Anda di halaman 1dari 13

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada BAB Pembahasan penulis akan membahas mengenai kesenjangan yang terdapat

pada konsep dasar (teori) dan study kasus pada Ny. S dengan halusinasi di Ruang

Melati Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung, pada tanggal 1 Juni 2016

sampai tanggal 2 Juni 2016 yang dimulai dengan membahas tentang pengkajian,

diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi keperawatan, dan evaluasi serta pada

bagian akhir dari penulisan study kasus ini, penulis akan memberikan kesimpulan dan

saran yang diharapkan dapat bermanfaat dalam meningkatkan asuhan keperawatan

pada pasien, khususnya pada pasien halusinasi.

A. Pengkajian

Penulis mengkaji data dari tanggal klien masuk Rumah Sakit Jiwa, identitas

klien, penanggung jawab, alasan klien masuk, faktor predisposisi, faktor

presipitasi, pemeriksaan fisik, psikososial, konsep diri, hubungan sosial, spiritual,

status mental, kebutuhan persiapan pulang, mekanisme koping, masalah

psikososial dan lingkungan, pengetahuan klien, dan data pendukung secara

subjektif dan objektif. data pengkajian yang diharapkan bersumber dari rekam

medik, wawancara kepada klien, hasil obervasi perawat ruangan dan dari pihak

keluarga. Faktor presipitasi ( Lelono, dkk, 2015) merupakan kondisi normal otak

mempunyai peranan penting dalam meregulasi sejumlah informasi. Gejala


pencetus yang menyebabkan hal tersebut adalah faktor kesehatan, lingkungna,

sikap dan prilaku individu ( Stuart, 2009) . Pada pengkajian terhadap klien

dilakukan pada tanggal 1 Juni 2016 sampai tanggal 2 Juni 2016, dengan

didapatkan hasil sebagai berikut: Ny. S, alamat klien Desa Isorejo Kabupaten

Lampung Utara, umur klien 37 tahun, jenis kelamin perempuan, dirawat di

Ruang Melati Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung, klien bersekolah

sampai SLTP, klien bersuku Lampung, klien beragama Islam, klien masuk

Rumah Sakit Jiwa sejak tanggal 20 Mei 2016. Penulis melakukan pengkajian

pada tanggal 1 Juni 2016 sampai 2 Juni 2016. Klien masuk Rumah Sakit Jiwa

Daerah Provinsi Lampung pada hari Jum’at tanggal 1 Juni 2016 pukul 15:30

WIB diantarkan oleh kelurganya dengan keluhan berbicara sendiri, tertawa

sendiri, melempar orang, membanting barang, klien juga penah dirawat di

Rumah Sakit Jiwa pada tahun 2010 sampai 2011, klien sudah putus obat sejak 5

tahun yang lalu, klien tidak pernah kontrol obat. Pada faktor predisposis menurut

Stuart, ( 2009) faktor predisposisi yang dapat menyebabkan terjadinya haluinasi

pada klien skizofrenia meliputi faktor biologi, psikologi dan sosiokultural.

Menurut Towsend, ( 2009) awal terjadinya skizofrenia difokuskan pada

hubungan keluarga yang mempengaruhi perkembangan gangguan ini, teori ini

awal menunjukkan kurangnya hubungan antara orang tau dan anak serta

disfungsi sistem keluarga sebagai penyebab skizofrenia. Pada pengkajian tanggal

1 Juni 2016 pada Ny. S terdapat data bahwa klien pernah mengalami gangguan

jiwa sebelumnya pada tahun 2010 sampai 2011 pengobatan klien terputus sejak 5
tahun dan pengobatan klien kurang berhasil karena klien tidak pernah kontrol

dikarenakan ketidakpedulian keluarga terhadap klien.

Halusinasi adalah terjadinya penglihatan, suara, sentuhan, bau maupun rasa

tanpa stimulus eksternal terhadap organ-organ indra (Fontaine dalam Lelono,

dkk, 2009). Menurut Maramis, dalam Prabowo eko, 2014 Halusinasi dapat

didefinisikan sebagai suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui

panca indra tanpa stimulus eksteren, persepsi palsu. Tipe halusinasi yang sering

ditemui adalah halusinasi pendengaran dan penglihatan. Diperkirakan lebih dari

90% klien dengan skizofrenia mengalami halusinasi. Meskipun bentuk

halusinasinya bervariasi namun tetap saja sebagian besar klien skizofrenia di

Rumah Sakit Jiwa mengalami halusinasi dengar. Suara yang didengar dapat

berupa perintah yang membritahu pasien untuk melakukan sesuatu kadang-

kadang dapa membahyakan atau mencederai( Stuart, 2009 dalam Lelono, dkk,

2015). Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan hasil bahwa klien menderita

gangguan sensori persepsi halusinasi pendengaran dengan dengan data klien

mengatakan mendengar suara-suara bisikan suaminya, klien mengatakan

halusinasinya muncul tidak tentu dan terjadi pada malam hari, klien tidak

menyukai suara tersebut, klien terlihat senyum-senyum sendiri.


Tanda dan Gejala Halusinasi ( Kemenkes, dalam Lelono, dkk, 2015)

Data Subjektif: Pasien mengatakan: Mendengar suara-suara atau kegaduhan,

mendengar suara-suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengar suara

menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya, melihat bayangan, sinar, bentuk

geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau monster, mencium bau-bauan,

seperti bau feses, urine, darah, kadang-kadang bau itu menyenangkan, merasakan

rasa seperti darah, urine atau feses, merasa takut atau senang dengan halusinasi.

Data Objektif: Bicara atau tertawa sendiri,marah-marah tanpa sebab,

mengarahkan telinga kearah tertentu, menutup telinga, menunjuk-nunjuk kearah

tertentu, ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas, mencium sesuatu seperti

membaui bau-bauan tertentu, menutup hidung, sering meludah, muntah,

menggaruk-garuk permukaan kulit. Dari data pengkajian, klien mengalami

gangguan sensori persepsi halusinasi pendengaran. Klien mengatakan

mendengar suara-suara bisikan dari suaminya, klien mengatakan halusinasinya

muncul dengan frekuensi tidak tentu dan muncul pada malam hari, suara ersebut

membuat klien diam dan melamun. Klien tidak menyukai suara tersebut, klien

terlihat senyum-senyum sendiri ( Lelono, dkk, 2015)

Faktor Presipitasi menurut (Yosep, 2009) halusinasi dapat dilihat dari lima

dimensi yaitu dimensi fisik, dimensi emosional, dimensi intelektual, dimensi

sosial, dan dimensi spiritual.Sedangkan faktor presipitasi pada kasus klien adalah

ketika klien ditinggalkan oleh suaminya dan sulit untuk melupakanya. Jadi sesuai
denan teori diatas maka dapat disimpulkan bahawa faktor presipitasi yang terlihat

pada klien adalah dari dimensi sosial.

Faktor Predisposisi menurut Stuart dalam Lelono, dkk (2015),, yang dapat

mendukung terjadinya halusinasi adalah faktor biologi, faktor psikologis, dan

faktor sosial budaya. Dalam study kasus ini terdapat faktor predisposisi yang

menjadi pendukung klien mengalami gangguan jiwa yaitu klien pernah ditinggal

oleh suaminya dan klien tidak boleh menikah lagi dengan keluarganya. Dalam

teori dan study kasus terdapat adanya faktor psikologis dan faktor sosial budaya.

Menurut Yoseph (2009), ada beberapa proses halusinasi adalah stage 1 Sleep

disorder fase awal seorang sebelum halusinasi, stage II Conforting moderate

level of anxiety,halusinasi secara umum ia terima sebagai sesuatu yang alami.

Stage 3 Condenming severe level of anxiety, secara umum halusinasi sering

mendatangi klien. Stage 4 Controling severe level of anxiety yaitu fungsi

halusinasi menjadi tidak relevan dengan kenyataan. Stage 5 Conquering panic

level of anxiety, klien mengalami gangguan dalam menilai lingkunganya. Dan

pada study kasus ini, klien telah melalui semua tahapan tersebut.

Fase pertama Sleep disorder, klien merasa ditinggalkan oleh suaminya, klien

merasa tidak diperdulikan oleh keluarganya. Stage kedua, klien merasa cemas

bila suara-suara itu datang, terkadang klien merasa senang mendengar suara-

suara bisikan tersebut. Stage 3 Comdenming severe level of anxiety, klien


terkadang masih mendengar suara-suara tersebut, sehungga klien mulai menarik

diri, dikarenakan gangguan sensori persepsi halusinasinya mengganggu kegiatan

sehari-hari. Stage 4 , Controling severe level of anxiety, Klien mencoba untuk

menghindari suara-suara tersebut. Stage 5 Conquering panic level of anxiety,

klien sering senyum-senyum sendiri dan berlangsung lama apabila tidak ada

yang mengajak ia mengobrol.

B. Diagnosa Keperawatan

Data yang diperoleh dari Ny. S yaitu halusinasi yang disebabkan oleh koping

keluarga tidak efektif dengan data subjektif: Klien mengatakan pernah dirawat di

rumah sakit jiwa tahun 2010 sampai 2011, klien tidak pernah kontrol karena

ketidakpedulian keluarga terhadap klien, klien mengatakan tidak dijenguk oleh

keluarganya, klien mengatakan jika ada masalah klien tidak mau menceritaknya

kepada orang lain, klien ingin cepat sembuh dan ingin cepat pulang. Data

objektif: klien pasrah dengan perlakuan keluarganya, ekspresi wajah klien sedih.

Kemudian klien beresiko prilaku kekerasan karena adanya riwayat data yang

didukung oleh data subjektif: Klien jarang marah-marah, klien pernah

membanting barang, klien pernah menciderai orang lain. Kemudian data objektif:

klien berbicara keras dengan intonasi cepat dan tidak jelas, klien terlihat kesal

apabila temanya mengejeknya, berbicara klien inkoheren.

Kemudian Defisit Perawatan Diri klien kurang dengan data subjektif: Klien

mengatakan berpakaian secara mandiri hanya saja klien tidak pernah berdandan,
klien mengatakan tidak pernah menyisisr rambutnya, klien mengatakan

terkadang klien cebok tidak bersih karena keterbatasan air. Kemudian data

objektif: Klien terlihat kusam ,penampilan klien tidak rapi, klien tidak pernah

menyisisr rambutnya. Kemudian klien merasa harga diri rendah dengan data

subjektif: Klien mengatakan tidak percaya diri dengan rambutnya, klien

mengatakan merasa tidak berguna, klien mengatakan mengatakan merasa

dibuang oleh keluarganya, klien mengatakan terkadang diejek temanya karena

bau pesing. Kemudian data objektif : Klien tidak percaya diri, klien terlihat

bingung. Kemudian klien merasa isolasi sosial dengan data subjektif: Klien

mengatakan tidak terlalu suka bergaul, klien mengatakan hanya menghabiskan

waktunya untuk tidur. Kemudia data objektif : Klien merasa tidak percaya diri,

klien tidak kooperatif dan tidak fokus, afek klien tumpul.

Klien berhalusinasi dengan data subjektif: Klien mengatakan mendngar suara-

suara bisikan dari suaminya, klien mengatakan tidak menyukai suara tersebut,

klien mengatakan suara tersebut datang dengan frekuensi tidak tentu dan

waktunya pada malam hari, klien mengatakan melihat bayangan makhluk gaib

menyerupai suaminya , klien mengatakan jarang melihat bayangan tersebut, klien

mengatakan bayangan tersebut muncul dengan frekuensi jarang-jarang, klien

mengatakan tidak menyukai bayangan tersebut, klien mengatakan suara tersebut

membuat ia diam dan melamun. Dengan data objektif: Kllien tampak diam dan
melamun, klien tampak diam saat tidak bersama teman-temanya, klien terlihat

gelisah.

Berdasarkan data yang diperoleh tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pohon

masalah yang terjadi pada Ny. S berbeda dengan teori yang dituliskan oleh Keliat

(2010), dalam Lelono, dkk (2015), yaitu penyebab dari gangguan sensori

persepsi halusinasi (core problem) adalah isolasi sosial yang diakibatkan oleh

harga diri rendah. Jika masalah-masalah tersebut tidak ditangani akan

menyebabkan resiko prilaku kekerasan dengan menciderai diri sendiri, orang lain

dan lingkungan.. Sehingga pohon masalah yang diangkat oleh penulis adalah,

gangguan sensori persepsi halusinasi diakibatkan oleh harga diri rendah yang

berkepanjangan tidak tertangani sehingga mengakibatka isolasi sosial klien , fesit

perawatan diri yang kurang diperhatikan, kemudian resiko prilaku kekerasan

dimiliki klien, karena klien sebelumnya memiliki riwayat tersebut sehingga klien

mempunyai masalah koping keluarga tidak efektif (introveri).

Klien mendapatkan terapi obat Resperidone: 2x1 , Trihexypenydil ( THP): 2x1,

Chlorpomazine: 1x50, Captopril: 2x12,5. Resperidone adalah obat yang

digunakan untuk menangani gangguan mental atau mood tertentu,

Trihexypenydil adalah obat anti Parkinson, Chlorpomazine adalah obat golongan

obat antiseptic yang mengurangi hiperaktif agresif atau obat penenang atau

agresif, Captopril adalah obat yang digunakan untuk mengurangi hipertensi.

( Sinaga, 2007)
C. Rencana Keperawatan

Menurut Kartika (2015), intervensi yang dilakukan oleh Ny. S berdasarkan pada

teori gangguan sensori persepsi halusinasi pendengaran adalah:

1. Tujuan umum : Klien mampu mengontrol halusinasinya

2. Tujuan khusus

a. Tujuan khusus pertama adalah membina hubungan saling percaya dengan

mengungkapkan prinsip komunikasi teraupetik.

b. Tujuan khusus kedua adalah klien dapat mengenali halusinasinya dan

rasionalnya kontak sering dan singkat selain membina hubungan saling

percaya juga dapat memutuskan halusinasi, klien mngetahui kapan sat Ny.

S mengalami halusinasi , perasaaan, perilaku apa saja yang dilakukan saat

berhalusinasi.

c. Tujuan khusus ketiga Klien dapat mengontrol halusinasinya, rasionalnya

untuk memutuskan siklus halusinasi sehingga halusinasi tidak berlanjut,

denga mengetahui beberapa cara yang dapat dilakukan , dapat melatih cara

mengontrol halusinasinasinya sesuai dengan kemampuan dan kondisi saat

itu.

d. Tujuan khusus keempat adalah klien dapat dukungan dari keluarga dalam

mengontrol halusinasinya, rasionalnya untuk mengetahui pengetahuan

keluarga dan meningkatkan kemampuan pengetahuan tentang halusinasi.


e. Tujuan khusus kelima adalah klien memanfaatkan obat dengan baik,

dengan rasionalnya dengan memberikan pemahaman dari dosis, frekuensi

dan manfaat obat diharapkan klien melakasanakan program pengobatan.

D. Implementasi Keperawatan

Implementasi dan evaluasi keperawatan pada Ny. S dilakukan selama dua hari

pada tanggal 1 Juni 2016 sampai 2 Juni 2016 di Ruang Melati Rumah Sakit

Daerah Provinsi Lampung yaitu perawata mencoba menanyakan pada klien

tentang isi halusinasi (apa yang didengar/dilihat, waktu terjadi halusinasi,

frekuensi halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan perasaan

pasien saat halusinasi muncul). Sesuai dengan intervens yang dibuat, penulis

mengimplementasikan gangguan sensori persepsi halusinsi yang diawali dengan,

membina hubungan saling percaya, yang melakukan pengkajian mulai dari

identitas pasien, alasan masuk, faktor presipitasi, faktor predisposis, pemeriksaan

fisk, status mental, masalah psikososial dan lingkungan, mekanisme koping, dan

tingkat pengetahuan pasien. Respon klien adalah menjawab salam, menyebutkan

nama dan nama panggilanya. Klien mengatakan masalah yang dihadapi klien

dalah klien mendengar suara-suara bisikan suaminya, Selama wawancara klien

menjawab pertanyaan dari perawat.

Implementasi keperawatan untuk diagnosa keperawatan, gangguan sensori

persepsi halusinasi dilakukan pada tanggal 1 Juni 2016 pukul 09.00 WIB. Penulis
melakukan SP Pengkajian untuk membantu klien agar mampu mengontrol

halusinasi perawat dapat mendiskusikan cara mengontrol halusinasinya pada

klien yaitu implementasinya klien membina hubungan saling percaya,

menjelaskan topik yang akan dibahas, kontrak waktu dan tempat, menyampaikan

pada klien perasaan dan masalah yang dirasakan. Mengidentifikasi jenis

halusiansi, kapan terjadinya halusinasi, bagaimana perasaan, dan perilaku apa

saja yang dilakukan klien saat halusianasi muncul. Respon klien, klien mau

berinteraksi dan mau menceritakan masalah yang dihadapinya, klien

menceritakan mendengar suara-suara yang tidak didengar oleh orang lain dan

tidak ada wujudnya, klien mengatakan suara tersebut merupakan suara bisikan

suaminya, klien mau diajarkan cara mengontrol halusinasi dengan cara

menghardik.

Implementasi kedua dilakukan pada tanggal 2 Juni 2016 pukul 09.00 WIB klien

melakukan SP 1 untuk mengontrol halusinasi dengan cara menghardik, untuk

upaya mengendalikan diri terhadap haluisnasinya dengan cara menolak

halusinasi, Implementasinya, penulis melakukan salam teraupetik lalu

mengevaluaisi, dan memvalidasi perkenalan, mengajarkan cara mengontrol

halusinasi dengan cara menghardik memberikan reinforment positif ketika klien

berhasil mempraktikan cara menghardik. Respon klien, klien menjawab salam,

klien mengatakan perasaan senang dan nyaman, klien terkadang masih lupa nama
perawat dan dari mana asalnya, klien mau diajarkan SP 1 dengan cara

mengardik.

Implementasi ketiga dilakukan pada tanggal 2 Juni 2016 pukul 10.30 WIB,

penuis melakukan SP 2 yaitu cara mengontrol halusinasi dengan cara minum

obat. Agar klien mampu mengontrol halusinasi, maka perlu dilatih manggunakan

obat secara teratur sesuai dengan program tindakan keperawatan agar klien patuh

menggunakan obat, jelaskan pentingnya penggunaan obat akibat tidak minum

obat dan putus obat. Cara menggunakan prinsip obat dengan lima benar prinsip

obat . implementasinya, klien melakukan salam teraupetik dan memvalidasi SP 1

(mengontrol halusinasi dengan cara menghardik), mengajarkan cara mengontrol

halusinasi dengan minum obat. Respon klien, klien mau menjawab salam klien

mengatakan masih mengingat SP 1 yaitu mengontrol halusinasi dengan cara

menghardik dan langsung mempraktikanya, klien mau diajarkan SP 2 mengontro

halusinasi dengan minum obat, hanya saja klien masih lupa dengan obat yang

dia minum.

E. Evaluasi

Evaluasi merupakan hasil dari tindakan yang dilakukan oleh penulis dalam

perawatan selama dua hari dari tanggal 1 Juni 2016 sampai 2 Juni 2016, sesuai

dengan catatan perkembangan. Pada landasan teori tujuan umum pada diagnosa

gangguan sensori persepsi halusinasi adalah klien mampu mengontrol halusinasi,


Untuk tercapai tujuan umum, maka perlu dicapainya tujuan khusus. Antara lain,

klien mampu membina hubngan saling percaya, tujuan khusus kedua klien dapat

mengenal halusinasinya, tjuan khusus ketiga klien dapat mengontrol

halusinasinya, tjuan khusus keempat klien dapat dukungan dari keluarga dalam

mengontrol halusinasinya, tujuan khusus kelima klien dapat memanfaatkan obat

dengan baik.

Pada study kasus ini tujuan khusus yang telah tercapai penulis mampu membina

hubungan saling percaya dengan klien ditandai dengan klien membalas sapaan

perawat, ekspresi wajah senang, ada sedikit kontak mata, klien mau duduk

berdampingan dengan perawat, klie mampu menceritakan masalahnya. Tujua

khusus kedua klien mampu mengenali halusinasinya ditandai dengan klien

mampu menyebutkan waktu dan situasi timbulnya halusinasi. Tujuan khusus

ketiga, klien dapat mengidentifikasi tindakan yang dilakukan untuk

mengendalikan halusinasinya dengan cara menghardik. Tujuan khusus keempat

terapai sebagian, karena klien belum mendapatkan dukungan dari keluarga, tetapi

klien mengikuti terapi aktivitas kelompok. Tujuan khusus kelima, klien mampu

menyebutkan manfaat obat dan waktu minum obat.

Anda mungkin juga menyukai