Anda di halaman 1dari 4

Medeleen Florencia Kawilarang

19 15 008

PARADIGMA KRITIS
Paradigma Kritisme lahir karena ketidakpuasan dari paradigma yang lahir terlebih dahulu
yaitu paradigma fungsionalis/positivisme dan paradigma interpretifis. Pada paradigma
fungsionalis dilandasi dengan pemikiran yang dimulai dengan swift epistemology dari
epistemology deduktif platonik menjadi epistemology induktif empiric Aristotelian. Reaksi
epistemology ini lahir dari penolakan kebenaran yang bersifat spekulatif dan jauh dari maksud
yang sebenarnya dari pencarian kebenaran. Sedangkan paradigma interpretif lebih menekankan
pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman (Chua 1969). Menurut Morgan (1979)
paradigma ini menggunakan cara pandang para nominalis dari paham nominalisme yang melihat
realitas social sebagai suatu yang tidak lain adalah label, nama, konsep yang digunakan untuk
membangun realitas.
Chua (1986) mengungkapkan bahwa upaya interpretif tetap memiliki kelemahan. Ada 3
kritisme dari paradigma interpretif ini (Habermas, 1978; Bernstein, 1976; Fay, 1975 dalam Chua,
1986) yaitu: Pertama, persetujuan pelaku sebagai standar penilaian kelayakan penjelasan masih
menjadi ukuran yang sangat lemah, kedua, perspektif kurang mempunyai dimensi evalutif.
Habermas (1978) berpendapat bahwa peneliti interpretif masih tidak mampu mengevaluasi
bentuk kehidupan dan arena itu tidak mampu menganalisa bentuk kesadaran salah dan dominasi
yang mencegah pelaku untuk mengetahui kepentingan akan kebenaran. Ketiga, peneliti
interpretif memulai dengan asumsi order sosial dan konflik yang berisi skema interpretif,
sehingga terdapat kecenderungan untuk mengacuhkan konflik kepentingan antar kelas dalam
masyarakat.(Chua, 1986).
Dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam paradigma interpretif, maka paradigma
kritis dikembangkan dari konsepsi kritis terhadap berbagai pemikiran dan pandangan yang
sebelumnya. Paradigma kritis menggunakan bukti ketidakadilan sebagai awal telaah, dilanjutkan
dengan merombak struktur atau sistem ketidakadilan dan dilanjutkan dengan membangun
konstruksi baru yang menampilan sistem yang adil. Sedikitnya ada dua konsepsi yang
diungkapkan Salim (2006) perihal paradigma kritis yang perlu dipahami: Pertama, kritik internal
terhadap analisis argument dan metode yang digunakan dalam berbagai penelitian. Kritik ini
memfokuskan pada alasan teoritis dan prosedur dalam memilih, mengumpulkan dan menilai data
empiris. Paradigma ini lebih mementingkan pada alasan, prosedur dan bahasa yang digunakan
dalam mengungkap kebenaran. Oleh karena itu, penilaian silang secara kontinyu dan
Medeleen Florencia Kawilarang
19 15 008

pengamatan data secara intensif merupakan merk dagang dari paradigma ini. Kedua, makna
kritis dalam reformulasi masalah logika. Logika bukan semata-mata pengaturan formal dan
kriteria internal dalam pengamatan, tetapi juga melibatkan bentuk khusus pemikiran yang
difokuskan pada skeptisisme dalam pengertian rasa ingin tahu terhadap institusi sosial dan
konsepsi tentang realitas yang berkaitan dengan ide, pemikiran, dan bahasa melalui kondisi
sosial historis.
Ide yang menonjol dalam prespektif ini sebagian besar mempunyai keyakinan bahwa
setiap suatu yang ada baik dalam individu atau masyarakat memiliki potensi historis yang tidak
bisa diterangkan. Hal ini disebabkan karena manusia secara khusus tidak dibatasi keberadaannya
dalam kondisi tertentu, dimana keberadaan dan lingkungan materinya tidak dipengaruhi oleh
kondisi disekitarnya (Chua, 1986).
Dalam berbagai paradigma, penekanan terhadap obyektivitas menjadi suatu keharusan
agar temuan yang diperoleh bermakna. Sedangkan hal-hal yang bersifat subyektif harus sejauh
mungkin dihindari merupakan hal yang mengadaada menurut paradigma kritis. (Salim, 2006)
Dalam berbagai paradigma yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan studi masa
kini dibantah oleh paradigma kritis, karena studi saat ini adalah studi yang berasal dari
pengamatan tentang keteraturan dan ketidak teraturan sosial di masa lampau. Hasilnya kemudian
secara tidak langsung digunakan untuk mempelajari atau menghindari hal-hal yang dianggap
kurang bermanfaat dalam berbagai aspek realitas kehidupan di masa depan. Oleh sebab itu,
paradigma kritis tidak sependapat dengan argumentasi bahwa ilmu dapat memprediksi atau
mengontrol. Ilmu menurut paradigma ini hanya dapat mengatur fenomena yang bisa menuntun
kita untuk mengenali berbagai kemungkinan dan di pihak lain, ilmu juga dapat menyaring
kemungkinan yang lain.
Manusia menurut paradigma ini dipersepsikan sebagai mahluk yang dinamis dan selalu
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Namun mereka merasa dibatasi, ditekan
oleh kondisi dan faktor sosial, dieksploitasi oleh orang lain untuk memperoleh argumentasi yang
benar atau suatu pembenaran supaya dapat diterima, sehingga membatasi seseorang untuk
mengeksplore potensi dalam dirinya secara utuh karena takut melanggar hukum, norma, dogma
atau standard yang ada dan bersifat memaksa. (Sarantakos 1993 dalam Triyuwono, 2000).
Paradigma kritis berpandangan bahwa unsur kebenaran adalah melekat pada keterpautan
antara tindakan penelitian dengan situasi historis yang melingkupi. Penelitian tidak dapat terlepas
Medeleen Florencia Kawilarang
19 15 008

dari konteks tertentu, misalnya situasi politik, kebudayaan, ekonomi, etnis dan gender. Peneliti
juga harus mengembangkan penyadaran (conscientization). Hal ini menuntut sikap hati-hati
dalam kegiatan penelitian, karena kegiatan penelitian dapat mengungkap ketidaktahuan dan salah
pengertian. Tidak semua asumsi dan teori dapat memuat kebenaran, sehingga dalam proses
kegiatan penelitian dimungkinkan pula diperoleh wawasan baru dalam cara berpikir tertentu.
Bagaimana membangun kesatuan teori dan praksis? Hal inilah yang mendorong terjadinya
transformasi dalam struktur kehidupan menurut paradigma kritis (Salim, 2006).
Keyakinan tentang pengetahuan dalam paradigma kritis bahwa standar penjelasan ilmiah
yang digunakan sifatnya temporal dan terikat dengan konteks yang ada. Kebenaran adalah proses
yang ingin diungkapkan dan berada dalam praktek sosial historis. Tidak ada fakta yang
independent terhadap teori yang bisa menguatkan atau melemahkan sebuah teori. Metode
penelitian yang disukai oleh peneliti dalam paradigma ini cenderung mengacuhkan model
matematis atau statistic. Teori dalam paradigma ini mempunyai hubungan khusus dengan dunia
praktek yaitu mengarah pada kesadaran akan kondisi yang terbatas. Hal ini melibatkan
pengungkapakan hukum social obyektif dan universal tapi lebih tepat sebagai produk dari bentuk
dominasi dan ideologI.
Dari uraian di atas yang perlu digarisbawahi dari paradigma kritis adalah: Secara
ontology memandang realitas dalam realisme historis yaitu realitas yang teramati (virtual reality)
adalah semu terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan social, budaya dan ekonomi public.
Dalam pandangan paradigma kritis realitas tidak berada dalam harmoni tetapi lebih dalam situasi
konflik dan pergulatan social.
Secara epistemology mengenai hubungan antara periset dan obyek yang dikaji adalah
transaksional/subyektivis: hubungan periset dengan obyek studi dijembatani nilai tertentu.
Pemahaman tentang realitas merupakan temuan yang dijembatani nilai tertentu. Maksudnya
adalah ada hubungan yang erat antara peneliti dengan obyek yang diteliti. Sehingga peneliti
ditempatkan pada situasi sebagai actor intelektual dalam proses transformasi social. Secara
metodologi, paradigma kritis lebih menekankan penafsiran peneliti pada obyek penelitiannya.
Dalam hal ini proses dialogal sangat dibutuhkan, dimana dialog kritis digunakan untuk melihat
secara lebih dalam kenyataan social yang telah ada, sedang dan akan terjadi. Penelitian dalam
paradigma kritis tidak bisa menghindari unsur subyektifitas peneliti yang bisa membuat
Medeleen Florencia Kawilarang
19 15 008

perbedaan gejala social dari peneliti lainnya yang lebih mengutamakan analisis yang
menyeluruh, kontekstual dan multi level.

Anda mungkin juga menyukai