I. Airway
Terjadinya sumbatan jalan napas dapat mengakibatan kematian kurang dari 4 menit jika
tidak segera diberikan pertolongan. Masalah yang terjadi di jalan napas/sumbatan jalan
napas dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Sumbatan Total
Sumbatan total dapat terjadi karena makanan atau benda asing yang mengganjal atau
menhalangi jalan napas. Hal ini sering terjadi pada anak-anak dengan mainan atau
orang dewasa yang sedang makan atau tiba-tiba tersumbat. Keadaan ini lebih sering
disebut dengan tersedak/choking. Hal harus dilakukan adalah:
1. Korban dewasa
Jika korban sadar lakukan heimlich manuver sampai benda keluar atau sampai
korban tidak sadar. Jika korban masih sadar dan benda belum keluar lakukan
teknik ini bergantian dengan teknik back blows. Jika korban menjadi tidak sadar
lakukan teknik abdominal thrust dan segera lakukan prosedr CPR/RJP. Untuk
korban dewasa yang sedang hamil atau obesitas lakukan teknik chest trhust dengan
kondisi korban sadar ataupun tidak sadar.
2. Korban anak-anak.
Lihat postur tubuh anak, besar atau tidak. Jika postur tubuh anak besar lakukan
seperti orang dewasa. Jika postur tubuh kecil teknik sama dengan orang dewasa
hanya saja kekuatan penenkanan yang sedikit dikurangi dari dewasa.
3. Korban bayi: lakukan teknik back blows dan chest secara bergantian sebanyak 5
(kali). Jika korban menjadi tidak sadar segera lakukan prosedur CPR/RJP.
Heimlich Maneuver
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 1
Abdominal Thrust
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 2
b. Sumbatan Parsial
Sumbatan parsial atau sebagian disebabkan karena lidah jatuh kebelakang pada korban
tidak sadar, perdarahan atau banyaknya sekret, dan edema laring yang masih proses (
belum terjadi edema total). Pada saat korban tidak sadar dan terbaring telentang, gaya
gravitasi akan membuat dagu jatuh ke belakang. Mulut akan terbuka tetapi jalan napas
cederung tertutup. Dalam keadaan tidak sadar otot mejadi rileks lidah jatuh ke arah
dinding belakang mulut. Ini akan menutup jalan napas sehingga udara tidak dapat
masuk dan keluar dari atau ke paru-paru. Buka jalan napas dengan teknik head tilt and
chin lift jika korban non trauma. Untuk korban yang trauma gunakan teknik jaw trust,
trauma harus dicurigai terjadinya patah tulang leher atau fraktur servikal. Jika
sumbatan karena darah atau sekret yang berlebih maka posisi korban harus
dimiringkan dengan cara log roll yaitu dimana posisi miring dari ujung kepala sampai
ujung kaki segaris.
Choking
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 3
Head Tilt And Chin Lift
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 4
Teknik tongue jaw lift
Untuk korban tidak sadar, buka mulut dengan teknik cross finger. Caranya adalah
gunakan salah satu tangan penolong untuk menstabilkan kening korban. Silangkan ibu
jari tangan yang lain dengan telunjuk, tempatkan ibu jari di bibir bawah dan telunjuk
pada gigi atas. Buka crossing, maka mulut korban akan terbuka, dan tahan rahang
bawah agar tidak menutup. Setelah itu lepaskan tangan yang ada di kening dan
gunakan jari telunjuk seperti pada prosedur teknik tongue jaw lift.
c. Posisi miring stabil/posisi pulih (recovery position). Korban non trauma dapat
diletakan pada sisi kirinya untuk membantu mempertahankan tetap terbukanya jalan
napas. Leher harus ekstensi sehingga kepala tidak fleksi ke depan ke arah dada.
Ketika korban berada dalam posisi ini, lidah bergerak kedepan sehingga tidak
menyumbat jalan napas dan saliva, mukus serta muntahan dapat keluar sehingga dapat
membantu terbukanya jalan napas.
2. Menggunakan Alat
Bila dengan cara-cara tanpa alat tidak berhasil, maka airway adjunt dapat dilakukan
dengan:
a. Suctioning
Dilakukan bila sumbatan jalan napas karena benda cair, terdengar suara tambahan
gurgling.
b. Oro Pharyngeal Air way (OPA)
Tindakan ini adalah untuk membebaskan sumbatan jalan napas dengan menyisipkan
alat kedalam mulut(dibalik lidah) dengan cara menahan lidah penderita agar tidak
menyumbat jalan napas. Teknik ini digunakan untuk ventilasi sementara pada
penderita yang tidak sadar sementara intubasi sedang disiapkan, dapat dilakukan
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 5
dengan dua cara yaitu dengan menyisipkan OPA secara terbalik dan dengan bantuan
tounge spatel.
Teknik pertama dilakukan dengan cara menyisipkan OPA secara terbalik (up side
down), sehingga bagian yang cekung mengarah ke kranial, sampai di daerah palatum
molle. Pada titik ini, alat diputar 1800, bagian cekung mengarah ke kaudal, OPA
diselipkan diatas lidah. Cara ini tidak boleh dilakukan pada anak-anak dan bayi
karena dapat merusak mulut dan faring
Teknik kedua dilakukan dengan cara menggunakan bantuan tounge spatel untuk
menekan lidah dan meluncurkan OPA diatas tounge spatel sampai sayap penahan
berhenti diatas bibir.
Tujuan:
1) Memberikan fasilitas untuk suctioning.
2) Mencegah endotracheal tergigit pasien.
3) Hanya untuk pasien-pasien tak sadar.
Komplikasi:
1) Menimbulkan obtruksi.
2) Dapat menstimulisasi muntah dan spasme laring
Secara umum teknik pemasangan Oro Pharyngeal Air way (OPA) adalah sebagai berikut:
1) Selalu menjaga imobilisasi servikal pada penderita yang dicurigai fraktur servikal.
2) Pilih ukuran Oro Pharyngeal Air way (OPA) yang cocok, dengan cara mengukur
sesuai dengan jarak sudut mulut ke auditivus eksterna penderita:
3) Buka mulut penderita dengan maneuver chin lift atau cross finger (scissors
technique).
4) Sisipkan tounge spatel diatas lidah penderita, cukup jauh untuk menekan lidah.
5) Masukan Oro Pharyngeal Air way (OPA) ke posterior dengan lembut meluncur diatas
tounge spatel sampai sayap penahan berhenti pada bibir penderita.
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 6
6) Oro Pharyngeal Air way (OPA) tidak boleh mendorong lidah sehingga menyumbat
airway.
7) Tarik tounge spatel.
8) Oro Pharyngeal Air way (OPA) jangan difiksasi/diplester untuk mencegah
rangsangan muntah pada penderita yang mengalami peningkatan status kesadaran.
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 7
Secara umum teknik pemasangan Naso Pharyngeal Airway (NPA) adalah sebagai berikut:
1) Pilih ukuran Naso Pharyngeal Airway (NPA) yang sesuai : Panjang Naso Pharyngeal
Airway (NPA) diukur dari lubang hidung sampai dengan cuping telinga; Diameter
Naso Pharyngeal Airway (NPA) diukur dengan membandingkan Naso Pharyngeal
Airway (NPA) dengan jari kelingking pasien.
2) Lumasi V dengan Xy Jelly agar mudah memasukannya.
3) Masukan Naso Pharyngeal Airway (NPA) ke lubang hidung sebelah kanan, dengan
menyusur dinding septum sampai dengan ukuran yang ditentukan. Apabila ada
tahanan Naso Pharyngeal Airway (NPA) ditarik kembali dan dicoba dimasukan
kembali. Bila tidak berhasil bisa dicoba dilubang hidung sebelah kiri.
4) Jangan memaksa memasukan Naso Pharyngeal Airway (NPA) apabila ada tahanan.
5) Hati-hati pemasangan Naso Pharyngeal Airway (NPA)
c. Sumbatan Anatomis
Sumbatan anatomis disebabkan oleh penyakit saluran pernapasan ( misal Difteri) atau
karena adanya trauma yang mengakibatkan pembengkakan/edema pada jalan napas
(misalnya) trauma inhalasi pada kebakaran atau trauma tumpul pada leher).
Penanganan sumbatan karena anatomis seringkali membutuhkan penanganan secara
surgical dengan membuat jalan nafas alternatif tanpa melalui mulut atau hidung
penderita.
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 8
Pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan bukti-bukti klinis sebagai
berikut:
1) Adanya apnea.
2) Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara lain.
3) Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau vomitus.
4) Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway, seperti akibat lanjut dari cidera
inhalasi, patah tulang, wajah, hematome retri faringeal, atau kejang-kejang yang
berkepanjangan.
5) Adanya cidera kepala tertutup yang memerlukan bantuan napas (GCS 8).
6) Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan pemberian oksigen
melalui bag valve mask (BVM)
Ada tiga macam airway definitif, yaitu pipa orotrakheal, pipa nasotrakheal, dan airway
surgical (krikotiroidotomi). Keperluan untuk pemasangan airway definif dapat dilihat pada
diagram.
Oksigen/Ventilasi
Apnea Bernapas
Tambahan
Farmakologik
Airway Surgikal
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 9
a. Intubasi Orotrakheal
Intubasi Orotrakheal adalah memasukan pipa kedalam trakhea memlalui mulut
penderita. Pada pasien non trauma memasukan pipa trakhea bisa dilakukan dengan
cara menegadahkan kepala penderita. Tetapi pada pasien trauma dengan kecurigaan
fraktur servikal hal ini tidak boleh dilakukan. Servikal harus tetap di imobilisasi pada
posisi segaris, oleh karena itu sebaiknya intubasi dilakukan oleh dua orang.
Pemasangan endotrakheal tube (ETT) sebaiknya dilakukan oleh orang yang paling
berpengalaman, hal ini karena pemasangan harus dilakukan dalam waktu singkat agar
penderita tidak mengalami kekurangan oksigen akibat pemasangan yang terlalu lama.
Pemasangan pipa dilakukan dengan cara seperti ini:
1) Pastikan bahwa ventilasi dan oksigen yang adekuat tetap berjalan sebelum
intubasi.
2) Siapkan alat suction didekat tempat pemasangan intubasi sebagai kesiapsiagaan
apabila penderita muntah.
3) Kembangkan balon ETT untuk memastikan balon tidak bocor, kemudian
kempiskan kembali,
4) Siapkan laringoskop dan periksa terangnya lampu laringoskop.
5) Bila perlu minta satu orang asiten untuk mempertahankan posisi kepala dan leher
penderita agar tidak hiperekstensi ata hipefleksi pada saat pemasangan ETT.
6) Pegang laringoskop dengan tangan kiri.
7) Masukan laringoskop pada bagian kanan mulut penderita, dan menggeser lidah
kesebelah kiri.
8) Dorong laringoskop kedepan sampai terlihat episglotis, dan pita suara. Jangan
menjadikan gigi dan bibir sebagai tumpuan laringoskop.
9) Secara hati-hati masukan ETT kedalam trakhea dengan melewati epiglotis.
10) Kembangkan balon secukupnya, jangan mengembangkan balon berlebihan karena
akan megakibatkan kematian jaringan sekitarnya.
11) Periksa ketepatan penempatan ETT dengan cara memberikan ventilasi dengan
menggunakan Bag Valve Mask (BVM).
12) Perhatikan pengembangan dada penderita sambil melakukan ventilasi.
13) Auskultasi dada dan abdomen dengan menggunakan stetoskop untuk memastikan
letak ETT.
14) Amankan/fiksasi ETT dengan plester. Apabila penderita dipindahkan, letak ETT
harus dinilai ulang.
15) Apabila intubasi tidak bisa dilaksanakan dalam beberapa detik atau selama waktu
yang diperlukan untuk menahan napas sebelum ekhalasi, hentikan percobaan
intubasinya lalu berikan ventilasi pada penderita dengan BVM dan coba lagi.
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 10
b. Intubasi Nasotrakheal
Intubasi nasotrakheal adalah memasukan pipa ETT kedalam trakhea melalui hidung
penderita. Pemasangan pipa nasotrakheal tanpa menggunakan alat bantu laringoskop,
tetapi dimasukan secara manual dengan mengikuti irama napas penderita. Oleh karena
itu pipa nasotrakheal hanya pada penderita yang masih bernapas spontan. Pemasangan
nasotrakheal tidak dianjurkan pada penderita dengan apnea.
Fraktur mid face dan fraktur basis cranii
cranii karena berisiko untuk masuk kedalam rongga
tekorak. Pemasangan nasotrakheal pada prinsipnya sama dengan pemasangan
nasofaringeal airway. Pemasangan naso trakheal dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1) Apabila dicurigai fraktur servikal biarkan neck collar terpasang untuk imobilisasi
leher.
2) Pastikan oksigen dan ventilasi yang cukup tetap berjalan.
3) Kembangkan balon ETT untuk memastikan balon tidak bocor, kemudian
kempiskan lagi.
4) Bila perlu minta seseorang asisten untuk melakukan imobilisasi.
5) Lumasi ETT dengan menggunakan xylocain jelly.
6) Masukan ETT kedalam lubang hidung, dorong pelan-pelan pelan pelan tetapi pastikan
kedalam lorong lubang hidung sambil mengikuti suara napas penderita. Pada saat
inspirasi dorong dan pada saat ekspirasi tahan dan rasakan hembusan napa napas.
Apabila hembusan napas tidak terasa maka ETT harus ditarik kembali sampai
napas terasa kembali kemudian dorong lagi pelan-pelan
pelan pelan sambil mengikuti suara
napas. Bila perlu lakukan penekanan ringan pada cartilago tiroid.
7) Lengkungkan pipa harus sesuai untuk memudahkan masuknya kelorong yang
melengkung.
8) Setelah masuk kembangkan balon secukupnya.
9) Periksa ketepatan penempatan ETT dengan cara memberikan ventilasi dengan
menggunakan Bag Valve Mask (BVM).
10) Perhatikan pengembangan dada penderita sambil melakukan ventilasi.
11) Auskultasi dada dan abdomen dengan menggunakan stetoskop untuk memastikan
letak ETT.
Derison Marsinova
sinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat:
Darurat : Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 11
12) Amankan/fiksasi ETT dengan plester. Apabila penderita dipindahkan, letak ETT
harus dinilai ulang.
13) Apabila intubasi tidak bisa dilaksanakan dalam beberapa detik atau selama waktu
yang diperlukan untuk menahan napas sebelum ekshalasi, hentikan percobaan
intubasinya lalu berikan ventilasi pada penderita dengan BVM dan coba lagi.
c. Nedle Cricothyroidotomi
Nedle Cricothyroidotomi apabila pemasangan intubasi gagal atau tidak bisa
dilakukan( misalnya pada fraktur mid face) maka tindakan alternatif yang dapat
dilakukan adalah tindakan surgical. Tindakan surgical hanya dapat dilakukan adalah
Cricothyroidotomi. Tindakan Cricothyroidotomi hanya diperkenankan Nedle
Cricothyroidotomi yaitu penusukan jarum besar (IV catheter no 14) ke membran
krikotiroidea untuk membuat jalan napas dan melakukan tindakan zet ventilation.
Tindakan ini merupakan tindakan sementara (masikmal 45 menit) sebelum
pemasangan tube cricothyroidotomi oleh dokter. Tindakan zet ventilation yang terlalu
lama mengakibatkan penumpukan CO2 dalam tubuh penderita karena proses
ekshalasi yang tidak maksimal
Tindakan Nedle Cricothyroidotomi dan zet ventilation dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1) Tetap perhatikan imobilisasi servikal apabila ada kecurigaan.
2) Rakit dan siapkan selang oksigen dengan membuat sebuah lubang pada salah satu
ujungnya. Hubungkan ujung satunya pada sumber oksigen yang mampu
mengeluarkan oksigen secara lancar 10-15 liter/menit.
3) Baringkan penderita.
4) Pasang IV catheter no 12/ no 14 dengan spuit 10 cc.
5) Siapkan kasa steril dan cairan antiseptik.
6) Palpasi membrana krikotiroidea, pegang trakhea dengan ibu jari dan telunjuk
salah satu tangan untuk mencegah pergerakan trakhea.
7) Tusuk kulit pada garis tengah (mid line) dengan jarum yang sudah terpasang pada
spuit langsung diatas membrana krikotiroidea.
8) Arahkan jarum dengan sudut 450 kearah atas, sambil menghisap spuit.
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 12
9) Dengan hati-hati tusukan jarum melewati setengah bagian bawah membrana,
sambil melakukan aspirasi waktu mendorong.
10) Aspirasi udara menunjukan masuknya jarum kedalam lumen trakhea.
11) Lepas spuit dan tarik mandrin sambil dengan lembut mendorong kateter.
12) Sambungkan kateter bagian luar dengan selang oksigen yang telah disiapkan,
lalu difiksasi dengan plester.
13) Ventilasi berkala dapat dicapai dengan menutup lubang yang terbuka dengan ibu
jari selama 1 detik untuk inhalasi dan membukanya selam 4 detik ekhalasi,
tindakan ini efektif selama 30 – 45 menit.
14) Perhatikan pergerakan dada dan auskultasi untuk mengetahui ventilasi yang
cukup.
III. Breathing
Setelah menstabilkan airway, maka tindakan selanjutnya adalah menjamin pernapasan
adekuat bagi penderita. Otak, jantung dan hati sangat sensitif terhadap suplai oksigen
yang tidak adekuat. Sel-sel otak mulai megalami kematian hanya beberapa menit tanpa
oksigen.
Perhatikan usaha penderita untuk bernapas. Lihat turun naik pergerakan dada penderita.
Lihat juga apakah pernapasannya melibatkan otot-otot dada antara tulang rusuk. Pada
penderita sadar (responsive) penting sekali untuk mengecek kemampuan berbicara
pasien, pasien yang mampu berbicara dengan lancar dan jelas menandakan pernapasan
baik. Sebaliknya pebderita yang hanya mampu mengeluarkan suara atau berbicara
terputus-putus menandakan bahwa pernapasannya tidak adekuat.
Penilaian gangguan breathing dapat dilakukan dengan pemeriksaan:
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 13
Look: melihat gerakan napas, pengembangan dada, dan adanya retraksi sela iga.
Listen: Medengarkan bunyi napas.
Feel: Merasakan adanya aliran udara pernapasan.
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 14
Saturasi Oksigen Interpretasi Intervensi
(oxymetri)
95% - !00% Normal O2 4 liter/menit nasal
kanul
90% - <95% Hypoksia ringan-sedang Face Mask 6 – 10
liter/menit
85% - 90% Hypoksia sedang- berat Face Mask dengan
reserpoir 8 -12 liter –
Assisted Ventilation.
<85 % Hypoksia berat - Assisted Ventilation.
mengancam
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 15
2) Rebreathing Mask
Pemakaian face mask dalam pemberian oksigen lebih baik dari pada nasal
kanul, karena konsentrasi oksigen yang dihasilkan lebih tinggi.
Kekurangannya pada pemakaian mask ini udara bersih dengan udara
ekspirasi masih bercampur, sehingga konsentrasi oksigen masih belum
maksimal.
b. Pemberian Ventilasi
1) Mouth to Mouth Ventilation.
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 16
2) Mouth to Mask Ventilation
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 17
Ada dua jenis perdarahan:
a. Perdarahan Luar:
Tergantung jenis pembuluh darah yang terkena, apakah nadi, vena, atau kapiler.
Perdarahan luar akan mudah dikenali, jika korban kita periksa dengan teliti.
b. Perdarahan Dalam
Biasanya yang tampak diluar adalah jejas dan warna kebiruan, bisa juga tidak tampak
apa-apa.
Dapat menimbulkan syok, oleh karena itu jangan lupa memriksa tanda-tanda syok.
Contohnya: Perdarahan thorak, abdomen, fraktur pelvis dan fraktur tulang panjang.
Tindakan Pre-Hospital untuk perdarahan luar:
a. Penekanan langsung.
b. Elevasi/tinggikan posisi luka lebih tinggi dari permukaan jantung.
c. Point pressure/titik tekan pada nadi-nadi besar.
d. Imobilisasi alat gerak/ekstremitas untuk megurangi rasa nyeri dan mengurangi
perdarahan yang terjadi.
e. Awasi tanda-tanda syok ( nadi cepat, gelisah, pernapasan cepat dan akral dingin).
f. Evakuasi segera.
Tindakan Pre-Hospital untuk perdarahan dalam:
a. Pertahankan jalan napas.
b. Jaga agar pasien tetap hangat.
c. Awasi tanda-tanda syok.
d. Evakuasi segera.
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 18
c. Hentikan perdarahan yang muncul dengan segera.
d. Bila perdarahan sudah teratasi, cuci daerah sekitar luka dengan air mengalir.
e. Tutup dengan kain kassa steril (bersih).
f. Ganti balutan minimal 1 x sehari.
Daftar Pustaka
Tim Bantuan Medis Panacea. 2014. Basic Life Support. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran.
EGC Edisi 13.
Chandra NC, Hazinski MF, 2005. Basic Life Suporrt For Health Provider. American Heart
Assosiation.
Derison Marsinova Bakara: MK Keperawatan Gawat Darurat: Prodi Keperawatan Curup Poltekkes Kemenkes Bengkulu 19