0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
6 tayangan11 halaman
Dokumen tersebut membahas analisis kasus gangguan jiwa pada seorang pasien wanita bernama Ny. S yang mengalami halusinasi pendengaran. Berdasarkan pengkajian, didiagnosis gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran sebagai masalah utama. Dokumen juga membahas faktor risiko, tanda dan gejala, serta perencanaan intervensi keperawatan untuk menangani masalah tersebut sesuai standar praktik.
Dokumen tersebut membahas analisis kasus gangguan jiwa pada seorang pasien wanita bernama Ny. S yang mengalami halusinasi pendengaran. Berdasarkan pengkajian, didiagnosis gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran sebagai masalah utama. Dokumen juga membahas faktor risiko, tanda dan gejala, serta perencanaan intervensi keperawatan untuk menangani masalah tersebut sesuai standar praktik.
Dokumen tersebut membahas analisis kasus gangguan jiwa pada seorang pasien wanita bernama Ny. S yang mengalami halusinasi pendengaran. Berdasarkan pengkajian, didiagnosis gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran sebagai masalah utama. Dokumen juga membahas faktor risiko, tanda dan gejala, serta perencanaan intervensi keperawatan untuk menangani masalah tersebut sesuai standar praktik.
Penulis menganalisis asuhan keperawatan pada Ny. S dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran di Ruangan Asoka RS. Dr. Ernaldi Bahar Palembang menggunakan proses keperawatan komprehensif dimulai sejak tanggal 16 Maret 2023 sampai dengan 19 Maret 2023. Proses keperawatan dilakukan secara berkesinambnungan melalui 5 tahapan standar yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi keperawatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Muhith (2015) yang menyatakan bahwa standar praktik profesional mengacu pada proses keperawatan jiwa yang terdiri dari lima thaap standar yaitu pengkajian, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan (implementasi), dan evaluasi. Setelah melakukan pengkajian, maka ditetapkanlah core problem atau prioritas masalah dari masalah yang ada pada klien dan berkaitan erat dengan alasan masalah atau keluhan utama (Muhith, 2015). Berdasarkan pengkajian yang sudah penulis lakukan kepada Ny. S maka penulis menetapkan diagnosa gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran sebagai core problem. Hal ini dikarenakan masalah tersebut yang paling dirasakan klien dan perlu diatasi segera, mendominasinya tanda dan gejala yang muncul dan apabila tidak diatasi terlebih dahulu akan membuat halusinasi mengendalikan isi pikir klien serta memicu melakukan tindakan merugikan atau membahayakan seperti perilaku kekerasan. Pengkajian merupakan tahap awal proses keperawatan yang terdiri dari pengumpulan data, analisis data, dan perumusan masalah klien (Yusuf, Fitryasari, Nihayati, 2015). Perawat mengumpulkan data tentang kasus kesehatan klien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat, dan berkesinambungan dengan mengkaji klien secara holistik meliputi aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual (Muhith, 2015). Data pengkajian keperawatan jiwa terdiri dari identitas klien, alasan masuk, faktor predisposisi, masalah fisik, psikososial, status mental, kebutuhan persiapan pulang, dan mekanisme koping, masalah psikososial dan lingkungan, pengetahuan dan aspek medis (Yusuf, Fitryasari, Nihayati, 2015). Penulis melakukan pengkajian kepada Ny. S pada tanggal 16 Maret 2023. Hasil pengkajian yang dilakukan pada klien dengan halusinasi pendengaran di Ruang Asoka RS Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan didapatkan bahwa keluhan utama pada klien adalah klien mendengar bisikan- bisikan tanpa ada wujudnya seperti menyuruhnya untuk mondar mandir di ruangan, muncul saat dirinya sendirian duduk di kamar suara itu muncul 2 kali dengan durasi 8 detik dan saat mendengar suara-suara tersebut dirinya merasa gelisah. Selama wawancara klien kurang kooperatif saat diajak berbicara, kontak mata tidak ada, berbicara lambat, tidak bertenaga, tampak lesu, ekspresi tampak bingung, bicara seperlunya saja, mulut sering komat-kamit, klien tampak gelisah dan malas untuk melakukan aktivitas. Klien mudah mengalami perubahan suasana hati. Awal mula pembicaraan klien merasa tidak apa apa, tetapi sewaktu waktu disela pembicaraan klien merasa sedih seketika. Klien mengatakan sedih karena ditinggal suami. Keluarga klien mengatakan bahwa perilaku klien berubah yaitu keluar masuk rumah orang, menghasikan air dirumah orang, mengambil pakaian di jemuran orang, berbicara sendiri dan klien menghadang motor yang sedang lewat dijalan. Hal ini sejalan dengan Sutejo (2019), yang mengatakan bahwa tanda dan gejala halusinasi pendengaran yaitu klien mendengarkan suara atau kegaduhan, mendengarkan suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengar suara yang menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya, klien juga tampak bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, mengarahkan telinga ke arah tertentu, dan menutup telinga. Menurut Azizah (2016), tanda dan gejala halusinasi adalah berbicara, tertawa, dan tersenyum sendiri, bersikap seperti mendengarkan sesuatu, berhenti berbicara sesaat ditengah-tengah kalimat untuk mendengardakan sesuatu, disorientasi, tidak mampu atau kurang konsentrasi, cepat berubah pikiran, alur pikiran kacau, respon yang tidak sesaui, menarik diri, dan sering melamun. Berdasarkan tanda dan gejala yang terdapat pada klien adalah mendengarkan suara bisik-bisikan untuk menyuruh sesuatu yaitu mondar- mandir, klien berbicara sendiri dan mulut sering komat-kamit, menarik diri dengan tidak kooperatif saat diajak berbicara, kontak mata tidak ada, klien tampak gelisah, bicara lambat klien, dan klien cepat berubah pikiran atau perubahan suasana hati awalnya tidak apa-apa tiba-tiba merasa sedih karena ingat klien ditinggal suami. Saat dikaji, klien tidak pernah mengalami gangguan jiwa. Klien merupakan seorang pelayan di panti pijat. Klien merasa malu dan di pandang sebelah mata karena pekerjaannya. Klien sudah menikah 3 kali dan ditinggal oleh suaminya. Klien juga mengatakan bahwasanya ia menyesal bekerja di panti pijat namun demi orang tua klien rela dan klien menganggap bahwa dirinya selalu merasa sendiri dan tidak ada yang menyayanginya. Sejalan dengan faktor predisposisi yaitu faktor psikologis berupa kegagalan yang berulang, individu korban kekerasan dan kurang kasih sayang (Sutejo, 2019). Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan faktor penyebab klien mengalami skizofrenia adalah kegagalan membina rumah tangga sudah 3x menikah, dan merasa sendirian serta tidak ada yang menyayanginya. Hasil pengkajian juga menyatakan bahwa terdapat anggota keluarga klien ada yang mengalami gangguan jiwa yaitu ayah kandungnya yang masuk kerumah-rumah warga. Keluarga klien mengatakan terakhir klien menghadang motor dijalan. Hal ini menyatakan bahwa terdapat faktor predisposisi yaitu faktor biologis yang meliputi adanya faktor herediter gangguan jiwa dan adanya risiko bunuh diri pada klien, riwayat penyakit atau trauma pada klien, dan riwayat penggunaan NAPZA (Sutejo, 2019). Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan, faktor yang menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa adalah faktor biologis berupa faktor herediter dari ayahnya yang pernah gangguan jiwa dan klien mencoba bunuh diri dengan menghadang motor yang sedang lewat dijalan. Selain itu, klien pun tergolong dalam fase halusinasi fase 3 yaitu controlling (ansietas berat, pengalaman sensori berkuasa). Pada halusinasi fase ke 3 ini tingkat kecemasan klien menjadi berat, halusinasi tidak dapat ditolak lagi. Perilaku klien yang biasanya terjadi adalah mengikuti perintah halusinasi dan sulit berhubungan dengan orang lain (Sutejo, 2019). Menurut Azizah (2016), fase controlling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori menjadi berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik. Adapun karakteristiknya ialah bisikan, suara, isi halusinasi semakin mennjol, menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya dengan halusinasinya. Perilaku klien dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya berapa menit atau detik dengan tanpa fisik berupa berkeringat, tremor dan tidak mampu mematuhi perintah orang lain. Pada fase ini klien mengikuti apa yang disuruh dari bisikan tanpa wujud yang menyuruhnya untuk mondar mandir di ruangan. Klien mengatakan suara itu muncul saat dirinya sendirian duduk di kamar. Klien mengatakan hari ini suara itu muncul 2 kali dengan durasi 8 detik. Klien mengatakan saat mendengar suara-suara tersebut dirinya merasa gelisah. Adapun alasan klien masuk karena diantar oleh keluarga klien ke rumah sakit. Keluarga mengatakan perilaku klien berubah, klien sering keluar masuk rumah orang, menghabiskan air di rumah orang, mengambil pakaian di jemuran orang. Hasil temuan lain yang didapatkan adalah klien mengalami harga diri rendah. Menurut Maryatun (2016), harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri dengan faktor predisposisi salah satunya kegagalan yang berulang kali dan kurang mempunyai tanggung jawab personal serta faktor presipitasi berupa perasaan tidak mampu ketegangan peran yang dirasakan. Harga diri rendah pada klien dibuktikan dengan klien merasa malu dengan pekerjaannya, klien merasa tidak berguna bagi orang sekitarnya, dan klien mengatakan merasa sedih ditinggalkan suaminya. Kurangnya kontak mata karena klien melihat ke satu arah dan tidak mau/berminat melakukan kontak fisik dengan orang lain. Berdasarkan hasil pengkajian, diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada kasus Ny. S antara lain gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran, harga diri rendah, koping individu tidak efektif, isolasi sosial, defisit perawatan diri dan defisit pengetahuan. Namun, terjadinya halusinasi menjadi tanda dan gejala yang dominan sehingga penulis mengangkat diagnosa gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran sebagai diagnosa utama. Selanjutnya penulis melakukan perencanaan intervensi kepada klien kelolaan yaitu Ny. S dengan masalah halusinasi pendengaran dengan menggunakan strategi pelaksanaan (SP). Penerapan standar asuhan keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat yaitu membina hubungan saling percaya dengan cara komunikasi terapeutik dan penerapan strategi pelaksanaan dari halusinasi pendengar. Bina hubungan saling percaya (BHSP) berperan penting dalam proses penyembuhan dan perawatan klien gangguan jiwa. Tujuan bina hubungan saling percaya adalah klien dapat merasa nyaman dengan perawat, menimbulkan rasa percaya pada perawat, menangani dan merawat klien gangguan jiwa, sehingga klien dapat menceritakan masalah dan perasaan yang dialaminya, perawat dengan mudah menangani dan merawat klien gangguan jiwa, dan klien mampu memahami dan mengikuti arahan atau perintah dari perawat (Sumangkut, Boham, & Marentek, 2019). Kemudian strategi pelaksanaan (SP) tindakan keperawatan merupakan standar model pendekatan asuhan keperawatan untuk klien dengan gangguan jiwa, yang pada kasus kelolaan ini penulis melaksanakan SP halusinasi dengan tujuan klien mampu mengidentifikasi halusinasinya baik jenis, isi, frekuensi, waktu timbulnya halusinasi dan mengungkapkan perasaan terhadap halusinasinya. Selain itu, klien juga diajarkan cara mengontrol halusinasinya dengan cara menghardik halusinasi, bercakap-cakap, melakukan aktivitas yang terjadwal dan patuh minum obat. Klien mampu mengontrol halusinasi secara mandiri apabila ia melakukan latihan tersebut setiap hari dengan terjadwal, sehingga ketika halusinasi itu datang klien dapat mengontrol halusinasinya. Kemudian, jadwal yang telah ditetapkan bersama klien pun akan dievaluasi oleh perawat secara terus menurus hingga klien mampu melakukan latihan tersebut secara mandiri (Muhith, 2015). Pada tanggal 17 Maret 2023 penulis melakukan strategi pelaksanaan (SP) 1 yaitu bina hubungan saling percaya bersama klien kelolaan, mengidentifikasi halusinasi, dan mengontrol halusinasi dengan cara menghardik halusinasi. Menurut penulis untuk melakukan bina hubungan saling percaya bersama klien sedikit sulit dilakukan karena klien tidak kooperatif, kontak mata tidak ada, gelisah dan klien sering mondar-mandir. Walaupun beberapa kali klien terdistraksi dengan mondar mandir dan gelisah, tapi ketika penulis memanggil nama klien dan menanyakan kembali pertanyaan yang belum terjawab, klien mampu kembali menjawab. Penulis memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk mengidentifikasi halusinasi dan didapatkan hasil bahwa klien mengalami halusinasi pendengaran yang berisi ada suara-suara ditelinganya tanpa wujud dan suara itu menyuruhnya untuk mondar-mandir diruangan, suara-suara ini terdengar sebanyak 2 kali dengan durasi 8 detik saat klien sedang sendirian duduk dikamar. Setelah penulis mengidentifikasi halusinasi klien, penulis pun menanyakan kesediaan klien untuk mengajarkan cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik halusinasi. Menghardik halusinasi merupakan upaya untuk mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Ketika klien mengatakan ia bersedia, maka penulis pun melakukan kontrak kepada klien. Selanjutnya, klien diajarkan bagaimana cara menghardik halusinasi. Bimbingan teknik menghardik dilakukan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab tentang menghardik yang benar, simulasi, dan demonstrasi teknik menghardik yang benar. Metode ceramah dan tanya jawab dipilih karena diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran pada aspek kognitif dan afektif (sikap) melalui menanyakan pengetahuan dan kemampuan klien dalam mengenal halusinasi dan mengontrol halusinasinya. Sedangkan metode simulasi digunakan sebagai cara untuk memberi pemahaman mengenai teori atau keahlian tertun dengan cara menirukan. Lalu metode demonstrasi atau peragaan efektif dilakukan untuk memudahkan memahami apa yang telah disampaikan oleh perawat (Susilaningsih, Nisa, & Astia, 2019). Kemudian didapatkan hasil berupa klien mampu diajarkan cara menghardik halusinasi dan mengingat cara menghardik, dan dapat mempraktikkan cara menghardik. Namun klien belum mau untuk melakukannya sebagai latihan mandiri. Pada tanggal 18 Maret 2023, penulis melakukan SP 2 yaitu mengontrol halusinasi dengan teratur minum obat. Dalam hal ini, tidak didapatkan hambatan karena klien sudah menghapal obat-obatan yang minum dengan baik. Klien mampu menyebutkan nama obat, waktu minum obat, warna obat, dan jumlah obat yg diminum. Klien juga mengatakan apabila ia tidak meminum obat suara-suara tersebut akan semakin sering muncul dan mengganggunya, dan ketika klien meminum obat tersebut ia akan tampak tenang dan terkadang mengantuk. Kemudian, hasil evaluasi SP 1 pun didapatkan bahwa klien masih mengingat dan dapat mempraktikkan cara menghardik halusinasi. Pada pertemuan ke dua dan ke tiga klien sudah mengingat nama Penulis sehingga mempermudah penulis untuk melakukan SP selanjutnya atau intervensi dan melakukan evaluasi kepada klien, saat diobservasi klien mau bergabung melakukan interaksi dengan teman diruangan dan juga klien mengikuti semua kegiatan yang dilakukan bersama perawat, klien juga aktif bercerita dan bersosialisasi bersama penulis serta klien juga senang bernyanyi. Melihat adanya perkembangan yang cukup baik pada klien, penulispun melakukan kontrak untuk melakukan SP 3 kepada klien, pada tanggal 19 Maret 2023 dilakukanlah SP 3 untuk mengontrol halusinasi dengan cara bercakap- cakap dengan orang lain. Pada saat pengkajian klien tampak kooperatif saat diajak berbincang -bincang oleh penulis, klien masih sering berpindah-pindah tempat Saat diajak berbincang-bincang klien tampak tenang, tetapi masih terdistraksi dengan lingkungan sekitar dan suara-suara bisikan yang didengarnya, klien tampak bersemangat saat berbincang-bincang dengan perawat, klien dapat menerapkan cara menghardik saat suara bisikan itu muncul. Hasil Evaluasi pada klien dimana klien mengatakan masih mendengar suara-suara/bisikan-bisikan yang menyuruhnya untuk mondar-mandir di ruangan, klien mengatakan sudah minum obat secara teratur, klien mengatakan masih mengingat cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik dan minum obat secara teratur, klien mengaku sudah memasukkan cara mengontrol halusinasi yaitu dengan menghardik halusinasi dan minum obat secara teratur pada kegiatan sehari-sehari-hari, Klien mengatakan suara bisikannya mulai berkurang dan juga klien mengatakan akan memasukkan cara ketiga mengontrol halusinasi yaitu dengan bercakap-cakap dengan orang lain ke dalam kegiatan sehari-hari. Menurut (Sarahwati, 2019) keluarga harus dilibatkan dalam proses penyembuhan dari penderita gangguan halusinasi, tentu saja dengan perlunya pendidikan, bimbingan dan pelatihan sehingga dapat mengoptimalkan peran keluarga dalam merawat penderita gangguan halusinasi. Menurut Umam (2015) menyatakan bahwa dorongan motivasi dari lingkungan dan keluarga penting untuk membantu klien dalam mengontrol halusinasi klien karena dengan adanya dukungan dari orang orang sekitar klien merasa jika ia didukung dandipedulikan sehingga dapat meningkatkan keinginan klien untuk sembuh dan mengontrol halusinasinya. Kemudian pada tanggal 19 Maret 2023 diberikanlah SP 4 pada klien dengan kegiatan harian saat pengkajian klien tampak kooperatif saat diajak berbincang -bincang oleh penulis, klien tampak tenang saat diajak berbincang- bincang oleh penulis dan Klien tampak bersemangat saat berbincang-bincang dengan penulis. Hasil Evaluasi didapatkan klien mengatakan suara-suara/bisikan-bisikan tanpa wijudnya yang dia dengar mulai berkurang, klien mengatakan sudah bisa mengontrol halusinasi dengan cara menghardik dan minum obat secara teratur, klien mengatakan suara bisikannya berkurang saat dirinya mengobrol bersama teman sekamarnya. Klien mengatakan masih mengingat cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik, minum obat dan bercakap-cakap dengan orang lain, klien mengatakan suara bisikannya sudah mulai berkurang, klien mengatakan lebih senang melakukan aktivitas bercakap-cakap dengan orang lain saat bisikan itu muncul, klien dapat menyebutkan kegiatan yang dilakukannya dari pagi sampai malam, mulai dari bangun tidur, mandi, makan, senam, mengikuti kegiatan bersama di ruangan seperti berkumpul bersama, jalan santai, makan siang, tidur siang, minum obat dan tidur malam hari. Kristiadi, Rochmawati, dan Sawah (2015) menyatakan bahwa aktivitas terjadwal dapat membuat klien mampu memanajemen waktu yang sederhana dan menurunkan kejadian halusinasi karena kegiatan yang dijadwalkan berfungsi untuk menghidari klien menyendiri. Berdasarkan hasil evaluasi, Klien dapat melakukan semua strategi yang telah diberikan, SP 1,2,3 dan SP 4. Penulis tetap melanjutkan intervensi SP yang telah diberikan mengontrol dengan menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan aktivitas kegiatan harian dan teratur dalam minum obat. Penulis juga menganjurkan klien menerapkan latihan-latihan yang sudah diajarkan oleh penulis baik cara mengontrol halusinasi ataupun cara mengontrol emosi dan marahnya setelah klien pulang ke rumah. Referensi:
Apriana 2018). Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum
Obat Klien Dengan Halusinasi. Jurnal Keperawatan Jiwa. Volume 2, No. 2. November 93-99
Kristiadi, Y., Rochmawati, H. D., & Sawah. (2015). Pengaruh Aktivitas
Terjadwal Terhadap Terjadinya Halusinasi di RSJ Dr Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Keperawatan dan Kebidanan (JIKK)
Maryatun, S. (2016). Buju Ajar Keperawatan Jiwa 1. Palembang: Unsri Press.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: CV Andi Offset.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa: teori dan aplikasi. Yogyakarta:
Andi.
Sarahwati, D. Y. N. (2019) ‘Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan
Tingkat Kekambuhan pada Penderita Halusinasi di Wilyah Kerja Puskesmas Geger Kabupaten Madiun’, Nursing In Integrated Hearing Halusination Clients, 27(9), pp. 3505–3515.
Sumangkut, C. E., Boham, A, & Marentek E. (2019). Teknik Komunikasi Antar
Pribadi Perawat dengan Klien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Ratumbuysang Manado. Acta Diurna Komunikasi, 8(1).
Susilaningsih, I., Nisa., A. A., & Astia, N. K. (2019). Penerapan Strategi
Pelaksanaan: Teknik Menghardik Halusinasi pada Ny. T dengan Masalah Halusinasi Pendengaran. Jurnal Keperawatan, 5(2), 1-6.
Sutejo. (2019). Keperawatan Jiwa Konsep dan Praktik Asuhan Keperawatan
Jiwa: Gangguan Jiwa dan Psikososial. Yogyakarta: Pustaka Baru Press
Umam, R. (2015). Pelaksanaan Teknik Mengontrol Halusinasi: kemampuan klien
Skizofrenia Mengontrol Halusinasi. The Sun, 2(1). Yusuf, A. H., Fitryasari R., Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta Selatan: Salemba Medika.