Anda di halaman 1dari 110

Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia

BENTUK
DAN PILIHAN KATA

Drs. Mustakim, M.Hum.

Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan


Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Jakarta
2014
KATA PENGANTAR

Penggunaan bahasa Indonesia saat ini dalam kondisi


yang memprihatinkan. Di satu sisi, kita menyaksikan di
ruang-ruang publik bahasa Indonesia nyaris tergeser oleh
bahasa asing. Ruang publik yang seharusnya merupakan
ruang yang menunjukkan identitas keindonesiaan
melalui penggunaan bahasa Indonesia ternyata sudah
banyak disesaki oleh bahasa asing. Berbagai papan
nama, baik papan nama pertokoan, restoran, pusat-pusat
perbelanjaan, hotel, perumahan, iklan, maupun kain
rentang hampir sebagian besar tertulis dalam bahasa
asing.
Di sisi lain, mutu penggunaan bahasa Indonesia
dalam berbagai ranah, baik ranah kedinasan, pendidikan,
jurnalistik, ekonomi, maupun perdagangan, juga belum
membanggakan. Di dalam berbagai ranah tersebut,
campur aduk penggunaan bahasa masih terjadi. Berbagai
kaidah yang telah berhasil dibakukan dalam
pengembangan bahasa juga belum sepenuhnya
diindahkan oleh para pengguna bahasa.
Sementara itu, para pejabat negara, para
cendekia, dan tokoh masyarakat, termasuk tokoh publik,
yang seharusnya memberikan keteladanan dalam
berbahasa Indonesia ternyata juga belum dapat
memenuhi harapan masyarakat. Penghargaan kebahasaan
yang pernah diberikan kepada para tokoh masyarakat
tersebut tampaknya belum mampu memotivasi mereka
untuk memberikan keteladanan dalam berbahasa
Indonesia.
Berbagai persoalan tersebut menunjukkan bahwa
upaya pembinaan bahasa Indonesia pada berbagai
lapisan masyarakat masih menghadapi tantangan yang
cukup berat. Oleh karena itu, Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa—melalui Pusat Pembinaan dan
Pemasyarakatan—masih perlu bekerja keras untuk
membangkitkan kembali kecintaan dan kebanggaan
masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Upaya itu
ditempuh melalui peningkatan sikap positif masyarakat
terhadap bahasa Indonesia dan peningkatan mutu
penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai ranah.
Upaya itu juga dimaksudkan agar kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa nasional maupun
bahasa negara, semakin mantap di tengah terpaan
gelombang globalisasi saat ini.
Untuk mewujudkan itu, telah disediakan berbagai
bahan rujukan kebahasaan dan kesastraan, seperti (1)
pedoman ejaan, (2) tata bahasa baku, (3) pedoman
istilah, (4) glosarium, (5) kamus besar bahasa Indonesia,
dan (6) berbagai kamus bidang ilmu. Selain itu, juga
telah dilakukan berbagai kegiatan kebahasaan dan
kesastraan seperti pembakuan kosakata dan istiah,
penyusunan berbagai pedoman kebahasaan, dan
pemasyarakatan bahasa Indonesia kepada berbagai
lapisan masyarakat.
Terkait dengan kegiatan pemasyarakatan bahasa
Indonesia, terutama yang berupa penyuluhan bahasa,
juga telah disusun sejumlah bahan dalam bentuk seri
penyuluhan bahasa Indonesia. Salah satu di antaranya
adalah Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia: Bentuk dan
Pilihan Kata ini. Hadirnya buku seri penyuluhan ini
dimaksudkan sebagai bahan penguatan dalam
pelaksanaan kegiatan pemasyarakatan bahasa Indonesia
yang baik dan benar kepada berbagai lapisan
masyarakat.
Penerbitan buku ini tidak terlepas dari kerja keras
penyusun, yaitu Drs. Mustakim, M.Hum., dan
penyunting, Drs. Sriyanto, M.Pd. Untuk itu, kami
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
kepada yang bersangkutan.
Mudah-mudahan buku ini bermanfaat, baik bagi
masyarakat maupun penyuluh bahasa yang bertugas di
lapangan.

Jakarta, November 2014

Dra. Yeyen Maryani, M.Hum.


Kepala Pusat Pembinaan dan
Pemasyarakatan
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .............................. 1


1.1 Pengertian .......................................... 1
1.2 Bentuk Kata ........................................ 3
1.2.1 Kata Dasar ..................................... 4
1.2.2 Kata Berimbuhan ........................... 5
.
BAB II PROSES PEMBENTUKAN KATA ....... 7
2.1 Pengantar .......................................... 7
2.2 Pengimbuhan ‘................................... 7
2.2.1 Pembentukan Kata dengan Awalan ... 9
2.2.2 Pembentukan Kata dengan Akhiran.... 26
2.2.3 Pembentukan Kata dengan Sisipan..... 32
2.2.4 Pembentukan Kata dengan
Gabungan Imbuhan ......................... 33
2.3 Penggabungan Kata Dasar
dan Kata Dasar ............................... 36
2.4 Penggabungan Unsur Terikat
dan Kata Dasar……………………….. 40
2.5 Pengulangan ................................... 42
2.6 Pengakroniman................................. 42

BAB III PEMILIHAN KATA ........................ 44


3.1 Pengantar .......................................... 44
3.2 Kriteria Pemilihan Kata ...................... 46
3.2.1 Ketepatan ..................................... 46
3.2.2 Kecermatan..................................... 54
3.2.3 Keserasian .................................... 70
3.2.4 Pilihan Kata yang Tidak Tepat ........ 85

BAB IV PENUTUP ........................................ 98


4.1 Penegasan ................................... 98
4.2 Rekomendasi ............................... 99
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pengertian
Bahasa—sebagaimana kita ketahui—mempunyai
dua aspek, yaitu aspek bentuk dan aspek makna.
Aspek bentuk merujuk pada wujud audio atau
wujud visual suatu bahasa. Wujud audio dapat kita
ketahui dari bunyi-bunyi bahasa yang kita dengar,
sedangkan wujud visual berupa lambang-lambang
bunyi bersistem yang tampak jika bahasa itu
dituliskan. Sementara itu, aspek makna merujuk
pada pengertian yang ditimbulkan oleh wujud audio
atau wujud visual bahasa itu.
Sebagai gambaran, perhatikan contoh
berikut.
(1) Indonesia merupakan negara kepulauan
yang berbentuk republik.

Contoh (1) tersebut memperlihatkan wujud


visual suatu bahasa yang berbentuk kalimat.
Kalimat, dalam hal ini, adalah satuan bahasa yang
terdiri atas rangkaian beberapa kata yang
mengandung informasi (makna) relatif lengkap.
1
Kata-kata yang membentuk kalimat (1) terdiri atas
tujuh buah.
Dari tujuh kata pembentuk kalimat (1)
tersebut, empat kata di antaranya merupakan kata
yang utuh, dalam arti kata-kata itu belum mendapat
tambahan atau imbuhan apa pun, sedangkan tiga
kata yang lain merupakan kata yang sudah
berimbuhan. Ketujuh kata yang dimaksud adalah
sebagai berikut.
Indonesia (kata dasar)
merupakan (kata bentukan)
negara (kata dasar)
kepulauan (kata bentukan)
yang (kata dasar/penghubung)
berbentuk (kata bentukan)
republik. (kata dasar)

Kata-kata seperti Indonesia, negara, yang,


dan republik yang terdapat pada kalimat (1) lazim
disebut kata dasar. Sementara itu, tiga kata yang
lain, yaitu merupakan, kepulauan, dan berbentuk,
merupakan kata yang sudah mendapat tambahan
yang berupa imbuhan. Kata merupakan, misalnya,
dibentuk dari kata dasar rupa ditambah dengan
imbuhan meng-...-kan, kata kepulauan dibentuk dari
kata dasar pulau ditambah dengan imbuhan ke-...-an,
dan kata berbentuk dibentuk dari kata dasar bentuk
ditambah dengan imbuhan ber-. Karena sudah
dibentuk dengan menambahkan imbuhan, kata-kata
2
sejenis itu lazim disebut kata bentukan. Dengan
demikian, rangkaian kata yang membentuk kalimat
(1) terdiri atas empat kata dasar dan tiga kata
bentukan.
Sejalan dengan penjelasan di atas, bentuk
kata dapat diartikan sebagai wujud audio atau
wujud visual suatu kata yang digunakan dalam
suatu bahasa berikut proses pembentukannya.

1.2 Bentuk Kata


Dalam bahasa Indonesia secara umum bentuk kata
itu terdiri atas dua macam, yaitu kata dasar dan
kata bentukan. Kata dasar merupakan suatu kata
yang utuh dan belum mendapat imbuhan apa pun.
Dalam proses pembentukan kata, kata dasar dapat
diartikan sebagai kata yang menjadi dasar bagi
bentukan kata lain yang lebih luas. Dalam
pengertian ini, kata dasar lazim pula disebut sebagai
bentuk dasar, kata asal, dan ada pula yang
menyebutnya sebagai dasar kata. Terkait dengan
itu, untuk menghindari penyebutan yang berbeda-
beda, dalam buku ini kata yang menjadi dasar bagi
bentukan kata lain yang lebih luas disebut kata
dasar.
Berbeda dengan itu, kata bentukan
merupakan kata yang sudah dibentuk dari kata
dasar dengan menambahkan imbuhan tertentu.
Kata bentukan seperti ini lazim pula disebut dengan
beberapa istilah yang berbeda-beda, misalnya ada
3
yang menyebutnya sebagai kata turunan, kata
berimbuhan, dan ada pula yang menyebutnya kata
jadian. Sehubungan dengan itu, untuk menghindari
penggunaan istilah yang berbeda-beda, dalam buku
ini istilah yang digunakan adalah kata bentukan.
Kedua bentuk kata tersebut, baik kata dasar
maupun kata bentukan, akan dibahas lebih lanjut
pada bagian berikut.

1.2.1 Kata Dasar


Kata dasar selain dapat digunakan sebagai dasar
bagi bentukan kata lain yang lebih luas, dapat pula
digunakan tanpa ditambah dengan imbuhan apa
pun. Kalimat berikut, misalnya, dibentuk dengan
menggunakan kata dasar seluruhnya.

(2) Nanti siang Ratna akan pergi ke kampus.

Kalimat (2) terdiri atas tujuh kata, yaitu

(a) nanti,
(b) siang,
(c) Ratna,
(d) akan,
(e) pergi,
(f) ke, dan
(g) kampus.

4
Ketujuh kata yang membentuk kalimat (2) di
atas seluruhnya berupa kata dasar. Kata-kata
seperti itu dan beberapa kata lain yang tergolong
sebagai kata dasar sudah diketahui dan sudah
tersimpan di dalam memori para pengguna bahasa.
Oleh karena itu, jika akan digunakan, kata-kata
seperti itu tinggal dikeluarkan dari memori atau
ingatan. Dengan demikian, dalam berbahasa tidak
ada masalah jika informasi yang disampaikan
seluruhnya dinyatakan dalam bentuk kata dasar.
Oleh karena itu, bentuk kata yang berupa kata dasar
tidak akan dibahas lagi dalam buku ini. Masalah
yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikut
adalah kata bentukan karena bentuk kata yang
berupa kata bentukan ini relatif kompleks dan
banyak masalah.

1.2.2 Kata Bentukan


Seperti yang sudah disinggung pada bagian
sebelumnya, kata bentukan dalam penggunaan
bahasa relatif banyak masalah. Permasalahan yang
sering timbul terkait dengan kata bentukan itu
adalah masih banyak kata bentukan tidak benar
yang selama ini digunakan oleh masyarakat dalam
berbahasa, baik tulis maupun lisan. Atas dasar itu,
agar kesalahan serupa tidak terulang secara terus-
menerus, kata bentukan perlu dibahas lebih lanjut
pada bagian berikut.

5
Kata bentukan yang selama ini sering
digunakan dengan tidak benar, terutama, adalah
yang dibentuk dengan pengimbuhan, misalnya kata
merubah, merobah, mengetrapkan, mentrapkan,
menterapkan, perobahan, pengetrapan, pentrapan,
penglepasan, dan pengrusakan. Bentukan kata-kata
tersebut dikatakan tidak benar karena proses
pembentukannya tidak sesuai dengan kaidah yang
berlaku.
Jika dilihat di dalam kamus, khususnya kamus
bahasa Indonesia, kata robah dan rubah tidak akan
ada, kecuali rubah yang berarti ‘binatang sejenis
anjing’ (Canis vulpes). Kata yang akan kita jumpai di
dalam kamus adalah ubah, bukan rubah atau robah.
Kata dasar ubah jika ditambah dengan awalan
meng- bentukannya menjadi mengubah. Dengan
demikian, bentukan kata yang baku adalah
mengubah, bukan merubah atau merobah. Atas
dasar itu, kata dasar ubah jika diberi imbuhan per-
…-an, bentukannya menjadi perubahan, bukan
perobahan. Kemudian, jika kata dasar ubah itu
diberi awalan di-, bentukannya menjadi diubah,
bukan dirubah atau dirobah. Sejalan dengan itu,
bentukan dari kata dasar ubah, yang baku dan yang
tidak baku adalah sebagai berikut.

Baku Tidak Baku


mengubah merubah, merobah
diubah dirubah, dirobah
6
perubahan perobahan

Kata bentukan yang dimaksud dalam hal ini adalah


kata yang dibentuk dengan menambahkan imbuhan
pada kata dasar. Karena dibentuk dengan
menambahkan imbuhan, kata bentukan ini lazim
pula disebut sebagai kata berimbuhan.

BAB II
PEMBENTUKAN KATA

2.1 Pengantar
Pembentukan kata adalah proses membentuk kata
dengan menambahkan imbuhan atau unsur lain
pada kata dasar. Dalam bahasa Indonesia,
pembentukan kata dapat dilakukan dengan
menggunakan berbagai cara. Cara yang dimaksud
adalah sebagai berikut.

(1) Pengimbuhan
(2) Penggabungan kata dasar dan kata dasar
(3) Penggabungan unsur terikat dan kata
dasar
(4) Pengulangan
(5) Pengakroniman
7
Secara lengkap proses pembentukan kata dalam
bahasa Indonesia itu akan dibahas pada bagian
berikut.

2.2 Pengimbuhan
Pengimbuhan adalah proses pembentukan kata
dengan menambahkan imbuhan pada kata dasar.
Sehubungan dengan itu, imbuhan yang lazim
digunakan sebagai unsur pembentuk kata dalam
bahasa Indonesia, paling tidak, terdiri atas empat
macam, dan masing-masing diberi nama sesuai
dengan posisinya pada suatu kata.
Pertama, imbuhan yang terletak pada awal
kata lazim disebut awalan (prefiks). Kedua, imbuhan
yang terletak pada akhir kata lazim disebut akhiran
(sufiks). Ketiga, imbuhan yang terletak pada tengah
kata lazim disebut sisipan (infiks). Keempat,
imbuhan yang terletak pada awal kata dan akhir
kata sekaligus lazim disebut gabungan imbuhan
(konfiks). Beberapa contoh imbuhan itu dapat
diperhatikan di bawah ini.
a. Awalan
meng- menulis, melamar, memantau
di- ditulis, dilamar, dipantau
peng- penulis, penyanyi, peramal
ber- berkebun, bermain, bermimpi
ter- terpaksa, terpadu, tersenyum
se- serupa, senada, seiring

8
b. Akhiran
-an tulisan, tatapan, tantangan
-i temui, sukai, pandangi
-kan tumbuhkan, sampaikan, umumkan

c. Sisipan
-el- geletar, geligi, gelantung
-em- gemuruh, gemetar
-er- gerigi

d. Gabungan Imbuhan
meng-...-kan menemukan, meratakan
meng-...-i memandangi,
mengunjungi
peng-...-an pendidikan, pemandian
ke-...-an kehujanan, kemajuan
se-...-nya seandainya, sebaiknya
per-...-an peraturan, persimpangan

2.2.1 Pembentukan Kata dengan Awalan


Di antara beberapa awalan yang dapat digunakan
sebagai pembentuk kata dalam bahasa Indonesia,
meng- dan peng- merupakan awalan yang paling
banyak menimbulkan masalah. Dikatakan
demikian karena awalan itu dapat mengalami
perubahan bentuk jika digabungkan dengan kata
dasar yang berawal dengan fonem tertentu.
Awalan meng-, misalnya, dapat berubah bentuknya
menjadi me-, meny-, men-, mem-, dan menge-.
9
Begitu pula halnya dengan awalah peng-. Seperti
awalan meng-, awalan peng- juga dapat berubah
menjadi pe-, peny-, pen-, pem-, dan penge-.

a. Perubahan Awalan Meng- dan Peng-


Secara ringkas, perubahan awalan meng- dan peng-
tersebut, baik disertai akhiran maupun tidak, dapat
dirangkum dalam ketentuan sebagai berikut.

(1) Awalan meng- dan peng- berubah menjadi


me- dan pe- jika dirangkaikan dengan kata
dasar yang berawal fonem /r, l, m, n, w, y, ng,
ny/.
Misalnya:
meng-/peng- + rawat merawat, perawat
meng-/peng- + lamar melamar, pelamar
meng-/peng- + minum meminum, peminum
meng-…-i + nama menamai
peng-…-an + nama penamaan
meng-…-i + waris mewarisi
peng- + waris pewaris
meng-…-kan + yakin meyakinkan
peng-…-an + yakin peyakinan
meng- + nganga menganga
meng-/peng - + nyanyi menyanyi, penyanyi

(2) Awalan meng- dan peng- berubah menjadi mem-


dan pem- jika dirangkaikan dengan kata dasar
yang berawal dengan fonem /p, b, f, v/.
10
Misalnya:
meng-/peng - + pandu memandu, pemandu
meng-/peng - + bawa membawa, pembawa
meng-/peng - + fitnah memfitnah, pemfitnah
meng-/peng - + vonis memvonis, pemvonis

(3) Awalan meng- dan peng- berubah menjadi men-


dan pen- jika dirangkaikan dengan kata dasar
yang berawal dengan fonem /t, d, c, j, z, sy/.
Misalnya:
meng-/peng - + tuduh menuduh, penuduh
meng-/peng - + dakwah mendakwah, pendakwah
meng-/peng - + curi mencuri, pencuri
meN-/peN- + jual menjual, penjual
meng-…-i + ziarah menziarahi
peng- + ziarah penziarah
meng-…-i + syukur mensyukuri
peng-…-an + syukur pensyukuran

(4) Awalan meng- dan peng- tetap menjadi meng-


dan peng- jika dirangkaikan dengan kata dasar
yang berawal dengan fonem /k, g, h, kh, dan
vokal/.
Misalnya:
meng-/peng- + karang mengarang, pengarang
meng-/peng- + ganggu mengganggu, penggangu
meng-/peng- + hasut menghasut, penghasut
meng-/peng- + khitan mengkhitan, pengkhitan
meng-/peng- + atur mengatur, pengatur
11
meng-/peng- + ekor mengekor, pengekor
meng-/peng- + inap menginap, penginap
meng-…-i + obat mengobati
peng-…-an + obat pengobatan
meng-/peng - + ukur mengukur, pengukur

(5) Awalan meng- dan peng- berubah menjadi


meny- dan peny- jika dirangkaikan dengan kata
dasar yang berawal dengan fonem /s/.
Misalnya:

meng-/peng- + sayang menyayang,penyayang


meng-/peng- + sapa menyapa, penyapa
meng-/peng- + sulap menyulap, penyulap
meng-/peng- + sikat menyikat, penyikat

(6) Awalan meng- dan peng- berubah menjadi


menge- dan penge- jika dirangkaikan dengan
kata dasar yang hanya terdiri atas satu suku
kata.
Misalnya:
meng-/peng- + cat mengecat, pengecat
meng-/peng- + bom mengebom, pengebom
meng-/peng- + las mengelas, pengelas
meng-/peng- + pel mengepel, pengepel
meng-/peng - + cek mengecek, pengecek
meng-/peng- + tes mengetes, pengetes

12
(7) Fonem /k, p, t, s/ pada awal kata dasar luluh
jika mendapat awalan meng- dan peng-.
Misalnya:
meng-/peng- + kikis mengikis, pengikis
meng-/peng- + pukul memukul, pemukul
meng-/peng- + tukar menukar, penukar
meng-/peng- + suntik menyuntik, penyuntik

Perubahan dan peluluhan dalam proses


pembentukan kata tersebut terjadi karena fonem-
fonem yang bersangkutan, baik fonem nasal
maupun fonem lain pada awal kata dasar, meng-
alami proses nasalisasi, yaitu proses penyesuaian
fonem (bunyi) dengan fonem-fonem yang homorgan
atau sebunyi. Jadi, proses nasalisasi dan asimilasi
bunyi itulah yang menyebabkan timbulnya perubah-
an dan peluluhan.
Meskipun kaidahnya sudah jelas seperti itu,
dalam kenyataan berbahasa masih ditemukan
kata-kata bentukan yang bentuknya menyimpang
dari kaidah. Beberapa kata bentukan dengan
awalan meng- (-kan) dan peng- (-an) yang
pembentukannya tidak sesuai dengan kaidah,
antara lain, adalah mengetrapkan, mentrapkan,
menterapkan, pengetrapan, pentrapan, penglepasan,
dan pengrusakan. Bentukan kata tersebut dikatakan
tidak tepat karena proses pembentukannya tidak
sesuai dengan kaidah yang berlaku.

13
Agar dapat membentuk kata dengan benar dan
mampu mengecek kebenaran bentukan kata, selain
harus memahami proses pengimbuhan, kita juga
dituntut untuk lebih “akrab” dengan kamus. Dengan
menggunakan sebuah kamus, kita dapat mengecek
kata dasar dari bentukan kata itu yang benar.
Jika dilihat di dalam kamus, khususnya kamus
bahasa Indonesia, kata dasar trap dirujuksilangkan
(crossed reference) pada terap. Hal itu berarti bahwa
kata dasar yang baku adalah terap, bukan trap.
Oleh karena itu, jika ditambah dengan
gabungan imbuhan meng-…-kan, bentukannya yang
benar menjadi menerapkan, bukan mengetrapkan,
mentrapkan, atau menterapkan karena fonem /t/
pada awal kata dasar itu luluh jika mendapat
imbuhan meng-, baik diikuti akhiran maupun tidak.
Begitu juga, jika ditambah dengan gabungan
imbuhan peng-…-an, bentukannya yang benar
adalah penerapan, bukan pengetrapan, pentrapan,
atau penterapan. Dengan demikian, secara singkat,
bentukan kata itu dapat dirangkum sebagai berikut.

Baku Tidak Baku


menerapkan mengetrapkan,
mentrapkanmenterapkan
penerapan pengetrapan, pentrapan
penterapan

14
Kata penglepasan oleh pemakai bahasa sering
pula digunakan di samping kata pelepasan, tetapi
keduanya diberi arti yang berbeda. Kata
penglepasan umumnya diberi makna ‘proses,
tindakan, atau hal melepaskan’, sedangkan
pelepasan diberi makna ’anus’.
Kalau ditinjau dari segi kata dasarnya, kedua
kata tersebut sebenarnya dibentuk dengan imbuhan
dan dasar yang sama, yaitu peng-..-an + lepas.
Sejalan dengan kaidah, imbuhan peng- berubah
menjadi pe- jika dirangkaikan dengan kata dasar
yang berawal dengan /l/. Oleh karena itu,
bentukannya yang tepat adalah pelepasan, bukan
penglepasan. Masalah kata itu mempunyai dua
makna yang berbeda sebenarnya tidak perlu
dipersoalkan karena konteks pemakaiannya akan
menentukan makna mana yang dimaksud. Jadi,
untuk membedakan makna itu, pemakai bahasa
tidak perlu membentuk kata itu dengan
menyimpangkannya dari kaidah.
Berbeda dengan hal tersebut, kata perusakan
dan pengrusakan tidak digunakan untuk
menyatakan makna yang berbeda, demikian pula
halnya dengan kata perajin dan pengrajin. Kata
dasar dari kedua pasang kata tersebut, kita tahu,
berawal dengan fonem /r/. Dalam kaitan itu, jika
dirangkaikan dengan kata dasar yang berawal
dengan /r/, awalan peng- berubah menjadi menjadi
pe-. Atas dasar itu, bentukan kata-kata tersebut yang
15
tepat adalah perusakan dan perajin, bukan
pengrusakan dan pengrajin. Bandingkan dengan
kata-kata lain, seperti perawat, perawatan, perumus,
dan perumusan. Jadi, bentukan kata-kata tersebut,
yang baku dan yang tidak baku, dapat dirangkum
seperti berikut.

Baku Tidak Baku


pelepasan penglepasan
perusak pengrusak
perusakan pengrusakan
perajin pengrajin

Masalah berikutnya, kata menterjemahkan,


mengkaitkan, menyolok, dan memroduksi
bentukannya juga tidak tepat. Kata menterjemahkan,
termasuk di dalamnya kata mentaati, dan
mengkaitkan bentuk dasarnya masing-masing
adalah terjemah, taat, dan kait. Menurut kaidah,
fonem /t/ dan /k/, seperti halnya /p/ dan /s/, pada
awal kata dasar mengalami peluluhan jika di-
rangkaikan dengan imbuhan meng- (dan peng), baik
disertai akhiran maupun tidak. Oleh karena itu,
bentukan kata-kata itu yang tepat adalah
menerjemahkan, menaati, dan mengaitkan, bukan,
menterjemahkan, mentaati, dan mengkaitkan.
Bandingkan dengan contoh lain di bawah ini.

meN- + tatap menatap


16
meN- + tulis menulis
meng- + kupas mengupas
meng- + potong memotong
meng- + silang menyilang
meng- + suluh menyuluh

Bentukan kata menyolok, juga menyontoh, dan


menyubit, dalam hal ini juga tidak tepat karena
bentuk dasar kata-kata itu adalah colok, contoh, dan
cubit, yang masing-masing berawal dengan fonem
/c/. Dalam bahasa Indonesia, fonem /c/ pada awal
kata dasar tidak luluh jika dirangkaikan dengan
awalan meng-. Dengan demikian, bentuk kata-kata
tersebut yang tepat adalah mencolok, mencontoh,
dan mencubit, bukan menyolok, menyontoh, dan
menyubit. Beberapa contoh lain dapat diperhatikan
di bawah ini.
meng- + cuci mencuci
meng-…-i + campur mencampuri
meng-…-i + cinta mencintai
meng- + cemooh mencemooh

Gugus konsonan /pr/, /st/, /sk/, /tr/, /sp/,


/kr/, dan /kl/pada awal kata dasar juga tidak luluh
jika dirangkaikan dengan awalan meng-. Beberapa
contohnya dapat diperhatikan di bawah ini.

meng- + produksi memproduksi


meng- + protes memprotes
17
meng- + proses memproses
meng-…-kan + stabil menstabilkan
meng-…-kan + skema menskemakan
meng- + tradisi mentradisi
meng-…-i + sponsor mensponsori
meng-... + kritik mengkritik
meng- + klasifikasi mengklasifikasi

Fonem /k/, /p/, /t/, dan /s/ pada gugus


konsonan tersebut tidak luluh apabila mendapat
imbuhan, baik meng- maupun peng-, kecuali fonem
awal /p/ jika mendapat imbuhan peng-. Dalam hal
ini, jika mendapat imbuhan meng-, fonem /p/ pada
gugus konsonan /pr/ tidak luluh, tetapi jika
mendapat imbuhan peng- fonem /p/ itu luluh.
Misalnya:
meng- + proses memproses
meng- + produksi memproduksi
peng- + proses pemroses
peng- + produksi pemroduksi

Peluluhan fonem /p/ pada awal kata yang berupa


gugus konsonan didasarkan pada pertimbangan
kemudahan dalam pelafalan. Dalam hal ini, kata
pemroduksi dan pemroses, misalnya, dipandang
lebih mudah dilafalkan daripada pemproduksi dan
pemproses. Atas dasar itu, peluluhan fonem /p/
pada gugus konsonan /pr/ yang mendapat imbuhan
peng- menjadi pengecualian dari kaidah.
18
b. Perubahan Awalan ber-
Selain awalan meng- dan peng-, awalan ber- juga
dapat berubah sesuai dengan lingkungan bunyi yang
dimasukinya. Dalam hal ini, awalan ber- dapat
berubah menjadi be- dan bel- atau tetap menjadi ber-.
Awalan ber- berubah menjadi be- jika digabungkan
dengan kata dasar yang berawal dengan fonem /r/ atau
kata dasar yang suku kata pertamanya mengandung
bunyi [er]. Awalan ber- berubah menjadi bel- jika
digabungkan dengan kata dasar ajar, dan awalan ber-
tetap menjadi ber- jika digabungkan dengan kata dasar
selain yang telah disebutkan itu
Misalnya:

ber- + roda beroda


ber- + rasa berasa
be- ber- + kerja bekerja
ber- + ternak beternak
ber- bel- ber- + ajar belajar

ber- ber- + kabung berkabung


ber- + tanya bertanya
19
c. Perubahan Awalan per-
Seperti halnya awalan ber-, awalan per- juga dapat
berubah menjadi pe- dan pel- atau tetap menjadi per-.
Dalam hal ini, awalan per- berubah menjadi pe- jika
digabungkan dengan kata yang mempunyai pertalian
bentuk dengan kata lain yang berawalan ber- atau jika
digabungkan dengan kata yang berawal dengan fonem
/r/. Selain itu, awalan per- berubah menjadi pel- jika
digabungkan dengan kata dasar ajar; dan awalan per-
tidak berubah jika digabungkan dengan kata dasar
tapa dan tanda.
Misalnya:

per- per- + tapa pertapa


- per- + tanda pertanda
per- pel- per- + ajar pelajar
pe- per- + tinju petinju
per- + tani petani
per- + rasa perasa

d. Perubahan Awalan ter-


Berbeda halnya dengan awalan ber-, awalan ter-
hanya dapat berubah menjadi te- jika digabungkan
dengan kata dasar yang berawal dengan fonem /r/ atau
suku kata pertamanya mengandung bunyi [er].
Awalan ter- tetap menjadi ter- jika digabungkan
dengan kata dasar yang lain.
20
Misalnya:

ter- + rasa terasa


te- ter- + rekam terekam
ter- ter- + raba teraba
ter- ter- + indah terindah
ter- + tanam tertanam

Sehubungan dengan awalan ter-, dalam bahasa


Indonesia ada orang yang sering memakai kata
bentukan yang berawalan ke- sebagai padanan kata
yang berawalan ter-. Contohnya tampak pada
kalimat berikut.

(1) Ketika menyeberang rel, ia nyaris ketabrak


kereta api.
(2) Bangunan itu roboh karena ketimpa pohon.

Bentukan kata ketabrak dan ketimpa pada


kedua kalimat itu merupakan bentukan kata yang
tidak baku karena bentukan kata itu berstruktur
bahasa daerah. Bentukannya yang baku dalam
bahasa Indonesia adalah dengan menggunakan im-
buhan ter- sehingga bentukan kedua kata itu
menjadi tertabrak dan tertimpa, bukan ketabrak dan
ketimpa.
Beberapa kata lain yang sepola dengan itu,
antara lain, adalah ketubruk, kesandung, ketinggal,

21
dan ketangkap. Bentukan yang baku untuk kata-kata
tersebut adalah sebagai berikut.

Baku Tidak Baku


tertubruk ketubruk
tertabrak ketabrak
tersandung kesandung
tertimpa ketimpa
tertinggal ketinggal
tertangkap ketangkap

e. Analogi
Sehubungan dengan pembentukan kata dengan
awalan, akhir-akhir ini timbul beberapa bentukan
kata baru, umumnya dalam bidang olah raga, yang
kemudian disebarluaskan pemakaiannya oleh media
massa, baik media cetak maupun media elektronik.
Beberapa bentukan kata baru yang dimaksud adalah
seperti berikut.
pegolf
pecatur
pebulu tangkis
pesepak bola
petenis
pejudo

Bentukan kata-kata yang menyatakan ‘profesi’


tersebut tampaknya dianalogikan dengan bentukan
kata petinju.
22
Jika dilihat dari proses pembentukannya, kata
petinju tidak dibentuk dari imbuhan peng-, yang
paralel dengan meng-, dan kata dasar tinju, tetapi
dibentuk dari imbuhan per-, yang paralel dengan
ber-, dan kata dasar tinju sehingga menjadi petinju.
Apabila dibentuk dari imbuhan peng- dan kata dasar
tinju, bentukannya bukan menjadi petinju,
melainkan menjadi peninju.
Kata peninju berkaitan dengan tindakan
‘meninju’, sedangkan petinju berkaitan dengan
tindakan ‘bertinju’ sehingga kalau kita gambarkan
tampak seperti di bawah ini.

meninju peninju

tinju

bertinju petinju

Kata peninju berarti ‘orang yang meninju’,


sedangkan petinju berarti ‘orang yang profesinya
bertinju’. Timbulnya pembedaan kata peninju dan
petinju tampaknya disebabkan oleh keinginan
pemakai bahasa untuk membedakan antara makna
‘profesi’ dan ‘bukan profesi’. Pembedaan itu dari
segi kaidah bahasa tidak salah karena kedua kata
tersebut memang dibentuk melalui proses yang

23
berbeda, lain halnya dengan kata pelepasan dan
penglepasan.
Dengan beranalogi pada bentukan kata petinju
itu, untuk menyatakan profesi-profesi tertentu
dalam bidang olah raga, pemakai bahasa kemudian
menciptakan bentukan kata-kata baru seperti
pegolf, pecatur, pebulu tangkis, pesepak bola, petenis,
dan pejudo. Kreativitas ini tentu merupakan
perkembangan yang menarik dalam bahasa
Indonesia.
Sebagai kata yang digunakan untuk
menyatakan makna ‘profesi’, kata-kata tersebut
mengandung arti sebagai berikut.
pegolf ‘orang yang profesinya bermain golf’
pecatur ‘orang yang profesinya bermain catur’
pebulu tangkis ‘orang yang profesinya bermain
bulu tangkis’
pesepak bola ‘orang yang profesinya bermain
sepak bola’
petenis ‘orang yang profesinya bermain tenis’
pejudo ‘orang yang profesinya bermain judo’

Jika konsisten dengan tujuan pembentukan


kata tersebut, untuk menyatakan ‘orang yang
sekadar menyukai permainan/olah raga itu’ (bukan
sebagai profesi) sebaiknya kita tidak menggunakan
kata-kata tersebut. Sebagai penggantinya, kita dapat
menggunakan ungkapan seperti pemain tenis, pe-

24
main golf, pemain catur, pemain bulu tangkis, pemain
sepak bola, dan pemain judo.
Dalam bahasa Indonesia sebenarnya ada
bentukan kata yang sudah relatif lama, yang dapat
digunakan untuk menyatakan profesi, yaitu
bentukan kata dengan imbuhan peng-, misalnya
penari, penyanyi, peramal, dan penyihir. Hanya saja,
perbedaannya ada, yakni bahwa kata-kata itu selain
dapat digunakan untuk menyatakan ‘profesi’, dapat
pula digunakan untuk menyatakan ‘orang yang
sekadar dapat melakukan tindakan itu, tetapi bukan
sebagai profesi’. Bentukan kata jenis ini pun, yang
berasal dari imbuhan peng-, masih mempunyai
potensi digunakan untuk menyatakan profesi,
misalnya pelaut dan penambak (udang)
sebagaimana yang akhir-akhir ini sering digunakan.

f. Pertalian Bentuk
Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan
sebelumnya, baik pada pembahasan tentang
perubahan awalan meng- dan peng-, perubahan
awalan ber- dan per-, maupun pada pembahasan
tentang bentuk analogi, dalam pembentukan kata
terdapat pertalian bentuk antara awalan peng- dan
meng- serta awalan per- dan ber-. Perhatikan
contohnya pada bentukan kata pengembangan dan
perkembangan.

25
Kata pengembangan, yang dibentuk dari
kata dasar kembang dan imbuhan peng- ... –an,
bertalian dengan kata mengembangkan, yang
dibentuk dari kata dasar kembang dan imbuhan
meng- ... –kan. Begitu pula, kata perkembangan,
yang dibentuk dari kata dasar kembang dan
imbuhan per- ... –an, bertalian dengan berkembang,
yang dibentuk dari kata dasar kembang dan
imbuhan ber. Berkenaan dengan itu, kata
pengembangan bermakna ‘proses
mengembangkan’, sedangkan perkembangan
bermakna ‘hal berkembang’. Dengan kata lain,
pengembangan berkaitan dengan perbuatan
mengembangkan, sedangkan perkembangan
berkaitan dengan perbuatan/keadaan berkembang.
Jika dibagankan, proses pembentukan kata itu
tampak seperti berikut.

mengembangkan Pengembangan

Kembang

berkembang
Perkembangan

Pertalian bentuk seperti itu pula yang


memunculkan bentukan kata pemukiman dan
26
permukiman. Kata pemukiman bermakna ‘proses
memukimkan’, sedangkan permukiman bermakna
‘tempat bermukim’. Dengan demikian, kata
pemukiman bertalian dengan perbuatan
memukimkan, sedangkan permukiman bertalian
dengan perbuatan bermukim.
Pertalian bentuk antara awalan peng- dan
meng- serta awalan per- dan ber- seperti yang
dicontohkan di atas juga berlaku bagi kata-kata
lain yang dibentuk dengan imbuhan tersebut.

2.2.2 Pembentukan Kata dengan Akhiran


Akhiran dalam bahasa Indonesia sebagaimana
telah disebutkan di atas adalah –an, -kan, dan –i.
Pembentukan kata dengan akhiran itu relatif tidak
banyak masalah. Yang sering menimbulkan
masalah justru pembentukan kata dengan akhiran
yang berasal dari bahasa asing, misalnya –isasi.
Imbuhan –isasi yang sering digunakan dalam
bahasa Indonesia berasal dari –isatie (Belanda) atau
–ization (Inggris). Imbuhan itu sebenarnya tidak
diserap ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun
demikian, imbuhan itu ada dalam pemakaian bahasa
kita karena diserap secara bersama-sama dengan
bentuk dasarnya. Sebagai gambaran, perhatikan
contoh berikut.

modernisatie, modernization modernisasi


normalisatie, normalization normalisasi
27
legalisatie, legalization legalisasi
neutralisatie, neutralization netralisasi

Contoh tersebut memperlihatkan bahwa


imbuhan –isasi tidak diserap secara terpisah atau
tersendiri, tetapi diserap secara utuh beserta bentuk
dasar yang dilekatinya. Oleh karena itu, dapat
dipahami bahwa dalam bahasa Indonesia kata
modernisasi, misalnya, tidak dibentuk dari kata
modern dan imbuhan –isasi, tetapi kata itu diserap
secara utuh dari kata asing modernisatie atau
modernization.
Karena tidak diserap ke dalam bahasa
Indonesia, imbuhan –isasi tidak selayaknya
digunakan sebagai pembentuk kata baru.
Sungguhpun demikian, para pemakai bahasa
tampaknya kurang menyadari hal itu. Mereka
umumnya tetap beranggapan bahwa –isasi
merupakan imbuhan yang dapat digunakan dalam
bahasa Indonesia. Akibatnya, muncul beberapa
bentukan kata baru yang menggunakan imbuhan
itu, misalnya turinisasi, lelenisasi, lamtoronisasi,
hibridanisasi, rayonisasi, neonisasi, dan pompanisasi.
Tepatkah bentukan kata-kata semacam itu?
Sejalan dengan kebijakan bahasa kita, unsur
asing yang ada padanannya dalam bahasa Indonesia
tidak diserap. Hal itu karena dapat mengganggu
perkembangan bahasa Indonesia. Sesuai dengan
kebijakan itu, sebenarnya ada imbuhan dalam
28
bahasa Indonesia yang dapat digunakan sebagai
pengganti imbuhan asing –isasi, yaitu imbuhan
peng-….-an. Dengan penggantian itu, kata
modernisasi, legalisasi, normalisasi, dan netralisasi,
misalnya, dapat diubah menjadi pemodernan, penor-
malan, pelegalan, dan penetralan, seperti yang
tampak pada daftar berikut.
modernisasi pemodernan
normalisasi penormalan
legalisasi pelegalan
netralisasi penetralan

Dengan cara yang serupa, bentukan kata setipe


turinisasi lebih tepat jika diubah menjadi seperti
berikut.
turinisasi penurian
lamtoronisasi pelamtoroan
lelenisasi pelelean
hibridanisasi penghibridaan
sengonisasi penyengonan
rayonisasi perayonan

Jika bentukan kata dengan imbuhan peng-…-an


itu dianggap kurang “pas” atau kurang tepat, kita
dapat memanfaatkan kosakata bahasa Indonesia
yang lain untuk menyatakan pengertian yang sama,
misalnya dengan menggunakan ungkapan
pembudidayaan. Istilah itu dewasa ini sudah sering
digunakan dalam pemakaian bahasa Indonesia,
29
dengan makna ‘proses atau tindakan membudi-
dayakan’, misalnya pembudidayaan udang, yang ber-
arti ‘proses atau tindakan membudidayakan udang’.
Jadi, untuk menyatakan makna itu, kita tidak perlu
membentuk atau menciptakan kata udangisasi.
Sejalan dengan hal itu, kata-kata yang disebut-
kan di atas dapat dinyatakan dengan ungkapan di
bawah ini.
Misalnya:
pembudidayaan turi
pembudidayaan lamtoro
pembudidayaan lele
pembudidayaan hibrida
pembudidayaan sengon

Dengan demikian, kita tidak perlu mengguna-


kan bentukan kata turinisasi, lamtoronisasi,
hibridanisasi, dan sengonisasi.
Kata rayonisasi dan sejenisnya, yang tidak
termasuk tanaman atau hewan, tidak tepat jika
diganti dengan pembudidayaan karena rayon tidak
termasuk jenis tanaman atau hewan yang dapat
dibudidayakan. Oleh karena itu, imbuhan –isasi pada
rayonisasi lebih tepat jika diganti dengan imbuhan
peng-…-an sehingga bentukannya menjadi
perayonan, yang berarti ‘hal merayonkan’ atau
‘proses membuat jadi rayon-rayon (tertentu)’.
Sementara itu, kita pun dapat memanfaatkan
ungkapan seperti usaha pemasangan ... Sebagai
30
pengganti –isasi yang terdapat pada kata neonisasi,
pompanisasi, dan listrikisasi, misalnya. Dengan
demikian, kata-kata itu dapat dinyatakan dengan
ungkapan berikut.
neonisasi usaha pemasangan neon
pompanisasi usaha pemasangan pompa
listrikisasi usaha pemasangan listrik

Selain imbuhan –isasi, imbuhan asing –ir juga


masih cukup banyak digunakan oleh pemakai
bahasa, seperti yang tampak pada kata koordinir,
publisir, legalisir, proklamir, dan manipulir. Pemakai-
an imbuhan asing itu juga tidak tepat karena
penyerapannya dari bahasa Belanda tidak dilakukan
secara benar. Oleh karena itu, disarankan agar
imbuhan tersebut tidak digunakan dalam bahasa
Indonesia. Sebagai penggantinya, kita dapat
menggunakan unsur serapan yang berasal dari
bahasa Inggris, seperti yang terdapat pada contoh
berikut.
koordinir koordinasi
publisir publikasi
legalisir legalisasi
proklamir proklamasi
produsir produksi
manipulir manipulasi
Imbuhan –wan dan –man semula juga berasal
dari bahasa asing, yakni bahasa Sanskerta. Namun,
kehadiran imbuhan itu telah diterima di dalam
31
bahasa Indonesia sebagai pembentuk kata yang
menyatakan ‘orang’.
Dalam pembentukan kata, imbuhan –man
lazimnya digunakan pada bentuk dasar yang
berakhir dengan vokal/i/.
Misalnya:
budi + -man budiman
seni + -man seniman

Berbeda dengan itu, imbuhan –wan lazim


digunakan pada bentuk dasar yang berakhir dengan
vokal-vokal yang lain. Namun, karena lebih
produktif, tidak tertutup kemungkinan bahwa
imbuhan –wan juga dapat digunakan pada bentuk
dasar yang berakhir dengan vokal /i/.
Misalnya:
drama + -wan dramawan
karya + -wan karyawan
warta + -wan wartawan
rohani + -wan rohaniwan

Kedua imbuhan tersebut, baik –man maupun –


wan, dalam bahasa Indonesia sebenarnya digunakan
dalam pengertian yang netral, tidak membedakan
jenis kelamin. Artinya, bentukan kata itu dapat
digunakan untuk menyatakan jenis kelamin laki-laki
ataupun perempuan. Sungguhpun demikian, ada
kecenderungan pemakai bahasa untuk
menggunakan imbuhan –man dan –wan sebagai
32
penanda jenis kelamin laki-laki, sedangkan jenis
kelamin wanita dinyatakan dengan imbuhan –wati.
Oleh karena itu, bentukan kata yang disebutkan di
atas berpasangan dengan bentukan kata di bawah
ini.
Misalnya:
seniman seniwati
dramawan dramawati
karyawan karyawati
wartawan wartawati

Jika dibangdingkan dengan imbuhan –man,


imbuhan –wan jauh lebih produktif. Dalam bahasa
Indonesia imbuhan ini mempunyai potensi yang
cukup besar sebagai pembentuk kata baru.
Misalnya, alih-alih menggunakan istilah asing
physician (physicist), mathematician, dan
cameraman, kita dapat menggunakan bentukan kata
baru dengan imbuhan –wan seperti berikut.

Physicist fisikawan
physician fisikawan
mathematician matematikawan
cameraman kamerawan

2.2.3 Pembentukan Kata dengan Sisipan


Imbuhan yang berupa sisipan dalam bahasa
Indonesia jumlahnya sangat terbatas. Hingga
setakat ini kita hanya mengenal sisipan –em-, -el-,
33
dan –er-. Sisipan itu dalam bahasa Indonesia tidak
produktif, dalam arti sisipan semacam itu sangat
jarang digunakan sebagai pembentuk kata baru.
Kata-kata bentukan yang menggunakan sisipan itu
umumnya merupakan kata-kata bentukan lama.
Misalnya:
guruh + -em- gemuruh
getar + -el- geletar
gigi + -er- gerigi

Selain itu, jika kata sejenis kinerja dan


sinambung dipandang sebagai kata yang
bersisipan, berarti dalam bahasa Indonesia selain
terdapat ketiga sisipan tersebut, juga terdapat
sisipan –in-. Jika asumsi itu benar, proses
pembentukan kedua kata tersebut adalah sebagai
berikut.
kerja + -in- kinerja
sambung + -in- sinambung

2.2.4 Pembentukan Kata dengan Gabungan


Imbuhan
Gabungan imbuhan—sebagaimana telah disebutkan
di atas—merupakan imbuhan yang ditambahkan
pada awal dan akhir kata sekaligus. Beberapa
bentukan kata dengan gabungan imbuhan seperti
itu dalam bahasa Indonesia sebagian juga masih ada
34
yang belum benar. Bentukan kata dengan imbuhan
di-…-kan, misalnya, yang belum benar terdapat pada
bentukan kata seperti diketemukan, dikebapakkan,
dan dikesayakan.
Kata diketemukan tidak dibentuk secara benar
karena kata dasarnya adalah temu, bukan ketemu.
Jika bentuk dasar itu (temu) dirangkaikan dengan
gabungan imbuhan di-….-kan, bentukannya yang
tepat adalah ditemukan, bukan diketemukan.
Sementara itu, dua kata yang lain, yaitu
dikebapakkan dan dikesayakan, tidak benar karena
bentukan kata itu berstuktur bahasa daerah,
khususnya bahasa Sunda. Apabila digunakan dalam
bahasa Indonesia, yang benar struktur kata itu
harus diubah, yaitu menjadi seperti berikut.
diberikan kepada saya, bukan dikesayakan
diserahkan kepada saya, bukan dikesayakan
diberikan kepada bapak, bukan dikebapakkan
diserahkan kepada bapak, bukan dikebapakkan

Berkenaan dengan bentukan kata yang


berimbuhan di-... -kan, ada pula persoalan lain yang
perlu dicermati, misalnya penulisan kata
dikontrakan dan ditunjukan. Benarkah penulisan
kedua kata tersebut dari segi pengimbuhannya?
Jika kata dikontrakan yang dimaksud itu bukan
dalam arti ‘dipertentangkan’, melainkan sebagai
bentuk pasif dari mengontrakkan, penulisan kata itu
tentu tidak benar. Kata mengontrakkan dibentuk
35
dari imbuhan meng-...-kan dan kata dasar kontrak.
Kata dasar itu berakhir dengan huruf /k/ dan dalam
pembentukannya diikuti akhiran –kan. Oleh karena
itu, seharusnya ada dua huruf /k/ pada kata
bentukannya, yaitu mengontrakkan, bukan
mengontrakan.
Imbuhan di-, jika diikuti akhiran, akhiran yang
mengikutinya itu juga –kan, bukan –an meskipun
kadang-kadang dapat juga diikuti akhiran –i.
Sebagai bentuk pasif dari meng-...-kan, imbuhan di-
...-kan juga mengandung huruf /k/ pada akhirannya.
Oleh karena itu, jika ditambahkan pada kata dasar
yang berakhir dengan huruf /k/, seperti pada kata
kontrak, bentukannya yang benar mengandung dua
huruf /k/, yaitu dikontrakkan, bukan dikontrakan.
Hal yang sama juga berlaku jika imbuhan di-...-
kan itu ditambahkan pada kata tunjuk, yang juga
berakhir dengan huruf /k/. Dalam kata
bentukannya itu akan terdapat dua huruf /k/, yaitu
ditunjukkan, bukan ditunjukan. Begitu pula jika kata
tunjuk itu ditambah imbuhan meng-...-kan,
bentukannya pun mengandung dua huruf /k/, yaitu
menunjukkan, bukan menunjukan.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa imbukan di-...-kan atau meng-...-kan jika
ditambahkan pada kata-kata dasar yang berakhir
dengan huruf /k/, kata bentukannya akan
mengandung dua huruf /k/. Perhatikan contohnya
yang benar berikut ini.
36
di-...-kan + tunjuk ditunjukkan,
bukan
ditunjukan
meng-...-kan + tunjuk menunjukkan,
bukan
menunjukan
di-...-kan + kontrak dikontrakkan,
bukan
dikontrakan
meng-...-kan + kontrak mengontrakkan,
bukan
mengontrakan

Berbeda dengan itu, imbuhan peng- jika diikuti


akhiran, akhiran yang mengikutinya adalah –an,
bukan –kan, sehingga gabungan imbuhan itu
menjadi peng-...-an, sama seperti imbuhan ke-...an.
Oleh karena itu, kedua imbuhan tersebut jika
ditambahkan pada kata dasar yang berakhir dengan
huruf /k/, kata bentukannya tetap hanya
mengandung satu huruf /k/, bukan dua huruf /k/.
Misalnya:

peng-...-an + didik pendidikan,


bukan
pendidikkan
peng-...-an + tunjuk penunjukan,
bukan
penunjukkan
37
ke-...-an + naik kenaikan,
bukan
kenaikkan
ke-...-an + baik kebaikan,
bukan
kebaikkan

2.3 Pembentukan Kata dengan Kata Dasar dan


Kata Dasar
Di samping dengan pengimbuhan, pembentukan
kata dalam bahasa Indonesia juga dapat dilakukan
dengan menggabungkan kata dasar dan kata dasar.
Misalnya, dari kata dasar tanda dan kata dasar
tangan dapat digabungkan sehingga menjadi tanda
tangan. Beberapa kata lain yang dibentuk dengan
penggabungan kata dasar dan kata dasar dapat
dilihat pada contoh berikut.
kerja sama
tanggung jawab
terima kasih
serah terima
sumber daya
terima kasih
serah terima
sebar luas
Pembentukan kata dengan menggabungkan kata
dasar dan kata dasar atau yang berupa gabungan
kata seperti itu juga masih sering dilakukan secara
tidak tepat, misalnya tampak pada bentukan kata
38
pertanggungan jawab. Bentuk dasar kata itu adalah
tanggung jawab, yang dalam bahasa Indonesia
disebut gabungan kata.
Sejalan dengan kaidah, gabungan kata atau
yang lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah
khusus, unsur-unsurnya ditulis terpisah
sebagaimana contoh di atas. Namun, jika gabungan
kata itu mendapat imbuhan awalan dan akhiran se-
kaligus, unsur-unsur gabungan kata itu ditulis
serangkai.
Bentuk dasar tanggung jawab, dalam hal ini,
juga harus ditulis serangkai jika mendapat imbuhan
awalan dan akhiran sekaligus. Oleh karena itu,
penulisan bentukan kata itu yang tepat adalah
pertanggungjawaban, bukan pertanggungan jawab,
pertanggung jawaban, atau pertanggung-jawaban.
Beberapa gabungan kata lain yang serupa juga
harus ditulis serangkai jika sekaligus mendapat
imbuhan awalan dan akhiran.
Misalnya:
Gab. Kata Bentukan Bentukan
yang Tepat Tidak Tepat

lipat ganda melipatgandakan melipat gandakan


dilipatgandakan dilipat gandakan
pelipatgandaan pelipat gandaan
ikut serta mengikutsertakan mengikut sertakan
diikutsertakan diikut sertakan
pengikutsertaan pengikut sertaan
39
sebar luas menyebarluaskan menyebar luaskan
disebarluaskan disebar luaskan
penyebarluasan penyebar luasan
salah guna menyalahgunakan menyalah gunakan
disalahgunakan disalah gunakan
penyalahgunaan penyalah gunaan

Contoh lain ada pula yang berupa frasa, bukan


gabungan kata. Namun, jika mendapat awalan dan
akhiran sekaligus, penulisannya pun sama, yaitu
diserangkaikan.
Misalnya:

Frasa Bentukan Bentukan


yang Tepat Tidak Tepat

tidak adil ketidakadilan ketidak adilan


tidak pasti ketidakpastian ketidak pastian
tidak tepat ketidaktepatan ketidak tepatan
ke samping mengesampingkan menge sampingkan
dikesampingkan dike sampingkan
ke muka mengemukakan menge mukakan
dikemukakan dike mukakan

Berbeda dengan itu, jika bentuk dasar yang


berupa gabungan kata itu hanya mendapat imbuhan
awalan, yang ditulis serangkai hanya awalan itu
beserta unsur yang langsung mengikutinya. Dengan

40
demikian, unsur gabungan yang lain tetap ditulis
terpisah.
Misalnya:

Gabungan Bentukan Bentukan


Kata yang Tepat Tidak Tepat

adu domba mengadu domba mengadudomba


kerja sama bekerja sama bekerjasama
daya guna berdaya guna berdayaguna
peran serta berperan serta berperanserta
pecah belah memecah belah memecahbelah
tanggung jawab bertanggung jawab bertanggungjawab
tanda tangan bertanda tangan bertandatangan
tepuk tangan bertepuk tangan bertepuktangan

Sejalan dengan itu, pada gabungan kata yang


hanya mendapat imbuhan akhiran, unsur yang
ditulis serangkai adalah akhiran dan unsur yang
lansung dilekatinya, sedangkan unsur yang lain
tetap ditulis terpisah.
Misalnya:
Gabungan Bentukan Bentukan
Kata yang Tepat Tidak Tepat

garis bawah garis bawahi garisbawahi


sebar luas sebar luaskan sebarluaskan
serah terima serah terimakan serahterimakan
tanda tangan tanda tangani tandatangani
41
2.4 Pembentukan Kata dengan Unsur Terikat
dan Kata Dasar
Selain dengan pengimbuhan dan penggabungan
kata dasar dan kata dasar, pembentukan kata dalam
bahasa indonesia dapat pula dilakukan dengan
penggabungan antara unsur terikat dan kata dasar.
Unsur terikat yang dimaksud di sini adalah unsur
yang keberadaannya tidak dapat berdiri sendiri
sebagai kata. Dengan demikian, unsur itu selalu
terikat pada unsur yang lain, misalnya swa-, pra-,
dan pasca-, sebagaimana yang terdapat pada contoh
berikut.

pra- prasejarah, prasarana, prasaran


swa- swadaya, swasembada, swakarsa
pasca- pascasarjana pascapanen, pascaperang

Beberapa unsur terikat lain yang terdapat dalam


bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.

sub- subsektor, subsistem, subbagian


non- nonformal, nonmigas, nondinas
multi- multilateral, multifungsi, multisistem
tuna- tunakarya, tunarungu, tunagrahita
maha- mahasiswa, mahaguru, mahadahsyat
multi- multilateral, multifungsi, multisistem
antar- antarkota, antarkampus, antarbidang
nara- narapidana, narasumber, narahubung
42
semi- semifinal, semipermanen,
semiprofesional
purna- purnatugas, purnawirawan, purnajual
ultra- ultraviolet, ultramodern
adi- adidaya, adikuasa, adibahasa

Di samping yang telah disebutkan di atas,


kata-kata bilangan dalam bahasa Indonesia yang
berasal dari bahasa Sanskerta, seperti eka, dwi-, tri-
, catur-, panca-, sad-, sapta-, hasta-, nawa-, dan
dasa-, juga dipandang sebagai unsur terikat. Oleh
karena itu, unsur-unsur tersebut juga ditulis
serangkai.
Misalnya:
eka- ekalaya, ekasakti
dwi- dwifungsi, dwiwarna, dwipurwa
tri- triwulan, trimurti, trisatya
catur- caturwulan, caturwarga, caturdarma
panca- pancaroba, pancawarna, pancaindera
sapta- saptamarga, saptadarma, saptapesona
hasta- hastakarya, hastabrata
nawa- nawasila, nawasabda
dasa- dasawarsa, dasasila

Terkait dengan hal tersebut, jika digunakan sebagai


nama orang, unsur-unsur terikat tersebut tidak
harus ditulis sesuai dengan ketentuan di atas.

2.5 Pembentukan Kata dengan Pengulangan


43
Pengulangan dalam bahasa Indonesia juga
termasuk bagian dari proses pembentukan kata.
Dalam hal ini, khususnya pada ragam tulis,
ditambahkan tanda hubung di antara unsur yang
diulang dan unsur pengulangnya. Tanda hubung
tersebut ditulis rapat, tidak didahului atau diikuti
spasi.
Misalnya:
tanda tanda-tanda
lari berlari-lari
kejar berkejar-kejaran
tolong- tolong-menolong
tembak- tembak-menembak
tanam- tanam-tanaman

2.6 Pembentukan Kata dengan Pengakroniman


Akronim adalah pemendekan nama atau ungkapan
yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku
kata, ataupun gabungan huruf awal dan suku kata
yang diperlakukan sebagai kata. Dalam hal ini
akronim yang berupa gabungan huruf awal ditulis
seluruhnya dengan menggunakan huruf kapital
tanpa tanda titik.
Misalnya:

surat izin mengemudi SIM


nomor induk pegawai NIP
fakultas ilmu sosial dan ilmu politik FISIP

44
Berbeda dengan itu, akronim yang berupa
gabungan suku kata atau gabungan huruf awal dan
suku kata ditulis dengan huruf awal kapital jika
akronim itu berupa nama diri, baik nama lembaga,
organisasi, maupun nama instansi.
Misalnya:

Kementerian Kesehatan Kemenkes


Badan Penelitian dan Pengembangan Balitbang
Korp Pegawai Republik Indonesia Korpri

Jika akronim yang berupa gabungan suku kata atau


gabungan huruf awal dan suku kata tersebut tidak
berupa nama diri,huruf awalnya tidak ditulis
dengan huruf kapital.
Misalnya:
krisis moneter krismon
sistem keamanan lingkungan siskamling
tanda bukti pelanggaran tilang

BAB III
PILIHAN KATA (DIKSI)

3.1 Pengantar

45
Ada dua istilah yang perlu dipahami berkaitan
dengan pilihan kata ini, yaitu istilah pemilihan kata
dan pilihan kata. Kedua istilah itu harus dibedakan
di dalam penggunaannya. Pemilihan kata adalah
proses atau tindakan memilih kata yang dapat
mengungkapkan gagasan secara tepat, sedangkan
pilihan kata adalah hasil dari proses atau tindakan
memilih kata tersebut. Bandingkan, misalnya, de-
ngan istilah penulisan dan tulisan. Penulisan
merupakan proses atau tindakan menulis,
sedangkan tulisan merupakan hasil dari proses
menulis.
Dalam kegiatan berbahasa, pilihan kata
merupakan aspek yang sangat penting karena
pilihan kata yang tidak tepat selain dapat
menyebabkan ketidakefektifan bahasa yang diguna-
kan, juga dapat mengganggu kejelasan informasi
yang disampaikan. Selain itu, kesalahpahaman
terhadap informasi dan rusaknya situasi
komunikasi juga tidak jarang disebabkan oleh peng-
gunaan pilihan kata yang tidak tepat.
Sebagai contoh, mari kita perhatikan beberapa
ungkapan berikut.

(1) Diam!
(2) Tutup mulutmu!
(3) Jangan berisik!
(4) Saya harap Anda tenang.
(5) Dapatkah Anda tenang sebentar?
46
Ungkapan-ungkapan tersebut pada dasarnya
mengandung informasi yang sama, tetapi
dinyatakan dengan pilihan kata yang berbeda-beda.
Perbedaan pilihan kata itu dapat menimbulkan
kesan dan efek komunikasi yang berbeda pula. Ke-
san dan efek itulah yang perlu dijaga dalam
berkomunikasi jika kita tidak ingin situasi
pembicaraan menjadi terganggu.
Kenyataan tersebut mengisyaratkan bahwa
masalah pilihan kata hendaknya benar-benar
diperhatikan oleh para pemakai bahasa agar bahasa
yang digunakan menjadi efektif dan mudah
dipahami sebagaimana yang kita maksudkan.
Perlunya memperhatikan, menimbang-
nimbang, dan memikirkan lebih dahulu kata-kata
yang akan digunakan juga sudah diingatkan oleh
pendahulu kita melalui pepatah-pepatah dan
peribahasa-peribahasa.
Misalnya:
(6) Mulutmu adalah harimaumu.
(7) Lidah itu lebih tajam daripada pedang.

Ungkapan-ungkapan bijak tersebut mengingatkan


kepada kita agar dalam berbicara atau dalam
berkomunikasi kita berhati-hati memilih kata.
Kehati-hatian itu dimaksudkan agar kata-kata yang
kita gunakan tidak berbalik mencelakai diri kita

47
sendiri ataupun menyebabkan orang lain merasa
sakit hati.
Berdasarkan penjelasan tersebut, ada
beberapa kriteria yang patut diperhatikan di dalam
memilih kata. Kriteria yang dimaksud akan
dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikut.

3.2 Kriteria Pemilihan Kata


Agar dapat mengungkapkan gagasan, pendapat,
pikiran, atau pengalaman secara tepat, dalam
berbahasa—baik lisan maupun tulis—pemakai
bahasa hendaknya dapat memenuhi beberapa
persyaratan atau kriteria di dalam pemilihan kata.
Kriteria yang dimaksud adalah sebagai berikut.
(1) Ketepatan
(2) Kecermatan
(3) Keserasian

3.2.1 Ketepatan
Ketepatan dalam pemilihan kata berkaitan dengan
kemampuan memilih kata yang dapat
mengungkapkan gagasan secara tepat dan gagasan
itu dapat diterima secara tepat pula oleh pembaca
atau pendengarnya. Dengan kata lain, pilihan kata
yang digunakan harus mampu mewakili gagasan
secara tepat dan dapat menimbulkan gagasan yang
sama pada pikiran pembaca atau pendengarnya.

48
Ketepatan pilihan kata semacam itu dapat
dicapai jika pemakai bahasa mampu memahami
perbedaan penggunaan kata-kata yang bermakna
(1) denotasi dan konotasi,
(2) sinonim,
(3) eufemisme,
(4) generik dan spesifik, serta
(5) konkret dan abstrak.

Secara singkat, berbagai makna kata yang perlu


dipahami agar dapat memilih kata secara tepat itu
akan dibahas pada bagian berikut ini.

a. Penggunaan Kata yang Bermakna


Denotasi dan Konotasi

Makna denotasi adalah makna yang mengacu pada


gagasan tertentu (makna dasar), yang tidak
mengandung makna tambahan atau nilai rasa
tertentu, sedangkan makna konotasi adalah makna
tambahan yang mengandung nilai rasa tertentu di
samping makna dasarnya.
Sebagai contoh, dalam bahasa Indonesia kita
mengenal ada kata bini dan kata istri. Kedua kata ini
mempunyai makna dasar yang sama, yakni ‘wanita
yang telah menikah atau telah bersuami’, tetapi
masing-masing mempunyai nilai rasa yang berbeda.
Kata bini selain mempunyai nilai rasa yang berkono-
tasi pada kelompok sosial tertentu, juga mempunyai
49
nila rasa yang cenderung merujuk pada situasi
tertentu yang bersifat informal. Sementara itu, kata
istri mempunyai nilai rasa yang bersifat netral, tidak
berkonotasi terhadap kelompok sosial tertentu, dan
dapat digunakan untuk keperluan yang formal
ataupun yang informal. Sejalan dengan itu, pada
contoh berikut kata istri dapat digunakan untuk
keperluan pemakaian bahasa yang resmi, sedangkan
kata bini tidak tepat.

(1) Kami mengharapkan kehadiran Saudara


beserta {istri} dalam pertemuan besok.
{*bini}

Jika mampu memahami perbedaan makna denotasi


dan konotasi, pemakai bahasa juga dapat
mengetahui makna apa yang dikandung oleh kata
kambing hitam pada contoh berikut.

(2) Karena perlu biaya, ia menjual kambing


hitamnya dengan harga murah.
(3) Dalam setiap kerusuhan mereka selalu
dijadikan kambing hitam.

Ungkapan kambing hitam pada kalimat (2)


merupakan ungkapan yang bermakna denotasi,
yaitu merujuk pada makna sebenarnya, dalam hal
ini ‘kambing yang berwarna hitam’. Berbeda dengan
itu, pada kalimat (3) ungkapan kambing hitam
50
merupakan ungkapan yang bermakna konotasi,
yaitu merujuk pada makna kiasan. Dalam kalimat
(3) itu ungkapan kambing hitam bermakna ‘pihak
yang dipersalahkan’.
Beberapa contoh beserta keterangannya
tersebut memberikan gambaran bahwa seseorang
yang mampu memahami perbedaan makna denotasi
dan konotasi akan dapat mengetahui kapan ia harus
menggunakan kata yang bermakna denotasi dan
kapan ia dapat menggunakan kata yang bermakna
konotasi. Dengan demikian, ia tidak akan
sembarangan saja dalam memilih dan menentukan
kata yang akan digunakan.

b. Penggunaan Kata yang Bersinonim

Berikutnya, selain dituntut mampu memahami


perbedaan makna denotasi dan konotasi, pemakai
bahasa juga dituntut mampu memahami perbedaan
makna kata-kata yang bersinonim agar dapat
memilih kata secara tepat. Beberapa kata yang ber-
sinonim, misalnya, dapat diperhatikan pada contoh
di bawah ini.

kelompok
rombongan
kawanan
gerombolan

51
Keempat kata yang bersinonim itu mempunyai
makna dasar yang sama. Namun, oleh pemakai
bahasa, kata kawanan dan kata gerombolan
cenderung diberi nilai rasa yang negatif, sedangkan
dua kata yang lain mempunyai nilai rasa yang
netral: dapat negatif dan dapat pula positif,
bergantung pada konteksnya. Oleh karena itu, pada
contoh kalimat berikut pemakaian kata rombongan
tidak tepat, sebaliknya pada contoh berikutnya (5)
pemakaian kata kawanan dan gerombolan tidak
tepat.
(4) Kelompok
? Rombongan penjahat yang dicurigai itu sudah
Kawanan diketahui identitasnya.
Gerombolan

(5) Kelompok
Rombongan
guru yang akan mengikuti seminar
*Kawanan sudah hadir.
*Gerombolan

Karena berkonotasi negatif, kata kawanan dan


gerombolan bahkan dapat digunakan untuk merujuk
pada binatang.
Misalnya:

(6) Kawanan binatang itu merusak tanaman


Gerombolan petani karena habitatnya dirusak .
52
Apabila telah memahami benar perbedaan
makna kata-kata yang bersinonim, pemakai bahasa
diharapkan dapat memilih salah satu kata yang
bersinonim itu untuk digunakan dalam konteks
yang tepat. Dengan demikian, ia diharapkan tidak
mengalami kesulitan dalam menentukan kata yang
akan digunakan.

c. Penggunaan Eufemisme
Eufemisme adalah kata atau ungkapan yang
dirasa lebih halus untuk menggantikan kata atau
ungkapan yang dirasa kasar, vulgar, dan tidak
sopan. Terkait dengan itu, pemakai bahasa
diharapkan dapat memilih kata-kata atau
ungkapan yang lebih halus agar komunkasi yang
disampaikan dapat mengungkapkan maksud
secara tepat dan tidak menimbulkan disharmoni
dalam komunikasi.

Misalnya:
mati (untuk manusia) meninggal dunia
bodoh kurang pandai
miskin kurang mampu
minta mohon

Meskipun dianjurkan menggunakan


bentuk eufemisme untuk menjaga hubungan baik
dengan lawan bicara, pemakai bahasa tidak
53
seharusnya terjebak pada penggunaan
eufemisme yang terkesan menyembunyikan
fakta. Hal itu karena pemakai bahasa dapat
dianggap membohongi pihak lain.
Misalnya:
ditangkap (polisi) diamankan (polisi)
harganya dinaikkan harganya disesuaikan

d. Penggunaan Kata yang Bermakna Generik


dan Spesifik
Makna generik adalah makna umum, sedangkan
makna spesifik adalah makna khusus. Makna umum
juga berarti makna yang masih mencakup beberapa
makna lain yang bersifat spesifik. Misalnya,
kendaraan merupakan kata yang bermakna generik,
adapun makna spesifiknya adalah mobil, motor, bus,
sepeda, angkutan kota, dan sebagainya.
Kata banyak juga merupakan kata yang
bermakna umum, sedangkan makna spesifiknya
adalah yang sudah mengacu pada jumlah tertentu.
Misalnya:

(7) Penduduk Indonesia yang tergolong kurang


mampu masih cukup banyak.

Pernyataan (7) tersebut masih bersifat umum


karena belum menjelaskan seberapa banyak jumlah
yang sesungguhnya. Bandingkan dengan pernyataan
berikut.
54
(7a) Penduduk Indonesia yang tergolong kurang
mampu masih ada 16 juta orang.
Sehubungan dengan hal tersebut, baik makna
generik maupun spesifik sama-sama dapat dipilih
dalam penggunaan bahasa bergantung pada maksud
penggunanya, yakni apakah ingin mengungkapkan
persoalan secara umum ataukah secara spesifik.
Dalam hal ini pernyataan yang diungkapkan secara
umum dapat dimaknai pula bahwa pemakainya
tidak mengetahui jumlah yang pasti sehingga tidak
dapat meyakinkan lawan bicara atau pembacanya.
Sebaliknya, pernyataan yang lebih spesifik dapat
menunjukkan pemahaman pemakainya terhadap
persoalan yang dikemukakan sehingga lebih dapat
meyakinkan lawan bicara.

e. Penggunaan Kata yang Bermakna Konkret


dan Abstrak
Kata yang bermakna konkret adalah kata yang
maknanya dapat dibayangkan dengan pancaindera.
Sebaliknya, kata yang bermakna abstrak adalah kata
yang sulit dibayangkan dengan pancaindera. Kata
mobil, misalnya, merupakan kata yang konkret
karena wujudnya dapat dibayangkan atau dapat
tergambar dalam pikiran pemakai bahasa, begitu
pula kata-kata seperti roti, mangga, dan pisang.
Bagaimana dengan kata seperti keadilan,
pertahanan, kemanusiaan, dan pendidikan? Kata-
kata seperti itu merupakan kata yang abstrak. Oleh
55
karena itu, kata-kata yang abstrak tersebut hanya
dapat dipahami oleh orang yang sudah dewasa
dan—terutama—yang berpendidikan.
Jika dekaitkan dengan ketepatan dalam
pemilihan kata, kata-kata yang abstrak seperti itu
sebaiknya hanya digunakan pada sasaran
pembaca/pendengar yang sudah dewasa dan
berpendidikan. Jika digunakan pada anak-anak atau
orang dewasa yang kurang berpendidikan, kata-kata
tersebut cenderung sulit dipahami. Atas dasar itu,
baik kata yang abstrak maupun yang konkret
sebenarnya sama-sama dapat dipilih untuk
digunakan, tetapi sasarannya harus disesuaikan.

3.2.2 Kecermatan
Kecermatan dalam pemilihan kata berkaitan dengan
kemampuan memilih kata yang benar-benar
diperlukan untuk mengungkapkan gagasan tertentu.
Agar dapat memilih kata secara cermat, pemakai
bahasa dituntut untuk mampu memahami ekonomi
bahasa dan menghindari penggunaan kata-kata yang
dapat menyebabkan kemubaziran.
Dalam kaitan itu, yang dimaksud ekonomi
bahasa adalah kehematan dalam penggunaan unsur-
unsur kebahasaan. Dengan demikian, kalau ada kata
atau ungkapan yang lebih singkat, kita tidak perlu
menggunakan kata atau ungkapan yang lebih panjang
karena hal itu tidak ekonomis.
Misalnya:
56
disebabkan oleh fakta karena
mengajukan saran menyarankan
melakukan kunjungan berkunjung
mengeluarkan pemberitahuan memberitahukan
meninggalkan kesan yang dalam mengesankan

Sementara itu, pemakai bahasa juga dituntut untuk


mampu memahami penyebab terjadinya
kemubaziran kata. Hal itu dimaksudkan agar ia
dapat memilih dan menentukan kata secara cermat
sehingga tidak terjebak pada penggunaan kata yang
mubazir. Dalam hal ini, yang dimaksud kata yang
mubazir adalah kata-kata yang kehadirannya
dalam konteks pemakaian bahasa tidak
diperlukan. Dengan memahami kata-kata yang
mubazir, pemakai bahasa dapat menghindari
penggunaan kata yang tidak perlu dalam konteks
tertentu.
Sehubungan dengan masalah tersebut, perlu
pula dipahami adanya beberapa penyebab
timbulnya kemubaziran suatu kata. Penyebab
kemubaziran kata itu, antara lain, adalah sebagai
berikut.
(1) Penggunaan kata yang bermakna jamak
secara ganda
(2) Penggunaan kata yang mempunyai
kemiripan makna atau fungsi secara ganda
57
(3) Penggunaan kata yang bermakna ‘saling’
secara ganda
(4) Penggunaan kata yang tidak sesuai dengan
konteksnya

a. Penggunaan Kata yang Bermakna Jamak


Penggunaan kata yang bermakna jamak, terutama
jika dilakukan secara ganda, dapat menyebabkan
kemubaziran. Hal itu, antara lain, dapat kita
perhatikan pada kalimat berikut.

(7) Sejumlah desa-desa yang dilalui Sungai


Citarum dilanda banjir.
(8) Para guru-guru sekolah dasar hadir dalam
pertemuan itu.

Kata sejumlah dan para dalam bahasa


Indonesia sebenarnya sudah mengandung makna
jamak. Begitu juga halnya dengan bentuk ulang
desa-desa dan guru-guru. Oleh karena itu, jika
keduanya digunakan secara bersama-sama, salah
satunya akan menjadi mubazir, seperti yang tampak
pada contoh (7) dan (8).
Agar tidak mubazir, kata-kata yang sudah
menyatakan makna jamak itu hendaknya tidak
diikuti bentuk ulang yang juga menyatakan makna
jamak. Atau, jika bentuk ulang itu digunakan, kata-
kata yang sudah menyatakan makna jamak itu harus
dihindari pemakaiannya. Dengan demikian, contoh
58
(7) dan (8) di atas dapat dicermatkan menjadi
seperti berikut.
(7a) Sejumlah desa yang dilalui Sungai Citarum
dilanda banjir.
(7b) Desa-desa yang dilalui Sungai Citarum
dilanda banjir.
(8a) Para guru sekolah dasar hadir dalam
pertemuan itu.
(8b) Guru-guru sekolah dasar hadir dalam
pertemuan itu.

Selain kata sejumlah dan para, kata-kata lain


yang sudah menyatakan makna jamak dalam bahasa
Indonesia adalah semua, banyak, sebagian besar,
berbagai, segenap, seluruh, dan sebagainya. Apabila
akan digunakan untuk menyatakan makna jamak,
kata-kata itu tidak perlu lagi diikuti bentuk ulang
yang juga menyatakan makna jamak.

b. Penggunaan Kata yang Bersinonim


Penggunaan kata yang bersinonim atau kata yang
mempunyai kemiripan makna yang dilakukan
secara ganda juga dapat menyebabkan
kemubaziran. Beberapa contohnya dapat
diperhatikan pada kalimat berikut.

(9) Kita harus bekerja keras agar supaya dapat


mencapai cita-cita.

59
(10) Generasi muda adalah merupakan
penerus perjuangan bangsa.

Kata agar dan supaya serta adalah dan


merupakan masing-masing mempunyai makna dan
fungsi yang bermiripan. Kata agar dan supaya
masing-masing mempunyai makna yang
bermiripan, yakni menyatakan ‘tujuan’ atau
‘harapan’. Di samping itu, fungsinya pun sama, yaitu
sebagai ungkapan atau kata penghubung. Kata
adalah dan merupakan juga mempunyai fungsi yang
sama, yaitu sebagai penanda predikat. Oleh karena
itu, jika digunakan secara berpasangan, salah satu di
antara pasangan kata tersebut menjadi mubazir.
Agar tidak menimbulkan kemubaziran, kata-kata
yang berpasangan itu sebenarnya cukup digunakan
salah satu saja, tidak perlu kedua-duanya.
Berdasarkan keterangan tersebut, contoh (9)
dan (10) dapat dicermatkan menjadi seperti berikut.

(9a) Kita harus bekerja keras agar dapat


mencapai cita-cita.
(9b) Kita harus bekerja keras supaya dapat
mencapai cita-cita.
(10a) Generasi muda adalah penerus perjuangan
bangsa.
(10b) Generasi muda merupakan penerus
perjuangan bangsa.

60
Beberapa pasangan kata lain yang bersinonim
dan dapat menimbulkan kemubaziran dapat
diperhatikan pada contoh di bawah ini.

Mubazir Tidak Mubazir


(Pilih salah satu)
sangat ... sekali sangat ... atau ... sekali
hanya ... saja hanya ... atau ... saja
demi untuk demi atau untuk
seperti misalnya seperti atau misalnya
contohnya seperti contohnya atau seperti
lalu kemudian lalu atau kemudian
kalau seandainya kalau atau seandainya

Dalam hubungan itu, perlu pula ditambahkan


bahwa suatu perincian yang sudah didahului kata
seperti, misalnya, contohnya, umpamanya, dan
antara lain tidak perlu lagi diakhiri dengan
ungkapan dan lain-lain, dan sebagainya, atau dan
seterusnya. Sebaliknya, kalau ungkapan dan lain-
lain, dan sebagainya, atau dan seterusnya digunakan,
pada awal perincian tidak perlu ada penggunaan
kata seperti, misalnya, umpamanya, atau antara lain.
Hal itu karena salah satu kata tersebut akan menjadi
mubazir jika digunakan secara bersama-sama.
Misalnya:

61
(11) Logam itu memiliki beberapa jenis,
misalnya emas, perak, timah, dan
sebagainya.

Kata misalnya, seperti halnya contohnya,


seperti, umpamanya, dan antara lain, yang
digunakan dalam suatu perincian, sebenarnya sudah
membatasi unsur perincian. Oleh karena itu, dalam
pemakaiannya, kata-kata tersebut tidak perlu diikuti
dengan ungkapan seperti dan lain-lain, dan
sebagainya, atau dan seterusnya. Hal itu mengingat
bahwa ungkapan tersebut justru menyatakan
makna sebaliknya, yaitu menyatakan unsur
perincian yang tidak terbatas. Alternatifnya, jika
ungkapan tersebut digunakan, kata sejenis misalnya
tidak perlu digunakan.
Berdasarkan keterangan tersebut, kalimat (11)
di atas lebih efektif jika dinyatakan dengan salah
satu kalimat perubahannya berikut ini.

(12) Logam itu memiliki beberapa jenis,


misalnya emas, perak, dan timah.
(13) Jenis-jenis logam itu adalah emas, perak,
timah, dan sebagainya.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu pula


dicatat bahwa ungkapan dan lain-lain, dan
sebagainya, serta dan seterusnya sebaiknya tidak
digunakan secara sembarangan. Selama ini ada
62
kecenderungan pemakai bahasa dalam
mengungkapkan suatu pernyataan asal masih ada
lanjutannya digunakanlah ungkapan tersebut secara
mana suka. Kalau yang teringat ungkapan dan
sebagainya, digunakanlah ungkapan dan sebagainya.
Sebaliknya, kalau yang teringat ungkapan dan lain-
lain, digunakanlah ungkapan dan lain-lain. Padahal,
ungkapan-ungkapan tersebut seharusnya digunakan
secara tepat sesuai dengan makna dan konteksnya.
Ungkapan dan sebagainya—sesuai dengan
makna kata bagai, yaitu ‘mirip’—digunakan untuk
mengungkapkan perincian lebih lanjut yang sifatnya
bermiripan atau sejenis. Misalnya, emas, perak, dan
timah merupakan kata yang bermiripan atau
sejenis, yaitu termasuk jenis logam. Oleh karena itu,
perincian lebih lanjut untuk jenis logam yang tidak
disebutkan dapat diganti dengan ungkapan dan
sebagainya, bukan dan lain-lain, seperti yang
tampak pada contoh berikut.

(14) Jenis-jenis logam itu adalah emas, perak,


timah, dan sebagainya (bukan dan lain-
lain).

Sementara itu, ungkapan dan lain-lain tidak


digunakan untuk mengungkapkan perincian lebih
lanjut yang sifatnya sejenis. Sesuai dengan makna
kata lain, yaitu ‘beda’, ungkapan dan lain-lain
digunakan untuk mengungkapkan perincian lebih
63
lanjut yang sifatnya berbeda-beda. Misalnya, antara
bolpoin, komputer, dan tas merupakan benda yang
jenisnya berbeda. Oleh karena itu, perincian lebih
lanjut untuk benda lain yang tidak diungkapkan
lebih tepat menggunakan ungkapan dan lain-lain,
seperti yang tampak pada contoh berikut.

(15) Peralatan yang diperlukan dalam


kegiatan tersebut adalah bolpoin,
komputer, tas, dan lain-lain (bukan dan
sebagainya).

Adapun ungkapan dan seterusnya—sesuai


dengan makna kata terus, yaitu ‘berkelanjutan’—
digunakan untuk mengungkapkan perincian lebih
lanjut yang sifatnya berkelanjutan atau berurutan.
Contohnya tampak pada kalimat berikut.

(16) Bagian yang harus dibaca pada buku itu


adalah Bab I, Bab II, Bab III, dan
seterusnya.

Berkenaan dengan hal tersebut, satu hal yang


perlu diingat adalah bahwa ungkapan dan lain
sebagainya sebaiknya tidak digunakan karena hal
itu merupakan ungkapan yang rancu. Kerancuan itu
terjadi karena ungkapan tersebut merupakan
gabungan dari ungkapan dan lain-lain dengan dan
sebagainya.
64
c. Penggunaan Kata yang Bermakna ‘Saling’
Penyebab kemubaziran yang ketiga adalah
penggunaan makna ‘kesalingan’ (resiprokal) secara
ganda. Makna ‘kesalingan’ yang dimaksudkan di sini
adalah makna yang menyatakan tindakan
‘berbalasan’. Jadi, pelaku tindakan itu setidak-
tidaknya ada dua orang atau lebih. Jika tindakan itu
hanya dilakukan oleh satu orang, dapat dikatakan
bahwa hal itu tidak tepat karena tindakan
berbalasan tidak dapat hanya dilakukan oleh satu
orang.
Misalnya:
(17) Ia berjalan bergandengan (?)

Tindakan bergandengan, dari segi pengalaman,


tidak mungkin hanya dilakukan oleh satu orang
karena tindakan itu, paling tidak, melibatkan orang
yang menggandeng dan orang yang digandeng.
Kalau hanya dilakukan satu orang, penggunaan kata
bergandengan tentu tidak cermat. Sejalan dengan
itu, subjek ia pada kalimat (14), yang hanya
bermakna tunggal, harus diganti dengan mereka,
misalnya, yang bermakna jamak, agar makna
tindakan berbalasan itu menjadi tepat. Kecuali de-
ngan cara itu, dapat pula dilakukan dengan cara lain,
yaitu dengan menambah keterangan penyerta pada
kalimat tersebut. Dengan demikian, kalimat (14)

65
maknanya akan menjadi lebih tepat jika diubah
menjadi seperti berikut.

(18) Mereka berjalan bergandengan.


(19) Ia berjalan bergandengan dengan adiknya.

Bentuk resiprokal atau makna ‘kesalingan’


selain dapat diungkapkan dengan gabungan
imbuhan ber- ....-an, seperti pada kata bergandengan,
berangkulan, berpapasan, dan bertabrakan, dapat
pula diungkapkan dengan menambahkan kata saling
pada kata kerjanya.
Misalnya:
saling berpengaruh, saling pengaruh
saling meminjam, saling pinjam
saling menuduh, saling tuduh
saling memukul, saling pukul

Di samping itu, bentuk ulang dapat pula


digunakan untuk menyatakan tindakan berbalasan.
Sebagai contoh, perhatikan ubahan ungkapan di atas
menjadi seperti berikut.

pengaruh-memengaruhi
pinjam- meminjam
tuduh- menuduh
pukul- memukul

66
Dengan memahami bahwa kata saling sudah
menyatakan tindakan ‘berbalasan' (resiprokal) dan
demikian pula halnya dengan bentuk ulang yang
telah dicontohkan itu, pemakai bahasa hendaknya
tidak terbawa arus atau ikut-ikutan menggunakan
bentuk seperti berikut.

saling pengaruh-memengaruhi
saling pinjam-meminjam
saling tuduh-menuduh
saling pukul-memukul
saling bantu-membantu

Penggunaan bentuk sejenis saling pengaruh-


memengaruhi itu menunjukkan kekurangcermatan
pemakainya dalam memilih kata. Kekurang-
cermatan itu disebabkan oleh penggunaan kata yang
berlebihan. Di satu pihak, tindakan berbalasan itu
dinyatakan dengan kata saling; dan di pihak lain,
tindakan itu dinyatakan pula dengan bentuk ulang
pengaruh-memengaruhi.
Sejalan dengan masalah tersebut, bentukan
seperti saling berpandangan sebenarnya juga
berlebihan karena—seperti telah diuraikan di
atas—gabungan imbuhan ber- …-an juga menyata-
kan tindakan berbalasan seperti halnya yang
dinyatakan dengan kata saling. Oleh karena itu,
bentukan kata saling berpandangan akan lebih tepat

67
jika dinyatakan dengan ungkapan saling pandang,
saling memandang, atau berpandangan.
Contoh yang lain dapat pula diperhatikan pada
kalimat berikut.

(20) Walaupun perjanjian gencatan senjata


sudah ditandatangani, saling tembak-
menembak antara kedua belah pihak tetap
sulit dihindari.

Kata saling seperti yang terdapat pada kalimat


(20) sebenarnya sudah menyatakan tindakan
‘berbalasan’. Begitu juga halnya dengan bentuk
ulang tembak-menembak. Oleh karena itu,
penggunaan kata saling secara bersama-sama
dengan bentuk ulang yang menyatakan tindakan
‘berbalasan’ dapat menyebabkan salah satunya
menjadi mubazir. Dengan demikian, agar tidak
mubazir, kata saling tidak perlu lagi diikuti bentuk
ulang yang menyatakan tindakan berbalasan.
Sebaliknya, kalau bentuk ulang sudah digunakan,
kata saling tidak perlu disertakan.
Atas dasar keterangan tersebut, kalimat (20)
hendaknya dicermatkan menjadi seperti berikut.

(20a) Walaupun perjanjian gencatan senjata


sudah ditandatangani, saling tembak
antara kedua belah pihak tetap sulit
dihindari.
68
(20b) Walaupun perjanjian gencatan senjata
sudah ditandatangani, tembak-
menembak antara kedua belah pihak
tetap sulit dihindari.
(20c) Walaupun perjanjian gencatan senjata
sudah ditandatangani, saling menembak
antara kedua belah pihak tetap sulit
dihindari.

d. Penggunaan Kata yang Tidak Sesuai dengan


Konteks
Penyebab kemubaziran berikutnya lebih banyak
ditentukan oleh konteks pemakaiannya di dalam
kalimat. Beberapa contohnya dapat diperhatikan
pada kalimat berikut.
(21) Pertemuan kemarin membahas tentang
masalah disiplin pegawai.
(22) Maksud daripada kedatangan saya ke sini
adalah untuk bersilaturahmi.
(23) Kursi ini terbuat daripada kayu.

Kata tentang pada kalimat (21) dan kata


daripada pada kalimat (22) sebenarnya mubazir
karena—berdasarkan konteksnya—kehadiran kata
itu pada kalimat di atas tidak diperlukan. Karena
tidak diperlukan, kata tentang dan daripada dapat
dilepaskan dari kalimat yang bersangkutan.
Sementara itu, penggunaan kata daripada dalam
kalimat (23) tidak tepat karena kata tersebut
69
mengandung makna perbandingan, sedangkan
konteks kalimat (23) tidak memerlukan kata itu
karena tidak menyatakan perbandingan. Kata yang
diperlukan dalam kalimat itu adalah kata yang
menyatakan makna ‘asal’. Makna ini terkandung
dalam kata dari, bukan daripada. Oleh karena itu,
pada kalimat (23) kata daripada harus digantikan
dengan kata dari.
Atas dasar keterangan tersebut, ketiga kalimat
tersebut hendaknya dicermatkan menjadi seperti
berikut.
(21a) Pertemuan kemarin membahas masalah
disiplin pegawai.
(22a) Maksud kedatangan saya ke sini adalah
untuk bersilaturahmi.
(23a) Kursi ini terbuat dari kayu.

Sebagaimana telah disinggung di atas, kata


daripada hanya tepat jika digunakan untuk
menyatakan makna ‘perbandingan’, seperti yang
terdapat pada contoh berikut.
(24) Gedung A lebih tinggi daripada Gedung B.

Penggunaan kata tanya di mana dan yang


mana sebagai perangkai atau penghubung dalam
kalimat juga merupakan penggunaan kata yang
tidak cermat. Hal itu seperti yang dapat
diperhatikan pada kalimat berikut.

70
(25) Ia sering berkunjung ke Yogya di mana
dulu ia mengikuti kuliah.
(26) Saya mengucapkan terima kasih kepada
hadirin di mana/yang mana telah bersedia
menghadiri pertemuan ini.
(27) Kami akan terus mengembangkan industri
ini di mana pemerintah daerah juga sangat
mendukung.
(28) Mereka menginginkan jembatan itu segera
diperbaiki yang mana pemerintah juga
telah menyetujui.

Seperti yang tampak pada contoh tersebut,


kata di mana dan yang mana digunakan sebagai
perangkai, bukan sebagai penanda kalimat tanya.
Oleh karena itu, penggunaan kata tersebut tidak
tepat. Karena penggunaannya tidak tepat, kata itu
harus digantikan dengan kata lain yang dapat
digunakan sebagai perangkai.
Pada kalimat (25) kata di mana lebih tepat jika
diganti dengan kata tempat, dan kata di mana/yang
mana pada kalimat (26) diganti dengan kata yang,
kemudian kata di mana dan yang mana pada kalimat
(27) dan (28) masing-masing lebih tepat jika diganti
dengan kata dan. Dengan demikian, keempat
kalimat tersebut lebih tepat jika diubah menjadi
seperti berikut.
(25a) Ia sering berkunjung ke Yogya tempat dulu
ia mengikuti kuliah.
71
(26a) Saya mengucapkan terima kasih kepada
hadirin yang telah bersedia menghadiri
pertemuan ini.
(27a) Kami akan terus mengembangkan industri
ini dan pemerintah daerah juga sangat
mendukung.
(28a) Mereka menginginkan jembatan itu segera
diperbaiki dan pemerintah juga telah
menyetujui.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, kata


tanya di mana dan yang mana yang tepat digunakan
pada kalimat tanya.
Misalnya:

(29) Rapat itu akan diselenggarakan di mana?


(30) Di mana letak Kepulauan Seribu?
(31) Anda memilih yang mana di antara
keduanya?
(32) Antara ini dan itu lebih bagus yang mana?

Berdasarkan beberapa keterangan tersebut,


kecermatan dalam pemilihan kata dapat dicapai jika
pemakai bahasa mampu memahami perbedaan
makna kata-kata yang bersinonim, kata yang
bermakna denotasi dan konotasi, dan mampu pula
memahami kata-kata yang pemakaiannya mubazir.

3.2.3 Keserasian
72
Keserasian dalam pemilihan kata berkaitan dengan
kemampuan menggunakan kata-kata yang sesuai
dengan konteks pemakaiannya. Konteks pemakaian
yang dimaksud dalam hal ini erat kaitannya dengan
faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan.

a. Faktor Kebahasaan
Faktor kabahasaan yang perlu diperhatikan
sehubungan dengan pemilihan kata, antara lain,
adalah sebagai berikut.

(1) Penggunaan kata yang sesuai dengan


konteks kalimat
(2) Penggunaan bentuk gramatikal
(3) Penggunaan idiom
(4) Penggunaan ungkapan idiomatis
(5) Penggunaan majas
(6) Penggunaan kata yang lazim

Beberapa faktor kebahasaan tersebut


secara ringkas akan dibahas pada bagian berikut
ini
.
(1) Penggunaan Kata yang Sesuai dengan
Konteks Kalimat

Dalam sebuah kalimat kata yang satu dan kata yang


lain harus memperlihatkan hubungan yang serasi
secara semantis. Salah satu contohnya dapat kita
73
perhatikan pada penggunaan kata di mana dan yang
mana, yang telah dijelaskan di atas. Berdasarkan
konteks kalimatnya, penggunaan kata-kata tanya itu
(lihat kalimat (25)--(28) di atas) tidak serasi karena
kata tanya itu seharusnya digunakan untuk
mengungkapkan pertanyaan, sedangkan hubungan
makna antarkata dalam kalimat tersebut tidak
memerlukan kehadiran kata tanya. Oleh karena itu,
dalam kalimat berita (bukan kalimat tanya)
pemakaian kata-kata penanya seperti itu hendaknya
dihindari.
Contoh lain dapat dilihat pada kalimat berikut.

(33) Tujuan daripada penelitian ini adalah


sebagai berikut.

Kalimat (33) tersebut bukanlah kalimat yang


menyatakan ‘perbandingan’. Oleh karena itu,
penggunaan kata daripada pada kalimat tersebut
tidak sesuai sehingga fungsinya pun tidak ada. Atas
dasar itu, kata daripada pada kalimat tersebut
sebaiknya dihilangkan sehingga kalimat (33)
menjadi (33a) berikut.
(33a) Tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
Berdasarkan maknanya, kata daripada seharusnya
digunakan pada kalimat yang menyatakan makna
perbandingan.
Misalnya:
74
(34) Musim hujan tahun ini lebih lama
daripada tahun lalu.
(35) Tono lebih pandai daripada Toni.

(2) Penggunaan Bentuk Gramatikal

Istilah gramatikal tidak hanya digunakan dalam


struktur kalimat, tetapi dapat juga digunakan dalam
struktur kata. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan
bentuk gramatikal suatu kata adalah kelengkapan
suatu bentuk kata berdasarkan imbuhannya.
Perhatikan contohnya pada kalimat berikut.

(36) Para peserta upacara sudah kumpul di


lapangan.
(36) Sampai jumpa lagi pada kesempatan
yang lain.

Jika digunakan di dalam komunikasi yang


resmi, bentuk kata kumpul pada kalimat (36) dan
jumpa pada kalimat (37) dianggap tidak gramatikal
karena strukturnya tidak lengkap. Agar gramatikal,
bentuk kedua kata tersebut harus dilengkapi, yaitu
dengan menambahkan imbuhan ber- sehingga
menjadi berkumpul dan berjumpa, seperti yang
tampak pada perbaikannya berikut ini.

75
(36a) Para peserta upacara sudah berkumpul
di lapangan.
(37a) Samapi berjumpa lagi pada kesempatan
yang lain.

(3) Penggunaan Idiom

Idiom adalah dua buah kata atau lebih yang


maknanya tidak dapat dijabarkan dari makna
unsur-unsur pembentuknya. Misalnya, banting
tulang seperti yang terdapat pada kalimat di bawah
ini.
(38) Orang tua itu sampai membanting
tulang untuk membiayai kedua
anaknya.

Makna gabungan kata membanting tulang pada


kalimat tersebut adalah ‘bekerja keras’. Makna itu
tidak dapat dijabarkan dari unsur-unsur
pembentuknya, baik dari unsur membanting
maupun unsur tulang. Oleh karena itu, ungkapan
tersebut disebut idiom. Beberapa idiom yang lain
dapat dilihat di bawah ini.

kambing hitam ‘pihak yang dipersalahkan’


naik daun ‘kariernya sedang menanjak’
kembang desa ‘gadis tercantik’
mata keranjang ‘lelaki yang suka menggoda
wanita’
76
biang keladi ‘orang yang menjadi sumber
masalah’

Di dalam pemilihan kata, idiom tersebut


dapat digunakan sesuai dengan konteks
pemakaiannya. Terkait dengan itu, tulisan akademis
biasanya sangat jarang menggunakan idiom-idiom
semacam itu. Sebaliknya, dalam seni sastra idiom-
idiom semacam itu cukup banyak digunakan untuk
memperindah ungkapan.

(4) Penggunaan Ungkapan Idiomatis

Secara harfiah, istilah idiomatis bermakna ‘bersifat


seperti idiom’. Sehubungan dengan itu, yang
dimaksud dengan ungkapan idiomatis adalah dua
buah kata atau lebih yang sudah menjadi satu
kesatuan dalam mengungkapkan makna. Oleh
karena itu, ungkapan tersebut harus digunakan
secara utuh, dalam arti tidak boleh dihilangkan
salah satunya.
Beberapa ungkapan idiomatis dalam bahasa
Indonesia adalah sebagai berikut.

sesuai dengan
sehubungan dengan
berkaitan dengan
bergantung pada
tergantung pada
77
terdiri atas

Terkait dengan hal tersebut, kata kedua dari


ungkapan idiomatis tersebut, yaitu dengan, atas, dan
pada, sering dihilangkan oleh pemakai bahasa
karena dianggap tidak mendukung makna. Dalam
arti, tanpa kata kedua itu pun maknanya dianggap
sudah jelas. Meskipun tidak mendukung makna,
kata kedua dari ungkapan itu tidak seharusnya
dihilangkan karena keduanya sudah merupakan
satu kesatuan.

(5) Penggunaan Majas

Majas adalah kiasan atau cara melukiskan sesuatu


dengan menyamakan atau membandingkan dengan
sesuatu yang lain. Jenis majas yang lazim digunakan
dalam pemakaian bahasa adalah sebagai berikut.
(a) Perbandingan (personifikasi, metafora,
asosiasi, dsb.)
(b) Pertentangan (litotes, hiperbola, dsb.)
(c) Sindiran (ironi, sinisme, sarkasme, dsb.)
(d) Penegasan (pleonasme, aliterasi, dsb.)

Beberapa majas tersebut dapat dipilih dan


digunakan sesuai dengan konteks pemakaiannya
yang tepat.

(6) Penggunaan Kata yang Lazim


78
Faktor kebahasaan lain yang perlu dipertim-
bangkan dalam pemilihan kata adalah kelaziman
kata-kata yang harus dipilih. Dalam hal ini, yang
dimaksud kata yang lazim adalah kata yang sudah
biasa digunakan dalam komunikasi, baik lisan
maupun tulis. Kata yang lazim juga berarti kata yang
sudah dikenal atau diketahui secara umum. Dengan
demikian, penggunaan kata yang lazim dapat mem-
permudah pemahaman pembaca terhadap informasi
yang disampaikan. Sebaliknya, penggunaan kata
yang tidak/kurang/belum lazim dapat mengganggu
kejelasan informasi yang disampaikan karena
pembaca/pendengar belum memahami benar mak-
nanya. Oleh karena itu, penggunaan kata yang
tidak/belum lazim hendaknya dihindari. Atau, jika
kata itu akan digunakan, penggunaannya harus
disertai keterangan penjelas. Jika perlu, keterangan
penjelas itu dapat dicantumkan pada catatan kaki
agar penjelasannya dapat lebih leluasa.
Sebagai contoh, kata besar dalam bahasa
Indonesia bersinonim dengan kata raya, agung, dan
akbar. Sungguhpun demikian, kelaziman pemakaian
kata-kata itu berbeda-beda. Dalam ungkapan jalan
raya misalnya, kata jalan selain lazim digunakan
bersama kata raya, lazim pula digunakan bersama
kata besar. Namun, kata agung dan akbar tidak
lazim digunakan secara bersama-sama dengan kata

79
jalan. Dengan demikian, kalau diringkaskan, ke-
laziman itu tampak seperti berikut.

raya
besar
jalan *akbar
*agung

Kata jaksa lazim digunakan bersama kata


agung, tetapi tidak lazim digunakan bersama kata
besar, raya, atau akbar. Kata guru lazim digunakan
bersama kata besar, tetapi tidak lazim digunakan
bersama kata agung, akbar, dan raya. Dengan de-
mikian, gambaran dari keterangan itu tampak
seperti berikut.
agung
*akbar
jaksa *besar
*raya

besar
guru *agung
*akbar
*raya

Contoh lain dapat diperhatikan pada kalimat


berikut.
80
(39) Selain menjadi pegawai negeri, ia juga
membuka usaha jasa boga (catering).

Kata jasa boga merupakan kata yang


pemakaiannya relatif belum lazim. Oleh karena itu,
jika diperkirakan pembaca belum begitu memahami
maknanya, pemakaian kata itu perlu diberi
keterangan. Seperti tampak pada contoh (33),
keterangan yang disertakan adalah catering. Kata
asing catering ini pemakaiannya relatif sudah
meluas. Dengan demikian, sebagai keterangan
penjelas selain dapat mengingatkan pembaca bahwa
kata jasa boga merupakan padanan kata catering,
juga diharapkan dapat memperjelas pemahaman
pembaca terhadap kata jasa boga yang
diperkenalkan itu.

b. Faktor Nonkebahasaan
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kriteria
keserasian dalam pemilihan kata berkaitan pula
dengan faktor di luar masalah bahasa. Faktor
nonkebahasaan yang perlu diperhatikan dalam
pemilihan kata agar serasi, antara lain, adalah
sebagai berikut.
(1) Situasi pembicaraan
(2) Mitra bicara/lawan bicara
(3) Sarana bicara
(4) Kelayakan geografis
(5) Kelayakan temporal
81
Faktor-faktor nonkebahasaan yang berpengaruh di
dalam pemilihan kata itu secara ringkas akan
dibahas pada bagian berikut.

(1) Situasi Komunikasi


Situasi komunikasi atau situasi pembicaraan dalam
hal ini menyangkut situasi resmi dan situasi yang
tidak resmi. Dalam situasi pembicaraan yang resmi
bahasa yang digunakan harus dapat mencerminkan
sifat keresmian itu, yakni bahasa yang baku.
Kebakuan yang dimaksudkan itu harus meliputi
seluruh aspek kebahasaan yang digunakan, baik
bentuk kata, pilihan kata, ejaan, maupun susunan
kalimatnya.
Sehubungan dengan bentuk kata, beberapa
bentukan kata yang baku beserta prosedur
pembentukannya telah dibicarakan pada bagian
awal buku ini (lihat kembali Bab II). Kemudian, ber-
kaitan dengan pilihan kata, beberapa di antaranya
yang baku dan yang tidak baku dapat diperhatikan
pada contoh berikut.

Baku Tidak Baku


metode methode, metoda
teknik tehnik, technik
sistem sistim
persen prosen
persentase prosentase
kuitansi kwitansi
82
kualitas kwalitas
jadwal jadual
kuantitas kwantitas
kuesioner questioner
efisien effisien
efektif effektif, efektip
risiko resiko
analisis analisa
diagnosis diagnosa
hipotesis hipotesa
aktivitas aktifitas
produktivitas produktifitas
Februari Pebruari
November Nopember
Jumat Jum’at
Rabu Rabo, Rebo
biaya beaya
akta akte
foto photo
fotokopi photo copi, foto copy
objek obyek

Kata-kata yang termasuk dalam daftar baku


(lajur kiri) itulah yang harus dipilih dalam
pemakaian bahasa yang resmi. Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa kata-kata yang tergolong
tidak baku hendaknya dihindari pemakaiannya
dalam situasi komunikasi yang resmi. Selain itu,
dalam situasi pemakaian bahasa yang resmi,
83
hendaknya penggunaan kata-kata kiasan, prokem,
dan slang juga dihindari.

(2) Mitra Bicara


Berkenaan dengan faktor nonkebahasaan yang
berupa mitra bicara atau lawan bicara, hal-hal yang
perlu diperhatikan meliputi
(a) siapa mitra bicara,
(b) bagaimana kedudukan/status sosial, dan
(c) seberapa dekat hubungan pembicara dan
mitra bicara (akrab atau tidak akrab).

Jika mitra bicara kita usianya lebih tua atau


lebih muda, hal itu akan menentukan kata-kata yang
kita pilih untuk digunakan dalam berkomunikasi.
Kata-kata yang digunakan terhadap mitra bicara
yang lebih tua cenderung memiliki perbedaan de-
ngan kata-kata yang digunakan untuk mitra bicara
yang lebih muda. Kepada mitra bicara yang usianya
lebih tua, kata-kata yang dipilih untuk digunakan
lazimnya adalah kata-kata yang mencerminkan rasa
hormat, santun, dan sebagainya.
Kata-kata yang digunakan terhadap mitra
bicara yang status sosialnya lebih tinggi atau kedu-
dukannya lebih tinggi juga cenderung berbeda
dengan kata-kata yang digunakan terhadap mitra
bicara yang status sosialnya lebih rendah. Seorang
atasan, misalnya, dapat mengatakan, “Mengapa kau
selalu datang terlambat?” kepada bawahannya,
84
tetapi seorang staf atau bawahan tidak mungkin
menggunakan bentuk teguran semacam itu kepada
pimpinan atau atasannya.
Bahasa yang digunakan terhadap mitra bicara
yang mempunyai hubungan dekat (akrab) juga
berbeda dengan bahasa yang digunakan terhadap
mitra bicara yang hubungannya jauh (tidak/belum
akrab). Begitu juga halnya dengan bahasa yang
digunakan terhadap mitra bicara yang sudah di-
kenal atau yang belum dikenal. Dengan demikian,
hubungan yang akrab dan kurang akrab juga
menentukan bentuk bahasa atau pilihan kata yang
akan digunakan.

(3) Sarana Berbahasa


Faktor nonkebahasaan lain yang juga perlu
diperhatikan adalah sarananya berbahasa, yakni
lisan atau tulis. Bahasa yang digunakan secara lisan
juga memiliki perbedaan dengan bahasa yang di-
gunakan secara tertulis. Dalam bahasa lisan
informasi yang disampaikan dapat diperjelas
dengan penggunaan intonasi, gerakan anggota
tubuh, atau jeda dalam pembicaraan. Hal-hal yang
dapat memperjelas informasi dalam bahasa lisan itu
tidak terdapat pada bahasa tulis. Oleh karena itu,
unsur-unsur kebahasaan yang digunakan pada
ragam tulis dituntut lebih lengkap agar dapat
mendukung kejelasan informasi. Selain itu, peng-
gunaan tanda bacanya pun harus lengkap. Jika
85
unsur-unsur kebahasaan itu tidak lengkap, ada
kemungkinan informasi yang disampaikan pun
tidak dapat dipahami secara tepat.
Beberapa faktor nonkebahasaan yang telah
disebutkan di atas, sebagai bagian dari tradisi yang
melingkupi kehidupan masyarakat, mau tidak mau,
berpengaruh pula dalam pemakaian bahasa karena
bahasa pada dasarnya juga merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat. Dengan demikian, faktor-
faktor nonkebahasaan itu, baik yang menyangkut
situasi, mitra bicara, maupun sarana berbahasa,
harus pula dipertimbangkan dalam pemilihan kata
khususnya dan penggunaan bahasa pada umumnya.

(4) Kelayakan Geografis


Dalam kaitannya dengan pemilihan kata, yang
dimaksud kelayakan geografis adalah kesesuaian
antara kata-kata yang dipilih untuk digunakan dan
kelaziman penggunaan kata-kata tertentu pada
suatu daerah. Dengan demikian, ketika akan
menggunakan suatu kata, pemakai bahasa harus
mempertimbangkan apakah kata-kata yang akan
digunakan itu layak digunakan di daerah itu atau
tidak. Hal itu karena di suatu daerah biasanya ada
kata-kata tertentu yang dianggap tabu untuk
digunakan dalam komunikasi umum.
Di wilayah Kalimantan, misalnya, kata butuh
mengandung makna tertentu, yakni alat kelamin
laki-laki, sehingga tidak seharusnya digunakan
86
dalam komunikasi umum. Oleh karena itu, pemakai
bahasa hendaknya menghindari penggunaan kata
itu. Sebagai penggantinya, kata butuh dapat diganti
dengan kata perlu jika digunakan di wilayah itu.
Di daerah yang lain pun tidak tertutup
kemungkinan adanya kata-kata yang dianggap tabu
seperti itu. Oleh karena itu, pemakai bahasa
diharapkan dapat memahami kata-kata tertentu
yang dianggap tabu. Hal itu dimaksudkan agar
pemakai bahasa dapat menggunakannya dalam
konteks yang memang sesuai sehingga terhindar
dari penggunaan kata yang tidak pada tempatnya.

(5) Kelayakan Temporal


Kelayakan temporal yang dimaksud dalam hal ini
adalah kesesuaian antara kata-kata yang dipilih
untuk digunakan dan zaman penggunaan kata-kata
tertentu pada suatu masa. Dengan demikian, ketika
akan menggunakan suatu kata, pemakai bahasa
harus mempertimbangkan apakah kata-kata yang
akan digunakan itu layak pada zaman tertentu atau
tidak. Hal itu karena pada masa tertentu ada
sejumlah kata atau istilah yang lazim digunakan,
tetapi kata atau istilah itu tidak lazim pada masa
yang lain.
Pada masa orde lama, misalnya, ada kata-
kata tertentu yang lazim digunakan pada masa itu.
Kata gestapu, misalnya, juga kata ganyang, berdikari,
dan antek lazim digunakan pada masa orde lama.
87
Adapun pada masa orde baru kita mengenal kata
seperti kelompencapir, anjangsana, dan ABRI masuk
desa.
Pada awal abad ke-20 kita juga mengenal ada
kata syahdan, hulubalang, alkisah, hikayat, dan
sebagainya. Kata-kata seperti itu tentu tidak relevan
lagi jika digunakan pada masa sekarang. Dengan
kata lain, kata-kata seperti itu hanya layak
digunakan pada zamannya, dan tidak layak
digunakan pada masa sekarang. Kelayakan temporal
seperti itu juga perlu dipertimbangkan dalam
memilih kata.

2.4 Pilihan Kata yang Tidak Tepat


Sehubungan dengan pemilihan kata, berikut ini akan
diberikan beberapa contoh pilihan kata dan
pemakaiannya yang kurang/tidak tepat beserta
alternatif perbaikannya.

a. Pemakaian Kata Ganti Saya, Kita, dan Kami


Kata ganti atau pronomina saya, kita, dan kami
sering digunakan secara tidak tepat. Dikatakan tidak
tepat karena ketiga kata ganti itu pemakaiannya
sering dikacaukan. Di satu pihak, kata kita sering
digunakan sebagai pengganti saya dan, di pihak lain,
kata saya pun tidak jarang digantikan dengan kata
kami.
88
Pengacauan pemakaian kata kita dan saya
umumnya terjadi dalam ragam lisan, yang
terpengaruh oleh dialek Jakarta atau bahasa daerah
tertentu. Dalam ragam lisan itu kata kita sering
digunakan sebagai pengganti orang pertama tunggal
(saya).
Misalnya:

(40) Kemarin waktu kita pulang sekolah, dia


sudah ada di sini.

Kata kita sebenarnya merupakan kata ganti


orang pertama jamak, yaitu yang meliputi
pembicara dan lawan bicara, sedangkan kata saya
merupakan kata ganti orang pertama tunggal, yang
hanya meliputi pembicara. Karena perbedaan itu,
pemakaian kata kita sebagai pengganti kata saya
tidak dapat dibenarkan, terutama jika digunakan
dalam ragam resmi, baik lisan maupun tulis. Seperti
pada kalimat (34), jika yang dimaksud kita adalah
pembicara atau saya, seharusnya kalimat itu diubah
menjadi seperti berikut.

(40a) Kemarin waktu saya pulang sekolah, dia


sudah ada di sini.

Jika dipandang dari segi penggunaan kata


gantinya, kalimat perbaikan itu sudah benar.
Namun, tingkat kebakuannya masih relatif rendah
89
karena bentukan kata waktu dan ada belum
lengkap. Jika digunakan dalam ragam resmi, baik
lisan maupun tulis, kata waktu dan ada harus
dilengkapi, yaitu menjadi sewaktu (yang
berpadanan dengan ketika) dan berada, sehingga
kalimat tersebut menjadi seperti berikut.
(40b) Kemarin sewaktu (ketika) saya pulang
sekolah, dia sudah berada di sini.

Berbeda dengan itu, dalam suatu karya tulis


atau dalam surat-menyurat kata saya, yang
merupakan pengganti penulis, sering digantikan
dengan kata kami. Penggantian itu sering
dimaksudkan untuk menghormati pembaca atau
untuk merendahkan diri (penulis). Dalam kaitan itu,
penggunaan kata kami sebagai pengganti penulis
pada dasarnya juga tidak dapat dibenarkan dari segi
bahasa, kecuali kalau penulisnya memang lebih dari
satu.
Dalam surat-menyurat, misalnya, kata kami
dan saya memang dapat digunakan, tetapi
pemakaiannya berbeda. Jika penulis surat mewakili
kelompok atau lembaga, pemakaian kata kami
memang tepat. Namun, jika penulis surat hanya
mewakili dirinya sendiri, tidak mewakili siapa pun,
penggunaan kata kami tidak tepat karena kami
merupakan kata ganti orang pertama jamak. Dalam
hal itu, jika hanya mewakili dirinya sendiri, lebih

90
tepat penulis surat menggunakan kata saya, bukan
kami.
Sehubungan dengan masalah tersebut,
penggunaan kata ganti saya sebagai pengganti
penulis surat sebenarnya sudah cukup sopan.
Apalagi, jika mengingat bahwa kata saya berasal
dari kata sahaya, yang berarti ‘abdi, budak’. Jadi,
kata saya sudah menyatakan tindakan merendahkan
diri, sudah menyatakan rasa hormat. Oleh karena
itu, kata kami sebagai ungkapan untuk menghormati
orang yang dikirimi surat tidak perlu digunakan jika
penulis surat memang tidak mewakili siapa pun.
Dalam bahasa daerah tertentu kata kami mungkin
lebih sopan daripada kata saya, tetapi di dalam
bahasa Indonesia tidaklah demikian.
Seperti halnya dalam surat, dalam karya tulis
pun penulis sering menyebut dirinya dengan kata
kami. Penggunaan kata itu selain dimaksudkan
untuk merendahkan diri, konon—menurut adat
ketimuran—penulis juga tidak ingin menonjolkan
diri dengan menggunakan kata saya. Akibatnya, kata
kami dipilih untuk menggantikan diri penulis
meskipun hal ini sebenarnya tidak relevan dengan
tradisi ilmiah.
Dari segi bahasa, penggunaan kata kami
sebagai pengganti penulis tidak tepat karena dalam
hal itu penulis tidak mewakili siapa pun. Kata yang
tepat digunakan adalah saya. Sungguhpun demikian,
jika dengan kata itu penulis merasa kurang
91
“nyaman”, sebenarnya ia dapat menggunakan
bentuk lain seperti sering dilakukan oleh beberapa
orang penulis, yaitu dengan menggunakan kata
penulis. Kecuali itu, ia dapat pula menggunakan
bentuk pasif untuk mengimplisitkan penyebutan
dirinya.
Misalnya:

(41) Dalam penelitian ini saya bermaksud


mendeskripsikan hubungan antara tingkat
pendidikan dan produktivitas kerja
karyawan.
(41a) Dalam penelitian ini penulis bermaksud
mendeskripsikan hubungan antara tingkat
pendidikan dan produktivitas kerja
karyawan.
(41b) Dalam penelitian ini akan dideskripsikan
hubungan antara tingkat pendidikan dan
produktivitas kerja karyawan.

Dalam ketiga contoh tersebut informasi yang


ingin disampaikan sebenarnya sama, tetapi
dinyatakan dengan sudut pandang yang berbeda.
Contoh tersebut dimaksudkan untuk memperlihat-
kan bahwa tanpa menggunakan kata kami pun
penulis tidak perlu merasa menonjolkan diri. Kata
saya, penulis, ataupun bentuk pasifnya cukup sopan
untuk digunakan dalam tradisi ilmiah tanpa harus
kehilangan sifat keilmiahannya.
92
b. Pemakaian Kata Kebijakan dan Kebijasanaan
Kata kebijakan dan kebijaksanaan keduanya
merupakan bentukan kata yang benar dan baku.
Namun, penggunaan keduanya berbeda. Kata
kebijakan digunakan untuk menyatakan hal-hal
yang menyangkut masalah politik atau strategi ke-
pemimpinan dalam pengambilan putusan.
Misalnya:
(42) Berdasarkan kebijakan pemerintah dalam
bidang pariwisata, tahun 2012 dicanangkan
sebagai Tahun Kunjungan Indonesia.

Berbeda dengan itu, penggunaan kata


kebijaksanaan lazimnya berkaitan dengan masalah
kearifan atau kepandaian seseorang dalam
menggunakan akal budinya.
Misalnya:

(43) Para orang tua diharapkan dapat mendidik


anak-anaknya secara bijaksana.
(44) Berkat kebijaksanaan orang tuanya, Yuli
akhirnya diizinkan mengikuti kursus
komputer.

Dalam hubungan itu, kata kebijakan


berpadanan dengan kata asing policy, sedangkan
kebijaksanaan berpadanan dengan kata asing
wisdom.
93
c. Pemakaian Kata Mantan dan Bekas
Kata mantan dan bekas sebenarnya memiliki
pengertian yang sama, yaitu ‘tidak berfungsi lagi’.
Kedua kata itu merupakan padanan kata asing ex
(Inggris). Namun, kata bekas cenderung
mengandung konotasi yang negatif, terutama jika
digunakan untuk mengacu pada ‘orang’. Oleh karena
itu, kata mantan kemudian dipilih sebagai
penggantinya. Penggunaan kata mantan, dengan
demikian, untuk menghilangkan konotasi yang
negatif itu dengan maksud untuk menghormati
orang yang diacu. Karena demikian, penggunaannya
pun berkenaan dengan orang yang dihormati, yang
pernah memangku jabatan dengan baik, atau yang
pernah mempunyai jabatan/profesi yang luhur.
Misalnya:
mantan menteri
mantan gubernur
mantan camat
mantan kepala desa
mantan kepala biro

Adapun kata bekas penggunaannya hanya


dilazimkan untuk menyebut barang-barang yang
sudah tidak terpakai lagi atau orang yang tidak
harus dihormati.
Misalnya:

94
bekas mobil
bekas tempat rokok
bekas pencuri
bekas perampok

d. Pemakaian Kata Jam dan Pukul


Kata jam dan pukul sering pula dikacaukan
pemakaiannya dan tidak jarang dianggap sama.
Padahal, kedua kata itu pada dasarnya mengandung
makna yang berbeda. Kata jam selain menyatakan
makna ‘durasi atau jangka waktu’, juga menyatakan
makna ‘arloji’ atau ‘alat penunjuk waktu’, sedangkan
kata pukul menyatakan ‘waktu atau saat’. Dengan
demikian, jika yang ingin diungkapkan adalah
‘waktu’, kata yang harus digunakan adalah pukul.
Misalnya:

(45) Mereka akan berangkat pada pukul 09.30.


(46) Rapat itu akan diselenggarakan pada pukul
10.00.

Sebaliknya, jika yang ingin diungkapkan itu


‘durasi atau ‘jangka waktu’, kata yang harus
digunakan adalah jam.
Misalnya:

(47) Para pekerja di Indonesia rata-rata bekerja


selama delapan jam sehari.

95
Selain digunakan untuk menyatakan ‘durasi
atau jangka waktu’, kata jam juga digunakan untuk
mengacu pada benda penunjuk waktu atau arloji.
Jadi, jam juga bersinonim dengan arloji.

e. Pemakaian Kata Dari dan Daripada


Kata dari dan daripada pemakaiannya berbeda.
Perbedaan itu disebabkan oleh maknanya yang
tidak sama. Kata dari lazimnya digunakan untuk
menyatakan makna ‘asal’, baik ‘asal tempat’ maupun
‘asal bahan’.
Misalnya:
(48) Mereka baru pulang dari Yogyakarta.
(49) Meja ini terbuat dari marmer

Pada kalimat (42) kata dari menyatakan


makna ‘asal tempat’, sedangkan pada kalimat (43)
kata dari menyatakan makna ‘asal bahan’.
Berbeda dengan kata dari, kata daripada hanya
digunakan untuk menyatakan perbandingan, seperti
yang dapat diperhatikan pada contoh berikut.

(50) Ali lebih pandai daripada Temon.


(51) Gunung Himalaya lebih tinggi daripada
Gunung Kelud.

Pada kalimat semacam (44) dan (45) pemakai


bahasa kadang-kadang menggunakan kata dari

96
sebagai padanan daripada, seperti yang dapat
diperhatikan pada contoh berikut.

(52) Kota Jakarta lebih besar dari kota Bandung.


(?)
(53) New York lebih jauh dari London. (?)

Penggunaan kata dari sebagai pengganti


daripada seperti pada contoh tersebut tentu tidak
tepat karena, baik fungsi maupun maknanya, kedua
kata itu berbeda.
Kenyataan lain yang sering dijumpai dalam
pemakaian bahasa adalah bahwa kata daripada
cukup sering digunakan secara tidak tepat.
Misalnya:
(54) Disiplin kerja merupakan pangkal daripada
produktivitas.
(55) Seluruh biaya daripada pembangunan
masjid itu ditanggung oleh masyarakat.

Penggunaan kata daripada pada kedua kalimat


tersebut tidak tepat karena selain kata itu tidak
diperlukan dalam kalimat tersebut, juga karena kata
itu tidak digunakan untuk menyatakan
perbandingan. Kalimat itu akan menjadi tepat jika
tidak menggunakan kata daripada. Perhatikan
perbaikannya berikut ini.

97
(54a) Disiplin kerja merupakan pangkal
produktivitas.
(55a) Seluruh biaya pembangunan masjid itu
ditanggung (oleh) masyarakat.

f. Pemakaian Kata Adalah dan Yaitu


Dalam penggunaan bahasa Indonesia tidak jarang
kata adalah dan yaitu penggunaannya
dipertukarkan. Dalam posisi kata adalah orang
sering menggunakan kata yaitu, begitu pula
sebaliknya.
Misalnya:

(56) Logam yaitu suatu benda yang dapat


memuai jika dipanaskan.

Penggunaan kata yaitu pada kalimat (56) tidak


tepat karena pada posisi kata itu yang diperlukan
adalah kata yang berfungsi predikatif. Dalam hal ini,
kata yang memiliki fungsi predikatif adalah ialah
atau adalah, bukan yaitu. Dengan demikian, jika
pemilihan katanya dicermatkan, kalimat (56)
menjadi (56a) berikut.

(56a) Logam adalah suatu benda yang dapat


memuai jika dipanaskan.
(56b) Logam ialah suatu benda yang dapat
memuai jika dipanaskan.

98
Jika penggunaannya dicermatkan, kata adalah
dan ialah juga berbeda dalam penggunaannya. Kata
adalah digunakan untuk menjelaskan, sedangkan
ialah digunakan untuk mendefinisikan. Lalu,
bagaimana penggunaan kata yaitu?
Kata yaitu berfungsi untuk menerangkan. Oleh
karena itu, penggunaannya yang tepat adalah pada
akhir kalimat yang sudah lengkap dan perlu diberi
keterangan.
Misalnya:

(57) Ada dua hal yang menyebabkan kenaikan


harga kebutuhan pokok, yaitu persediaan
yang semakin tipis dan kenaikan harga BBM.
(58) Ada dua hal yang menyebabkan kenaikan
harga kebutuhan pokok, yakni persediaan
yang semakin tipis dan kenaikan harga BBM.

Dalam kaitan itu, penggunaan kata yaitu sama


dengan kata yakni. Oleh karena itu, pada kalimat
(57) kata yaitu dapat diganti dengan yakni (58).
Dalam posisi kata yakni dan yaitu, kata misalnya
dan antara lain juga sering digunakan. Namun,
kedua kata itu penggunaannya berbeda dengan kata
yakni dan yaitu. Tempatnya memang sama, yaitu
sesudah sebuah kalimat itu lengkap dan berfungsi
untuk memberi keterangan. Meskipun demikian,
fungsinya berbeda. Kata yaitu dan yakni digunakan
untuk menyebutkan seluruhnya, sedangkan kata
99
misalnya dan antara lain digunakan untuk
menyebutkan sebagian dari jumlah yang lebih
banyak.
Misalnya:

(59) Banyak hal yang menyebabkan kenaikan


harga kebutuhan pokok, antara lain
persediaan barang yang semakin tipis dan
kenaikan harga BBM.
(60) Ada beberapa hal yang menyebabkan
kenaikan harga kebutuhan pokok, misalnya
persediaan barang yang semakin tipis dan
kenaikan harga BBM.

Dengan memperhatikan beberapa contoh


tersebut, pemakai bahasa diharapkan dapat memilih
kata secara cermat sehingga dapat mendukung
makna yang tepat dan mengungkapkan informasi
secara akurat.

100
BAB IV
PENUTUP

4.1 Penegasan
Bentuk dan pilihan kata merupakan aspek kebahasaan
yang sangat penting dalam berkomunikasi. Oleh
karena itu, aspek tersebut perlu dipahami benar dan
dipertimbangkan dengan baik dalam pemilihan kata.
Dengan memahami berbagai kaidah
pembentukan kata yang telah disebutkan di atas, para
pemakai bahasa diharapkan dapat mengetahui
berbagai bentukan kata yang benar dan dapat
membetulkan bentukan-bentukan kata yang salah. Di
samping itu, dengan mengetahui sejumlah kriteria
yang dituntut dalam pemilihan kata, para pemakai
bahasa diharapkan dapat mengetahui ketepatan
penggunaan kata dan mampu memilih kata secara
cermat, serta dapat menentukan keserasian atau
kelayakan penggunaan kata sesuai dengan konteks

101
pemakaiannya, baik yang berupa konteks kebahasaan
maupun konteks nonkebahasaan.

4.2 Rekomendasi
Bahan penyuluhan ini masih bersifat umum. Oleh
karena itu, para penyuluh diharapkan dapat memilih
bagian-bagaian mana yang akan disampaikan kepada
pesuluh dengan mempertimbangkan sasarannya siapa
dan berapa lama aspek kebahasaan ini dijadwalkan.
Dalam hal ini, jika sasaran dan durasi penyuluhannya
berbeda tentu bahan yang harus disiapkan pun perlu
disesuaikan.

102
DAFTAR PUSTAKA

Badudu, J.S. 1984. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar.


Jakarta: PT Gramedia.
Halliday, M.A.K. et al. 1966. "The Users and Uses of
Language". Dalam The Linguistics Sciences and
Language Teaching. London: Longman.

Millward, Celia. 1980. Handbook for Writers. New


York: Holt, Rinehart and Winston.

Moeliono, Anton M. 1988. Kembara Bahasa. Jakarta:


PT Gramedia.

Mustakim. 1994. Membina Kemampuan berbahasa:


Panduan ke Arah Kemahiran Berbahasa.
Jakarta: PT Gramedia.

Ramlan, M. 1981. Ilmu Bahasa Indonesia: Morfologi.


Yogyakarta: UP Karyono.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1991.


Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka

Trelease, Sam F. 1980. How to Write Scientific and


Technical Paper. Baltomore: Williams &
Wilkins.

103

Anda mungkin juga menyukai