromokriptin mesilat, pergolide mesilat,
pramipexole.
5) COMT inhibitor: Entacapone, tolcapone
6) MAO-B inhibitor: Selegiline, lazabemide
7) Antioksidan: Glutamat antagonis, alfatocoferol, asam
ascorbat, beta carotene
8) Propanolol
B. Non Medikamentosa
1) Rehabilitasi medis
2) Psikoterapi
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet Bebas
13. Komplikasi Fluktuasi obat (fenomena wearing off-on), Hipotensi postural,
Perubahan tingkah laku : dementia, depresi, sleep disorder, psikosis.
14. Edukasi
15. Prognosis Biasanya berlangsung kronis progresif
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan Budiman, R. Yoseph. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan
Standar Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November
2013.

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


43

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

RABIES
ICD A.82
1. Pengertian (Definisi) Rabies adalah penyakit peradangan akut SSP oleh virus rabies,
bermanifestasi sebagai kelainan neurologi yang umumnya berakhir
dengan kematian.
2. Anamnesis Penderita mempunyai riwayat tergigit, tercakar atau kontak dengan
anjing, kucing atau binatang lainnya yang :
- Positif rabies (hasil pemeriksaan otak hewan tersangka)
- Mati dalam waktu 5-10 hari sejak menggigit ( bukan dibunuh)
- Tak dapat di observasi setelah menggigit (hilang, dibunuh, lari
dan sebagainya).
- Tersangka rabies (hewan berubah sifat, malas makan dan lain-
lain).
Gambaran Klinis :
- Stadium prodormal (2-10 hari) :
Sakit dan rasa kesemutan di sekitar luka gigitan (tanda awal
rabies), sakit kepala, lemah, anoreksia, demam, rasa takut, cemas
dan agitasi.
- Stadium kelainan neurologis (2-7 hari) :
 Bentuk spastik : peka terhadap rangsangan ringan, kontraksi
otot faring dan esophagus, kejang, aerofobia, hidrofobia, kaku
kuduk, delirium, semikoma, meninggal 3-5 hari
 Bentuk demensia : kepekaan terhadap rangsangan bertambah,
gila mendadak, dapat melakukan tindakan kekerasan, koma,
mati.
 Bentuk paralitik (7-10 hari) : Gejala tidak khas, penderitas
meninggal sebelum diagnosis tegak, terdapat monoplegi atau
paraplegi flaksid, gejala bulbar, kematian karena kelumpuhan
otot nafas.
3. Pemeriksaan Fisik Delirium, hipersalivasi, hidrofobia, kejang, aerofobia, gejala bulbar
4. Kriteria Diagnosis Klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Kerja Rabies
6. Diagnosis Banding  Intoksikasi obat-obatan
 Ensefalitis
 Tetanus
 Histerikal pseudorabies
 Poliomyelitis

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


44

7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan Laboratorium: lekosit, hematokrit, Hb, Albumin


urine, dan lekosit urine, lekuor Cerebrospinal bila perlu.
 Pemeriksaan Radiologik: dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan
kepala untuk menyingkirkan kausa lain.
 Pemeriksaan penunjang lain: tidak ada.

Menjunjang diagnosis bila ditemukan:


 Darah:
- Lekosit : 8.000-13.000/mm3
- Hematokrit : berkurang
- Hb : berkurang
 Urine:
- Albuminuria
- Sedikit lekosit
 CSF: protein dan sel normal atau sedikit meninggi

8. Konsultasi Anestesi
9. Pengisian form Sebelum di lakukan vaksinasi dengan VAR/ pemberian serum anti
rabie (SAR) terhadap penderita terlebih dahulu diminta persetujuan
dari penderita ataupun keluarga terdekat penderita atas pemberian
vaksinasi/serum/ tersebut dalam hal ini penderita atau keluarga
terdekaat penderita harus menandatangani surat persetujuan
(informed consent) disaksikan oleh dua orang saksi termasuk dokter
atau perawat.
10. Tata laksana  Bila sudah timbul gejala prodormal prognosis infaust dalam 3 hari
 Terapi hanya bersifat simptomatis dan supportif (Infus dextrose,
anti kejang)
 Vaksin antirabies/ serum antirabies : tidak diperlukan

Penatalaksanaan penderita tergigit hewan tersangka dan positif


rabies.
1. Penyuntikan dilakukan secara lengkap bila:
a. Hewan atau anjing yang menggigit positif rabies.
b. Hewan atu anjing liar atau gila yang tidak dapat di
observasi atau hewan tersebut dibunuh.
2. Penyuntikan vaksin anti rabies (VAR) tidak dilanjutkan apabila
hewan atau anjing yang menggigit penderita tetap sehat selama
observasi sampai dengan 10 hari.
3. Petugas (tenaga medis atau perawat) harus memakai sarung
tangan, pakaian dan masker.
4. Dokter/perawat harus terlebih dahulu memberikan penjelasan
secukupnya tentang jumlah kali pemberian VAR/serum anti
rabies (SAR), termasuk manfaat maupun efek samping yang
mungkin timbul.

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


45

Jenis
N
Indikasi Tindakan VAR+ Boster Keterangan
o
dosis
1 Luka Gigitan 1. Dicuci dengan …. ….  Menunda
air sabun penjahitan
(deterjen) 5-10 luka, jika
menit kemudian penjahitan
dibilas dengan diperlukan
air bersih. gunakan anti
2. Alkohol 40-70% serum lokal.
3. Berikan yodium,  Bila
betadin solusio diindikasikan
atau senyawa dapat diberikan
ammonium 0.1% Toxoid
4. Penyuntikan Tetanus,
SAR secara antibiotic, anti
infiltrasi inflamasi dan
sekeliling luka. analgetik.

2 Kontak, tetapi …. …. …. ….
tanpa lensi,
kontak tak
langsung, tak
ada kontak

3 Menjilat kulit, Berikan VAR - Imovax …. Dosisi untuk


garukan atau hari 0:2 x suntikan verobab semua umur
aabrasi kulit, intramuskuler IM 0,5 ml sama
gigitan kecil deltoideus
(daerah kiri dan
tertutup), kanan
lengan, badan
dan tungkai hari 7:1 x suntikan - IM 0,5 ml
intra muskuler deltoideus
kiri atau
knan

hari 21:1 x suntikan - IM 0,5 ml


intra muskuler deltoideus
kiri atau
knan

4 Menjilat Serum anti rabies Imovag Hari


mukosa, luka (SAR) rabies 90:0.5ml im
gigitan, besar pada
atau dalam, - ½ dosis 20IU/kg dektoid kiri
multiple, luka disuntikkan secara BB atau kanan
pada muka, infiltrasi di sekitar
kepala, leher luka.
jari tangan
dan jari kaki. - ½ dosis yang sisa Imovag
disuntikan varorab
intramuskuler
diregio glutea.

- Vaksin anti rabies


(VAR)

- Sesuai poin 3A &


B

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


46

5 Kasus gigitan ….. 0.5 ml IM


ulang detoideus
umur <3th 0.1
 Kurang dari Berikan VAR hari 0 Imovag, ml IC flexor
1 tahun verorab lengan bawah .
SMBV sesuai poin
 Lebih dari Berikan SAR+ Imovax, 1,3,4,5 kap
satu tahun VAR secara vrorab,
lengkap SMBV,
Imogan
rabies
6 Bil ada reaksi Berikan anti
penyuntikan: histamine
reaksi local sistematik atau
kemerahan, local
gatal,
pembekakan Tidak boleh
diberikan
kortikosteroid
7 Bisa timbul efek samping pemberian VAR berupa Meningoensefalitis
Th/- kortikosteroid dosis tinggi.

 Bila sudah timbul gejala prognosis infaust dalam 3 hari.


 Terapi hanya bersifat simptomatis dan supportif (infuse Dextrose,
anti kejang) .
 Vaksin antirabies/serum antirabies: tidak diperlukan.
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet Diet cair dengan NGT
13. Komplikasi Dehidrasi, gagal nafas
14. Edukasi
15. Prognosis Infaust/meninggal dunia
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan Budiman, R. Yoseph. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan
Standar Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November
2013.

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


47

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

SINDROMA GUILLAIN BARRE

1. Pengertian (Definisi) SGB merupakan suatu polineuropati yang dimediasi oleh faktor
imune dan merupakan salah satu penyebab penting kelumpuhan
neuromuskular akut.
2. Anamnesis Kelemahan kedua tungkai atau lengan yang progresif
Rasa kesemutan, rasa baal pada tungkai atau lengan simetris
Saraf otak lain dapat terkena (muka, menelan)
Nyeri punggung dan tungkai
Dapat terjadi gangguan pernafasan
Puncak defisit dicapai 4 minggu
3. Pemeriksaan Fisik Paraparesis atau tetraparesis, ascending simetris
Parestesi atau hipestesi distal simetris
Reflex: absen atau hiporefleksi
Reflex patologi: -
Disfungsi otonom: takikardi, aritmia, hipotensi postural, hipertensi
dan gejala vasomotor
Gangguan pernafasan, disfagia, disfoni. Dapat terjadi juga gagal
nafas
4. Kriteria Diagnosis Gejala klinis (progresif, simetris, gangguan sensibilitas ringan, saraf
kranial, disfungsi otonom)
Gejala kelainan cairan serebrospinal (peningkatan protein, jumlah sel
<10)
Gambaran elektrodiagnostik (perlambatan konduksi saraf, blok saraf)

5. Diagnosis Kerja Sindroma Guillain Barre


6. Diagnosis Banding - Polineuropati terutama karena defisiensi metabolik
- Hipokalemi
- Myasthenia gravis.
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium:
 LCS:
- Disosiasi sitoalbumin
- Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l,
tanpa peningkatan dari set < 10 lymposit/mm³
- Hitung jenis dan panel metabotik tidak begitu bernilai
peningkatan titer dan agent seperti CMV, EBV/ micoplasma
membantu penegakan etiologi. Untuk manfaat epidemiologi.
 Ro: CT/MRI untuk mengeksklusi diagnose lain seperti myelopati
 EMG
8. Konsultasi PID, Anestesi, Paru
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


48

pasien atau keluarga, DPJP dan saksi


10. Tata laksana  Tidak ada drug of choice.
 Waspadai memburuknya perjalanan klinis dan gangguan
pernapasan.
 Bila ada gangguan pernapasan rawat ICU.
 Roboransia saraf parenteral—mecobalamin 2x500ug
 Perlu NGT bila kesulitan mengunyah/menelan.
 Kortikosteroid masih kontroversial, bila terjadi paralisis otot
berat maka perlu kortikosteroid dosis tinggi. Plamafaresis
beberapa pasien memeberi manfaat yang besar terutama kasus
akut.
 Plasma 200-250 ml/kg BB dalam 46 x pemberian sehingga
waktu sehari diganti cairan kombinasi garam + 5% albumin
Imunoglobulin intravena (expert consensus): IVIG
direkomendasikan untuk terapi GBS 0,4/kgBB/ tiap hari untuk 5
hari berturut-turut ternyata sama efektifnya dengan penggantian
plasma. Expert consensus merekomendasikan IVIG sebagai
pengobatan GBS.
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet Tergantung klinis pasien (cair jika memakai NGT)
13. Komplikasi Gangguan otot pernapasan  respiratory failure
14. Edukasi Risiko terjadinya gagal nafas
15. Prognosis Umumnya baik, sebagian kecil dapat meninggal atau terdapat gejala
sisa.
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan  Budiman, R. Yoseph. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan
Standar Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1.
November 2013.
 Neurologi update dalam PIN 2014

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


49

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

STATUS EPILEPTIKUS
ICD G.41.0
1. Pengertian (Definisi) SE adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit, atau
adanya dua bangkitan atau lebih dimana di antara bangkitan-
bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran. SE merupakan
keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan dan terapi
segera guna menghentikan bangkitan (dalam waktu 30 menit).
2. Anamnesis Kejang lebih dari 30 menit
Tidak terdapat pemulihan kesadaran
Riwayat epilepsi sebelumnya, riwayat pemakaian obat-obatan,
riwayat penyakit lain
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fungsi kardiorespirasi, tekanan darah, nadi dan suhu
Pemeriksaan status neurologik  GCS, defisit fokal neurologis,
Nn.craniales
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis Kerja Status Epileptikus
6. Diagnosis Banding Narkolepsi dan berbagai gangguan tidur, cataplexy
Psikogenik (non-epileptic attack disorder=NAED)
Tics dan gerakan involunter
Panic attacks
7. Pemeriksaan Penunjang ECG
EEG
Laboratorium : cari etiologi selain epilepsi
CT/MRI kepala
8. Konsultasi Anestesi
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana Status epileptikus merupakan suatu keadaan yang emergensi,
sehingga membutuhkan penatalaksanaan yang cepat dan tepat.
1. Perbaikan fungsi vital.
A. Amankan jalan napas dan lakukan resusitasi jika diperlukan;
pastikan respirasi adekuat, periksa tekanan darah dan irama
jantung, lakukan pemasangan jalur intravena, pipa nasogastrik,
dan kateter dower.
B. Pemeriksaan segea:
a. Tes darah: evaluasi metabolik, level obat antiepilepsi, dan
zat toksik.
b. EKG
C. Monitoring tanda-tanda vital.
2. Terapi medikamentosa
Terapi ini diberikan dengan tujuan untuk menghentikan kejang

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


50

dan mengkoreksi komplikasi.


A. Tahap Premonitoring
B. Berikan diazepam 10 mg intravena (i.v)/per rectal (p.r).
C. Tahap I atau tahap kompensasi (0-30 menit).
D. Jika status berlanjut, ulang pemberian setelah 15menit.
E. Tahap II atau tahap dekompensasi (30-60 menit)
F. Jika status berlanjut setelah 30 menit, maka:
a. Penderita harus dipindahkan ke unit perawatan intensif.
b. Berikan fenitoin i.v dalam NaCL 0,9% dosis 15-18 mg/kg,
dengan kecepatan 50 mg/ menit, dengan pengawasan
kardiogram dan tekanan darah atau,
c. Berikan Phenobarbital 10-20 mg/kg sampai 100 mg/ menit
dengan pengawasan tekanan darah dan respirasi.
G. Tahap status refrakter (>60 menit)
H. Jika status masih berlanjut setelah 30-60 menit, maka status
epileptikus memasuki refrakter. Pada tahap ini dilakukan
anastesi umum dengan salah satu cara dari dua cara berikut:
a. Propofol 2 mg/kg iv bolus, diikuti dengan drip obat dalam
infuse kontinu 510 mg/kg/jam pada saat awal, dosis dapat
dikurangi 1-3 mg/kg/jam jjika kejang telah terkontrol
selama 12 jam. Turunkan perlahan Selama lebih dari 12
jam.
b. Thiopental 100-250 mg iv bolus selama lebih dari 20 detik,
dengan tambahan bolus 50 mg tiap 2-3 menit sampai
kejang terkontol; diikuti dengan drip infuse 3-5 mg/kg/jam
untuk mensupresi cetusan pada EEG. Penghentian harus
perlahan setelah 12 jam paska kejang terakhir.
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet Cair melalui NGT
13. Komplikasi - Hipotermi
- Asidosis
- Hipotensi
- Rabdomiolisis
- Gagal ginjal
- Infeksi
- Edema otak
14. Edukasi
15. Prognosis Prognosis status epileptikus berhubungan dengan etiologinya.
Mortalitas 20%, biasanya disebabkan oleh penyakit yang
mendasarinya bukan oleh status epileptikusnya, kejadiannya lebih
tinggi pada usia lanjut dari pada anak-anak. Gangguan neurologis dan
reterdasi mental sebagai sisa lebih sering terjadi pada anak-anak dan
sangat dipengaruhi oleh durasi dari status epileptikusnya.
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan * Budiman, R. Yoseph. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
* Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Perdossi. 2012

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


51

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

STROKE ISKEMIK
ICD G.40
1. Pengertian (Definisi) Stroke adalah suatu keadaan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi
neurologis (defisit neurologik fokal atau global) yang terjadi secara
mendadak, berlangsung lebih 24 jam atau menyebabkan kematian,
yang semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak
karena berkurangnya suplai darah (stroke iskemik) atau pecahnya
pembuluh darah secara spontan (stroke perdarahan)
2. Anamnesis Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat aktivitas/istirahat,
kesadaran baik/terganggu, nyeri kepala/tidak, muntah/tidak, riwayat
hipertensi, DM, jantung, dislipidemi, gangguan koagulasi (faktor
risiko stroke lainnya) lamanya (onset), serangan pertama/ulang.
3. Pemeriksaan Fisik Ada defisit neurologis:
 Hemiparesis / defisit sensorik (hipestesi, parestesi)
 Gangguan Nn.kraniales
 Afasia, disartria, apraksia, alexia, agrafia
 Hemianopsia parsial / komplit
 Gangguan kesadaran / kebingungan ( confusion )
 Diplopia, vertigo, nistagmus, ataksia
4. Kriteria Diagnosis Lihat anamnesis + Pemeriksaan Fisik + CT scan (gold standar)
5. Diagnosis Kerja Stroke Iskemik (Stroke Non Hemoragik, Infark Otak, Penyumbatan)
6. Diagnosis Banding 1. Ensefalopati toksik atau metabolik
2. Kelainan non neurologis/fungsional (contoh: kelainan jiwa)
3. Bangkitan epilepsi yang disertai paresis Todd’s
4. Migrain hemiplegik
5. Lesi struktural intrakranial (hematoma subdural, tumor otak,
AVM)
6. Infeksi ensefalitis, abses otak
7. Trauma kepala
8. Ensefalopati hipertensif
7. Pemeriksaan Penunjang Tergantung gejala dan tanda, usia, kondisi pre dan pasca stroke,
risiko pemeriksaan biaya, kenyamanan pemeriksaan penunjang.
Laboratorium :
- Darah rutin (Hb, Leukosit, Eritrosit, Trombosit, Hematokrit)
- Gula Darah Sewaktu (GDS)
- Fungsi Ginjal (Ureum, Kreatinin dan Asam Urat)
- Fungsi Hati (SGOT dan SGPT)
- Hemostasis (fibrinogen, APTT)
- Profil Lipid (Kolesterol, Trigliserida, HDL, LDL)

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


52

- Analisa Gas Darah dan Elektrolit (Na,K) atas indikasi


- Enzim jantung (CKMB, Troponin T)
Radiologis :
- Pemeriksaan Rontgen dada untuk melihat ada-tidaknya infeksi
paru maupun kelainan jantung
- Brain CT-Scan tanpa kontras (Golden Standard)
- MRI kepala atas indikasi
Pemeriksaan Penunjang lain :
- EKG
- Echocardiography
- Carotid Deppler (USG Carotis)
- Transcranial Doppler (TCD)
8. Konsultasi  Dokter spesialis penyakit dalam (Ginjal/Hipertensi, Endokrin),
kardiologis, pulmonologis bila ada kelainan organ terkait.
 Dokter Spesial Bedah Saraf untuk kasus yang perlu dioperasi
dekompresi karena peningkatan TIK.
 Rehabilitasi medik (setelah dilakukan prosedur Neurorestorasi
dalam 3 bulan pertama pasca onset)
 Gizi
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar informed consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana Penatalaksanaan Umum
 Posisi kepala dan badan atas 20 – 30 derajat, posisi lateral
dekubitus kiri bila disertai muntah.
 Bebaskan jalan nafas dan usahakan ventilasi adekuat, bila perlu
berikan oksigen 1- 2 L / menit sampai ada hasil analisa gas darah,
selanjutnya sesuai hasil AGD (O2 nasal, rebreathing atau
nonrebreathing mask)
 Monitoring ketat kardiak, tanda vital, dan saturasi oksigen dalam
48 jam pertama.
 Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan
kateterisasi intermiten. Dilakukan bladder scan terlebih dahulu.
Jika terdapat gangguan berkemih dilakukan bladder training
 Penatalaksanaan tekanan darah dilakukan secara khusus
 Hiperglikemia atau hipoglikemia harus dikoreksi
 Suhu tubuh harus dipertahankan normal ( > 37,5 ‘ C ==>
parasetamol )
 Nutrisi peroral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi
menelan baik, bila terdapat gangguan menelan atau penderita
dengan kesadaran menurun dianjurkan melalui pipa nasogastrik (
no 14 / 16 )
 Keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan
 Pemberian cairan intravena berupa cairan kristaloid atau koloid,
hindari yang mengandung glukosa murni atau hipotonik
 Bila ada dugaaan trombosis vena dalam diberikan heparin IV drip
/ LMWH subkutan, bila tidak ada kontraindikasi
 Mobilisasi dan rehabilitasi dini bila tidak ada kontraindikasi dan
hemodinamik stabil. Miring kiri dan kanan setiap 2 jam

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


53

Penatalaksanaan Kondisi Khusus


 Hipertensi
 Penurunan tekanan darah pada stroke iskemik akut ( urgensi )
jika terdapat salah satu dibawah ini :
 Tekanaan sistolik > 220 mmHg pada dua kali pengukuran
selang 30 menit
 Tekanan diastolik > 120 mmHg pada dua kali pengukuran
selang 30 menit
 Tekanan darah arterial rata rata ( MABP ) > 130 – 140
mmmHg pada dua kali pengukuran selang 30 menit ( dengan
target 160-180/ 90-100 mmHg )
 Disertai infark miokard akut / gagal jantung atau ginjal akut /
diseksi aorta torakalis
 Penurunan tekaanan darah perlu memperhatikan faktor
penyerta lainnya.
 Penurunan tekanan darah maksimal 20 % kecuali pada
kondisi adanya kerusakan target organ lainnya, diturunkan
sampai batas hipertensi ringan / pra stroke
 Bila diastolik lebih dari 140 mm Hg pada dua kali pengukuran
selang 5 menit, dapat pemantauan tekanan darah kontinyu
 Obat yang direkomendasikan: nicardipine 5 mg/jam IV, dapat
dinaikkan 2,5mg/ajm tiap 15 menit, sampai 15 mg/jam.
Diltiazem 15mg/jam. Obat oral golongan ACE inhibitor
(captopril, ramipril), ARB (candesartan, irbesartan, valsartan),
Ca channel blocker (verapamil, amlodipine), thiazide, Beta
blocker.
 Hipotensi harus dikoreksi sampai normal / hipertensi ringan dan
obati penyebabnya
 Hiperglikemia ( > 180 mg % ) harus dikoreksi sampai batas gula
darah sewaktu sekitar 150 mg% dengan insulin skala luncur atau
dengan intravena secara drips kontinyu selama 2 – 3 hari pertama
GDS Insulin
150-200 2U
201-250 4U
251-300 6U
301-350 8U
>=351 10 U
 Hipoglikemia ( < 60 / < 80 + gejala ) harus diatasi segera dengan
memberikan dekstrosa 40 % intravena sampai normal dan obati
penyebabnya
 Dislipidemi diatasi dengan modifikasi gaya hidup dan pemberian
statin
 Penyakit jantung (infark miokard dan fibrilasi atrium, payah
jantung) ditatalaksana sesuai PPK terkait.
 Pasien gelisah dapat diberikan:
 haloperidol IM 1-10 mg setiap 6 jam
 midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam
 morfin sc atau iv 5-10 mg/4-6jam

Penatalaksanaan Spesifik

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


54

 Antikoagulan heparin / Low molecular weight heparin dapat


dipertimbangkan dipakai untuk reperfusi dan prevensi stroke
berulang dengan indikasi tertentu
 Antipletelet dapat diberikan dalam 48 jam pertama (aspirin 80-325
mg, clopidogrel 75, dypiridamole, ticlopidine, cilostazol
 Neuroprotektor dapat diberikan ( citicholin, piracetam )
 Fibrinolitik (lumbrokinase) 3x1

Penatalaksanaan Komplikasi Medik


 ISK – antibiotika spektrum luas (cefixime, cotrimoxazole,
ciprofloxacin, ofloxacin
 Kejang diatasi segera dengan diazepam atau dengan antikonvulsan
lain (fenitoin).
 Stress ulkus diatasi / dicegah dengan antagonis H2, sukralflat atau
inhibitor pompa proton
 Pneumonia dapat dicegah dengan fisioterapi dan memperbaiki
fungsi menelan, modifikasi diit serta diobati dengan antibiotik
spektrum luas (makrolide, fluoroquinolone, B-lactam
 Tekanan intrakranial yang meninggi pada penderita stroke dapat
diturunkan dengan salah satu cara / gabungan berikut ini :
o Manitol bolus, 1 gr / kg BB dalam 20 – 30 menit kemudian
dilanjutkan dengan dosis 0,25 – 0,5 gr / kg BB setiap 6 jam
sampai maksimal 72 jam. Target osmolaritas = 300 - 320
mosmol/ liter
o Furosemid 1 mg / kg BB intravena
o Intubasi dan hiperventilasi terkontrol dengan oksigen
hiperbarik sampai pCO2 = 29 – 35 mm Hg
o Tindakan kraniotomi dekompresi, atas indikasi

Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi


 Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi penderita stroke adalah
berdasarkan kerjasama tim yang dipimpin oleh dokter
spesialis saraf dan dibantu oleh perawat khusus stroke,
petugas terapi fisik dan okupasional, petugas terapi wicara
serta ahli gizi dengan melibatkan juga keluarga pasien /
petugas sosial.
 Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi penderita stoke harus
dilaksanakan sedini mungkin dengan memperhatikan faktor –
faktor gangguan motorik, sensorik, kognitif, komunikasi,
visuospasial dan emosi ( depresi )
 Rehabilitasi awal meliputi pengaturan posisi, perawatan kulit,
fisioterapi dada, fungsi menelan, fungsi berkemih dan gerakan
pasif pada semua sendi ekstremitas
 Mobilisasi aktif sedini mungkin secara bertahap sesuai
toleransi setelah kondisi neurologik dan hemodinamik stabil
 Terapi wicara harus dilakukan sedini mungkin pada penderita
afasia dengan sti,ulasi sedini mungkin, terapi komunikasi,
terapi aksi visual, terapi intonasi melodik, dll
 Depresi harus diobati sedini mungkin dengan obat antidepresi

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


55

yang tidak mengganggu fungsi kognitif.

11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana umum, khusus, spesifik, komplikasi


12. Diet Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam,
nutrisi oral hanya boleh diberkan setelah hasil tes fungsi menelan
baik.
Kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari degnan komposisi:
- karbohidrat 30-40% dari total kalori
- lemak 20-35% (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-
55%)
- protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1,4-2
g/kgBB/hari dan pada gangguan fungsi ginjal <0,8
g/kgBB/hari)
13. Komplikasi  Fase Akut
- Neurologis :
 Stroke susulan (emboli atau tromboemboli lepas)
 Edema otak
 Infark berdarah
- Non Neurologis :
 Hipertensi / hiperglikemia reaktif
 Edema paru
 Gangguan jantung
 Infeksi saluran kemih
 Pneumoni
 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
 Fase Lanjut
- Neurologis : gangguan fungsi luhur
- Non Neurologis : Kontraktur, Dekubitus, Infeksi, Depresi
14. Edukasi Edukasi kepada keluarga dan care giver untuk pencegahan sekunder
berulangnya stroke, dengan pengendalian faktor risiko
Edukasi modifikasi gaya hidup dan diit
15. Prognosis  Ad vitam
i. Tergantung berat stroke dan komplikasi yang timbul
 Ad Functionam
ii. Penilaian dengan parameter
iii. Risiko kecacatan dan ketergantungan fisik/kognitif setelah 1
tahun : 20 – 30%
16. Tingkat Evidens Level 1-4
17. Tingkat Rekomendasi A-C
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis NIHSS
20. Kepustakaan 1. Budiman, R. Yoseph, dr. SpS. Pedoman Standar Pelayanan Medik
dan Standar Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1.
November 2013.
2. Guideline Stroke Perdossi 2011
3. Standar Prosedur Operasional Neurologi Perdossi.2008

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


56

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

TENSION-TYPE HEADACHE (TTH)


ICD G.44.2
1. Pengertian (Definisi) Nyeri kepala tipe tegang adalah serangan nyeri kepala berulang yang
berlangsung dalam menit sampai hari, dengan sifat nyeri yang
biasanya berupa rasa tertekan atau diikat, dari ringan-berat, bilateral,
tidak di picu oleh aktivitas fisik dan gejala penyertanya tidak
menonjol.
2. Anamnesis a. Sekurang-kurangnya terdapat 10 episode serangan nyeri kepala.
b. Nyeri kepala berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari.
c. Sedikitnya memiliki 2 karaktristik nyeri kepala berikut:
- Lokasi bilateral.
- Menekan/ mengikat (tidak berdenyut)
- Intensitas ringan atau sedang.
- Tidak diperberat oleh aktivitas rutin seperti berjalan atau
naik tangga.
d. Tidak dijumpai:
- Mual atau muntah (bisa berdenyut)
- Lebih dari satu keluhan: fotofobia atau fonifobia.
e. Tidak berkelainan dengan kelainan lain.
3. Pemeriksaan Fisik Pericarnial tenderness = nyeri tekan pada otot perikranial pada
waktu palpasi manual
4. Kriteria Diagnosis  Klinis: lihat anamnesis
5. Diagnosis Kerja TENSION-TYPE HEADACHE (TTH)
6. Diagnosis Banding 1.
Nyeri kepala penyakit lain: THT, gigi mulut, mata hipertensi,
infeksi, toksik, gangguan metabolik/elektrolit, anemia, gagal
ginjal, gagal hati.
2. Nyeri kepala servikogenik
3. Psikosomatik
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium : Darah rutin, elektrolit, kadar gula darah, dll (atas
indikasi, untuk menyingkiran penyebab sekunder)
 Radiologi : Atas indikasi (untuk menyingkirkan penyebab
sekunder)
 Gold Standard : Kriteria diagnostik nyeri Kepala Kelompok
Study Nyeri Kepala Perdossi 2005 yang diadaptasi dari HIS
(Internasional Headache Society)
 Patologi Anatomik : -
8. Konsultasi Tergantung kasus: interna, THT, gigi mulut, psikiatri.
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


57

10. Tata laksana  Medikamentosa:


 Analgetik: asetaminofen (650-1.000 mg setiap 6 jam kalau
perlu), ibuprofen (400-800 mg seetiap 8 jam dan tidak lebih
dari 3.200 mg/ hari), naproxen sodium ( 275mg PO tid atau
550 mg PO bid)
 Caffeine 65 mg (analgetik ajuvan)
 Kombinasi: 325 aspirin, asetaminofen + 40 mg kafein.
 Antidepressan: Nortriptyline (25-100 mg PO sebelum tidur;
tidak lebih 200 mg/hari), AMitriptyline (25-100 mg PO
sebelum tidur dan tidak lebih 150 mg/hari).
 Antiansietas: Diazepam 5-30 mg/hari, Klordiazepoksid 10-75
mg/hari, Alpazolam 0,25-0,50 mg, 3 kali sehari.
 Antiansietas: gol. Benzodiazepin, butalbutal.
 Terapi non-medikamentosa
a. Kontrol diet
b. Hindari faktor pencetus
c. Hindari pemakaian harian obat analgetik, sedatif dan
ergotamine
d. Behaviour treatment.
 Terapi fisik
 Terapi suportif: low level laser therapy
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet
13. Komplikasi Rebound headache (efek paradoksikal obat analgesik), adanya
penyakit penyerta seperti anasietas, depressi yang dapat memperberat
atau menyebabkan TTH
14. Edukasi Penerangan agar penderita bisa menerima hasil yang didapat yang
sekedar cukup realistik
15. Prognosis Baik
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis
20. Kepustakaan Budiman, R. Yosep. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November 2013.
Konsensus Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri Kepala. Perdossi.
2010

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


58

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

TETANUS
ICD A.35
1. Pengertian (Definisi) Penyakit sistem saraf yang perlangsungannya akut dengan
karakteristik spasme tonik persisten dan eksaserbasi singkat.
2. Anamnesis Lihat Kriteria Diagnosis
Riwayat luka pada ekstremitas, luka bakar, luka bekas operasi
Riwayat imunisasi tetanus
3. Pemeriksaan Fisik Lihat Kriteria Diagnosis
4. Kriteria Diagnosis  Hipertonik dan spasme otot:
- Trimus, risus sardonikus, otot leher kaku dan nyeri,
opistotonus, dinding perut tegang, anggota gerak spastik
- Kesukaran menelan, asfiksia dan sianosis, nyeri pada otot-otot
di sekitar luka.
 Kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu.
 Umumnya ada luka.
 Retensi urine dan hiperpireksia
 Tetanus lokal
5. Diagnosis Kerja TETANUS
6. Diagnosis Banding  Kejang karena hipokalsemia
 Reaksi distonia
 Rabies
 Meningitis
 Abses retrofaringeal, abses gigi, subluksasi mandibula
 Sindrom hiperventilasi / reaksi histeri
 Epilepsy/ kejang tonik konik umum
7. Pemeriksaan Penunjang  EKG bila ada tanda-tanda gangguan jantung
 Foto toraks bila ada tanda-tanda komplikasi paru-paru
8. Konsultasi Dokter gigi, dokter ahli bedah, dokter ahli kebidanan dan kandungan,
dokter ahli THT, dokter ahli anesthesi.
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


59

10. Tata laksana  Infus dekstrose 5% : RL= 1:1/6 jam, NaCI 0,9%
 Kausal:
- Antitoksin tetanus;
a. Serum antitetanus (ATS) diberikan dengan dosis 20.000
IU /i.m. single dose. TES KULIT SEBELUMNYA, ATAU
b. Humam tetanus Immunoglobulin (HTIG). Dosis 500-3.000
IU/I.M. tergantung beratnya penyakit. Diberikan SINGLE
DOSE.
- Antibiotik:
a. Metronidazole 500 mg/8 jam drips i.v
b. Ampicillin dengan dosis 1 gr/ 8jam i.v (TES KULIT
SEBELUMNYA)
Bila alergi terhadap Penisilin dapat diberikan :
- Erythromysin 500 mg/6 jam /oral. ATAU
- Tetracycline 500 mg/6 jam/oral.
- Penangan luka:
Dilakukan cross incision dan irigrasi menggunakan H2O2

 Simtomatis dan suportif


- Diazepam
 Setelah masuk rumah sakit, segera diberikan diazepam
dengan dosis 10 mg i.v perlahan 2-3 menit. Dapat diulang
bila diperlukan.
 Dosis maintenance: 10 ampul = 100mg/500ml cairan
infuse (10-120 mg/KgBB/hari) diberikan secara drips
(syringe pump)
 Setiap kejang diberikan bolus diazepam 1 ampul/IV
perlahan selama 3-5 menit, dapat diulang setiap 15 menit
sampai maksimal 3 kali. Bila tak teratasi segara dirawat di
ruang ICU.
 Bila penderita telah bebas kejang selama ±48 jam maka
dosis diazepam diturunkan secara bertahap ±10% setiap
1-3 hari (tergantung keadaan)
Segera setelah intake peroral memungkinkan maka diazepam
di berikan peroral dengan frekuensi pemberian setiap 3 jam.
- Oksigen, diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia, distress
pernapasan, sianosis.
- Nutrisi, diberikan TKTP dalam bentuk lunak, saring atau cair,
bila perlu, diberikan melalui pipa nasogastrik (NGT)
- Menghindari tindakan/ perbuatan yang bersifat merangsang,
termasuk rangsangan suara dan cahaya yang intensitasnya
bersifat intermitten .
- Mempertahankan/membebaskan jalan nafas: pengisapan lendir
oro/ nasofaring secara berkala.
- Posisi atau letak penderita diubah-ubah secara periodik
- Pemasangan kateter bila terjadi retensi urin
11. Terapi Medikamentosa Lihat tatalaksana
12. Diet Sesuai klinis

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


60

13. Komplikasi  Asfiksia akibat depresi pernafasan, spasme jalan nafas


 Pneumonia aspirasi
 Kardiomiopati
 Fraktur kompresi
14. Edukasi Sebelum pulang dari rumah sakit: tetanus toksoid (TT1) 0,5 ml IM.
TT2 dan TT3 : diberikan masing-masing dengan interval waktu 4-6
minggu.
15. Prognosis Angka kematian tinggi bila:
- Usia tua
- Masa inkubasi singkat
- Onset periodik singkat
- Demam tinggi
- Spasme yang tidak cepat diatasi
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Penelaah Kritis KSM Saraf
19. Indikator Medis  Budiman, R. Yoseph. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan
Standar Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1.
November 2013.
 Infeksi pada Sistem Saraf. Kelompok Studi Neuro Infeksi.
Perdossi. 2011

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


61

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

TRIGEMINAL NEURALGIA
ICD G50.0
1. Pengertian (Definisi)  Suatu keluhan serangan nyeri wajah satu sisi yang berulang,
sesuai dengan daerah distribusi persyarafan salah satu cabang
syaraf trigeminal yang diakibatkan oleh berbagai penyebab
 Serangan nyeri paroksismal, tiba-tiba, nyeri tajam, superficial,
seperti ditusuk, tersentrum, terbakar pada wajah atau frontal
(umunya unilateral) beberapa detik sampai <2 menit, berulang,
terbatas pada ≥1 cabang N. trigeminus (N.V).
2. Anamnesis Anamesis pada penderita dengan usia 40 tahun (kecuali pasien
multiple sklerosis) :
 Serangan nyeri timbul mendadak, sangat hebat, durasinya pendek
(kurang dari satu menit), dan dirasakan pada satu bagian dari
syaraf trigeminal , misalnya bagian rahang atau sekitar pipi.
 Nyeri sering kali terpancing bila suatu daerah tertentu dirangsang
(trigger area atau trigger zone). Trigger zone sering dijumpai di
sekitar cuping, hidung atau sudut mulut. Yang unik dari trigger
zone ini adalah rangsangannya harus berupa sentuhan atau
tekanan pada kulit atau rambut di daerah tersebut. Rangsang
dengan cara lain, misalnya dengan menggunakan panas,
walauipun menyebabkan nyeri pada tempat itu, tidak dapat
memancing terjadinya serangan neuralgi.
 Sensasi nyeri kebanyakan dilaporkan seperti kilatan, terasa seperti
kesetrum listrik, atau seperti sewaktu dibor oleh dokter gigi.
 Sifat nyeri adalah sangat intens, berlangsung hanya 20-30 sekon
saja, tetapi karena berulang sangat menakutkan pasien.
 Waktu istirahat antara serangan paling lama hanya satu menit.
 Seluruh rangkaian bisa berlangsung beberapa jam dan tiap
serangan bisadisertai gerak muka unilateral, seperti “tic”.
 Setelah suatu periode yang bisa berlangsung beberapa minggu
hingga bulan, nyeri bisa secara spontan menghilang dan timbul
lagi setelah masa istirahat yang bisa berkisar dari beberapa
minggu hingga setahun lebih.
 Nyeri hampir selalu unilateral. Ada yang mengatakan sisi kiri
lebih sering terkena dari pada sisi kanan.
 Suatu varian neuralgi trigeminal yang dinamakan tic convusif
ditandai dengan kontraksi sesisih dari otot muka yang disertai
nyeri yang hebat. Keadaan ini perlu di dibedakan dengan gerak
otot muka yang bisa menyertai neuralgi biasa, yang dinamakan tic
douloureux. Tics convulsive yang disertai nyeri hebat lebih sering

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


62

dijumpai di daerah sekitar mata dan lebih sering dijumpai pada


wanita.
 Riwayat penyakit herpes.
3. Pemeriksaan Fisik  Pemeriksaan neurologik pada neurologi trigeminal hampir selalu
normal
 Tidak terdapat gangguan sensorik pada neuralgi trigeminal murni.
4. Kriteria Diagnosis Nuralgia trigeminal didiagnosis berdasarkan anamnesis penderita
(selalu hampir selalu dimulai pada saat orang telah mencapai usia 40
tahun, kecuali pada pasien dengan multiple sklerosis)
 Lihat Anamnesa
5. Diagnosis Kerja Trigeminal Neuralgia
6. Diagnosis Banding Nyeri wajah atipikal
7. Pemeriksaan Penunjang CT-Scan kepala atau MRI dilakukan untuk mencari etilogi primer
didaerah posterior atau sudut Cerebelo-pontin.
8. Pengisian Form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
9. Tata Laksana Terapi Medikamentosa :
Antikonvulsan
 Karbamazepine
Dosisi awal adalah 3 x 100 hingga 200mg. Bila toleransi pasien
terhadap obat ini baik, terapi di lanjutkan hingga beberapa
minggu atau bulan. Dosis hendaknya disesuaikan dengan respon
pengurangan nyeri yang dapat dirasakan oleh pasien. Dosis
maksimal adalah 1200 mg/hari. Karena diketahui bahwa pasien
bisa mengalami remisi maka dosis dan lama pengobatan bisa
disesuaikan dengan kemungkinan ini. Bila terapi berhasil dan
pemantauan dari efek sampingnya negative, maka obat ini
sebaiknya diteruskan hingga sedikitnya 6 bulan sebelum dicoba
untuk dikurangi.
 Baclofen
Bila nyeri menetap setelah menggunakan karbamazepine maka
sebaiknya diperiksa kadar otot dalam darah. Bila ternyata kadar
sudah mencukupi sedangkan nyeri masih ada, maka bisa
dipertimbangkan untuk menambahkan obat lain, misalnya
baclofen. Dosis awal baclofen 10 mg/hari yang bertahap bisa
dinaikan hingga 60 hingga 80mg/ hari.
 Gabapetin
Dosis awal 300 mg, malam hari, selama 2 hari. Bila tidak terjadi
efek samping yang mengganggu seperti pusing/dizzy, ngantuk,
gatal, dan bingung, obat dinaikan dosisnya setiap 2 hari dengan
300 mg hingga nyeri hilang atau hingga tercapai dosis 1800
mg/hari. Dosis maksimal yang diperolehkan oleh pabrik obat ini
adalah 2400 mg/ hari.

Terapi Non-medikamentosa:
 TENS
 Terapi laser
 Diatermic

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


63

Bedah :
Bila terapi medikamentosa adekuat gagal
 Radiofrequency rhizotomy
 Percutaneous retrogasserian rhizolisis dengan gliserol
 Microvascular decompression
 Stereotactic radiosurgery dengan gamma knife

Penatalaksanaan dari segi kejiwaan


Hal lain yang penting diperhatikan selain pemberian obat dan
pembedahan adalah segi mental emsoi pasien. Selain obat – obatan
anti deperesan yang dapat memberikan efek perubahan kimiawi otak
dan mempengaruhi neurotransmitter baik pada depresi maupun
sensasi nyeri, juga dapat dialkukan tehnik konsultasi biofeedback
(melatih otak mengubah presepsinya akan rasa nyeri) dan tehnik
relaksasi.
- Jaga jadwal nyeri, buat skala rasa nyeri 1 hingga 10, dan
pertahankanlah dengan aktivitas
- Olahraga yang teratur, karena akan merangsang pengeluaran
endorphins
- Tetaplah sibuk, jangan tunggu timbulnya rasa nyeri
- Carilah dukungan. Keluarga dapat mndukung penderita tersebut
secara langsung
- Berbicara/berbagi pengalaman dengan apsien TN lainnya
- Cobalah untuk mempertahankan sense of humor

10. Terapi medikamentosa Lihat tatalaksana


11. Komplikasi -
12. Edukasi Penjelasan diagnosis, rencana tindakan, tata cara pelaksanaan, tujuan
terapi , resiko terapi, komplikasi dan prognosa
13. Prognosis Baik
14. Tingkat Evidens
15. Tingkat Rekomendasi
16. Penelaah Kritis KSM Saraf
17. Indikator Medis
18. Kepustakaan  Budiman, R. Yosep. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan
Standar Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1.
November 2013.
 Penuntun Praktis Penanganan Nyeri Neuropatik. Perdossi. 2000

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


64

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

TUMOR INTRAKRANIAL
ICD C.71
1. Pengertian (Definisi) Masa tumor primer atau sekunder dalam rongga intrakranial yang
menimbulkan efek desak ruang akut atau kronis dan gejala fokal
neurologis tergantung dari letak masa tumor tersebut.
2. Anamnesis 1. Gangguan Kesadaran akibat tekanan intrakanial yang meninggi :
 Gangguan kesadaran akibat peningkatan intrakranial dapat
berakhir hingga koma
 Tekanan intrakranial yang meninggi dapat menyebabkan ruang
tengkorak yang tertutup terdesak dan dapat pula menyebabkan
perdarahan setempat.
 Jaringan oak sendiri akan bereaksi dengan menimbulkan
edema, yang berkembang karena penimbunan katabolit di
sekitar jaringan neoplasmatik.
 Stasis dapat pula terjadi karena penekanan pada vena dan
disusul dengan terjadi edema
 Pada umumnya tumor di fosa cranium posteriorlebih cepat
menimbulkan gejala-gejala yang mencerminkan tekanan
intracranial yang meninggi. Hal ini mungkin disebabkan karena
aliran CSF pada aquaductusyang berpusat di fosa cranium
posterior dapat tersumbat sehingga tekanan dapat meninggi
dengan cepat.
Fenomena peningkatan tekanan intrakranial dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu :
a. Sindroma Unkus atau sindroma kompresi diensefalon ke
lateral.
Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral dari fosa
cranium medial dan biasanya mendesak ke tepi bagian medial
unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke
kolong tepi bebas daun tentorium. Karena desakan itu, bukan
diensefalon yang pertama kali mengalami gangguan melainkan
bagian ventral nervus okulomotoris. Akibatnya, pada awalnya
akan terjadi dilatasi pupil kontralateral, kemudian disusul
dengan gangguan kesadaran. Biasanya setelah ini akan terjadi
herniasi tentorial, yaitu keadaan terjepitnya diensefalon oleh
tentorium. Pupil yang melebar merupakan cerminan terjepitnya
nervus okulomotoris oleh arteri serebeli superior. Pada tahap
berkembangnya paralisis okulomotoris, keadaan akan menurun
secara progresif.
b. Sindroma kompresi sentral rosto-kaudal terhadap batang otak
Pada tahap dini, kompresi rosto-kaudal terhadap batang otak

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


65

akan menyebabkan :
- Respirasi yang kurang teratur
- Pupil kedua sisi sempit sekali
- Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke samping kiri
dan kanan
- Gejala UMN pada kedus sisi
Pada Tahap kompresi rosto-kaudal yang lebih berat, akan
terjadi :
- Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah
- Suhu badan mulai meningkat dan cenderung melonjak terus
- Respirasi cepat dan bersuara mendengkur
- Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar dan
tidak bereaksi terhadap sinar cahaya.
c. Herniasi serebelum di foramen magnum
Herniasi ini akan menyebabkan jilatan pada medula oblongata.
Gejala-gejala ganggungan pupil, pernapasan, okuler dan tekanan
darah berikut nadi yang menandakan gangguan pada medula
oblongata, pons ataupun mesensefalon akan terjadi.

2. Gejala umum tekanan intrakranial yang tinggi :


a. Sakit Kepala
Sakit kepala merupakan gejala umum yang dirasakan pada
tumor intrakranial. Sifat dari sakit kepala ini adalah nyeri
berdenyut-denyut atau rasa penuh di kepala seolah-olah mau
meledak. Nyerinya paling hebat di pagi hari, karena selama
tidur malam PCO2 arteri serebral meningkat sehingga
mengakibatkan peningkatan dari CBF dan dengan demikian
meningkatkan lagi tekanan intrakranial. Lokalisasi nyeri yang
unilateral akan sesuai dengan lokasi tumornya.
b. Muntah
Muntah sering timbul pada pagi hari setelah bangun tidur. Hal
ini disebabkan oleh tekanan intrakranial yang meninggi selama
tidur malam, dimana PCO2 serebral meningkat. Sifat muntah
dari penderita dengan tekanan intrakranial meninggi adalah
khas, yaitu proyektil atau muncrat yang tanpa didahului mual.
c. Kejang fokal
Kejang dapat timbul sebagai manifestasi dari tekanan
intrakranial yang melonjak secara cepat, terutama sebagai
manifestasi dari glioblastoma multiform. Kejang tonik biasanya
timbul pada tumor di fosa kranium posterior.
d. Gangguan Mental
Tumor di sebagian besar otak dapat mengakibatkan gangguan
mental, misal psikosis. Gangguan emosi juga akan terjadi
terutama jika tumor tersebut mendesak sistem limbik
(khususnya amigdala dan girus cinguli) karena sistem limbik
merupakan pusat pengatur emosi.

3. Tanda-tanda lokalisatorik
a. Tumor di lobus frontalis
Sakit kepala akan muncul pada tahap awal, sedangkan muntah

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


66

dan papiludema akan timbul pada tahap lanjutan. Walaupun


gangguan mental dapat terjadi akibat tumor di bagian otak
mana pun, namun terutama terjadi akibat tumor di bagian
frontalis dan korpus kalosum.
b. Tumor di daerah presentralis
Tumor di daerah presentralis akan merangsang daerah motorik
sehingga menimbulkan kejang pada sisi kontralateral sebagai
manifestasi dini. Bila tumor di daerah presentral sudah
menimbulkan destruksi struktural, maka manifestasinya berupa
hemiparesis kontralateral. Jika tumor bertumbuh di daerah falk
serebri setinggi daerah presentalis, maka pararesis infeior akan
dijumpai.
c. Tumor di lobus temporalis
Bila lobus temporalis kanan yang diduduki, manifestasi klinis
kurang menonjol. Kecuali, bila daerah unkus terkena, akan
timbul serangan “uncinate fit” pada epilepsi. Kemudian akan
terjadi gangguan pada fungsi penciuman serta halusinasi
auditorik dan afasia sensorik. Hal ini logis bila dikaitkan
dengan fungsi unkus sebagai pusat penciuman dan lobus
temporalis sebagai pusat pendengaran.
d. Tumor di lobus parietalis
Tumor pada lobus parietalis dapat merangsang daerah sensorik.
Jika tumor sudah menimbulkan destruksi struktural, maka
segala macam perasa pada daerah tubuh kontralateral yang
bersangkutan tidak dapat dikenali dan dirasakan. Hal ini akan
menimbulkan astereognosia dan ataksia sensorik. Bila bagian
dalam parietalis yang terkena, maka akan timbul gejala yang
disebut “thalamic over-reaction”, yaitu reaksi yang berlebihan
terhadap rangsang protopatik. Selain itu, dapat terjadi lesi yang
menyebabkan terputusnya optic radiation sehingga dapat
timbul hemianopsia.
e. Tumor di lobus oksipitalis
Tumor pada lobus ini jarang ditemui. Bila ada, maka gejala
yang muncul biasanya adalah sakit kepala di daerah oksiput.
Kemudian dapat disusul dengan ganggungan medan
penglihatan.
f. Tumor pada korpus kalosum
Sindroma pada korpus kalosum meliputi gangguan mental,
terutama menjadi cepat lupa sehingga melupakan sakit kepala
yang baru dialami dan mereda. Demensia juga akan sering
timbul disertai kejang tergangtung pada lokasi dan luas tumor
yang menduduki korpus kalosum.

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


67

3. Pemeriksaan Fisik  Neurological examination


 Eye movements
 Vision
 Hearing
 Reflexes
 Belance and coordination
 Sense of smell and touch
 Abstract thinking
 Memory
4. Kriteria Diagnosis Gejala tekanan intrakranial yang meningkat
- sakit kepala kronik, tidak berkurang dengan obat analgesic.
- muntah tanpa penyebab gastrointestinal.
- papil edema (sembab papil=choked disc)
- kesadaran menurun atau berubah.
 Gejala fokal
- True location sign
- False locational sign
- Neighboring sign
 Tidak ada tanda-tanda radang sebelumnya.
 Pemeriksaan neuroimaging terdapat kelainan yang menunjukkan
adanya massa (space occupying lesion/SOL)
5. Diagnosis Kerja TUMOR INTRAKRANIAL
6. Diagnosis Banding  Abses cerebri
 Sebdural hematom
 Tuberjuloma
 Pseudotumor cerebri
 Encephalitis
 Epidural Hematoma
 Stroke, hemorrhagic
 Stroke, ischemic
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratory tests
 Foto polos tengkorak: kelainan radiologic pada sella tursica atau
impressions digitate
 Neurofisiologi: electroencephalogram (EEG), Brainstem Auditory
Evoked Pontetial (BAEP)
 Computed Tomography (CT) Scanning/Magnetic Resonance
Imaging (MRI)kepala dan tulang belakang.
 Angiography
 Audiometry
 Rontgen thorak
 Perimetry
 Pemeriksaan tambahan: bronskoskopi, USG abdomen, bila curiga
metastasis.
8. Konsultasi Bedah saraf, Radiologi
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana  Kausal:

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


68

- Operatif: operasi tergantung letak tumor, dilakukan reseksi


parsial atau total.
- Radioterapi: diberikan paska oprasi parsial atau total untuk
tumor radiosensitif, tumor serebral yang letaknya dalam,
tumor batang otak.
- Kemoterapi: efek samping adalah supresi sumsum tulang,
febrosis paru progresif.
 Obat-obatan dan tindakan untuk menurunkan tekanan intracranial:
- Dexamethasone
 Dewasa: 4-10 mg IV(dosisi awal); 4-16 mg/hariPO/IV/IM
dalam dosis terbagi untuk maintenance.
 Anak: 0.25-0.5 mg/kg/hari PO/IV/IM dalam dosis terbagi.
- Manitol:
 Dosis awal 0.5-1 g/kg IV
 Maintenance: 0.25-0.5 g/kg IV setiap 4-6 jam
- Posisi kepala ditinggikan 20-30◦
 Sistematik (bila diperlukan dapat dibicarakan):
- Antikonvulsan
- Anakgetik/antipiretik
- Sedative
- Antidepresan bila perlu
 Rehabilitasi medik
11. Terapi Medikamentosa Bedah Saraf, Radiologi
12. Diet Tergantung kondisi
13. Komplikasi Herniasi otak, Perdarahan pada tumor, Hidrosefalus
14. Edukasi Penjelasan diagnosis, rencana tindakan, tata cara pelaksanaan, tujuan
terapi , resiko terapi, komplikasi dan prognosa
15. Prognosis Tergantung jenis tumor, lokalisasi, perjalanan klinis
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi KSM Saraf
18. Penelaah Kritis
19. Indikator Medis Budiman, R. Yoseph. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan
Standar Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1. November
2013.

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


69

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) KSM


TATALAKSANA KLINIS SARAF

RS RK CHARITAS PALEMBANG

VERTIGO

1. Pengertian (Definisi) Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau
lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang timbul, terutama dari
jaringan otonomik yang disebabkan oleh gangguan alat
keseimbangan tubuh oleh berbagai keadaan atau penyakit.
Klasifikasi :
Vestibulogenik
a. Primer : motion sickness, Bening Paroxysmal Positional Vertigo,
Meniere disease, Neuronitis Vestibuler, Drug Induced
b. Sekunder : Migrain Vertebrobasiler, Insufisiensi vertebrobasiler,
Neuroma akustik
Nonvestibuler
Gangguan serebellar, hiperventilasi, psikogenik, dll.
2. Anamnesis  Bentuk vertigo: melayang, goyang berputar, dan sebagainya.
 Keadaan yang memprovokasikan: perubahan posisi kepala dan
tubuh , keletihan ketegangan.
 Profil waktu: akut, paroksimal, kronik.
 Adanya gangguan pendengaran yang menyertai.
 Penggunaan obat-obatan misalnya stretomisin, kanamisin,
salisilat.
 Adanya penyakit sistematik seperti anemia, penyakit jantung,
hipertensi, hipotensi, penyakit paru.
 Adanya nyeri kepala.
 Adanya kelemahan anggota gerak.
3. Pemeriksaan Fisik Umum: keadaan umum, anemia, tekanan daah saat berbaraing dan
tegak, nadi, jantung, paru, abdomen.
Pemeriksaan neurologis umum:
 Kesadaran
 Syaraf-syaraf otak : visus, kampus, okulomotor, sensori dimuka,
otot wajah, pendengaran, dan menelan.
Pemeriksaan khusus Oto neurologis untuk menentukan lesi sentral
dan perifer :
 Fungsi Vestibular/Serebelar :
1. Tes Nylen Barany atau Dix Hallpike
2. Tes Kalori
3. Tes Romberg, Tandem Gait, Post Pointing test, Tes Fukuda,
dll
 Fungsi Pendengaran :
1. Tes Garputala

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


70

2. Audiometri
 Pemeriksaan Nistagmus
4. Kriteria Diagnosis Vertigo merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala subjektif
(symptoms) dan objektif (signs) dari gangguan alat keseimbanagn
tubuh.
 Gejala subjektif:
 Pusing, rasa kepala ringan
 Rasa terapung, terayun
 Mual
 Gejala objektif:
 Keringat dingin
 Pucat
 Muntah
 Sempoyongan waktu berdiri atau berjalan
 Nistagmus

Gejala tersebut di atas dapat diperberat/diprovokasi dengan adanya


perubahan posisi kepala
Dapat disertai gejala berikut:
 Kelainan THT
 Kelainan Mata
 Kelainan Syaraf
 Kelainan Kardiovaskular
 Kelainan Penyakit Dalam lainnya
 Kelainan Psikis
 Konsumsi obat-obat ototoksik
5. Diagnosis Kerja Vertigo
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium: darah rutin, kimia darah, urin, dan
pemeriksaan lain sesuai indikasi.
b. Pemeriksaan Radiologi : Foto tulang tengkorak leher, Stenvers
(pada neurinoma akustik).
c. Pemeriksaan Neurofisiologi: elektroesefalografi (EEG),
elektromiografi (EMG).
d. Pemeriksaan Neuro-imaging: CT-Scan kepala,
pnemoensefalografi, Transcranial Doppler.
8. Konsultasi THT dan unit pelayanan lain yang terkait sesuai indikasi.
9. Pengisian form Lembar edukasi dan lembar inform consent: ditandatangani oleh
pasien atau keluarga, DPJP dan saksi
10. Tata laksana e. Terapi kausual: sesuai dengan penyebab
f. Terapi simptomatik
Pengobatan simtomatik vertigo:
a. Ca-entry blocker (mengurangi aktivitas eksitatori SSP dengan
menekan pelepasan glutamate, menekan aktivitasNMDA
special channel, bekerja lansung segabai depressor labirin):
Flunarisin (Sibelium) 3x 5-10 mg/hr
b. Antihistamin (efek antikolinegrik dan merangsang inhibitory
monoaminergik dengan akibat inhibisi n.vestibualris):
Cinnarizine 3x25 mg/hr, Dimenhidrinat (Dramamine)

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang


71

3x50mg/hr.
c. Histamik (inhibisi neuron polisinaptik pada N.vestibularis
lateralis): Betahistine (Merislon) 3x8 mg
d. Fenctine (pada komoreseptor trigger zone dan pusat muntah di
M. cblongata): Chlorpromazine (largaktil) 3x 25 m/hr
e. Benzodiazepine 3 x 2-5 mg/hr (diazepam menurunkan resting
activity neuron pada n. vestibularis).
f. Antiepileptic: carbamazepine (tegretot) 3x200 mg/hr, Fenitoin
(dilantin) 3 x 100 mg (bila ada tanda kelainan epilepsy dan
kelaianan EEG).
g. Campuran obat-obatan.
Pengobatan simptomatik otonom (mis. Muntah)
Metoclopramide (Primperan, Raclonid) 3 x 10 mg/hr
h. Terapi rehabilitasi
Latihan visual-vestibular, Metode Brandt-daroff, gay exercise
11. Konsultasi THT dan Unit pelayanan lain yang terkait sesuai indikasi
12. Komplikasi Dehidrasi, Gangguan elektrolit
13. Edukasi Penjelasan diagnosis, rencana tindakan, tata cara pelaksanaan, tujuan
terapi , resiko terapi, komplikasi dan prognosa
14. Prognosis Tergantung penyebab
15. Tingkat Evidens
16. Tingkat
Rekomendasi
17. Penelaah Kritis KSM Saraf
18. Indikator Medis
19. Kepustakaan  Budiman, R. Yoseph. Pedoman Standar Pelayanan Medik dan
Standar Prosedur Operasional Neurologi. Cetakan ke-1.
November 2013.
 Pedoman Tata Laksana Vertigo. Perdossi. 2012

Panduan Praktik Klinis Jilid 3 - RS RK Charitas Palembang

Anda mungkin juga menyukai