Anda di halaman 1dari 9

1

TEKNIK PENJAHITAN KOMPRESI UTERUS


A. Metode B-Lynch
Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh Christoper B-Lynch, seorang
konsultan obstetri di Oxford, pada tahun 1989. Tujuan penjahitan B-Lynch
adalah menciptakan kompresi vertikal yang kontinyu pada sistem
vaskularisasi. B-Lynch bekerja dengan menekan perdarahan placental bed
dan mengurangi suplai darah ke uterus. Prosedur penjahitan B-Lynch adalah
sebagai berikut:
1. Melakukan laparatomi dilanjutkan insisi transversal segmen bawah rahim
(SBR) atau membuka kembali jahitan seksio sesaria (SC) untuk
memeriksa rongga uterus apakah ada sisa plasenta dan membersihkan
rongga uterus dari sisa plasenta dan clotting.
2. Melakukan uji potensi keberhasilan jahitan B-lynch. Pasien dalam posisi
Lloyd Davies atau semi litotomi (kaki katak), seorang asisten berdiri
diantara kaki pasien dan secara berkala melakukan pembersihan vagina
untuk menentukan adanya perdarahan. Uterus kemudian ‘dikeluarkan’
(uterine exteriorization) dan dilakukan kompresi bimanual (jika sudah
dilakukan seksio sesarea sebelumnya, lokasi tersebut ditekan kembali).
Seluruh uterus dikompresi dengan meletakkan satu tangan dengan ujung
jari berada pada serviks di bagian posterior dan tangan lainnya tepat di
bawah vesika urinaria di bagian anteriornya. Jika perdarahan berhenti
dengan melakukan kompresi tersebut, maka ada peluang baik untuk
melakukan aplikasi jahitan B-lynch.
3. Setelah vesika urinaria disingkirkan ke inferior, jahitan pertama dilakukan
±3 cm di bawah insisi SC/histerotomi, dimulai dari sisi kiri uterus,
menembus kavum uteri, lalu keluar kavum uteri ±3 cm di atas batas atas
insisi dan ±4 cm dari sisi lateral kiri bagian anterior uterus.
4. Jahitan kemudian melewati sisi luar uterus, pada dinding anterior uterus
ke arah kranial dari uterus secara vertikal, melewati fundus, dan menuju
2

dinding posterior uterus secara vertikal. Saat lokasi jahitan tepat di


fundus, jahitan tetap diarahkan vertikal dan berada ±4 cm dari kornu.
Jahitan ini tidak akan bergeser ke ligamentum latum karena uterus telah
dikompresi dan jahitan telah melekat.
5. Setelah melewati fundus dan bagian posterior uterus, jahitan kembali
menembus kavum pada uterus posterior kiri, setinggi insisi SBR pada
bagian anterior, ke arah lateral kanan, kemudian keluar pada sisi lateral
kanan uterus posterior, kira-kira 4 cm dari batas sisi lateral kanan uterus
posterior (pada insersi ligamentum sakrouterina).
6. Saat jarum menembus sisi rongga uterus dari dinding posterior, lalu
diarahkan ke dinding posterior, sehingga jahitan berada diatas fundus dan
pada sisi kanan anterior uterus. Jarum dimasukkan kembali ke rongga
uterus seperti yang dilakukan pada sisi kiri, yaitu 3 cm diatas insisi atas
dan 4 cm dari sisi lateral uterus melalui tepi atas insisi, menuju rongga
uterus dan keluar lagi sepanjang 3 cm dibawah tepi bawah insisi.
7. Asisten mempertahankan kompresi saat benang jahitan dilekatkan dari
sudut yang berbeda untuk memastikan tekanan yang seragam dan tidak
bergeser. Bila hemostasis telah tercapai, tidak terdapat perdarahan aktif
dari vagina, dan asisten telah melakukan kompresi dengan baik, kedua
ujung jahitan dapat dilakukan double throw knot untuk mempertahankan
tekanan kompresi.
8. Tekanan pada kedua ujung benang dapat dipertahankan selama proses
penutupan SBR, atau simpul diikat terlebih dahulu lalu diikuti dengan
penutupan SBR. Kedua prosedur ini sama baiknya, namun bila teknik
terakhir yang dipilih, sangat penting untuk memperhatikan sudut insisi
histerotomi dan posisi jahitan sebelum simpul diikat untuk memastikan
bahwa SBR telah tertutup dan sudut insisi tertutup rapat.
3

9. Setelah penjahitan B-Lynch dan penutupan SBR selesai, tekanan jahitan


dapat mencapai efek maksimal dalam 24-48 jam. Karena uterus secara
fisiologis mulai mengalami proses involusi satu minggu postpartum,
maka tensile strength benang jahit dapat berkurang, namun pada saat itu
hemostasis telah tercapai.4,5

Gambar 5. Prosedur B-Lynch


Dikutip dari Lynch dan Shah 5

Perbedaan mendasar B-Lynch dibandingkan teknik lainnya adalah: (1)


dilakukan insisi SBR/ re-opening SBR untuk memeriksa kavum uteri, (2)
4

dinding uterus anterior dan posterior tidak dijahit menyatu. Dari sekitar 1300
kasus perdarahan postpartum yang ditatalaksana dengan B-Lynch, hanya 19
kasus yang gagal, rata-rata penyebabnya adalah terlambat penanganan, teknik
yang tidak sesuai prosedur, defibrinasi, dan pemilihan material yang tidak
tepat. Wolmuth, dkk. menyatakan bahwa tingkat kesuksesan B-Lynch
mencapai 91%.5,6
Beberapa komplikasi B-Lynch yang pernah dilaporkan antara lain nekrosis
iskemik parsial (1 hari setelah dilakukan B-Lynch)7, nekrosis uteri (12 hari
setelah dilakukan B-Lynch)8, pyometra yang akhirnya ditatalaksana dengan
histerektomi9, erosi SBR 6 minggu postpartum yang menyebabkan defek
dinding anterior uterus, sinekia dan perlengketan uterus10, fistula umbilikalis
dan nekrosis miometrium12, dan hematometra13. Sinekia yang terjadi
dihubungkan dengan penggunaan materi jahit yang lama diserap jaringan.
Ketika uterus mengalami involusi yang lebih cepat dibandingkan penurunan
tensile strength benang, maka kerusakan jaringan dapat terjadi. 10 Lynch
menggunakan jarum besar dan nontraumatik, serta benang chromic catgut no
2 yang terabsorbsi cepat sehingga tidak menimbulkan sinekia dan menjerat
usus.5 Penjahitan terlalu kuat akan menyebabkan pengurangan suplai darah
ekstrim ke uterus dan terhambatnya retraksi spontan uterus, sehingga dapat
terjadi nekrosis uterus. Sebaliknya, jahitan yang terlalu lemah akan
menyebabkan kompresi yang tidak adekuat. Meskipun demikian, komplikasi
akibat B-Lynch termasuk jarang terjadi dan Geznig, dkk. melaporkan hasil
histerosalpingogram dari 8 kasus B-Lynch memberikan hasil normal tanpa
defek pada kavum uteri.14
5

Metode Surabaya
Sulistyono, dkk. mempublikasi teknik Surabaya pada tahun 2010. Dari 12
kasus perdarahan postpartum antara Juli 2007- Agustus 2008 di RS Dr.
Soetomo, 4 kasus ditatalaksana dengan B-Lynch dan 8 kasus dengan metode
Surabaya. Teknik ini dilakukan dengan membuat 3 jahitan longitudinal
pararel menggunakan chromic catgut no 2 dan jarum lengkung yang dibuat
lurus secara manual. Langkah-langkah teknik ini yaitu: 28

1. Uterus dikeluarkan. Pada perdarahan pasca persalinan pervaginam, tidak


dibutuhkan insisi SBR. Pada perdarahan saat SC, SBR harus dijahit
terlebih dahulu.
2. Asisten menarik uterus ke atas sehingga SBR tampak lebih tipis sehingga
memudahkan insersi jarum ke dinding uterus.
3. Jahitan pertama dibuat ±2 cm di bawah insisi SBR dan ±2 cm medial dari
tepi lateral uterus.
4. Jarum diinsersi dari dinding ventral ke dinding posterior SBR.
5. Jahitan kedua dibuat dengan menggunakan benang yang berbeda dan
dilakukan penjahitan pada sisi kontralateral dengan cara yang sama.
6. Jahitan ketiga dibuat dengan menggunakan benang yang berbeda dan
dilakukan penjahitan di antara jahitan pertama dan kedua, dengan cara
yang sama.
7. Asisten melakukan kompresi uterus secara anterior-inferior untuk
membuat uterus menjadi posisi antefleksi.
8. Operator menyimpul jahitan pertama, kedua, dan ketiga di fundus
sementara asisten tetap melakukan kompresi uterus.
9. Sebelum menutup abdomen, asisten kedua memeriksa apakah perdarahan
telah berhenti atau tidak.
Dari 12 kasus, 8 kasus dengan metode Surabaya berhasil menghentikan
perdarahan sedangkan 2 kasus dengan metode B-Lynch gagal yang akhirnya
6

dilakukan histerektomi. Dua dari 8 kasus dengan metode Surabaya dan 1


dengan metode B-Lynch berakhir dengan kematian dengan kemungkinan
penyebabnya adalah sindroma HELLP, DIC dan kegagalan multiorgan
sebagai komplikasi dari preeklampsia walaupun sebenarnya perdarahan
berhasil diberhentikan. Tidak ada komplikasi yang dilaporkan dan seluruh
pasien mengalami menstruasi normal kembali. 28
7

Gambar 18. Metode Surabaya


Dikutip dari Sulistyono, dkk 28
Metode Surabaya efektif dalam menghentikan perdarahan pada kasus
perdarahan pascapersalinan dalam mengkonservasi uterus. Selain sederhana,
efektif dan mudah untuk dilakukan, waktu yang diperlukan dalam pengerjaan
metode Surabaya juga lebih cepat. Metode Surabaya dapat digunakan untuk
kasus perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam atau SC. 28

I. RINGKASAN
1. Bila perdarahan postpartum disebabkan oleh perdarahan dari placental bed,
maka dapat dilakukan teknik kompresi Cho. Bila perdarahan disebabkan oleh
atonia uteri dan SBR tidak intak lagi, dapat dilakukan teknik B-Lynch. Bila
SBR masih intak, modifikasi B-Lynch dengan teknik Hayman atau metode
Surabaya dapat dilakukan.
2. Prevalensi infertilitas paling banyak ditemukan pada SWUD, diikuti
kemudian dengan B-Lynch. Prevalensi infertilitas paling sedikit ditemukan
pada BIL. Sehingga beberapa penelitian merekomendasikan BIL
dibandingkan SWUD dan B-Lynch sebagai pilihan pertama pada wanita muda
yang masih menginginkan fertilitas.
8

Gambar 25. Usulan penanganan HPP


Dikutip dari Sulistyono 33

RUJUKAN
1. Keith LG, Lynch CB. Surgical management of intractable pelvic hemorrhage (online). Available at
http://www.cblynch.co.uk/surgical-management-of-intractable-pelvic-hemorrhage/ (cited on
October 1st, 2014)
2. DeLancey JO. Surgical anatomy of the female pelvis. In: Rock JA, Jones HW, eds. Te Linde’s
operative gynecology. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2008:82-112
3. Moore KL, Agur AM, Dalley AF. Clinically oriented anatomy. 5 th ed. Baltimore: Lippincott
Williams and Wilkins, 2006
4. Saroja CS, Nankani A, Hamamy EE. Uterine compression sutures, an update: review of efficacy,
safety, and complications of B-Lynch suture and other uterine compression techniques for
postpartum haemorrhage. Arch Gynecol Obstet. 2010;281:581-8
5. Lynch CB, Shah H. Conservative surgical management. In: Arulkumaran SS, Karoshi m, Keith
LG, Lalonde AB, Lynch CB. A comprehensive textbook of postpartum hemorrhage. 2 nd ed.
London: Sapiens publishing, 2012:433-40
6. Wohlmuth C, Gumbs J, Quebral I. B-Lynch suture, a case series. Int J Fertil Womens Med.
2005;50:164-73
7. Joshi VM, Shrivastava M. Partial ischemic necrosis of uterus following a uterine brace
compression suture. BJOG. 2004;111:279-80
8. Treloar EJ, Anderson RS, Andrews HS, Bailey JL. Uterine necrosis following B-Lynch suture for
primary postpartum hemorrhage. BJOG. 2006;113:486-8
9. Ochoa M, Allaire AD, Stitely ML. Pyometra after hemostatic square suture technique. Obstet
Gynecol. 2002;99:506-9
9

10. Begum J, Pallave P, Ghose S. B-Lynch: a technique for uterine conservation or deformation? A
case report with literature review. J Clin Diagnostic Res. 2014;8(4):1-3
11. Goojha CA, Case A, Pierson R. Development of Asherman syndrome after conservative surgical
management in intractable postpartum hemorrhage. Fertil Steril. 2010;94(3):1098e.1-10
12. Rashmi MH, Lokeshcandra C, Chaltra TM. Uteroumbilical fistula with myometrial necrosis
following compression suture for atonic PPH: a rare case. Arch Gynecol Obstet. 2013;287:1045-6
13. Dadhwal V, Sumana G, Mittal S. Hematometra following uterine compression sutures. Int J Obstet
Gynecol. 2007;5:255-6
14. Gezginc K, Yazici F, Koyuncu T. Results of hysterosalpingogram in women in previous B-Lynch
suture. Int J Obstet Gynecol. 2011;02:68-9
15. Cho JH, Jun HS, Lee CN. Hemostatic suturing technique for uterine bleeding during cesarean
delivery. Obstet Gynecol. 2000;96(1):129-31
16. Alouini S, Coly S, Megier P, Lemaire B, Mesnard L, Desroches A. Multiple square sutures for
postpartum hemorrhage: results and hysteroscopic assessment
17. Wu HH, Yeh GP. Uterine cavity synechiae after hemostatic square suturing technique. Obstet
Gynecol. 2005;105:1176-8
18. Hayman RG, Arulkumaran S, Steer PJ. Uterine compression sutures: surgical management of
postpartum hemorrhage. Am J Obstet Gynecol. 2002;99(3):502-6
19. Ghazi F, Cromi A, Uccella S, Raio L, Surbek D. The Hayman technique: a simple method to treat
postpartum haemorrhage. BJOG. 2007;114:362-5
20. Pereira A, Nunes F, Pedroso S, Saraiva J, Retto H, Meirinho M. Compressive uterine sutures to
treat postpartum bleeding secondary to uterine atony. Am J Obstet Gynecol. 2005;106(3):569-72
21. Stein W, Hawighrost T, Emons G. Surgical treatment of severe postpartum hemorrhage with
uterine compression sutures as describe by Pereira. Zeitscrift fur Geburtshifle and Neonatologie.
2008;212:18-21
22. Bhal K, Bhal N, Mulik V, Sankar L. The uterine compression suture – a valuable approach to
control major haemorrhage at lower segment caesarean section. J Obstet Gynecol. 2005;25(1):10-4
23. Nelson GS, Birch C. Compression sutures for uterine atony and hemorrhage following cesarean
delivery. Int J Obstet Gynecol. 2006;92:248-50
24. Tjalma WA, Jacquemyn Y. A uterus-saving procedure for postpartum hemorrhage. Int J Obstet
Gynecol. 2004;86:396-7
25. Hackethal A, Brueggmann D, Oehmke F, Tinneberg HR, Zygmunt MT, Muenstedt K. Uterine
compression U-sutures in primary postpartum hemorrhage after cesarean section: fertility
preservation with a simple and effective technique. Hum Reprod. 2007:1-6
26. Ouahba J, Huel PC, Azarian M, Ferauq O, Luton D, Sibony O, et al. Uterine compression sutures
for postpartum bleeding with uterine atony. BJOG. 2007;114:619-32
27. Zheng J, Xiong X, Ma Q, Zhang X, Li M. A new uterine compression suture for postpartum
haemorrhage with atony. BJOG. 2011;118:370-4.
28. Sulistyo A, Gultom ES, Dachlan EG, Prabowo P. Consevative surgical management of postpartum
hemorrhage using Surabaya method (modified B-Lynch compression suture). Indones J Obstet
Gynecol. 2010;34(3):108-13
29. Graves CR. Obstetric problems. In: Rock JA, Jones HW, eds. Te Linde’s operative gynecology.
10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2008:825-41
30. Winogard RH. Uterine artery embolization for postpartum haemorrhage. Best Practice and Res
Clin Obstet Gynecol. 2008;22(6):1119-32
31. Rasheed SM, Amin MM, Ellah AH, Elhassan AM, Zahry MA, Wahab HA. Reproductive
performance after conservative surgical treatment of postpartum hemorrhage. Int J Obstet Gynecol.
2014;124:248-52
32. Sulistoyono A. Conservative surgical management of postpartum hemorrhage. PIT Fetomaternal
XIII, Palembang

Anda mungkin juga menyukai