Anda di halaman 1dari 8

A.

Padi Konvensional

Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun yang berasal dari dua
benua yaitu Asia dan Afrika Barat tropis dan subtropis. Penanaman padi sendiri sudah
dimulai sejak Tahun 3.000 sebelum masehi di Zhejiang, Tiongkok (Purwono dan
Purnamawati, 2015).

Hampir setengah dari penduduk dunia terutama dari negara berkembang termasuk
Indonesia sebagian besar menjadikan padi sebagai makanan pokok yang dikonsumsi
untuk memenuhi kebutuhan pangannya setiap hari (Rahmawati, 2016).

Hal tersebut menjadikan tanaman padi mempunyai nilai spiritual, budaya,


ekonomi, maupun politik bagi bangsa Indonesia karena dapat mempengaruhi hajat
hidup banyak orang (Utama, 2015). Padi sebagai makanan pokok dapat memenuhi 56
– 80% kebutuhan kalori penduduk di Indonesia (Syahri dan Somantri, 2016).

Benih padi merupakan gabah yang dipanen dengan tujuan untuk digunakan
sebagai input dalam usahatani. Sertifikasi benih mendapatkan pemeriksaan lapangan
dan pengujian laboratorium dari instansi yang berwenang dengan memenuhi standar
yang telah ditentukan. Benih bersertifikasi terbagi ke dalam empat kelas. Kelas
pertama adalah benih penjenis (Breeder Seed = BS = Benih teras), Kelas kedua
adalah benih dasar (Foundation Seed = FS), Kelas ketiga adalah benih pokok (Stock
Seed = SS), Kelas keempat adalah benih sebar (Extension Seed = ES) (Prasekti,
2015).

Benih unggul menjadi salah satu faktor penting dalam produksi padi karena
penggunaan benih unggul bermutu dapat menaikkan daya hasil sebesar 15%
dibandingkan dengan penggunaan benih yang tidak bermutu. Semakin unggul benih
yang digunakan dalam usahatani, maka akan semakin tinggi pula tingkat produksi
yang akan diperoleh. Penggunaan benih dengan varietas unggul memberikan
sumbangan terhadap peningkatan produksi padi nasional hingga mencapai 56%,
sementara interaksi antara air irigasi, varietas unggul, dan pemupukan terhadap laju
kenaikan produksi padi memberikan kontribusi hingga 75% (Syahri dan Somantri,
2016).

Petani pada umumnya membudidayakan tanamannya secara turun temurun dari


orangtua atau pendahulunya. Hal tersebut apabila dilakukan tanpa adanya bimbingan
serta pelatihan yang intensif akan membuat petani terjebak pada pola 7 budidaya
konvensional sehingga produksi padi tergolong minim bahkan dapat menurun.
Budidaya padi terdiri dari persiapan lahan, pemilihan benih, penyemaian, penanaman,
pemupukan, pemeliharaan tanaman, hingga panen dan pascapanen (Utama, 2015).

Pengolahan tanah sawah di Indonesia pada umumnya sudah dilakukan dengan


cara modern menggunakan mesin seperti traktor agar pengeluaran dalam hal ini biaya
untuk pengolahan sawah lebih efektif jika dibandingkan dengan pengolahan tanah
sawah dengan cara konvensional menggunakan hewan ternak (Chamidah et al.,
2015).

Tujuan dari pengolahan tanah adalah untuk menciptakan media tanam yang baik
untuk pertumbuhan maupun perkembangan tanaman padi (Musaqa, 2016).

Pengolahan tanah yang baik membutuhkan waktu sekitar empat minggu. Lahan
terlebih dahulu digenangi air kurang lebih selama tujuh hari. Tahapan pengolahan
tanah terdiri dari pembajakan, garu, dan perataan. Pengolahan pada tanah berat terdiri
dari dua kali bajak, dua kali garu, kemudian diratakan. Pengolahan pada tanah ringan
dapat dilakukan dengan satu kali bajak dan dua kali garu untuk selanjutnya dilakukan
perataan. Lapisan olah memiliki kedalaman antara 15 – 20 cm (Purwono dan
Purnamawati, 2015).

Benih padi yang memiliki sertifikat disarankan untuk digunakan dalam budidaya
padi. Benih padi direndam terlebih dahulu dalam larutan air garam (200 gram garam
per liter air) sebelum dilakukan penyemaian. Benih yang sudah tidak bagus ditandai
dengan mengambang di atas rendaman larutan air garam. Benih yang bagus
selanjutnya ditiriskan kemudian dicuci dan direndam selama 24 jam dengan air
bersih. Setiap 12 jam, air rendaman harus diganti. Tujuan perendaman adalah untuk
memecahkan dormansi. Benih kemudian dihamparkan dan dibungkus dengan karung
basah selama 24 jam. Benih yang siap untuk disemai ditandai dengan munculnya
bakal lembaga berupa bintik putih pada bagian ujungnya (Purwono dan Purnamawati,
2015).

Lahan yang digunakan untuk penyemaian dibuat bersamaan dengan lahan yang
disiapkan untuk penanaman. Setiap satu hektar luas tanam dibutuhkan lahan
penyemaian dengan luas 500 m2 . Lahan persemaian tersebut selanjutnya dibuat
bedengan dengan lebar 1 – 1,25 m sedangkan panjangnya mengikuti panjang petakan
agar memudahkan penebaran benih. Benih disebar secara merata di atas bedengan
setelah bedengan diratakan. Sekam sisa penggilingan padi atau yang biasa disebut
dengan jerami selanjutnya disebarkan di atas benih dengan tujuan agar benih
terlindungi dari hujan dan burung. Sekitar bedengan diberikan air dan dibiarkan
tergenang hingga bibit siap dipindahtanamkan. Bibit yang siap untuk
dipindahtanamkan ditandai pada saat bibit berumur 3 – 4 minggu atau bibit memiliki
minimal empat daun (Purwono dan Purnamawati, 2015).

Penanaman adalah memindahkan bibit yang telah siap tanam ke lahan


persawahan dengan memperhatikan umur bibit, jarak tanam, jumlah bibit yang
ditanam dalam setiap rumpun, dan kedalaman bibit yang dibenamkan. Pupuk
merupakan salah satu input utama dalam usahatani padi yang menjadi salah satu
faktor penentu produksi padi setiap panen (Wahid, 2015).

Hama dan penyakit tanaman dapat menimbulkan kerugian antara lain mengurangi
hasil produksi tanaman, mengurangi kualitas panen, dan menambah biaya produksi
karena diperlukan biaya pemberantasan. Hama dan penyakit yang menyerang
tanaman padi pada umumnya adalah penggerek batang (stem borer), wereng hijau
(green leafhopper), walang sangit (leptocorisa oratorius), wereng cokelat (nilaparvata
lugens), hawar daun bakteri (xanthomonas campestris pv. oryzae), busuk batang
(stem rot), bercak cercospora (narrow brown leaf spot), dan blas (pyicularia grisea)
(Jumin, 2016).
Petani secara umum menjual padi dengan cara ditebaskan sehingga panen dan
pascapanen dilakukan oleh penebas. Panen dan pascapanen dalam budidaya padi
perlu ditangani dengan tepat karena kehilangan hasil serta penurunan kualitas selama
panen dan pascapanen tergolong masih tinggi yaitu sekitar 20%. Upaya yang dapat
dilakukan oleh petani dalam rangka meningkatkan produksi pangan yaitu dengan
mengurangi 12 kehilangan hasil dalam penanganan panen dan pascapanen secara
kualitatif maupun kuantitatif (Purwono dan Purnamawati, 2015).

Penelitian yang berjudul Analisis Perbandingan Usahatani Padi Sistem Tanam Jajar Legowo
dengan Sistem Tegel Di Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah bertujuan
untuk membandingkan struktur biaya usahatani padi pada petani sistem tanam jajar legowo
dengan petani sistem tanam tegel dan mengetahui perbandingan produksi dan pendapatan
antara petani yang menggunakan sistem tanam jajar legowo dengan sistem tanam tegel.
Hasil penelitian menunjukkan analisis struktur biaya petani sistem tanam jajar legowo
berbeda dengan petani sistem tegel, total biaya usahatani padi yang dikeluarkan petani
sistem tanam jajar legowo lebih besar dari pada petani sistem tegel. Tingkat pendapatan
usahatani padi petani sistem tanam jajar legowo jauh lebih besar dari petani sistem tanam
tegel. Sehingga, usahatani sistem tanam jajar legowo lebih menguntungkan dan memiliki
manfaat dari pada usahatani sistem tegel, akan tetapi usahatani keduanya sudah
menguntungkan (Permata, Widjaya, dan Soelaiman, 2017).

Penelitian yang berjudul Komparasi Usahatani Padi Sawah Sistem Tapin dan Sistem
Tabela di Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki tujuan: 1)
mengetahui perbandingan keragaan usahatani padi sawah sistem Tapin dan sistem
Tabela, 2) mengetahui perbandingan penggunaan waktu, tenaga kerja, dan biaya
produksi usahatani padi sawah sistem Tapin dan sistem Tabela, dan 3) mengetahui
faktor-faktor yang 9 mempengaruhi petani padi sawah sistem Tapin beralih ke
sistem Tabela di Desa Lagan Ulu dan Desa Pandan Jaya Kecamatan Geragai
Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1)
perbandingan keragaan usahatani padi sawah sistem Tapin dan sistem Tabela
terletak pada tahapan kegiatan penyiapan media persemaian benih, persemaian
benih, pemeraman benih, penaburan benih, penanaman, penyisipan dan pengairan.
2) Penggunaan waktu dan tenaga kerja pada usahatani padi sawah sistem Tabela
adalah 38.59 HOK/Ha lebih efisien dibandingkan sistem Tapin sebesar 64.05
HOK/Ha. Hasil perhitungan nilai R/C rasio menunjukkan dengan nilai R/C rasio
sistem Tabela sebesar 1.99 per Ha lebih layak diterapkan dibandingkan sistem Tapin
dengan nilai R/C rasio sebesar 1.04 per Ha. Hasil perhitungan nilai B/C rasio
menunjukkan bahwa sistem Tabela dengan nilai B/C rasio sebesar 1.00 lebih efisien
dibandingkan sistem Tapin dengan nilai B/C rasio sebesar 0.04. 3) Faktorfaktor yang
mempengaruhi petani untuk beralih ke sistem Tabela secara signifikan melalui
analisis regresi logistik biner adalah faktor luas lahan, penggunaan tenaga kerja dan
penerimaan (Siregar, Murdy, dan Saputra, 2015).

Teknologi tanam benih langsung (Tabela) padi memiliki beberapa keunggulan,


antara lain memperpendek periode produksi padi sehingga dapat meningkatkan
indeks pertanaman dan mengurangi biaya tenaga kerja untuk menanam. Teknologi
Tabela dapat diterapkan pada agroekosistem sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan
lahan pasang surut. Umumnya Tabela menerapkan model pendekatan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT). Kekurangan dari Tabela adalah memerlukan pengolahan
tanah pada lahan dan pengaturan air yang berbeda dengan lahan untuk tanam
pindah. Tabela sesuai untuk diterapkan pada wilayah yang kekurangan tenaga kerja,
musim hujan pendek, dan air irigasi dapat diatur. Pada Tabela tidak ada persemaian
dan pindah tanam sehingga memerlukan tenaga kerja lebih sedikit (Zarwazi et al.,
2015).
Hasil penelitian (Hendra 2014) menunjukkan bahwa penerapan sistem tanam
legowo 6:1 dengan lebar legowo 1,75 x 28 cm menunjukkan produksi per satuan
luas sebesar 7,41 ton/ha pada varietas padi ketan. Sedangkan menurut (Ludgerius
2015), menerapkan sistem tanam legowo 6:1 menghasilkan produktivitas paling
tinggi yaitu 7,48 ton/ha pada varietas padi beras merah.
Pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) merupakan inovasi baru
untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam peningkatan produktivitas.
Teknologi intensifikasi bersifat spesifik lokasi, tergantung pada masalah yang akan
diatasi. Komponen teknologi PTT ditentukan bersama-sama petani melalui analisis
kebutuhan teknologi (Kementerian Pertanian, 2015).

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, S, M. J. Mejaya, N. Agustina, I. Gunawan, P. Sasmita, dan A.


Guswara. 2016. Sistem Tanam Legowo. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Kementerian Pertanian.
Admaja. 2016. Jagung. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan
Arif, et al. 2016. Potensi Pemanasan Global dari Padi Sawah System of Rice
Intensification (SRI). dengan berbagai ketinggian muka air tanah
Arief, A. R. 2015. Pengaruh Perbedaan Sistem Jarak Tanam Jajar Legowo pada
Pertumbuhan dan Produksi Tiga Varietas Jagung Manis (Zea mays saccharata
Sturt). Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian. Universitas Negeri Gorontalo
Bahua, Mohamad ikbal. 2015. Pertumbuhan dan Produksi Tiga Varietas Jagung
Manis (Zea mays saccharata Sturt) pada Sistem Jarak Tanam Jajar Legowo yang
Berbeda. Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo.
Balitbangtan. Badan Litbang Pertanian. 2016. Teknik Jajar Legowo Pada Tanaman
Jagung. Jakarta: Agro Inovasi.
Chamidah, S., Karyadi, dan S. Suratiningsih. 2015. Perbandingan usahatani padi yang
menggunakan hand tracktor dengan ternak sapi di kelompok tani karya
pembangunan. Jurnal Agromedia. 30 (1): 1 – 18.

Fuadi N A et al. 2016. Kajian Kebutuhan Air dan Produktivitas Air Padi Sawah
dengan Sistem Pemberian Air secara SRI dan Konvensional menggunakan Irigasi
Pipa
Misran. 2015. Studi Sistem Tanam Jajar Legowo terhadap Peningkatan Produktivitas
Padi Sawah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat. Jurnal
Penelitian Pertanian Terapan Vol. 14 (2): 106-110.
Ikhwani, G. R. Pratiwi, E. Paturrohman dan A. K. Makarim. 2015. Peningkatan
Produktivitas Padi Melalui Penerapan Jarak Tanam Jajar Legowo. Puslitbang Tanaman
Pangan. Iptek Tanaman Pangan Vol. 8 No.2 2013.

Arifi. 2010. Budidaya tanaman jagung & masalah produksinya di indonesia


khususnya di sumatra barat. Program studi agroekoteknologi fakultas pertanian
universitas andalas padang
Azmi yudia. 2010. Upaya peningkatan produksi jagung berdasarkan permasalahan
yang ada di indonesia,khususnya sumbar. Agroekoteknologi fakultas pertanian
universitas andalas
Hartoyo eko. 2008. Pengaruh pemupukan semi organik dengan berbagai sumber
pupuk kandang terhadap serapan n, pertumbuhan, dan hasil tanaman jagung (zea
mays l.). Universitas sebelas maret. Surakarta
Iskandar Andy. 2010. Budidaya tanaman jagung dan upaya peningkatan produksi
jagung sumatra barat. . Prody Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Andalas Padang
Jumet. 1990. Pentingnya pemupukan pada tanaman untuk meningkatkan produksi
tanaman
Jamal. 1989. Masal pupuk organik.
suriyadianti Ice. 2010. Budidaya tanaman jagung dan upaya peningkatan produksi
jagung di Sumatera Barat. Prody Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Andalas Padang
Syafrudin, dkk. 2013. Morfologi tanaman tan fase pertumbuhan tamanam
jagung.balai penelitian tanaman serealia
Yuliasma vera. 2015. Laporan praktikum teknologi produksi tanaman pangan.
Budidaya tanaman jagung. Program studi agroekoteknologi fakultas pertanian
unersitas andalas kampus tiga dharmasraya.
lidar.seprita.Surtinah. (2017). Pertumbuhan Vegetatif dan Kadar Gula Biji. jr.ilmiah
pertanian, 13(2), 78.
nyoman. (2015). Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan
Gulma dan Hasil Jagung Manis. jr.ilmiah, 24(4), 153-159.
Surtinah. (2017). RESPON TANAMAN JAGUNG MANIS AKIBAT PEMBERIAN TIENS GOLD.
jr.ilmiah pertanian, 8(2), 1-5.
Williams. (1993). Dasar-dasar Genetika dan Pemiliaan Tanaman. jr.ilmiah, 10(4), 1-8.

Purwono dan H. Purnamawati. 2015. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan. Penebar Swadaya.
Jakarta. (140 halaman)
Syahri dan R.U. Somantri. 2016. Penggunaan varietas unggul tahan hama dan penyakit
mendukung peningkatan produksi padi nasional. Jurnal Litbang Pertanian. 35 (1): 25-36.

Utama, M.Z.H. 2015. Budidaya Padi pada Lahan Marjinal. Penerbit ANDI, Yogyakarta.

Prasekti, Y.H. 2015. Analisa ekonomi usaha penangkar benih padi ciherang di Kelurahan
Tamanan Kecamatan Tulungagung, Kabupaten Tulungagung. Jurnal Agribisnis Unita. 11 (13):
1 – 11.

Musaqa, S. 2016. Analisis Sistem Pengadaan dan Pemasaran Benih di Kabupaten Batang
Hari, Provinsi Jambi. Fakultas Pertanian. Insititut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi Sarjana
Pertanian)

Wahid, A.S. 2015. Peningkatan efisiensi pupuk nitrogen pada padi sawah dengan metode
bagan warna daun. Jurnal Litbang Pertanian. 22 (4): 156-161

Jumin, H.B. 2016. Dasar-dasar Agronomi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Rahmawati, S. 2016. Status perkembangan perbaikan sifat genetik padi menggunakan


transformasi argobacterium. Jurnal Agrobiogen. 2 (1): 36 – 44.

Anda mungkin juga menyukai