# Pertama, belajar dengan niat melaksanakan perintah Alloh. Karena Alloh telah memerintahkannya,
Alloh berfirman (yang artinya),
Dan Alloh subhanahu wa ta’ala juga mendorong orang supaya menuntut ilmu. Sedangkan dorongan
Alloh atas sesuatu memberikan konsekuensi kecintaan dan keridhoan Alloh terhadap hal itu.
# Kedua, belajar dengan niat menjaga syariat Alloh. Karena menjaga syariat Alloh hanya bisa
dilakukan dengan mempelajari dan menghafalkannya, dan bisa juga dengan mencatat.
# Ketiga, belajar dengan niat untuk melindungi syariat dan membelanya. Karena seandainya tidak
ada ulama niscaya syariat tidak akan terlindungi. Dan tidak ada seorang pun yang menjadi
pembelanya. Oleh sebab itu, misalnya, kita dapati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama yang
lainnya bersikap lantang memusuhi ahli bid’ah dan membeberkan kebatilan bid’ah-bid’ah mereka,
maka kami berkeyakinan bahwa mereka itu memperoleh kebaikan (pahala) banyak sekali.
# Keempat, belajar dengan niat mengikuti syariat Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Karena
tidak mungkin bisa mengikuti syariat beliau kecuali bila sudah mengetahui isi syariat ini.
# Kelima, belajar dengan niat menghilangkan kebodohan dari dirimu sendiri dan orang lain (Diambil
dari Kitabul ‘Ilmi, hal. 199, cetakan Daar Ats Tsuraya).
===
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahulloh juga pernah ditanya: Apakah saran anda
tentang pemanfaatan waktu dan bagaimana cara menjaganya agar tidak terbuang sia-sia?
Beliau menjawab:
Para penuntut ilmu sudah semestinya menjaga waktunya agar tidak terbuang sia-sia. Sedangkan
penyia-nyiaan waktu itu memiliki beberapa bentuk:
# Pertama, tidak mau mengingat-ingat pelajaran dan tidak membaca lagi apa yang sudah pernah
dipelajari.
# Ketiga, ini merupakan yang paling berbahaya bagi penuntut ilmu. Yaitu dia tidak punya keinginan
selain membuntuti ucapan orang, si anu bilang demikian, si itu bilang begini. Apa yang telah terjadi
dan apa yang akan terjadi, padahal perkara itu tidak penting bagi dirinya. Tak diragukan lagi bahwa
perbuatan ini jelas termasuk tanda kelemahan Islam di dalam dirinya. Karena Nabi shollallohu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda,
Menyibukkan diri dengan kabar yang tersebar dari mulut ke mulut serta terlalu banyak bertanya
adalah perbuatan menyia-nyiakan waktu. Pada hakikatnya ini adalah penyakit. Apabila penyakit itu
sudah menjangkiti seseorang dan menjadi tekadnya yang terbesar -kita mohon keselamatan darinya
kepada Alloh- maka terkadang hal itu menimbulkan permusuhan dengan orang yang sebenarnya
tidak layak untuk dimusuhi, atau membela orang yang sebenarnya tidak layak untuk dibela, hanya
gara-gara terlalu memperhatikan urusan tersebut, sampai-sampai membuatnya lalai untuk menimba
ilmu. Dia berdalih bahwa hal itu dilakukannya demi memperjuangkan kebenaran. Padahal
sebenarnya tidaklah demikian. Akan tetapi perbuatan ini justru membuat diri seseorang disibukkan
dengan urusan yang tidak penting baginya.
Adapun apabila tiba-tiba datang berita tanpa kau cari-cari dan tanpa kau minta maka setiap orang
juga menerima berita, namun tidaklah hal itu membuat mereka sibuk dengannya, dan itu juga tidak
menjadi keinginannya yang terbesar. Sebab hal ini tentu saja akan menyibukkan penuntut ilmu dan
menjadikan urusannya berantakan, bahkan bisa menyebabkan terbukanya pintu hizbiyah (fanatisme
kelompok) sehingga menimbulkan perpecahan.” (Diterjemahkan dari Kitabul ‘Ilmi, hal. 205 Daar Ats
Tsuraya).
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa menuntut
ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja. Lalu, “ilmu”
apakah yang dimaksud dalam hadits ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika Allah Ta’ala atau
Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an
atau As-Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama), termasuk kata “ilmu”
yang terdapat dalam hadits di atas.
ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa
masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja
yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai
kekurangan”. (Fathul Baari, 1/92)
Pertanyaan:
Apakah Anda dapat menyampaikan kalimat yang bermanfaat untuk mengarahkan murid-murid dan
saudara-saudara Anda, para penuntut ilmu, di tengah umat Islam seluruhnya?
Na’am. Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah. Terus menuntut ilmu,
bersemangat di atas itu, mengamalkan ilmu yang telah Allah karuniakan kepada kalian, berdakwah
kepada Allah ‘azza wa jalla, mengajarkan ilmu kepada manusia apa yang telah kalian pelajari, dan
meninggalkan permusuhan yang sekarang ini terjadi di tengah para penuntut ilmu. [Meninggalkan]
saling bermusuhan, saling mencela, dan membuat perpecahan di tengah mereka sampai mereka
memecah-belah umat. Memecah-belah para penuntut ilmu.
“Hati-hati dari Fulan!“. “Jangan bermajelis dengan Fulan!“. “Jangan belajar kepada Fulan!“. Yang
seperti ini tidak boleh. Jika Fulan memiliki kesalahan, maka nasehati ia. Antara dirimu dan
dirinya saja. Adapun jika engkau sebarkan itu di tengah orang-orang, engkau peringatkan
orang darinya—sedangkan ia adalah orang yang berilmu, penuntut ilmu atau seorang yang
shalih tetapi ia keliru, maka tidak semestinya untuk disebarkan seperti itu. (Kita belum
memiliki kapasitas untuk itu)
أَلِي ٌم فِي ٌِين آَ َم ُنوا لَ ُه ْم َع َذاب َ ح َش ُة فِي الَّذ َ ُِّون أَنْ َتش
ِ يع ْال َفا َ حب َ إِنَّ الَّذ
ِ ِين ُي
َ َتعْ لَم
ُون ال ُّد ْن َيا َواآْل َخ َِر ِة َوهَّللا ُ َيعْ لَ ُم َوأَ ْن ُت ْم اَل
“Sesungguhnya, orang-orang yang senang tersebarnya perbuatan keji di tengah orang-orang
beriman, untuk merekalah azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui,
sedangkan kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nur: 19)
Syaikh al-bani :
Hendaklah kalian menjauhkan diri dari ketergelinciran yang menimpa sebagian penuntut ilmu. Salah
satu ketergelinciran yang sering menimpa adalah tergesa-gesa untuk bangga kepada diri sendiri dan
terpedaya dengan ilmu yang ia miliki.
Karena itu, yang wajib, saling menasehati di antara kaum muslimin. Yang wajib, saling
mencintai antara kaum muslimin. Apalagi di antara para penuntut ilmu. Apalagi dengan para
ulama. Menghormati para ulama. Menghilangkan penggiringan manusia agar bersama
sebagian ulama dan mengeluarkan tahdzir dari sebagian ulama yang lain. Yang seperti ini
memunculkan kerusakan-kerusakan yang banyak. Menyebabkan saling bermusuhan dan
saling membenci. Menyebabkan fitnah. Jauhilah oleh kalian semua perkara ini.
Jazakumullahu khairan. Jadilah kalian seperti apa yang Allah subhanahu wa ta’ala inginkan.
َ ِات َوأُولَئ
ك لَهُ ْم ُ َاختَلَفُوا ِم ْن بَ ْع ِد َما َجا َءهُ ُم ْالبَيِّن َ َواَل تَ ُكونُوا َكالَّ ِذ
ْ ين تَفَ َّرقُوا َو
َع َذابٌ َع ِظي ٌم
“Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang berpecah dan berselisih setelah datang
kepada mereka petunjuk. Dan untuk mereka itulah azab yang sangat pedih.” (QS. Ali Imran: 105)
Kaum muslimin sekarang ini sangat perlu untuk bersatu. Sangat perlu menyingkirkan perselisihan
di antara mereka. Sangat perlu saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Jangan kalian jadi
penolong musuh dalam membuat kaum muslimin pecah-belah dan porak-poranda. Jika terjadi
perpecahan antara ulama dan para penuntut ilmu, maka siapa lagi yang tersisa untuk umat?
Orang-orang awam tidak memiliki kesungguhan. Kesungguhan itu ada pada para penuntut ilmu.
Yang mereka ini memperbaiki keadaan manusia. Yang mereka ini mengajari orang-orang.
Tinggalkan oleh kalian perkara-perkara tersebut. Permusuhan-permusuhan itu. Ucapan-ucapan
provokatif dan hal-hal yang tercela lainnya.
…..
“Dan jangan engkau ikuti setiap yang bersumpah sekaligus hina. Yang banyak mencela, yang ke
sana-sini menebar fitnah. Yang banyak menghalangi kebaikan, yang melampaui batas serta
banyak dosanya.” (QS. Al Qalam: 10-12)
Jangan taati orang-orang itu, sehingga kalian jadi penolong setan dalam memecah-belah dan
membuat lemah umat. Siapa saja di antara kalian mendapati kesalahan saudaranya, kalian
nasehati ia, jika memang betul itu. Jangan kalian benarkan desas-desus.
ِين آَ َم ُنوا إِنْ َجا َء ُك ْم َفاسِ ٌق ِب َن َبإٍ َف َت َب َّي ُنوا أَنْ ُتصِ يبُوا َق ْومًا ِب َج َهالَ ٍة
َ َيا أَ ُّي َها الَّذ
َ َف ُتصْ ِبحُوا َعلَى َما َف َع ْل ُت ْم َنا ِدم
ِين
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik membawa berita, maka
periksa dulu kebenarannya oleh kalian, supaya kalian tidak menimpakan musibah kepada satu
kaum dengan ketidaktahuan itu yang membuat kalian menyesal nanti.” (QS. Al Hujurat:6)
ْيل هَّللا ِ َف َت َب َّي ُنوا َواَل َتقُولُوا لِ َمن َ َيا أَ ُّي َها الَّذ
َ ِين آَ َم ُنوا إِ َذا
ِ ض َر ْب ُت ْم فِي َس ِب
ت م ُْؤ ِم ًناَ ْأَ ْل َقى إِلَ ْي ُك ُم ال َّساَل َم لَس
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian pergi berperang di jalan Allah, maka periksa dulu
kebenarannya. Dan jangan kalian katakan kepada orang yang mengucapkan kepada kalian,
‘Salam’, ‘Engkau bukan mukmin’.” (QS. An Nisa’: 94)
Allah jalla wa ‘ala telah memerintahkan kaum muslimin untuk bersatu dan
memerintahkan mereka untuk satu kalimat serta saling tolong-menolong dan saling
nasehat-menasehati. Kita tidak mengatakan, “Biarkan kesalahan itu.” Kita katakan,
“Perbaikilah kesalahan itu.” Akan tetapi, kalian perbaiki kesalahan itu dengan cara-
cara yang syar’i.
Mudah-mudahan Allah memberi taufik kepada semuanya untuk melakukan apa yang Allah cintai
dan ridhoi.