Anda di halaman 1dari 12

TUGAS TEOLOGI KITAB-KITAB INJIL

Dosen :
Dr. Eddy Simanjuntak

Disusun oleh :

Nama : Satrio Nugroho Widiandaru Notoamidjojo


Judul Tugas : Pengimplementasian Kerygma dari Isu-Isu Pilihan
tentang Yesus Kristus dalam Teologi Kitab-Kitab Injil di
Era Post-Modern
NIM : 1977101032
Jenjang : Stratum 2
Program Studi : Theologi

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI EKUMENE


PASCA SARJANA
2019
1. Kitab-Kitab Injil
Kitab-kitab Injil adalah kitab-kitab yang ditulis oleh para penulis Injil yaitu Matius, Markus,
Lukas, dan Yohanes, dimana dalam keempat kitab ini mengandung catatan mengenai Yesus Kristus,
tentang bagaimana Dia dilahirkan, pengajaran Nya, pekerjaan-pekerjaan Nya, kehidupan Nya,
penderitaan Nya, Kematian Nya, Kebangkitan Nya, dan kenaikan Nya. Keseluruhan Kitab Injil
memberikan gambaran yang lengkap mengenai keseluruhan hidup dan pelayanan Yesus Kristus,
sehingga pembaca dapat memiliki gambaran yang jelas mengenai siapa Yesus Kristus itu, dan apa saja
yang telah dilakukan Nya selama Ia berada di dunia ini.
Tiga Injil pertama, yaitu Matius, Markus, dan Lukas, adalah Injil-Injil yang memiliki cara
pandang yang sama terhadap pribadi Yesus Kristus, sehingga ketiga Injil pertama ini disebut sebagai
Kitab Injil Sinoptik. Kata Sinoptik sendiri berasal dari bahasa Yunani συνοψις atau synopsis, yang
berarti Melihat Bersama-sama. Istilah sinoptik ini pertama kali dipergunakan oleh seorang Teolog
berkebangsaan Jerman J.J. Griesbach dalam mengelompokkan Kitab-kitab Injil.
Injil Yohanes menggambarkan Yesus dengan cara yang berbeda dari ketiga Kitab Injil yang
terdahulu, Yohanes menunjukkan siapa Yesus dengan pendekatan Kristologi Yang dimulai dari asal
usul Yesus yang adalah Firman Allah yang kekal, yang kemudian Firman itu turun ke dunia menjadi
Manusia yang hidup ditengah-tengah manusia. Karena pendekatan Yohanes yang berbeda ini lah,
maka Injil Yohanes tidak digolongkan dalam kategori Injil Sinoptik.

2. Yesus menurut keempat Injil


Walaupun tiga Injil pertama memiliki cara pandang yang sama mengenai Yesus Kristus,
namun dalam kebersamaan pandangan itu terdapat perbedaan penggambaran yang cukup mencolok
pada ketiga Kitab Injil sinoptik tersebut. Lalu ada pula Kitab Yohanes yang menggambarkan Yesus
dengan sangat berbeda, sehingga dirasa perlu untuk menjelaskan secara singkat tentang bagaimana
Yesus digambarkan oleh keempat Injil tersebut, agar dapat dipahami dengan jelas nantinya bagaimana
Teologi memandang Kitab-kitab Injil ini.

2.1. Yesus Sebagai Raja


Yesus digambarkan sebagai Raja Yang datang untuk memerintah, dan yang berkuasa. Inilah
gambaran atau citra yang diberikan secara lugas dan jelas dalam Injil Matius. Matius memperlihatkan
bahwa Yesus adalah Raja yang dijanjikan itu sebagaimana dinubuatkan oleh Nabi Yesaya, Yeremia,
dan Zakharia. Dalam Injil Matius terdapat banyak bukti yang menunjukkan hakikat Yesus sebagai
Raja yang dijanjikan oleh Perjanjian Lama, dan Nubuatan itu digenapi dengan datangnya Yesus ke
dunia ini.

1
Matius memulai Injilnya dengan silsilah secara berurutan dimulai dari Abraham, lalu
bersambung ke Raja Daud, terus hingga akhirnya tiba pada Yesus (Matius 1:1). Hal ini menunjukkan
secara legal dan sistematis bahwa Yesus adalah keturunan Raja Israel yang sesuai dengan nubuatan
bahwa Raja yang akan menyelamatkan Israel adalah keturunan Raja Daud.
Selain dari pada silsilah, terdapat pula bukti lain dalam Injil Matius yang menunjuk bahwa
Yesus adalah Raja yang dijanjikan, yaitu saat orang-orang majus mendengar berita kelahiran Yesus,
yang lalu datang ke Yerusalem untuk bertanya tentang Raja orang Yahudi Yang baru lahir, karena
mereka hendak menyembah Dia (Matius 2:2). Dalam kisah selanjutnya, para majus tersebut dituntun
oleh bintang timur hingga ke tempat dimana Yesus berada, dan orang-orang Majus itu masuk kedalam
rumah tempat Yesus dilahirkan dan sujud menyembah Yesus, mereka juga mempersembahkan harta
berupa emas, kemenyan, dan mur sebagai persembahan bagi Nya (Matius 2:9-11). Ini adalah indikasi
tegas bahwa Yesus adalah Raja yang dijanjikan bagi Israel. Penegasan Yesus sebagai Raja, kembali
muncul saat Yesus di introgasi oleh Pilatus, yaitu ketika Pilatus bertanya apakah Yesus adalah Raja
orang Yahudi, dan Yesus menjawab Pilatus dengan perkataan "Engkau sendiri mengatakannya"
(Matius 27:11). Melalui jawaban Nya, Yesus sebenarnya tengah mengatakan kepada Pilatus bahwa
Dia lah Raja orang Israel yang datang dari Sorga, sebagai Mesias.

2.2. Yesus Sebagai Hamba


Hamba yang rendah hati, melayani, rela berkorban, dan penuh kasih. Inilah gambaran
mengenai Yesus yang digambarkan dalam Injil Markus. Markus memulai Injilnya dengan perkataan
"Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah." yang memperkenalkan Yesus sebagai
Anak Allah bukan secara dogmatis, tetapi secara praktis melalui pemberitaan tentang Yesus Kristus
yang berkuasa atas segala macam penyakit, dan dengan kuasa ilahiNya menyembuhkan dan mengusir
setan-setan.
Yesus digambarkan sebagai Hamba Allah yang setia dimana melalui pelayanan Nya selama
didunia, Yesus melakukan pekerjaan Ilahi melalui berbagai mujizat yang Ia lakukan. Mujizat-mujizat
itu lah yang menunjukkan bahwa memang Yesus datang dari Allah yang maha kuasa, dan melakukan
pekerjaan-pekerjaan Allah yang penuh kuasa. Sebanyak 42 kali dijelaskan atau dicatat bahwa Yesus
datang sebagai hamba atau pekerja yang diutus untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang harus
diselesaikan.
Dalam permulaan pelayanan Nya, Yesus memulainya dengan perkataan "kata-Nya:
"Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!"
(Markus 1:15) yang menegaskan permulaan pelayanan Yesus sebagai hamba. Dalam perjalanan
pelayanan Nya banyak dicatat mengenai mujizat-mujizat yang Ia lakukan, lalu kemudian seluruh
perjalanan pelayanan Yesus diakhiri dengan sempurna dalam kematian Nya di atas kayu salib sebagai

2
hamba yang telah dengan sempurna menyelesaikan seluruh penggilan pelayanan Nya, yaitu menjadi
ganti atas dosa dari segenap umat manusia yang telah dipilih Nya dan percaya kepada Nya sebagai
Juruselamat.

2.3. Yesus Sebagai Juruselamat manusia


Yesus digambarkan sebagai Juruselamat Manusia secara universiil, dimana ditekankan bahwa
Yesus bukan hanya datang sebagai Juruselamat orang Yahudi, tetapi juga bagi seluruh umat manusia.
Sifat penyelmatan yang universiil ini tampak pada berita kelahiran Yesus yang digambarkan dalam
perkataan para malaikan atau bala tentara Sorga yang memuji Allah dan berkata: "Kemuliaan bagi
Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan
kepada-Nya." (Lukas 2:14).
Penggambaran mengenai Yesus sebagai Juruselamat manusia secara unversiil sangatlah jelas
digambarkan, misalnya dengan disebutkan bahwa keselamatan adalah bagi bangsa-bangsa, dan
terdapatnya pernyataan bahwa semua orang melihat keselamatan yang dari Tuhan (Lukas 3:4-6).
Yesus yang adalah orang Yahudi, diceritakan sebagai orang yang tidak memandang strata sosial, Ia
benar-benar digambarkan sebagai Juruselamat bagi orang berdosa dan keselamatan itu dinyatakan
sebagai hal yang bersifat universiil dan bukan spesifik bagi bangsa Yahudi saja. Hal ini tampak
dimana Yesus makan satu meja dengan orang-orang berdosa, Yesus yang sangat perduli dengan
orang-orang yang terasing atau tersingkirkan, perhatian Yesus kepada kaum papa, tanpa perduli
tentang golongan, kaum, atau bangsa tertentu, bahkan Ia memperhatikan bangsa Samaria, yang
notabene dianggap sangat rendah oleh orang Yahudi, menunjukkan sifat Nya sebagai Juruselamat
yang universiil.

2.4. Yesus Sebagai Allah


Yesus adalah Allah yang berinkarnasi menjadi manusia, Dia adalah Firman atau λόγος
(Logos) yang bersama-sama dengan Allah, dan Firman atau Logos itu adalah Allah itu sendiri. Hal ini
dinyatakan dengan tegas dalam Injil Yohanes, dimana Yohanes secara langsung dan terang
menyatakan bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia. Keterangan ini diberikan oleh Yohanes
sejak awal dari Injil yang ditulisnya (Yohanes 1:1), lalu ia menyatakan bahwa Firman yang adalah
Allah itu telah menjadi manusia dan berdiam diantara manusia (Yohanes 1:14).
Jika dilihat pada Yohanes 20:30-31, dapat dilihat bahwa sangat ditekankan bahwa Yesus
adalah Mesias yang memberi hidup yang kekal, karena Dia adalah Anak Allah. Penekanan ini
mengisyaratkan bahwa hanya melalui Yesus sajalah keselamatan itu ada, dan dalam Perjanjian Lama,
dikatakan bahwa Allah adalah keselamatan dan hanya pada Nya sajalah adal hidup yang kekal.
Dengan melihat apa yang ditulis oleh Yihanes diatas, maka genaplah apa yang telah dinubuatkan

3
tentang Allah yang akan menyelamatkan umat Allah, dan dengan pernyataan diatas jelaslah bahwa
Yesus lah Allah yang menyelamatkan itu.
Terdapat pernyataan yang jelas dalam Injil Yohanes mengenai Yesus yang adalah Allah yang
bekerja diantara umat manusia (Yohanes 5:17), Ia memiliki kuasa untuk membangkitkan orang mati
dan menghidupkannya (Yohanes 5:21), dan memiliki wewenang untuk menghakimi (Yohanes 5:22).
Kesemuanya ini menandakan bahwa Ia adalah Allah yang datang kedunia ini untuk melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan Nya, serta menunjukkan kuasa dan kewenangan yang Ia miliki, sehingga menjadi
nyata bagi manusia bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia.

3. Pandangan Postmodernisme tentang Yesus


Pascamodernisme atau postmodernisme, post-mo, adalah gerakan abad akhir ke-20 dalam
seni, arsitektur, dan kritik, yang melanjutkan modernisme. Termasuk dalam pascamodernisme adalah
interpretasi skeptis terhadap budaya, sastra, seni, filsafat, sejarah, ekonomi, arsitektur, fiksi, dan kritik
sastra. Pascamodernisme sering dikaitkan dengan dekonstruksi dan pascastrukturalisme karena
penggunaannya sebagai istilah mendapatkan popularitas yang signifikan pada waktu yang sama
dengan pascastrukturalisme, yaitu dalam abad kedua puluh.
Pascamodernisme adalah paham yang berkembang setelah era modern dengan
modernismenya. Pascamodernisme bukanlah paham tunggal atau sebuah teori, tetapi justru
memayungi berbagai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Walaupun
secara garis besar inti dari paham ini adalah terjadinya suatu keterpisahan atau era baru yang
melampaui modernisme. Paham Postmodernisme menolak atau tidak menerima sesuatu yang sifatnya
terstruktur, sehingga faham ini merupakan sebuah faham yang bersifat dekonstruktif.
kekristenan post-modern sama sulitnya untuk didefinisikan seperti halnya postmodernisme itu
sendiri. Apa yang dimulai di tahun 1950-an di bidang arsitektur, sebagai reaksi terhadap pemikiran
dan gaya kaum modernis, segera diadopsi oleh dunia seni dan sastra di tahun 1970-an dan 1980-an.
Gereja baru mulai merasakan dampak ini di tahun 1990-an. Dampak yang terjadi pada kekristenan
adalah berakhirnya "fakta yang objektif dan sudah teruji kebenarannya," yang segera tergantikan oleh
"subjektivitas yang kabur dan tak pasti." Pikirkan tentang hal apa pun yang dianggap sebagai
postmodern, kemudian masukkan kekristenan ke dalam konteks tersebut, maka akan didapat sekilas
pandangan mengenai apa yang dimaksud kekristenan post-modern itu.
kekristenan post-modern mirip dengan pemikiran dasar para postmodernis. Pemikiran ini
menempatkan pengalaman di atas akal budi, subjektivitas di atas objektivitas, spiritualitas di atas
agama, gambar di atas kata-kata, “yang kelihatan” di atas “yang tidak kelihatan.” Apa itu baik? Apa
itu buruk? Itu semua tergantung pada seberapa jauh modernitas telah merusak keimanan seseorang.
Hal ini, tentu saja, tergantung pada respon dari setiap orang-percaya. Namun, ketika sebuah kelompok

4
terbentuk di bawah pemikiran seperti itu, teologi dan doktrinnya cenderung lebih mengarah ke arah
liberalisme. Yesus digambarkan sebagai tokoh yang baik dan bukan sebagai Allah, Dia dipandang
sebagai orang yang bermoral tinggi dan baik menjadi panutan, tetapi tidak ditempatkan sebagai Allah
yang maha kuasa, dan atas pandangan ini, maka ke Ilahian Yesus digugat oleh paham
Postmodernisme.
Hal ini kelihatan dengan jelas pada konsep dimana sesuatu yang dialami itu adalah sesuatu
yang nyata, sehingga bernilai tinggi, sedangkan konsep-konsep keilahian yang tidak kelihatan,
nilainya berada dibawah pengalaman. Misalnya, karena pengalaman dihargai lebih tinggi daripada
akal budi, kebenaran menjadi bersifat relatif. Inilah penyebab terjadinya semua jenis masalah, karena
asumsi ini menghancurkan standar yang menyatakan bahwa Alkitab merupakan kebenaran mutlak.
Bahkan, pemikiran ini ikut mencabut kebenaran Alkitab sebagai sesuatu yang mutlak dalam banyak
hal. Jika Alkitab tidak lagi menjadi sumber bagi manusia untuk mengetahui kebenaran mutlak,
sementara pengalaman pribadi diijinkan untuk mendefinisikan dan menginterpretasikan apa
sebenarnya yang dimaksud kebenaran itu, maka iman yang menyelamatkan dalam Yesus Kristus pun
akan menjadi tak bermakna.
Akan selalu ada "pergeseran paradigma" dalam pemikiran, mengingat manusia selalu
berusaha untuk menjadi lebih baik dalam pengetahuan dan segala hal. Tantangan terhadap cara
berpikir memang baik karena bisa mendorong manusia untuk bertumbuh, belajar, dan memahami. Ini
adalah prinsip yang dimaksud dalam Alkitab, khususnya dalam Injil, yaitu ketika akal budi
orang-percaya diubahkan.
Tetapi, orang percaya tidaklah boleh hanya menerima begitu saja suatu faham, tetapi harus
terus menerus menguji setiap ajaran maupun pemikiran baru dengan menggunakan kebenaran Alkitab
sebagai Kitab Suci. Jangan membiarkan pengalaman yang menafsirkan Alkitab. Karena orang percaya
sudah diubahkan dan sedang berusaha menjadi serupa dengan Kristus, maka orang percaya yang harus
menafsirkan setiap pengalaman yang dialami berdasarkan Alkitab. Sayangnya, bukan ini yang terjadi
di kalangan pengikut kekristenan post-modern, dimana Yesus dipandang bukan sebagai kebenaran dan
Alkitab tidaklah bersifat Kebenaran yang mutlak, tetape menjadi sesuatu yang relatif yang harus diuji
berdasarkan pengalaman, bukan sebaliknya

4. Penerapan Teologi Kitab-Kitab Injil di Era Post-Modernisme


Postmodernisme lahir karena kekacauan dunia dalam segala hal. Ernest Gellner menyebut
bahwa gerakan ini kuat dan modis. Namun demikian, tidak jelas setan apa gerakan ini. Pemakaian
istilah "postmodernisme" mulai tahun 1870-an, pertama kali digunakan oleh seniman Inggris. John
Watkins Chapman, dan tahun 1917 oleh Rudolf Panwitz. Kemudian muncul istilah-istilah

5
"Post-Impresionisme" (1880-an) dan "Post Industrial" (1914-1922). Yang jelas dan tegas adanya
penggunaan awalan "post". Ternyata pengertian postmodernisme banyak dikaburkan oleh para ahli.
Yang mengakibatkan kekaburan makna istilah "postmodern" itu kiranya terutama adalah
akhiran "isme" dan awalan "post"-nya. Sehingga dengan akhiran "isme" itu, postmodernisme biasanya
dibedakan dari postmodernitas. Yang pertama, menunjuk pada kritik-kritik filosofis alas gambaran
dunia (world view), epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Yang kedua, menunjuk pada situasi
dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang
berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa dan penggalian kembali
inspirasi-inspirasi tradisi.
Kata "modern" berasal dari kata Latin "modo", yang artinya "barusan"; "pasca"; "yang
terbaru": "(se)cara baru": "mutakhir". Sedangkan, kata "post" mempunyai arti "sesudah". Jadi,
postmodernisme menyiratkan pengingkaran, maksudnya sesuatu itu bukan modern lagi. Sudah
"modern" ditambah "post". jadi mempunyai pengertian: (1) sebagai hasil dari modernisme; (2) akibat
dari modernisme; (3) anak dari modernisme; (4) perkembangan dari modernisme; (5) penyangkalan
akan modernisme; (6) penolakan terhadap modernisme. Akibatnya istilah "postmodernisme"
mengaburkan pengertian modernisme. Ia menyiratkan pengetahuan yang lengkap tentang modernisme
yang telah dilampaui oleh zaman baru.
Tantangan yang harus dijawab oleh kekristenan adalah bagaimana mengembalikan posisi
Alkitab sebagai suatu kebenaran yang mutlak dan absolut, serta mengembalikan pandangan bahwa
Yesus adalah kebenaran itu, dimana hanya oleh Iman kepada Yesus Kristus lah manusia boleh
memperoleh keselamatan, tidak ada jalan lain, dan tidak ada kebenaran lain diluar Yesus.
Postmodernisme harus digiring kedalam sebuah faham yang demikian agar dapat memandang Yesus
sebagai kebenaran mutlak. Namun hal ini tidak akan dapat dicapai kecuali Postmodernisme dibawa
kedalam konseb Alkitab yang Alkitabiah, dan terstruktur konstruktif yang dibangun dengan dasar
pemikiran bahwa hanga dengan dasar kebenaran mutlak lah, kebenaran itu dapat ditemukan. Premise
inilah yang harus menjadi dasar bagi Gereja Tuhan dalam menghadapi tantangan Postmodernisme.

4.1. Postmodernisme dalam Konsep Alkitab


"Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi: tak ada
sesuatu yang baru di bawah matahari". Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: "Lihatlah, ini baru"
Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada. Inilah yang dikatakan oleh Alkitab mengenai
sesuatu yang baru di dunia ini. Selama manusia hidup di bumi maka tidak ada sesuatu yang baru. Kata
"baru" mempunyai arti yang sebelumnya tidak ada atau belum pernah dilihat atau diketahui atau
didengar. Sebagai yang mula-mula atau pertama kali dilihat. Sesuatu yang baru hanya milik Tuhan
dan hanya Tuhanlah yang bisa membuat suatu yang baru. Mendapat kekuatan baru (Yes 40:31).

6
Hanya Allah lah yang mengabarkan hal-hal baru, Langit yang baru dan bumi yang baru, Yerusalem
baru, Tuhan menciptakan sesuatu yang baru, RahmatNya selalu baru tiap hari, Allah memberikan hati
yang baru dan roh yang baru, Yang ada dalam Kristus adalah ciptaan baru, Manusia baru, dan Allah
menjadikan segala sesuatu baru. Dalam pernyataan-pernyataan kitab suci diatas, dapat dikatakan
bahwa faham Postmodernisme terdapat dala Alkitab, namun dalam cara pandang yang berbeda
dengan faham Postmodernisme yang difahami oleh dunia saat ini, karena dalam pernyataan diatas,
Allah lah yang menjadi sumber pembaharuan itu, dan bukan manusia yang menciptakan sesuatu yang
baru sebagaimana difahami oleh Postmodernisme.
Sehingga atas dasar dalil-dalil kitab suci Alkitab, maka yang perlu dilakukan adalah
menggeser pemahaman Postmodernisme kedalam konsep Alkitabiah yang bersifat Absolut, dimana
kebenaran relatif yang ada pada dunia ini, memiliki batasan tertentu (certain threshold) yang tidak
boleh dilewati, karena diatas batas itu ada kebenaran mutlak yang harus diterima, yaitu Alkitab
sebagai Firman yang tertulis, dan Yesus Kristus sebagai pusat kebenaran yang dinyatakan oleh
Alkitab.

4.2. Otoritas Alkitab


Orang zaman sekarang sudah tidak mau melihat kepada otoritas Alkitab. Alkitab dianggap
sebagai bagian yang tidak penting dan orang-orang cenderung "mengumbar hawa nafsunya" untuk
dipuaskan sendiri dengan cara mengembangkan posmodernisme: melakukan inovasi-inovasi tanpa
menjadikan Alkitab sebagai kerangka dasarnya. Alkitab berkata bahwa Segala tulisan yang
diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan. untuk
memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.
"Segala tulisan" tersebut merujuk pada seluruh tulisan yang terdapat pada Alkitab yaitu
Perjanjian Lama dan juga Perjanjian Baru, yang "Diilhami Allah", dimana keseluruhan isi Alkitab itu
adalah Nafas Allah atau yang dalam bahasa Yunaninya adalah θεοπνευστος. Theopneustos, yang
hanya satu-satunya terdapat dalam Perjanjian Baru ini, berarti "bernafas atau dihembuskan Allah"
dalam bentuk pasif artinya: seorang nabi bernubuat bukan berarti Allah menafasinya atau
menghembusinya dengan aktif. Bukan seorang nabi menulis kemudian Tuhan menghembusinya.
Bukan Tuhan menafasi tulisannya. Sebaliknya, Tuhan "menafaskan" atau "menghembuskan" atau
"mengeluarkan" kata-kata-Nya dan nabi menuliskannya. Jika dalam Perjanjian Lama, hal ini disebut
‫ נשמה‬atau neshamah, yang juga hanya terdapat satu kali dalam Perjanjian Lama, yaitu pada Ayub 32:8.
Sehingga dapat dinyatakan dengan jelas bahwa Alkitab itu dinafaskan oleh Allah. Itulah Firman
Allah. Firman Allah itu berasal dari Allah yang suci dan diwahyukan kepada orang-orang suci.
Firman itu berisi nasihat-nasihat yang suci dan membiarkan hal-hal yang suci dengan maksud
memimpin manusia kepada jalan yang suci dan bahagia.

7
Pengakuan terhadap otoritas Alkitab juga bisa dilihat dari dua bukti: bukti internal dan bukti
eksternal. Bukti internal: (1) Yesus sendiri mengakui otoritas Alkitab. Yesus menekankan bahwa
Firman Allah sepenuhnya dapat dipercayai, kebenarannya tidak dapat disangkal (Yohanes 10:35) dan
pengakuan terhadap kebenaran sejarah seperti penciptaan, pembunuhan Habel, Nuh, dan Yunus. Yesus
juga menekankan otoritas mutlak dari Perjanjian Lama. (2) Alkitab sendiri mengatakannya: Paulus
dan Petrus menyatakan kemahakuasaan Allah, dan menyatakan komunikasi langsung Allah. Bukti
Eksternal: (1) kesatuan Alkitab yang terdiri dari 66 kitab ditulis lebih dari 1500 tahun oleh 40 penulis
dalam 3 bahasa yang berbeda tetapi memiliki tema yang sama, yaitu sejarah keselamatan. (2)
Nubuatan yang digenapi dengan sempurna. (3) Konsistensi yang baik, yaitu tidak bertentangan satu
dengan yang lain.
Jadi, tidak ada alasan bagi siapa saja untuk membiarkan Alkitab tidak dijadikan dasar dari
kerangka pikir manusia. Alkitab justru menjadikan dasar bagi segala pekerjaan di dunia tanpa
memaksakan pengertian "postmodernisme" atau "tradisi". Juga tanpa memaksakan apakah karya
seseorang itu baru atau sudah pernah ada dan perlu diulang-ulang atau diperbaiki.

4.3. Polarisasi terhadap Nilai-nilai yang Sudah Mengkristal


Jadi, tugas kekristenan adalah melakukan "polarisasi" atau perlawanan terhadap nilai-nilai
postmodernisme yang sudah membeku atau mengkristal, seperti dalam Injil Yohanes dinyatakan
bahwa:
"Jikalau kamu tetap dalam firmanKu, kamu benar-benar adalah muridKu dan kamu akan mengetahui
kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu .... Jadi apabila Anak itu memerdekakan
kamu, kamu pun benar-benar merdeka" (Yohanes 8:31a-32, 36).
Kata "kebenaran" atau truth artinya: tidak salah, lurus, adil, cocok dengan keadaan yang
sesungguhnya, tidak bohong, sah, sejati, adalah merupakan kata teologis yang sangat tegas dan detail
untuk menjadikan seseorang itu merdeka. Maksudnya disini adalah bebas dari perhambaan,
penjajahan, berdiri sendiri tidak terikat, tidak bergantung pada sesuatu yang lain, lepas dari tuntutan,
bukan hamba tebusan. Allah membenarkan orang berdosa berdasarkan ketaatan dan kematian Kristus.
Ia bertindak adil. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan keadilan-Nya. Dan bila ia sudah
"dibenarkan", maka ia mendapat kemerdekaan (kebebasan). Kebebasan berarti kebahagiaan
berdasarkan pembebasan dari perbudakan, memasuki kehidupan baru dalam sukacita dan kepuasan
yang tak mungkin diperoleh sebelumnya. Pada teks ini Yesus membebaskan kita dalam kehidupan
yang gelap. Yesus menggiring dan memasukkan kita dalam kemerdekaan baru - hidup baru.
Jadi, ayat di atas hendak mengatakan bahwa cara sederhana untuk melakukan perlawanan
terhadap posmodernisme, yaitu:

8
a. Cara: Menjadikan murid Allah. Sebab itu dikatakan bahwa menjadi murid Yesus harus
menyangkal diri, mengambil bagian penderitaan Kristus. Penderitaan Kristus sebagai teladan
kehidupan murid-murid-Nya (Markus 8:34). Jikalau kita berbuat baik dan harus menderita karena
itu, maka itu adalah kasih karunia Allah. Sebab untuk itulah kita dipanggil.
b. Proses: Hidup taat dalam firman-Nya. Sehingga sebagai warga negara yang baik, maka orang
percaya menyatakan ketaatan sebagai rasa terima kasih nya kepada Allah. Taat kepada Allah
dalam tanggung jawab moral diwujudkan dengan pelaksanaan kasih. Taat ini mentaati
hukum-Nya. Dengan demikian, Allah memberi kelimpahan anugerah. Di sini gambaran dari
buah-buah roh yang dihasilkan seseorang seperti disiplin, kasih untuk belajar Firman Allah, dan
melayani Allah dan orang lain.
Kedua hal tersebut diatas tentunya akan membawa akibat dalam hidup orang percaya,
sehingga akibat tersebut memiliki dampak untuk menggiring faham Postmodernisme kepada suatu
kebenaran yang hakiki, yaitu Alkitab.
a. Akibat I: Mengetahui kebenaran atau keadilan Allah. Kebenaran ini adalah rencana atau kehendak
Allah. Kadang kebenaran bisa membuat seseorang jatuh tetapi bukan berarti kita harus
berkompromi untuk tidak benar, sebab Allah yang merencanakan kita harus hidup dalam
kebenaran-Nya.
b. Akibat II: Hidup dalam kebebasan Allah. Meskipun orang percaya dapat hidup dengan bebas
bukan berarti mereka hidup dalam kejahatan melainkan bebas dalam rencana kehendak Allah atau
dalam jalan Allah. Jadi, kebebasan yang dimiliki adalah kebebasan kebenaran.

4.4. Postmodernisme Bersifat Eksperimental


Konsep "eksperimental" atau coba-coba berlawanan terhadap konsep Kristen. kekristenan
mengajarkan hidup itu harus "mempercayakan diri kepada rencana Allah". Biarlah Allah sendiri yang
bekerja dalam diri orang percaya, dan orang percaya hidup dalam wilayah kekuasaan Nya. Jadi, orang
percaya hidup bukan melakukan "eksperimental" melainkan "percaya" Allah yang memelihara hidup
setiap orang percaya. Tugas orang Kristen bukanlah membebaskan dirinya dalam lingkaran
postmodernisme, tetapi dalam kebebasan rencana Allah. Orang Kristen dipanggil menjadi sempurna
seperti sebuah kota terletak di atas gunung. Orang Kristen dipanggil untuk menterjemahkan Taurat
dan melakukannya sepanjang hari. Orang Kristen dipanggil menerima orang berdosa, bergaul, dan
memenangkan mereka.

4.5. Apa yang perlu dilakukan


Orang Percaya adalah umat Allah yang hidup dan tumbuh dalam suatu persekutuan dengan
Allah secara bersama-sama dalam lingkungan Gereja. Gereja, sebagai lembaga Ilahi perlu mengambil

9
suatu sikap terhadap postmodernisme, yaitu adalah back to the Bible. Berbagai dalil yang terdapat
dalam Alkitab, ditambah dengan perjalanan panjang dari penerapan hukum-hukum Allah yang
tertuang dalam Alkitab, telah membuktikan bahwa Alkitab adalah pedoman, langkah, dan dasar
keputusan hidup setiap manusia. Tidak ada kitab yang lain bisa menyamai Alkitab. Alkitab adalah
jawaban postmodernisme bagi orang percaya. Di sini Gereja harus sepenuhnya berdiri pada
"kekuatan" dan "keilahian" Allah dalam Yesus Kristus ketika menapaki postmodernisme yang terus
bergejolak dan seolah-olah tidak bisa dibendung dengan "kekuatan" dan "keilahian" Allah.
Bukan berarti Gereja tidak boleh melakukan inovasi-inovasi terhadap ilmu pengetahuan.
Gereja boleh berinovasi, tetapi Gereja harus menyadari dengan tepat apa yang Alkitab katakan dan
apa yang tidak, dan apa yang ilmu pengetahuan katakan dan apakah yang ilmu pengetahuan tidak
dapat katakan. Inovasi-inovasi dalam segala bidang ilmu pengetahuan yang benar haruslah berfokus
pada Allah sebagai pencipta, dan memuliakan Nya. Pada saat sama beriman kepada Allah sebagai
pencipta harus juga memberi tempat pada ilmu pengetahuan untuk menjelaskan bagaimana proses
terjadinya sesuatu atau kehidupan. Jadi, segala yang dilakukan harus dilakukan dengan fokus yang
benar yaitu kepada Yesus Kristus sebagai Allah yang hidup, Raja diatas segala raja, dan menyerahkan
segala hasil temuan ilmu pengetahuan kepada Allah sebagai sang pencipta, dan sebagai cara untuk
manusia memuliakan Yesus Kristus Tuhan. Bukan malah sebaliknya, dimana manusia kita malah
mengakui inovasi-inovasi yang ada adalah hasil ciptaan manusia, tetapi seharusnya inovasi-inovasi itu
membawa manusia pada kemuliaan Allah dan dipergunakan untuk hormat dan kemuliaan Allah.

10
Daftar Pustaka
Zuck, Roy B. Zuck and Bock, Darrell L. 1994. A Biblical Theology Of The New Testament. Chicago:
The Moody Bible Institute of Chicago.
Tenney, Marrill C. 2013. Survei Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas.
Carson, D.A., and Moo, Douglas J. 2005. An Introduction To The New Testament. Michigan, Grand
Rapids: Zondervan.
Pandensolang,Welly. 2009. Kristologi Kristen. Jakarta: YAI Press.
O’ Donnell, Kevin. 2003. Postmodernism. Oxford, England: Lion Publishing.
Zaluchu, Sonny Eli. 2017. Biblical Theology: Pembahasan Metodologi dan Pendekatan Biblika
dalam Membangun Teologi PL dan PB yang Alkitabiah. Semarang: Golden Gate Publishing.
Lowery, David K.. 2011. A Biblical Theology of the New Testament. Malang: Gandum Mas.
Wongso, Peter. 1988. Kristologi. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara
Swindoll, Charles L. 2008. Yesus. Kristiyanto, Yahya. Jakarta: Nafiri Gabriel
Berkhof, Louis. 2017. Teologi Sistematika Volume 3: Doktrin Kristus. Thianto, Yudha. Jakarta:
Penerbit Momentum.

11

Anda mungkin juga menyukai