(RILIS KAJIAN AKADEMIK) Moratorium Prodi S1 Farmasi PDF
(RILIS KAJIAN AKADEMIK) Moratorium Prodi S1 Farmasi PDF
1
SIKAP
Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (ISMAFARSI)
Atas seluruh dedikasi dan kepedulian kami dalam keberlangsungan pendidikan farmasi
di Indonesia. Atas upaya untuk tetap merawat citra dan harum profesi apoteker di Tanah
Air ini. Atas segala keinginan kami untuk tetap menjaga harkat, martabat, dan maslahat
rakyat Indonesia agar tetap sehat. Kami, Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh
Indonesia (ISMAFARSI) menyatakan sikap:
Dengan penuh kesadaran, demikian sikap yang kami buat tanpa tekanan, intervensi, dan
kepentingan apapun. Mari kobarkan semangat pelayanan kefarmasian yang holistik.
Demi negara, orang-orang yang kita cinta, dan diri kita.
Penanggung Jawab
Hivzil Indra (Sekretaris Jenderal ISMAFARSI)
Ghiyats Ramadhan (Staff Ahli Kajian Strategis dan Advokasi ISMAFARSI)
Agus Nurhasan (Tim Staff Ahli Kajian Strategis dan Advokasi ISMAFARSI)
Koordinator Pusat
Bagaskara Reza (UGM)
3
PENDAHULUAN
Amanah Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian pasal
36 ayat 1 yang menuliskan bahwasanya apoteker sebagaimana yang dimaksud dalam
perundang-undangan tersebut adalah seorang yang telah menempuh pendidikan profesi
setelah sarjana farmasi menyatakan secara eksplisit bahwa siapapun yang ingin
mendapat gelar apoteker (Apt.) maka wajib hukumnya untuk menempuh jalur Program
Studi Profesi Apoteker (PSPA) yang diadakan pada institusi-institusi di Indonesia
dengan ketetapan yang berlaku. Hal ini sekaligus merupakan upaya standardisasi dari
pemerintah, organisasi profesi, dan asosiasi untuk membuat profesi apoteker memiliki
kompetensi yang cukup dalam praktik asuhan kefarmasian.
Tutus Gusdinar Kartawinata yang merupakan salah satu anggota Komite Farmasi
Nasional (KFN) bertutur bahwa konsep pendidikan apoteker terintegrasi menyatukan
proses pendidikan akademik (sarjana farmasi) dan pendidikan profesi (apoteker)
menjadi satu proses akuisisi untuk mencapai kompetensi apoteker. Konsep ini
merupakan satu kesatuan dari manajemen kompetensi, pemisahan diasumsikan hanya
bersifat struktural institusi penyelenggara (manajemen struktural-administrasi).
Berkaca pada penjelasan Tutus, sudah sewajarnya dan seharusnya konsep pendidikan
sarjana dengan pendidikan profesi merupakan satu kesatuan utuh yang harusnya tidak
terpisahkan secara akademik. Dan daripada itu pula, sudah sewajarnya jika mahasiswa-
mahasiswa yang sedang atau telah menempuh program studi S1 Farmasi dirancang
untuk dapat melanjutkan ke program profesi hingga menjadi apoteker, bukan semata-
mata untuk menjadi Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK).
Untuk mewujudkan sekelumit cita-cita menjadikan profesi apoteker menjadi salah satu
garda terdepan dalam upaya kesehatan rakyat Indonesia, maka perlu adanya evaluasi
dan penguatan pada sektor fundamental profesi apoteker yaitu pendidikan, baik prodi
S1 ataupun PSPA. Ketimpangan yang sangat nyata dan juga terjadinya distorsi opini di
kalangan masyarakat serta mahasiswa yang bertanya-tanya mengapa begitu tidak
ekivalennya jumlah prodi S1 Farmasi dengan PSPA membuat sebagian mahasiswa
resah akibat minimnya ketersediaan PSPA yang berdampak langsung pada
keterancaman kegagalan mimpi para calon apoteker menjadi seorang apoteker yang
budiman dan dapat berkontribusi besar di masyarakat.
Realita yang ada memang kerapkali berbeda dengan apa yang menjadi idealita. Upaya
menjamin keberlanjutan berkuliah profesi ternyata tidak dirasakan oleh semua
mahasiswa. Maka, ketergerakan untuk bersama-sama membangun sektor pendidikan
farmasi dan profesi apoteker menjadi sangat penting. Selain tentunya upaya penguatan-
5
penguatan di berbagai aspek yang ada terutama dalam fragmen Sumber Daya Manusia
(SDM), perlu adanya sebuah kebijakan yang memberi ruang dan waktu untuk seluruh
rakyat farmasi tanpa terkecuali kembali mengevaluasi dirinya, menciptakan iklim
pendidikan yang berpihak pada mahasiswa, menjamin keberlanjutan berkuliah profesi,
dan membangun secara fokus kualitas pendidikan sarjana farmasi yang mana memiliki
visi agar apoteker yang dicetak di kemudian hari dapat membawa iklim perubahan baik
di profesi ataupun di masyarakat.
Moratorium Program Studi S1 Farmasi adalah salah satu wacana untuk memberikan apa
yang namanya „ruang untuk bernapas‟. Memberikan sejenak waktu untuk membenahi
prodi S1 Farmasi yang secara mayoritas justru melemahkan profesi apoteker dengan
kurangnya penjaminan kualitas pendidikan farmasi. Dalam kajian akademik ini, Ikatan
Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (ISMAFARSI) yang mendelegasikan
tugas kepada Satuan Tugas Isu Moratorium Prodi S1 Farmasi akan mencoba secara
tuntas dan komprehensif membahas mengenai wacana moratorium program studi
farmasi untuk satu tujuan bersama:
“Apoteker menjadi lebih baik lagi dan lebih digdaya lagi. Bahwa sesungguhnya apa-
apa yang menjadi tanggung jawab apoteker tidak hanya terbatas pada kesehatan dan
pengobatan, melainkan jauh di atas segalanya ialah tentang nyawa satu manusia,
yang dari satu manusia tersebut, kita tidak tahu perubahan apa yang akan terjadi di
masa depan untuk bangsa ini.”
6
TINJAUAN-TINJAUAN
1. Tinjauan Historis
Tujuan dari arah pembangunan di bidang kesehatan adalah mudahnya akses
masyarakat pada pelayanan kesehatan yang berkualitas, termasuk di dalamnya
pelayanan kefarmasian. Dalam hal ini profesi seorang farmasi baik dari sisi
kompetensi dan integritasnya dalam mewujudkan profesionalisme untuk
mengidentifikasi masalah kesehatan di masyarakat yang cenderung berubah.
Sebagai wujudnya, diperlukan pula mutu dan kualitas sumber daya manusia yang
baik.
2. Tinjauan Yuridis
Preambule Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
(UUD NKRI 1945) telah mengamanahkan bahwa pemerintah negara Indonesia
berkomitmen untuk dapat memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
bangsa adalah bentuk suatu pesan yang diejawantahkan langsung kepada salah
satunya yakni pendidikan. Undang-Undang (UU) No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 4 tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
disebutkan bahwa terdapat lima prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan, salah
satunya adalah pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik
dengan sistem terbukan dan multimakna. Dalam undang-undang yang sama,
disampaikan pula pada pasal 8 bahwa setiap “Masyarakat berhak berperan serta
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.”
Mahasiswa, dalam hal ini konteks masyarakat sebagai social control juga dapat
turut serta dalam mengawasi pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Sementara, pada
pasal 11 disebutkan pula hak dan kewajiban pemeritnah serta pemerintah daerah
bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap
warga negara tanpa diskriminasi.”
3. Tinjauan Sosiologis
Nine stars pharmacist merupakan salah satu ideologi pekerjaan kefarmasian yang
menjadi cita-cita bersama seluruh rakyat farmasi. Kesembilan bintang tersebut
(Care giver, decision maker, communicator, manager, leader, long-life learner,
teacher, researcher, dan entrepreneur) merupakan sebuah visi besar yang
kemudian dikonkretkan dalam konsep-konsep pembelajaran di pendidikan agar
dapat diaplikasikan pada masyarakat. Dalam tataran perilaku hidup bermasyarakat,
tempat-tempat membeli obat seperti apotek, toko obat baik konvensional maupun
yang herbal, dan toko-toko lainnya yang menjual obat-obatan hampir setiap
manusia tahu dan pernah mengunjunginya. Apotek misalnya, ketika masyarakat
akan membeli obat tertentu untuk mengatasi penyakit tertentu, maka akan
dipastikan akan terdapat interaksi antara si pasien dengan pelayan apotek. Pelayan
apotek, pada umumnya akan merespon permintaan pasien sesuai dengan standar
dan ketentuan yang berlaku. Harapannya, setiap pelayan apotek, terkhusus apoteker
di dalamnya dapat memberikan nilai informatif dan edukatif kepada pasien agar
pemakaian obat dapat tepat dan akurat. Kepercayaan masyarakat terhadap dunia
medis, khususnya pengobatan menjadi salah satu aspek yang harus tetap dijaga dan
diperhatikan. Maka, tidaklah berlebihan untuk terus-menerus mengevaluasi
pendidikan farmasi untuk kedepannya dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya
kepada masyarakat.
1. Definisi Moratorium
Dalam definisi hukum, moratorium berasal dari bahasa latin, morari, yang berarti
penundaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moratorium berart; 1
penangguhan pembayaran utang didasarkan pada undang-undang agar dapat
mencegah krisis keuangan yang semakin hebat; 2 penundaan; penangguhan. Dalam
konteks pendidikan farmasi. Moratorium Program Studi S1 Farmasi mengartikan
kebijakan tentang penundaan sementara pembukaan program studi S1 Farmasi baru
di Indonesia.
Secara hak dan kewajiban pun, lulusan Prodi S1 Farmasi saja dengan lulusan PSPA
11
periode pengusulan pembukaan program studi baru untuk setiap tahun berjalan,
di mana apabila dalam satu periode sebuah borang masuk lalu kemudian
setelah dievaluasi tidak diterima, maka institusi yang mengajukan borang
berhak untuk memperbaiki dan mengajukan lagi di periode berikutnya.
Periode Pengusulan Evaluasi Pengumuman
I 01-31 Januari 1-28 Februari Maret
II 01-31 April 1-31 Mei Juni
III 01-31 Juli 1-31 Agustus September
IV 01-31 Oktober 1-30 Nopember Desember
Tabel 2. Periode Pengusulan Program Studi Baru
Asosiasi Farmasi
Institusi mengisi Borang APTFI memberikan
(APTFI) mendapatkan
PSPA & Mengajukan ke rekomendasi kepada
hak rekomendasi apakah
Kemenristekdikti lewat Dikti bagian Dirjen
PSPA yang diajukan
Silemkerma Kelembagaan
layak/tidak.
Perbedaan ini nantinya akan berdampak cukup besar karena kualifikasi dan
alur pada PSPA lebih panjang dan ketat ketimbang S1. Perbedaan ini pula yang
menimbulkan kesenjangan kuantitas antara S1 Farmasi di Indonesia begitu
melimpah ruah ketimbang PSPA yang hanya dimiliki oleh segelintir institusi.
Padahal, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sudah sewajarnya dan
seharusnya apabila institusi yang di dalamnya terdapat prodi S1 untuk dapat
memiliki pula program profesi apoteker.
38
17%
S1 Farmasi
PSPA
182
83%
Dalam Perpres tersebut, jelas sangat berbeda secara signifikan keluaran dari
prodi S1 dan PSPA. Pada struktur KKNI, prodi S1 hanya menempati nilai 6,
sedangkan profesi menempati nilai 7. Perbedaan struktur ini tentunya akan
menjadikan profesi apoteker terdikotomi dan rancu di mana letak perbedaan
antara Sekolah Menengah Kejuruan Farmasi (SMF), DIII, S1, dan PSPA.
menetapkan kemerdekaan dirinya. Pada tahun < 2000, relatif prodi S1 Farmasi
tergolong sedikit, hanya berjumlah 29 prodi. Namun, ketika era berganti
menjadi milenial, pertumbuhan prodi S1 Farmasi begitu sangat pesatnya dan
tak terbendung. Di lain sisi, perkembangan PSPA berkebalikannya, meskipun
terus ada dari tahun ke tahun, tapi angkanya tidak sedrastis pendirian S1
Farmasi
120
100 S1 Farmasi
80 PSPA
68
60
40 38
28 23
20 16
0
< 2000 2000-2010 > 2010
Tahun
100 96
80
Jumlah S1
60
40 36
20
20 11
8
2
0
Sumatera Jawa Bali-Nusa Kalimantan Sulawesi Maluku-Papua
Tenggara
Pulau Besar
21
Distribusi Prodi S1 Pulau Sumatera
16 15
14
12
10
Jumlah S1
8
6 5 5
4 3 3
2
2 1 1 1
0
0
Provinsi
20 18
15
11
9
10
5
5
0
Jawa Tengah Jawa Barat Jawa Timur DKI Jakarta Yogyakarta Banten
Provinsi
22
Distribusi Prodi S1 di Pulau Bali-Nusa Tenggara
4,5
4
4
3,5
3
3
Jumlah S1
2,5
2
1,5 1
1
0,5
0
NTB Bali NTT
Provinsi
2
1 1
1
0
0
Kal. Selatan Kal. Timur Kal. Barat Kal. Tengah Kal. Utara
Provinsi
23
Distribusi Prodi S1 di Pulau Sulawesi
9
8
8
7
6
5
Jumlah S1
5
4
3
3
2 2
2
1
0
0
Sul. Selatan Sul. Utara Sul. Tenggara Sul. Tengah Gorontalo Sul. Barat
Provinsi
0,8
Jumlah S1
0,6
0,4
0,2
0 0
0
Maluku Papua Papua Barat Maluku Utara
Provinsi
25
20
Jumlah
15
10
5 4 3 3
1 0
0
Sumatera Jawa Bali-Nusa Kalimantan Sulawesi Maluku-Papua
Tenggara
Pulau Besar
15
9%
A
40 B
21% C
100
56% Belum Terakreditasi
27
14%
26
Peringkat Akreditasi PSPA di Indonesia
Total: 38 PSPA
14 A
14
37% 34% B
C
Belum Terakreditasi
2 9
5% 24%
11
6%
15
9% A
17
10% B
C
23
116 On Going
14%
61% Belum Terakreditasi
8 A
21%
11 B
29%
C
4
On Going
11%
Belum Terakreditasi
2
13
5%
34%
28
Barat
29 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Bandung, Jawa Barat
30 Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Bandung Bandung, Jawa Barat
31 Universitas Islam Bandung Bandung, Jawa Barat
32 Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi, Jawa Barat
33 Sekolah Tinggi Farmasi YPIB Cirebon Cirebon, Jawa Barat
34 Universitas Garut Garut, Jawa Barat
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas
35 Tasikmalaya, Jawa Barat
Husada
36 Universitas Tjut Nyak Dhien Medan, Sumatera Utara
Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Perintis
37 Padang, Sumatera Barat
Padang
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Harapan Ibu
38 Jambi, Jambi
Jambi
39 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau Riau, Riau
37 Universitas Gunadarma
38 Universitas Singaperbangsa Karawang
39 Institut Teknologi Sumatera
Dari tabel di atas, sebanyak 17 institusi yang telah memiliki prodi S1 Farmasi
B belum memiliki program terusan PSPA. Di sinilah fungsi moratorium
berperan bahwa ia tidak hanya semata-mata menghentikan proses pembukaan
prodi S1 Farmasi. Tapi, menilik lebih jauh, bercita-cita untuk memberikan
ruang dan waktu bagi seluruh elemen, terutama asosiasi dan institusi untuk
mendorong institusi yang telah berakreditasi B untuk dapat membuka PSPA di
kampusnya masing-masing. Harapannya, seluruh institusi yang telah
berakreditasi A dan B mempunyai program terusan PSPA dan secara kalkulasi,
seluruh kualitas lulusan prodi S1 Farmasi dari kampus akreditasi A dan B telah
dijamin untuk meneruskan program lanjutan ke PSPA. Setelah pendorongan
pembukaan PSPA selesai, ihwal selanjutnya adalah meningkatkan mutu
kualitas prodi S1 Farmasi dengan membangun perbaikan secara masif terutama
bagi kampus berakreditasi C untuk segera meningkatkan seluruh aspek dan
faktor pendukung untuk dapat menempat akreditasi B, dan juga bagi yang tidak
berakreditasi untuk segera memiliki akreditasi institusinya. Hal ini tentu akan
berdampak besar pada mahasiswa farmasi yang mana akan terwujudkan
keterjaminan lulusan dan perbaikan pendidikan farmasi dan apoteker yang
38
40
ANALISIS SOLUSI
Sebagai bentuk tanggung jawab moral dan akademik, dalam setiap permasalahan yang
ada, sudah sepatutnya mahasiswa dapat memberikan solusi. Dalam ilmu kefarmasian
mengenal istilah 9 stars pharmacist di mana salah satu dari kesembilan 9 stars itu
adalah long-life learner. Bahwa hidup apoteker sewajarnya secara keseluruhan adalah
bagian dari proses belajar yang terus-menerus. Menyikap isu di tengah masyarakat,
pendidikan farmasi dan juga profesi apoteker adalah bentuk kepedulian dan keinginan
kami untuk senantiasa profesi ini terus-menerus dapat meningkatkan mutu dan
kualitasnya.
Berangkat dari seluruh paparan yang telah dikupas tuntas pada poin-poin sebelumnya,
timbullah dua solusi besar sebagai tanggapan atas permasalahn membludaknya prodi S1
Farmasi yang tidak ekivalen dengan kuantitas PSPA-nya. Dua solusi ini diharapkan
dapat memberikan angin segar bagi dunia pendidikan farmasi yang karut-marut, bahwa
pendidikan farmasi butuh sedikit waktu untuk terus dapat menjaga asa dan harapan
untuk pendidikan yang kredibel. Moratorium prodi S1 Farmasi, secara benang merah
tentu tidak semata-mata ego dan ambisi pribadi untuk dapat menghentikan seluruh
pendirian prodi S1 Farmasi. Tapi, maknanya jauh di atas itu. Ketika moratorium S1
Farmasi dapat diberlakukan, maka secara otomatis seluruh pendirian prodi S1 Farmasi
dapat dikatakan berhenti total, apabila bercermin pada data yang ada pada rilis ini, akan
ada 182 prodi S1 Farmasi di Indonesia. Tentu, dengan adanya moratorium, seluruh
elemen, baik pemerintah, asosiasi, organisasi profesi, komite farmasi, ISMAFARSI, dan
seluruh mahasiswa serta seluruh sinyalemen lainnya dapat membangun komitmen
bersama untuk terlebih dahulu memperbaiki kualitas 182 prodi S1 Farmasi di mana
dengan harapan:
41
Adapun, dua solusi yang ISMAFARSI, dalam hal ini Satuan Tugas berikan adalah:
1. Moratorium Prodi S1 Farmasi secara Total.
Solusi ini merupakan solusi prioritas di mana pemerintah menerbitkan Surat
Keputusan bahwa izin prodi S1 Farmasi ditangguhkan sampai waktu yang tidka
ditentukan (atau yang disepakati) dan dianggap bahwa kualitas pendidikan
farmasi dan apoteker Indonesia sudah membaik. Adapun pengecualian dapat
diberlakukan pada lima provinsi yang belum memiliki S1 Farmasi untuk
mengedepankan aspek hak asasi untuk mendapatkan akses pendidikan farmasi di
provinsinya masing-masing. Pendirian terebut dibatasi maksimal 1 prodi S1
Farmasi di mana berorientasi kebutuhan, bukan bisnis.
2. Pendirian Paket S1 Farmasi dan PSPA
Solusi ini adalah solusi yang diajukan atas berkaca pada profesi Kedokteran di
mana pendirian program studi kedokteran sepaket dengan program profesinya.
Jadi apabila ada seorang mahasiswa yang berkuliah S1 di kampus A, maka ia
sudah barang tentu akan melanjutkan profesi di kampus A, kebijakan tersebut
akan meminimalisir dampak sikut-sikutan untuk mendapatkan kursi PSPA
seperti apa yang terjadi pada apoteker. Dengan demikian, apabila moratorium
tidak memungkinkan untuk dapat diadakan, pembukaan paket S1 Farmasi dan
42
PSPA menjadi salah satu langkah strategis untuk mendorong institusi yang ingin
membuka prodi S1 Farmasi benar-benar menunjukkan iktikad baiknya
membangun apoteker Indonesia.
Jikalau solusi dua ini yang ditarik, ada baiknya dan sudah seharusnya APTFI
sebagai asosiasi kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi (PTF) di Indonesia
dilibatkan dalam seluruh penilaian borang, baik prodi S1 Farmasi ataupun PSPA
dan diberikan hak rekomendasi apakah layak atau tidak secara objektif suatu
institusi ingin membukan prodi S1 Farmasi dan PSPA. Hal ini dilakukan sebagai
usaha preventif bagi seluruh institusi yang main-main dalam membuka prodi S1
Farmasi.
43
KESIMPULAN
44