Pemerintah dengan segala kekuatan yang dimilikinya telah berupaya mencarikan “obat” yang
tepat untuk mengatasinya. Lembaga-lembaga kemasyarakatan pun kini telah banyak terjun
membantu mengatasi berbagai permasalahan pendidikan Indonesia ini. Namun hingga kini
pendidikan Indonesia masih belum mengalami kemajuan yang signifikan.
Permasalahan ini juga ditangkap oleh Hesti Sulastri, Konsultan Relawan Sekolah Literasi
Indonesia (Kawan SLI) yang bertugas di Cianjur, Jawa Barat. Di sana, Hesti menjadi ujung
tombak pelaksanaan program Sekolah Literasi Indonesia (SLI) yang digagas oleh Dompet
Dhuafa Pendidikan (DD Pendidikan).
Setiap harinya, Hesti mendampingi dan memberikan konsultasi pada Kepala Sekolah juga para
guru untuk menerapkan pembelajaran berbasis literasi. Tujuan akhir program ini adalah
meningkatkan kualitas sekolah dan kualitas pembelajaran. Tidak hanya di tempat Hesti, program
ini juga terlaksana di 16 wilayah Indonesia lainnya. Pada setiap wilayah tersebut, bertugas satu
orang Kawan SLI seperti Hesti.
Hesti telah bertugas sejak September 2018 lalu. Dia bertanggungjawab mendampingi 3 sekolah,
terdiri dari 2 MI dan 1 SD. Dari interaksi setiap hari dengan para guru inilah, Hesti menemukan
bagaimana realita pendidikan Indonesia sebenarnya. “Tugas ini menyadarkan saya bahwa salah
satu penyebab ‘sakit’-nya pendidikan di Indonesia ini adalah rendahnya kompetensi para guru,”
ungkap Hesti.
Hesti juga menyadari bahwa pergantian menteri pendidikan dan pergantian kurikulum belum
mampu menjawab permasalahan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya yang
terkait dengan profesionalitas guru. “Di tahun 2017 dari 3,9 juta guru yang ada saat ini sebanyak
25 persen masih belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52 persen guru belum
memiliki sertifikat profesi. Sementara, dalam menjalankan tugasnya seorang guru harus memiliki
empat kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Keempat
kompetensi ini belum saya lihat ada semuanya di figur seorang guru, terutama di tempat saya
bertugas,” tulis Hesti dalam rilisnya.
Di salah satu Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang Hesti dampingi, lima dari sembilan guru yang ada
bukanlah sarjana pendidikan. Lima orang guru tersebut hanya tamatan SMA, tiga orang di
antaranya tengah kuliah Semester 4 jurusan PGSD. “Hal ini tentu berdampak pada tidak
memadainya kompetensi yang dimiliki para guru tersebut dalam mengajar, terutama kompetensi
pedagogik dan kompetensi profesional,” kata Hesti.
Berbeda kasus di sekolah dasar yang juga didampingi Hesti. Empat belas orang gurunya telah
bergelar Sarjana Pendidikan dan salah satunya kini tengah menempuh pendidikan S2. Namun
ironisnya, guru-guru tersebut tidak mau mengembangkan dirinya untuk menambah pengetahuan
dan kompetensinya dalam mengajar. “Mereka merasa telah cukup dengan ilmu dan pengetahuan
yang kini mereka miliki. Guru-guru tersebut juga tidak pernah menggunakan media
pembelajaran, dan selalu mengajar dengan metode ceramah atau penugasan saja,” ucap Hesti.
Fenomena tersebut membuat pembelajaran yang seharusnya berpusat pada siswa sesuai dengan
Kurikulum 2013, menjadi tidak terwujud. Guru tetaplah “teko” dan siswa tetaplah “gelas”.
Konsekuensinya siswa akan selalu pasif menunggu ilmu dari guru. Padahal dalam UU No. 14
Tahun 2015 Tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru adalah agen pembelajaran yang
harus menjadi fasilitator, motivator, dan pemberi insipirasi belajar bagi peserta didik.
Dirinya juga menambahkan dasar hukum yang lain. Dalam UU Guru dan Dosen Pasal 20 juga
telah dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, seorang guru berkewajiban
untuk meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara
berkelanjutan, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Dua kasus tersebut hanya sebagian kecil dari permasalahan tentang kualitas guru yang Hesti
temukan di lapangan. “Dua kasus tersebut telah mampu menggambarkan betapa kualitas guru
mampu berimbas pada keberhasilan pendidikan di Indonesia. Jika dalam waktu dekat tidak ada
tindakan nyata untuk membenahi masalah kualitas guru ini, maka kemajuan pendidikan di
Indonesia tetaplah sebatas angan-angan belaka,” ucap Hesti.
A. Pendididk
4. Kompetensi Pedagogik
a. Memahami karakteristik peserta didik dari aspek fisik, sosial, moral, kultural,
emosional, dan intelektual.
i. Memahami latar belakang keluarga dan masyarakat peserta didik dan kebutuhan
belajar dalam konteks kebhinekaan budaya.
j. Memahami gaya dan kesulitan belajar peserta didik.
k. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik.
l. Menguasai teori dan prinsip belajar serta pembelajaran yang mendidik.
m. Mengembangkan kurikulum yang mendorong keterlibatan peserta didik dalam
pembelajaran.
n. Merancang pembelajaran yang mendidik.
o. Melaksanakan pembelajaran yang mendidik.
p. Mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
5. Kompetensi Kepribadian
a. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan
berwibawa.
q. Menampilkan diri sebagai pribadi yang berakhlak mulia dan sebagai teladan bagi
peserta didik dan masyarakat.
r. Mengevakuasi kinerja sendiri.
s. Mengembangkan diri secara berkelanjutan.
6. Kompetensi Sosial
a. Berkomunikasi secara efektif dan empatik dengan peserta didik dan pihak2 yang
terkait.
t. Berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan di sekolah dan masyarakat.
u. Berkontribusi terhadap pengemb pendidikan di tingkat lokal, regional, nasional,
dan global.
v. Memanfaatkan teknologi informasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan
diri.
7. Kompetensi Profesional
a. Menguasai substansi bidang studi dan metodologi keilmuannya.
w. Menguasai struktur dan materi kurikulum bidang studi.
x. Menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi & komunikasi dalam
pembelajaran.
y. Mengorganisasikan materi kurikulum bidang studi.
z. Meningkatkan kualitas pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas.
Seorang calon pendidik hanya dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika memperoleh
jawaban yang jelas dan benar tentang apa yang dimaksud pendidikan. Jawaban yang benar
tentang pendidikan diperoleh melalui pemahaman terhadap unsur-unsurnya, konsep dasar yang
melandasinya, dan wujud pendidikan sebagi sistem. Makalah ini akan mengkaji pengertian
pendidikan,unsur-unsur pendidikan, dan sistem pendidikan.
A. PENGERTIAN PENDIDIKAN
Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam, dan kandungannya
berbeda yang satu dari yang lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar
yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya.
Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya
dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses
transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai
yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain.
Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagi suatu kegiatan yang sistematis
dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi
melalui 2 sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang
sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri.
Pendidikan sebagai penyiapan warganegara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana
untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik.
Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik
sehingga memiliki bekal dasar utuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting dari pendidikan
karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia.
GBHN 1988(BP 7 pusat, 1990: 105) memberikan batasan tentang pendidikan nasional sebagai
berikut: pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa indonesia dan berdasarkan
pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta
dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan
bangsa.
a. Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan
indah untuk kehidupan. Pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap
kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan
pendidikan.
b. Proses pendidikan
Proses pendidikan merupakan kegiatan mobilitas segenap komponen pendidikan oleh pendidik
terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan, Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua
segi, yaitu kualitas komponen dan kualitas pengelolaannya , pengelolaan proses pendidikan
meliputi ruang lingkup makro, meso, mikro. Adapun tujuan utama pemgelolaan proses
pendidikan yaitu terjadinya proses belajar dan pengalaman belajar yang optimal.
PSH bertumpu pada keyakinan bahwa pendidikan itu tidak identik dengan persekolahan, PSH
merupakan sesuatu proses berkesinambungan yang berlangsung sepanjang hidup. Ide tentang
PSH yang hampir tenggelam, yang dicetuskan 14 abad yang lalu, kemudian dibangkitkan
kembali oleh comenius 3 abad yang lalu (di abad 16). Selanjutnya PSH didefenisikan
sebagai tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman
pendidikan. Pengorganisasian dan penstruktursn ini diperluas mengikuti seluruh rentangan
usia, dari usia yang paling muda sampai paling tua.(Cropley:67)
a. Rasional
d. Alasan faktor sosial yang berhubungan dengan perubahan peranan keluarga, remaja, dan
emansipasi wanita dalam kaitannya dengan perkembangan iptek
Kemandirian dalam belajar diartikan sebagai aktivitas belajar yang berlangsungnya lebih
didorong oleh kamauan sendiri, pilihan sendiri, dan tanggung jawab sendiri dari pembelajaran.
Konsep kemandirian dalam belajar bertumpu pada perinsip bahwa individu yang belajar akan
sampai kepada perolehan hasil belajar.
ü Perkembangan iptek berlangsung semakin pesat sehingga tidak mungkin lagi para
pendidik(khususnya guru) mengajarkan semua konsep dan fakta kepada peserta didik.
ü Para ahli psikologi umumnya sependapat, bahwa peserta didik mudah memahami konsep-
konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkret dan wajar sesuai
dengan situasi dan kondidi yang dihadapi dengan mengalami atau mempraktekannya sendiri.
B. UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN
Penjelasan:
1. Peserta Didik
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebutkan
demikian oleh karena peserta didik adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui
keberadaannya.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:
a. Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang
unik.
Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga
lingkunga yaitu lingkungankeluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu
yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program
pembelajaran, latihan, dan masyarakat.
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan
pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal
ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode, serta alat-alat
pendidikan.
Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan
sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Secara khusus alat melihat jenisnya sedangkan
metode melihat efisiensi dan efektifitasnya. Alat pendidikan dibedakan atas alat yang preventif
dan yang kuratif.
Lingkungan pendidikan biasanya disebut tri pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan
masyarakat.
C. PENDIDIKAN SEBAGAI SISTEM
1. Pengertian Sistem
b. Sistem meruapakan himpunan komponen yang saling berkaitan yang bersama-sama
berfungsi untuk mencapai suatu tujuan. (Tatang Amirin, 1992:10)
c. Sistem merupakan sehimpunan komponen atau subsistem yang terorganisasikan dan
berkaitan sesuai rencana untuk mencapai suatu tujuan tertentu. (Tatang Amirin, 1992:11)
Pendidikan sebagai sebuah sistem terdiri dari sejumlah komponen. Komponen tersebut antara
lain: raw input (sistem baru), output(tamatan), instrumentalinput(guru, kurikulum),
environmental input(budaya, kependudukan, politik dan keamanan).
3. Hubungan Sistem Pendidikan dengan Sitem Lain dan Perubahan Kedudukan dari
Sistem
Sistem pendidikan dapat dilihat dalam ruang lingkup makro. Sebagai subsistem, bidang
ekonomi, pendidikan,dan politik masing-masing-masing sebagai sistem. Pendidikan formal,
nonformal, dan informal merupakan subsistem dari bidang pendidikan sebagai sistem dan
seterusnya.
Perubahan cara memandang suatu status dari komponen menjadi sitem ataupunsebaliknya suatu
sitem menjadi komponen dari sitem yang lebih besar, tidak lain daripada perubahan cara
memandang ruang lingkup suatu sitem atau dengan kata lain ruang lingkup suatu permasalahan.
b. Masalah berjenjang
Semua masalah tersebut satu sama lain saling berkaitan dalam hubungan sebab akibat, alternatif
maslah, dan latar belakang masalah.
Komponen-komponen yang baik menunjang terbentuknya suatu sistem yang baik. Tetapi
komponen yang baik saja belum menjamin tercapainya tujuan sistem secara optimal, manakala
komponen tersebut tidak berhibungan secra fungsional dengan komponen lain.
Dalam ruang lingkup besar terlihat pula sistem yang satu saling berhubungan dengan sistem
yang lain. Hal ini wajar, oleh karena pada dasarnya setiap sistem itu hanya merupakan satu aspek
dari kehidupan. Sdangkan segenap segi kehidupan itu kita butuhkan, sehingga semuanya
memerlukan pembinaandan pengembangan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari persoalan pengajaran dan pendidikan adalah:
a. pengajaran dan pendidikan dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Masing-masing saling mengisis.
b. Pembedaan dilakukan hanya untuk kepentingan analisis agar masing-masing dapat
dipahami lebih baik.
6. Pendidikan prajabatan (preservice education) dan pendidikan dalam jabatan
(inservice education) sebagai sebuah sistem.
Pendidikan prajabatan berfungsi memberikan bekal secara formal kepada calon pekerja dalam
bidang tertentu dalam periode waktu tertentu. Sedangkan pendidikan dalam jabatan bermaksud
memberikan bekal tambahan kepada oramg-orang yang telah bekerja berupa penataran, kursus-
kursus, dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan prajabatan hanya memberikan bekal dasar,
sedangkan bekal praktis yang siap pakai diberikan oleh pendidikan dalam jabatan.
Pendidikan formal yang sering disebut pendidikan persekolahan, berupa rangkaian jenjang
pedidikan yang telah baku, misalnya SD,SMP,SMA, dan PT. Pendidikan nonformal lebih
difokuskan pada pemberian keahlian atau skill guna terjun ke masyarakat. Pendidikan informal
adalah suatu fase pendidikan yang berada di samping pendidikan formal dan nonformal.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal, nonformal, dan informal ketiganya hanya dapat
dibedakan tetapi sulit dipisah-pisahkan karena keberhasilan pendidikan dalam arti terwujudnya
keluaran pendidikan yang berupa sumberdaya manusia sangat bergantung kepada sejauh mana
ketiga sub-sistem tersebut berperanan.
KESIMPULAN
Pendidikan adalah Suatu Konsep dasar yang bersifat atu bertujuan mengarahkan membimbing
dan membina dari suatu hal yang tidak diketahui menjadi suatu hal yang diketahui baik secara
umum maupun pribadi. dengan struktur, arahan, sarana dan prasarana yang telah terencana
sehingga mendukung proses pendidikan tersebut dan dapat dihasil kan suatu serapan materi yang
penting. Biasanya hal ini berkaitan dengan landasan dan ketulusan hati sehingga materi yang
disampaikan dapat dipahami secara terbuka.
Jadi Pendidikan itu adalah sesuatu Hal yang dibutuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang akan
menguatkan semua indera kita seperti makanan dan minuman, dengan yang lebih kita butuhkan
untuk mencapai peradaban yang tinggi yang merupakan santaan akal dan rohani
DAFTAR PUSTAKA
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta