Dosen :
Dr. Eddy Simanjuntak
Disusun oleh :
1
Matius memulai Injilnya dengan silsilah secara berurutan dimulai dari Abraham, lalu
bersambung ke Raja Daud, terus hingga akhirnya tiba pada Yesus (Matius 1:1). Hal ini menunjukkan
secara legal dan sistematis bahwa Yesus adalah keturunan Raja Israel yang sesuai dengan nubuatan
bahwa Raja yang akan menyelamatkan Israel adalah keturunan Raja Daud.
Selain dari pada silsilah, terdapat pula bukti lain dalam Injil Matius yang menunjuk bahwa
Yesus adalah Raja yang dijanjikan, yaitu saat orang-orang majus mendengar berita kelahiran Yesus,
yang lalu datang ke Yerusalem untuk bertanya tentang Raja orang Yahudi Yang baru lahir, karena
mereka hendak menyembah Dia (Matius 2:2). Dalam kisah selanjutnya, para majus tersebut dituntun
oleh bintang timur hingga ke tempat dimana Yesus berada, dan orang-orang Majus itu masuk kedalam
rumah tempat Yesus dilahirkan dan sujud menyembah Yesus, mereka juga mempersembahkan harta
berupa emas, kemenyan, dan mur sebagai persembahan bagi Nya (Matius 2:9-11). Ini adalah indikasi
tegas bahwa Yesus adalah Raja yang dijanjikan bagi Israel. Penegasan Yesus sebagai Raja, kembali
muncul saat Yesus di introgasi oleh Pilatus, yaitu ketika Pilatus bertanya apakah Yesus adalah Raja
orang Yahudi, dan Yesus menjawab Pilatus dengan perkataan "Engkau sendiri mengatakannya"
(Matius 27:11). Melalui jawaban Nya, Yesus sebenarnya tengah mengatakan kepada Pilatus bahwa
Dia lah Raja orang Israel yang datang dari Sorga, sebagai Mesias.
2
hamba yang telah dengan sempurna menyelesaikan seluruh penggilan pelayanan Nya, yaitu menjadi
ganti atas dosa dari segenap umat manusia yang telah dipilih Nya dan percaya kepada Nya sebagai
Juruselamat.
3
tentang Allah yang akan menyelamatkan umat Allah, dan dengan pernyataan diatas jelaslah bahwa
Yesus lah Allah yang menyelamatkan itu.
Terdapat pernyataan yang jelas dalam Injil Yohanes mengenai Yesus yang adalah Allah yang
bekerja diantara umat manusia (Yohanes 5:17), Ia memiliki kuasa untuk membangkitkan orang mati
dan menghidupkannya (Yohanes 5:21), dan memiliki wewenang untuk menghakimi (Yohanes 5:22).
Kesemuanya ini menandakan bahwa Ia adalah Allah yang datang kedunia ini untuk melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan Nya, serta menunjukkan kuasa dan kewenangan yang Ia miliki, sehingga menjadi
nyata bagi manusia bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia.
4
terbentuk di bawah pemikiran seperti itu, teologi dan doktrinnya cenderung lebih mengarah ke arah
liberalisme. Yesus digambarkan sebagai tokoh yang baik dan bukan sebagai Allah, Dia dipandang
sebagai orang yang bermoral tinggi dan baik menjadi panutan, tetapi tidak ditempatkan sebagai Allah
yang maha kuasa, dan atas pandangan ini, maka ke Ilahian Yesus digugat oleh paham
Postmodernisme.
Hal ini kelihatan dengan jelas pada konsep dimana sesuatu yang dialami itu adalah sesuatu
yang nyata, sehingga bernilai tinggi, sedangkan konsep-konsep keilahian yang tidak kelihatan,
nilainya berada dibawah pengalaman. Misalnya, karena pengalaman dihargai lebih tinggi daripada
akal budi, kebenaran menjadi bersifat relatif. Inilah penyebab terjadinya semua jenis masalah, karena
asumsi ini menghancurkan standar yang menyatakan bahwa Alkitab merupakan kebenaran mutlak.
Bahkan, pemikiran ini ikut mencabut kebenaran Alkitab sebagai sesuatu yang mutlak dalam banyak
hal. Jika Alkitab tidak lagi menjadi sumber bagi manusia untuk mengetahui kebenaran mutlak,
sementara pengalaman pribadi diijinkan untuk mendefinisikan dan menginterpretasikan apa
sebenarnya yang dimaksud kebenaran itu, maka iman yang menyelamatkan dalam Yesus Kristus pun
akan menjadi tak bermakna.
Akan selalu ada "pergeseran paradigma" dalam pemikiran, mengingat manusia selalu
berusaha untuk menjadi lebih baik dalam pengetahuan dan segala hal. Tantangan terhadap cara
berpikir memang baik karena bisa mendorong manusia untuk bertumbuh, belajar, dan memahami. Ini
adalah prinsip yang dimaksud dalam Alkitab, khususnya dalam Injil, yaitu ketika akal budi
orang-percaya diubahkan.
Tetapi, orang percaya tidaklah boleh hanya menerima begitu saja suatu faham, tetapi harus
terus menerus menguji setiap ajaran maupun pemikiran baru dengan menggunakan kebenaran Alkitab
sebagai Kitab Suci. Jangan membiarkan pengalaman yang menafsirkan Alkitab. Karena orang percaya
sudah diubahkan dan sedang berusaha menjadi serupa dengan Kristus, maka orang percaya yang harus
menafsirkan setiap pengalaman yang dialami berdasarkan Alkitab. Sayangnya, bukan ini yang terjadi
di kalangan pengikut kekristenan post-modern, dimana Yesus dipandang bukan sebagai kebenaran dan
Alkitab tidaklah bersifat Kebenaran yang mutlak, tetape menjadi sesuatu yang relatif yang harus diuji
berdasarkan pengalaman, bukan sebaliknya
5
"Post-Impresionisme" (1880-an) dan "Post Industrial" (1914-1922). Yang jelas dan tegas adanya
penggunaan awalan "post". Ternyata pengertian postmodernisme banyak dikaburkan oleh para ahli.
Yang mengakibatkan kekaburan makna istilah "postmodern" itu kiranya terutama adalah
akhiran "isme" dan awalan "post"-nya. Sehingga dengan akhiran "isme" itu, postmodernisme biasanya
dibedakan dari postmodernitas. Yang pertama, menunjuk pada kritik-kritik filosofis alas gambaran
dunia (world view), epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Yang kedua, menunjuk pada situasi
dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang
berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa dan penggalian kembali
inspirasi-inspirasi tradisi.
Kata "modern" berasal dari kata Latin "modo", yang artinya "barusan"; "pasca"; "yang
terbaru": "(se)cara baru": "mutakhir". Sedangkan, kata "post" mempunyai arti "sesudah". Jadi,
postmodernisme menyiratkan pengingkaran, maksudnya sesuatu itu bukan modern lagi. Sudah
"modern" ditambah "post". jadi mempunyai pengertian: (1) sebagai hasil dari modernisme; (2) akibat
dari modernisme; (3) anak dari modernisme; (4) perkembangan dari modernisme; (5) penyangkalan
akan modernisme; (6) penolakan terhadap modernisme. Akibatnya istilah "postmodernisme"
mengaburkan pengertian modernisme. Ia menyiratkan pengetahuan yang lengkap tentang modernisme
yang telah dilampaui oleh zaman baru.
Tantangan yang harus dijawab oleh kekristenan adalah bagaimana mengembalikan posisi
Alkitab sebagai suatu kebenaran yang mutlak dan absolut, serta mengembalikan pandangan bahwa
Yesus adalah kebenaran itu, dimana hanya oleh Iman kepada Yesus Kristus lah manusia boleh
memperoleh keselamatan, tidak ada jalan lain, dan tidak ada kebenaran lain diluar Yesus.
Postmodernisme harus digiring kedalam sebuah faham yang demikian agar dapat memandang Yesus
sebagai kebenaran mutlak. Namun hal ini tidak akan dapat dicapai kecuali Postmodernisme dibawa
kedalam konseb Alkitab yang Alkitabiah, dan terstruktur konstruktif yang dibangun dengan dasar
pemikiran bahwa hanga dengan dasar kebenaran mutlak lah, kebenaran itu dapat ditemukan. Premise
inilah yang harus menjadi dasar bagi Gereja Tuhan dalam menghadapi tantangan Postmodernisme.
6
Hanya Allah lah yang mengabarkan hal-hal baru, Langit yang baru dan bumi yang baru, Yerusalem
baru, Tuhan menciptakan sesuatu yang baru, RahmatNya selalu baru tiap hari, Allah memberikan hati
yang baru dan roh yang baru, Yang ada dalam Kristus adalah ciptaan baru, Manusia baru, dan Allah
menjadikan segala sesuatu baru. Dalam pernyataan-pernyataan kitab suci diatas, dapat dikatakan
bahwa faham Postmodernisme terdapat dala Alkitab, namun dalam cara pandang yang berbeda
dengan faham Postmodernisme yang difahami oleh dunia saat ini, karena dalam pernyataan diatas,
Allah lah yang menjadi sumber pembaharuan itu, dan bukan manusia yang menciptakan sesuatu yang
baru sebagaimana difahami oleh Postmodernisme.
Sehingga atas dasar dalil-dalil kitab suci Alkitab, maka yang perlu dilakukan adalah
menggeser pemahaman Postmodernisme kedalam konsep Alkitabiah yang bersifat Absolut, dimana
kebenaran relatif yang ada pada dunia ini, memiliki batasan tertentu (certain threshold) yang tidak
boleh dilewati, karena diatas batas itu ada kebenaran mutlak yang harus diterima, yaitu Alkitab
sebagai Firman yang tertulis, dan Yesus Kristus sebagai pusat kebenaran yang dinyatakan oleh
Alkitab.
7
Pengakuan terhadap otoritas Alkitab juga bisa dilihat dari dua bukti: bukti internal dan bukti
eksternal. Bukti internal: (1) Yesus sendiri mengakui otoritas Alkitab. Yesus menekankan bahwa
Firman Allah sepenuhnya dapat dipercayai, kebenarannya tidak dapat disangkal (Yohanes 10:35) dan
pengakuan terhadap kebenaran sejarah seperti penciptaan, pembunuhan Habel, Nuh, dan Yunus. Yesus
juga menekankan otoritas mutlak dari Perjanjian Lama. (2) Alkitab sendiri mengatakannya: Paulus
dan Petrus menyatakan kemahakuasaan Allah, dan menyatakan komunikasi langsung Allah. Bukti
Eksternal: (1) kesatuan Alkitab yang terdiri dari 66 kitab ditulis lebih dari 1500 tahun oleh 40 penulis
dalam 3 bahasa yang berbeda tetapi memiliki tema yang sama, yaitu sejarah keselamatan. (2)
Nubuatan yang digenapi dengan sempurna. (3) Konsistensi yang baik, yaitu tidak bertentangan satu
dengan yang lain.
Jadi, tidak ada alasan bagi siapa saja untuk membiarkan Alkitab tidak dijadikan dasar dari
kerangka pikir manusia. Alkitab justru menjadikan dasar bagi segala pekerjaan di dunia tanpa
memaksakan pengertian "postmodernisme" atau "tradisi". Juga tanpa memaksakan apakah karya
seseorang itu baru atau sudah pernah ada dan perlu diulang-ulang atau diperbaiki.
8
a. Cara: Menjadikan murid Allah. Sebab itu dikatakan bahwa menjadi murid Yesus harus
menyangkal diri, mengambil bagian penderitaan Kristus. Penderitaan Kristus sebagai teladan
kehidupan murid-murid-Nya (Markus 8:34). Jikalau kita berbuat baik dan harus menderita karena
itu, maka itu adalah kasih karunia Allah. Sebab untuk itulah kita dipanggil.
b. Proses: Hidup taat dalam firman-Nya. Sehingga sebagai warga negara yang baik, maka orang
percaya menyatakan ketaatan sebagai rasa terima kasih nya kepada Allah. Taat kepada Allah
dalam tanggung jawab moral diwujudkan dengan pelaksanaan kasih. Taat ini mentaati
hukum-Nya. Dengan demikian, Allah memberi kelimpahan anugerah. Di sini gambaran dari
buah-buah roh yang dihasilkan seseorang seperti disiplin, kasih untuk belajar Firman Allah, dan
melayani Allah dan orang lain.
Kedua hal tersebut diatas tentunya akan membawa akibat dalam hidup orang percaya,
sehingga akibat tersebut memiliki dampak untuk menggiring faham Postmodernisme kepada suatu
kebenaran yang hakiki, yaitu Alkitab.
a. Akibat I: Mengetahui kebenaran atau keadilan Allah. Kebenaran ini adalah rencana atau kehendak
Allah. Kadang kebenaran bisa membuat seseorang jatuh tetapi bukan berarti kita harus
berkompromi untuk tidak benar, sebab Allah yang merencanakan kita harus hidup dalam
kebenaran-Nya.
b. Akibat II: Hidup dalam kebebasan Allah. Meskipun orang percaya dapat hidup dengan bebas
bukan berarti mereka hidup dalam kejahatan melainkan bebas dalam rencana kehendak Allah atau
dalam jalan Allah. Jadi, kebebasan yang dimiliki adalah kebebasan kebenaran.
9
suatu sikap terhadap postmodernisme, yaitu adalah back to the Bible. Berbagai dalil yang terdapat
dalam Alkitab, ditambah dengan perjalanan panjang dari penerapan hukum-hukum Allah yang
tertuang dalam Alkitab, telah membuktikan bahwa Alkitab adalah pedoman, langkah, dan dasar
keputusan hidup setiap manusia. Tidak ada kitab yang lain bisa menyamai Alkitab. Alkitab adalah
jawaban postmodernisme bagi orang percaya. Di sini Gereja harus sepenuhnya berdiri pada
"kekuatan" dan "keilahian" Allah dalam Yesus Kristus ketika menapaki postmodernisme yang terus
bergejolak dan seolah-olah tidak bisa dibendung dengan "kekuatan" dan "keilahian" Allah.
Bukan berarti Gereja tidak boleh melakukan inovasi-inovasi terhadap ilmu pengetahuan.
Gereja boleh berinovasi, tetapi Gereja harus menyadari dengan tepat apa yang Alkitab katakan dan
apa yang tidak, dan apa yang ilmu pengetahuan katakan dan apakah yang ilmu pengetahuan tidak
dapat katakan. Inovasi-inovasi dalam segala bidang ilmu pengetahuan yang benar haruslah berfokus
pada Allah sebagai pencipta, dan memuliakan Nya. Pada saat sama beriman kepada Allah sebagai
pencipta harus juga memberi tempat pada ilmu pengetahuan untuk menjelaskan bagaimana proses
terjadinya sesuatu atau kehidupan. Jadi, segala yang dilakukan harus dilakukan dengan fokus yang
benar yaitu kepada Yesus Kristus sebagai Allah yang hidup, Raja diatas segala raja, dan menyerahkan
segala hasil temuan ilmu pengetahuan kepada Allah sebagai sang pencipta, dan sebagai cara untuk
manusia memuliakan Yesus Kristus Tuhan. Bukan malah sebaliknya, dimana manusia kita malah
mengakui inovasi-inovasi yang ada adalah hasil ciptaan manusia, tetapi seharusnya inovasi-inovasi itu
membawa manusia pada kemuliaan Allah dan dipergunakan untuk hormat dan kemuliaan Allah.
10
Daftar Pustaka
Zuck, Roy B. Zuck and Bock, Darrell L. 1994. A Biblical Theology Of The New Testament. Chicago:
The Moody Bible Institute of Chicago.
Tenney, Marrill C. 2013. Survei Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas.
Carson, D.A., and Moo, Douglas J. 2005. An Introduction To The New Testament. Michigan, Grand
Rapids: Zondervan.
Pandensolang,Welly. 2009. Kristologi Kristen. Jakarta: YAI Press.
O’ Donnell, Kevin. 2003. Postmodernism. Oxford, England: Lion Publishing.
Zaluchu, Sonny Eli. 2017. Biblical Theology: Pembahasan Metodologi dan Pendekatan Biblika
dalam Membangun Teologi PL dan PB yang Alkitabiah. Semarang: Golden Gate Publishing.
Lowery, David K.. 2011. A Biblical Theology of the New Testament. Malang: Gandum Mas.
Wongso, Peter. 1988. Kristologi. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara
Swindoll, Charles L. 2008. Yesus. Kristiyanto, Yahya. Jakarta: Nafiri Gabriel
Berkhof, Louis. 2017. Teologi Sistematika Volume 3: Doktrin Kristus. Thianto, Yudha. Jakarta:
Penerbit Momentum.
11