Anda di halaman 1dari 7

USAHA PENGEMBANGAN KERBAU RAWA

DI KALIMANTAN SELATAN
Suryana

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Jalan Panglima Batur Barat No. 4, Banjarbaru 70711

ABSTRAK
Kerbau rawa (Bubalus carabanensis) umumnya dipelihara secara tradisional di rawa-rawa banjir dengan kedalaman
air lebih dari 3,50 m dengan menggunakan kalang. Kalang adalah kandang yang dibuat dari balok-balok kayu
blangeran (shore blangeran) berdiameter 10−20 cm, disusun berselang-seling membentuk segi empat tanpa atap.
Populasi kerbau rawa pada tahun 2005 tercatat 13.659 ekor, namun sejak lima tahun terakhir populasinya
menurun. Penurunan populasi diduga berkaitan dengan sistem pemeliharaan yang masih dilakukan secara tradisional,
tingginya tingkat pemotongan, terbatasnya pakan dan padang penggembalaan alami, serta penampilan produksi
dan reproduksi yang belum maksimal. Untuk meningkatkan populasi, produktivitas, dan reproduksi kerbau rawa
perlu dilakukan perbaikan kualitas genetik ternak dengan inseminasi buatan (IB), perbaikan mutu pakan, penyuluhan
kepada peternak agar tidak memotong kerbau yang produktif, serta pencegahan dan pengendalian penyakit,
terutama penyakit ngorok dan fascioliasis. Upaya inovasi teknologi meliputi revitalisasi dan pengembangan
kawasan perbibitan, pelaksanaan biosekuriti, pengadaan dan pengembangan bibit kerbau, program pemuliabiakan,
serta pengaturan areal penggembalaan sehingga kebutuhan pakan sepanjang tahun dapat tercukupi.
Kata kunci: Kerbau rawa, budi daya, Kalimantan Selatan

ABSTRACT
Development of swamp buffalo in South Kalimantan

Swamp buffalo (Bubalus carabanensis) is commonly raised traditionally in swamp areas with a water dept of more
than 3.50 m by using kalang, a traditional stall made of logs of 10−20 cm diameter. In 2005, population of swamp
buffalo reached 13,659 heads. However, the population decreased in the last five years due to some factors, i.e
farming of traditionally systems, slaughtering productive animals, limited supply of forages and natural pastures,
and low performance of productivity and reproductivity. The overcome the problems, it is needed to improve
genetic performance with artificial insemination technique, forages quality, intensive control of disease, especially
septicaemia epizootica and fascioliasis. Innovations of technology needed include revitalization and development
of animal breeding area, biosecurity, development of buffalo breds, breeding, and ruling of land use for natural
pastures to supply sufficient forages for a long year.
Keywords: Swamp buffalo, farming, South Kalimantan

K erbau umumnya dipelihara secara


tradisional di tempat-tempat khusus,
seperti sungai, semak-belukar, pinggir
rumput rawa (Dilaga 1987). Suhardono
(2004) melaporkan, selama 5 tahun terakhir
populasi kerbau rawa menurun. Penurun-
berorientasi agribisnis, bibit unggul sangat
terbatas, kualitas pakan rendah, daya
tahan terhadap panas, parasit dan penya-
hutan atau rawa. Hal ini menunjukkan an ini diduga berkaitan dengan sistem kit rendah, serta teknologi tepat guna
bahwa kerbau belum banyak disentuh pengusahaannya yang masih secara kurang tersedia (Diwyanto dan Suban-
teknologi, sehingga peningkatan popu- tradisional. Penyebab lainnya adalah driyo 1995). Walaupun produksi kerbau
lasinya sangat lamban dibandingkan tingginya jumlah pemotongan, terbatas- rawa belum optimal, penampilan repro-
dengan ternak ruminansia lainnya (Baikuni nya pakan dan padang penggembalaan duksinya cukup baik. Hal ini ditunjukkan
2002; Hardjosubroto 2004; Suhardono alami, penampilan produksi belum oleh kemampuan induk dewasa yang dapat
2004; Dinas Peternakan Provinsi Kali- maksimal, angka kelahiran rendah, dewasa beranak dua kali setiap 2,50 tahun dengan
mantan Selatan 2005). kelamin dan selang beranak (calving bobot lahir anak 24−31 kg (Rohaeni et al.
Kerbau rawa merupakan salah satu interval) relatif panjang, dan kurang 2005), dan bobot badan anak umur
plasma nutfah daerah Kalimantan Selatan. tersedianya pejantan. Hal ini berkaitan setahun 176−179 kg (Putu et al. 1994) atau
Kerbau ini biasanya dipelihara di daerah dengan sifat-sifat biologis ternak tersebut 150−200 kg (Rohaeni et al. 2005).
yang banyak air atau dataran rendah ber- (Baikuni 2002; Yusdja et al. 2003; Musa (1988) mengemukakan, habitat
paya-paya, serta memiliki daya adaptasi Hardjosubroto 2004; Diwyanto dan rawa di Kalimantan Selatan dapat dibe-
yang baik terhadap lingkungan rawa yang Handiwirawan 2006). Selain itu, peran dakan menjadi dua, yakni saat air pasang
banyak ditumbuhi semak-semak dan kerbau pada sistem usaha tani belum tinggi (high water period) dengan padang

Jurnal Litbang Pertanian, 26(4), 2007 139


penggembalaan berupa rumput terapung beristirahat. Umumnya kalang berbentuk Selatan meliputi Desa Bajayau Baru dan
(floating meadows), dan saat air surut dan empat persegi panjang membentuk huruf Bajayau Lama. Selanjutnya di Kabupaten
padang penggembalaan mulai kering dan L atau T. Kalang terdiri atas beberapa Barito Kuala (Kecamatan Kuripan) ter-
hanya bagian tertentu yang tergenang air. ancak atau petak. Setiap ancak berukuran dapat di Desa Tabatan dan Tabatan Baru
Berdasarkan pola air rawa tersebut maka 5 m x 5 m yang mampu menampung 10−15 (Hamdan et al. 2006).
pemeliharaan kerbau rawa dapat dilakukan kerbau dewasa. Pada bagian sisi kalang Jumlah kerbau yang dimiliki petani
dengan dua cara, yaitu pada musim hujan dibuatkan tangga lebar ± 2,50 m untuk berkisar antara 3−90 ekor, biasanya me-
(November−April) saat padang penggem- turun dan naiknya kerbau (Dilaga 1987; rupakan warisan orang tua dan dipelihara
balaan digenangi air dan rumput terapung Suryana dan Hamdan 2006). secara turun-temurun. Peternak tidak
banyak tersedia, serta pada musim kema- Populasi kerbau rawa di Kalimantan memberi pakan, baik hijauan maupun
rau saat air surut dan hanya beberapa Selatan sampai tahun 2005 sekitar 13.659 konsentrat, tetapi kerbau dibiarkan men-
bagian saja yang airnya dalam, sehingga ekor atau 34,01% dari total populasi ker- cari makan sendiri di rawa dengan cara
rumput yang tumbuh terapung berkurang bau yang ada yaitu 40.163 ekor (Direktorat berenang sambil merenggut rumput.
(Hamdan et al. 2006). Akibatnya, pada Jenderal Peternakan 2006). Populasi ter- Putu et al. 1994) membedakan tingkah
musim kemarau kerbau secara berkelom- sebut tersebar di Kabupaten Hulu Sungai laku kerbau rawa atas tingkah laku me-
pok mencari makan hingga mencapai jarak Utara (HSU) 7.771 ekor, Hulu Sungai Sela- rumput dan kawin. Pada saat merumput,
beberapa kilometer dari lokasi kalang tan (HSS) 3.136 ekor, Hulu Sungai Tengah satu kelompok kerbau dipimpin oleh
(Dilaga 1987; Putu et al. 1994; Suryana (HST) 1.895 ekor, dan Barito Kuala 857 ekor seekor pejantan yang mengarahkan ker-
dan Hamdan 2006). (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan bau lain dalam kelompoknya menuju
Salah satu upaya yang dilakukan Selatan 2005). Tingkat pertumbuhan rata- padang penggembalaan. Jarak tempuh
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan rata selama empat tahun terakhir mencapai kerbau pada saat merumput mencapai 2
untuk meningkatkan populasi dan produk- 27% (Hamdan et al. 2006). km dari kalang, dengan kecepatan per-
tivitas kerbau rawa adalah dengan me- Pemeliharaan kerbau rawa berbeda gerakan rata-rata 2,20 m/menit. Pada waktu
ngembangkan dan melestarikannya. dengan kerbau atau sapi pada umumnya. kawin, betina yang sedang berahi biasa-
Pengembangan kerbau rawa dilakukan Perbedaan utama terletak pada cara peng- nya dikelilingi 5−6 ekor pejantan yang
pada daerah-daerah rawa yang memiliki gembalaan untuk mendapatkan pakan. berusaha untuk mengawininya. Waktu
padang penggembalaan alami. Di Kabu- Pada musim hujan, sejak sore hingga pagi perkawinannya tidak menentu.
paten Hulu Sungai Utara (HSU), pengem- kerbau berada di atas kalang. Pada pukul Penampilan reproduksi kerbau rawa,
bangan kerbau rawa selain sebagai peng- 7 atau 9 pagi kerbau diturunkan untuk men- terutama persentase kelahiran sangat
hasil daging, juga merupakan salah satu cari makan dan pada sore hari pulang ke rendah, berkisar antara 23,30−32,20%,
objek wisata, berupa perlombaan atau kalang. Pada musim kemarau, aktivitas terutama di Desa Tampakang, Sapala, dan
pacuan kerbau di rawa. Tulisan ini meng- kerbau lebih banyak di padang penggem- Paminggir, Kecamatan Danau Panggang,
informasikan upaya pengembangan balaan atau jarang pulang ke kandang. HSU (Tabel 1). Rendahnya reproduksi
kerbau rawa di Kalimantan Selatan. Pada lahan rawa yang kering dibuatkan disebabkan oleh kurangnya aktivitas
pagar keliling sebagai tempat penampung- berahi, terutama pada kerbau muda.
an sementara serta untuk membatasi Pengendalian perkawinan, baik dengan
POTENSI DAN MANFAAT kerbau agar tidak berjalan terlalu jauh inseminasi buatan (IB) maupun secara
KERBAU RAWA (Hamdan et al. 2006). alami sangat ditentukan oleh aktivitas
Lahan rawa yang digunakan untuk berahi. Oleh karena itu, jika waktu berahi
Di Kalimantan Selatan, kerbau rawa pemeliharaan kerbau rawa terdapat di dapat diketahui dengan tepat maka per-
memberikan kontribusi positif sebagai Kabupaten HSS, HST, HSU (Tarmudji et kawinan dapat dilakukan dengan tepat,
penghasil daging, terutama untuk daerah al. 1990), dan Barito Kuala (Rohaeni et al. sehingga fertilisasi optimal dan angka
pedalaman pada agroekosistem rawa 2005). Kabupaten HSU, terutama Keca- kelahiran tinggi (Siregar 1997). Busono
dengan kedalaman air 3−5 m (Putu 2003). matan Danau Panggang, merupakan (1993) menyatakan, siklus berahi kerbau
Kerbau rawa merupakan ternak asli daerah daerah potensial untuk pengembangan yang normal adalah 22,40 hari, dengan
dan sumber plasma nutfah, dan telah kerbau rawa, karena mempunyai areal periode berahi 20−28 jam. Kemampuan
dikembangkan sebagai usaha tani spesifik lahan rawa yang luas dan tersedia sumber reproduksi kerbau betina antara lain diten-
lokasi pada agroekosistem lahan rawa. pakan hijauan. Beberapa desa sebagai tukan oleh faktor lingkungan, manajemen
Kerbau rawa umumnya dipelihara sentra peternakan kerbau rawa yaitu Desa pemeliharaan, pemberian pakan, dan suhu
dalam kalang, yaitu kandang yang dibuat Palbatu, Tampakang, Bararawa, Sapala, udara. Selanjutnya Putu (2003) dan
dari balok-balok gelondongan kayu Ambahai, dan Paminggir (Dinas Peternak- Tarmudji (2003) menyatakan, angka ke-
blangeran (shore blangeran) berdiameter an Kabupaten Hulu Sungai Utara 1995; matian induk berkisar antara 4−6%,
10−20 cm. Kayu disusun teratur berselang- Putu 2003; Rohaeni et al. 2006a). Di Kabu- kejadian abortus sangat tinggi, terutama
seling dari dasar rawa hingga tersembul paten HST (Kecamatan Labuan Amas pada umur kebuntingan muda, anak yang
di atas permukaan air dengan tinggi kalang Utara), pemeliharaan kerbau rawa terdapat lahir di padang penggembalaan langsung
2,50−3 m, panjang 25 m, dan lebar 10 m, di Desa Sungai Buluh, Mantaas, dan mati sebelum menuju kalang, serta kemati-
atau disesuaikan dengan jumlah kerbau Rantau Bujur, sedangkan di Kabupaten an anak prasapih 18−21%.
yang dipelihara. Bagian atas kalang HSS (Kecamatan Daha Utara) yakni Desa Kerbau memiliki peran penting dalam
dibuatkan lantai dari belahan kayu yang Teluk Haur, Hamayung, Pandak Daun dan kehidupan sosio-ekonomi petani, yakni
disusun rapat untuk tempat kerbau Paharangan, dan untuk Kecamatan Daha sebagai tabungan hidup, penunjang

140 Jurnal Litbang Pertanian, 26(4), 2007


kumpai mining, babatungan (Heliptro-
Tabel 1. Tampilan reproduksi kerbau rawa di tiga desa Kecamatan Danau pium indicum), kumpai laki, padi hiyang,
Panggang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. sumpilang (Cynodon dactylon L. Pars.),
dan eceng gondok (Sichornis crassipes
Desa Solma). Populasi eceng gondok sangat
Parameter
Tampakang Sapala Paminggir dominan, mencapai 50%, sehingga dapat
mengganggu transportasi air dan me-
Induk bunting per sampel (%) 50 60 80,60
Kelahiran per induk bunting (%) 53,30 38,90 40
nyebabkan pendangkalan. Keberadaan
Kelahiran per jumlah induk (%) 26,60 23,30 32,20 eceng gondok juga mengurangi jenis biota
Lama kebuntingan (hari) 327 ± 41 323 ± 54 318 ± 26 air lainnya serta menekan pertumbuhan
Perkawinan setelah kelahiran (hari) 149 ± 29 166 ± 16 171 ± 21 rumput yang disukai kerbau. Akibatnya,
Jarak beranak (hari) 476 ± 12 489 ± 14 489 ± 21 ketersediaan rumput berkurang sehingga
Sumber: Putu (2003). kerbau harus mencari pakan jauh dari
lokasi kalang.
Komposisi biomassa dari Poaceae
dan Cyperaceae masing-masing adalah
70,95% dan 28,81%, dan untuk vegetasi
status sosial, sumber tenaga kerja, serta Hasil penelitian Faturrahman (1988), lainnya 2,34% (Tabel 2). Dari jenis vegetasi
penghasil daging, susu dan pupuk Musa (1988), dan Rohaeni et al. (2006a) yang ada, padi hiyang adalah yang
(Diwyanto dan Subandriyo 1995; menunjukkan, di padang penggembalaan dominan (58,89%). Jenis rumput ini sangat
Mahardika 1996). Menurut Yusdja et al. kerbau rawa Kecamatan Danau Pang- disukai kerbau. Bentuknya mirip padi, baik
(2003), sebagai penghasil daging, perkem- gang, Kabupaten HSU, serta di HSS, HST, batang maupun bunganya, tinggi sekitar
bangan populasi kerbau relatif lambat dan Barito Kuala ditemukan 24 jenis 0,90−1,20 m, berkembang biak secara
sehingga produktivitasnya rendah. vegetasi, baik yang bermanfaat untuk vegetatif dengan stolon, berproduksi se-
Perbaikan produktivitas dapat dilakukan pakan maupun sebagai gulma (Tabel 2). telah berumur 6 bulan, dan jarang berbuah
dengan memperbaiki mutu genetik melalui Rohaeni et al. (2005) melaporkan, terdapat (Dilaga 1987). Keistimewaan rumput ini
IB. Di Kalimantan Selatan, kerbau rawa delapan jenis tumbuhan yang terdapat di adalah tingginya mengikuti permukaan air
hanya berfungsi sebagai penghasil daging. lahan rawa Danau Panggang, yaitu kumpai rawa, sehingga pada saat air dalam, kerbau
Khusus di daerah Hulu Sungai, daging minyak (Hymeneche amplexicaulis masih dapat mengkonsumsinya (Fatur-
kerbau digunakan pada saat hajatan atau Haes.), kumpai batu (Paspalum sp.), rahman 1988; Musa 1988; Sub Balitvet,
kenduri serta perayaan hari-hari besar
Islam. Sejak tahun 1991 pemerintah daerah
setempat telah menetapkan kerbau rawa
sebagai salah satu objek wisata, berupa
Tabel 2. Beberapa jenis vegetasi di lahan rawa Danau Panggang, Kabupaten
perlombaan atau pacuan kerbau di Sungai
Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Paminggir Desa Barawa, Kecamatan Danau
Panggang pada kedalaman air sekitar 3,50 Nama lokal Nama latin Suku
m (Suryana dan Mawardi 1999).
Padi hiyang Oryza sativa forma spontanea L. Poaceae
Sumpilang Cynodon dactylon L. Pars Poaceae
Kumpai minyak Hymeneche amplexicaulis Haes Poaceae
Banta Isachne indica Nees Poaceae
KETERSEDIAAN PAKAN Kumpai batu Paspalum sp. Poaceae
Kumpai miyang Panicum sp. Poaceae
ALAMI Kumpai hadangan Paspalum sp. Poaceae
Kangkung rawa Ipomea aquatica Forks Convolulaceae
Jenis-jenis hijauan padang penggemba- Jajagungan Brachiaria plantaginea Poaceae
laan di daerah rawa kurang beragam Parupuk Saccharum spontaneum Poaceae
Purun tikus Heleocharis dulcis (Burm) Cyperaceae
(Sutardi et al. dalam Dilaga 1987). Hijauan
Tetuding Cyperus digitatus Roxb Cyperaceae
leguminosa yang ada adalah Desmodium Binderang Scirpus grossus L. Cyperaceae
scalpe, Cassiatora, dan yang paling domi- Bundong Scleria pterora Presl. Cyperaceae
nan adalah Mimosa pigra yang merupakan Kesuangan Kylinga brevifolia Cyperaceae
tumbuhan pengganggu. Tumbuhan rawa Babarasan Polygonum barbatum L. Polygonaceae
Kesisap Alternanthera sessilis R.BR Amarantaceae
lainnya adalah Ancilema mudflora,
Babatungan Heliptropium indicum Borageneceae
Kylinga brevifolia, Sidorhambia filia, Gugura Panicum repens L. Poaceae
Fembrystilianna, Nachos cardium, dan Ilung Sichornis crassipes Solma Pontaderiaceae
Cyperus cyperoi. Untuk famili Gramineae Belaran Nerremia sp. Convovulaceae
atau rumput-rumputan diwakili oleh Si kejut Mimosa sp. Mimosae
Ganggang Hydrilla -
rumput banta, rumput batu, rumput
Pipisangan - -
minyak, dan yang dominan adalah rumput
padi hiyang (Oryza sativa spontanea L.) Sumber: Faturrahman (1988); Musa (1988); Rohaeni et al. (2005).
(Dilaga 1987).

Jurnal Litbang Pertanian, 26(4), 2007 141


BPPH Wilayah V dan Cabang Dinas Fahimuddin dalam Baikuni (2002), kerbau walaupun bobot lahir relatif tinggi, yakni
Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara rawa sangat potensial sebagai penghasil 24−31 kg (Rohaeni et al. 2005) atau 26−28
1990). Tumbuhan yang kurang disukai daging. Di samping mempunyai bobot kg (Dilaga 1987), lebih berat dibanding
kerbau rawa adalah si kejut (Mimosa sp.) badan relatif berat (500−600 kg/ekor), bobot lahir kerbau belang dari Toraja, yaitu
karena berduri pada seluruh batangnya persentase karkasnya mencapai 50,26% jantan 25 kg dan betina 23 kg (Batosamma
dan merupakan tanaman pengganggu (Rohaeni et al. 2005). Kerbau juga memiliki 2004).
(Dilaga 1987), serta berbagai jenis gang- daya cerna terhadap serat kasar yang Untuk mendukung pengembangan
gang dan eceng gondok (Balai Informasi tinggi, dan mampu memanfaatkan pakan kerbau rawa, telah dikeluarkan Surat
Pertanian Banjarbaru 1986). Rohaeni et al. berkualitas rendah untuk menghasilkan Keputusan Bupati Hulu Sungai Utara
(2005) menyatakan, vegetasi tumbuhan daging (Toelihere dalam Siregar 2004; tahun 1991 tentang tata guna lahan rawa
pada musim hujan yang menutupi per- Rohaeni et al. 2006b; Sudirman dan Imran sebagai tempat penggembalaan kerbau.
mukaan rawa adalah eceng gondok 50%, 2006). Bobot karkasnya lebih tinggi dari Upaya ini dimaksudkan untuk menganti-
babatungan 20%, belaran 10%, dan rumput sapi lokal, sehingga sangat potensial sipasi peningkatan populasi. Dalam SK
lainnya 10%. Berdasarkan hasil analisis sebagai penghasil daging. Namun, umur tersebut, selain ditetapkan daerah khusus
laboratorium, eceng gondok mengandung beranak pertama sekitar 4 tahun dan ternak untuk pengembangan kerbau rawa, juga
protein kasar 12,48%, lebih tinggi di- betina baru berahi pertama setelah ber- tercantum ketentuan-ketentuan yang
banding rumput lainnya (Tabel 3). umur 3 tahun atau lebih lama dibanding harus dipenuhi oleh pemilik kerbau, antara
Estimasi ketersediaan pakan hijauan sapi (Tabel 5). Umur pertama kali beranak lain: 1) areal penggembalaan kerbau
di lahan rawa pada musim hujan dan musim kerbau berkisar antara 3,50−4 tahun dengan lahan pertanian dan perikanan
kemarau disajikan pada Tabel 4. Di (Diwyanto dan Handiwirawan 2006), lama dibuat batas tertentu berupa pagar, se-
Kabupaten HSU dan HST, ketersediaan kebuntingan 318−327 hari, perkawinan hingga kerbau tidak memasuki areal
hijauan pada musim kemarau lebih tinggi kembali setelah beranak 149−171 hari, dan pertanian, 2) bila terdapat pelanggaran
dibanding pada musim hujan. Sebaliknya selang beranak 417−439 hari (Putu et al. karena kerbau memasuki atau merusak
di Kabupaten HSS dan Barito Kuala, dalam Diwyanto dan Subandriyo 1995). areal pertanian dan perikanan maka pemilik
hijauan hanya tersedia pada musim hujan, Hal ini merupakan salah satu penyebab kerbau wajib memberikan ganti rugi yang
sedangkan pada musim kemarau panjang, lambatnya kerbau rawa berkembang biak, wajar, dan 3) pagar dibuat dengan jarak
hijauan tidak tersedia karena tanah rawa
mengering.

Tabel 4. Estimasi ketersediaan pakan hijauan di lahan rawa Kalimantan


PELUANG DAN MASALAH Selatan.
PENGEMBANGAN KERBAU
Produksi (t/ha/tahun) Total produksi
RAWA Kabupaten
(t/ha/tahun)
Musim hujan Musim kemarau

Pengembangan kerbau rawa mempunyai Hulu Sungai Utara 1,70 19 20,70


peluang dan prospek yang baik karena Hulu Sungai Tengah 3,60 11,90 15,50
Hulu Sungai Selatan 3,30 0 3,30
didukung oleh sumber daya manusia yang
Barito Kuala 13 0 13
memadai, seperti pengalaman beternak
yang cukup lama dan prospek pasar yang Sumber: Hamdan et al. (2006).
cerah (Qomariah et al. 2006). Menurut

Tabel 3. Kandungan nutrien rumput pakan kerbau rawa.

Jenis rumput
Nutrien
Kumpai minyak Kumpai batu Kumpai mining Kumpai laki Babatungan Padi hiyang Sumpilang Eceng gondok

Bahan kering 94,57 94,73 93,69 93,49 93,80 93,30 94,07 94,27
Protein kasar 7,99 6,21 8,97 10,78 8,96 8,02 6,25 12,48
Lemak kasar 1,14 1,16 1,62 1,33 1,11 1,69 0,91 1,36
Serat kasar 27,85 34,59 23,66 26,09 21,09 28,28 18,09 23,27
Abu 10,92 10,28 12,04 10,03 11,01 14,23 6,98 13,44
Bahan ekstrak
tanpa nitrogen 52,09 47,77 53,71 51,77 57,83 47,78 66,85 49,46
Total digestible
nutrient tercerna 59,30 54,40 62,24 61,46 65,24 56,22 71,69 61,21
Kalsium 0,42 0,24 0,19 0,47 0,91 0,24 0,19 1,72
Fosfor 0,22 0 0,12 0,13 0,16 0,31 0,13 0,27
Sumber: Rohaeni et al. (2005).

142 Jurnal Litbang Pertanian, 26(4), 2007


Pengadaan dan pengembangan bibit
Tabel 5. Keragaan kerbau rawa di Kalimantan Selatan. kerbau dilakukan melalui seleksi dan afkir
atau culling secara sistematis, dan me-
Parameter Keterangan nyebarluaskan bibit unggul hasil kajian
Lama bunting (bulan) 11 − 12 dan telah memperoleh justifikasi dari
Jarak beranak (tahun) 1,50− 2 lembaga berwenang, baik di pusat maupun
Umur pertama beranak (tahun) 4 daerah. Program pemuliabiakan untuk
Berahi pertama betina (tahun) 3 memperoleh bibit unggul dilakukan me-
Berahi pertama jantan (bulan) 10
Bobot badan lahir (kg) 24 − 31
lalui: 1) seleksi peningkatan populasi dan
Bobot badan umur 1 minggu (kg) 35 − 40 produktivitas, 2) persilangan secara sis-
Bobot badan umur 1 bulan (kg) 52,50− 5 7 tematis dan terarah, dan 3) program pen-
Bobot badan umur 1 tahun (kg) 150 − 200 catatan atau recording system terutama
Bobot badan bakalan umur 1,50−3 tahun (kg) 214 − 450 di lokasi yang diarahkan untuk pembibitan
Sumber: Rohaeni et al. (2005). dan sertifikasi bibit (Toelihere dan Achyadi
2005). Penelitian dan pengkajian tentang
teknologi pakan dengan pemanfaatan
bahan pakan lokal untuk meningkatkan
produktivitas dan reproduktivitas kerbau
yang cukup agar kerbau tidak dapat me- Dengan cara ini, ketersediaan pakan dapat rawa perlu dilakukan. Penataan areal peng-
masuki areal pertanian atau perikanan mencukupi sepanjang tahun. gembalaan alami juga dapat memenuhi
(Suryana dan Mawardi 1999). Masalah lain dalam pengembangan ketersediaan pakan sepanjang tahun.
kerbau rawa adalah (Qomariah et al. 2006): Pencegahan dan pengendalian pe-
Kendala pengembangan kerbau rawa
1) penurunan mutu bibit, rendahnya nyakit terutama fascioliasis, ngorok, surra,
di Kalimantan Selatan antara lain adalah
produktivitas dan terjadinya inbreeding, dan penyakit lainnya perlu dilakukan
makin berkurangnya padang penggemba-
2) penjualan pejantan tinggi, 3) lokasi secara periodik. Untuk mengendalikan
laan akibat pertambahan jumlah penduduk,
pemeliharaan kerbau terlalu jauh dari penyakit ngorok dapat dilakukan vaksi-
serta pergeseran penggunaan lahan men-
permukiman penduduk sehingga sulit nasi dengan cakupan minimal 60−70%
jadi lahan usaha tani tanaman pangan
melakukan penyuluhan, 4) kekeringan populasi terancam, pemberantasan vektor
(padi, palawija, dan sayuran), terutama di
pada musim kemarau panjang sehingga penyakit, menyiagakan petugas lapang
Kabupaten HSS, HST dan sebagian kecil
ternak kekurangan air minum, dan 5) (tenaga medis veteriner), serta melaporkan
HSU, sehingga ketersediaan hijauan pakan
serangan penyakit yang menyebabkan bila terjadi wabah penyakit kepada pe-
bergantung pada musim (Rohaeni et al.
kematian. Penyakit yang sering menye- tugas atau dinas peternakan terdekat. Jika
2005). Padang penggembalaan dengan
rang kerbau rawa antara lain disebabkan ada kerbau yang mati dapat dilakukan
genangan air tinggi pada musim hujan
oleh parasit (trypanosomiasis atau surra pengambilan spesimen untuk pemeriksaan
mulai berkurang, terutama di Kabupaten
dan fascioliasis) dan bakteri (penyakit lebih lanjut di laboratorium. Hewan yang
HSU dan HST, namun di Kabupaten Barito
ngorok atau SE dan klostridiosis) sakit harus segera diobati (Tarmudji 2003).
Kuala hijauan pakan tumbuh dengan baik.
Pada musim kemarau, ketersediaan pakan (Tarmudji 2003; Suhardono 2004; Suryana
hijauan di Kabupaten HSS dan Barito 2006). Penyakit ini menyebabkan kematian
Kuala terbatas (Hamdan et al. 2006). Hal sejumlah besar kerbau rawa pada tahun KESIMPULAN DAN SARAN
yang sama dinyatakan oleh Mahendri dan 1989−1999. Penyakit lainnya disebabkan
Haryanto (2006), bahwa pada musim oleh kausa viral, seperti Malignant Produktivitas kerbau rawa di Kalimantan
kemarau panjang, penyediaan pakan di Catharall Fever (Tarmudji 2003; Selatan belum optimal, namun mempunyai
beberapa lokasi mengalami kesulitan, baik Muharsini et al. 2006) dan black disease keragaan yang baik dan berpeluang untuk
kualitas maupun jumlahnya. (Priadi dan Natalia 2006). dikembangkan sebagai penghasil daging.
Semali et al. (2001) menyatakan, Masalah dalam pengembangan kerbau
produktivitas rumput alam di daerah rawa antara lain adalah makin berkurang-
pasang surut dan rawa belum diketahui, UPAYA-UPAYA INOVASI nya padang penggembalaan alami dan
termasuk luas padang penggembalaan. TEKNOLOGI terbatasnya pakan hijauan, tingginya
Hal ini menyebabkan kerbau harus men- penjualan kerbau jantan, pemotongan
cari makan hingga beberapa kilometer dari Untuk meningkatkan produktivitas dan kerbau produktif, serta serangan penyakit.
kalang. Salah satu alternatif untuk meng- eksistensi kerbau rawa secara berkelan- Alternatif inovasi teknologi dalam pe-
atasi keterbatasan pakan hijauan pada jutan, Pemerintah Provinsi Kalimantan ngembangan kerbau rawa dapat dilakukan
musim hujan dengan genangan air tinggi Selatan melakukan perlindungan, peles- dengan perbaikan kualitas pakan, grading
adalah dengan menata lokasi padang tarian, dan pengelolaan ternak kerbau, up dengan inseminasi buatan, peningkat-
penggembalaan dengan memperhatikan yang meliputi: 1) peningkatan mutu an produktivitas dan reproduktivitas, serta
jumlah kerbau dan luas areal penggembala- genetik melalui grading up, 2) revitalisasi penataan areal padang penggembalaan
an yang ada. Pada musim kemarau, hijauan dan pengembangan kawasan perbibitan alami agar dapat menyediakan pakan
pakan masih tumbuh subur di beberapa kerbau rakyat melalui penataan kelompok, sepanjang tahun. Untuk menciptakan
lokasi, sehingga dapat dilakukan pergilir- dan 3) pelaksanaan biosekuriti secara tepat sentra kerbau rawa dengan produktivitas
an penggembalaan (rotation gazing). terutama pada kawasan perbibitan. optimal disarankan: 1) melakukan insemi-

Jurnal Litbang Pertanian, 26(4), 2007 143


nasi buatan secara massal melalui sinkroni- berkala, pemberantasan vektor penular pe- penyuluhan tentang pentingnya pejantan
sasi estrus, 2) menyediakan pakan hijauan nyakit, serta pengendalian dan pembe- kerbau yang baik untuk dijadikan bibit,
yang berkualitas dan dapat memenuhi rantasan penyakit menular secara efektif dan 5) mengurangi pemotongan kerbau
kebutuhan sepanjang musim, 3) men- dan berkesinambungan, 4) melakukan betina produktif.
cegah penyakit dengan vaksinasi secara

DAFTAR PUSTAKA
Balai Informasi Pertanian Banjarbaru. 1986. Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Priadi, A. dan L. Natalia. 2006. Bakteri penyebab
Memperkenalkan peternakan kerbau rawa Barat, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa. diare pada sapi dan kerbau di Indonesia. hlm.
di Kalimantan Selatan. Balai Informasi 38−44. Prosiding Seminar Nasional Tekno-
Pertanian Banjarbaru. 16 hlm. Faturrahman. 1988. Analisis vegetasi dan pro-
logi Peternakan dan Veteriner. “Cakrawala
duktivitas rumput rawa di Kecamatan Danau
Baru Iptek Menunjang Revitalisasi Peter-
Baikuni. 2002. Karakteristik reproduksi dan Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara,
nakan”. Buku I. Bogor, 5−6 September 2006.
potensi pengembangan ternak kerbau di Kalimantan Selatan. Skripsi. Fakultas Peter-
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peter-
Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera nakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
nakan, Bogor.
Selatan. Skripsi. Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hamdan, A., E.S. Rohaeni, dan A. Subhan. 2006.
Putu, I.G.M., M. Sabrani, M. Winugoho, T.
Karakteristik sistem pemeliharaan kerbau
Chaniago, Santoso, Tarmudji, A.D. Supriyadi,
Batosamma, T. 2004. Potensi dan prospek pe- rawa di Kalimantan Selatan. hlm.170−177.
dan P. Oktaviana. 1994. Peningkatan pro-
ngembangan kerbau belang di Sulawesi Selatan. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak
duksi dan reproduksi kerbau kalang pada
Makalah disampaikan pada Seminar dan Kerbau Mendukung Program Kecukupan
agroekosistem rawa di Kalimantan Selatan.
Lokakarya Nasional Peningkatan Populasi Daging Sapi. Sumbawa, 4−5 Agustus 2006.
Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian
dan Produktivitas Ternak Kerbau di Indo- Pusat Penelitian dan Pengembangan Pe-
Ternak, Bogor. 54 hlm.
nesia. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan ternakan bekerja sama dengan Direktorat
Selatan bekerja sama dengan Pusat Biotekno- Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Putu, I.G. 2003. Aplikasi teknologi reproduksi
logi LlPI. Banjarmasin, 7−8 Desember 2004. Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara untuk meningkatkan performans produksi
25 hlm. Barat, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa. ternak kerbau di Indonesia. Wartazoa 13(4):
172−180.
Busono, W. 1993. Pengaruh beban kerja dan Hardjosubroto, W. 2004. Prospek sosial ekonomi
pakan tambahan terhadap perubahan bobot peternakan kerbau di Indonesia. Makalah Qomariah, R., E.S. Rohaeni, dan A. Hamdan.
badan dan beberapa aktivitas reproduksi disampaikan pada Seminar dan Lokakarya 2006. Studi permintaan pasar kerbau rawa
kerbau lumpur betina (Bubalus bubalis). Nasional Peningkatan Populasi dan Pro- dalam menunjang pengembangan lahan rawa
Disertasi. Program Pascasarjana, Institut duktivitas Ternak Kerbau di Indonesia. Dinas dan program kecukupan daging di Kaliman-
Pertanian Bogor, Bogor. Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan tan Selatan. hlm. 178−184. Prosiding Loka-
bekerja sama dengan Pusat Bioteknologi karya Nasional Usaha Ternak Kerbau Men-
Dilaga, S.H. 1987. Suplementasi kalsium dan
LlPI. Banjarmasin, 7−8 Desember 2004. 11 dukung Program Kecukupan Daging Sapi.
fosfor pada kerbau rawa Kalimantan Tengah
hlm. Sumbawa, 4−5 Agustus 2006. Pusat Peneliti-
yang mendapat ransum padi hiyang (Oryza
an dan Pengembangan Peternakan bekerja
sativa forma spontanea). Tesis. Fakultas Mahardika, I.G. 1996. Kinerja kerbau betina pada
sama dengan Direktorat Perbibitan Direktorat
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, berbagai beban kerja serta implikasinya
Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Pro-
Bogor. terhadap kebutuhan energi dan protein
vinsi Nusa Tenggara Barat, dan Pemerintah
pakan. Disertasi. Program Pascasarjana,
Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara. Kabupaten Sumbawa.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
1995. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan
Rohaeni, E.S., A. Darmawan, R. Qomariah, A
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Amuntai. 125 Mahendri, I.G.AP. dan B. Haryanto. 2006.
Hamdan, dan A. Subhan. 2005. Inventarisasi
hlm. Respons ternak kerbau terhadap penggunaan
dan karakterisasi kerbau rawa sebagai plasma
pakan jerami padi fermentasi pada usaha
Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan. nutfah. Laporan Hasil Pengkajian. Balai
penggemukan. hlm. 323−328. Prosiding
2005. Buku Saku Peternakan 2005. Dinas Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, Selatan, Banjarbaru. 90 hlm.
Veteriner. “Cakrawala Baru Iptek Menunjang
Banjarbaru.
Revitalisasi Peternakan”. Buku I. Bogor, 5− Rohaeni, E.S., A. Hamdan, R. Qomariah, dan A.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Statistik 6 September 2006. Pusat Penelitian dan Subhan. 2006a. Strategi pengembangan
Peternakan Indonesia. Direktorat Jenderal Pengembangan Peternakan, Bogor. kerbau rawa di Kalimantan Selatan. hlm.
Peternakan, Jakarta. 192−207. Prosiding Lokakarya Nasional
Muharsini, S., L. Natalia, Suhardono, dan
Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program
Diwyanto, K. dan Subandriyo. 1995. Peningkat- Darminto. 2006. Inovasi teknologi dalam
Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4−5
an mutu genetik kerbau lokal di Indonesia. pengendalian penyakit kerbau. hlm. 41−48.
Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pe-
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Per- Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak
ngembangan Peternakan bekerja sama dengan
tanian XIV(4): 92−101. Kerbau Mendukung Program Kecukupan
Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal
Daging Sapi. Sumbawa, 4−5 Agustus 2006.
Diwyanto, K. dan E. Handiwirawan. 2006. Peternakan, Dinas Peternakan Provinsi Nusa
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peter-
Strategi pengembangan ternak kerbau: Aspek Tenggara Barat, dan Pemerintah Kabupaten
nakan bekerja sama dengan Direktorat Per-
penjaringan dan distribusi. hlm. 3−12. Sumbawa.
bibitan, Direktorat Jenderal Peternakan,
Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Rohaeni, E.S., R. Qomariah, A. Subhan, dan Z.
Kerbau Mendukung Program Kecukupan Barat, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Hikmah. 2006b. Pemeliharaan kerbau men-
Daging Sapi. Sumbawa, 4−5 Agustus 2006. dukung ekonomi keluarga di kawasan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peter- Musa, A.F. 1988. Mengenal rumput terapung
bendungan PLTA Riam Kanan, Kecamatan
nakan bekerja sama dengan Direktorat Per- daerah rawa Kalimantan Selatan. Majalah
Aranio, Kabupaten Banjar. hlm. 329−335.
bibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Swadesi Peternakan Indonesia, Juni 1988.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi

144 Jurnal Litbang Pertanian, 26(4), 2007


Peternakan dan Veteriner. “Cakrawala Baru 234−240. Prosiding Lokakarya Nasional Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara
Iptek Menunjang Revitalisasi Peternakan”. Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Barat, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa.
Buku I. Bogor, 5−6 September 2006. Pusat Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4−5
Suryana. 2006. Tinjauan aspek penyakit pada
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengem-
ternak ruminansia besar dan upaya penang-
Bogor. bangan Peternakan bekerja sama dengan
gulangannya di Kalimantan Selatan. hlm.
Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal
Semali, A., B. Setiadi, dan H.M. Togatorop. 144−150. Prosiding Workshop Nasional Ke-
Peternakan, Dinas Peternakan Provinsi Nusa
2001. Prospek pengembangan hijauan pakan tersediaan Iptek dalam Pengendalian Pe-
Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten
ternak di lahan pasang surut dan rawa. nyakit Strategis. Jakarta, 12 Juli 2006. Pusat
Sumbawa.
Wartazoa 2(1−2): 11−14. Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Suhardono. 2004. Penyakit dan upaya penang- Bogor.
Siregar, A.R. 1997. Penentuan dan pengendalian
gulangannya untuk menekan kematian pada
siklus berahi untuk meningkatkan produksi Tarmudji, K. Ketaren, D.D. Siswansyah, dan
kerbau. Makalah disampaikan pada Seminar
kerbau. Wartazoa 6(1): 1−6. Achmad. 1990. Studi pendahuluan peter-
dan Lokakarya Nasional Peningkatan Popu-
nakan kerbau rawa dan identifikasi parasit
Siregar, A. 2004. Pengembangan ternak kerbau lasi dan Produktivitas Ternak Kerbau di Indo-
darahnya di Kalimantan Selatan. Penyakit
melalui aplikasi inseminasi buatan (IB) di nesia. Dinas Peternakan Provinsi Kaliman-
Hewan XXII(40): 106−111.
Indonesia. Makalah disampaikan pada Semi- tan Selatan bekerja sama dengan Pusat Bio-
nar dan Lokakarya Nasional Peningkatan teknologi LlPI. Banjarmasin, 7−8 Desember Tarmudji. 2003. Beberapa penyakit penting pada
Populasi dan Produktivitas Ternak Kerbau 2004. 11 hlm. kerbau di Indonesia. Wartazoa 13(4): 160−
di Indonesia. Dinas Peternakan Provinsi 171.
Suryana dan A. Mawardi. 1999. Budi Daya Kerbau
Kalimantan Selatan bekerja sama dengan
Rawa. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Toelihere, M.R. dan K. Achyadi. 2005. Desain
Pusat Bioteknologi LlPI. Banjarmasin, 7−8
Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 125 hlm. program pengembangan ternak kerbau di
Desember 2004. 24 hlm.
Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2006−
Suryana dan A. Hamdan. 2006. Potensi lahan
Sub Balitvet, BPPH Wilayah V, dan Cabang Dinas 2010. Makalah disampaikan pada Forum
rawa di Kalimantan Selatan untuk pengem-
Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara. Konsultan Peternakan. Dinas Peternakan
bangan peternakan kerbau kalang. hlm. 201−
1990. Penelitian pendahuluan tentang Provinsi Kalimantan Selatan bekerja sama
207. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha
kerbau rawa dan penyidikan penyakit di dengan Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Ternak Kerbau Mendukung Program Ke-
Kecamatan Danau Panggang, Hulu Sungai Pertanian Bogor. 34 hlm.
cukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4−5 Agustus
Utara, Kalimantan Selatan. Laporan Hasil
2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Yusdja, Y., N. Ilham, dan W.K. Sejati. 2003. Profil
Penelitian. Subbalai Penelitian Veteriner,
Peternakan bekerja sama dengan Direktorat dan permasalahan peternakan. Forum Pene-
Banjarbaru. 25 hlm.
Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, litian Agro Ekonomi 21(1): 44−56.
Sudirman dan Imran. 2006. Kerbau Sumbawa:
sebagai konverter sejati pakan berserat. hlm.

Jurnal Litbang Pertanian, 26(4), 2007 145

Anda mungkin juga menyukai