Anda di halaman 1dari 4

Nama : Afifah Halimatu Alwiyah ( 010718002)

Prodi : S-1 Farmasi

Semester : IV (4)

Mata Kuliah : Biofarmasetika Pertemuan Ke-11 Studi Absorbsi Obat

Mengapa perlu dilakukan uji in vivo dan in vitro pada suatu zat atau senyawa?
Pelajarilah jurnal mengenai uji in vivo dan in vitro kemudian buat rangkuman
langkah-langkah pengujiannya !
JAWAB
Mengapa perlu dilakukan uji in vivo dan in vitro pada suatu zat atau
senyawa?
Uji in vivo dilakukan untuk mengetahui pengaruh dosis campuran tumbuhan
tersebut yang digunakan dalam pakan terhadap kelangsungan hidup senyawa
setelah di infeksi bakteri uji. Uji in vitro merupakan suatu metode uji pada media
buatan yang sesuai dengan lingkungan optimal yang diperlukan oleh mikroba
untuk tumbuh dan berkembangbiak. Uji in vitro dilakukan untuk melihat daya
kerja antimikrobial ekstrak zat atau senyawa tersebut . Metode yang digunakan
pada pengujian in vitro adalah metode difusi atau metode cakram kertas
antibiogram Kirby- Bauer dan menggunakan metode dilusi. Pada metode difusi
parameter yang diamati adalah zona hambat yang terbentuk, yaitu dengan
mengukur diameter zona jernih di sekitar sumur dengan penggaris. Kedua
pengujian tersebut dapat bertujuan Mengetahui konsentrasi ekstrak tumbuhan
dalam menghambat senyawa atau zat pada tumbuhan yang di uji secara in vitro
dan in vivo.

Materi Dari Jurnal Tentang Langkah-Langkah Pengujiannya Uji In Vivo


Dan In Vitro

ekstrak etanol Buah salak bongkok (Salacca edulis Reinw.) sebagai antikanker
1. Uji In Vitro
Metode uji toksisitas yang digunakan dalam percoban adalah metode BST,
yaitu suatu uji ketoksikan terhadap larva Artemia salina dengan menghitung
prosentase kematian larva seperti yang digunakan oleh Meyer, (1982). Setiap
langkah dalam isolasi senyawa dipandu dengan Bioassay Guided Isolation
menggunakan metode BST. Metode ini telah banyak dikembangkan sebagai salah
satu cara penentuan bioaktivitas ekstrak tanaman maupun senyawa murni. Meyer,
(1982), menyatakan bahwa suatu senyawa dikatakan aktif jika mempunyai nilai
LC50 dibawah 1000 µg/ml. Berdasarkan hal itu maka dilakukan pengujian dengan
metode BST dengan konsentrasi 1000 dan 500 µg/ml pada masing -masing
ekstrak tanaman sebagai langkah awal dalam melakukan skrining. Penurunan
konsentrasi dilakukan untuk mengetahui ekstrak mana yang mempunyai efek
toksik yang paling tinggi terhadap larva udang dengan konsentrasi terkecil.

Pembuatan air laut buatan (ALB) :


Dibuat ALB dengan komposisi Natrium klorida 5g,Magnesium sulfat
1,3g, Natrium hidrokarbonat 2g, Magnesium klorida 1g, Kalsium klorida 0,3g,
Kalium klorida 0,2, dilarutkan dengan Aquades hingga 1L.

Penetasan larva udang :


Telur udang A. salina diletakkan pada wadah berisi aquadest, kemudian
ditiriskan sampai airnya tuntas kemudian ditempatkan pada wadah gelap dari
aquarium berisi air laut buatan yang diberi aerasi. Wadah atau aquarium yang
digunakan dibagi dengan sekat menjadi dua bagian, bagian gelap dan terang.
Telur akan menetas setelah 24 jam dan akan menuju daerah terang melalui sekat.
Larva yang sehat bersifat fototropik dan siap dijadikan sebagai hewan uji setelah
beumur 48 jam.

Preparasi sampel :
Seri konsentrasi sampel uji dibuat dengan pengambilan volume tertentu
dari larutan stok dan dimasukkan dalam flakon yang berisi larutan sampel dengan
konsentrasi tertentu. Pelarut yang digunakan disesuaikan dengan sifat kelarutan
sampel. Pembuatan kontrol uji dilakukan dengan memasukkan pelarut saja dalam
flakon. Flakon-flakon yang telah diisi sampel dan kontrol selanjutnya diangin-
anginkan sampai kering dan tidak berbau pelarut lagi.

Pengujian sampel :
Senyawa uji dalam flakon dilarutkan dengan air laut secukupnya dan
diaduk menggunakan vortex. Sepuluh ekor larva yang sehat dimasukkan pada
masing-masing flakon dan ditambahkan air laut sampai volume 5 ml. Selanjutnya
dibuat suspensi yeast 0,6 mg/ml dan diteteskan pada masing-masing flakon satu
tetes sebagai makanan larva. Flakon-flakontersebut diletakkan dibawah lampu
pijar selama 24 jam. Jumlah larva yang mati dihitung sehingga diketahui
prosentasi kematian dan dicari LC50
2. Pemisahan dengan kromatografi kolom

Ekstrak etanol pekat (dari bahan awal) dilakukan uji BST untuk
menentukan konsentrasi awal potensi aktif BST, sisanya dipartisi dengan n-
heksan untuk memisahkan antara senyawa polar dan non polar dengan
perbandingan 1:1, partisi dilakukan sampai warna ekstrak etanol benar-benar
sudah kuning (bening) dengan 4x pemisahan. Diperoleh 2 ekstrak partisi yaitu
ekstrak fraksi n-heksan dan ekstrak fraksi etanol. Fraksi hasil partisi dipekatkan
dengan alat rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak pekat. Dari kedua fraksi
juga dilakukan uji BST untuk mengetahui dari kedua fraksi tersebut mana yang
teraktif BST. Fraksi yang paling aktif BST kemudian dilanjutkan ke pemisahan
kromatografi kolom dan juga di KLT untuk mencari perbandingan sistem eluen
yang akan digunakan. Perbandingan sistem eluen yang digunakan adalah yang
memberikan pemisahan paling baik dan diperoleh perbandingan antara n-heksan :
etil asetat masing-masing 80% : 20%; 10%:90 %, dan 100 % etil asetat.
Kolom Vakum Cair (KVC) :
Preparasi kolom : 100 gram silika gel dimasukkan kedalam siter glass
(kolom) dengan diberikan tekanan-tekanan dan divakum hingga tinggi silika ± ½
tinggi kolom sambil terus ditekan dan divakum sampai silika benar-benar padat
dan permukaan silika rata, kolom siap digunakan.
Preparasi sampel : 5 gr sampel ditambah dengan n-heksan (agar tidak
terlalu pekat) kemudian ditambah dengan silika gel 10 gam, dicampur dan diaduk
sampai rata kemudian dipanaskan dengan water bath dan diangin-anginkan hingga
terbentuk serbuk yang benar-benar halus dan mawur (kering), warna sampel
merah pucat. Sampel siap digunakan.
Proses KVC :
Serbuk sampel dimasukkan ke dalam kolom di atas permukaan silika
kolom, permukaan dibuat rata kemudian ditambahkan kertas saring diatasnya
untuk menghindari agar sampel tidak berhamburan saat terkena eluen. Elusi
dilakukan dengan perbandingan eluen n-heksan : etil asetat masing-masing 80
%:20%, 10%:90 % dan 100 % etil asetat dengan divakum dan diperoleh 6 eluet (6
fraksi), fraksi tersebut di evaporasi sehingga diperoleh fraksi pekat hasil KVC.
Dari ke enam fraksi tersebut dilakukan uji KLT untuk melihat spot pemisahannya
dan dilihat profil yang sama untuk penggabungan fraksi. Dari 7 hasil KLT dapat
digabungkan Fraksi I : fraksi 1, Fraksi II : penggabungan fraksi 2 dan 3, Fraksi
III : penggabungan fraksi 4, 5 dan 6. Dari penggabungan fraksi tersebut diperoleh
3 fraksi gabungan, fraksi I, II, dan III kemudian di lakukan uji BST dari ketiga
fraksi tersebut untuk mengetahui fraksi mana yang teraktif BST untuk dilanjutkan
identifikasi stuktur komponen senyawa kimia yang terkandung dalam fraksi
teraktif.

3. Uji In Vivo
Hasil uji BST dari fraksi teraktif kemudian digunakan untuk uji toksisitas
secara in vivo. Adapun langkah-langkah pengujiannya sebagai berikut :
Pengelompokan hewan uji :
Digunakan mencit jantan berat sekitar 20 g, dikelompokkan dalam empat
peringkat dosis ditambah satu kelompok kontrol negatif, masing-masing
kelompok terdiri 6 ekor mencit. Peringkat dosis mulai dari yang tidak
memberikan efek hingga dosis mematikan. Untuk keperluan statistika dilakukan
replikasi 4 kali.
Pengamatan :
Dilakukan pengamatan tiap hari selama 7 hari setelah pemberian peroral
(dosis tunggal). Pengamatan meliputi (1) gejala klinis termasuk gerak,
perilaku,pernafasan, kejang otot,dan muntah; (2) berat badan ; (3) jumlah hewan
mati. Data jumlah hewan yang mati pada setiap kelompok, dipergunakan untuk
menghitung harga LD50 menggunakan metode statistika yang sesuai.

Anda mungkin juga menyukai