Anda di halaman 1dari 6

NAMA : MULYANA

NPM : 110110080138

DOSEN : AAM SURYAMAH, S.H., M.H.

EMA RACHMAWATI, S.H., M.H.

BUKU : HAPER INDONESIA KARYA PROF. DR. SUDIKNO MERTOKUSUMO, S.H.

RESUME
BAB PUTUSAN
Definisi Putusan
Setelah hakim mengetahui duduknya perkara yang sebenarnya, maka
pemeriksaan terhadap perkara dinyatakan selesai. Kemudian dijatuhkan putusan.
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara
yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
Bukan hanya diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di
persidangan. Putusan yang diucapkan di persidangan (uitspraak) tidak boleh
berbeda dengan yang tertulis (vonnis). Mahkamah Agung dengan surat edarannya
no.5/1959 tanggal 20 April 1959 dan no.1/1962 tanggal 7 Maret 1962
menginstruksikan antara lain agar pada waktu putusan diucapkan konsep putusan
harus sudah selesai. Maksud tujuan surat edaran ini ialah untuk mencegah
hambatan dalam penyelesaian perkara, tetapi dapat dicegah pula adanya
perbedaan isi putusan yang diucapkan dengan yang ditulis. Jikalau ternyata ada
perbedaan isi putusan yang diucapkan dengan yang ditulis, maka yang sah adalah
yang diucapkan yaitu lahirnya putusan itu sejak diucapkan.

Akan tetapi, putusan hakim bukanlah satu-satunya bentuk untuk


menyelesaikan perkara. Disamping putusan hakim masih ada penetapan hakim.
penyelesain perkara dalam peradilan contentieus disebut putusan sedangkan
penyelesaian perkara dalam peradilan voluntair disebut penetapan.
Kekuatan Putusan

HIR tidak mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3


macam kekuatan: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan
eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan.

1. Kekuatan mengikat

Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelsesaikan suatu


persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya.Kalau pihak yang
bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan
atau hakim untuk diperiksa atau diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-
pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan.
Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. Salah
satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan. Jadi putusan hakim
mempunyai kekuatan mengikat yaitu mengikat kedua belah pihak (ps.1917 BW).
Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak
mencoba memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan.

a. teori hukum materiil

Menurut teori ini maka kekuatan mengikat daripada putusan yang lazimnya
disebut “gezag van gewijsde” mempunyai sifat hukum materiil oleh karena
mengadakan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban keperdataan:
menetapkan, menghapuskan atau mengubah. Mengingat bahwa putusan itu hanya
mengikat para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga, kiranya teori ini tidaklah tepat.

b. teori hukum acara

Menurut teori ini putusan bukanlah sumber hukum materiil, melainkan sumber
daripada wewenang prosesuil. Akibat putusan ini bersifat hukum acara, yaitu
diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban prosesuil.

c. teori hukum pembuktian

Menurut teori ini putusan merupakan bukti tentang apa yang ditetapkan di
dalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh karena menurut teori ini
pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang pasti tidak diperkenankan.

d. terikatnya para pihak pada putusan

Terikatnya para pihak kepada putusan dapat mempunyai arti positif dan dapat
pula mempunyai arti negatif. Arti positifnya yaitu apa yang telah diputus diantara
para pihak berlaku sebagai positif benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus
dianggap benar atau res judicato pro veriate habetur. Sedangkan dalam arti negatif
yaitu hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara
para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama (nebis in idem).
Kecuali didasarkan pada asas “litis finiri oportet” yang menjadi dasar ketentuan
tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum, maksudnya yaitu apa
yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tidak boleh diajukan lagi
kepada hakim.

e. kekuatan hukum yang pasti

Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (krach van
gewijsde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk upaya
hukum biasa ialah perlawanan, banding, dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan
hukum yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh
pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus, yaitu
request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga. Pasal 1917 ayat 1 BW berbunyi,
bahwa kekuatan mengikat daripada putusan itu terbatas pada pokok putusan
(onderwerp van het vonnis). Kekuatan mengikat dari putusan itu tidak meliputi
penetapan-penetapan mengenai peristiwa. Apabila hakim dalam suatu putusan telah
mengconstair suatu peristiwa tertentu berdasarkan alat-alat bukti tertentu, maka
dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih dapat disengketakan.

Telah dikemukakan di muka bahwa pada asasnya putusan hakim hanyalah


mengikat para pihak (ps.1917 BW). Yang dimaksudkan dengan pihak bukanlah
hanya penggugat dan tergugat saja, tetapi juga pihak ketiga yang ikut serta dalam
suatu sengketa antara penggugat dan tergugat, baik dengan jalan interventie
maupun pembebasan (vrijwaring) atau mereka yang diwakili dalam proses.
Terhadap pihak ketiga putusan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Tetapi pihak
ketiga ini dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang pasti (ps.378 Rv). Dalam hal ini perlu mendapat perhatian
bahwa hanya pihak ketiga yang dirugikan oleh putusan itulah yang dapat
mengajukan perlawanan.

2. Kekuatan Pembuktian

Dituangkan putusan dalam bentuk tertulis, yang merupakan akta otentik, tidak
lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang
mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi, atau pelaksanaannya.
Arti putusan itu sendiri dalam hukum pembuktian ialah bahwa dengan putusan itu
telah diperoleh suatu kepastian tentang sesuatu. Pasal 1918 dan 1919 BW
mengatur tentang kekuatan pembuktian putusan pidana. Putusan pidana yang isinya
menghukum dan telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, dapat digunakan
sebagai bukti dalam perkara perdata mengenai peristiwa yang telah terjadi, kecuali
apabila ada bukti lawan: kekuatan pembuktiannya mengikat (ps.1918 BW).

Putusan perdata pun mempunyai kekuatan pembuktian. Menurut pasal 1916


ayat 2 no.3 BW maka putusan hakim adalah persangkaan. Putusan hakim
merupakan persangkaan bahwa isinya benar: apa yang telah diputus oleh hakim
harus dianggap benar (res judicata proveritate habetur). Hakim mempunyai
kebebasan untuk menggunakan kekuatan pembuktian putusan terdahulu. Putusan
verstek tidak atau sama sekali tidak mempunyai nilai untuk mengikat.

3. Kekuatan Eksekutorial

Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau


sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya
menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan juga realisasi atau
pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa. Oleh karena putusan itu menetapkan
dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisir, maka putusan hakim
mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang
ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.

Susunan dan Isi Putusan


Suatu putusan hakim terdiri dari 4 bagian, yaitu:

1.kepala putusan;

2. identitas para pihak

3. pertimbangan

4. amar

Jenis-jenis Putusan

Pasal 185 ayat 1 HIR membedakan antara putusan akhir dan putusan yang
bukan putusan akhir. Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa
atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini ada yang
bersifat menghukum (condemnatoir), ada yang bersifat menciptakan (constitutif) dan
ada pula yang bersifat menerangkan atau menyatakan (declaratoir).

Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang


dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Dalam putusan condemnatoir diakui hak
penggugat atas prestasi yang dituntutnya. Hukuman semacam itu hanya terjadi
berhubung dengan perikatan yang bersumber pada persetujuan atau undang-
undang, yang prestasinya dapat terdiri dari memberi, berbuat, dan tidak berbuat.

Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu


keadaan hukum, misalnya pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pemberian
pengampunan, pernyataan pailit, pemutusan perjanjian (ps.1266, 1267) dan
sebagainya.

Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau


menyatakan apa yang sah, misalnya bahwa anak yang menjadi sengketa adalah
anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Juga tiap putusan yang bersifat
menolak gugatan merupakan putusan declaratoir.

Pada hakekatnya semua putusan yang condemnatoir maupun yang constitutif


bersifat declaratoir. Disamping putusan akhir masih dikenal putusan yang bukan
putusan akhir atau disebut juga putusan sela atau putusan antara, yang fungsinya
tidak lain untuk memperlancar pemeriksaan perkara. Putusan sela ini menurut pasal
185 ayat 1 HIR sekalipun harus diucapkan di dalam persidangan tidak dibuat secara
terpisah, tetapi ditulis dalam berita acara persidangan. Disamping pasal 185 ayat 1
HIR yang membedakan antara putusan akhir dan putusan yang bukan putusan
akhir, pasal 48 Rv membedakan antara putusan praeparatoir dan putusan
interlocutoir.

Putusan praeparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa


mempunyai pengaruh atas pokok perkara atau putusan akhir. Contohnya yaitu
putusan untuk menggabungkan dua perkara atau untuk menolak diundurkannya
pemeriksaan saksi.

Putusan interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian,


misalnya pemeriksaan untuk pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat. Kalau
putusan praeparatoir tidak mempengaruhi putusan akhir, maka putusan interlocutoir
ini dapat mempengaruhi putusan akhir.

Rv masih mengenal 2 putusan lainnya yang bukan putusan akhir, yaitu


putusan insidentil dan putusan provisionil (ps.332 Rv). Putusan Insidentil adalah
putusan yang berhubungan dengan insiden, yaitu peristiwa yang menghentikan
prosedur peradilan biasa. Putusan insidentil ini belum berhubungan dengan pokok
perkara. Sedangkan putusan provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan
provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan
tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir
dijatuhkan.

Upaya Hukum terhadap Putusan

1. Perlawanan (verzet)

2. Banding

3. Prorogasi

4. Kasasi

5. Peninjauan Kembali (PK)

6. Perlawanan Pihak Ketiga (derdenverzet)

Anda mungkin juga menyukai