PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanaman obat keluarga (TOGA) menjadi salah satu pilihan
masyarakat untuk ditanam dilahan pekarangan, dan dengan pertimbangan
karena dapat dimanfaatkan untuk kesehatan. Indonesia sangat kaya akan
keanekaragaman hayati, diantaranya berupa ratusan jenis tumbuhan atau
tanaman obat. Tanaman obat dapat dijadikan obat yang aman, tidak
mengandung bahan kimia, murah dan mudah didapat (Mindarti, 2015).
Pengolahan tanaman berkhasiat obat oleh masyarakat dilakukan secara
sederhana yakni dengan cara dioles, direbus atau direndam dan ditumbuk (F.,
2013). Salah satu tanaman yang berkhasiat sebagai obat herbal yaitu tanaman
jahe merah (Zingiber officinale var. rubrum).
Tanaman Jahe merah (Zingiber officinale var. rubrum) berasal dari
Asia Tropik yang tersebar dari India sampai Cina(Santoso, 2017). Selain itu
persebaran jahe merah (Zingiber officinale var rubrum) tersebar daerah di
Indonesia yaitu di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Nusa
Tenggara dan Papua (Pramudyo, 2018). Selain itu Tanaman Jahe merah
(Zingiber officinale var. rubrum) tersebar luas di beberapa Negara di Asia
seperti Malaysia, Filipina, India, Arab, Cina, Belanda, Inggris, Perancis
(Anwar, 2016).
Tanaman jahe merah (Zingiber officinale var. rubrum) tergolong
tanaman herba, tegak, dapat mencapai ketinggian 40-100 cm dan dapat
berumur tahunan. Tanaman ini terdiri atas bagian akar, rimpang, batang, daun
dan bunga (Setyawan, 2015). Rimpangnya berwarna merah atau jingga
dengan bau menyengat. Daun menyirip dengan panjangnya 15 mm sampai 23
mm dengan lebar 8 mm sampai 15 mm dengan tangkai daun berbulu halus.
Bunga jahe tumbuh dari dalam tanah berbentuk bulat telur dengan panjang
3,5 hingga 5 cm dan lebar 1,5 mm. Gagang bunga bersisik sebanyak 5 hingga
7 buah. Bunga berwarna hijau kekuningan. Bibir bunga dan kepala putik
ungu. Tangkai putik berjumlah dua (Hatta, 2016).
1
2
Jahe merah merupakan tanaman obat yang telah lama dikenal dan
dimanfaatkan dalam masyarakat. Baik dimanfaatkan dalam bentuk segar
sebagai bumbu aneka jenis masakan, bahan pembuatan minuman herbal
maupun bahan pembuatan jamu. Sebagian besar manfaat rimpang jahe sudah
terbukti secara secara turun-menurun. Secara tradisional jahe digunakan
untuk menyembuhkan beberapa penyakit, seperti kurang nafsu makan, kepala
pusing, encok, batuk kering, masuk angin, dan lain-lain (Setyawan, 2015).
Jahe merah mengandung beberapa senyawa berupa flavonoid, fenolik
utama, minyak atsiri , terpenoid (Anwar, 2016). Sesuai dengan penelitian (Jie,
2018) jahe merah juga mengandung senyawa tanin yang bersifat sebagai anti
jamur sehingga dapat menghambat dan membunuh pertumbuhan jamur
Candida albicans. Rimpang jahe merah digunakanoleh masyarakat
Kalimantan Barat tepatnya di Desa Setutuk Kecamatan Menjalin Kabupaten
Landak sebagai salah satu bahan obat untuk penyakit rematik dan encok
dengan cara rimpang jahe merah dibakar , dicuci serta diparut kemudian
ditempelkan pada bagian yang sakit.
Kondisi lingkungan di Indonesia yang beriklim tropis mempunyai
daya dukung yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan
mikroorganisme, baik yang menguntungkan dan merugikan. Salah satu
mikroorganisme yang merugikan adalah jamur yang tumbuh dengan baik
pada keadaan lembab. Jamur akan tumbuh dibagian-bagian tubuh tertentu
pada manusia dan akan menimbulkan penyakit, salah satunya adalah Tinea
pedis. Penyakit ini disebabkan jamur Dermatophyta terutama Trichophyton
rubrum, dan Trichophyton mentagrophytes, namun penyebab tersering yaitu
Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton
floscosum yang menyerang bagian kulit, kuku maupun rambut. Penyakit ini
merupakan penyakit infeksi Dermatophyta yang sering terjadi (Khusnul et al.,
2018).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zainal Arifin dengan
judul Aktifitas Antimikroba Ekstrak Etanol Jahe Merah (Zingiber officinale
var. Rubrum) terhadap staphylococcus aureus, E. coli dan candida albicans
dengan KBM masing-masing sebesar 5%, 3%, 5%.
3
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah adalah “Seberapa besar
efektifitas ekstrak metanol rimpang jahe merah (zingiber officinale var.
Rubrum) terhadap pertumbuhan jamur tricophyton rubrum dengan metode
difusi.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui seberapa besar efektifitas konsentrasi ekstrak
metanol rimpang jahe merah (Zingiber officinale var. Rubrum) terhadap
pertumbuhan jamur Tricophyton rubrum dengan metode difusi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui efektifitas konsentrasi ekstrak metanol jahe merah
(zingiber officinale var. Rubrum) 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%,
35%, 40%, 45%, 50%terhadap pertumbuhan jamur Tricophyton rubrum
dengan metode difusi.
b. Untuk mengetahui konsentrasi efektif dari ekstrak metanol jahe merah
(zingiber officinale var. Rubrum) yang dapat menghambat jamur
Tricophyton rubrum.
4
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis tentang manfaat
ekstrak metanol rimpang jahe merah (zingiber officinale var. Rubrum)
terhadap pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum.
2. Bagi Institusi
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam
peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan sebagai bahan
tambahan kepustakaan mahasiswa/i Politeknik Kesehatan Jurusan
Analis Kesehatan Pontianak.
b. Penelitian ini menambah jumlah dan jenis penelitian di Jurusan Analis
Kesehatan Pontianak.
3. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi dan tambahan ilmu pengetahuan kepada
masyarakat sebagai dasar ilmiah penggunaan ekstrak metanol rimpang
jahe merah (zingiber officinale var. Rubrum) dapat menjadi obat alternatif
untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh jamur tricophyton
rubrum seperti penyakit kuku, kulit dan rambut.
5
F. Keaslian Penelitian
Berdasarkan telaah literatur yang ada, penelitian yang dilakukan
penulis belum pernah ada sebelumnya. Penelitian – penelitian yang pernah
dilakukan seperti tersaji pada Tabel 1.1
Table 1.1 Penelitian yang Telah Dilakukan
Jenis
Penulis/Tahun JudulPenelitian Hasil Penelitian
Penelitian
Ika Trisharyanti Aktivitas Antimikroba Eksperimental Ekstrak etanol jahe
Dian Kusumowati, Ekstrak Etanol Jahe merah mempunyai
Zainal Arifin dan Merah (zingiber aktivitas antimikroba
Rosita Melannisa officinale var rubrum) terhadap staphylococcus
Terhadap aureus, Escherichia
Staphylococcus, coli, dan Candida
Escherichia coli, dan albiicans dengan kadar
Candida albicans. Butuh Minimum (KBM)
masing-masing sebesar
5%, 3% dan 5%. Hasil
skrining fitokimia
menunjukkan ekstrak
etanol jahe merah
mengandung senyawa
saponin, flavonoid,
polifenol dan minyak
atsiri.
Penelitian yang dilakukan disini berbeda dengan penelitian di atas
dalam hal lokasi, jamur yang digunakan, waktu penelitian dan terutama
pendekatan penelitian, yaitu dalam penelitian ini menitikberatkan pada uji
efektivitas antijamur yang secara khusus menggunakan pelarut methanol pada
ekstraksi rimpang jahe merah.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
7
B. Ekstraksi
Ekstrak adalah hasil proses ekstraksi atau penyarian suatu matriks atau
simplisia dalam bentuk sediaan cair, kental atau kering menurut cara yang
sesuai. Ekstrak cair diperoleh dari ekstraksi yang masih mengandung sebagian
besar penyari. Ekstrak kental akan didapat apabila sebagian besar dari cairan
penyari sudah diuapkan. Ekstrak kering akan diperoleh apabila sudah tidak
mengandung cairan penyari (Hanani, 2017).
Ekstraksi merupakan proses pemisahan senyawa dari simplisia dengan
menggunakan pelarut. Terdapat beberapa istilah dalam ekstraksi, antara lain
ekstraktan (pelarut yang digunakan untuk ekstraksi), rafinat (larutan senyawa
atau bahan yang akan diekstraksi), dan linarut (senyawa atau zat yang
diinginkan dalam rafinat). Metode yang akan digunakan pada senyawa yang
akan diekstraksi tergantung pada jenis, sifat fisik, dan sifat kimia yang
terkandung dalam simplisia. Pelarut yang digunakan tergantung pada sifat
polaritas senyawa yang akan diekstrak, polar atau nonpolar (Endang Hanani,
2017).
12
5. Infusa
Infusa adalah cara ekstraksi dengan menggunakan pelarut air
pada suhu 96-98oC selama 15-20 menit, dihitung mulai setelah
mencapai suhu 96oC. benjana infusa tercelup dalam tangas air. Cara ini
sesuai untuk simplisia yang bersifat lunak (Endang Hanani, 2017).
6. Dekok
Dekok adalah cara ekstraksi yang mirip dengan infusa, hanya
saja waktu ekstraksinya lebih lama yaitu 30 menit dan suhunya
mencapai titik didih air (Endang Hanani, 2017).
7. Destilasi (Penyulingan)
Destilasi merupakan cara ekstraksi untuk menarik atau menyari
senyawa yang ikut menguap dengan air sebagai pelarut. Pada proses
pendinginan, senyawa dan uap air akan terkondensasi dan terpisah
menjadi destilat air dan senyawa yang diekstraksi. Cara ini digunakan
untuk menyari minyak atsiri dari tumbuhan (Endang Hanani, 2017).
C. Jamur (Fungi)
Jamur/fungi adalah organisme mikro dan ada juga yang makro yang
terdapat dimana-mana dibumi. Ada bermacam kelompok fungi menurut
lingkungan hidupnya antara lain yaitu : fungi hutan mangrove, fungi akuatik,
fungi laut, fungi lingkungan udara. Namun demikian disini yang akan dibahas
adalah fungi yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia yang bisa
ditemukan disemua lingkungan atau habitat tersebut di atas (Misnadiarly &
Djajaningrat, 2014).
Jamur terbagi menjadi 4 kelas jamur sejati (true or filamentous fungi)
dalam Kingdom Fungi yaitu :
1. Phycomycetes.
2. Ascomycetes.
3. Basidiomycetes.
4. Deuteromycete
Mikologi (mykes dan logos) adalah ilmu yang mepelajari tentang jamur.
Jamur merupakan organisme protista eukariotik, kemoheterotrof, reproduksi
14
secara seksual dan atau aseksual, struktur vegetatif berupa filamen atau bersel
tunggal (Harti, 2015).
1. Sifat umum
a. Termasuk protista eukariotik.
b. Kemoorganotrof dan kemoheterotof.
c. Parasit atau saprofit.
d. Struktur vegetatif berupa uniselular (yeast/khamir) atau multiselular
atau berfilamen (molds atau kapang, cendawan)
e. Reproduksi seksual/aseksual (Harti, 2015).
2. Karakteristik jamur
a. Yeast (khamir)
Memiliki sifat uniselular: nonfilamentous, dapat membentuk
pseudohifa; bentuk oval atau spheris. Umumnya nonmotil.
Reproduksi dengan pembelahan/fission dan seksual. Fakultatif
anaerob; bila ada O2 mampu melakukan respirasi aerob atau
metabolisme karbohidrat menjadi CO2 dan H2O. Bila tidak ada O2
mampu melakuan fermentasi karbohidrat menghasilkan etanol dan
CO2 (Harti).
b. Kapang atau molds
Sifat multiselular reproduksi seksual atau aseksual. Struktur
vegetatif berfilamen atau benang disebut hifa. Kumpulan hifa disebut
miselium.
Macam atau tipe hifa adalah :
1) Hifa nonsepta (coenocytic) merupakan hifa tidak bersepta.
2) Hifa bersepta (acoenocytic) uninukleat (1 inti) aatau multinukleat
(banyak inti)
3) Hifa vegetative merupakan hifa yang berpungsi untuk nutrisi
4) Hifa reproduktif atau aerial hifa, merupakan hifa yang berpungsi
untuk reproduksi atau pembentuka spora
5) Pseudohifa merupakan hifa yang membentuk kuncup (Harti,
2015).
15
c. Dimorfik
Memiliki dua bentuk pada pertumbuhannya, yaitu pada kapang
membentuk hifa vegetatif dan aerial hifa, sedangkan pada khamir
membentuk kuncup. Banyak terdapat pada jamur pathogen, dapat
dipengaruhi oleh suhu, pada suhu 37oC sebagai bentuk khamir dan
pada 25oC sebagai bentuk kapang (Harti, 2015).
d. Cendawan
Adalah jamur tingkat tinggi dan tersusun sebagai talus; umumnya
makroskopis; dan dapat menghasikan mikotoksin (Harti, 2015).
3. Reproduksi Jamur
Terdapat dua macam cara reproduksi yaitu (Harti, 2015) :
a. Aseksual merupakan reproduksi secara fission atau pembelahan,
budding/kuncup atau pembentukan spora aseksual.
b. Seksual merupaka reproduksi secara fusi atau peleburan nuklesu dari
2 sel gamet induk dan menghasilkan spora seksual.
Adanya reproduksi secara seksual dan aseksual maka jamur
mempunyai siklus hidup. Jamur yang menghasilkan spora seksual dan
aseksual disebut teleomorphs, sedangkan jamur yang menghasilkan spora
aseksual saja disebut anamorphs.
Macam-macam spora aseksual yaitu :
a. Conidiospora/conidia (tunggal : conidium).
b. Sporangiospora, yaitu spora yang dibentuk dalam sporangium.
c. Oidia (tunggal : oidium) atau arthrospora, yaitu spora hasil
fragmentasi hifa.
d. Klamidospora, yaitu spora aseksual berdinding tebal.
e. Blastospora, yaitu spora hasil pembentukan secara kuncup
Macam-macam spora seksual :
a. Ascospora, yaitu spora bersel satu yang dibentuk dari ascus dan dalam
setiap ascus terdapat satu atau beberapa ascospora.
b. Basidiospora, yaitu spora bersel satu yang di atas struktur berbentuk
gada yang disebut basidium.
16
b. Kelembapan
Faktor ini sangat penting untuk pertumbuhan fungi. Dengan
mengetahui sifat-sifat fungi penyimpanan bahan pangan dan materi
lainnya dapat dicegah kerusakannya (Roosheroe et al., 2014).
c. Suhu
Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik untuk
pertumbuhan, suhu pertumbuhan suatu jamur adalah sangat penting,
terutama bila isolat-isolat tersebut akan digunakan di industri
(Roosheroe et al., 2014).
d. Derajat keasaman lingkungan
pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena
enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai substrat sesuai dengan
aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya fungi menyenangi pH
dibawah 7. Jenis-jenis tertentu bahkan tumbuh pada pH yang cukup
rendah, yaitu pH 4,5 - 5,5 (Roosheroe et al., 2014).
D. Trichophyton rubrum
1. Klasifikasi Trichophyton rubrum
Adapun sistematika klasifikasi Trichophyton rubrum adalah
sebagai berikut (Tonsurans, Folliculitis, Folliculitis, & Folliculitis, 2018):
Kingdom : Fungi
Devisi : Ascomycota
Class : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Family : Arthrodermatoceae
Genus : Trichophyton
Species : Trichophyton Rubrum
sebagai lesi kering dan gatal yang sering bermula di skrotum dan
menyebar hingga ke selangkangan (Jawets et al., 2016).
d. Tinea Pedis (kaki)
Dermatofitosis yang paling banyak dijumpai. Penyakit ini
biasanya muncul sebagai infeksi kronis sela-sela jari kaki. Ragam
lainnya adalah tipe vesikular, ulseratif, dan mokasin, dengan
hiperkeratosis telapak kaki. Awalnya, ada rasa gatal di antara jari
kaki dan timbul vesikel-vesikel kecil yang pecah dan mengeluarkan
cairan encer. Kulit di sela-sela jari kaki mengalami maserasi dan
terkelupas, serta muncul retakan kulit yang rentan mengalami infeksi
bakteri sekunder. Jika infeksi jamur menjadi kronis, pengelupasan
dan keretakan kulit merupakan manifestasi utamanya, disertai nyeri
dan pruritus (Jawets et al., 2016).
e. Tinea Unguium (kuku jari tangan dan kuku jari kaki)
Infeksi kuku dapat terjadi setelah tinea pedis yang
berkepanjangan. Dengan invasi hifa, kuku menjadi kuning, rapuh,
menebal, dan mudah rontok. Infeksi dapat mengenai satu atau lebih
kuku kaki atau tangan (Jawets et al., 2016).
f. Tinea Korporis (pada permukaan kulit kecuali telapak tangan serta
kaki dan bokong)
Kita lihat ada plaque yang berbatas jelas, sirsiner dan ditengah
terdapat daerah penyembuhan. Menurut pengalaman yang sangat
penting untuk diagnosis ialah distribuasi dari lesi. Biasanya unilateral
dan bila bilateral asimetris. Tetapi terutama pada yang unilateral dan
dan soliter perlu sekali diadakan pemeriksaan sensibilitas (Irianto,
2014).
E. Antijamur
Antijamur merupakan senyawa kimia yang dapat menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroba (Waluyo & Kusuma, 2017). Zat yang
tercantum di dalam antijamur adalah untuk pengobatan infeksi kulit yang
disebabkan oleh jamur yang paling umum dari tindakan agen-agen antijamur
22
4) Ketokonazol
5) Flukonazol
6) Vorikonazol
7) Terbinafin
8) Nystatin
2. Uji Aktivitas Antijamur
Penentuan kerentanan suatu pathogen mikroba terhadap obat anti
mikroba dapat dilakukan dengan salah satu diantara dua metode utama
yaitu dilusi dan difusi. Dengan menggunakan organisme tes standar yang
sesuai dan sampel obat yang diketahui sebagai pembanding, metode-
metode tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan potensi antibiotik
dalam sampel atau kerentanan mikroorganisme (Brooks, Carroll, Butel,
Morse, & Mietzner, 2013).
a. Metode Dilusi
Substansi mikroba dalam kadar bertingkat dicampurkan ke
dalam medium mikrobiologis solid atau cair. Biasanya digunakan
substansi antimikroba dengan pengenceran dua kali lipat. Medium
kemudian diinokulasi dengan bakteri penguji dan diinkubasi. Titik
akhir yang diambil adalah jumlah substansi antimikroba yang
diperlukan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri
penguji. Uji sensitivitas dilusi agar memakan banyak waktu, dan
penggunaan mereka dibatasi hanya pada kondisi khusus. Uji dilusi
kaldu tidak praktisdan hanya digunakan jika dilusi dilakukan dalam
tabung uji. Keuntungan uji dilusi adalah dilaporkannya hasil
kuantitatif yang menunjukkan jumlah obat tertentu yang diperlukan
untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme yang diuji
(Brooks et al., 2013).
24
b. Metode Difusi
Metode difusi ini dibagi atas beberapa cara sebagai berikut:
1) Metode disc diffusion (Kirby Bauer)
Metode yang paling banyak digunakan uji difusi cakram.
Cakram kertas saring yang mengandung obat dalam jumlah
tertentu ditempatkan pada permukaan medium padat yang
sebelumnya telah diinokulasi dengan bakteri uji pada
permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona inhibisi yang
jernih yang mengelilingi cakram diukur sebagai ukuran
kekuatan inhibisi obat terhadap organisme uji tersebut. Metode
ini dipengaruhi oleh banyak faktor fisik dan kimiawi, disamping
interaksi sederhana antara obat dan organisme (yaitu sifat
medium, kemampuan difusi, ukuran molekular dan kestabilan
obat). Bagaimanapun juga tetap memungkinkan penentuan
kerentanan organisme (Brooks et al., 2013).
Diameter zona hambat dihitung dalam satuan milimeter
(mm) menggunakan penggaris. Interpretasi hasil berdasarkan
acuan tabel interpretasi zona hambat menurut CLSI (Anggita,
Abdi, & Desiani, 2018):
a) Diameter zona hambat ≥20 mm atau lebih artinya sensitif.
b) Diameter zona hambat 15-19 mm artinya intermediet.
c) Diameter zona hambat ≤14 mm artinya resisten.
2) Metode Well Diffusion (Sumuran)
Metode ini digunakan secara luas untuk mengevaluasi
aktivitas antimikroba pada tanaman. Prosedur metode sumuran
sama seperti metode difusi cakram. Permukaan agar
diinokulasikan dengan cara menyebarkan inoculum mikroba
diseluruh permukaan agar kemudian dilubangi dengan diameter
6-8 mm lalu dimasukkan agen antimikroba atau larutan ekstrak
dengan konsentrasi yang diinginkan (Balouiri, Sadiki, &
Ibnsouda, 2016).
25
F. Ketokonazol
Antijamur azol merupakan senyawa sintetik dengan aktivitas spectrum
yang luas, yang diklasifikasikan sebagai imidazol (ketokonazol, mikonazol,
bifonazol,, klotrimazol, ekonazol) atau triazol (itrakonazol dan flukonazol)
yang tergantung pada jumlah kandungan atom nitrogennya 92 atau 3 atom N).
26
Ketokonazol berbentuk Kristal denagan titik leleh 146°. Senyawa ini praktisss
tidak larut dalam air, larut dalam etanol, kloroform, methanol dan sangat
sedikit larut dalam eter (Rohman, 2018).
Ketokonazol merupakan obat antifungi sistemik pertama yang
bersprektum luas. Ketokonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang
bersifat lipofilik dan larut dalam air pada pH asam. Kotekonazol bekerja
dengan cara berinteraksi dengan C-14 - demetilase (enzim P- 450
sitokorom) untuk menghambat dimetilasai lanosterol menjadi ergosterol yang
merupakan sterol penting untuk membran jamur. Penghambatan ini
mengganggu fungsi membran dan meningkatkan permeabilitas. Pemakaian
ketokonazol belum ditemukan adanya resistensi sehingga obat ini sangat
efektif dalam pengobatan jamur. Keunggulan ketokonazol sebagai obat
berspektrum luas, tidak resisten, efek samping minimal dan harganya yang
terjangkau maka obat ini paling banyak dipergunakan dalam pengobatan
antifungi.
27
G. Kerangka Teori
Ekstrak
Flavonoid
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
A. Kerangka Konsep
VARIABEL PENGGANGGU(*)
1. pH *
2. Suhu*
3. Lama perendaman cakram disc*
Keterangan :
: Dilakukan penelitian
: Tidak dilakukan penelitian
* : Dikendalikan
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Efektivitas Konsentrasi Ekstrak
Metanol Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale var.
rubrum) Terhadap Pertumbuhan Jamur Tricophyton
Rubrum Dengan Metode Difusi.
28
29
B. Definisi Operasional
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,
obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang dittapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2017).
1. Variabel independen (bebas) adalah varibel yang mempengaruhi atau
menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen(Sugiyono,
2017). Variabel bebas dalam penelitian adalah ekstrak rimpang jahe
merah (Zingiber offcinale var rubrum).
2. Variabel dependen (Terikat) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2017). Variabel
terikat dalam penelitian ini adalah zona hambat terhadap jamur
Trichophyton rubrum.
3. Variabel intervening (pengganggu) adalah variabel yang secara teoritis
mempengaruhi hubungan antara variabel independen dengan dependen
menjadi hubungan yang tidak langsung dan tidak diamati dan diukur
(Sugiyono, 2017). Varibel penggu dalam penelitian ini adalah suhu, lama
perendaman disk cakram, pH tidak diteliti tapi dikendalikan.
30
C. Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu jawaban sementara rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
31
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian yang dilakukan berbentuk penelitian eksperimen semu (Quasi
Eksperimen) adalah eksperimen yang mempunyai kelompok kontrol, tetapi
tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar
yang mempengaruhi eksperimen (Siswanto, Susila, & Suyanto, 2017). Desain
dalam penelitian ini adalah eksperimental semu.
32
33
Jika jumlah perlakuan ada 10 buah, maka jumlah ulangan untuk tiap
perlakuan dapat dihitung :
( r – 1) (t – 1) ≥ 15
(r – 1) (10 – 1) ≥ 15
(r – 1) (9) ≥ 15
9r – 9 ≥ 15
9r ≥ 15 + 9
9r ≥ 24
r ≥ 2,6667
r=3
Maka didapatkan nilai r = 3. Untuk itu dilakukan 3 kali pengulangan
pada masing-masing konsentrasi ekstrak rimpang jahe merah. Jadi,
jumlah sampel minimal yang digunakan adalah 30.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive
sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu
(Sugiyono, 2015).
Adapun kriteria sampel rimpang jahe merah yang digunakan peneliti
adalah rimpang jahe merah segar berwarna merah, tidak lecet dan tidak
rusak, bagian yang digunakan adalah bagian rimpang jahe merah yang
berasal dari daerah Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya.
b. Skrining fitokimia
1) Pemeriksaan Flavonoid
Uji timbal asetat
Sebanyak 1 ml larutan timbal asetat di tambahkan ke dalam 5
ml larutan ekstrak suatu bagian tanaman. (adanya kandungan
flavonoid ditandai dengan timbulnya flok-flok endapan
bewarna putih) (Kumoro, 2015).
2) Pemeriksaan Terpenoid
Sebanyak 5 ml ekstrak dicampur dengan 2 ml kloroform dan
3 ml asam sulfat pekat. Terbentuk warna merah kecoklatan
pada antar permukaan menunjukkan adanya triterpenoid
(Kumoro, 2015).
3) Pemeriksaan Tanin
Uji gelatin
Suatu ekstrak bagian tanaman mengandung tanin jika
terbentuk endapan putih setelah diberi larutan gelatin 1% yang
mengandung natrium khlorid (NaCl) 10% (Kumoro, 2015).
Tabel 4.2 Hasil Skrinning Fitokimia
No Golongan Senyawa Hasil Keterangan
1. Flavonoid
2. Tanin
3. Terpenoid
Keterangan:
Dv : Diameter vertikal
Dh : Diameter horizontal
Dc : Diameter cakram
H. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis dengan
menggunakan Uji Regresi Linier yang diolah secara komputerisasi
menggunakan program SPSS :
1. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisa yang dilakukan menganalisis
tiapvariabel dari hasil penelitian. Analisis univariat berfungsi untuk
meringkas kumpulan data hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga
kumpulan data tersebut berubah menjadi informasi yang berguna dan
pengolahan datanya hanya satu variabel saja sehingga dinamakan
univariat. Yang termasuk analisis univariat tersebut adalah statistik
deskriptif. Dalam analisis univariat data diolah untuk mengetahui
gambaran dari tiapkonsentrasi seperti nilai maksimum, nilai minimum,
rata-rata (mean) dan standar deviasi (Sujarweni, 2014).
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan lebih dari dua
variabel. Analisa bivariat berfungsi untuk mengetahui hubungan antar
variable.Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis dengan
menggunakan Uji Regresi Linier yang diolah secara komputerisasi
menggunakan program SPSS (Sujarweni, 2014).
45
I. Jadwal Penelitian
Tabel 4.4 Jadwal Penelitian
Nov 2018 Des 2018 Jan 2019 Feb 2019 Mar 2019
No Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Penyusunan
Proposal
2. Seminar proposal
3. Persiapan penelitian
4. Pelaksanaan
penelitian
5. Pengumpulan dan
analisis data
6. Penyusunan laporan
46
DAFTAR PUSTAKA
Anggita, D., Abdi, D. A., & Desiani, V. (2018). Efektifitas Ekstrak Daun dan
Getah Tanaman Jarak Cina ( Jatropha Multifida L .) Sebagai Antibakteri
terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus Aureus Secara In Vitro 29
| Penerbit : Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universi, 1(1), 29–33.
Anwar, F. (2016). Kiat Ampuh Bertanam Jahe Merah. JAWA BARAT.
Astawan, M. (2016). Sehat dengan Rempah dan Bumbu Dapur. (M. Ye, Ed.).
Jakarta: Buku Kompos.
Balouiri, M., Sadiki, M., & Ibnsouda, S. K. (2016). Methods for in vitro
evaluating antimicrobial activity: A review. Journal of Pharmaceutical
Analysis, 6(2), 71–79. https://doi.org/10.1016/j.jpha.2015.11.005
Brooks, G. F., Carroll, K. C., Butel, J., Morse, S. A., & Mietzner, T. (2013).
Medical Microbiology. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical
Microbiology. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Dewi, A. P., Fauzana, A., Farmasi, A., & Abdurrab, U. (2017). Uji Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Etanol Biji Mahoni (Swietenia mahagoni) Terhadap
Shigella dysenteriae. Journal Of Pharmacy & Science, 1, 15–21.
Endang Hanani. (2017). Analisis Fitokimia. Jakarta: EGC.
F., T. S. dan N. F. (2013). Keragaman Jenis dan Pemanfaatan Tumbuhan
Berkhasiat Obat Oleh Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Gunung
Beratus, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi
Alam, 10(1), 1–18.
Farmakope. (2014). farmakope Indonesia Edisi V.
Gendrowati, F. (2018). Tanaman Ajaib. (Geulis, Ed.). Jakarta: Pustaka Makmur.
Hanani, E. (2017). Analisis Fitokimia. Jakarta: EGC.
Harti, A. S. (2015). Mikrobiologi Kesehatan; Peran Mikrobiologi Dalam Bidang
Kesehatan. Yogyakarta: ANDI.
Hatta, M. (2016). Mukjizat Herbal Dalam Al Qur’an. (M. W. Centre, Ed.). jakarta
timur.
Irianto, K. (2014). Bakteriologi Medis , Mikologi Medis dan Virologi Medis
(Medical Bacteriology, Medical Micology, and Medical Virology).
Bandung: ALFABETA.
Jawetz, Melnick, & Adelberg. (2014). Medical Microbiology. Jawetz, Melnick, &
Adelberg’s (25th ed.). New York: Angota IKAPI.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
47
Jie, woNG P. (2018). Efektivitas Pelarut Etanol 96% dan Aquadest pada Ekstrak
Jahe Merah terhadap Jamur candida albicans (IN VITRO).
Kamienski, M., & Keogh, J. (2015). Farmakologi Demystified. (A. Sahala, Ed.)
(1st ed.). Yogyakarta: Rapha Publising.
KEMENKES. (2014). Prosedur Pemeriksaan Bakteriologi Klinik. Jakarta:
KEMENKES.
Khusnul, *, Kurniawati, I., Rudy, D., Program, H., Analis, S. D.-I., Stikes, K., …
Tasikmalaya, H. (2018). Isolasi Dan Identifikasi Jamur Dermatophyta
Pada Sela-Sela Jari Kaki Petugas Kebersihan Di Tasikmalaya. Jurnal
Kesehatan Bakti Tunas Husada, 18, 45–50. Retrieved from
http://ejurnal.stikes-
bth.ac.id/index.php/P3M_JKBTH/article/viewFile/304/266
Koes Irianto. (2014). Bakteriologi Medis, Mikologi Medis, dan Virologi Medis.
Bandung: Alfabeta.
Kumoro. (2015). Teknologi Ekstraksi Senyawa Bahan Aktif dari Tanaman Obat.
Yogyakarta: Plantaxia.
Maharani, A. (2015). Penyakit Kulit, Perawatan, Pencegahan & Pengobatan.
(Mona, Ed.). Yogyakarta: Pusta Baaru Press.
Mindarti, S. (2015). Buku Saku Tanaman Obat Keluarga (TOGA). (B. Nurbaeti,
Ed.). JAWA BARAT.
Misnadiarly, & Djajaningrat, H. (2014). Mikrobiologi Untuk Klinik dan
Laboratorium. Jakarta: Rineka Cipta.
Pramudyo, A. (2018). Budi Daya dan Bisnis Jahe, Lengkuas, Kunyit, dan Kencur.
Jakarta.
Priyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif. (T. Candra, Ed.). Sidoarjo:
Zifatama Publishing.
Putra, W. S. (2015). Kitab Herbal Nusantara. (andien, Ed.). yogyakarta:
KATAHATI.
Ritiasa, K., Hamid, B. J., Rekso, G. T., Karniani, M. A., & Astuti, L. S. Y. (2015).
Info Obat Indonesia. (M. A. Karniani, Y. Yudistira, D. A. Gunawan, &
M. Syarifudin, Eds.). Jakarta: PARAMA ABHIPRAYA.
Rohman, A. (2018). Analisi Obat Dalam Sediaan Farmasi. (Dewi, Ed.).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Roosheroe, I. G., Sjamsuridzal, W., & Oetari, A. (2014). Mikolagi Dasar dan
Terapan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Santoso, H. B. (2017). Sukses Budidaya Jahe Organik di Pekarangan &
Perkebunan. (Maya, Ed.). Yogyakarta: LILY PUBLISHER.
Setyawan, B. (2015). Peluang Usaha Budidaya Jahe. (Mona, Ed.). Yogyakarta:
Pustaka Baru Press.
48