Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

IJTIHAD DALAM AJARAN ISLAM

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Islam

Oleh:

Sukma Ayu Lestari

Nim: 1810100007

Dosen Pengampu :

Puji Kurniawan, S.H.I.,MA.Hk

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI PADANGSIDIMPUAN
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada baginda nabi Muhammad S.A.W. beserta para keluarga dan sahabatnya.

Makalah yang berjudul “Ijtihad dalam ajaran Islam” ini saya tulis untuk memenuhi
tugas mata kuliah Metode Studi Islam, yang juga nerupakan sebagai sarana belajar bagi saya
untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat suatu karya ilmiah.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan sehingga
saya mohon maaf dan saya berharap adanya kritik dan saran yang bersifat membangun baik
secara langsung maupun tidak langsung.

Saya berharap kepada Allah SWT, agar kiranya menjadikan makalah ini bermanfaat bagi
saya maupun orang lain.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Padangsidempuan, Oktober 2019

Penulis

1
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Semakin berkembangnya social masyarakat akan menimbulkan permasalahan baru yang
semakin kompleks. Permasalahan-permasalahan itu perlu adanya pengkajian gunapenetapan
hukum yang sesuai dengan ajaran yang disyariatkan agama. Penetapan hukum itu tidaklah
segampang membalik telapak tangan melainkan membutuhkan pemikiran-pemikiran yang harus
berdasar pada hukum yang ada dalam al-Quran dan Hadist.
Oleh karena itu diperlukan penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan
yang tidak ditunjuk secara tegas oleh al-Quran dan Hadist. Maka untuk itu ijtihad menjadi sangat
penting. Bukan hanya tahu hukum al-Quran dan Hadist saja, seorang yang akan berijtihad harus
mempunyai pengetahuan dalam ijtihadnya.

B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan ijtihad?
b. Apa dasar hukum ijtihad?
c. Apa saja macam-macam ijtihad?
d. Apa saja syarat-syarat dalam melakukan ijtihad?
e. Bagaimana tingkatan seorang mujtahid?
f. Apa saja metode-metode yang digunakan dalam ijtihad?
g. Bagaimana hukum melakukan ijtihad?
C.Tujuan Pembahasan
a. Untuk membahas pengertian ijtihad
b. Untuk membahas dasar hukum ijtihad
c. Untuk membahas macam-macam ijtihad
d. Untuk membahas syarat-syarat seorang mujtahid
e. Untuk membahas tingkatan-tingkatan mujtahid
f. Untuk membahas metode ijtihad
g. Untuk membahas hukum melakukan ijtihad

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa kata ‫ إجْ تِهَا ٌد‬berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari kata –‫يَجْ تَ ِه ُد‬
‫ اِجْ تَهَ? َد‬yang artinya mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.1
Berdasarkan pengertian secara bahasa ini, maka tidak tepat jika kata ijtihad digunakan untuk
ungkapan “orang itu berijtihad dalam mengangkat tongkat”. Sebab mengangkat tongkat adalah
perbuatan mudah dan ringan yang biasa dilakukan oleh siapa saja.
Sedangkan secara terminologi banyak sekali para ulama yang mendefenisikan ijtihad.
Sebagaimana didefenisikan oleh Muhammad Abu Zahra, ijtihad yaitu :2

ِ ‫اط ااْل َحْ َك ِام ْال َع َملِيَّ ِة ِم ْن أ ِدلَّتِهَا التَّ ْف‬


‫صلِيَّ ِة‬ ِ َ‫بَ ْذ ُل ْالفَقِ ْي ِه ُو ْس َعةً فِى ا ْستِ ْنب‬
Artinya “ Pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqh dalam menetapkan (istinbat) hukum
yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci (satu per satu)”.

Menurut defenisi sebagian ulama ushul fiqh sebagaimana dikutip oleh Abu Zahra bahwa
ijtihad adalah “mencurahkan segala kesanggupan dan kemampuan semaksimal mungkin itu
adakalanya dalam istinbat (penetapan) hukum syariat adakalanya dalam penerapan hukum”

Berdasarkan defenisi kedua yang dikemukakan oleh sebagian ulama diatas maka ijtihad itu
terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Ijtihad yang dilakukan secara khusus oleh para ulama yang mengkhususkan diri untuk
menetapkan hukum dari dalilnya. Menurut Jumhur Ulama, pada suatu masa dimungkinkan
terjadi kekosongan ijtihad seperti ini, jika ijtihad masa lalu masih dianggap cukup untuk
menjawab masalah hukum dikalangan umat islam. Namun menurut ulama Hambali, ijtihad
bentuk pertama ini tidak boleh vakum sepanjang masa karena mujtahid semacam ini selalu
dibutuhkan karena banyak masalah yang harus dijawab hukumnya.

1
DRS. Sapiudin Shidiq, ushul fiqh,( Jakarta: Kencana), 2011, hal. 253
2
Ibid, hal. 253

3
2. Ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad semacam ini akan selalu ada di setiap masa. Tugas
utama mujtahid bentuk kedua ini adalah menerapkan hukum termasuk hasil ijtihad para ulama
terdahulu. Ijtihad bentuk kedua ini disebut tahqiq al-manath.
Menurut pendapat mazhab Hambali sebagaimana dikutip oleh Imam Abu Zahra bahwa
setiap masa tidak boleh ada kekosongan dari seorang mujtahid dan pintu ijtihad untuk semua
tingkatan harus terbuka terus meski diakui tingkat kemampuan dan kecerdasan mujtahid berbeda.
Dalam kaitan ini Ibnu Qayyim berkata “Para mujtahid dimaksud adalah termasuk orang-orang
yang disebut oleh hadis Nabi SAW dibawah ini yaitu mujaddid (pembaru).

Namun pada dasarnya ijtihad adalah aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbat)
hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat. Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan
segala kemampuan seorang faqih (pakar fiqih islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang
hukum sesuatu melalui dalil syara’.3

B. Dasar Hukum Ijtihad

Posisi ijtihad memiliki dasar yang kuat dalam ajaran hukum Islam. Ijtihad bisa dipandang
sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum islam. Sebagaimana dalam al-Quran
terdapat ayat-ayat yang menunjukkan perintah untuk berijtihad, baik diungkapkan secara isyarat
maupun secara jelas dan ada pula didalam hadis Rasulullah SAW.

 Dalam al-Quran
1) Surat an-Nisa/4 ayat 105:

ِ ‫اس بِ َمٓا أَ َر ٰىكَ ٱهَّلل ۚ ُ َواَل تَ ُكن لِّ ۡل َخٓائِنِين َخ‬


‫ص ٗيما‬ ِ َّ‫ق لِت َۡح ُك َم بَ ۡينَ ٱلن‬ َ َ‫نزَلنَٓا إِلَ ۡيكَ ۡٱل ِك ٰت‬
ِّ ‫ب بِ ۡٱل َح‬ ۡ َ‫إِنَّٓا أ‬

Artinya “ sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa


kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan jangan lah kamu menjadi penantang(orang yang tidak bersalah), karena
(membela) orang orang yang khianat”.

3
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia,1999), hal. 98

4
Ayat diatas menurut Wahbah Zuhaili mengandung legalitas ijtihad melalui metode qiyas.4

َ‫ت لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُوْ ن‬


ٍ َ ‫ اِ َّن ِفى َذالِكَ اليا‬.
Artinya “Sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir”.

2) Surat an-nisa/4 ayat 59:

‫ُوا ٱل َّرسُو َل َوأُوْ لِي ٱأۡل َمۡ ِر ِمن ُكمۡ ۖ فَإِن تَ ٰنَز َۡعتُمۡ فِي َش ۡي ٖء‬ ْ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا أَ ِطيع‬
ْ ‫ُوا ٱهَّلل َ َوأَ ِطيع‬

‫ر َوأَ ۡح َس ُن ت َۡأ ِوياًل‬ٞ ‫ك خ َۡي‬


َ ِ‫ُول إِن ُكنتُمۡ تُ ۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َو ۡٱليَ ۡو ِم ٱأۡل ٓ ِخ ۚ ِر ٰ َذل‬
ِ ‫فَ ُر ُّدوهُ إِلَى ٱهَّلل ِ َوٱل َّرس‬
Artinya “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
Pada ayat diatas terdapat perintah untuk mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan
kepada Alllah (al-Quran) dan Rasul-Nya (Sunnah). Hal ini menunjukkan perintah berijtihad
dengan tidak mengikuti hawa nafsu tetapi menjadikan al-Quran dan sunnah sebagai
sumbernya. 5
 Dalam Hadis Nabi
1. Penghargaan terhadap hasil ijtihad :

)‫أخطَأ َ فَلَهُ أجْ ٌر (رواه البخاري‬ ِ ‫صاب لَهُ أَجْ َر‬


ْ ‫ان َوإ َذا َح َك َم فَاجْ تَهَ َد ثُ َّم‬ َ َ ‫إ َذا َح َك َم ْال َحا ِك ُم فَاجْ تَهَ َد فأ‬
Artinya “Apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ia berijtihad lalu hasil
ijtihadnya dinilai benar maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila seorang hakim
memutuskan perkara kemudian ijtihadnya dinilai salah, maka ia mendapatkan satu pahala”.
(HR. Bukhari).

4
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia,1999), hal. 102
5
DRS. Sapiudin Shidiq, ushul fiqh,( Jakarta: Kencana), 2011, hal. 255

5
Ijtihad menurut hadis diatas adalah usaha yang sangat dimuliakan meskipun salah tetap
diberikan pahala atas usaha kerasnya itu. Imam Syafi’I menegaskan dalam kitab risalahnya
bahwa kesalahannya itu dengan catatan tidak dilakukan dengan cara sengaja.
2. Hadis yang menceritakan tentang pengangkatan Muadz bin Jabal sebagai hakim:

‫ بِ َم??ا فِى‬: ‫ض?ى؟ قَ??ا َل‬ ِ ‫ بِ َم تَ ْق‬:ُ‫ض?يًا إلَى ْاليَ َم ِن فَقَ??ا َل لَ?ه‬
ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس?لَّ َم قَ??ا‬
َ ‫ِح ْينَ َما بَ َعثَهُ النَّبِ ُّي‬
‫ فَ?أ ِ ْن لَ ْم ت َِج? ْد فِ ْي َم??ا‬. ‫ض?ى بِ? ِه َر ُس?وْ ل هللا‬ َ َ‫ضى بِ َما ق‬ ِ ‫ب هللا؟ أ ْق‬ ِ ‫إن لَ ْم تَ ِج ْد فِى ِكتَا‬ ْ َ‫ ف‬: ‫ قَا َل‬.‫ب هللا‬ ِ ‫ِكتَا‬
َ َّ‫ ْال َح ْم? ُد هلل الَّ ِذيْ َوف‬.‫ال أجْ تَ ِه ُد بِ? َر ْأيِ ْى‬
)‫ق َر ُس?وْ َل َر ُس?وْ لِ ِه (روه الترم??ذي‬ َ َ‫ضى بِ ِه َرسُوْ ُل هللا ؟ ق‬
َ َ‫ق‬
Artinya “ ketika Nabi mengirim Muadz bin Jabal sebagai hakim ke negeri Yaman. Nabi
bertanya kepada Muadz, dengan apa kamu akan menghukum? Dengan apa yang ada didalam
kitab Allah. Nabi bertanya, jika kamu tidak dapatkan dalam kitab Allah? Aku akan berhukum
dengan sunnah Nabi. Jika tidak kamu dapatkan dalam sunnah Nabi? Aku akan berijtihad
dengan pendapatku. Segala puji bagi Allah yang telah member taufik atas utusan Rasulnya”.

Dua hadis diatas dapat dijadikan dasar hukum ijtihad sebagai salah satu sumber hukum
setelah al-Quran dan sunnah. Dan hal itu telah diikuti para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka
selalu berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam al-Quran dan
sunnah Rasul.
Di zaman Nabi orang tidak butuh ijtihad. Karena permasalahan baru yang tidak ada
hukumnya dapat ditanyakan langsung kepada Nabi dan Nabi langsung menjawabnya
berdasarkan petunjuk wahyu yang terjamin kebenarannya. Setelah Nabi wafat barulah ijtihad
diperlukan oleh para ulama mujtahid untuk menjawab hukum permasalahan baru yang timbul
dengan tetap berpegang kepada prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Quran. Permasalahan
yang timbul saat ini sangan kompleks dan jawabannya tidak terdapat didalam al-Quran maupun
hadis. Jika tidak ada usaha yang sungguh-sungguh dari orang yang tidak pantas berijtihad, maka
akan terjadi kekosongan hukum. Hal ini tidak sejala dengan tujuan hukum. Oleh karena itu,
ijtihad untuk sekarang ini merupakan hal yang dharury (mendesak) untuk dilakukan karena
begitu banyak kasus permasalahan baru yang sifatnya kompleks dan rumit yang memerlukan
jawaban dari hukum Islam.
C. Macam-Macam Ijtihad

6
Dikalanagan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam Syafi’i
menyamakan ijtihad dengan qiyas , yakni dua nama tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui
ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau maslahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya
memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu,
qiyas, dan akal. (Dawalibi : 37).

Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu
mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid, atau setidak-tidaknya
mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak (Al-Khadry : 126).
Berdasarkan pendapat tersebut, Dr.Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang
sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat , yaitu :6

a. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
b. Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Quran
dan as-sunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad al-istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Quran
dan as-sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.

Pembagian diatas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad
Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alasan, diantaranya jami’ wal mani.
Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu :7

1. Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil
syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berfikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti.
Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila tidak disertai dengan penjelasan ,
dan lain-lain.
2. Ijtihad syar’i , yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini
adalah ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishhab, dan lain-lain.

D. Syarat-Syarat Mujtahid

6
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia,1999), hal. 104
7
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia,1999), hal. 104

7
Para ulama telah merumuskan persyaratan seorang mujtahid dengan rumusan dan redaksi
yang berbeda-beda. Namun dalam pembahasan ini akan dikemukakan syarat-syarat mujtahid
yang dirumuskan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut:8

a. Mengetahui makna ayat ahkam yang terdapat dalam al-Quran baik secara bahasa maupun
secara istilah syara’.
b. Mengetahui hadis-hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah.
c. Mengetahui al-Quran dan hadis yang telah di nasakh dan mengetahui ayat dan hadis yang
menasakh.
d. Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma, sehingga ia tidak menetapkan
hukum yang bertentangan dengan ijma’.
e. Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan qiyas yang meliputi rukun, syarat,
illat hukum dan cara istinbatnya dari nas, maslahah manusia, dan sumber syariat secara
keseluruhan.
f. Menguasai bahasa Arab tentang nahwu, saraf, maani, bayan, dan uslub-nya karena al-Quran
dan hadis itu berbahasa Arab.
g. Mengetahui ilmu ushul fiqih.
h. Mengetahui maqasid syariah dalam penetapan hukum.

E. Tingkatan Mujtahid
Dalam membicarakan masalah tingkatan ijtihad tidak terlepas dari perbedaan pendapat di
kalangan para ulama ushul tentang telah tertutupnya menurut pintu ijtihad. Menurut As-Sututhi.
Adapun tingkatan para mujtahid menurut para ulama diantaranya menurut Imam Nawawi Shalah
dan lain-lain terbagi dalam lima tingkatan, yaitu:9
1. Mujtahid mustaqil , adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia
buat sendiri, dia menusun fiqihnya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang ada.
2. Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil, adalah orang yang memiliki criteria seperti mujtahid
mustaqil, namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya , tetapi mengikuti metode
salah satu imam madzhab.

8
DRS. Sapiudin Shidiq, ushul fiqh,( Jakarta: Kencana), 2011, hal. 257-258
9
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia,1999), hal. 108-109

8
3. Mujtahid muqayyad/Mujtahid takhrij, adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya.
Memang dia diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil,
tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya.
4. Mujtahid tarjih, adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi
menurut Imam Nawawi dalam kitab majmu’ mujtahid ini sangat faqih, hapal kaidah-kaidah
imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui
bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain.
5. Mujtahid fatwa, adalah orang yang hafal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab,
mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah
dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.

F. Metode Ijtihad
Untuk melakukan ijtihad, menurut Azhar Basyir ada beberapa cara yang ditempuh seorang
mujtahid, cara-cara itu adalah sebagai berikut:10
a) Qiyas, dengan cara menyamakan hukum sesuatu dengan hukum lain yang sudah ada
hukumnya dikarenakan adanya persamaan sebab.
b) Maslahah Mursalah, yaitu menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada nash nya dengan
pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia yang bersendikan kepada asas menarik
manfaat dan menghindari mudharat.
c) Istihsan, yaitu memandang sesuatu lebih baik sesuai dengan tujuan syariat dan
meninggalkan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum.
d) Istishab, yaitu melangsungkan berlakunya ketentuan hukum yang ada sampai ada
ketentuan dalil yang mengubahnya.
e) Urf, ialah kebiasaan yang sudah mendarah daging dilakukan oleh suatu kelompok
masyarakat.

G. Hukum Melakukan Ijtihad

10
DRS. Sapiudin Shidiq, ushul fiqh,( Jakarta: Kencana), 2011, hal. 261-262

9
Menurut para ulama ada lima hukum yang bisa dikenakan pada seorang mujtahid yang
berkenaan dengan ijtihad, yaitu:11
1) Orang tersebut dihukumi fardu ‘ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang
menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihadnya dan tidak boleh taqlid
kepasda orang lain. Karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap
permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk hukum Allah.
2) Juga dihukumi fardu ‘ain jika ditanyak tentang sesuatu permasalahan yang belum ada
hukumnya.
3) Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan
akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat
sebagai seorang mujtahid.
4) Dihukumi sunnah apabila berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun
tidak.
5) Dihukumi haram apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara
qath’i , sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara’.

BAB III
11
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia,1999), hal. 107-108

10
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut bahasa kata ‫ إجْ تِهَا ٌد‬berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari kata –‫يَجْ تَ ِه ُد‬
‫ اِجْ تَهَ? َد‬yang artinya mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.
Sedangkan secara terminologi ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan seorang faqih (pakar
fiqih islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’. Posisi
ijtihad memiliki dasar yang kuat dalam ajaran hukum Islam. Ijtihad bisa dipandang sebagai salah
satu metode untuk menggali sumber hukum islam. Sebagaimana dalam al-Quran terdapat ayat-
ayat yang menunjukkan perintah untuk berijtihad, baik diungkapkan secara isyarat maupun
secara jelas dan ada pula didalam hadis Rasulullah SAW.

Dr.Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan
pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat , yaitu :

a. Ijtihad Al-Batani
b. Ijtihad Al-Qiyasi
c. Ijtihad al-istishlah
Menurut Muhammad Taqiyu al-Hakim, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja,
yaitu :
1. Ijtihad al-aqli
2. Ijtihad syar’i

Syarat-syarat mujtahid yang dirumuskan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut:

a. Mengetahui makna ayat ahkam yang terdapat dalam al-Quran baik secara bahasa maupun
secara istilah syara’.
b. Mengetahui hadis-hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah.
c. Mengetahui al-Quran dan hadis yang telah di nasakh dan mengetahui ayat dan hadis yang
menasakh.
d. Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma, sehingga ia tidak
menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma’.

11
e. Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan qiyas yang meliputi rukun,
syarat, illat hukum dan cara istinbatnya dari nas, maslahah manusia, dan sumber syariat
secara keseluruhan.
f. Menguasai bahasa Arab tentang nahwu, saraf, maani, bayan, dan uslub-nya karena al-
Quran dan hadis itu berbahasa Arab.
g. Mengetahui ilmu ushul fiqih.
h. Mengetahui maqasid syariah dalam penetapan hukum.

Adapun tingkatan para mujtahid menurut para ulama diantaranya menurut Imam Nawawi
Shalah dan lain-lain terbagi dalam lima tingkatan, yaitu:
1) Mujtahid mustaqil
2) Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil
3) Mujtahid muqayyad/Mujtahid takhrij
4) Mujtahid tarjih
5) Mujtahid fatwa
Untuk melakukan ijtihad, menurut Azhar Basyir ada beberapa cara yang ditempuh seorang
mujtahid, cara-cara itu adalah sebagai berikut:
a. Qiyas
b. Maslahah Mursalah
c. Istihsan
d. Istishab
e. Urf

B. Saran

Penulis menyadari banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan
memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat
dipertanggung jawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai
pembahasan makalah dalam kesimpulan diatas.

12
DAFTAR PUSTAKA

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia),1999

DRS. Sapiudin Shidiq, ushul fiqh,( Jakarta: Kencana), 2011

13

Anda mungkin juga menyukai