Anda di halaman 1dari 8

 http://alyridwan.blogspot.com/2014/03/praformulasi-dan-formulasi-sediaan.

html

Ali Ridwan

Sabtu, 22 Maret 2014


Praformulasi dan Formulasi Sediaan

Zat Aktif

Zat aktif merupakan bahan yang diharapkan memberikan efek terapetik atau efek lain

yang diharapkan. Sebagian besar zat aktif yang digunakan untuk sediaan mata bersifat larut

air atau dipilih bentuk garamnya yang larut air. Sifat-sifat fisikokimia yang harus

diperhatikan dalam memilih garam untuk formulasi larutan optalmik yaitu:

a.       Kelarutan

b.      Stabilitas

c.       pH stabilitas dan kapasitas dapar

d.      Kompatibilitas dengan bagan lain dalam formula.

Sebagian besar zat aktif untuk sediaan optalmik adalah basa lemah. Bentuk garam

yang biasa digunakan garam hidroklorida, sulfat dan nitrat. Sedangkan untuk zat aktif yang

berupa asam lemah biasanya digunakan garam natrium. (codex hal 161)

Suspensi mata dapat dipakai untuk meningkatkan waktu kontak zat aktif dengan

kornea sehingga memberi kerja lepas lambat yang lebih lama (Ansel, 559). Menurut Codex,

pemilihan bentuk suspensi disebabkan:

a.       Rendahnya bioavailabilitas zat aktif dalam bentuk larutannya.

b.      Toksisitas atau stabilitas zat aktif dalam bentuk larutan.

Karena mata adalah organ yang sangat sensitif, maka partikel-partikel dalam suspensi

dapat mengiritasi dan meningkatkan laju lakrimasi dan kedipan. Maka solusinya digunakan

partikel yang sangat kecil yaitu dengan memakai zat aktif yang dimikronisasi (micronized).
Masalah utama suspensi optalmik adalah kemungkinan terjadinya perubahan ukuran

partikel menjadi lebih besar selama penyimpanan. Oleh karena itu, surfaktan diperlukan

untuk membasahi zat aktif hidrofob dan untuk memperlambat pengkristalan. Pensuspensi

yang digunakan biasanya sama dengan bahan peningkat viskositas.

2.      Zat Tambahan

a.      Pengawet

Larutan obat mata dapat dikemas dalam wadah takaran ganda bila digunakan secara

perorangan pada pasien dan bila tidak terdapat kerusakan pada permukaan mata. Wadah

larutan obat mata harus tertutup rapat dan disegel untuk menjamin sterilitas pada pemakaian

pertama. Sedangkan untuk penggunaan pembedahan, disamping steril, larutan obat mata

tidak boleh mengandung antibakteri karena dapat mengiritasi jaringan mata. (FI IV hal 13)

Kontaminasi pada sediaan mata dapat menyebabkan kerusakan yang serius. Misalnya

menyebabkan radang kornea mata. Kontaminan yang terbesar adalah Pseudomonas

aeruginosa. Organisme lain yang bisa mengjasilkan infeksi pada kornea seperti golongan

proteus yang telah diketahui sebagai kontaminan dalam larutan metil selulosa. Selain bakteri,

fungi juga merupakan kontaminan. Misalnya Aspergilus fumigatus. Virus juga merupakan

kontaminan seperti herpes simplex. Umumnya pengawet tidak cocok dengan virus.

Pengawet yang dipilih seharusnya mencegah dan membunug pertumbuhan

mikroorganisme selama penggunaan. Pengawet yang sesuai untuk larutan obat tetes mata

hendaknya memiliki sifat sebagai berikut:

a)      Bersifat bakteriostatik dan fungistatik. Sifat ini harus dimiliki terutama terhadao

Pseudomonas aeruginosa.

b)      Non iritan terhadap mata (jaringan okuler yaitu kornea dan konjungtiva)

c)      Kompatibel terhadap bahan aktif dan zat tambahan lain yang dipakai.

d)     Tidak memiliki sifat alergen dan mensensitisasi.


e)      Dapat mempertahankan aktivitasnya pada kondisi normal penggunaan sediaan.

Golongan pengawet pada sediaan tetes mata (DOM hal 148: Diktat kuliah teknologi

steril, 291-293; Codex, 161-165; Benny Logawa, 43):

Jenis Konsentrasi Inkompatibilitas Keterangan


Senyawa 0,004-0,02% Sabun, surfaktan Paling banyak dipakai

amonium (biasanya 0,01 anionik, salisilat, nitrat, untuk sediaan optalmik.

kuartener: %) fluoresecin natrium. Efektivitasnya ditingkat-

Benzalkonium kan dengan penambahan

klorida EDTA 0,02%


Senyawa merkur Halida tertentu dengan Biasanya digunakan seba-

nitrat: 0,01-0,005 % fenilmerkuri asetat gai pengawet dari zat aktif

Fenil merkuri 0,005 % yang OTT dengan

nitrat Benzalkonium Klorida

Thiomersal
Parahidroksi Nipagin 0,18% Diadsorpsi oleh makro- Jarang digunakan, banyak

benzoat: + Nipasol molekul, interaksi dg digunakan untuk mence-

Nipagin, Nipasol 0,02% surfaktan nonionik gah pertumbuhan jamur,

dalam dosis tinggu mem-

punyai sifat antimikroba

yang lemah
Fenol: Stabilitasnya pH depen- Akan berdifusi melalui

Klorobutanol 0,5-0,7 % dent; aktivitasnya kemasan polietilen low-

tercapai pada konsen- density.

trasi dekat kelarutan

max

Kombinasi pengawet yang biasanya digunakan adalah:

a)      Benzalkonium klorida + EDTA


b)      Benzalkonium klorida + Klorobutanol/ feniletilalkohol/ fenilmerkuri nitrat

c)      Klorobutanol +EDTA / paraben

d)     Tiomerasol + EDTA

e)      Feniletilalkohol + paraben

Catatan:

a)      Garam merkuri dan thimerosal merupakan pengawet alternatif untuk mengganti

benzalkonium klorida jika benzalkonium klorida tidak bisa dipakai.

b)      Garam fenil merkuri digunakan sebagai pengawet untuk salisilat dan nitrat dan larutan garam

fisostigmine dan efinefrin yang mengandung 0,1% Na-sulfit.

c)      Zink sulfat OTT dengan semua pengawet kecuali asam borat, tapu asam borat dilarang

penggunaannya oleh POM.

b.      Pengisotonis

Pengisotonis yang dapat digunakanadalah NaCl, KCl, glukosam gliserol dan dapar

(Codex, 161-165). Rentang tonisitas yang masih dapat diterima oleh mata:

FI IV : 0,6-2,0 % RPS dan RPP : 0,5-1,8 %

AOC : 0,9-1,4 % Codex dan Husa : 0,7-1,5 %

Tapi usahakan berada pada rentang 0,6-1,5% (Diktat kuliah teknologi steril)

c.       Pendapar

Secara ideal larutan obat mata mempunyai pH dan isotonisitas yang sama dengan air

mata. Hal ini tidak selalu dapat dilakukan karena pada pH 7,4 banyak obat yang tidak cukup

larut dalam air. Sebagian besar garam alkaloid mengendap sebagai alkaloid bebas pada pH

ini. Selain itu banyak obat tidak stabil secara kimia pada pH mendekati 7,4 (FI III 13). Tetapi

larutan tanpa dapar antara pH 3,5 – 10,5 masih dapat ditoleransi walaupun terasa kurang

nyaman. Di luar rentang pH ini dapat terjadi iritasi sehingga mengakibatkan peningkatan

lakrimasi (Codex, 161-165).


Rentang pH yang masih dapat ditoleransi oleh mata menurut beberapa pustaka: 4,5-

9,0 menurut AOC; 3,5-8,5 menurut FI IV

Syarat dapar (Codex, 161-165):

a)      Dapat menstabilkan pH selama penyimpanan

b)      Konsentrasinya tidak cukup tinggi sehingga secara signifikan dapat mengubah pH air mata

c)      Menurut Codex, dapar yang dapat digunakan adalah dapar borat, fosfat dan sitrat. Tapi

berdasarkan Surat Edaran Dirjen POM tanggal 12 Oktober 1999, asam borat tidak boleh

digunakan untuk pemakaian topikal/lokal karena resiko toksisitasnya lebih besar

dibandingkan khasiatnya untuk penggunaan topikal. Jadi, dapar yang boleh digunakan untuk

sediaan optalmik hanya dapar fosfat dan sitrat.

d)     Dapar yang digunakan sebaiknya dapar yang telah dimodifikasi dengan oenambahan NaCl

yang berfungsi untuk menurunkan kapasitas daparnya.

d.      Peningkat Viskositas

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemilihan bahan peningkat viskositas

untuk sediaan optalmik adalah:

a)      Sifat bahan peningkat viskositas itu sendiri. Misalkan Polimer mukoadhesif (asam hyaluronat

dan turunannya; carbomer) secara signifikan lebih efektif dari pada polimer non mukoadhesif

pada konsentrasu equiviscous.

b)      Perubahan pH dapat mempengaruhi aktivitas bahan peningkat viskositas.

c)      Penggunaan produk dengan viskositas tinggi kadang tidak ditoleransi oleh mata dan

menyebabkan terbentuknya deposit pada kelopak mata; sulit bercampur dengan air mata; atau

mengganggu difusi obat.

d)     Penggunaan peningkat viskositas dimaksudkan untuk memperpanjang waktu kontak antara

sediaan dengan kornea sehingga jumlah bahan aktif yang berpenetrasi dalam mata akan

semakin tinggi sehingga menambag efektivitas terapinya.


Viskositas untuk larutan obat mata dipandang optimal jika berkisar antar 15-25 cps.

Peningkatan viskositas yang biasa dipakai adalah metilselulosa 4000 cps sebanyak 0,25%

atau 25 cps sebanyak 1%, HPMC atau polivinil alkohol (Ansel, 548-552). Menurut Codex,

dapat digunakan metil selulosa, polivinil alkohol, PVP, dekstran and makrogol.

CMC Na jarang digunakan karena tidak tahan terhadao elektrolit sehingga kekentalan

menurun, kadang tidak tercampurkan dengan zat aktif. Pada umumnya penggunaan senyawa

selulosa dapat meningkatkan penetrasi obat dalam tetes mata, demikian juga dengan PVP dan

dekstran. Jadi, pemilihan bahan pengental dalam obat tetes mata didasarkan pada:

a)      Ketahanan pada saat sterilisasi

b)      Kemungkinan dapat disaring

c)      Stabilitas

d)     Ketidak bercampuran dengan bahan-bahan lain.

Contoh peningkat viskositas:

a)      Hidroksipropil metilselulosa = hypromellose (HPMC)

b)      Metilselulosa

c)      Polivinil alkohol

e.       Antioksidan

Zat aktif untuk sediaan mata ada yang dapat teroksidasi oleh udara. Untuk itu kadang

dibutuhkan antioksidan. Antioksidan yang sering digunakan adalah Na metabisulfit atau Na

sulfit dengan konsentrasi sampai 0,3%. Vitamin C (asam askorbar) dan asetilsistein pun dapat

dipakai terutama untuk sediaan fenilfrin. Dengan oksidatif seringkali dikatalisa oleh adanya

logam berat, maka dapat ditambahkan pengkelat seperti EDTA. Penggunaan wadah plastik

yang permeabel terhadap gas dapat meningkatkan proses oksidatif selama penyimpanan

(Codex, 161-165)

Contoh antioksidan
a)      Natrium metabisulfit

b)      Natrium bisulfit

c)      Natrium sulfit

d)     Asam askorbat

f.       Surfaktan

Pemakaian surfaktan dalam obat tetes mata harus memenuhi berbagai aspek:

a)      Sebagai antimikroba (surfaktan golongan kationik seperti benzalkonium klorida, setil

piridinium klorida, dll)

b)      Menurunkan tegangan permukaan antara obat mata dan kornea sehingga meningkatkan aksi

terapiutik zat aktif.

c)      Meningkatkan ketercampuran antara obat tetes mata dengan cairan lakrimal. Meningkatkan

kontak zat aktif dengan kornea dan konjungtiva sehingga meningkatkan penembusan

penyerapan obat.

d)     Tidak boleh meningkatkan pengeluaran air mata, tidak boleh iritan dan merusak kornea.

Surfaktan golongan non ionik lebih dapat diterima dibandingkan dengan surfaktan golongan

lainnya.

e)      Penggunaan surfaktan dalam sediaan optalmik terbatas. Surfaktan non ionik yang paling

tidak toksik dibanding golongan lain, digunakan dalam konsentrasi yang rendah dalam

suspensi steroid dan sebagai pembatu untuk membentuk larutan yang jernih.

f)       Surfaktan dapa juga digunakan sebagai kosolben untuk meningkatkan solubilitas (jarang

dilakukan). Surfaktan nin ionik dapat mengadsorpsi senyawa pengawet antimikroba dan

menginaktifkannya. Menurut codex, surfaktan non ionik yang sering dipakai adalah

polisorbat 80 (Tween 80). Sedangkan menurut diktat kuliah teknologi steril daoat juga

digunakan Tween 20, benzetonium klorida, miristil-gamma-picolinium klorida, polioxil 40-

stearat, alkil-aril-polietil alkohol, dioktil sodium sulfosuksinat, dll.


Ansel. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI press

2.      Anonim. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan RI

3.      Anonim. 1995. Farmakope Indonesia ediai IV. Jakarta : Departemen Kesehatan RI

4.      Pharmacopee Ned edisi V

5.      Soetopo dkk. 2002. Ilmu Resep Teori. Jakarta : Departemen Kesehatan

6.      Voigt. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : UGM Press

7.      Lachman dkk. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta : UI Press

8.      Departemen Kesehatan RI. 1978. Formularium Nasional edisi II. Jakarta

9.      Van Duin. 1947. Ilmu Resep. Jakarta : Soeroengan

10.  Anonim. Farmakope Herbal

11.  Anief. 2006. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : UGM Pres

12.  Martindale, The Extra Pharmacopeia Twenty-eight Edition. The Parmaceutical Press,

London. 1982.

13.  MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT Infomaster.

14.  Departement of pharmaceutical Science. 1982. Martindale the Extra Pharmacoeia 28th

edition. London: The Pharmaceutical Press.

15.  Badan Pengawas Obat dan Makanan. ISFI. 2006. ISO Indonesia, volume IV. Jakarta: PT.

Anem Kosong Anem (AKA).

16.  Wade, Ainley and Paul J Weller.Handbook of Pharmaceutical excipients.Ed II.1994.London;

The Pharmaceutical Press.

17.  Hardjasaputra, S. L. Purwanto, Dr. dkk. 2002. Data Obat di Indonesia (DOI), edisi 10.

Jakarta: Grafidian medi press. (#Akfar PIM/2010)

Anda mungkin juga menyukai