Anda di halaman 1dari 19

SOSIOLINGUISTIK

STANDARISASI BAHASA INDONESIA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiolinguistik yang diampu oleh
Muhammad Firman Alfahad, M.Pd

Disusun oleh :

1. Farhan ferdiyansyah (032118105)

2. Femi Ameida (032118013)

3. Kardi (032118047)

4. Mohamad Bayu Afriansyah (032118087)

5. Wina Respiana (032118107)

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PAKUAN

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
kami, sehingga dapat menyelesaikan makalah mengenai “Standarisasi Bahasa Indonesia”
tepat pada waktunya.

Makalah yang dibuat dengan tema “Standarisasi Bahasa Indonesia” ini bertujuan
untuk memenuhi tugas mata Sosiolinguistik. Penyusun menyadari bahwa tersusunnya
makalah ini atas bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung.

Maka dari itu, izinkanlah penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Firman
Alfahad, M.Pd. selaku dosen pengajar mata kuliah Sosiolinguistik yang selalu memberikan
tuntunan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Penyusun menyadari penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan makalah kedepannya. Terima Kasih

Bogor, Desember 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................i

DAFTAR ISI ..........................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................1

A. Latar Belakang ..........................................................................1


B. Rumusan Masalah ..........................................................................2
C. Tujuan Penelitian ..........................................................................2
BAB II LANDASAN TEORI...............................................................3

A. Standarisasi Bahasa ..........................................................................3


1. Bahasa Standar ..........................................................................4
2. Bahasa Baku ..........................................................................5
3. Fungsi Bahasa Baku..........................................................................6
4. Keperluan Pembakuan Bahasa Indonesia..........................................7
5. Bahasa Indonesia Baku......................................................................8
6. Proses Pembakuan Bahasa.................................................................10
7. Batasan Bahasa ..........................................................................11
B. Upaya Pembakuan Bahasa Indonesia................................................13
BAB III PENUTUP ..........................................................................15

3.1 Simpulan ..........................................................................15

3.2 Saran ..........................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sebagai bahasa yang hidup, bahasa Indonesia telah dan akan terus mengalami
perubahan sejalan dengan perkembangan masyarakat pemakainya. Bahasa Indonesia
mempunyai sebuah aturan, yang baku dalam pengguanaanya, namun dalam praktiknya sering
terjadi penyimpangan dari aturan yang baku tersebut. Kata-kata yang menyimpang disebut
kata nonbaku.
Bahasa merupakan salah satu alat untuk mengadakan interaksi terhadap manusia yang
lain. Jadi bahasa tersebut tidak dapat dipisahkan dengan manusia. Dengan adanya bahasa kita
kita dapat berhubungan dengan masyarakat lain yang akhirnya melahirkan komunikasi dalam
masyarakat. Bahasa Indonesia mempunyai sebuah aturan yang baku dalam pengguanaanya,
namun dalam prakteknya sering terjadi penyimpangan dari aturan yang baku tersebut. Kata-
kata yang menyimpang disebut kata non baku.
Hal ini terjadi salah satu penyebabnya adalah faktor lingkungan. Faktor ini
mengakibabkan daerah yang satu berdialek berbeda dengan dialek didaerah yang lain,
walaupun bahasa yang digunakannya terhadap bahasa Indonesia. Saat kita mempergunakan
bahasa Indonesia perlu diperhatikan situasi dan kondisinya. kapan kita memakai ragam
bahasa baku dan kapan kita memakai bahasa yang komunikatif. Ragam bahasa baku dipakai
apabila pada situasi resmi, ilmiah. Tetapi ragam bahasa non baku dipakai pada situasi santai
dengan keluarga, teman, dan di pasar, tulisan pribadi, buku harian. Oleh karena itu penting
untuk diperhatikan penggunaan ragam bahasa baku dan bukan baku dalam kehidupan sehari-
hari.
Bahasa Indonesia baku adalah bahasa Indonesia yang digunakan dalam situasi formal
atau resmi, secara tertulis misalnya surat-menyurat dalam kedinasan, lamaran pekerjaan,
undang-undang, dan sebagainya, sedangkan secara lisan seperti pidato kenegaraan, khotbah,
dan sebagainya. Anjuran pemerintah untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan
benar harus kita lakukan dengan sungguh-sungguh, sebab kelangsungan hidup bahasa
Indonesia ada di tangan kita.
Standardisasi bahasa (pembakuan Bahasa) mengacu pada pemilihan referensi yang
paling masuk akal dan terbaik dalam penggunaan bahasa. Masalah keadilan melibatkan

1
banyak aspek. Misalnya, dalam bahasa, aspek ini mencakup konteks, lokasi, mitra, alat, status
pembicara, waktu, dll. Aspek-aspek ini juga disebut konteks.
Hal ini terjadi salah satu penyebabnya adalah faktor lingkungan. Faktor
inimengakibabkan daerah yang satu berdialek berbeda dengan dialek didaerah yang
lain,walaupun bahasa yang digunakannya terhadap bahasa Indonesia. Saat kita
mempergunakanbahasa Indonesia perlu diperhatikan situasi dan kondisinya. kapan kita
memakai ragambahasa baku dan kapan kita memakai bahasa yang komunikatif.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu standarisasi bahasa Indonesia?
2. Apa itu bahasa baku?
3. Bagaimana upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui standarisasi bahasa Indonesia
2. Untuk mengetahui apa itu bahasa baku
3. Untuk mengetahui upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia

2
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Standarisasi Bahasa
Pembakuan atau standarisasi bahasa adalah proses penentuan ukuran atau
normarujukan yang digunakan atau dapat digunakan sebagai kerangka rujukan atau patokan
dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Norma itu
ditentukan oleh masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan sendiri atas dasar
kesepakatan sosial sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan. Pembakuan bahasa
merupakan penentuan ukuran atau norma rujukan yang digunakan atau dapat digunakan
sebagai kerangka rujukan atau patokan dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat pemakai
bahasa yang bersangkutan. Norma itu ditentukan oleh masyarakat pemakai bahasa yang
bersangkutan sediri atas dasar kesepakatan sosial sesuai dengan kebutuhan dan tingkat
perkembangan (Efendi, 1984: 86).
Pembakuan bahasa yang secara ideal bertujuan menetapkan penggunaan bahasa
secara mutlak, bernalar, teratur dan lengkap sedemikian rupa sehingga norma itu disepakati,
diterima oleh setiap masyarakat yang bersangkutan tidak mungkin dicapai baik dari segi teori
atau kenyataan (Efendi, 1984: 87). Pembakuan bahasa memungkinkan bahasa yang
bersangkutan tumbuh dan berkembang sesuai dengan dinamika pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat pemakainya.
Dalam hubungan ini, pembakuan bahasa harus ditandai oleh adanya keseimbangan
antara tujuan pembakuan itu sendiri, yaitu pengadaan kerangka rujukan dan patokan sehingga
terdapat keseragaman umum (Efendi, 1984: 87-88). Pada hakekatnya pembakuan bahasa itu
bukan kekayaan bahasa itu sendiri, tapi lebih merupakan suatu penyikapan istimewa
masyarakat penutur bahasa terhadap bahasa, yang pada akhirnya bermuara pada pelambangan
sosial, kebanggaan atau pemerlain sosial (Alwasilah, 1986: 118).
Salah satu usaha manusia untuk memperoleh alat komunikasi yang sebaik-baiknya
dalam kehidupan manusia adalah penentuan bahasa standar dan non standar yang merupakan
dua ragam dalam pemakaian bahasa sebagai hasil proses panjang dan saling berkaitan dalam
peristiwa kebahasaan. Namun, bagi negara-negara maju persoalan bukan lagi menjadi suatu
hal yang perlu dipermasalahkan karena penggunaan bahasa mereka sudah mantap dan mapan
(Aslinda dan leni Syafyahya, 2007: 119).

3
1. Bahasa Standar
Bahasa standar adalah bahasa yang menjadi ukuran (acuan) bagi bahasa yang baik,
atau bagi variasi bahasa yang lain, bahasa non standar tetap hidup, dibina, dan berkembang
sesuai dengan fungsinya. Proses standarisasi ada karena keperluan komuikasi. Dalam proses
ini ada satu variasi bahasa diangkat untuk mendukung fungsu-fungsi tertentu. Pada
hakikatnya, sebuah negara menghendaki adanya suatu bahasa yang dapat dipakai sebagai alat
komunikasi bagi seluruh warganya, baik dalam rangka pembinaan kebangsaan, administrasi
pemerintahan, maupun dalam bidang pendidikan.
Dengan adanya suatu bahasa untuk seluruh negara, hubungan antara pemerintah
dengan yang diperintah, antara instansi-instansi yang ada dalam sebuah negara, serta antara
pendidik dengan anak didiknya berlangsung dengan lancar dan tidak mengalami kesulitan.
Oleh karena itulah perlu adanya suatu penetapan bahasa yang standar. Untuk menentukan
bahasa standar, ada proses yang melewati berbagai konflik, namun ada pula yang tidak.
Dalam hal penetapan bahasa indonesia, hampir tidak ada persoalan, padahal dinegara-negara
lain hal ini merupan persoalan yang penting (Aslinda dan leni Syafyahya, 2007: 119).
Dinegara lain terutama india, filipina, dan malaysia tidak terjadi peristiwa historis
yang merintis jalan menuju pemilihan bahasa nasional sehingga proses pembakuan bahasa
tidak mudah diputuskan. Sebagai contoh, sejak 1947, india telah memperoleh kemerdekaan
dan telah berusaha menentukan bahasa nasionalnya untuk menggantikan bahasa inggris yang
dirasakan kurang cocok bagi negara yang telah merdeka. Atas berbagai pertimbangan yang
dianggap telah bijaksana, pemerintah india menetapkan bahasa urdu/bahasa hindi sebagai
calon bahasa nasional yang akan diajukan keparlemen. Namun, tindakan ini tidak disetujui
oleh sebagian rakyat sehingga timbul huru-hara. Masing-masing daerah menuntut agar
bahasa daerahnya dapat diangkat sebagai bahasa nasional. Dengan adanya reaksi semacam
itu, terpaksa pemerintah india menangguhkan penetapannya. Sampai saat ini negara india
tetap tidak memiliki bahasa nasional sendiri dan bahasa inggris tetap menguasai kebahasaan
di negara itu (Aslinda dan leni Syafyahya, 2007: 120).
Setelah kerja pembakuan bahasa atau standar bahasa yang memang sangat dibutuhkan
oleh suatu negara, dalam perkembangan selanjutnya banyak hal harus dipikirkan dan
dikerjakan untuk mengembangkan bahasa tersebut, salah satunya adalah penetapan dan
penciptaan istilah. Di indonesia, istilah-istilah dapat diambil dari berbagai bahasa. Bila

4
memang dibutuhkan dan memang belum ada bahasa tersebut dalam bahasa indonesia maka
ada dua cara pengambilan istilah dari bahasa lain, yakni:
1. Langsung disesuaikan dengan bahasa indonesia, baik bentuk maupun artinya.
2. Kedua masih dipinjam, dalam arti tulisannya masih dipertahankan dalam bahasa asalnya.
Maksudnya, ada dua cara penciptaan istilah, yaitu dipungut dan dipinjam.

2. Bahasa Baku
Bahasa baku adalah bahasa yang memiliki nilai komunikatif yang tinggi, yang digunakan
dalam kepentingan nasional, dalam situasi resmi atau dalam lingkunganresmi dan pergaulan
sopan yang terikat oleh tulisan baku, ejaan baku, serta lafal baku (Junus danArifin Banasuru,
1996:62). Bahasa baku tersebut merupakan ragam bahasa yang terdapat pada bahasa
bersangkutan. Ragam baku itu merupakan ragam yang dilembagakan dan diakui oleh
sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan diakui oleh sebagian
kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya.Untuk menentukan apakah sebuah
ragam bahasa itu baku atau tidak, maka ada tiga hal yang dijadikan patokan. Ketiga hal
tersebut adalah kemantapan dan kedinamisan, kecendikian dan kerasionalan, serta
keseragaman.
a) Kemantapan dan Kedinamisan
Mantap artinya sesuai atau taat dengan kaidah bahasa. Kata rasa, misalnya kalau
dibubuhiimbuhan pe- maka terbentuklah kata jadian perasa. Begitu juga kata raba. Kata
tersebut biladibubuhi imbuhan pe- maka akan terbentuk kata jadian peraba. Kata rajin
juga demikian. Kalaukita taat asas maka kita akan mengatakan pengaji bukan pengkaji
untuk orang yang melakukankajian (research). Dinamis artinya tidak statis alias tidak
kaku. Bahasa baku tidak menghendaki bentuk yang kaku, apalagi mati. Kata langganan
mempunyai makna ganda, yaitu orang yang berlangganan dan tokohnya disebut
langganan dan orang yang berlangganan di tokoh itu disebut pelanggan.
b) Kecendikian atau Kerasionalan
Ragam baku bersifat cendikia karena ragam baku dipakai di tempat-tempat resmi
danoleh orang terpelajar. Selain itu, ragam baku dapat menjembatani antarpengguna,
sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam pemerosesan pesan. Dapat juga dikatakan
ragam bakumemberikan gambaran apa yang ada di dalam otak pembicara atau penulis,
serta memberikangambaran yang jelas dalam otak pendengar atau pembaca.Contoh
kalimat yang tidak cendikia:
1) Dukun beranak di jalan.

5
2) Saya akan membeli buku sejarah baru.
3) Permasalahan itu telah disampaikan berulang kali.
Kontruksi dukun beranak dan buku sejarah baru pada kalimat (1) dan (2) di atas
bermaknaganda. Makna pada kalimat (1) kemungkinan ada dua, yaitu dukun melahirkan
di jalan dandukun yang profesinya sebagai dukun beranak berada di jalan. Kalimat (2)
juga memilikikegandaan makna. Makna kalimat tersebut bisa saja buku yang baru dan
bisa juga sejarahnya yang baru. Sedangkan kalimat (3) terdapat kekurangtepatan dalm
menentukan pasangan katayang cocok. Perbaikan kata yang kurang tepat itu adalah
berulang-ulang atau berkali-kali.
c) Penyeragaman
Pada hakikatnya pembakuan bahasa berarti penyeragaman bahasa. Dengan kata lain,
pembakuan bahasa artinya pencarian atau penentuan titik-titik keseragaman. Sebagai
contoh,sebutan pelayanan kapal terbang dianjjurkan mengguanakan istilah pramugara
untuk laki-lakidan pramugari untuk perempuan. Andaikata ada orang yang menggunakan
katasteward/stewardes dan penyerapan itu seragam,maka kata-kata tersebut menjadi kata-
kata baku.Akan tetapi, kenyataannya hingga saat ini kedua kata tersebut tidak kita
gunakan dalam kontekskeindonesiaan.

3. Fungsi Bahasa Baku


Selain berfungsi sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi, bahasa
bakumempunyai fungsi lain. Gravin dan Mathint (Chaer : 252) menjelaskan bahwa bahasa
baku bersifat sosial politik, yaitu fungsi pemersatu, fungsi pemisah, fungsi harga diri, dan
fungsi kerangka acuan.
Alwi, dkk. (1998:14-20) menjelaskan bahwa bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga
diantaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif.
Fungsi-fungsi tersebut adalah :
(1) fungsi pemersatu
(2) fungsi pemberi kekhasan
(3) fungsi pembawa kewibawaan
(4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Kridalaksana (1975) mencatat empat fungsi bahasa yang menuntut penggunaan ragam
baku,yaitu
(1) komunikasi resmi
(2) wacana teknis

6
(3) pembicaraan di depan umum
(4) pembicaraan dengan orang yang dihormati.
Dari empat fungsi bahasa yang menuntut ragam baku itu, hanya dua yang terakhir yang
langsung berkaitan dengan komunikasi verbal secara lisan. Dengan kata lain, lafal baku
perlu digunakan dalam pembicaraan di depan umum, seperti kuliah, ceramah, khotbah,
pidato, dsb. atau dalam pembicaraan dengan orang yang dihormati seperti pembicaraan
dengan atasan, dengan guru,dengan orang yang baru dikenal dsb.
Di atas telah kita lihat bahwa ragam bahasa baku dianggap sebagai ragam bahasa
yang baik yangcocok untuk keperluan komunikasi verbal yang penting, yang menjadi tolok
untuk pemakaian bahasa yang benar, dan yang bergengsi serta berwibawa. Dalam
hubungan dengan fungsi sosial bahasa baku itu, Moeliono (1975) mencatat empat fungsi
pokok, yaitu :
(1) fungsi pemersatu
(2) fungsi penanda kepribadian
(3) fungsi penanda wibawa
(4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Dengan demikian, lafal baku sebagai perwujudan bahasa baku secara fonetis mempunyai
fungsi sosial sebagai :
(1) pemersatu
(2) penanda kepribadian
(3) penanda wibawa
(4) sebagai kerangka acuan.

4. Keperluan pembakuan bahasa Indonesia


Melihat pembakuan bahasa dan keadaan bahasa Indonesia dewasa ini, pembakuan
bahasa Indonesia sangat diperlukan. Pembakuan bahasa berarti pemilihan salah satu variasi
yang diangkat untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu, dan ditempatkan di atas variasi yang
lain. Pembakuan bahasa tidak dimaksudkan untuk mematikan variasi-variasi bahasa bukan
baku.Variasi-variasi bahasa bukan baku tetap hidup dan berkembang sesuai dengan
fungsinya. Sehubungan dengan hal terebut di atas, M.F. Baradja mengemukakan lima dasar
yang dapat dipertimbangkan untuk melakukan pembakuan bahasa Indonesia, yaitu :
1) Otoritas
2) Bahasa penulis terkenal
3) Demokrasi

7
4) Logika
5) Bahasa oarng-orang yang dianggap terkenal oleh masyarakat.

5. Bahasa Indonesia Baku


Andaikata kita sudah memiliki salah satu ragam bahasa untuk dijadikan ragam baku,maka
pembakuan itu harus dilakukan pada semua tataran, baik fonologi, morfologi,sintaksis,
leksikon, maupun semantik. Secara resmi,berdasarkan Ejaan Yang Disempurnakan, fonem-
fonem bahasa Indonesia sudah ditentukan, tetapi yang berhubungan dengan pelafalan belum
pernah dilakukan pembakuan. Menurut Konsensus, seseorang telah berbahasa Indonesia
dengan lafal baku apabila ia tidak menampakkan cirri-ciri bahasa daerah. Dengan pelafalan
baku itu,seseorang tidak diketahui secara linguistik darimana ia berasal.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam berbahasa Indonesia baku, ia tidak
terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain yang dikuasainya. Dalam konteks lafal baku ini,sebagai
contoh penggunaannya adalah lafal para penyiar TVRI dan RRI. Lafal mereka sudah
dianggap memenuhi kriteria sebagai lafal baku. Di bawah ini disajikan contoh lafal baku dan
lafal tidak baku.Tulisan lafal baku lafal tidak baku
Analisis analisis analisa
apotek apotek apotik
atlet atlet atlit
bus bus bis
besok besok esok
dapat dapat dapet
enam enam anam
kalau kalaw kalow kalo
Dalam bidang ejaan, pembakuan telah lama dilakukan dan telah melalui proses yang
panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan van Ophuijsen pada tahun 1901, dilanjutkan
dengan ejaan Swandi atau Ejaan Republik pada tahun 1947, diteruskan dengan Ejaan Yang
Disempurnakan. Bahkan EYD ini berlaku juga bagi bahasa Melayu Malaysia dan bahasa
Melayu BruneiDarussalam. Di bawah ini disajikan perubahan dalam EYD lama Yang
Disempurnakan
dj djalan j jalan
j pajung y payung

8
nj njonja ny nyonya
sj sjarat sy syarat
tj tjakap c cakap
Dalam bidang tata bahasa, pembakuan telah dilakukan, yakni dengan diterbitkannya buku
Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia yang saat ini telah tiga edisi. Pembakuan bahasa
Indonesia dalam bidang kosa kata dan peristilahan juga telah lama dilakukan. Pembakuan
tersebut dapatdilihat dari (1)ejaannya, (2)lafalnya, (3)bentuknya, (4)sumber pengambilannya.
Dalam bidang peristilahannya misalnya, bahasa Indonesia memiliki aturan sendiri. Dari segi
sumbernya, istilah-istilah yang diambil dapat bersumber dari :
1) Kosakata Bahasa Indonesia
Kata bahasa Indonesia yang dapat dijadikan bahan istilah ialah kata umum,baik yang
lazim maupun tidak lazim. Kata-kata tersebut harus memenuhi salah satu syarat (boleh lebih)
berikut ini.
a) Kata dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat
yangdimaksudkan,seperti tunak (steady), telus (percolate), imak (simulate).
b) Kata lebih singkat daripada kata yang lain yang berujukan sama, seperti gulma jika
dibandingkan dengan tumbuhan pengganggu, suaka (politik) dibandingkan dengan
perlindungan (politik).
c) Kata yang tidak bernilai rasa (konotasi) buruk dan yang sedap didengar (eufonik), seperti
pramuria jika dibandingkan dengan hostes, tunakarya dbandingkan dengan penganggur.
Disamping itu, istilah dapat berupa kata umum yang diberi makna baru atau makna
khususdengan jalan menyempitkan atau meluaskan makna asalnya, misalnya: Berumah
dua,gaya, pejabat teras, tapak, garam, hari jatuh, peka.
2) Kosakata Bahasa Serumpun
Jika dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan istilah yang dengan tepat dapat
mengungkapkan konsep, proses, keadaan atau sifat yang dimaksudkan, maka istilah dicari
dalam bahasa serumpun, baik yang lazim maupun yang tidak lazim yang memenuhi syarat
pada bagian
- di atas.
Misalnya: istilah yang lazim: gambut (banjar), nyeri (sunda), timbel (jawa), istilah yang tidak
lazimatau sudah kuno: gawai (jawa), luah (bali, bugis, minangkabau, sunda).
3) Kosakata Bahasa Asing
Jika baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa serumpun tidak ditemukan
istilah yang tepat, maka bahasa asing dapat dijadikan sumber peristilahan Indonesia. Istilah

9
baru dapatdibentuk dengan jalan menerjemahkan, menyerap, menyerap sekaligus
menerjemahkan istilah asing itu.

6. Proses pembakuan bahasa


Pembakuan adalah suatu proses yang berlangsung secara bertahap, tidak sekali jadi.
Pembakuan juga sikap masyarakat terhadap satu ragam bahasa, dan dari psikologi sosial kita
mengetahui bahwa sikap masyarakat akan sesuatu berproses tidak sebentar. Pada pokoknya
proses standarisasi mengalami tahap-tahap sebagai berikut:
a. Pemilihan (selection)
Satu variasi atau dialek tertentu akan dipilih kemudian dikembangkan menjadi bahasa
baku. Ragam atau variasi tersebut bisa berupa satu ragam yang telah ada, misalnya yang
dipakai dalam kegiatan-kegiatan politik, sosial atau perdagangan; dan bisa merupakan
campuran dari berbagai ragam yang ada. Bisa saja yang dipilih itu adalah ragam yang belum
merupakan bahasa pertama bagi masyarakat ujaran di daerah negeri itu (Alwasilah, 1986:
119).
b. Kodifikasi
Kodifikasi yaitu hal yang memberlakuakan suatu kode atau aturan kebahasaan untuk
dijadikan norma dalam berbahasa oleh masyarakat. Kodifikasi ini meliputi (1) otografi, (2)
penerapan atau lafal, (3) tata bahasa, (4) peristilahan. Badan atau lembaga tertentu biasanya
ditunjuk untuk terlaksananya kodifikasi ini. Lembaga ini menyusun kamus, buku tata bahasa
dengan berpedoman pada kode atau variasi yang akan dimasyarakatkan; sehingga setiap
orang mempunyai acuan aturan bahasa yang ‘benar’. Setelah kodifikasi ini dibentuk, maka
warga negara yang berpendidikan akan mempelajari atau ingin mempelajari bentuk bahasa
yang benar dan menghindari yang tidak benar, walaupun yang tidak benar ragam bahasanya
sendiri (Alwasilah, 1986: 121).
c. Penjabaran Fungsi
Apa yang dikodifikasikan itu tidak akan memasyarakat tanpa adanya penjabaran
fungsi ragam yang sudah standar itu. Pada kenyataannya proses elaborasi fungsi ini akan
melibatkan pemasyarakatan hal-hal ekstralinguistik seperti pembiasaan format atau bentuk
surat atau dalam penyusunan test dan lain sebagainya (Alwasilah, 1986: 121).
d. Persetujuan

10
Pada akhirnya ragam bahasa itu mesti disetujui oleh anggota masyarakat ujaran
sebagai bahasa nasional mereka. Kalau sudah sampai pada tahap ini, maka bahasa standar itu
mempunyai kekuatan untuk mempersatukan bangsa dan menjadi simbol kemerdekaan negara
dan menjadi ciri pembeda dari negara-negara lain (Alwasilah, 1986: 121-122).

7. Batasan Bahasa
Bahasa didasarkan pada gengsi dan ukuran. Kita memberi suatu jawaban atas dasar
gengsi: Suatu bahasa adalah suatu standar bahasa. Prinsipnya pembedaan ini adalah mutlak:
dimana suatu ragam adalah standar bahasa, atau bukan. Ketika kita berbalik ke pembedaan
lain, berdasarkan ukuran, situasinya sangat berbeda, karena segalanya menjadi relatif
contohnya, jika dibandingkan dengan satu variasi variasi terpilih mungkin besar, namun
dibanding dengan yang lain hal ini mungkin saja kecil. maka, anggapan bahwa variasi utama
adalah suatu bahasa, dalam 'ukuran' pengertian, jumlahnya sangat kecil. Disana, kemudian,
bagaimanapun juga di mana pembedaan antara 'bahasa' dan 'dialek' berdasarkan pada ukuran
dapat dibuat lebih sedikit relatif. Calon yang jelas untuk suatu ukuran ekstra adalah sebagai
kejelasan timbal balik. Jika para pembicara dua variasi dapat memahami satu sama lain. Ini
adalah suatu ukuran yang digunakan, tetapi hal ini tidak bisa diambil dengan serius sebab ada
beberapa permasalahan serius dalam aplikasinya. Permasalahan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Bahkan pemakaian populer tidak bersesuaian secara konsisten pada ukuran ini variasi
yang kita (sebagai orang awam) sebut perbedaan bahasa mungkin satu sama lain dapat
dimengerti (e.g. yang disebut 'berbagai dialek' dari Cina). Pemakaian populer cenderung
untuk mencerminkan definisi bahasa lain, berdasarkan gengsi, sehingga jika dua variasi
adalah kedua-duanya bahasa baku, atau atas standard yang berbeda, mereka semestinya
bahasa yang berbeda, dan dan sebaliknya mereka harus bahasa yang sama jika mereka adalah
kedua-duanya diwahahstandar yang sama. Ini menjelaskan perbedaan antara gagasan-
gagasan kita pada variasi Scandinavia dan China: setiap Negara Scandinavia mempunyai
suatu bahasa baku terpisah (tentu saja orang Norwegia mempunyai dua), sedangkan Cina
secara keseluruhan hanya mempunyai satu. Efek dari situasi china sangat aneh: seseorang
dari peking tidak dapat mengerti seseorang dari canton atau hongkong ketika dia berbicara
dialaek daerahnya sendiri, tapi diperkirakan dapat mengerti secara lengkap ketika dia menulis
secara standar.

11
2. Kejelasan timbal balik adalah suatu tingkatan derajat, berkisar antara total kejelasan
hingga menuju ke total tidak kejelasan. Bagaimana tokoh skala ini melakukan dua variasi
diperlukan dalam rangka menghitung sebagai anggota bahasa yang sama? Sudah jelas suatu
pertanyaan yang lebih baik dihindari, daripada dijawab. Karena jawaban apapun pasti
sembarangan. (hal ini tidak bernilai bahwa Sankoff Gilllian dalam Hudson (1983: 37) telah
mengembangkan suatu sistem untuk menghitung derajat kejelasan timbal balik, yang dengan
jelas menunjukkan kejelasan timbal balik itu mungkin hanya menjadi parsial ketika
diberlakukan pada masyarakat tertentu.)
3. Variasi mungkin disusun dalam suatu Dialek Berantai, suatu rantai dari variasi berdekatan
di mana masing-masing pasang dari variasi berdekatan satu sama lain dapat dimengerti, tetapi
pasangan yang diambil dari akhir kebalikan dari rantai adalah bukan. Satu hal seperti
rangkaian dikatakan kepada peregangan dari Amsterdam menuju Jerman ke Vienna, dan
lainnya dari Paris menuju selatan Italia. Ukuran dari kejelasan timbal balik adalah,
bagaimanapun, berdasarkan pada suatu hubungan antar bahasa yang secara logika berbeda
dari kesamaan bahasa, yang seharusnya untuk menjelaskan. Jika A adalah bahasa yang sama
seperti B, dan B adalah bahasa yang sama seperti C, kemudian A dan C semestinya bahasa
yang sama, dan seterusnya. ' Kesamaan bahasa' adalah suatu hubungan katakerja transitif,
tetapi ' kejelasan timbal balik' adalah intransitif: jika A dan B satu sama lain dapat
dimengerti, dan B dan C satu sama lain dapat dimengerti. Masalahnya adalah bahwa suatu
hubungan intransitif tidak bisa digunakan untuk menjelaskan suatu hubungan katakerja
transitif.
4. Kejelasan timbal balik tidaklah berhubungan antar variasi, tetapi antara orang-orang,
karena mereka, dan bukan variasi, yang saling memahami satu sama lain. Maka, derajat dari
kejelasan timbal balik tergantung tidak hanya pada jumlah tumpang-tindih antara materi-
materi didalam dua variasi, tetapi pada kualitas orang-orang terkait. Satu kualitas yang sangat
relevan adalah motivasi: berapa banyak orang A mau memahami orang B? Ini tergantung
pada banyak faktor seperti berapa banyak A suka B, berapa banyak ia mengharapkan untuk
menekankan persamaan atau perbedaan antar mereka, dan seterusnya. Motivasi adalah
penting sebab pemahaman orang lain selalu memerlukan usaha pada pihak pendengar ketika
bersaksi kemungkinan 'mematikan' saat motivasi seseorang adalah rendah. Semakin besar
perbedaan antara variasi, semakin besar usaha yang diperlukan, maka jika A tidak bisa
memahami B, ini menunjukkan bahwa tugas tersebut adalah terlalu besar bagi motivasi A,
dan kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi jika motivasinya tadi lebih besar. Kualitas
relevan yang lain memberikan masalah lain mengenai penggunaan kejelasan timbal balik

12
sebagai ukuran, yakni bahwa hal ini tidak perlu timbal balik, karena A dan B harus
mempunyai derajat motivasi yang sama untuk pemahaman satu sama lain, maupun kebutuhan
yang mereka punyai sama jumlahnya dari pengalaman sebelumnya untuk tiap variasi lain.
Secara khas, lebih mudah bagi seorang pembicara non-baku untuk memahami seorang
pembicara baku dibanding putaran cara lain, sebagian sebab tadinya akan pasti mempunyai
pengalaman lebih dari variasi yang baku (khususnya melalui media) dibanding sebaliknya,
dan sebagian sebab ia mungkin termotivasi untuk memperkecil perbedaan budaya antar
dirinya dan pembicara yang baku (meskipun hal ini adalah sama sekali tidak perlu juga),
sedang pembicara yang baku mungkin ingin menekankan perbedaan ini.
Kesimpulannya, kejelasan timbal balik tidak bekerja sebagai suatu ukuran untuk
membatasi bahasa dalam ukuran arti. Tidak ada ukuran lain yang mana perlu
dipertimbangkan sebagai suatu alternatif, maka kita harus menyimpulkan Matthews dalam
Hudson (1983: 37) bahwa tidak ada pembedaan riil untuk ditarik antar ' bahasa' dan ' dialek'
(kecuali berkenaan dengan gengsi, di mana hal ini akan lebih baik untuk menggunakan istilah
'bahasa baku' atau cuma 'baku', dibanding hanya 'bahasa'). Dengan kata lain, konsep 'bahasa
X' tidak punya bagian untuk bermain dalam sociolinguistics, untuk persisnya pertimbangan
yang sama, dapatkah hal ini mempunyai tempat di dalam ilmu bahasa. Semua yang kita
butuhkan adalah dugaan 'variasi X', dan pengamatan yang tak dapat dibandingkan bahwa
variasi yang ditentukan mungkin secara relatif serupa pada beberapa variasi lain dan secara
relatif berbeda dari lainnya (Hudson, 1983: 34-37).

B. Upaya Pembakuan Bahasa Indonesia


Adanya ragam baku, termasuk lafal baku, untuk bahasa Indonesia merupakan tuntutan
Sumpah Pemuda dan UUD 1945. Pengikraran bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan
dengan nama bahasa Indonesia menuntut setiap orang Indonesia untuk bisa berkomunikasi
satu sama lain baik secara lisan maupun secara tertulis dalam bahasa persatuan. Penetapan
bahasa Indonesia sebagai bahasa negara berarti bahwa segala bentuk kegiatan dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan dalam bahasa Indonesia.
Semua kegiatan komunikasi verbal dalam bahasa Indonesia itu, secara lisan atau secara
tertulis, hanya akan mencapai hasil yang baik jika ada semacam rujukan yang dimiliki
bersama±dalam hal ini ragam baku bahasa Indonesia. Untuk keperluan berbahasa lisan tentu
saja dibutuhkan lafal baku. Upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia pada dasarnya dapat
dilaksanakan dengan dua jalur
(1) jalur sekolah

13
(2) jalur luar sekolah.

a.Pembakuan Lafal melalui Jalur Sekolah


Pembakuan lafal melalui sekolah pada umumnya dilakukan secara pasif. Guru tidak
secara khusus melatih para murid untuk menggunakan lafal baku. Murid belajar lafal baku
melalui apa yang didengarnya dari guru dan, pada tahap tertentu, dari sesama murid. Melalui
pelajaran baca-tulis, murid dapat mengetahui nilai (fonetis) untaian huruf yang digunakan
untuk menuliskan kata-kata Indonesia. Peranan guru dalam upaya pembinaan lafal bahasa
baku sangatlah besar. Untuk dapat melaksanakan upaya pembinaan lafal baku itu guru
hendaklah mempersiapkan diri sebaik mungkin dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1) Guru haruslah menyadari bahwa lafalnya merupakan model atau kerangka acuan bagi
murid-muridnya. Karena itu, hendaklah guru mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Pengetahuan fonologiakan banyak membantu tugasnya.
2) Guru perlu mengetahui aspek-aspek fonologi yang khas di daerah tempatnya mengajar
agar dapat mengetahui bunyi-bunyi yang sukar bagi murid-muridnya. Di daerah Tapanuli
dansebagian besar Indonesia bagian timur, vokal /E/ cenderung dengan E taling.
3) Guru hendaklah menyadari bahwa (ragam) bahasa menjadi lambang kelompok sosial.
Karenaitu guru perlu menghargai logat murid-muridnya. Apabila murid merasa direndahkan
karenaketidak-mampuannya berbahasa Indonesia dengan lafal baku sebagai akibat
pengaruhlogat/bahasa ibunya, maka ia cenderung menolak apa saja yang berbau lafal bahasa
Indonesia baku.
b. Pembakuan Lafal melalui Jalur Luar Sekolah
Di atas telah disinggung bahwa lafal baku sebagai perwujudan ragam bahasa baku
mempunyai nilai sosial yang tinggi. Oleh karena itu, di banyak tempat di dunia itu acapkali
ragam bahasa para penutur dari kalangan kelas sosial atas sering dijadikan acuan atau model.
Hal ini terlihat jelas di Indonesia. Ketika presiden sering terdengar mengucapkan -kan
sebagai [k n] maka banyak orang yang latah ikut-ikutan mengucapkan [-k n] walaupun
mereka bukan darisuku Jawa. Untuk bisa memberikan model lafal yang baik kepada
masyarakat perlu diperhatikan hal-hal berikut.
1) Setiap pemimpin dan tokoh masyarakat yang biasa dalam tugasnya berhadapan langsung
dengan rakyat perlu berusaha menggunakan lafal baku.
2) Para penyiar radio dan televisi hendaklah memberikan model yang baik bagi para
pendengar khususnya dalam pembicaraan yang bersifat resmi, seperti pembacaan berita atau

14
wawancara resmi dengan tokoh-tokoh masyarakat. Peranan televisi dan radio itu sangat besar
dalam pembentukan lafal bahasa Indonesia yang ada dewasa ini.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Pembakuan dalam bahasa Indonesia sangat diperlukan dan dalam penetapannya
mengikutikaidah kaidah yang sudah diterapkan.
2. Bahasa baku adalah salah satu ragam bahasa yang dijadikan pokok ajuan,yang
dijadikan dasar ukuran atau yang dijadikan standar.
3. Upaya Upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia pada dasarnya dapat
dilaksanakan dengan dua jalur yaitu melalui jalur sekolah dan jalur luar sekolah.

3.2 Saran
Bagi Indonesia yang penduduknya menggunakan ratusan bahasa daerah dan
tersebar diribuan kepulauan, kehadiran suatu bahasa baku, termasuk lafal baku bukan
hanya perlu tetapisuatu keharusan. Upaya untuk menentang pembakuan bahasa
Indonesia sama artinya mengkhianati Sumpah Pemuda yang telah mengikrarkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Persatuan yang kuat hanya bisa tercipta
jika bahasa yang digunakan bersama dengan pemahaman yang sama. Meskipun
begitu, upaya pembakuan lafal hendaklah dilakukan secara hati-hati karena lafal lebih
peka terhadap sentimen sosial. Upaya pembakuan lafal selama ini dapat
dipertahankan. Yang perlu ditingkatkan adalah kesadaran kita sebagai pemodel lafal.

15
DAFTAR PUSTAKA

Nurafni, 2021. Standarisasi Bahasa Indonesia.


https://id.scribd.com/document/423191925/Standarisasi-Bahasa-Indonesia (diakses
tanggal 9 Desember 2021)
Tea, Rian Cokro. 2021. Makalah Pembakuan Bahasa.
https://id.scribd.com/doc/77646997/Makalah-Pembakuan-Bahasa-Indonesia (diakses
tanggal 9 Desember 2021)
Saragih, Nanda. 2017. Bahasa standar,nonstandar, dan bahasa ilmiah.
https://www.slideshare.net/NandaSaragih/bahasa-standarnonstandar-dan-bahasa-
ilmiah (diakses tanggal 4 Desember 2021)
Edy, Jati Sarwo. 2010. Pembakuan Bahasa.
http://jatisarwoedy.blogspot.com/2010/09/pembakuan-bahasastandarisasi.html?m=1
(diakses tanggal 4 Desember 2021)

16

Anda mungkin juga menyukai