Anda di halaman 1dari 44

RILIS KAJIAN AKADEMIK

MORATORIUM PROGRAM STUDI


S1 FARMASI

Bidang Kajian Strategis dan Advokasi


Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (ISMAFARSI)

1
SIKAP
Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (ISMAFARSI)

Atas seluruh dedikasi dan kepedulian kami dalam keberlangsungan pendidikan farmasi
di Indonesia. Atas upaya untuk tetap merawat citra dan harum profesi apoteker di Tanah
Air ini. Atas segala keinginan kami untuk tetap menjaga harkat, martabat, dan maslahat
rakyat Indonesia agar tetap sehat. Kami, Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh
Indonesia (ISMAFARSI) menyatakan sikap:

1. Menuntut agar Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi


(Kemenristekdikti) sebagai pemangku kebijakan untuk menerbitkan surat
keputusan terkait moratorium Program Studi S1 Farmasi.
2. Mendesak agar Kemenristekdikti dapat berpartisipasi aktif dalam menjaga
kualitas dan mutu pendidikan tinggi farmasi di Indonesia.
3. Mengecam institusi manapun yang membuka prodi S1 Farmasi dengan
orientasi profit tanpa melihat farmasi sebagai suatu kebutuhan.
4. Menghimbau untuk seluruh mahasiswa farmasi tetap berproses dalam
kebaikan dan menjaga nama baik profesi apoteker secara totalitas.

Dengan penuh kesadaran, demikian sikap yang kami buat tanpa tekanan, intervensi, dan
kepentingan apapun. Mari kobarkan semangat pelayanan kefarmasian yang holistik.
Demi negara, orang-orang yang kita cinta, dan diri kita.

Padang, 04 Juni 2018


Atas bakti seluruh mahasiswa farmasi seluruh Indonesia
2

Sekretaris Jenderal ISMAFARSI 2016-2018


Hivzil Indra
Disusun oleh:
Satuan Tugas Isu Moratorium

Penanggung Jawab
Hivzil Indra (Sekretaris Jenderal ISMAFARSI)
Ghiyats Ramadhan (Staff Ahli Kajian Strategis dan Advokasi ISMAFARSI)
Agus Nurhasan (Tim Staff Ahli Kajian Strategis dan Advokasi ISMAFARSI)

Koordinator Pusat
Bagaskara Reza (UGM)

Tim Satuan Tugas Isu Moratorium Prodi S1 Farmasi

3
PENDAHULUAN

Amanah Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian pasal
36 ayat 1 yang menuliskan bahwasanya apoteker sebagaimana yang dimaksud dalam
perundang-undangan tersebut adalah seorang yang telah menempuh pendidikan profesi
setelah sarjana farmasi menyatakan secara eksplisit bahwa siapapun yang ingin
mendapat gelar apoteker (Apt.) maka wajib hukumnya untuk menempuh jalur Program
Studi Profesi Apoteker (PSPA) yang diadakan pada institusi-institusi di Indonesia
dengan ketetapan yang berlaku. Hal ini sekaligus merupakan upaya standardisasi dari
pemerintah, organisasi profesi, dan asosiasi untuk membuat profesi apoteker memiliki
kompetensi yang cukup dalam praktik asuhan kefarmasian.

Tutus Gusdinar Kartawinata yang merupakan salah satu anggota Komite Farmasi
Nasional (KFN) bertutur bahwa konsep pendidikan apoteker terintegrasi menyatukan
proses pendidikan akademik (sarjana farmasi) dan pendidikan profesi (apoteker)
menjadi satu proses akuisisi untuk mencapai kompetensi apoteker. Konsep ini
merupakan satu kesatuan dari manajemen kompetensi, pemisahan diasumsikan hanya
bersifat struktural institusi penyelenggara (manajemen struktural-administrasi).

Berkaca pada penjelasan Tutus, sudah sewajarnya dan seharusnya konsep pendidikan
sarjana dengan pendidikan profesi merupakan satu kesatuan utuh yang harusnya tidak
terpisahkan secara akademik. Dan daripada itu pula, sudah sewajarnya jika mahasiswa-
mahasiswa yang sedang atau telah menempuh program studi S1 Farmasi dirancang
untuk dapat melanjutkan ke program profesi hingga menjadi apoteker, bukan semata-
mata untuk menjadi Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK).

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dalam fokus


4

pembangunan pendidikan tahun 2010-2020 menegaskan bahwa pembangunan


pendidikan diarahkan untuk menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif
melalui peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas, dan relevansi, kesetaraan
dan kepastian memperoleh layanan pendidikan. Dijelaskan dalam prioritas program
yang ada bahwa satu dari lima program prioritas disebutkan bahwa adanya peningkatan
akses dan daya saing pendidikan tinggi.

Apa-apa yang disebutkan oleh Kemenristekdikti khususnya pada bagian kepastian


memperoleh layanan pendidikan, dalam korelasinya dengan pendidikan apoteker tentu
berkaitan langsung dengan keterjaminan hak mahasiswa-mahasiswi program studi S1
Farmasi untuk dapat melanjutkan ke Program Studi Profesi Apoteker (PSPA). Hal
tersebut tidak semata-mata mengedepankan aspek hak asasi bagi setiap mahasiswa prodi
S1 Farmasi. Tapi, jauh di atas segalanya sekaligus mengupayakan dan mendukung
bahwa arah pengembangan tenaga kesehatan 2005-2024 bahwa arah pengembangan
tenaga kesehatan sejalan dengan arah upaya kesehatan, dari yang awalnya dan
mayoritas adalah tenaga kuratif, menjadi tenaga preventif, dan tenaga promotif.

Untuk mewujudkan sekelumit cita-cita menjadikan profesi apoteker menjadi salah satu
garda terdepan dalam upaya kesehatan rakyat Indonesia, maka perlu adanya evaluasi
dan penguatan pada sektor fundamental profesi apoteker yaitu pendidikan, baik prodi
S1 ataupun PSPA. Ketimpangan yang sangat nyata dan juga terjadinya distorsi opini di
kalangan masyarakat serta mahasiswa yang bertanya-tanya mengapa begitu tidak
ekivalennya jumlah prodi S1 Farmasi dengan PSPA membuat sebagian mahasiswa
resah akibat minimnya ketersediaan PSPA yang berdampak langsung pada
keterancaman kegagalan mimpi para calon apoteker menjadi seorang apoteker yang
budiman dan dapat berkontribusi besar di masyarakat.

Realita yang ada memang kerapkali berbeda dengan apa yang menjadi idealita. Upaya
menjamin keberlanjutan berkuliah profesi ternyata tidak dirasakan oleh semua
mahasiswa. Maka, ketergerakan untuk bersama-sama membangun sektor pendidikan
farmasi dan profesi apoteker menjadi sangat penting. Selain tentunya upaya penguatan-
5

penguatan di berbagai aspek yang ada terutama dalam fragmen Sumber Daya Manusia
(SDM), perlu adanya sebuah kebijakan yang memberi ruang dan waktu untuk seluruh
rakyat farmasi tanpa terkecuali kembali mengevaluasi dirinya, menciptakan iklim
pendidikan yang berpihak pada mahasiswa, menjamin keberlanjutan berkuliah profesi,
dan membangun secara fokus kualitas pendidikan sarjana farmasi yang mana memiliki
visi agar apoteker yang dicetak di kemudian hari dapat membawa iklim perubahan baik
di profesi ataupun di masyarakat.

Moratorium Program Studi S1 Farmasi adalah salah satu wacana untuk memberikan apa
yang namanya „ruang untuk bernapas‟. Memberikan sejenak waktu untuk membenahi
prodi S1 Farmasi yang secara mayoritas justru melemahkan profesi apoteker dengan
kurangnya penjaminan kualitas pendidikan farmasi. Dalam kajian akademik ini, Ikatan
Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (ISMAFARSI) yang mendelegasikan
tugas kepada Satuan Tugas Isu Moratorium Prodi S1 Farmasi akan mencoba secara
tuntas dan komprehensif membahas mengenai wacana moratorium program studi
farmasi untuk satu tujuan bersama:

“Apoteker menjadi lebih baik lagi dan lebih digdaya lagi. Bahwa sesungguhnya apa-
apa yang menjadi tanggung jawab apoteker tidak hanya terbatas pada kesehatan dan
pengobatan, melainkan jauh di atas segalanya ialah tentang nyawa satu manusia,
yang dari satu manusia tersebut, kita tidak tahu perubahan apa yang akan terjadi di
masa depan untuk bangsa ini.”

6
TINJAUAN-TINJAUAN

1. Tinjauan Historis
Tujuan dari arah pembangunan di bidang kesehatan adalah mudahnya akses
masyarakat pada pelayanan kesehatan yang berkualitas, termasuk di dalamnya
pelayanan kefarmasian. Dalam hal ini profesi seorang farmasi baik dari sisi
kompetensi dan integritasnya dalam mewujudkan profesionalisme untuk
mengidentifikasi masalah kesehatan di masyarakat yang cenderung berubah.
Sebagai wujudnya, diperlukan pula mutu dan kualitas sumber daya manusia yang
baik.

Catatan tonggak berdirinya pendidikan formal farmasi dimulai sekitar perjuangan


pasca-kemerdekaan Indonesia tanggal 27 September 1946, didirikanlah Perguruan
Tinggi Ahli Obat yang kini eksis dengan nama Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada. Satu tahun kemudian pada 1 Agustus 1947 diresmikan jurusan
farmasi dari Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam yang sekarang menjadi Sekolah
Farmasi ITB. Dewasa ini dalam kurun tahun program studi farmasi mulai digemari
dengan meluluskan Sarjana Farmasi atau Tenaga Teknis Kefarmasian. Institusi
pendidikan dapat membuka program studi S-1 Farmasi sama seperti halnya
pembukaan program studi yang lain. Bagi institusi pendidikan dengan program
studi kesehatan yang sudah collapse, Farmasi menjadi program studi baru yang
diunggulkan untuk dibuka. Kesalahpahaman yang terjadi adalah ketika yang
demikian dibutuhkan bukan sarjana farmasi yang harapannya tersebar merata,
melainkan semata-mata peningkatan kuantitas lulusan S1. Oleh Kemenristekdikti,
digitalisasi pun dipergunakan untuk memudahkan proses pengajuan pembukaan
prodi melalui silemkerma.dikti.go.id dengan persyaratan, prosedur, dan dokumen
hanya tinggal menyesuaikan.
7

Apoteker dalam pekerjaannya bertanggung jawab atas promosi kesehatan, advokasi


obat terhadap swamedikasi dan mempengaruhi peresepan terhadap penggunaan
obat yang rasional. Perluasan paradigma kefarmasian yang semula drug oriented
menjadi patient oriented sehingga penting pada tugas apoteker untuk selalu
menjaga quality assurance pelayanan kepada pasien. Itu berarti pendidikan farmasi
tak hanya sampai pada Tenaga Teknis Kefarmasian. Di lain kata, sangat perlu
sarjana farmasi melanjutkan ke PSPA

2. Tinjauan Yuridis
Preambule Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
(UUD NKRI 1945) telah mengamanahkan bahwa pemerintah negara Indonesia
berkomitmen untuk dapat memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
bangsa adalah bentuk suatu pesan yang diejawantahkan langsung kepada salah
satunya yakni pendidikan. Undang-Undang (UU) No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 4 tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
disebutkan bahwa terdapat lima prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan, salah
satunya adalah pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik
dengan sistem terbukan dan multimakna. Dalam undang-undang yang sama,
disampaikan pula pada pasal 8 bahwa setiap “Masyarakat berhak berperan serta
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.”
Mahasiswa, dalam hal ini konteks masyarakat sebagai social control juga dapat
turut serta dalam mengawasi pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Sementara, pada
pasal 11 disebutkan pula hak dan kewajiban pemeritnah serta pemerintah daerah
bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap
warga negara tanpa diskriminasi.”

Pada Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 yang merupakan spesifikasi


menyangkut pekerjaan kefarmasian dari Undang-Undang No. 36 tahun 2006
tentang kesehatan dituliskan dalam pasal 3 bahwa “Pekerjaan Kefarmasian
8

dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan,


dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan
Sediaan Farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan
kemanfaatan.” Nilai-nilai dalam pekerjaan kefarmasian ini harus didasarkan pada
pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dalam pendidikan termasuk pendidikan
berkelanjutan maupun pengalaman serta etika profesi.

3. Tinjauan Sosiologis
Nine stars pharmacist merupakan salah satu ideologi pekerjaan kefarmasian yang
menjadi cita-cita bersama seluruh rakyat farmasi. Kesembilan bintang tersebut
(Care giver, decision maker, communicator, manager, leader, long-life learner,
teacher, researcher, dan entrepreneur) merupakan sebuah visi besar yang
kemudian dikonkretkan dalam konsep-konsep pembelajaran di pendidikan agar
dapat diaplikasikan pada masyarakat. Dalam tataran perilaku hidup bermasyarakat,
tempat-tempat membeli obat seperti apotek, toko obat baik konvensional maupun
yang herbal, dan toko-toko lainnya yang menjual obat-obatan hampir setiap
manusia tahu dan pernah mengunjunginya. Apotek misalnya, ketika masyarakat
akan membeli obat tertentu untuk mengatasi penyakit tertentu, maka akan
dipastikan akan terdapat interaksi antara si pasien dengan pelayan apotek. Pelayan
apotek, pada umumnya akan merespon permintaan pasien sesuai dengan standar
dan ketentuan yang berlaku. Harapannya, setiap pelayan apotek, terkhusus apoteker
di dalamnya dapat memberikan nilai informatif dan edukatif kepada pasien agar
pemakaian obat dapat tepat dan akurat. Kepercayaan masyarakat terhadap dunia
medis, khususnya pengobatan menjadi salah satu aspek yang harus tetap dijaga dan
diperhatikan. Maka, tidaklah berlebihan untuk terus-menerus mengevaluasi
pendidikan farmasi untuk kedepannya dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya
kepada masyarakat.

Dengan demikian, argumentasi historis, yuridis, dan sosiologis terhadap perlunya


perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan farmasi Indonesia, dalam konteksi
ini adalah mewujudkan moratorium prodi S1 Farmasi sangat diperlukan.
9
ISI

1. Definisi Moratorium
Dalam definisi hukum, moratorium berasal dari bahasa latin, morari, yang berarti
penundaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moratorium berart; 1
penangguhan pembayaran utang didasarkan pada undang-undang agar dapat
mencegah krisis keuangan yang semakin hebat; 2 penundaan; penangguhan. Dalam
konteks pendidikan farmasi. Moratorium Program Studi S1 Farmasi mengartikan
kebijakan tentang penundaan sementara pembukaan program studi S1 Farmasi baru
di Indonesia.

2. Jenjang Pendidikan S1 Farmasi dan PSPA


Berbicara mengenai pendidikan farmasi pada spektrum global. Prof. Dr. Sukrasno.,
Apt., salah seorang dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) menuliskan sebuah
artikel sangat baik yang dipublikasikan pada Kongres Ilmiah ISFI tahun 2007
mengenai pendidikan farmasi dunia. Dalam tulisannya, Ia berbicara bahwa di
Inggris, misalnya, lama pendidikan apoteker adalah empat tahun ditambah dengan
program preregistrasi yang berlangsung selama satu tahun. Itu pun untuk
menjalankan pelayanan kefarmasian apoteker harus mendapatkan lisensi dari The
Royal Pharmaceutical Society. Australia, salah satu negara tetangga Indonesia,
program sarja farmasi yang mereka miliki memerlukan waktu empat tahun, wajib
mengikuti kerja praktek yang disupervisi di rumah sakit atau apotek selama 2000
jam atau satu tahun. Setelah selesai, mereka harus mengikuti ujian yang
diselenggarakan oleh Australian Pharmaceutical Examination Council. Di
Sedangkan di Malaysia, negara yang terkenal dengan pelayanan kefarmasian
klinisnya memang tidak mempunyai pendidikan profesi. Tapi, sebagai
10

penggantinya, sarjana farmasi wajib bekerja selama tiga tahun di pemerintah


kerajaan baru dapat mengajukan izin untuk membuka layanan kefarmasian secara
mandiri.
Bercermin dari tulisan Prof. Sukrasno, bahwa sebagian besar pendidikan farmasi di
dunia, di mana pada negara-negara tersebut, profesi apoteker menjadi salah satu
profesi yang diagungkan keberadaannya selalu lahir dari basis pendidikan yang
komprehensif, kurikulum terstandar, dan kompetensi yang akurat melahirkan
apoteker-apoteker berkualitas. Dunia kesehatan, khususnya dunia kefarmasian
Indonesia telah sewajarnya untuk dapat berpatokan dalam orientasi mencetak
apoteker unggul dan beradab, salah besar apabila sebuah institusi melihat bahwa
pendidikan farmasi adalah pendidikan yang menghasilkan profit besar, orientasi
bisnis dan keuntungan semata. Logical fallacy atau cacat logika yang seperti ini
tentu akan menghasilkan tenaga apoteker yang kalau tidak mau dibilang cacat,
maka jauh panggang dari api.

Dalam grand platform pendidikan farmasi Indonesia. Secara general terbagi


menjadi dua jenjang studi yang terpisah; Program Studi S1 Farmasi dan Program
Studi Profesi Apoteker/PSPA. Tidak seperti Pendidikan Kedokteran yang
mewajibkan institusi yang ingin membuka program studi kedokteran harus disertai
pula dengan adanya pendidikan profesi kedokteran di kampusnya, farmasi tidak
mewajibkan untuk institusi yang membuka Prodi S1 Farmasi untuk sekaligus
membuka PSPA-nya. Padahal sesuai arahan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI),
bahwa mahasiswa-mahasiswa yang berkuliah di S1 dirancang untuk dapat tercetak
sebagai seorang apoteker, namun dalam realita di lapangan, tidak seimbangnya
pendidikan S1 dengan PSPA menjadi sebuah jukstaposisi pada arahan tersebut. Hal
ini tentu menimbulkan sebuah tanda tanya besar, bagaimana kita mau mencetak
banyak apoteker, apalagi mencetak apoteker unggul apabila sarana pendidikannya
terbatas?

Secara hak dan kewajiban pun, lulusan Prodi S1 Farmasi saja dengan lulusan PSPA
11

memiliki perbedaan yang mencolok.


No Landasan Perbedaan PSPA S1

1 UU No. 36 Tahun 2014 tentang Status Apoteker Asisten


Tenaga Kesehatan Apoteker
2 Ranah Kerja Bertanggung Sebagai
(Pasal 11) jawab sebagai asisten
apoteker di apoteker
lingkup yang bekerja
kerjanya sesuai
lingkupnya
3 Hierarki Tenaga Asisten
Perundang- kesehatan tenaga
undangan kesehatan
(Pasal 1 ayat
2)
4 Uji kompetensi Wajib uji Tidak melalui
(Pasal 21 ayat kompetensi uji
1) apoteker kompetensi
Indonesia
5 Sertifikat Tidak dapat
kompetensi membuat
(Pasal 44) STR
6 PP No. 51 Tahun 2009 tentang Surat Tanda Memiliki Dapat
Pekerjaan Kefarmasian Registrasi prasyarat memeroleh
pengajuan STRTTK
STR
7 UU No. 12 tahun 2012 tentang Pasal 21 ayat 5 Mendapatkan Tidak
Pendidikan dan 6 sertifikat mendapatkan
(Sertifikat profesi sertifikat
profesi) kompetensi,
Tabel 1. Diferensiasi Hak PSPA dan S1

3. Alur Pengajuan Izin dan Syarat-Syarat Pendirian Prodi S1 Farmasi dan


PSPA.
a. Alur Pengajuan Izin S1 dan PSPA
Dalam pengajuan izin S1 dan PSPA. Dua lingkup yang seharusnya terintegrasi
ini memiliki izin administrasi yang berbeda. Kemenristekdikti mengenal 4
12

periode pengusulan pembukaan program studi baru untuk setiap tahun berjalan,
di mana apabila dalam satu periode sebuah borang masuk lalu kemudian
setelah dievaluasi tidak diterima, maka institusi yang mengajukan borang
berhak untuk memperbaiki dan mengajukan lagi di periode berikutnya.
Periode Pengusulan Evaluasi Pengumuman
I 01-31 Januari 1-28 Februari Maret
II 01-31 April 1-31 Mei Juni
III 01-31 Juli 1-31 Agustus September
IV 01-31 Oktober 1-30 Nopember Desember
Tabel 2. Periode Pengusulan Program Studi Baru

Meskipun keseluruhan borang/proposal pengajuan program studi baru telah


diatur dalam Buku III yang diterbitkan oleh Kemenrisktekdikti tentang
Instrumen Akreditasi Program Studi Baru baik Sarjana Kesehatan ataupun
Profesi Apoteker. Namun, dalam evaluasi dan pengadaan di lapangan, kedua
izin ini menjadi berbeda terutama dalam hal pemberian rekomendasi oleh
asosiasi, secara sederhana pendirian Izin S1 dan PSPA dalam flowchart di
bawah.

Institusi mengisi Dikti bagian


Borang S1 & Dirjen Apabila memenuhi
Mengajukan ke Kelembagaan kualifikasi = Diterima
Kemenristekdikti akan menilai Apabila tidak memenuhi =
lewat borang yang Dikembalika untuk Revisi
Silemkerma masuk.

Flowchart 1. Alur Pendirian Program Studi S1 Farmasi

Asosiasi Farmasi
Institusi mengisi Borang APTFI memberikan
(APTFI) mendapatkan
PSPA & Mengajukan ke rekomendasi kepada
hak rekomendasi apakah
Kemenristekdikti lewat Dikti bagian Dirjen
PSPA yang diajukan
Silemkerma Kelembagaan
layak/tidak.

Dengan pertimbangan rekomendasi. Dirjen Kelembagaan


Apabila memenuhi kualifikasi = menerima rekomendasi
Diterima berbentuk
Apabila tidak memenuhi = direkomendasikan/tidak
Dikembalika untuk Revisi direkomendasikan.
13

Flowchart 2. Alur Pendirian Program Studi Profesi Apoteker (PSPA)

Perbedaan ini nantinya akan berdampak cukup besar karena kualifikasi dan
alur pada PSPA lebih panjang dan ketat ketimbang S1. Perbedaan ini pula yang
menimbulkan kesenjangan kuantitas antara S1 Farmasi di Indonesia begitu
melimpah ruah ketimbang PSPA yang hanya dimiliki oleh segelintir institusi.
Padahal, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sudah sewajarnya dan
seharusnya apabila institusi yang di dalamnya terdapat prodi S1 untuk dapat
memiliki pula program profesi apoteker.

b. Persyaratan Izin Pembukaan Prodi S1 Farmasi dan PSPA


Dalam Buku III tentang Instrumen Akreditasi Program Studi Baru Program
Sarjana Kesehatan dan Instrumen Akreditasi Minimal untuk PSPA. Persyaratan
antar keduanya relatif hampir mirip. Keduanya dapat diunduh pada laman
http://silemkerma.ristekdikti.go.id/portal/panduan_aplikasi. Secara sistematis
dan garis besar, pada buku panduan yang dibuat oleh Lembaga Akreditasi
Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM PT-Kes) tersebut memuat
beberapa pokok penilaian untuk mendirikan Program Studi S1 Farmasi.
1) Tata Pamong dan Kerjasama
a) Justifikasi Pembukaan Program Studi
b) Sistem Tata Pamong
- Struktur Organisasi dan Tata Pamong
- Sistem Penjaminan Mutu
- Umpan Balik
c) Manajemen SDM Unit Pengelola
d) Kerjasama
- Rekam Jejak Kerjasama
2) Mahasiswa
a) Kebijakan Sistem Rekrutmen dan Seleksi Mahasiswa Baru
b) Perencanaan Penerimaan Mahasiswa
- Perencanaan Penerimaan Mahasiswa 4 Aspek
14

- Proyeksi Calon Mahasiswa 4 Aspek


- Proyeksi Serapan Lulusan 4 Aspek
c) Layanan Mahasiswa
3) Sumber Daya Manusia
a) Profil Dosen Tetap
b) Rasio Dosen dan Mahasiswa
c) Tenaga Kependidikan
4) Keuangan, Sarana, dan Prasarana
a) Keuangan
- Penerimaan
- Penggunaan
b) Sarana
- Peralatan Praktikum/Praktik/PKL
- Jenis dan Jumlah Media Pembelajaran
- Ketersediaan Buku Teks
c) Prasarana
- Ruang Kelas
- Ruang Akademik Khusus
- Ruang Kerja Dosen
- Ruang Perpustakaan
- Ruang Penunjang
- Ruang Administrasi dan Kantor
5) Pendidikan
a) Kurikulum
- Profil Lulusan
- Capaian Pembelajaran
- Matriks Bahan Kajian
- Matriks Mata Kuliah
- Struktur Kurikulum
- Substansi Praktikum/Praktik/PKL
b) Sistem Pembelajaran
15

- Metode dan Bentuk Pembelajaran


- Upaya Pemutakhiran Materi Bahan Ajar
- Sistem Penilaian Pembelajaran dan Tata Cara Pelaporan Penilaian
6) Daftar Lampiran
Sementara untuk izin akreditasi minimal pembukaan Program Studi Profesi
Apoteker (PSPA) hampir secara keseluruhan menyerupai izin pembukaan prodi
S1 Farmasi. Yang menjadikan berbeda adalah pokok pada Praktik Kerja Profesi
Apoteker (PKPA), di mana institusi yang ingin membuka PSPA wajib
menambahkan borang mengenai:
1) Data Pembimbing Praktik Kerja Profesi
2) Sarana Tempat Praktik Profesi (Rumah sakit, apotek, Puskesmas, balai
kesehatan, industri farmasi, jalur distribusi, dan lain-lain)
Namun, Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) sebagai asosiasi
yang mempunyi ranah kerja dalam bidang kurikulum dan kelembagaan institusi
farmasi di Indonesia memandang perlu untuk menambah syarat-syarat minimal
pembukaan prodi S1 Farmasi dan juga PSPA. Revisi tersebut berkaitan tentang
spesifikasi-spesifikasi yang dinilai tidak ada dalam borang Instrumen Akreditasi
oleh. Adapun revisi persyaratan tersebut antara lain:

Revisi Persyaratan Pendirian Prodi S1 Farmasi


- Institusi calon penyelenggara Prodi S1 Farmasi terakreditasi oleh BAN-PT
minimal B,
- Prodi harus minimal di bawah Fakultas/Jurusan Farmasi,
- Ketua Jurusan dan Ketua Prodi berpendidikan S1 dan S2 bidang Farmasi,
- SDM: 6 Magister Farmasi (4 diantaranya terdistribusi dalam 4 kelompok
keilmuan utama: (1) Farmasetika; (2) Kimia Farmasi; (3) Farmakognosi-
Fitokimia; (4) Farmakologi-Toksikologi-Farmasi Klinik),
- Sudah memiliki laboratorium dan peralatan/instrumen utama sampai tingkat 4,
- Izin operasional diberikan setelah hasil evaluasi dokumen borang usulan dan
hasil evaluasi vistasi memenuhi persyaratan.
16

Revisi Persyaratan Pendirian Prodi Studi Profesi Apoteker


- Institusi calon penyelenggara Prodi Profesi Apoteker terakreditasi oleh BAN-
PT minimal B,
- Prodi S1 Farmasi terakreditasi oleh LAM-PT Kes minimal B,
- Prodi harus minimal di bawah Fakultas/Jurusan Farmasi,
- Ketua Jurusan dan Ketua Prodi berpendidikan S1 dan S2 bidang Farmasi, dan
bergelar profesi Apoteker,
- Memiliki Apotek Pendidikan,
- Prodi S1: SDM, Fasilitas laboratorium dan peralatan/instrumen utama
mencerminkan Prodi terakreditasi B,
- Mempunyai kerjasama yang cukup dengan institusi yang akan menyediakan
tempat PKPA,
- Izin operasional diberikan setelah hasil evaluasi dokumen borang usulan dan
hasil evaluasi vistasi memenuhi persyaratan.

4. Alasan Mengapa Perlu Moratorium Prodi S1 Farmasi


a. Jumlah Prodi S1 dan PSPA di Indonesia
Berdasarkan data yang dihimpun pada Pangkalan Data Perguruan Tinggi
(PDPT) per 10 Mei 2018. Jumlah Program Studi Strata 1 Farmasi berjumlah
182 prodi di mana 2 diantaranya telah beralih bentuk ke universitas dan 1
beralih ke institut kesehatan. Sementara, merujuk pada laman yang sama,
jumlah Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) hanya berjumlah 38. Rasio
PSPA dengan S1 Farmasi sebesar 1:4,79 (dibulatkan menjadi 1:5). Artinya,
setiap lima prodi S1 Farmasi yang notabene menerima mahasiswa lebih banyak
daripada mahasiswa PSPA memperebutkan 1 PSPA.
17
Perbandingan S1 Farmasi dan PSPA

38
17%
S1 Farmasi
PSPA

182
83%

Gambar 1. Perbandingan Jumlah Prodi S1 Farmasi dan PSPA

Sebagai analogi, apabila satu prodi S1 Farmasi meluluskan sekitar 150


mahasiswa per tahun (150 dikalikan 5 prodi = 750) , sementara kuota maksimal
dari PSPA berkisar di angka 120. Maka, keketatan dari mahasiswa untuk
memperebutkan 1 kursi PSPA adalah 1:6. Ini mengindikasikan bahwa setiap
tahunnya, akan ada 5 orang dari setiap perebutan kursi PSPA yang tersisih dan
terpaksa untuk tidak melanjutkan kuliah PSPA. Ketidakberlanjutan kuliah ke
PSPA ini disinyalir akan membuat lulusan S1 Farmasi menjadi banyak yang
tidak terkualifikasi dan enggan melanjutkan untuk meneruskan ke PSPA, eses
ke depannya, kuantitas tenaga profesi apoteker menjadi sangat kurang
dibandingkan kebutuhannya di Indonesia.

Keberadaan jumlah PSPA yang sedikit dan S1 yang membludak tentu


memengaruhi banyak aspek. Salah satunya tentang Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI) di mana KKNI ini diwujudkan dalam Peraturan
18

Presiden No. 8 tahun 2012 tentang KKNI.


Gambar 2. Outline Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia

Dalam Perpres tersebut, jelas sangat berbeda secara signifikan keluaran dari
prodi S1 dan PSPA. Pada struktur KKNI, prodi S1 hanya menempati nilai 6,
sedangkan profesi menempati nilai 7. Perbedaan struktur ini tentunya akan
menjadikan profesi apoteker terdikotomi dan rancu di mana letak perbedaan
antara Sekolah Menengah Kejuruan Farmasi (SMF), DIII, S1, dan PSPA.

b. Jumlah Pendirian Prodi S1 Farmasi dan PSPA dari Waktu ke Waktu


Pendidikan Strata 1 Farmasi telah ada semenjak dahulu kala. Tercatat,
Universitas Gadjah Mada menjadi kampus dengan prodi S1 Farmasi tertua
yang berdiri sejak tanggal 27 September 1946, satu tahun setelah Indonesia
19

menetapkan kemerdekaan dirinya. Pada tahun < 2000, relatif prodi S1 Farmasi
tergolong sedikit, hanya berjumlah 29 prodi. Namun, ketika era berganti
menjadi milenial, pertumbuhan prodi S1 Farmasi begitu sangat pesatnya dan
tak terbendung. Di lain sisi, perkembangan PSPA berkebalikannya, meskipun
terus ada dari tahun ke tahun, tapi angkanya tidak sedrastis pendirian S1
Farmasi

Profil Jumlah Prodi S1 Farmasi dan PSPA


200
180 183
160
140
Jumlah Prodi

120
100 S1 Farmasi
80 PSPA
68
60
40 38
28 23
20 16
0
< 2000 2000-2010 > 2010

Tahun

Gambar 2. Perkembangan Jumlah Prodi S1 Farmasi dan PSPA di Indonesia

Pertumbuhan ini tentu tidak semata-mata dimaknai sebagai pertumbuhan


kapasitas institusi dalam membuka prodi Farmasi, baik S1 dan PSPA. Namun,
perlu menjadi evaluasi ulang secara bersama bahwa sebenarnya orientasi dalam
mendirikan prodi, khususnya S1 Farmasi diarahkan pada apa? Jika memang
arahnya adalah kebutuhan apoteker, maka sudah seyogyanya setiap institusi
yang memiliki S1 Farmasi bekerja keras untuk meningkatkan mutu dirinya,
memperbaiki sektor-sektor yang masih bermasalah baik di tingkat
infrastruktur, sumber daya manusia, maupun platform kurikulum.. Atensi dan
pengawalan pada marwah pendidikan farmasi memang harus menjadi ketat
sedemikian rupa agar kedepannya tidak lagi dihasilkan para apoteker tidak
20

berkompeten di mana secara esensi, apoteker adalah tenaga kesehatan yang


bertugas untuk menyehatkan bangsa. Dan untuk menjaga kesehatan maslahat
sebuah bangsa, tentu tidak baik jika menggantungkan pada lulusan-lulusan
yang lulus dengan seadanya.
c. Persebaran Jumah Prodi S1 Farmasi dan PSPA
Dari jumlah 34 provinsi di Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun dari
APTFI, terdapat lima provinsi yang masih belum mempunyai prodi S1
Farmasi. Kelima provinsi tersebut adalah Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku
Utara, Kalimantan Utara, dan Bangka Belitung. Sementara, perbedaan
mencolok sangat terasa ketika membandingkan rasio jumlah prodi S1 Farmasi
di pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya, terutama di bagian Indonesia
Timur. Notabene dalam distribusi tersebut, yang paling mendekati secara
kuantitas adalah Sumatera Utara dengan ibukota Medan dan Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta dengan masing-masing 15 dan 11 prodi S1 Farmasi.
Sementara sisanya relatif dibawah angka 10.

Distribusi Prodi S1 Farmasi di Indonesia


120

100 96

80
Jumlah S1

60

40 36
20
20 11
8
2
0
Sumatera Jawa Bali-Nusa Kalimantan Sulawesi Maluku-Papua
Tenggara
Pulau Besar
21
Distribusi Prodi S1 Pulau Sumatera
16 15
14
12
10
Jumlah S1

8
6 5 5
4 3 3
2
2 1 1 1
0
0

Provinsi

Distribusi Prodi S1 Pulau Jawa


35
29
30
24
25
Jumlah S1

20 18

15
11
9
10
5
5

0
Jawa Tengah Jawa Barat Jawa Timur DKI Jakarta Yogyakarta Banten
Provinsi
22
Distribusi Prodi S1 di Pulau Bali-Nusa Tenggara
4,5
4
4
3,5
3
3
Jumlah S1

2,5
2
1,5 1
1
0,5
0
NTB Bali NTT
Provinsi

Distribusi Prodi S1 di Pulau Kalimantan


6
5
5
4
4
Jumlah S1

2
1 1
1
0
0
Kal. Selatan Kal. Timur Kal. Barat Kal. Tengah Kal. Utara
Provinsi
23
Distribusi Prodi S1 di Pulau Sulawesi
9
8
8
7
6
5
Jumlah S1

5
4
3
3
2 2
2
1
0
0
Sul. Selatan Sul. Utara Sul. Tenggara Sul. Tengah Gorontalo Sul. Barat
Provinsi

Distribusi Prodi S1 di Maluku-Papua


1,2
1 1
1

0,8
Jumlah S1

0,6

0,4

0,2
0 0
0
Maluku Papua Papua Barat Maluku Utara
Provinsi

Gambar 3. Grafik Persebaran Prodi S1 Farmasi di Pulau Besar di Indonesia


24

Meskipun memang terbilang sangat banyak jumlah prodi S1 Farmasi di


Indonesia. Namun, apabila menilik distribusi memang sangat luar biasa
disparitasnya. Perbedaan mencolok persebaran prodi S1 Farmasi ini juga
diikuti pula oleh persebaran Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) yang
seolah-olah memusatkan dirinya di Jawa. Hal ini tentu kontradiktif dengan
semangat pemerataan tenaga kesehatan sektor pendidikan di mana seharusnya
akses keterjaminan mutu bisa dirasakan tidak hanya di Jawa, melainkan di
pulau-pulau lain. Harapannya, tentu tidak sekadar meningkatkan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) di daerah terkait, tapi menitahkan kembali
bahwa esensi pendidikan adalah hak semua orang, dan kesetaraan kualitas
pendidikan pun adalah hak seluruh anak bangsa.

Distribusi PSPA di Indonesia


30 28

25

20
Jumlah

15

10

5 4 3 3
1 0
0
Sumatera Jawa Bali-Nusa Kalimantan Sulawesi Maluku-Papua
Tenggara
Pulau Besar

Gambar 4. Grafik Distribusi PSPA di Indonesia

d. Perbandingan Akreditasi Prodi S1 dan PSPA di Indonesia


Pada bahasan sebelumnya, fokus poin terdapat pada distribusi atau persebaran
Prodi S1 Farmasi dan PSPA di Indonesia. Selain itu, kita perlu secara objektif
untuk melihat bagaimana kondisi akreditasi, baik S1 Farmasi ataupun PSPA di
Indonesia. Akreditasi, secara sederhana adalah nilai yang disematkan pada
25

setiap lembaga di Indonesia, dalam limitasi kali ini, akreditasi membahas


tentang bagaimana setiap lembagai/institusi di Indonesia, secara spesifik yakni
pendidikan farmasi memperoleh predikat atas seluruh aspek penilaiannya
dalam program studi tersebut.
Akreditasi ini merupakan salah satu konstituen dari berbagai komposisi,
terutama pada Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (SPMPT) yang
memengaruhi Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME). Akreditasi melihat
bagaimana suatu prodi farmasi (S1 dan profesi apoteker) di pandang. Dari
akreditasi, kualitas dari program studi tersebut disederhanakan menjadi huruf
A, B, dan C. Dunia farmasi mengenal dua lembaga asesor utama dalam
pemberian akreditasi; 1) Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN
PT) yang dikelola langsung oleh Kemenristekdikti, dan 2) Lembaga Akreditasi
Mandiri Perguruan Tinggi Kesehatan (LAM PT-Kes) yang terdiri dari
perkumpulan organisasi profesi kesehatan yakni kedokteran, kedokteran gigi,
keperawatan, kebidanan, kesehatan masyarakat, farmasi, dan gizi yang
disahkan melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM No.AHU-
30.AH.01.07.

Data di bawah menyajikan distribusi akreditasi prodi S1 Farmasi dan PSPA di


Indonesia yang dihimpun dari data BAN PT.

Peringkat Akreditasi S1 Farmasi di Indonesia


Total: 182 Prodi S1 Farmasi

15
9%
A

40 B
21% C
100
56% Belum Terakreditasi

27
14%
26
Peringkat Akreditasi PSPA di Indonesia
Total: 38 PSPA

14 A
14
37% 34% B
C
Belum Terakreditasi

2 9
5% 24%

Gambar 5. Peringkat Akreditasi S1 dan PSPA menurut BAN PT (Mei, 2018)

Sementara, ada perbedaan mendasar dengan akreditasi yang dihimpun dari


laman LAM PT-Kes. Namun, perbedaan ini tidak menimbulkan suatu hal yang
kontradiktif, melainkan supporting system di mana LAM PT-Kes dan BAN PT
bersifat lembaga akreditasi yang saling melengkapi. Harapannya, institusi
manapun tidak memandang secara remeh masalah akreditasi. Epistemologis
setiap perguruan tinggi seyogyanya didasarkan pada kebutuhan dan orientasi
kemajuan peradaban bangsa. Dan, orientasi tersebut, meskipun tidak
seluruhnya, dapat diwakilkan dalam wujud akreditasi. Inisiasi keinginan untuk
terus meningkatkan akreditasi akan terus menginisiasi pula panggilan-
panggilan untuk senantiasa memperbaiki prodi farmasi demi terwujudnya
tenaga apoteker yang kredibel di masa mendatang.
27
Peringkat Akreditasi S1 Farmasi di Indonesia
Total: 182 Prodi S1 Farmasi

11
6%
15
9% A
17
10% B
C
23
116 On Going
14%
61% Belum Terakreditasi

Peringkat Akreditasi PSPA di Indonesia


Total: 38 PSPA

8 A
21%
11 B
29%
C
4
On Going
11%
Belum Terakreditasi
2
13
5%
34%
28

Gambar 6. Peringkat Akreditasi S1 dan PSPA Menurut LAM PT-Kes (Mei,


2018)
Adapun, daftar institusi yang memiliki akreditasi A, B, C, dan belum
terakreditasi disajikan dalam tabel di bawah. Himpunan data di bawah di rujuk
dari BAN PT selaku wewenang pemerintah, dalam hal ini kelembagaan untuk
dapat mengumpulkan daftar perguruan tinggi yang memiliki prodi S1 Farmasi.

Institusi S1 Farmasi dengan Akreditasi A


No Nama Institusi Kota, Provinsi
1 Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan
2 Universitas Pancasila Jakarta, DKI Jakarta

3 Universitas Udayana Denpasar, Bali


4 Universitas Surabaya Surabaya, Jawa Timur
5 Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur

6 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Surabaya, Jawa Timur


7 Universitas Muhammadiyah Surakarta Solo, Jawa Tengah
8 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, DI Yogyakarta
9 Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, DI Yogyakarta
10 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, DI Yogyakarta
11 Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat

12 Universitas Padjadjaran Bandung, Jawa Barat

13 Institut Teknologi Bandung Bandung, Jawa Barat


14 Universitas Sumatera Utara Medan, Sumatera Utara

15 Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat


Tabel 3. Daftar Institusi yang Memiliki Prodi S1 Farmasi Berakreditasi A

Institusi S1 Farmasi dengan Akreditasi B


No Nama Institusi Kota, Provinsi
29

1 Universitas Negeri Gorontalo Gorontalo, Gorontalo


2 Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara
3 Universitas Muslim Indonesia Makassar, Sulawesi Selatan
4 Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan
5 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar Makassar, Sulawesi Selatan
6 Universitas Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara
7 Universitas Tadulako Palu, Sulawesi Tengah
8 Universitas Pakuan Bogor, Jawa Barat
9 Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta, DKI Jakarta
10 Institut Sains Dan Teknologi Nasional Jakarta, DKI Jakarta
11 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, DKI Jakarta
Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah
12 Tangerang, Banten
Tangerang
13 Universitas Jember Jember, Jawa Timur
14 Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri Kediri, Jawa Timur
15 Universitas Muhammadiyah Malang Malang, Jawa Timur
16 Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur
17 Universitas Muhammadiyah Purwokerto Purwokerto, Jawa Tengah
18 Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Jawa Tengah
19 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Yayasan Pharmasi Semarang, Jawa Tengah
20 Universitas Wahid Hasyim Semarang, Jawa Tengah
21 Universitas Ngudi Waluyo Semarang, Jawa Tengah
22 Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Jawa Tengah
23 Universitas Setia Budi Surakarta Solo, Jawa Tengah
24 Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, DI Yogyakarta
25 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Yogyakarta, DI Yogyakarta
Banjarmasin, Kalimantan
26 Universitas Lambung Mangkurat
Selatan
27 Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur
Tanjungpura, Kalimantan
28 Universitas Tanjungpura
30

Barat
29 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Bandung, Jawa Barat
30 Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Bandung Bandung, Jawa Barat
31 Universitas Islam Bandung Bandung, Jawa Barat
32 Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi, Jawa Barat
33 Sekolah Tinggi Farmasi YPIB Cirebon Cirebon, Jawa Barat
34 Universitas Garut Garut, Jawa Barat
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas
35 Tasikmalaya, Jawa Barat
Husada
36 Universitas Tjut Nyak Dhien Medan, Sumatera Utara
Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Perintis
37 Padang, Sumatera Barat
Padang
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Harapan Ibu
38 Jambi, Jambi
Jambi
39 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau Riau, Riau

40 Universitas Syiah Kuala Aceh, NAD


Tabel 4. Daftar Institusi yang Memiliki Prodi S1 Farmasi Berakreditasi B

Institusi S1 Farmasi dengan Akreditasi C


No Nama Institusi Kota, Provinsi
1 Universitas Pancasakti Makassar, Sulawesi Selatan
2 Universitas Islam Makassar Makassar, Sulawesi Selatan
3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mega Rezky Makassar, Sulawesi Selatan
4 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Pelita Mas Palu, Sulawesi Tengah
5 Universitas Cenderawasih Papua, Papua
6 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bani Saleh Bekasi, Jawa Barat
Sekolah Tinggi Teknologi Industri dan Farmasi
7 Bogor, Jawa Barat
Bogor
8 Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Jakarta, DKI Jakarta
9 Institut Sains Dan Teknologi Al-Kamal Jakarta, DKI Jakarta
10 Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung, Lampung
31

Universitas Islam Negeri Maulana Malik


11 Malang, Jawa Timur
Ibrahim
12 Universitas Hang Tuah Surabaya, Jawa Timur
13 STIKES Muhammadiyah Kudus Kudus, Jawa Tengah
14 STIKES Bhakti Mandala Husada Slawi Slawi, Jawa Tengah
15 Universitas Sebelas Maret Solo, Jawa Tengah
16 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Avicenna Lepo-lepo, Sulawesi Tenggara
17 Universitas Al-ghifari Bandung, Jawa Barat
18 Universitas Buana Perjuangan Karawang Karawang, Jawa Barat
21 Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah Medan, Sumatera Utara
Pematang Siantar, Sumatera
22 Universitas Efarina
Utara

23 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Medistra Deli Serdang, Sumatera Utara

24 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Padang Palembang, Sumatera Selatan


25 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Bhakti Pertiwi Palembang, Sumatera Selatan
26 Universitas Kader Bangsa Palembang, Sumatera Selatan
27 Universitas Sriwijaya Palembang, Sumatera Selatan
Tabel 5. Daftar Institusi yang Memiliki Prodi S1 Farmasi Berakreditasi C

Institusi yang Belum Terakreditasi


Catatan
No Nama Institusi Akreditasi
dari LAM
PT-Kes
1 STIKES Mandala Waluya Kendar C

2 STIKES Al Irsyad Al Islamiyyah Cilacap C

3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Cendekia Utama C


4 STIKES Muhammadiyah Pekajangan C

5 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Borneo Lestari C


6 STIKES Mitra Bunda Persada C
32

7 Institut Kesehatan Medistra Lubuk Pakam C

8 Institut Kesehatan Helvetia C


9 Universitas Jambi C

10 STIKES Bina Mandiri Gorontalo On Going


11 Universitas Kristen Indonesia Tomohon On Going

12 Universitas Indonesia Timur On Going


13 Institut Ilmu Kesehatan Medika Persada Bali On Going
14 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Harapan Bangsa On Going

15 STIKES Citra Husada Mandiri On Going


16 Universitas Ma Chung On Going

17 Universitas Darussalam Gontor On Going

18 STIKES Paguwarmas Maos On Going


19 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal On Going

20 Universitas Alma Ata On Going

21 Institut Kesehatan Deli Husada Deli Tua On Going


22 Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan On Going

23 STIKES Senior Medan On Going


24 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Siti Khadijah On Going
25 STIKES Tarumanagara
26 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surifatri Kotamobagu
27 Universitas Prisma
28 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Trinita
29 STIKES Maluku Husada
30 STIKES Prima Indonesia
31 STIKES Mitra Keluarga
32 Institut Bio Scientia Internasional Indonesia
33 Institut Kesehatan Indonesia
34 Universitas Lintas Internasional Indonesia
35 Universitas Esa Unggul
36 Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
33

37 Universitas Gunadarma
38 Universitas Singaperbangsa Karawang
39 Institut Teknologi Sumatera

40 Universitas Mathla ul Anwar


41 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Salsabila Serang
42 Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri
43 Sekolah Tinggi Farmasi Mahaganesha
44 STIKES Dr. Soebandi Jember
45 Universitas Kadiri
46 Universitas Hamzanwadi
47 Universitas Qamarul Huda Badaruddin Bagu
48 STIKES Bhakti Husada Mulia
49 Universitas PGRI Madiun
50 STIKES Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
51 Universitas Mataram
52 Universitas Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat
53 STIKES Rumah Sakit Anwar Medika
54 Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo
55 STIKES Karya Putra Bangsa Tulungagung
56 STIKES Ibnu Sina Ajibarang
57 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Akbidyo
58 Universitas Peradaban
59 STIKES Muhammadiyah Gombong
60 Universitas Muhammadiyah Magelang
61 Universitas Pekalongan
62 STIKES Harapan Bangsa Purwokerto
63 Universitas Diponegoro
64 STIKES Telogorejo Semarang
65 Universitas Nasional Karangturi Semarang
66 Universitas Sahid Surakarta
67 STIKES Mamba ul Ulum Surakarta
34

68 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nasional


69 Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta
70 Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
71 Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
72 Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Selatan
73 STIKES Sari Mulia
74 Universitas Muhammadiyah Banjarmasin
75 Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur
76 STIKES Borneo Cendekia Medika
77 STIKES Dirgahayu Samarinda
78 Universitas Halim sanusi
79 Universitas Muhammadiyah Bandung
80 STIKES An Nasher Cirebon
81 STIKES Muhammadiyah Cirebon
82 Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah Cirebon
83 Universitas Advent Indonesia
84 Universitas Perjuangan Tasikmalaya
85 Universitas Ubudiyah Indonesia
86 Universitas Batam
87 Sekolah Tinggi Kesehatan Imelda
88 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Fort De Kock
89 Universitas Sains Cut Nyak Dhien
90 STIKES Nurliana Medan
91 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Audi Husada Medan
92 Universitas Bengkulu
93 Universitas Mohammad Natsir Bukittinggi
94 Universitas Adiwangsa Jambi
95 STIKES Syuhada di Padangsidimpuan
96 Universitas Dharma Andalas
97 STIKES Aisyiyah Palembang
98 Universitas Malahayati
35

Tabel 6. Daftar Institusi yang Memiliki Prodi S1 Farmasi yang Belum


Akreditasi
Merunut pada salah satu syarat pembukaan PSPA yakni di mana institusi yang
ingin membuka PSPA wajib terlebih dahulu memiliki akreditasi oleh BAN PT
atau LAM PT-Kes minimal B. Maka berikut adalah institusi yang telah
berakreditasi A dan B yang telah membuka PSPA.

No Nama Institusi PSPA Akreditasi


PSPA
S1 Farmasi Akreditasi A
1 Universitas Hasanuddin  A
2 Universitas Pancasila  A
3 Universitas Udayana  B
4 Universitas Surabaya  A
5 Universitas Airlangga  A
6 Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya  B
7 Universitas Muhammadiyah Surakarta  A
8 Universitas Gadjah Mada  A
9 Universitas Ahmad Dahlan  A
10 Universitas Sanata Dharma  B
11 Universitas Indonesia  A
12 Universitas Padjadjaran  A
13 Institut Teknologi Bandung  A
14 Universitas Sumatera Utara  A
15 Universitas Andalas  A
S1 Farmasi Akreditasi B
16 Universitas Syiah Kuala  -
17 Universitas Negeri Gorontalo
18 Universitas Halu Oleo  -
19 Universitas Muslim Indonesia
36

20 Universitas Islam Negeri Alauddin


21 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Makassar
22 Universitas Sam Ratulangi
23 Universitas Tadulako
24 Universitas Pakuan
25 Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka  B
26 Institut Sains Dan Teknologi Nasional  C
27 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah  On Going
28 Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah
Tangerang
29 Universitas Jember  B
30 Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri
31 Universitas Muhammadiyah Malang  On Going
32 Universitas Brawijaya  C
(LAM PT)
33 Universitas Muhammadiyah Purwokerto  B
34 Universitas Jenderal Soedirman  B
(LAM PT)
35 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Yayasan Pharmasi  B
36 Universitas Wahid Hasyim  C
37 Universitas Ngudi Waluyo
38 Universitas Islam Sultan Agung
39 Universitas Setia Budi Surakarta  B
40 Universitas Islam Indonesia  A
41 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta  B
(LAM PT)
42 Universitas Lambung Mangkurat  B
(LAM PT)
43 Universitas Mulawarman  B
(LAM PT)
44 Universitas Tanjungpura 
45 Sekolah Tinggi Farmasi Bandung  B
46 Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Bandung
37

47 Universitas Islam Bandung


48 Universitas Jenderal Achmad Yani  B
49 Sekolah Tinggi Farmasi YPIB Cirebon
50 Universitas Garut  On Going
51 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas
Husada
52 Universitas Tjut Nyak Dhien  -
53 Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia Perintis  B
Padang
(LAM PT)

54 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Harapan Ibu


Jambi
55 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau
Tabel 7. Daftar Institusi Akreditasi A dan B yang memiliki PSPA

Dari tabel di atas, sebanyak 17 institusi yang telah memiliki prodi S1 Farmasi
B belum memiliki program terusan PSPA. Di sinilah fungsi moratorium
berperan bahwa ia tidak hanya semata-mata menghentikan proses pembukaan
prodi S1 Farmasi. Tapi, menilik lebih jauh, bercita-cita untuk memberikan
ruang dan waktu bagi seluruh elemen, terutama asosiasi dan institusi untuk
mendorong institusi yang telah berakreditasi B untuk dapat membuka PSPA di
kampusnya masing-masing. Harapannya, seluruh institusi yang telah
berakreditasi A dan B mempunyai program terusan PSPA dan secara kalkulasi,
seluruh kualitas lulusan prodi S1 Farmasi dari kampus akreditasi A dan B telah
dijamin untuk meneruskan program lanjutan ke PSPA. Setelah pendorongan
pembukaan PSPA selesai, ihwal selanjutnya adalah meningkatkan mutu
kualitas prodi S1 Farmasi dengan membangun perbaikan secara masif terutama
bagi kampus berakreditasi C untuk segera meningkatkan seluruh aspek dan
faktor pendukung untuk dapat menempat akreditasi B, dan juga bagi yang tidak
berakreditasi untuk segera memiliki akreditasi institusinya. Hal ini tentu akan
berdampak besar pada mahasiswa farmasi yang mana akan terwujudkan
keterjaminan lulusan dan perbaikan pendidikan farmasi dan apoteker yang
38

tidak lagi secara terpusat, melainkan secara keseluruhan. Dan demi


terwujudnya ambisi tersebut, farmasi butuh suatu napas untuk melakukan itu
semua, napas itu tentu adalah moratorium.
e. Jumlah Apoteker di Indonesia
Merujuk organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) pada
standar rasio apoteker banding warga negara, WHO menetapkan adanya
standar sebesar 1: 2000 di mana angka ini mengindikasikan bahwa setiap
apoteker melayani sekitar 2000 rakyat di negaranya. Angkat tersebut dinilai
WHO ideal bagi seorang apoteker untuk dapat memberikan pelayanan
kefarmasian terbaik dengan catatan distribusi rata di setiap daerah di negara
tersebut.

Dengan asumsi bahwa di Indonesia memiliki 38 Program Studi Profesi


Apoteker. Mengapa harus PSPA? Karena berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, definisi dari apoteker
sendiri adalah “Sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker.” Sumpah jabatan apoteker ini hanya
dilakukan ketika mahasiswa-mahasiswi telah menjalani serangkain pendidikan
profesi apoteker, Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA), dan lulus dari
serangkaian tes Uji Kompetensi Akhir Indonesia (UKAI) serta OSCE. Jadi,
penghitungan jumlah apoteker hanya dilihat dari seberapa banyak yang lulus
dari PSPA, bukan S1 Farmasi. Dihimpun dari catatan Aris Widayati, Ph.D.,
Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma bahwa
menurut International Pharmaceutical Federation (FIP) tahun 2015 mengenai
data tren densitas apoteker di dunia, bahwa Indonesia termasuk dalam kategori
lower middle dengan rasio 1,05. Sementara, di dalam negeri, pada tahun 2017,
standardisasi yang diturunkan dari WHO senilai 1: 2.000 pada kenyataannya
hanya 1: 4463 dengan perkiraan jumlah rakyat Indonesia sebesar 255 juta jiwa
dan tenaga apoteker yang dimiliki Indonesia sebesar 54.924 apoteker.
39

Angka ini termasuk mencengangkan, di mana satu apoteker harus melayani


sekitar 4.463 rakyat Indonesia. Apabila dianalogikan, pada tahun 2017, Institut
Teknologi Bandung (ITB) memiliki jumlah mahasiswa baru sekitar 3.960
mahasiswa di mana keseluruhan 1 angkatan ITB apabila sakit dan
membutuhkan apoteker untuk konsultasi obat, maka mereka hanya mempunyai
seorang apoteker. Hal ini tentu sangat berpengaruh kepada kinerja apoteker
terutama dalam masalah medication error dan kualitas pelayanan kefarmasian.
Maka, sudah sewajarnya apabila seharusnya dorongan dari seluruh elemen
diarahkan pada pembukaan PSPA, bukan terhadap pembukaan prodi S1
Farmasi.

40
ANALISIS SOLUSI

Sebagai bentuk tanggung jawab moral dan akademik, dalam setiap permasalahan yang
ada, sudah sepatutnya mahasiswa dapat memberikan solusi. Dalam ilmu kefarmasian
mengenal istilah 9 stars pharmacist di mana salah satu dari kesembilan 9 stars itu
adalah long-life learner. Bahwa hidup apoteker sewajarnya secara keseluruhan adalah
bagian dari proses belajar yang terus-menerus. Menyikap isu di tengah masyarakat,
pendidikan farmasi dan juga profesi apoteker adalah bentuk kepedulian dan keinginan
kami untuk senantiasa profesi ini terus-menerus dapat meningkatkan mutu dan
kualitasnya.

Berangkat dari seluruh paparan yang telah dikupas tuntas pada poin-poin sebelumnya,
timbullah dua solusi besar sebagai tanggapan atas permasalahn membludaknya prodi S1
Farmasi yang tidak ekivalen dengan kuantitas PSPA-nya. Dua solusi ini diharapkan
dapat memberikan angin segar bagi dunia pendidikan farmasi yang karut-marut, bahwa
pendidikan farmasi butuh sedikit waktu untuk terus dapat menjaga asa dan harapan
untuk pendidikan yang kredibel. Moratorium prodi S1 Farmasi, secara benang merah
tentu tidak semata-mata ego dan ambisi pribadi untuk dapat menghentikan seluruh
pendirian prodi S1 Farmasi. Tapi, maknanya jauh di atas itu. Ketika moratorium S1
Farmasi dapat diberlakukan, maka secara otomatis seluruh pendirian prodi S1 Farmasi
dapat dikatakan berhenti total, apabila bercermin pada data yang ada pada rilis ini, akan
ada 182 prodi S1 Farmasi di Indonesia. Tentu, dengan adanya moratorium, seluruh
elemen, baik pemerintah, asosiasi, organisasi profesi, komite farmasi, ISMAFARSI, dan
seluruh mahasiswa serta seluruh sinyalemen lainnya dapat membangun komitmen
bersama untuk terlebih dahulu memperbaiki kualitas 182 prodi S1 Farmasi di mana
dengan harapan:
41

a. Prodi S1 Farmasi yang belum terakreditasi dapat didorong untuk segera


mengakreditasi prodinya baik oleh BAN PT maupun LAM PT-Kes.
b. Prodi S1 Farmasi yang telah mendapatkan akreditasi C fokus untuk perbaikan
sektor-sektor yang sekiranya masih lemah dalam borang-borang penelitian agar
dapat meningkatkan dirinya ke B/A.
c. Prodi S1 Farmasi yang telah mendapatkan akreditasi B didorong untuk
berorientasi pada pembukaan Program Studi Profesi Apoteker (PKPA),
khususnya bagi institusi dengan akreditasi B yang terdapat di luar pulau Jawa
seraya meningkatkan mutu dan kualitas sektor formal agar dapat meraih
akreditasi A.
d. Prodi S1 Farmasi yang telah terakreditasi A berfokus pada pengembangan dunia
kefarmasian dan senantiasa merangkul institusi di bawahnya dan membangun
pola komunikasi terbuka apabila diperlukan bantuan.

Adapun, dua solusi yang ISMAFARSI, dalam hal ini Satuan Tugas berikan adalah:
1. Moratorium Prodi S1 Farmasi secara Total.
Solusi ini merupakan solusi prioritas di mana pemerintah menerbitkan Surat
Keputusan bahwa izin prodi S1 Farmasi ditangguhkan sampai waktu yang tidka
ditentukan (atau yang disepakati) dan dianggap bahwa kualitas pendidikan
farmasi dan apoteker Indonesia sudah membaik. Adapun pengecualian dapat
diberlakukan pada lima provinsi yang belum memiliki S1 Farmasi untuk
mengedepankan aspek hak asasi untuk mendapatkan akses pendidikan farmasi di
provinsinya masing-masing. Pendirian terebut dibatasi maksimal 1 prodi S1
Farmasi di mana berorientasi kebutuhan, bukan bisnis.
2. Pendirian Paket S1 Farmasi dan PSPA
Solusi ini adalah solusi yang diajukan atas berkaca pada profesi Kedokteran di
mana pendirian program studi kedokteran sepaket dengan program profesinya.
Jadi apabila ada seorang mahasiswa yang berkuliah S1 di kampus A, maka ia
sudah barang tentu akan melanjutkan profesi di kampus A, kebijakan tersebut
akan meminimalisir dampak sikut-sikutan untuk mendapatkan kursi PSPA
seperti apa yang terjadi pada apoteker. Dengan demikian, apabila moratorium
tidak memungkinkan untuk dapat diadakan, pembukaan paket S1 Farmasi dan
42

PSPA menjadi salah satu langkah strategis untuk mendorong institusi yang ingin
membuka prodi S1 Farmasi benar-benar menunjukkan iktikad baiknya
membangun apoteker Indonesia.
Jikalau solusi dua ini yang ditarik, ada baiknya dan sudah seharusnya APTFI
sebagai asosiasi kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi (PTF) di Indonesia
dilibatkan dalam seluruh penilaian borang, baik prodi S1 Farmasi ataupun PSPA
dan diberikan hak rekomendasi apakah layak atau tidak secara objektif suatu
institusi ingin membukan prodi S1 Farmasi dan PSPA. Hal ini dilakukan sebagai
usaha preventif bagi seluruh institusi yang main-main dalam membuka prodi S1
Farmasi.

43
KESIMPULAN

1. Moratorium amat sangat diperlukan guna memberikan waktu bagi dunia


pendidikan farmasi untuk terlebih dahulu berbenah dan memperbaiki sektor-
sektor urgen lainnya agar dapat mencetak apoteker handal di masa depan.
2. Pemerataan pendirian PSPA sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas dan
pemerataan aksesibilitas bagi mahasiswa farmasi Indonesia.
3. Komitmen kuat untuk menjaga orientasi bahwa farmasi bertujuan untuk harkat,
martabat, dan kesehatan orang banyak, bukan demi keuntungan dan bisnis
semata.

44

Anda mungkin juga menyukai