Anda di halaman 1dari 9

Sumbangsih Tasawuf Pada Spiritual Kehidupan Modern

Oleh: Muh. Aseffudin


muhammadaseffudin@gmail.com

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir


Mata Kuliah Tasawuf dan Etika Islam
FITK UIN Walisongo Program Beasiswa
Dosen Pengampu : Dr.Hj. Arikhah, M.Ag

Abstrak
Munculnya problema spiritual yang dialami manusia modern saat ini, bermula dari
hilangnya visi keilahian yang disebabkan oleh manusia modern itu sendiri, yang
senantiasa bergerak makin menjauh dari pusat eksistensi. Untuk itu, tidak ada alternatif
yang lebih baik dalam menjawab krisis spiritualitas yang telah menimbulkan berbagai
penyakit spiritual saat ini, kecuali manusia modern harus kembali ke pusat eksistensi.
Asumsi dasar tentang manusia yang terdiri dari asperk jasmani dan ruhani, material dan
spiritual, adalah dimensi yang lengkap yang dapat menjadi alternaif bagi manusia modern
mengatasi penyakit spiritual. Keduanya sejatinya berjalan seiring, saling melengkapi.
Melalui dimensi spiritual manusia dituntut untuk kembali ke pusat eksistensi melalui dzawq
atau cita rasa hati, musyahadah (menyaksikan) dan ma‟rifah (mengenal segala yang tidak
tampak. Dari sisi eksternal, pendidikan tasawuf merupakan pendidikan diri yang harus
dilakukan dengan usaha-usaha yang sungguh-sungguh terhadap aspek spiritual.
Kata Kunci: Tasawuf, Spiritualitas Islam, Masyarakat modern.

A. Pendahuluan
Di antara permasalahan yang muncul pada era modern sekarang ini, di samping masalah-
masalah yang lain, adalah krisis moral dan krisis spiritual. Krisis moral dianggap Kedua
krisis itu saling berhubungan dan jalin-menjalin sehingga sulit dibedakan dan dipisahkan.
Krisis moral dianggap sebagai penyebab utama merosotnya kehidupan social-keagamaan
masyarakat modern. Akan tetapi, ada pendapat yang mengatakan bahwa kriris moral yang
terjadi pada kehidupan modern saat ini yang hampir merambah seluruh lini kehidupan
bangsa Indonesia sebenarnya berasal dan bermuara pada krisis spiritual.1
Krisis tersebut ditandai dengan semakin banyaknya orang yang mengalami
kecemasan, kegelisahan, dan kehampaan eksistensial.2 Akibat selanjutnya adalah,
merebaknya penyakit-penyakit spiritual yang berujung pada stres, frustrasi, hingga
penurunan martabat manusia serta mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Beberapa

1
Sukidi, Rahasia Sukses Hidup Bahagia: Kecerdasan Spiritual (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2004), h. 4.
2
Hanna Djumhanna Bastaman, “Dimensi Spiritual Dalam Teori Psikologi Kontemporer: Logoterapi
Viktor E Frankl”, dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Qur‟an Nomor 4, Vol. V (Jakarta: LSAF, 1994), h. 18.
pakar spiritualitas berusaha menawarkan nilai-nilai yang berhubungan dengan dimensi
spiritual. Di antara nilai-nilai itu, dalam Islam dikenal dimensi tasawuf.3
Kendati krisis spiritual kini melanda banyak masyarakat, namun kepercayaan
terhadap metode ilmiah masih tetap bertahan, walau pun di sana-sini telah muncul
kekecewaan yang meluas berkenaan dengan cara-cara pemafaatan ilmu pengetahuan dan
peradaban. Bersamaan dengan ini pupus pula kepercayaan pada sains sebagai problem
solver bagi masalah-masalah manusia. Sebab, era modern ini telah menyebabkan munculnya
alienasi.4 (keterasingan) pada diri sendiri. Tetapi uniknya, semangat manusia untuk terus
menatap masa depan melalui pendidikan terus berlanjut.
Kebudayaan modern yang menganut paham politik liberalisme dan rasionalisme itu,
secara konsisten terus melakukan penggerusan dan proses pendangkalan kehidupan spiritual
sampai pada tarap paling jauh. Liberalisasi politik juga membawa ekses pada proses
desakralisasi dan despiritualisasi tata nilai kehidupan.5 Dalam proses semacam itu, agama
yang syarat dengan nilai-nilai sakral dan spiritual, perlahan tapi pasti, terus tergusur dari
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kadang-kadang agama dipandang tidak relevan dan
tidak signifikan lagi dalam kehidupan. Akibatnya, sebagaimana terlihat pada gejala umum
masyarakat modern, kehidupan rohani semakin kering dan dangkal.6
Modernitas diakui telah membawa banyak sekali perubahan baik dalam bidang sains dan
teknologi, lapangan hidup, dan perilaku masyarakat. Indicator paling menonjol dalam
modernisasi adalah kecenderungan materialistik, individualistic dan hedonistic. Oleh karena
itu, ta mengherankan jika ukuran kemajuan lebih dititikberatkan pada persoalan material
daripada nilai-nilai spiritual.7
Masyarakat modern kini menginginkan serta mendambakan sesuatu yang lebih dari
sekadar agama formal yang hanya menjalankan ritus keagamaan yang kering penghayatan.
Kegagalan saintisme dalam memberikan jawaban terhadap masyarakat modern, rupanya

3
Abdul Muhayya, dkk., Tasawuf dan Krisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 24-26
4
Istilah “alienasi” dikenalkan oleh Erich Fromm., yang di Indonesia sering diterjemahkan dengan
“keterasingan”. Dalam masyarakat modern, alienasi adalah pengalaman hidup seorang yang merasakan
dirinya sebagai sosok terasing. Lihat Erich Fromm, “Mendidik si Automaton”, dalam Paulo Freire, Ivan Illich
dan Erich Fromm, dkk., Menggugat Pendidikan, terj. OmiIntan Naomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
h. 343-353. Juga Erich Fromm, Masyarakat Sehat, terj. Bambang Murtianto (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1995), h. 132
5
Seyyed Hosein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono, et.al (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997, h. 1-7
6
Azyumardi Azra, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1998), h. 100-101
7
Harun Asfar, “Konsep Spiritualitas Islam Sebagai Pencegah Gejolak Perubahan Sosial”, dalam Amsal
Bakhtiar (ed), Tasawuf dan Gerakan Tarekat (Bandung: Angkasa, 2003), h. 96
telah diikuti dengan sejumlah kegagalan yang sama dari pendekatan non-spiritual. Ini
tampaknya menumbuhkan harapan baru pada aktivitas yang selama ini nyaris ditinggalkan
karena dianggap menyebabkan kemunduran, yaitu fenomena spiritualitas.

B. Krisis dan Kebangkitan Spiritual di Era Modern


Kebangkitan dimensi spiritual kini termanifestasikan terutama di Barat pada menjamurnya
parktek-praktek pengkultusan, perdukunan, dan tahayul. Mungkin sudah tiba saatnya orang
harus menerima keabshan studi terhadap “realitas yang tak terobservasi” atau dalam studi
umum tentang agama sering disebut “kekuatan spiritual” yang bekerja mempengaruhi
perilaku-perilaku manusia.8 Maka, dalam menyikapi persoalan krisis spiritual yang dialami
manusia modern saat ini, ada sebagian kalangan yang menawarkan kembali pada
penghayatan nilai-nilai agama. Nilai-nilai agama yang diyakini mampu mengatasi
permasalahan krisis itu adalah nilai agama yang berdimensi spiritual. Setiap agama memiliki
basis spiritual dengan nama dan istilahnya masing-masing. Dalam Islam, nilai spiritual itu
adalah ajaran tasawuf. Atau, dalam bahasa mutakhir, dikenal dengan sebutan spiritualitas
Islam.
Menurut Ewert Cousins, adalah salah satu fenomena khas dari bagian akhir abad ke-20
menjelang abad ke-21. Spiritualitas diminati kembali dengan tujuan untuk menyinari
sebagian besar masalah yang ditimbulkan oleh modernitas. Para guru spiritual dari Timur
yang datang ke Barat mampu menjawab kerinduan spiritual yang mendalam dari banyak
orang Barat. Sejak itu, publikasi-publikasi mulai bermunculan seputar kebijaksanaan spiritual
(wisdom).9
Di kota-kota besar di dunia sekarang ini telah muncul gairah baru pada spiritualitas.
Gejala itu ditandai dengan minat dan perhatian yang serius terhadap tasawuf. Munculnya
berbagai sanggar pengajian tasawuf di kota-kota besar dan publikasi besar- besaran buku-
buku bertema spiritual dan tasawuf dalam beberapa tahun terakhir, adalah membuktikan
bahwa ajaran tasawuf kembali diminati oleh masyarakat Islam di zaman modern ini;
termasuk di Indonesia.
Mengamati gejala kebangkitan tasawuf di kalangan umat Islam di Indonesia, Budhy
Munawar Rachman merasa agak risih dan menyebut fenomena haus spiritual tersebut

8
Allen E. Bergin, “Psikoterapi dan Nilai-Nilai Religius”, terj. M. Darmin Ahmad, dalam Jurnal
Kebudayaan Ulumul Qur‟an, Nomor 4, Vol. V (Jakarta: LSAF, 1994), h. 5
9
Ewert Cousins, “Hakikat Keyakinan dan Spiritualitas dalam Dialog Antaragama”, dalam Ali Noer
Zaman (ed), Agama untuk Manusia, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000), h. 77
sebagai gejala “demam tasawuf”; yakni semacam antitesis dari kecenderungan umat Islam
yang selama ini lebih mengedepankan kehidupan yang serba-fiqh.10
Ada banyak respon dan tanggapan terhadap gejala spiritualitas keagamaan yang
berkembang belakangan ini, dengan berbagai bentuk dan cara. Menurut penelusuran
Azyumardi Azra, gejala munculnya spiritualitas ke panggung kehidupan masyarakat
Indonesia mulai terlihat lebih terarah. Meskipun, menurutnya, penelitian yang ilmiah belum
pernah dilakukan tentang gejala bangkitnya minat masyarakat terhadap spiritualisme Islam.
Memang, media massa sering melaporkan dan menurunkan tulisan, bahwa buku-buku
spiritual atau tasawuf termasuk di antara buku-buku terlaris di took-toko buku. Kursus-
kursus spiritual, meditasi, pendirian padepokan spiritual dan meditasi yoga, diselenggarakan
beberapa lembaga, seperti Anand Ashram. Selain itu, terdapat kajian tasawuf di LSAF dan
Paramadina, yang mampu menarik minat masyarakat perkotaan yang cukup tinggi.11
Munculnya kecenderungan untuk memberikan porsi yang besar terhadap dimensi
spiritual, pada satu sisi, cukup membanggakan. Sebab, langkah ini merupakan sebuah
pengakuan yang jujur akan kembalinya ajaran tasawuf di tengah-tengah kehidupan
masyarakat modern, yang sebelumnya banyak dikritik karena dianggap menyebabkan
kemunduran umat Islam.
Tetapi, di sisi yang lain, gejala haus akan ajaran tasawuf itu cukup mengkhawatirkan
karena ajaran-ajaran tasawuf dalam bentuk spiritualitas sering tanpa ditopang oleh agama
tertentu (spiritualitas tanpa agama). Di sini menarik untuk menelusuri alasan mengapa ajaran
tasawuf dalam Islam diminati banyak kalangan. Hemat penulis, ada beberapa alasan
utamanya. Saat ini, banyak manusia modern mencari pemuasan dahaga spiritual mereka di
tengah individualisme dan materialisme era modern.12 Sejak awal kelahirannya, modernisme
telah menunjukkan sifat penolakan terhadap spiritualisme yang dianggap tidak empiris dan
tidak ilmiah. Menurut Arnold Toynbee, modernisme semula muncul di Barat ketika mereka
berterimakasih tidak kepada Tuhan, melainkan kepada dirinya sendiri, karena ia telah berhasil
mengatasi kungkungan agama Abad Pertengahan.13 Implikasinya, manusia modern mampu
menciptakan berbagai inovasi ilmiah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga

10
Budhy Munawar-Rachman, “Spiritualitas: Pendekatan Baru dalam Beragama”, dalam Komaruddin
Hidayat (et.al), Agama di Tengah Kemelut (Jakarta: Mediacita, 2001), h. 48
11
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), h.
120
12
F.B. Burnham, Postmodern Theology (San Fransisco: Harper & Row Publiser, 1989), h. ix
13
Arnold Toynbee, A Study of History (Oxford: Oxford University Press, 1987), h. 148
pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan manusia digantikan oleh mesin. Oleh karena itu, yang
modern diidentikkan dengan yang serba-teknik.14

C. Penerapan Tasawuf dalam Kehidupan

Peranan tasawuf dalam kehidupan modern ini sangat penting dalam rangka mengembalikan
manusia kepada fitrahnya yang suci. Tasawuf sebagai sebuah ajaran untuk mensucikan harus
dihadirkan di tengah masyarakat. Membiasakan diri mengikuti majelis dzikir maupun majelis
ilmu akan membuat hati seseorang menjadi tenang, seperti firman Allah Swt yang artinya:
"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Rad :
28). Hati yang tenang dan selalu mengingat Allah akan membuat perilaku seseorang menjadi
terkendali.
Manusia di era global, dan sebagai konsekuensi modernisasi, melepaskan diri dari
keterikatannya dengan Tuhan (theomorphisme), untuk selanjutnya membangun tatanan
manusia yang semata-mata berpusat pada manusia (anthropomorphisme). Manusia menjadi
tuan atas nasibnya sendiri, yang mengakibatkan terputusnya mereka dari nilai-nilai spiritual.15
Setiap orang didorong berjuang keras menjadi pekerja sukses dan kaya demi penegasan akan
keberhasilannya itu. Kemakmuran melambangkan nilai jualnya yang tinggi dan dihargai di
pasar.
Kemiskinan dimaknai sebagai sebaliknya. Kebaikan, kejujuran, kesetiaan pada
kebenaran dan keadilan dipandang tidak bernilai jika tidak memberikan manfaat bagi
kesuksesan dan kemakmuran. Sejauh kondisi ekonominya tidak makmur, dia dinilai belum
sukses. Manusia moderen tidak lagi berpijak pada kualitas kemanusiaan, melainkan oleh
keberhasilannya dalam mencapai kekayaan materil. Keadaan ini memalingkan kesadaran
manusia sebagai makhluk termulia. Keutamaan dan kemuliaannya menyatu dengan kekuatan
kepribadiannya, bukan bergantung pada sesuatu di luar dirinya. Karena itu, masyarakat
modern mengalami kehampaan, dan mengalami hidup yang tidak bermakna. Kehadirannya
bergantung pada pemilikan dan penguasaan pada simbol kekayaan. Hasrat mendapatkan harta
yang berlimpah melampaui komitmennya terhadap solidaritas sosial, hal ini didorong
pandangan bahwa orang banyak harta merupakan manusia unggul.

14
Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992), h. 451
15
Muhkhibat, Spiritualisasi dan Konfigurasi Pendidikan Karakter Berparadigma Kebangsaan dalam
Kurikulum 2013, (Al-Ulum: Jurnal Studi Islam, vol 14, no 1. Juni 2014), hal 24
Tasawuf pada dasarnya berkaitan dengan perasaan dan kesadaran. Jiwa manusia
adalah satu, sekalipun terdapat perbedaan suku, bangsa, dan rasnya. Apapun yang berkaitan
dengan jiwa manusia, lewat latihan-latihan rohaniyah. Kaum sufi selalu berusaha mensucikan
diri agar bisa mendekatkan dirinya kepada Allah. Dengan berbagai macam usaha pensucian
diri, maka bertambahlah ketajaman mata batin dalam melihat kemakhlukan diri. Pengalaman
religius tertinggi seperti ma’rifat Allah tidak hanya dimiliki oleh kalangan laki-laki, kaum
perempuan pun asal mempunyai hasrat yang tinggi dalam mewujudkan penghambaanya pada
ilahi, dengan melalui maqam-maqam yang harus dijalani, juga akan sampai pada tingkat
ma’rifat.16
Tasawuf di era moderen dituntut untuk dapat memberikan inspirasi baru yang lebih
obyektif dalam menatap dunia dengan menaruh sikap positif terhadap iptek dan variable
modernitas. Manusia adalah makhluk sosial yang harus bersikap positif terhadap realitas
kehidupan untuk dapat mengolahnya dengan baik. Namun demikian harus disadari bahwa
manusia adalah hamba yang harus selalu melakukan penyembahan dan penghayatan kepada
Tuhan. Artinya, seluruh dimensi kehidupan sosial manusia harus diilhami dengan nafas
spiritual agar manusia tidak terjatuh dalam kegelapan yang tidak berakhir.
Tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui penyucian diriseperti
disebutkan dalam al-qur’an yang memerintahkan untuk berserah diri kepada Allah,
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya” (QS. Al An’am: 162). Disurah yang lain allah
memerintahkan untuk menyucikan diri diantaranya: “Hai jiwa yang tenang, kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam
jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. Al Fajr: 28-30).
“Sungguh, bahagialah orang yang menyucikan jiwanya” (Q.S. Asy-syam).
Tujuan akhir terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak yang baik dan menjadi
orang yang bermanfaat bagi orang lain. Tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis
kerohanian manusia yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa
dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini
membuat penderitaan batin.
Tasawuf sebagai khazanah moralitas luhur, dimaksudkan bukan hanya untuk
mencapai ketenangan dan kebahagiaan diri sendiri saja tetapi juga dimaksudkan memiliki
dampak-dampak sosial yang membangun. Di sinilah perlunya transformasi tasawuf dalam

16
Asep Usmar Ismail, dkk, Tasawuf, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Jakarta, 2005), hal. 111
konteks dinamika sosial. Praktek tasawuf tidak dilakukan dengan menyembunyikan diri dari
fenomena sosial untuk memburu kenikmatan spirirtual individual (hedonisme spiritual) tetapi
praktek tasawuf dituntut untuk menjadi rahmat bagi masyarakat melalui spiritualitas diri.
Artinya, tasawuf dapat diperankan sebagai basis moral dalam sikap mental dan pola pikir,
sehingga kehidupan keseharian yang berkualitas.
Menurut Said Aqil Siroj, dimensi tasawuf dalam islam kini sangat kontekstual. Sebab,
menurutnya, sejak awal budaya manusia, pendidikan spiritual pada hakikatnya merupakan
proses sosialisasi dan inkulturasi yang menyebarkan nilai-nilai dan pengetahuan yang
terakumulasi dalam masyarakat. Perkembangan masyarakat berjalan berkelindan dengan
pertumbuhan dan proses sosialisasi dan inkulturasi dalam bentuk yang bisa diserap secara
optimal, atau bahkan maksimal. Tasawuf sesungguhnya bukan suatu penyikapan yang pasif
atau apatis terhadap kenyataan sosial. Sebaliknya, tasawuf berperan besar dalam mewujudkan
sebuah perubahan moral-spiritual dalam masyarakat. Dan, bukankah aset moral-spiritual ini
merupakan ethical basic atau al-asasiyatu al-akhlaqiyah bagi suatu formulasi sosial seperti
dunia pendidikan?17
Lebih lanjut Said Aqil Siroj mengatakan bahwa pendidikan yang dikembangkan di
Indonesia selama ini masih terlalu menekankan arti penting akademik, kecerdasan otak, dan
jarang sekali terarah pada kecerdasan emosi dan spiritual (tasawuf). Oleh karena itu, krisis
yang terjadi saat ini juga tidak terlepas dari krisis spiritual. Maka, tantangan besar yang harus
dihadapi oleh umat Islam di era sekarang ini, tidak lagi pada tuntunan kemampuan manusia
mengamalkan aspek tasawuf. Hal ini dikarenakan tantangan permasalahan dalam kehidupan
pribadi dan bermasyarakat semakin beragam dan semakin kompleks.
Tasawuf dalam hidup berfungsi menjadikan manusia berkeperibadian yang saleh dan
berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam sebuah
tharekat atau aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup sederhana
dengan memiliki nilai kejujuran, tetap berpendiriaan dan tawadhu. Semua itu dapat dilihat
pada diri Rasulullah SAW, yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-
harinya. Apalagi di masa remaja Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai manusia yang
digelari al-Amin, terpercaya, menyampaikan hal-hal yang baik, tabligh, memiliki sifat sabar,

17
Menurut Said Aqil Sirodj adalah disiplin pengetahuan ruhani dalam islam yang sekaligus merupakan
metode pendidikan yang membimbing manusia ke dalam harmoni dan keseimbangan total. Metode sufistik
dalam pendidikan bertumpu pada basis keharmonisan dan kepada kesatuan dengan alam. Bertasawuf yang
benar berarti sebuah pendidikan bagi kecerdasan emosi dan spiritual (yang kini dikenal dengan metode EQ
dan SQ). Lihat Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial (Bandung: Mizan, 2006), h. 53
dan zuhud. Termasuk berbuat baik terhadap musuh dan lawan yang tak berbahaya atau yang
bisa diajak kembali pada jalan yang benar.

D. Penutup
Sampai di sini, dapat ditegaskan bahwa nilai-nilaispiritual terutama nilai-nilai spiritual Islam
perlu ditumbuh kembangkan dalam diri setiap individu di era modern ini karena ia sangat
urgen dan kontekstual. Dalam ajaran spiritual terdapat upaya untuk menyadarkan jiwa dan
pola fikir seseorang dari paham kebendaan. Ajaran dan nilai agama yang akan membimbing
stiap individu untuk keluar dari setiap problem- problem mayarakat dan umat adalah ajaran
agama yang berdimensi spiritual.
Jika orang di dalam dirinya telah terbiasa mendapat pendidikan spiritual, ia akan
memiliki benteng yang tangguh dalam menghadpi dinamika zaman. Ia tidak gampang goyah
dan mengalami stress serta gangguan penyakit spiritual lainnya. Sudah jelas di dalam al-
Qur’an sebagai landasan spiritualitas dan landasan hidup yang sangat prinsip ditegaskan
bahwa ketika kamu senantiasa mengingat Allah, maka hatimu akan tenang. Ajaran
seperti inilah yang seharusnya selalu dijadikan pedoman, agar bagaimana menjalani hidup
lebih sabar dan tenang.
Fungsi tasawuf dalam hidup adalah menjadikan manusia berkeperibadian yang shaleh
den berperilaku baik den mulia serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam
sebuah aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup sederhana, jujur,
istiqamah dan tawadhu. Perilaku hidup Rasulullah SAW yang ada dalam sejarah
kehidupannya merupakan bentuk praktis dari cara hidup seorang sufi.
DAFTAR PUSTAKA

Asfar, Harun, “Konsep Spiritualitas Islam Sebagai Pencegah Gejolak Perubahan Sosial”,
dalam Amsal Bakhtiar (ed), Tasawuf dan Gerakan Tarekat (Bandung: Angkasa,
2003)

Azra, Azyumardi, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1998)

Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina,


1999)

Bastaman, Hanna Djumhanna, “Dimensi Spiritual Dalam Teori Psikologi Kontemporer:


Logoterapi Viktor E Frankl”, dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Qur‟an Nomor
4, Vol. V (Jakarta: LSAF, 1994)

Bergin, Allen E., “Psikoterapi dan Nilai-Nilai Religius”, terj. M. Darmin Ahmad, dalam
Jurnal Kebudayaan Ulumul Qur‟an, Nomor 4, Vol. V (Jakarta: LSAF, 1994)

Budhy, Munawar-Rachman, “Spiritualitas: Pendekatan Baru dalam Beragama”, dalam


Komaruddin Hidayat (et.al), Agama di Tengah Kemelut (Jakarta: Mediacita,
2001)

Cousins, Ewert, “Hakikat Keyakinan dan Spiritualitas dalam Dialog Antaragama”, dalam
Ali Noer Zaman (ed), Agama untuk Manusia, terj. Ali Noer Zaman
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000)

F.B. Burnham, Postmodern Theology (San Fransisco: Harper & Row Publiser, 1989)

Fromm, Erich, dkk., Menggugat Pendidikan, terj. OmiIntan Naomi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999)

Fromm, Erich, Masyarakat Sehat, terj. Bambang Murtianto (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1995)
Ismail, Asep Usmar, dkk, Tasawuf, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Jakarta, 2005)

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992)

Muhayya, Abdul, dkk., Tasawuf dan Krisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)

Muhkhibat, Spiritualisasi dan Konfigurasi Pendidikan Karakter Berparadigma Kebangsaan


dalam Kurikulum 2013, (Al-Ulum: Jurnal Studi Islam, vol 14, no 1. Juni 2014)

Nasr, Seyyed Hosein, Pengetahuan dan Kesucian, terj. Suharsono, et.al (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997)

Siroj, Said Aqil, Tasawuf sebagai Kritik Sosial (Bandung: Mizan, 2006)

Sukidi, Rahasia Sukses Hidup Bahagia: Kecerdasan Spiritual (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2004)

Toynbee, Arnold, A Study of History (Oxford: Oxford University Press, 1987)

Anda mungkin juga menyukai