1. KESULTANAN PERLAK
3. KESULTANAN MALAKA
4. KESULTANAN ACEH
KERAJAAN KAMPAR
Kerajaan Kampar saat ini
berada di kabupaten
Pelalawan (Dahulu
Pelalawan menjadi bagian
dari Kampar). Provinsi
Riau. Kampar
ditaklukkan oleh Melaka
di bawah pimpinan Tun
Mutahir dan harus
menerima instruksi
langsung dari Melaka.
Kampar sangat strategis,
karena merupakan jalur
lalu lintas pengiriman emas dan lada dari Minangkabau. Dalam Sejarah Melayu
diberitakan bahwa kakak Sultan Mahmudsyah Melaka, yaitu Sultan Munawarsyah,
telah diangkat menjadi Raja Kampar pada tahun 1505 M. Dia kemudian mangkat dan
digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdullah. Kampar yang dimaksudkan
adalah Pelalawan yang kerajaannya berkedudukan di Pekan Tua. Pada mulanya yang
menjadi raja adalah Maharaja Jaya yang beragama Hindu. Menurut legenda rakyat,
negeri itu dulu didirikan oleh Maharaja Dinso (Fals, 1882).
KERAJAAN SIAK
Kesultanan Siak Sri
Inderapura adalah
sebuah Kerajaan
Melayu Islam yang pernah berdiri
di Kabupaten Siak,
Provinsi Riau, Indonesia.
Kesultanan ini didirikan
di Buantan oleh Raja
Kecil dari Pagaruyung bergelar Su
ltan Abdul Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat dalam perebutan
tahta Johor. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah
kerajaan bahari yang kuat[2] dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir
timur Sumatra dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa.
Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat,
sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatra dan Kalimantan.[3][4]
[5] Pasang surut kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam memperebutkan
penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya
bergabung dengan Republik Indonesia.
3. KESULTANAN MATARAM
Kesultanan Mataram (bahasa
Jawa: ꦤꦒꦫꦶꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦩꦠꦫꦩ꧀; Nag
a ri Kasultanan Mataram, kadang
disebut Mataram Islam atau Mataram Baru)
adalah suatu
negara Islam berbentuk kesultanan di pulau
Jawa yang pernah ada pada abad ke-17.
Kerajaan ini sudah didirikan sejak abad ke-
16 namun baru menjadi sebuah negara
berdaulat di abad ke-17 yang dipimpin
suatu dinasti keturunan Ki Ageng
Sela dan Ki Ageng Pamanahan atau disebut Wangsa Mataram. Awal mulanya berupa
wilayah Alas Mentaok yang diberikan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng
Pamanahan atas jasanya, kemudian menjadi suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang.
Dengan Kuthagedhe sebagai pusat awal pemerintahan negara islam kesultanan Mataram. Raja
berdaulat pertama adalah Danang Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng
Pamanahan.
Kesultanan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan pulau Jawa (kecuali
wilayah Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon) dan sekitarnya, termasuk pulau Madura.
Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma
dagang itu, namun ironinya menerima bantuan VOC pada masa akhir menjelang
keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian. Namun keberadaan kerajaan ini
memberikan bukti peninggalan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti
kampung Matraman di Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat,
penggunaan Carakan dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa
pembagian wilayah administrasi yang masih berlaku hingga sekarang.
4. KESULTANAN BANTEN
Kesultanan Banten adalah sebuah
kerajaan Islam yang pernah berdiri di Tatar
Pasundan, Provinsi Banten, Indonesia.
Berawal sekitar tahun 1526,
ketika kesultanan Cirebon dan kesultanan
Demak memperluas pengaruhnya ke
kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan
menaklukkan beberapa kawasan pelabuhan
kemudian menjadikannya sebagai
pangkalan militer serta kawasan
perdagangan sebagai antisipasi
terealisasinya perjanjian antara kerajaan Sunda dan Portugis tahun 1522 m.Maulana
Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati[6] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah
penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mengembangkan benteng pertahanan yang
dinamakan Surosowan (dibangun 1600 M) menjadi kawasan kota pesisir yang kemudian hari
menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri. Selama
hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar
biasa, yang di waktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan
pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan
sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah
melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan
Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol
kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintahannya, para
Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.