Anda di halaman 1dari 11

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Kasus Berdasarkan Teori


Penulis menganalisis asuhan keperawatan pada Ny. S dengan gangguan
persepsi sensori: halusinasi pendengaran di Ruangan Asoka RS. Dr. Ernaldi
Bahar Palembang menggunakan proses keperawatan komprehensif dimulai
sejak tanggal 16 Maret 2023 sampai dengan 19 Maret 2023. Proses
keperawatan dilakukan secara berkesinambnungan melalui 5 tahapan standar
yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan
evaluasi keperawatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Muhith (2015) yang
menyatakan bahwa standar praktik profesional mengacu pada proses
keperawatan jiwa yang terdiri dari lima thaap standar yaitu pengkajian,
diagnosis, perencanaan, pelaksanaan (implementasi), dan evaluasi. Setelah
melakukan pengkajian, maka ditetapkanlah core problem atau prioritas
masalah dari masalah yang ada pada klien dan berkaitan erat dengan alasan
masalah atau keluhan utama (Muhith, 2015). Berdasarkan pengkajian yang
sudah penulis lakukan kepada Ny. S maka penulis menetapkan diagnosa
gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran sebagai core problem. Hal
ini dikarenakan masalah tersebut yang paling dirasakan klien dan perlu diatasi
segera, mendominasinya tanda dan gejala yang muncul dan apabila tidak
diatasi terlebih dahulu akan membuat halusinasi mengendalikan isi pikir klien
serta memicu melakukan tindakan merugikan atau membahayakan seperti
perilaku kekerasan.
Pengkajian merupakan tahap awal proses keperawatan yang terdiri dari
pengumpulan data, analisis data, dan perumusan masalah klien (Yusuf,
Fitryasari, Nihayati, 2015). Perawat mengumpulkan data tentang kasus
kesehatan klien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat, dan
berkesinambungan dengan mengkaji klien secara holistik meliputi aspek
biologis, psikologis, sosial, dan spiritual (Muhith, 2015). Data pengkajian
keperawatan jiwa terdiri dari identitas klien, alasan masuk, faktor predisposisi,
masalah fisik, psikososial, status mental, kebutuhan persiapan pulang, dan
mekanisme koping, masalah psikososial dan lingkungan, pengetahuan dan
aspek medis (Yusuf, Fitryasari, Nihayati, 2015).
Penulis melakukan pengkajian kepada Ny. S pada tanggal 16 Maret
2023. Hasil pengkajian yang dilakukan pada klien dengan halusinasi
pendengaran di Ruang Asoka RS Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan
didapatkan bahwa keluhan utama pada klien adalah klien mendengar bisikan-
bisikan tanpa ada wujudnya seperti menyuruhnya untuk mondar mandir di
ruangan, muncul saat dirinya sendirian duduk di kamar suara itu muncul 2 kali
dengan durasi 8 detik dan saat mendengar suara-suara tersebut dirinya merasa
gelisah. Selama wawancara klien kurang kooperatif saat diajak berbicara,
kontak mata tidak ada, berbicara lambat, tidak bertenaga, tampak lesu, ekspresi
tampak bingung, bicara seperlunya saja, mulut sering komat-kamit, klien
tampak gelisah dan malas untuk melakukan aktivitas. Klien mudah mengalami
perubahan suasana hati. Awal mula pembicaraan klien merasa tidak apa apa,
tetapi sewaktu waktu disela pembicaraan klien merasa sedih seketika. Klien
mengatakan sedih karena ditinggal suami. Keluarga klien mengatakan bahwa
perilaku klien berubah yaitu keluar masuk rumah orang, menghasikan air
dirumah orang, mengambil pakaian di jemuran orang, berbicara sendiri dan
klien menghadang motor yang sedang lewat dijalan. Hal ini sejalan dengan
Sutejo (2019), yang mengatakan bahwa tanda dan gejala halusinasi
pendengaran yaitu klien mendengarkan suara atau kegaduhan, mendengarkan
suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengar suara yang menyuruh
melakukan sesuatu yang berbahaya, klien juga tampak bicara atau tertawa
sendiri, marah-marah tanpa sebab, mengarahkan telinga ke arah tertentu, dan
menutup telinga.
Menurut Azizah (2016), tanda dan gejala halusinasi adalah berbicara,
tertawa, dan tersenyum sendiri, bersikap seperti mendengarkan sesuatu,
berhenti berbicara sesaat ditengah-tengah kalimat untuk mendengardakan
sesuatu, disorientasi, tidak mampu atau kurang konsentrasi, cepat berubah
pikiran, alur pikiran kacau, respon yang tidak sesaui, menarik diri, dan sering
melamun. Berdasarkan tanda dan gejala yang terdapat pada klien adalah
mendengarkan suara bisik-bisikan untuk menyuruh sesuatu yaitu mondar-
mandir, klien berbicara sendiri dan mulut sering komat-kamit, menarik diri
dengan tidak kooperatif saat diajak berbicara, kontak mata tidak ada, klien
tampak gelisah, bicara lambat klien, dan klien cepat berubah pikiran atau
perubahan suasana hati awalnya tidak apa-apa tiba-tiba merasa sedih karena
ingat klien ditinggal suami.
Saat dikaji, klien tidak pernah mengalami gangguan jiwa. Klien
merupakan seorang pelayan di panti pijat. Klien merasa malu dan di pandang
sebelah mata karena pekerjaannya. Klien sudah menikah 3 kali dan ditinggal
oleh suaminya. Klien juga mengatakan bahwasanya ia menyesal bekerja di
panti pijat namun demi orang tua klien rela dan klien menganggap bahwa
dirinya selalu merasa sendiri dan tidak ada yang menyayanginya. Sejalan
dengan faktor predisposisi yaitu faktor psikologis berupa kegagalan yang
berulang, individu korban kekerasan dan kurang kasih sayang (Sutejo, 2019).
Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan faktor penyebab klien mengalami
skizofrenia adalah kegagalan membina rumah tangga sudah 3x menikah, dan
merasa sendirian serta tidak ada yang menyayanginya.
Hasil pengkajian juga menyatakan bahwa terdapat anggota keluarga klien
ada yang mengalami gangguan jiwa yaitu ayah kandungnya yang masuk
kerumah-rumah warga. Keluarga klien mengatakan terakhir klien menghadang
motor dijalan. Hal ini menyatakan bahwa terdapat faktor predisposisi yaitu
faktor biologis yang meliputi adanya faktor herediter gangguan jiwa dan
adanya risiko bunuh diri pada klien, riwayat penyakit atau trauma pada klien,
dan riwayat penggunaan NAPZA (Sutejo, 2019). Berdasarkan hasil pengkajian
yang dilakukan, faktor yang menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa
adalah faktor biologis berupa faktor herediter dari ayahnya yang pernah
gangguan jiwa dan klien mencoba bunuh diri dengan menghadang motor yang
sedang lewat dijalan.
Selain itu, klien pun tergolong dalam fase halusinasi fase 3 yaitu
controlling (ansietas berat, pengalaman sensori berkuasa). Pada halusinasi fase
ke 3 ini tingkat kecemasan klien menjadi berat, halusinasi tidak dapat ditolak
lagi. Perilaku klien yang biasanya terjadi adalah mengikuti perintah halusinasi
dan sulit berhubungan dengan orang lain (Sutejo, 2019). Menurut Azizah
(2016), fase controlling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori menjadi
berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik. Adapun karakteristiknya ialah
bisikan, suara, isi halusinasi semakin mennjol, menguasai dan mengontrol
klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya dengan halusinasinya. Perilaku
klien dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya berapa menit atau detik
dengan tanpa fisik berupa berkeringat, tremor dan tidak mampu mematuhi
perintah orang lain. Pada fase ini klien mengikuti apa yang disuruh dari bisikan
tanpa wujud yang menyuruhnya untuk mondar mandir di ruangan. Klien
mengatakan suara itu muncul saat dirinya sendirian duduk di kamar. Klien
mengatakan hari ini suara itu muncul 2 kali dengan durasi 8 detik. Klien
mengatakan saat mendengar suara-suara tersebut dirinya merasa gelisah.
Adapun alasan klien masuk karena diantar oleh keluarga klien ke rumah sakit.
Keluarga mengatakan perilaku klien berubah, klien sering keluar masuk rumah
orang, menghabiskan air di rumah orang, mengambil pakaian di jemuran
orang.
Hasil temuan lain yang didapatkan adalah klien mengalami harga diri
rendah. Menurut Maryatun (2016), harga diri rendah adalah perasaan tidak
berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi
negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri dengan faktor predisposisi
salah satunya kegagalan yang berulang kali dan kurang mempunyai tanggung
jawab personal serta faktor presipitasi berupa perasaan tidak mampu
ketegangan peran yang dirasakan. Harga diri rendah pada klien dibuktikan
dengan klien merasa malu dengan pekerjaannya, klien merasa tidak berguna
bagi orang sekitarnya, dan klien mengatakan merasa sedih ditinggalkan
suaminya. Kurangnya kontak mata karena klien melihat ke satu arah dan tidak
mau/berminat melakukan kontak fisik dengan orang lain.
Berdasarkan hasil pengkajian, diagnosa keperawatan yang dapat muncul
pada kasus Ny. S antara lain gangguan persepsi sensori: halusinasi
pendengaran, harga diri rendah, koping individu tidak efektif, isolasi sosial,
defisit perawatan diri dan defisit pengetahuan. Namun, terjadinya halusinasi
menjadi tanda dan gejala yang dominan sehingga penulis mengangkat diagnosa
gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran sebagai diagnosa utama.
Selanjutnya penulis melakukan perencanaan intervensi kepada klien kelolaan
yaitu Ny. S dengan masalah halusinasi pendengaran dengan menggunakan
strategi pelaksanaan (SP).
Penerapan standar asuhan keperawatan yang dapat dilakukan oleh
perawat yaitu membina hubungan saling percaya dengan cara komunikasi
terapeutik dan penerapan strategi pelaksanaan dari halusinasi pendengar. Bina
hubungan saling percaya (BHSP) berperan penting dalam proses penyembuhan
dan perawatan klien gangguan jiwa. Tujuan bina hubungan saling percaya
adalah klien dapat merasa nyaman dengan perawat, menimbulkan rasa percaya
pada perawat, menangani dan merawat klien gangguan jiwa, sehingga klien
dapat menceritakan masalah dan perasaan yang dialaminya, perawat dengan
mudah menangani dan merawat klien gangguan jiwa, dan klien mampu
memahami dan mengikuti arahan atau perintah dari perawat (Sumangkut,
Boham, & Marentek, 2019). Kemudian strategi pelaksanaan (SP) tindakan
keperawatan merupakan standar model pendekatan asuhan keperawatan untuk
klien dengan gangguan jiwa, yang pada kasus kelolaan ini penulis
melaksanakan SP halusinasi dengan tujuan klien mampu mengidentifikasi
halusinasinya baik jenis, isi, frekuensi, waktu timbulnya halusinasi dan
mengungkapkan perasaan terhadap halusinasinya. Selain itu, klien juga
diajarkan cara mengontrol halusinasinya dengan cara menghardik halusinasi,
bercakap-cakap, melakukan aktivitas yang terjadwal dan patuh minum obat.
Klien mampu mengontrol halusinasi secara mandiri apabila ia melakukan
latihan tersebut setiap hari dengan terjadwal, sehingga ketika halusinasi itu
datang klien dapat mengontrol halusinasinya. Kemudian, jadwal yang telah
ditetapkan bersama klien pun akan dievaluasi oleh perawat secara terus
menurus hingga klien mampu melakukan latihan tersebut secara mandiri
(Muhith, 2015).
Pada tanggal 17 Maret 2023 penulis melakukan strategi pelaksanaan (SP)
1 yaitu bina hubungan saling percaya bersama klien kelolaan, mengidentifikasi
halusinasi, dan mengontrol halusinasi dengan cara menghardik halusinasi.
Menurut penulis untuk melakukan bina hubungan saling percaya bersama klien
sedikit sulit dilakukan karena klien tidak kooperatif, kontak mata tidak ada,
gelisah dan klien sering mondar-mandir. Walaupun beberapa kali klien
terdistraksi dengan mondar mandir dan gelisah, tapi ketika penulis memanggil
nama klien dan menanyakan kembali pertanyaan yang belum terjawab, klien
mampu kembali menjawab. Penulis memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk
mengidentifikasi halusinasi dan didapatkan hasil bahwa klien mengalami
halusinasi pendengaran yang berisi ada suara-suara ditelinganya tanpa wujud
dan suara itu menyuruhnya untuk mondar-mandir diruangan, suara-suara ini
terdengar sebanyak 2 kali dengan durasi 8 detik saat klien sedang sendirian
duduk dikamar.
Setelah penulis mengidentifikasi halusinasi klien, penulis pun
menanyakan kesediaan klien untuk mengajarkan cara mengontrol halusinasi
dengan cara menghardik halusinasi. Menghardik halusinasi merupakan upaya
untuk mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi
yang muncul. Ketika klien mengatakan ia bersedia, maka penulis pun
melakukan kontrak kepada klien. Selanjutnya, klien diajarkan bagaimana cara
menghardik halusinasi. Bimbingan teknik menghardik dilakukan menggunakan
metode ceramah dan tanya jawab tentang menghardik yang benar, simulasi,
dan demonstrasi teknik menghardik yang benar. Metode ceramah dan tanya
jawab dipilih karena diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran pada
aspek kognitif dan afektif (sikap) melalui menanyakan pengetahuan dan
kemampuan klien dalam mengenal halusinasi dan mengontrol halusinasinya.
Sedangkan metode simulasi digunakan sebagai cara untuk memberi
pemahaman mengenai teori atau keahlian tertun dengan cara menirukan. Lalu
metode demonstrasi atau peragaan efektif dilakukan untuk memudahkan
memahami apa yang telah disampaikan oleh perawat (Susilaningsih, Nisa, &
Astia, 2019). Kemudian didapatkan hasil berupa klien mampu diajarkan cara
menghardik halusinasi dan mengingat cara menghardik, dan dapat
mempraktikkan cara menghardik. Namun klien belum mau untuk
melakukannya sebagai latihan mandiri.
Pada tanggal 18 Maret 2023, penulis melakukan SP 2 yaitu mengontrol
halusinasi dengan teratur minum obat. Dalam hal ini, tidak didapatkan
hambatan karena klien sudah menghapal obat-obatan yang minum dengan baik.
Klien mampu menyebutkan nama obat, waktu minum obat, warna obat, dan
jumlah obat yg diminum. Klien juga mengatakan apabila ia tidak meminum
obat suara-suara tersebut akan semakin sering muncul dan mengganggunya,
dan ketika klien meminum obat tersebut ia akan tampak tenang dan terkadang
mengantuk. Kemudian, hasil evaluasi SP 1 pun didapatkan bahwa klien masih
mengingat dan dapat mempraktikkan cara menghardik halusinasi.
Pada pertemuan ke dua dan ke tiga klien sudah mengingat nama Penulis
sehingga mempermudah penulis untuk melakukan SP selanjutnya atau
intervensi dan melakukan evaluasi kepada klien, saat diobservasi klien mau
bergabung melakukan interaksi dengan teman diruangan dan juga klien
mengikuti semua kegiatan yang dilakukan bersama perawat, klien juga aktif
bercerita dan bersosialisasi bersama penulis serta klien juga senang bernyanyi.
Melihat adanya perkembangan yang cukup baik pada klien, penulispun
melakukan kontrak untuk melakukan SP 3 kepada klien, pada tanggal 19 Maret
2023 dilakukanlah SP 3 untuk mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-
cakap dengan orang lain. Pada saat pengkajian klien tampak kooperatif saat
diajak berbincang -bincang oleh penulis, klien masih sering berpindah-pindah
tempat Saat diajak berbincang-bincang klien tampak tenang, tetapi masih
terdistraksi dengan lingkungan sekitar dan suara-suara bisikan yang
didengarnya, klien tampak bersemangat saat berbincang-bincang dengan
perawat, klien dapat menerapkan cara menghardik saat suara bisikan itu
muncul.
Hasil Evaluasi pada klien dimana klien mengatakan masih mendengar
suara-suara/bisikan-bisikan yang menyuruhnya untuk mondar-mandir di
ruangan, klien mengatakan sudah minum obat secara teratur, klien mengatakan
masih mengingat cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik dan
minum obat secara teratur, klien mengaku sudah memasukkan cara mengontrol
halusinasi yaitu dengan menghardik halusinasi dan minum obat secara teratur
pada kegiatan sehari-sehari-hari, Klien mengatakan suara bisikannya mulai
berkurang dan juga klien mengatakan akan memasukkan cara ketiga
mengontrol halusinasi yaitu dengan bercakap-cakap dengan orang lain ke
dalam kegiatan sehari-hari.
Menurut (Sarahwati, 2019) keluarga harus dilibatkan dalam proses
penyembuhan dari penderita gangguan halusinasi, tentu saja dengan perlunya
pendidikan, bimbingan dan pelatihan sehingga dapat mengoptimalkan peran
keluarga dalam merawat penderita gangguan halusinasi.
Menurut Umam (2015) menyatakan bahwa dorongan motivasi dari
lingkungan dan keluarga penting untuk membantu klien dalam mengontrol
halusinasi klien karena dengan adanya dukungan dari orang orang sekitar klien
merasa jika ia didukung dandipedulikan sehingga dapat meningkatkan
keinginan klien untuk sembuh dan mengontrol halusinasinya.
Kemudian pada tanggal 19 Maret 2023 diberikanlah SP 4 pada klien
dengan kegiatan harian saat pengkajian klien tampak kooperatif saat diajak
berbincang -bincang oleh penulis, klien tampak tenang saat diajak berbincang-
bincang oleh penulis dan Klien tampak bersemangat saat berbincang-bincang
dengan penulis.
Hasil Evaluasi didapatkan klien mengatakan suara-suara/bisikan-bisikan
tanpa wijudnya yang dia dengar mulai berkurang, klien mengatakan sudah bisa
mengontrol halusinasi dengan cara menghardik dan minum obat secara teratur,
klien mengatakan suara bisikannya berkurang saat dirinya mengobrol bersama
teman sekamarnya. Klien mengatakan masih mengingat cara mengontrol
halusinasi dengan cara menghardik, minum obat dan bercakap-cakap dengan
orang lain, klien mengatakan suara bisikannya sudah mulai berkurang, klien
mengatakan lebih senang melakukan aktivitas bercakap-cakap dengan orang
lain saat bisikan itu muncul, klien dapat menyebutkan kegiatan yang
dilakukannya dari pagi sampai malam, mulai dari bangun tidur, mandi, makan,
senam, mengikuti kegiatan bersama di ruangan seperti berkumpul bersama,
jalan santai, makan siang, tidur siang, minum obat dan tidur malam hari.
Kristiadi, Rochmawati, dan Sawah (2015) menyatakan bahwa aktivitas
terjadwal dapat membuat klien mampu memanajemen waktu yang sederhana
dan menurunkan kejadian halusinasi karena kegiatan yang dijadwalkan
berfungsi untuk menghidari klien menyendiri. Berdasarkan hasil evaluasi,
Klien dapat melakukan semua strategi yang telah diberikan, SP 1,2,3 dan SP 4.
Penulis tetap melanjutkan intervensi SP yang telah diberikan mengontrol
dengan menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan aktivitas
kegiatan harian dan teratur dalam minum obat. Penulis juga menganjurkan
klien menerapkan latihan-latihan yang sudah diajarkan oleh penulis baik cara
mengontrol halusinasi ataupun cara mengontrol emosi dan marahnya setelah
klien pulang ke rumah.
Referensi:

Apriana 2018). Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum


Obat Klien Dengan Halusinasi. Jurnal Keperawatan Jiwa. Volume 2, No.
2. November 93-99

Kristiadi, Y., Rochmawati, H. D., & Sawah. (2015). Pengaruh Aktivitas


Terjadwal Terhadap Terjadinya Halusinasi di RSJ Dr Amino
Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Keperawatan dan Kebidanan
(JIKK)

Maryatun, S. (2016). Buju Ajar Keperawatan Jiwa 1. Palembang: Unsri Press.

Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi.


Yogyakarta: CV Andi Offset.

Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa: teori dan aplikasi. Yogyakarta:


Andi.

Sarahwati, D. Y. N. (2019) ‘Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan


Tingkat Kekambuhan pada Penderita Halusinasi di Wilyah Kerja
Puskesmas Geger Kabupaten Madiun’, Nursing In Integrated Hearing
Halusination Clients, 27(9), pp. 3505–3515.

Sumangkut, C. E., Boham, A, & Marentek E. (2019). Teknik Komunikasi Antar


Pribadi Perawat dengan Klien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit
Ratumbuysang Manado. Acta Diurna Komunikasi, 8(1).

Susilaningsih, I., Nisa., A. A., & Astia, N. K. (2019). Penerapan Strategi


Pelaksanaan: Teknik Menghardik Halusinasi pada Ny. T dengan Masalah
Halusinasi Pendengaran. Jurnal Keperawatan, 5(2), 1-6.

Sutejo. (2019). Keperawatan Jiwa Konsep dan Praktik Asuhan Keperawatan


Jiwa: Gangguan Jiwa dan Psikososial. Yogyakarta: Pustaka Baru Press

Umam, R. (2015). Pelaksanaan Teknik Mengontrol Halusinasi: kemampuan klien


Skizofrenia Mengontrol Halusinasi. The Sun, 2(1).
Yusuf, A. H., Fitryasari R., Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta Selatan: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai