Anda di halaman 1dari 19

Apr

27

KEPEMIMPINAN NON MUSLIM

A.    Pendahuluan
Agar kehidupan suatu umat berjalan secara teratur dan hubungan sesama manusia berjalan
dengan rukun dan damai. Maka diangkatlah seorang pemimpin yang diberikan kewenangan
untuk mengomandoi pelaksanaan aturan yang telab ditetapkan. Mengingat peranannya yang
sangat signifikan, maka dalam Islam pengangkatan seorang pemimpin adalah sesuatu yang
sangat urgen. Bahkan jika ada tiga orang muslim melakukan perjalanan jauh,  Rasulullah
menganjurkan agar salah seorang mereka diangkat sebagai pemimpin.

Seorang pemimpin dalam Islam mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, bukan hanya
menjadi pengarah dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat oleh manusia. Tetapi ia
merupakan khalifah Alfah di dunia yang berperan mengomandoi dan mengarahkan umat
manusia agar mereka melaksanakan aturan dan hukum Allah.

Dalam era globalisasi ini, masalah kepemimpinan bukan hanya masalah lokal atau wilayah
suatu negara saja. Pengangkatan seorang pemimpin lebih banyak dipengaruhi oleh
permasalahan politik dunia. Apalagi dengan adanya sistem demokrasi, seorang  pemimpin
yang akan diangkat adalah yang mempunyai dukungan terbanyak.

Dalam makalah ini akan dibahas pandangan Islam terhadap kepemimpinan non muslim .
Bahasan akan dilihat dari tiga pendekatan. 1) Pemdekatan Tafsir, 2) Pendekatan Hadits dan
3) Pendekatan Ushul Fikih clan Fikih.
B. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan Non Muslim
a.      Pendekatan Tafsir
Al-Qur'an adalah kitab pedoman dan tuntunan bagi manusia dalam mengatur
kehidupannya. Al-Qur'an telah memberikan aturan-aturan umum atau prinsip-prinsip dasar
terhadap  permasalahan hidup. Ketika al-Qur"an berbicara masalah kepemimpinan maka
bahasa yang digunakan adalah bahasa yang  umum makna dan cakupannya.

Tidak ditemukan dalam al-Quran kata rais, mudir, atau amir untuk pemimpin serta ayat
yang secara sharih memerintahkan atau mengatur cara pemilihan rais, amir atau mudir
tersebut. Ketika berbicara masalah kepemimpinan maka bahasa yang digunakan adalah
auliya dan ulil arnri. Kata auliya adalah bentuk jamak dari wali yang mempunyai banyak
arti. Di antaranya pemimpin, penolong, teman dekat, halif (orang yang bersumpah untuk
saling menolong), yang dicintai, yang mengikuti, yang menta'ati, penanggungjawab dan
kerabat[1].

Namun menurut para mufassir baik dari kalangan sahabat maupun tabi'in, auliya bisa
ditafsirkan dengan para pemimpin. Menurut penulis, al-Qur'an memakai kata auliya,
karena pada hakikatnya seorang pemimpin dalam Islam adalah pemandu dan penolong
umat menuju kebenaran.

Seorang pemimpin dalam Islam harus memperlakukan Raknyatnya seperti is


memperlakukan kerabatnya sendiri, bukan hanya seseorang amir (pemerintah) atau rais
(yang mengepalai) atau mudir (pengendali). Pemimpin dalam Islam tidak menyebabkan
derjatnya berbeda dengan umatnya, tetapi ia diangkat untuk mengayomi umat dalam
melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.

Untuk lebih jelasnya penulis akan kutip beberapa ayat al-Qur'an yang berbicara tentang
kepemimpinan seperti berikut
1.           Surat Ali Imran ayat 28
žw ɋςGtƒ tbqãZÏB÷sßJø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$# uä!$uŠÏ9÷rr& `ÏB Èbrߊ tûüÏZÏB÷sßJø9$# (
`tBur ö@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ }§øŠn=sù šÆÏB «!$# ’Îû >äóÓx« HwÎ) br& (#qà)Gs? óOßg÷ZÏB Zp9s)è?
  3 ãNà2â‘Éj‹yÛãƒur ª!$# ¼çm|¡øÿtR 3 ’n<Î)ur «!$# 玍ÅÁyJø9$# ÇËÑÈ
Artinya: Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi
wali[192] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah
kembali (mu).

Ayat ini menurut Ibnu Abbas turun berkenaan dengan peristiwa adanya hubungan akrab
antara orang Yahudi al-Hajjaj bin Amar, Kahmas bin Abi al-Hagiq dan Qais bin Zaid
dengan beberapa orang anshar. Hubungan itu untuk menimbulkan fitnah dalam agama.
Maka beberapa orang sahabat seperti Rifa'ah bin al-Munzir. Abdullah bin Jubair dan Sa'id
bin Khaitsamah menasehati mereka agar menjauhi orang Yahudi tersebut dan waspada
terhadap fitnah mereka. Namun mereka enggan untuk mengikuti nasehat mereka dan tetap
saja mengadakan hubungan akrab dengan mereka, maka Allah menurunkan ayat ini[2].

 Menurut riwayat Jubair bin al Dahhak dari Ibnu Abbas Ayat ini turun berkenaan dengan
tindakan 'Ubadah bin Shamit ketika terjadi perang al-Ahzab. 'Ubadah pemah mengikat
perjanjian untuk saling membantu dengan lima ratus orang Yahudi, maka ketika perang'al-
Ahzab tersebut ia berinisiatif dan mengusulkan kepada Rasulullah untuk minta bantuan
mereka menghadapi musuh. Maka Allah menurunkan ayat ini berkenaan dengan peristiwa
tersebut[3].

Ayat ini secara sharih melarang orang-orang yang beriman menjadikan orang kafir
menjadi wali. Kalau dilihat asbab al-nuzul yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ayat ini.
yang dimaksud menjadikan wali adalah menjalin hubungan akrab dengan mereka ( Yahudi
) Sehingga wali itu dijadikan tempat meminta nasehat dan tempat bercerita, termasuk hal-
hal yang sangat pribadi.

Kalau dilihat dari asbab al-nuzul riwayat Jubair, maka larangan menjadikan mereka wali
maksudnya adalah meminta bantuan kepada. mereka dalam menghadapi musuh. Namun
menurut Abdurrahman al-Sa'di larangan di sini tidak hanya terbatas seperti dalam asbab
al-nuzul, tetapi mencakup larangan untuk menjadikan mereka pemimpin diwilayah kaum
muslimin[4].

Ayat ini juga memberikan pengecualian. Ketika seseorang terpaksa untuk berwali kepada
non muslim, maka dalam rangka menjaga jiwanya ia dibolehkan Allah mengakui hal
tersebut secara lahir, tetapi tidak secara batin.
2.                  Surat al-Nisa' ayat 144
pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#rä‹Ï‚Gs? tûï͍Ïÿ»s3ø9$# uä!$uŠÏ9÷rr& `ÏB Èbrߊ$
tûüÏZÏB÷sßJø9$# 4 tbr߉ƒÌè?r& br& (#qè=yèøgrB ¬! öNà6ø‹n=tæ $YZ»sÜù=ߙ $·YÎ6•B
  ÇÊÍÍÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu
Mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)

Ayat ini secara sharih juga melarang orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai wali.
Dan Allah mengancam orang yang melakukan itu dengan siksaan-Nya.Ayat ini
berhubungan dengan masalah orang munafiq, yang tidak punya pendirian. Karena itu al-
Syaukani menafsirkan ayat ini dengan mangatakan :'' Jangan kamu jadikan orang-orang
kafir itu tempat curhat dan membuka rahasia seperti yang dilakukan oleh orang munafik
terhadap orang-orang kafir[5].
3.            Surat al-Maidah ayat 51

pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#rä‹Ï‚Gs? yŠqåkuŽø9$# #“t»|Á¨Z9$#ur uä!$ *


$u‹Ï9÷rr& ¢ öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 `tBur Nçl°;uqtGtƒ öNä3ZÏiB ¼çm¯RÎ*sù
  öNåk÷]ÏB 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw “ωôgtƒ tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÎÊÈ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang


Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu
Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim.

Menurut Athiyah al-'Aufa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa yang terjadi antara
'Ubadah bin al-Shamit ( salah seorang tokoh Islam dari bani Auf bin Khazraj) dengan
Abdullah bin Ubay bin Salul ( tokoh munafiq ) terikat oleo suatu perjanjian untuk
saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa’.

Ketika Qainuqa’ memerangi Rasulullah SAW Abdullah bin Ubai tidak melibatkan diri,
dan Ubadah bin Shamit berangkat menghadap kepada Rasulullah saw. Untuk
membersihkan dirir kepada Allah dan Rasulnya dari ikatan Bani Qinuqa’ itu, serta serta
menggabungkan diri kepada Rasulullah dan menyatakan diri taat hanya kepada Allah
dan Rasullnya. Maka turunlah ayat ini. Yang mengingatkan orang beriman untuk tetap
taat kepada Allah dan Rasulnya dan tidak mengangkat kaum yahudi dan nashara
menjadi pemimpin mereka[6].

Ayat ini juga menjelaskan dengan sharih tentang larangan menjadikan orang Yahuni
dan Nasrani menjadi wali. Allah mangancam orang-orang yang menjadikan mereka
wali adalah termasuk golongan mereka. Menurut Sayyid Quthub, menjadikan mereka
wali adalah dengan mengadakan kesepakatan dalam hal mengikuti agama mereka[7].
4.                  Surat al-Mumtahanah ayat 1:

pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#rä‹Ï‚Gs? “Íir߉tã öNä.¨r߉tãur uä!$u‹Ï9÷rr&$


šcqà)ù=è? NÍköŽs9Î) Ío¨ŠuqyJø9$$Î/ ô‰s%ur (#rãxÿx. $yJÎ/ Nä.uä!%y` z`ÏiB Èd,ysø9$#
tbqã_̍øƒä† tAqߙ§9$# öNä.$ƒÎ)ur   br& (#qãZÏB÷sè? «!$$Î/ öNä3În/u‘ bÎ) ÷LäêYä.
óOçFô_tyz #Y‰»ygÅ_ ’Îû ’Í?‹Î6y™ uä!$tóÏGö/$#ur ’ÎA$|ÊósD 4 tbr”Å¡è@ NÍköŽs9Î)
Ío¨ŠuqyJø9$$Î/ O$tRr&ur ÞOn=÷ær& !$yJÎ/ ÷LäêøŠxÿ÷zr& !$tBur ÷LäêYn=÷ær& 4 `tBur
  ã&ù#yèøÿtƒ öNä3ZÏB ô‰s)sù ¨@|Ê uä!#uqy™ È@‹Î6¡¡9$# ÇÊÈ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan
musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal
Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang
kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu
beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika kamu benar-benar keluar untuk
berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat
demikian). kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad)
kepada mereka, karena rasa kasih sayang. aku lebih mengetahui apa yang
kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. dan Barangsiapa di antara
kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya Dia telah tersesat dari jalan
yang lurus.
Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa Hatib bin Abi Balta'ah. Ketika Nabi SAW
dan para sahabatnya melakukan persiapan untuk futuh Mekah, maka datanglah ke
Madinah Sarah maula Abi Amar bin Shuhaib bin Hisyam. Ia datang bukan karena ia
telah masuk Islam. Tetapi, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berupa makanan dan
pakaian. Maka Rasulullah menyerahkannya kepada bani Abdil Muttalib. Mereka
memberinya makanan dan pakaian.

Pada saat itu datanglah Hatib bin Abi Balta'ah . Mereka menulis surat untuk
penduduk Mekah. Hatib memberikan uang sebanyak sepuluh dinar kepada Sarah
dan menyuruhnya menyampaikan surat tersebut kepada penduduk Mekah. Di
dalam surat itu Hatib memberitahukan bahwa Rasulullah SAW ingin menyerang
mereka dan meminta mereka untuk waspada.

Setelah sarah berangkat menuju Mekah , maka turunlah Jibril memberi tahu Nabi
SAW tentang perbuatan Hatib. Nabi memerintahkan beberapa orang pasukan
bekudanya untuk menyusul Sarah. Mereka adalah Ali , Ammar, al-Zubair, Talhah,
al-Migdad bin al-Aswad dan Ali Martsad. Mereka diperintahkan untuk mengambil
surat tersebut dan membiarkan Sarah berangkat ke Mekah. Tapi kalau Sarah tidak
mau menyerahkan surat itu, maka Nabi memerintahkan untuk membunuhnya.

Setelah para sahabat tersebut menemukan Sarah, maka ditanyakanlah perihal surat
tersebut. Sarah tidak mengakuinya. Bahkan ia bersumpah atas nama Allah, bahwa
ia tidak membawa surat. Para sahabatpun memeriksa barang-barangnya, tetapi
mereka tidak menemukan surat tersebut. Ketika mereka ingin kembali ke Mekah,
maka berdirilah Ali dan berkata :" Demi Allah , kami tidak dusta dan tidak bisa
didustai". Ali menghunus pedangnya dan berkata:" Keluarkan surat itu ! kalau
tidak aku akan menyemblih dan memotong lehermu".

Melihat kesungguhan Ali tersebut. akhimya Sarah mengeluarkan surat itu dari
dalam rambutnya. Para sahabat membebaskan Sarah dan membawa surat tersebut
kehadapan Rasulullah SAW. Rasulullah memanggil Hatib dan bertanya kepadanya
perihal surat tersebut. Hatib mengakui perbuatanya. Ia melakukan itu untuk
mengambil perhatian kaum musyrikin agar keluarganya yang berada di Mekah
dijaga. Karena pada dasarnya Hatib bukanlah orang Mekah asli.

Hatib menyatakan bahwa ia melakukannya bukan karena ia telah kafir dan berbuat
curang, bukan pula karena Hatib mencintai kaum musyrikin. Akhimya Rasulullah
SAW menerima alasannya dan memaafkan Hatib. Maka turunlah ayat ini,
berkenaan dengan peristiwa tersebut [8]

Ayat ini juga melarang dengan sharih, menjadikan musuh Allah dan kaum
musyrikin sebagai wali. Meskipun dari segi sebab turun ayat ini, tertuju kepada
kaum musyrikin Mekah, namun para ulama tafsir juga memahami bahwa larangan
ini berlaku untuk semua orang non Islam. Karena pada hakikatnya mereka adalah
musuh Allah. Larangan di sini juga diikuti oleh ancaman bahwa yang melakukan
hal itu telah tersesat dari jalan yang lur -us.

Ayat pertama dan kedua ada larangan untuk orang-orang munafik,dalam ayat
pertama secara umum dan pada ayat kedua secara khusus yakni membantu orang-
orang kafir yahudi dan nasrani yang memusuhi Rasulullah dan kaum mukminin
dalam hal-hal yang tidak membawa mamfaat dan maslahat bagi kaummuslimin.

B. Pendekatan Hadits
Hadist - Hadist yang berhubungan dengan masalah kepemimpinan dalam Islam
diantaranya adalah:
a. Hadits Pertama
Artinya: Diriwayatkan dari Auf bin Malik dari Rasulullah SAW, beliau berkata : "
Sebaik-balk pemimpin kamu adalah mereka yang kamu cintai dan merekapun
mencintai kamu, mereka mendoakan kamu dan kamupun mendoakannya. Dan
seburuk-buruk pemimpin kamu adalah mereka yang kamu benci dan kamupun
dibenci oleh mereka, kamu melaknat mereka dan merekapun melaknat kamu
". Lalu ditanyakan kepada Rasulullah saw. Apakah tidak sebaiknya kamu
perangi saja mereka dengan pedang? Beliau menjawab: jangan, selama
mereka mendirikan sholat. Dan apabila kamu nielihat dari pemimpinmu
sesuatu yang kamu benci,bencilah perbuatannya dan jangan kamu
melepaskam diri dari ketaatan. (HR Muslim.) [9]

Kata-kata                                  menunjukkan bahwa, tidak diizinkan membangkang


terhadap pemimpin (khalifah) dengan semata-mata kedhaliman dan kefasikannya selagi
ia mendirikan sholat [10]. Dan kaum mukmimin dianjurkan mencari pemimpim yang
mereka cintai dan selalu mendoakan mereka. Hal ini tentu lebih layak ditujukan kepada
sesama muslim dari pada terhadap orang non muslim.
b.                  Hadits Kedua

Artinya: Diriwayatkan dari Junaadah ibn Abi Umayyah, dia berkata : "Kami
datang kepada Ubadah ibn Shomid sementara ia berada dalam keadaan
sakit, kami berkata kepadanya: Semoga Allah SWT menyehatkan
engkau, sampaikanlah sebuah hadits yang engkau dengarkan dari Nabi
SAW yang akan bermamfaatt bagi engkau di sisi Allah SWT Belau
berkata : Telah mendakwahi akan kami Nabi SAW dan kami kemudian
membai'atnya, lalu beliau melanjutkan perkataanny : Beliau telah
mengambil baial kami yaitu untuk selalu setia mendengarkan dan taat
dalam keadaan suka ataupun tidak suka dalam keadaan susah ataupun
mudah dan menekankan kepada kami, bahwa tidak akan mencabut suatu
kepemimpinan dari pemegangnya kecuali setelah melihat dia melakukan
kekafiran yang nyata dan kamu punya bukti disisi Allah swti. (HR.
Bulchari) [11]

Al khothabi mengatakan bahwa maksud             adalah    , sedangkan dalam riwayat
At-Tibrani dari Ahmad bin Shaleh dari Ibnu Wahab disebutkan                       
sedangkan riwayat dari Ismail Ibnu Ubaid yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Hakim
lafaznya berbunyi                                                         :                                               
.[12]
Maksud kata-kata                                                adalah, adanya nash dari ayat al-
Qur'an atau riwayat Hadist sahih yang tidak mungkin ditakwil selain makna yang
dimaksud [13].

c.                    Hadits ketiga

Artinya: " Siapa yang mentaatiku, maka sungguh Ia telah mentaati Allah SWT.
Dan siapa yang durhaka kepadaku, sungguh ia telah durhaka kepada
Allah SWT. Siapa yang mentaati amir berarti ia telah taat kepadaku, dan
Siapa yang mendurhakai amir berarti ia durhaka kepadaku.( HR: Muslim
) [14]

Hadist ini menunjukkan bahwa mentaati amir adalah bagian dari mentaati Rasul
SAW, mentaati Rasul SAW adalah dalam rangka taat kepada Allah SWT. Maka
mentaati amir adalah bagian dari ibadah bagi seorang muslim. Maka seorang amir
haruslah orang yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Kekafiran seseorang
sudah menjadi bukti yang amat nyata betapa ia tidak mau takut kepada Allah swt dan
Rasul-Nya.

C. Pendekatan Ushul Fikih dan Fikih


Dalam kitab-kitab fikih imam mazhab, masalah pengangkatan khalifah jarang
dibicarakan. Hal ini, barangkali karena pada masa keemasan fikih, proses pengangkatan
khalifah sering kali hanya ditunjuk oleh khalifah sebelumnya tanpa berkonsultasi
dengan para fuqaha'. Di samping itu ada juga khalifah naik tahta dengan cara revolusi.

Ketika berbicara masalah kepemimpinan biasanya hal tersebut hanya dibicarakan dalam
masalah syarat imam shalat serta syarat calon hakim atau qadi. Tidak banyak ditumukan
tulisan para mujtahidin tentang pengankatan seorang khalifah , apalagi presiden atau
perdana menteri seperti saat ini. Di antara ulama yang membahas agak lebih rinci
masalah ini adalah al-Mawardi dan Muhammad bin al-Husain al-Hanbali dalam buku
mereka masing-masing " al-Ahkam al-Sultllaniyah".

Menurut Muhammad Abdurrahman al-Bakr para ulama telah sepakat umuk memasukkan
Islam sebagai salah satu syarat calon gadi.[15] Yusuf al-Qardawi ketika menjelaskan ayat ke-
28 surat Ali Imran dan surat al-Nisa' ayat 138,139 dan 144 juga menyatakan bahwa ayat- ayat
tersebut merupakan peringatan untuk tidak menjadikan orang kafir atau non muslim sebagai
pemimpin[16]

Mahmud Yusuf Musa dalam kitab Nizham al-Hukm fi al-Islam menukilkan beberapa
pendapat ulama tentang syarat seorang al-hakim al-A'la ( penguasa tertinggi ). Mereka adalah
al-Mawardi, Ibn Hazm, alJuwaini, al-Ghazali, al-Kamal bin Abi Syarif dan al-Kamal bin al-
Hammam dan alBaqillani. Mereka pada umumnya berpendapat bahwa Islam adalah salah
satu syarat al-Hakim al-A'la. Pendapat ini juga disetujui oleh Mamud Yusuf Musa. [17] Al-
Syirazi juga menyatakan bahwa seorang qadhi tidak boleh diangkat dari orang kafir,fasik,
budak, anak kecil dan orang bodoh.[18]

Abu Ya'la Muhammad bin al-Husain al-Hanbali membagi wilayah kepemimpinan kedalam
empat wilayah.
1.         Wilayah umum dengan tugas umum seperti para pembantu (wazir) khalifah dalam
melaksanakan tugasnya.
2.         Wilayah umum dengan tugas khusus seperti kepala pemerintahan di daerah.
3.         Wilayah khusus dengan tugas umum seperti para pimpinan para hakim (qadi qudhat)
dan pimpinan tentara.
4.         Wilayah khusus dengan tugas khusus seperti para hakim (qadhi) di daerah.

Dan masing-masingnya mempunyai salah satu dari dua kewenangan.


1)      al-Tafwid
yaitu pimpinan yang mempunyai kewenangan penuh untuk memimpin Wilayahnya ia
diberi kekuasaan untuk menentukan kebijakan pemerintahannya. Untuk pemimpin yang
seperti ini Islam merupakan salah satu syaratnya. Dengan  mengemukakan dalil surat al-
Nisa' ayat 141:
  s9ur Ÿ@yèøgs† ª!$# tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 ’n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸x‹Î6y™ ÇÊÍÊÈ` 3
Artinya: ... dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir
untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.

Menurut Abu Ya’la Yang dimaksud dengan jalan disini adalah kekhilafahan. ia juga
mengemukakan dalil surat Ali Imran ayat 118 yang melarang orang beriman untuk
memberikan kepercayaan kepada mereka serta surat al-Mumtahanah ayat 1 yang
melarang menjadikan musuh Allah dan orang beriman dijadikan wali.

2)   Tanfizh
Kewenanga tanfizd yaitu pimpinan yang berwenang melaksanakan perintah dan aturan
yang telah dibuat oleh pimpinan tertinggi ia tidak mempunyai kebijakan untuk mengatur
sendiri daerah yang dipimpinnya. Semua kebijakan ditentukan oleh atasannya. Untuk
pimpinan yang seperti ini tidak disyaratkan seperti syarat pimpinan yang mempunyai
kewenangan tafwidz[19].

Menurut pendapat penulis, untuk menentukan hukum kepemimpinan non muslim menurut
pandangan Islam, perlu diadakan klasifikasi kewenangan yang mereka emban. Namun
secara umum, para pemimpin yang mempunyai kewenangan umum, seperti khalifah,
presiden, mentri, gubemur, maka Islam adalah salah satu syaratnya. Jika seorang pemimpin ,
yang tugasnya khusus, yang tidak membawahi kaum muslimin, maka ia tidak mesti dari
golongan kaum muslimin, seperti kepala/pimpinan yang mengurus masalah khusus suatu
agama, seperti agama Kristen, hindu, budha dan sebagainya. Hal ini, sesuai dengan pendapat
pada umumnya fuqaha' .

Banyak sekali ayat yang melarang kaum muslimin mengangkat orang kafir serta Yahudi dan
Nasrani sebagai wali. Di antaranya seperti yang telah dijelaskan dalam kajian tafsir di atas..
Menurut ulama Ushul, hukum ashal nahi (larangan ) adalah haram. Kecuali ada dalil lain
yang mengeluarkannya dari keharaman tersebut. Di samping itu ayat-ayat tersebut pada
umumnya diiringi dengan ancaman. Hal ini memperkuat hukum haram tersebut.

D. Syarat-Pemimpin Ideal
Menurut penulis ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah
sebagai berikut

1. Minimal dia seorang muslim yang baik, tidak pernah tinggal shalat wajib 5 waktu, tidak
pernah tinggalkan puasa Ramadhan, tidak pernah lupa atau pura-pura lupa bayar zakat
dan pernah pergi haji bila mampu.
2. Fasih membaca Al-Quran Al-Karim dan tahu bahwa Al-Quran Al-Karim adalah sumber
dari segala sumber hukum. Sehingga tidak ada hukum baginya kecuali yang berdasarkan
Al-Quran Al-Karim. Maka setiap masalah selalu dirujuknya kepada kitab dari Allah
SWT.Kalau pemimpin negara ini baca Al-Quran Al-Karim saja tidak becus, maka kita
harus sadar bahwa kiamat sudah dekat. Jadi bukan sekedar senyum-senyum membuka
MTQ.
3. Tahu batas halal dan haram yang bentuknya adalah penerapan dalam diri, keluarga dan
lingkungannya. Sehingga degnan mudah dia bisa membedakan mana praktek haram dan
mana halal.
Untuk itu dia harus dekat dengan para ulama bukan untuk meminjam lidah mereka demi
kepentingan pribadinya, melainkan untuk duduk bersimpuh mengaji dan belajar syariat
Islam secara seksama.
4. Tidak pernah mencuri, berzina, minum khamar, berjudi, menipu rakyat, makan uang
negara, manipulasi, korupsi, kolusi dan tidak makan uang riba. Karena itu dia tidak punya
account di bank ribawi.
5. Menegakkan selalu amar makruh dan nahi mungkar dalam setiap kesempatan. Sebab
sebagai penguasa, di tangannya ada kekuatan. Bila tidak dimanfaatkannya untuk amar
makruf nahi mungkar, maka dia harus bertanggung-jawab di akhirat.
6. Siap menerima teguran kapan dan dimana saja, tidak pura-pura pergi dinas atau malah
shopping keluar negeri bila ada masalah yang menuntut penangan yang cepat. Juga tidak
mengorbankan anak buah bila menghadapi masalah, tetapi secara jantan berani
menyatakan mundur sebab itu menunjukkan bahwa dirinya masih punya urat malu. Tidak
seperti gaya para pemimpin yang ada di sekeliling kita sekarang ini.
7. Tidak menggunakan fasilitas negara untuk masalah yang bersifat pribadi atau pun
kepentingan di luar negara secara langsung. Sebab semua fasilitas negara itu adalah
amanat yang harus dipertanggung-jawabkan di akhirat nanti.
8. Tidak akan makan atau mengisi perutnya sebelum yakin bahwa semua rakyatnya sudah
makan. Tidak pernah berani tidur malam hari sebelum yakin rakyatnya tentram dan
sejahtera. Dan tidak enak-enakan berpesta sebelum anak yatim terjamin masa depannya
atau pun fakir miskin punya sumber rezeki yang jelas
9. Cinta kepada ilmu pengetahuan dan menggratiskan semua bentuk sekolah dan fasilitas
pendidikan. Tidak ada istilah sekolah atau kuliah itu bayar, yang ada justru para siswa
dan mahasiswa itu dibayar oleh negara
10. Tidak menjual aset negara ini kepada pihak asing, sebab negeri ini sudah demikian kaya
dan sebenarnya berlimpah dengan uang. Semua demi kepentingan anak bangsanya, bukan
demi kepentingan penguasanya.
11. Bersikap adil kepada semua pemeluk agama dan memberikan jaminan dan hak-hak
mereka untuk bisa hidup dengan damai di bawah jaminan dirinya. Tetapi bersikap tegas
bila terjadi kecurangan dan pelanggaran antara sesama pemeluk agama.
12.  Tidak turun dari jabatannya sebelum menghukum semua koruptor baik di masa lalu
maupun di masa jabatannya. Sebab membiarkan koruptor berkeliaran sama saja
memberikan izin syetan untuk berpesta. Dan sama saja dengan kita tidak punya negara
13. Tidak memberikan ruang gerak sedikitpun kepada para penjahat, maling, rampok untuk
bisa melakukan aksinya kembali sebelum dipotong tangannya sesuai dengan syariat
Islam. Demikian juga dengan para pezina, peminum khamar dan pembunuh. Meski yang
melakukannya adalah anak kandungnya sendiri.
14. Memanfaatkan jabatannya ini untuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT,
bukan untuk cari kekayaan baik buat diri, keluarga atau kroni
15.  Bercita-cita untuk bisa mati dalam keadaan syahid. Karena itu satu-satunya pilihan
E.Penutup
Dari bahasan di atas dapat dipahami bahwa pengankatan non muslim untuk menjadi
pemimpin di wilayah kaum muslimin merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum
Islam. Kecuali pimpinan khusus untuk agama tertentu yang berada di bawah kekuasaan Islam.

Dalam pandangan Islam- para pemimpin dan rakvat dalam mencapai t(ijuan haruslah saling
mendukung. Rakyat membutuhkan pemimpin dan pemimpinpun membutuhkan rakyat. Dan
jika pemimpin itu dari non Islam, maka al-Qur'an sudah menyatakan dengan jelas, larangan
untuk menjadikan mereka wali.
DAFTAR KFPUSTAKAAN

al-Asqala'ni , al-Hafidz ibn Ali ibn Hajar, Fathul Ba'ri Bi al-Syarh Sahih al-Bukhari,
Kairo: Dar al-Hadits, 1998

al-Hanbali , Abu Ya'la, Muhammad bin al-Husain al-Farra', al-Ahkam al-Sulthaniyah,


Beirut, Dar al-fkr, 1994

Ibnu Katsir, 7arsir al-Qur'an al-Azhim, Beirut, Dar al-Fikr, 1994

Ibrahim Anis dkk, al-Mu jam al-Wasith,    Kairo, Dar al-Ma'arif, 1972

Al-Syaukani, Muhammad bin Ali, Fath al-Qadir, Beirut, Dar al-fikr,1994

Muhammad Abdurrahman al-Bakr, al-Sulthah al-Qadhaiyah fi Syahshiyah al-Qadhi fi


Nizham al-Islam, Kairo, al-Zahra' lil I'lam al-Arabi, 1988

Mahmud Yusuf Musa, Nizham al-Hukm fi al-Islam, Kairo, Dar al-Fikr, t.t,

an-Nawawi, Imam, Syarah Shahih Muslim, Kairo : Dar al-hadits, 1994

al-Qardhawi, Yusuf Fatraa-fahva Komomporer, terj.Abdul Hayyi al-Kattani dkk, Jakarta,


Gema Insani Press, 2002

al-Sa'di , Abdurrahman bin Nashir, Taisir al-Karim al-Rahman .f Tafsir Kalam al--
Mannan, Beirut, Muassasah al-Risalah, 2001

Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur'an, Beirut, Ihya' al-Turats al-`Arabi, 1971

al-Syirazi , Abu Ishaq, al-Muhazzab fi Fiqh Mazhab al-Imam al-Syafi'I, Beirut, Dar al-
Fikr,1994

al-Wahidi, Abi al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab al-Nuzul, Kairo, Matba'ah al-Manar, 1968

MAKALAH

Tentang
KEPEMIMPINAN NON MUSLIM
Disampaikan Dalam Mata Kuliah
FIKIH TERPADU

Oleh

ZULMAIDI
Nim : 08807902

Dosen pembimbing
Prof.Dr.H.Makmur Syarif,SH.,MAg

KONSENTRASI SYARIAH
PROGRAM PASCA SARJANA
INTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
IMAM BONJOL PADANG
1430 H/ 2009 M
[1] Ibrahim Anis dkk, al-Mu’jam al-Wasth, ( Kairo, Dar-al Ma’rif 1972) h.1058
[2] Al-Syaukani, Muhammad bin Ali, Fath al-Qadir, (Beriut, Dark alFikr, 1994) Juz I,
h. 418

Al-Wahidi,, Abi al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab al-Nuzul, ( Kairo, Matba’ah al-
[3]
manar, 1968) h, 58
[4] Al-Sa’did, Abdurahman bin Nashir, Tafsir al-karim al-Rahman fi Tafsir kalam al-
Manar, ( Mu’assasah al-Risalah, 2001), h.128
[5] Al-Syaukani, op.cit, Jilid I, h. 669

[6] Al-Wahidi, op,cit.,h. 113


[7] Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Qur’an, ( Beriut, Ihya’ al-Turast al-‘Arabi, 1971) Juz
IV, h. 759
[8] AI-Wahidi, op_cit, 240, lihat juga Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim,
(Beirut, Dar alFikr, 1994), Jilid 4, h. 414
[9] Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, ( Kairo: Dar al Hadits, 1994), Jilid
6h.486
[10] Ibid
[11] Imam al-Hafidz ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Ba'ri Bi al-Syarh Sahih al-
Bukhari, ( Kairo: Dar al-Hadits, 1998 ), jilid 13. h.10
[12] Ibid h, 11
[13] Ibid
[14] Imam an-Nawawi, op.cit, h.463
[15] Muhammad Abdurrahman al-Bakr, al-Sulthah al-Qadhaiyah f i Syahshiyah al-
Qad fi nizham al-Islam, ( Kairo, al-Zahra' lil i'lam al-Arabi, 1988 ), h. 312
[16] al-Qardhawi Yusuf, Fatwa fatwa Kontomporer, terj.Abdul Hayyi al-Kattani dkk,
( Jakarta. Gema Insani Press, 2002), jilid 3, h. 571
[17] Mahmud Yusuf Musa, Nizham al-hukm fi al-Islam, (Kairo, Dar al-Fikr, t.t), h.
37-52
[18] al-Syirazi , Abu Ishaq, al-Muhazzab fi Fiqh mazhab al-Imam al-SyafiI,( Beirut.
Dar al Fikr.1994), Juz.2 h. 407
[19] al-Hanbali , Abu Ya'la, Muhammad bin al-Husain al-Farra', al-.ahkam al
Sulthaniyah, Beirut, Dar al-fikr, 1994), h. 3-34
Diposkan 27th April 2012 oleh Zul General Agency
0

Bolehnya Pemimpin non Islam

Bolehnya pemimpin non Islam di tengah-tengah mayoritas umat Islam dalam Konteks Ke-
Indonesiaan. Syari’at Islam memberikan syarat sebagai berikut:

1.Karena sebab darurat yaitu jika orang Islam tidak ada lagi yang mampu menjadi seorang
pemimpin yang adil, bijaksana dan tidak mampu membuat perubahan bagi umat secara bijak,
benar dan baik.
2.Tidak menimbulkan fitnah yang dapat memecah belah umat dan keutuhan bangsa.
3.Menjalankan ketetapan undang-undang negara dengan adil dan jujur.
4.Tidak ada niat dan atau melakukan makar untuk menzhalimi atau menghianati umat Islam
(bukan tergolong orang non Islam yang munafiq)

Dasar syarat-syarat di atas bolehnya pemimpin non Islam (bukan tergolong orang non Islam
yang munafiq) mengacu kepada kandungan firman Allah Swt sebagai berikut:

ُّ‫إِالَّ الَّ ِذينَ عَاهَ ْدتُم ِّمنَ ْال ُم ْش ِر ِكينَ ثُ َّم لَ ْم يَنقُصُو ُك ْم َش ْيئًا َولَ ْم يُظَا ِهرُوا َعلَ ْي ُك ْم أَ َحدًا فَأَتِ ُّموا إِلَ ْي ِه ْم َع ْه َدهُ ْم إِلَى ُم َّدتِ ِه ْم إِ َّن هللاَ ي ُِحب‬
}4{ َ‫ْال ُمتَّقِين‬

“kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka)
dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka
membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya
sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa” (QS.
Attaubah [9] : 4)
Pengertian Perjanjian (‘Ahdun; ‫ )عَاهَ ْدتُم‬sebagaimana ayat di atas dalam konteks ke-
Indonesiaan yang kita kenal sekarang ini adalah: “Pembukaan UUD 45, UUD-1945,
Lembaga-lembaga dalam sisem ketatanegaraan menurut UUD Negara Republik Indonesia
tahun 1945 dan Lembaga-lembaga Negara yang memegang kekuasan menurut UUD 1945”.

‫} الَيَ ْنهَا ُك ُم هللاُ ع َِن الَّ ِذينَ لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم فِي‬7{ ‫َع َسى هللاُ أَن يَجْ َع َل بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَ الَّ ِذينَ عَا َد ْيتُم ِّم ْنه ُم َّم َو َّدةً َوهللاُ قَ ِدي ٌر َوهللاُ َغفُو ٌر َّر ِحي ٌم‬
}8{ َ‫ار ُك ْم أَن تَبَرُّ وهُ ْم َوتُ ْق ِسطُوا إِلَ ْي ِه ْم إِ َّن هللاَ ي ُِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطين‬
ِ َ‫الدِّي ِن َولَ ْم ي ُْخ ِرجُو ُكم ِّمن ِدي‬

“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang


kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS.
Almumtahanah [60] : 7-8)

}9{ َ‫َوأَقِي ُموا ْال َو ْزنَ بِ ْالقِ ْس ِط َوالَتُ ْخ ِسرُوا ْال ِميزَ ان‬

“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu”
(QS. Arrahman [55] : 9) Para ulama dan ahli Tafsir menjelaskan ayat ini memerintahkan
umat islam wajib berlaku adil atau menegakkan keadilan itu kepada siapa saja dan apapun
agamanya.

Dari ayat –ayat Alqur’an di atas jika memenuhi syarat sebagaimana di atas maka pemimpin
non Islam boleh menjadi pemimpin dinegara mayoritas umat Islam. Sebagaimana sejarahpun
telah mencatat pada pemerintahan Khilafah Abbasiah (750M-1258M/ 132H-656H) diantara
para gubernurnya ada yang beragama Yahudi dan Keristen. Baginda Rasulullah Saw pernah
memberi amanah kepercayaan kepada tawanan non Islam ketika itu untuk mengajarkan
pengetahuan kepada orang Islam. Seorang moderat ”African Socialism” Leopold Sedar
Senghor (lahir 9 Oktober 1906 Joal Sinegal) beragama keristen pernah menjabat sebagai
presiden Sinegal dari tahun 1960-1980 yang mayoritas warga negaranya adalah umat Islam
Sunni. Negara Irak Sunni ketika dipimpin oleh Saddam Husein dan begitu juga Negara Mesir
(Egypt) sebagai Negara yang berasaskan Islam pada masa pemerintahan Presiden Husni
Mubarak ada dikalangan para pejabat menteri dan gubernur mereka beragama kristen.
- See more at: http://kabarwashliyah.com/2015/11/19/hukum-memilih-pemimpin-non-islam-
dalam-konteks-ke-indonesiaan/#sthash.8nC16lg8.dpuf

Anda mungkin juga menyukai