Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanaman obat keluarga (TOGA) menjadi salah satu pilihan
masyarakat untuk ditanam dilahan pekarangan, dan dengan pertimbangan
karena dapat dimanfaatkan untuk kesehatan. Indonesia sangat kaya akan
keanekaragaman hayati, diantaranya berupa ratusan jenis tumbuhan atau
tanaman obat. Tanaman obat dapat dijadikan obat yang aman, tidak
mengandung bahan kimia, murah dan mudah didapat (Mindarti, 2015).
Pengolahan tanaman berkhasiat obat oleh masyarakat dilakukan secara
sederhana yakni dengan cara dioles, direbus atau direndam dan ditumbuk (F.,
2013). Salah satu tanaman yang berkhasiat sebagai obat herbal yaitu tanaman
jahe merah (Zingiber officinale var. rubrum).
Tanaman Jahe merah (Zingiber officinale var. rubrum) berasal dari
Asia Tropik yang tersebar dari India sampai Cina(Santoso, 2017). Selain itu
persebaran jahe merah (Zingiber officinale var rubrum) tersebar daerah di
Indonesia yaitu di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Nusa
Tenggara dan Papua (Pramudyo, 2018). Selain itu Tanaman Jahe merah
(Zingiber officinale var. rubrum) tersebar luas di beberapa Negara di Asia
seperti Malaysia, Filipina, India, Arab, Cina, Belanda, Inggris, Perancis
(Anwar, 2016).
Tanaman jahe merah (Zingiber officinale var. rubrum) tergolong
tanaman herba, tegak, dapat mencapai ketinggian 40-100 cm dan dapat
berumur tahunan. Tanaman ini terdiri atas bagian akar, rimpang, batang, daun
dan bunga (Setyawan, 2015). Rimpangnya berwarna merah atau jingga
dengan bau menyengat. Daun menyirip dengan panjangnya 15 mm sampai 23
mm dengan lebar 8 mm sampai 15 mm dengan tangkai daun berbulu halus.
Bunga jahe tumbuh dari dalam tanah berbentuk bulat telur dengan panjang
3,5 hingga 5 cm dan lebar 1,5 mm. Gagang bunga bersisik sebanyak 5 hingga
7 buah. Bunga berwarna hijau kekuningan. Bibir bunga dan kepala putik
ungu. Tangkai putik berjumlah dua (Hatta, 2016).

1
2

Jahe merah merupakan tanaman obat yang telah lama dikenal dan
dimanfaatkan dalam masyarakat. Baik dimanfaatkan dalam bentuk segar
sebagai bumbu aneka jenis masakan, bahan pembuatan minuman herbal
maupun bahan pembuatan jamu. Sebagian besar manfaat rimpang jahe sudah
terbukti secara secara turun-menurun. Secara tradisional jahe digunakan
untuk menyembuhkan beberapa penyakit, seperti kurang nafsu makan, kepala
pusing, encok, batuk kering, masuk angin, dan lain-lain (Setyawan, 2015).
Jahe merah mengandung beberapa senyawa berupa flavonoid, fenolik
utama, minyak atsiri , terpenoid (Anwar, 2016). Sesuai dengan penelitian (Jie,
2018) jahe merah juga mengandung senyawa tanin yang bersifat sebagai anti
jamur sehingga dapat menghambat dan membunuh pertumbuhan jamur
Candida albicans. Rimpang jahe merah digunakanoleh masyarakat
Kalimantan Barat tepatnya di Desa Setutuk Kecamatan Menjalin Kabupaten
Landak sebagai salah satu bahan obat untuk penyakit rematik dan encok
dengan cara rimpang jahe merah dibakar , dicuci serta diparut kemudian
ditempelkan pada bagian yang sakit.
Kondisi lingkungan di Indonesia yang beriklim tropis mempunyai
daya dukung yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan
mikroorganisme, baik yang menguntungkan dan merugikan. Salah satu
mikroorganisme yang merugikan adalah jamur yang tumbuh dengan baik
pada keadaan lembab. Jamur akan tumbuh dibagian-bagian tubuh tertentu
pada manusia dan akan menimbulkan penyakit, salah satunya adalah Tinea
pedis. Penyakit ini disebabkan jamur Dermatophyta terutama Trichophyton
rubrum, dan Trichophyton mentagrophytes, namun penyebab tersering yaitu
Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton
floscosum yang menyerang bagian kulit, kuku maupun rambut. Penyakit ini
merupakan penyakit infeksi Dermatophyta yang sering terjadi (Khusnul et al.,
2018).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zainal Arifin dengan
judul Aktifitas Antimikroba Ekstrak Etanol Jahe Merah (Zingiber officinale
var. Rubrum) terhadap staphylococcus aureus, E. coli dan candida albicans
dengan KBM masing-masing sebesar 5%, 3%, 5%.
3

Dengan dasar tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan


penelitian tentang Efektifitas Konsentrasi Ekstrak Metanol Rimpang Jahe
Merah Terhadap Pertumbuhan Jamur Tricophyton Rubrum dengan
Metode Difusi sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa
besar efektivitas ekstrak jahe merah (Zingiber officinale var. Rubrum)
terhadap pertumbuhan jamur tricophyton rubrum yang telah dikembangkan di
dalam medium PDA (Potato Dextrose Agar) kemudian di inkubasi selama 96
jam. Dengan harapan dapat diketahui pula konsentrasi efektifnya dalam
menghambat pertumbuhan jamur Tricophyton rubrum dengan metode difusi
menggunakan kertas cakram.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah adalah “Seberapa besar
efektifitas ekstrak metanol rimpang jahe merah (zingiber officinale var.
Rubrum) terhadap pertumbuhan jamur tricophyton rubrum dengan metode
difusi.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui seberapa besar efektifitas konsentrasi ekstrak
metanol rimpang jahe merah (Zingiber officinale var. Rubrum) terhadap
pertumbuhan jamur Tricophyton rubrum dengan metode difusi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui efektifitas konsentrasi ekstrak metanol jahe merah
(zingiber officinale var. Rubrum) 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%,
35%, 40%, 45%, 50%terhadap pertumbuhan jamur Tricophyton rubrum
dengan metode difusi.
b. Untuk mengetahui konsentrasi efektif dari ekstrak metanol jahe merah
(zingiber officinale var. Rubrum) yang dapat menghambat jamur
Tricophyton rubrum.
4

c. Menganalisis efektifitas konsentrasi ekstrak metanol rimpang jahe


merah (zingiber officinale var. Rubrum) terhadap pertumbuhan jamur
Tricophyton rubrum.

D. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini hanya membahas tentang Aktifitas Konsentrasi Ektrak
Metanol Rimpang Jahe Merah Terhadap Pertumbuhan Jamur Tricophyton
Rubrum dengan Metode Difusi dengan variasi konsentrasi 5%, 10%, 15%,
20%, 25, 30%, 35%, 40%, 45%, dan 50%.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis tentang manfaat
ekstrak metanol rimpang jahe merah (zingiber officinale var. Rubrum)
terhadap pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum.
2. Bagi Institusi
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam
peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan sebagai bahan
tambahan kepustakaan mahasiswa/i Politeknik Kesehatan Jurusan
Analis Kesehatan Pontianak.
b. Penelitian ini menambah jumlah dan jenis penelitian di Jurusan Analis
Kesehatan Pontianak.
3. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi dan tambahan ilmu pengetahuan kepada
masyarakat sebagai dasar ilmiah penggunaan ekstrak metanol rimpang
jahe merah (zingiber officinale var. Rubrum) dapat menjadi obat alternatif
untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh jamur tricophyton
rubrum seperti penyakit kuku, kulit dan rambut.
5

F. Keaslian Penelitian
Berdasarkan telaah literatur yang ada, penelitian yang dilakukan
penulis belum pernah ada sebelumnya. Penelitian – penelitian yang pernah
dilakukan seperti tersaji pada Tabel 1.1
Table 1.1 Penelitian yang Telah Dilakukan
Jenis
Penulis/Tahun JudulPenelitian Hasil Penelitian
Penelitian
Ika Trisharyanti Aktivitas Antimikroba Eksperimental Ekstrak etanol jahe
Dian Kusumowati, Ekstrak Etanol Jahe merah mempunyai
Zainal Arifin dan Merah (zingiber aktivitas antimikroba
Rosita Melannisa officinale var rubrum) terhadap staphylococcus
Terhadap aureus, Escherichia
Staphylococcus, coli, dan Candida
Escherichia coli, dan albiicans dengan kadar
Candida albicans. Butuh Minimum (KBM)
masing-masing sebesar
5%, 3% dan 5%. Hasil
skrining fitokimia
menunjukkan ekstrak
etanol jahe merah
mengandung senyawa
saponin, flavonoid,
polifenol dan minyak
atsiri.
Penelitian yang dilakukan disini berbeda dengan penelitian di atas
dalam hal lokasi, jamur yang digunakan, waktu penelitian dan terutama
pendekatan penelitian, yaitu dalam penelitian ini menitikberatkan pada uji
efektivitas antijamur yang secara khusus menggunakan pelarut methanol pada
ekstraksi rimpang jahe merah.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Jahe Merah (zingiber officinale var. Rubrum)


Tanaman jahe merupakan terna (tanaman yang batangnya lunak
karena tidak membentuk kayu) (Pramudyo, 2018). Tanaman jahe merupakan
salah satu temu-temuan. Tanaman ini mempunyai banyak kegunaan antara
lain sebagai ramu-ramuan dan rempah-rempah, dan lain-lain. Jahe berasal
dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina. Jahe merupakan
tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Jahe termasuk
dalam suku temu-temuan (zingiberaceae) (Anwar, 2016).

Gambar 2.1 Tanaman jahe merah(zingiber officinale var rubrum)


1. Klasifikasi Tanaman Jahe Merah(zingiber officinale var rubrum)
Klasifikasi tanaman dari jahe merah (zingiber officinale var
rubrum) sebagai berikut:
Devisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Musales
Family : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Spesies : zingiber (Putra, 2015).
2. Nama Daerah Tanaman Jahe Merah (zingiber officinale var. rubrum)
Tanaman Jahe Merah memiliki berbagai macam nama daerah
antara lain: halia (Sumatra dan Aceh); beuing (Gayo); bahing (Karo);
pege (Toba); sipode (Mandailing); lahia (Nias); sipodeh (Minangkabau);
page (Lubu); jahi (Lampung); jahe (Jawa sunda); jae (Jawa); jai

6
7

(Madura); jae (Kangean, Bali, dan Nusa Tenggara); layu (Sulawesi);


moyuman (Poros); melito (Gorontalo); yuyo (Buol); siwei (baree); laia
(Makassar); pace (Bugis); reja (Bima); alia (Sumba); lea (Flores); lai
(Kalimantan); tipakan (Banjarmasin); hairalo (Maluku); pussu, seeiabdan
seha (Ambon); sehil ( Hila); sehil (Nusa Laut); siwew (Buns); garaka
(Ternate); gora (tidore); laian (Aru); tali (Papua) (Pramudyo, 2018).
Nama asing Tanaman Jahe Merah (zingiber officinale var.
Rubrum)antara lain: halia, haliya padi, haliya udang (Malaysia); luy,
allam (Filipina); adu, ale, ada (India); sanyabil (Arab); chiang p’i, khan
ciang, kiang, sheng chiang (Cina); gember (Belanda); ginger (Inggris);
dan gingembre, herbe au giingembre (Prancis) (Anwar, 2016).
3. Morfologi Tanaman Jahe Merah (zingiber officinale var. rubrum)
a. Akar Tanaman Jahe Merah (zingiber officinale var. rubrum)
Akar merupakan bagian terpenting dari tanaman jahe. Pada
bagian ini tumbuhan tunas-tunas baru yang kelak akan menjadi
tanaman.Akar pada jahe merupakan akar serabut. Akar-akarnya
tumbuh pada rimpang, yang merupakan modifikasi dari batang. Akar-
akar tersebut juga memiliki bagian-bagian berupa leher akar, batang
akar dan tudung akar (Anwar, 2016).

Gambar 2.2 AkarTanaman Jahe Merah (zingiber officinale var. rubrum)


b. Batang Tanaman Jahe Merah (zingiber officinale var. rubrum)
Batang pada tanaman jahe merupakan batang semu yang
tumbuh agak tegak lurus, berbentuk bulat pipih, tidak bercabang
tersusun atas seludang-seludang dan pelepah daun yang saling
menutup sehingga membentuk batang. Bagian luar batang berlilin
dan mengilap, serta mengandung banyak air/succulent, berwarna
hijau pucat, bagian pangkal biasanya berwarna kemerahan. Bagian
8

batang yang terdapat didalam tanah, berdaging, bernas, berbuku-buku


dan strukturnya bercabang (Anwar, 2016).

Gambar 2.3 Batang Tanaman Jahe Merah (zingiber officinale var.


rubrum)
c. Daun Tanaman Jahe Merah (zingiber officinale var. rubrum)
Daun jahe berwarna hijau dan berbentuk lonjong lancip
menyerupai daun rumput yang besar. Panjang daunnya 15-23 cm dan
lebar 0,8-2,5 cm. Daun itu sebelah menyebelah berselingan dengan
tulang daun sejajar sebagaimana tanaman monokotil yang lainnya.
Daun jahe termasuk daun tunggal. Ujung daun runcing, pangkal
daun tumpul, dan tepinya rata sedangkan permukaan daunnya halus
dan licin. Daun jahe termasuk daun lengkap karena memiliki bagian-
bagian berupa helaian, tangkai, dan upih daun. Tangkainya berbulu
atau gundul (Anwar, 2016).

Gambar 2.4 Daun Tanaman Jahe Merah (zingiber officinale


var. rubrum).

d. Rimpang Tanaman Jahe Merah (zingiber officinale var. rubrum)


9

Rimpang jahe bercabang-cabang tidak teratur dengan daging


berwarna merah atau jingga muda, berukuran kecil dan memiliki
serat yang kasar (Anwar, 2016).

Gambar 2.5 Rimpang Tanaman Jahe Merah (zingiber


officinale var. rubrum)
e. Bunga tanaman Jahe Merah(zingiber officinale var. rubrum)
Bunga pada tanaman jahe terletak pada ketiak daun pelindung.
Bentuk bunga bervariasi : panjang, bulat telur, lonjong, runcing, atau
tumpul. Bunga berukuran panjang 2-2,5 cm dan lebar 1-1,5 cm.
Bunga jahe panjang 30 cm berbentuk spika, bunga berwarna putih
kekuningan dengan bercak-bercak ungu merah. Bunga pada jahe
beupa malai tanaman dari dalam tanah berbentuk bulat telur. Bunga
termasuk dala bunga majemuk tunggal. Mahkota bunga berbentuk
tabung, helaiannya agak sempit, berwarna hijau kekuningan dan
jumlah daun mahkotanya adalah tiga buah saling berlekatan pada
bagian bawahnya. Daun kelopaknya berjumlah tiga buah. Termasuk
bunga sempurna karena mempunyai 2 kelamin. Mempunyai 1 benang
sari dan 3 putik bunga yang saling berlepasan, bakal buahnya
tenggelam (Anwar, 2016).
10

Gambar 2.6 Bunga Tanaman Jahe Merah (zingiber officinale var.


rubrum)
4. Kandungan Senyawa Kimia Tanaman Jahe Merah (zingiber
officinale var. rubrum)
Jahe tersusun atas ratusan senyawa kimia aktif. Masing-masing
tersebut diketahui memiliki khasiat tertentu bagi tubuh. rimpang jahe
mengandung phenol, zingiberene, shogol dan minyak atsiri. selain itu
juga terdapat zat aktif berupa mineral sineol, fallandren, minyak damar,
kamfer, zingiberin, borneol, zingiberol, gigerol, asam aminos, zingeron,
vitamin A, B1, C, lipidas, protein, dan niacin serta terdapat kandungan
senyawa metabolit sekunder lainnya dalam tanaman jahe yakni,
flavonoid, fenolik utama, minyak atsiri dan terpenoid yang mengandung
senyawa bioaktif berguna menghambat pertumbuhan antimikroba
(Anwar, 2016). penelitian (Jie, 2018) jahe merah juga mengandung
senyawa tanin yang bersifat sebagai anti jamur sehingga dapat
menghambat dan membunuh pertumbuhan jamur Candida albicans.
5. Kegunaan Tanaman Jahe Merah (Zingiber officinale var. rubrum)
Bagian yang digunakan dalam tanaman jahe merah adalah
rimpangnya. Jahe diketahui memiliki manfaat sebagai aktivitas
antialkohol, antialergi, antimikroba, antitusif, antikanker, antidepresan,
antiremetik, anti-inflamasi, antinarkotik (Prapti utami dkk, 2013).
Mengatasi kanker, luka bakar, menurunkan kadar kolestrol, rematik,
tukak lambung, anti depresi hingga impotensianti radang, anti muntah,
(Setiawan, 2015). Mengatasi perut kembung serta digunakan sebagai
obat luar untuk mengatasi luka atau gatal-gatal (Gendrowati, 2018).
11

Menghilangkan sakit kepala, mengatasi batuk dan demam


(Pramudyo, 2018). Secara tradisional digunakan sebagai obat encok,
kurang nafsu makan (Santoso, 2017). Serta mengobati penyakit diare,
asma cacingan dan mengurangi kejang usus (Astawan, 2016).
6. Mekanisme Aktivitas Antijamur RimpangJahe merah (Zingiber
officinale var. rubrum)
Rimpang Jahe Merah (zingiber oficinale var. Rubrum) memiliki
senyawa antijamur dengan berbagai mekanisme penghambatan terhadap
sel jamur. Senyawa antijamur memiliki mekanisme kerja dengan cara
menetralisasi enzim yang terkait dalam invasi jamur, merusak membran
sel jamur, menghambat system enzim jamur sehingga mengganggu
terbentuknya ujung hifa dan mempengaruhi sintesis asam nukleat dan
protein. Salah satu kandungan senyawa kimia rimpang jahe merah yaitu
flavonoid, tanin, terpenoid dan fenol (Jie, 2018).

B. Ekstraksi
Ekstrak adalah hasil proses ekstraksi atau penyarian suatu matriks atau
simplisia dalam bentuk sediaan cair, kental atau kering menurut cara yang
sesuai. Ekstrak cair diperoleh dari ekstraksi yang masih mengandung sebagian
besar penyari. Ekstrak kental akan didapat apabila sebagian besar dari cairan
penyari sudah diuapkan. Ekstrak kering akan diperoleh apabila sudah tidak
mengandung cairan penyari (Hanani, 2017).
Ekstraksi merupakan proses pemisahan senyawa dari simplisia dengan
menggunakan pelarut. Terdapat beberapa istilah dalam ekstraksi, antara lain
ekstraktan (pelarut yang digunakan untuk ekstraksi), rafinat (larutan senyawa
atau bahan yang akan diekstraksi), dan linarut (senyawa atau zat yang
diinginkan dalam rafinat). Metode yang akan digunakan pada senyawa yang
akan diekstraksi tergantung pada jenis, sifat fisik, dan sifat kimia yang
terkandung dalam simplisia. Pelarut yang digunakan tergantung pada sifat
polaritas senyawa yang akan diekstrak, polar atau nonpolar (Endang Hanani,
2017).
12

Ada berbagai cara ekstraksi, masing-masing cara tersebut memiliki


kelebihan dan kekurangannya. Pemilihan metode perlu diperhatikan sifat
senyawanya, pelarut yang digunakan, dan alat yang tersedia. Beberapa metode
ekstraksi yang umum digunakan, yaitu (Endang Hanani, 2017) :
1. Maserasi.
Maserasi adalah ekstraksi dengan cara merendam simplisia
dalam pelarut pada suhu kamar sehingga kerusakan atau degradasi
metabolit dapat diminimalisasi. Pada maserasi, terjadi proses
keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel
sehingga diperlukan penggantian pelarut secara berulang (Endang
Hanani, 2017).
2. Perkolasi
Perkolasi adalah cara ekstraksi simplisia menggunakan pelarut
yang selalu baru, dengan mengalirkan pelarut melalui simplisia hingga
senyawa tersari sempurna. Cara ini memerlukan waktu yang lebih lama
dan pelarut yang lebih banyak (Endang Hanani, 2017).
3. Refluks
Refluks adalah cara ekstraksi dengan pelarut pada suhu titik
didihnya dengan lama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relative konstan dengan adanya pendingin balik. Agar hasil penyaringan
lebih baik atau sempurna, refluks dilakukan berulang-ulang (3-6 kali)
terhadap residu pertama (Endang Hanani, 2017).
4. Soxhletasi
Soxhletasi adalah cara ekstraksi menggunakan pelarut organik
pada suhu didih dengan alat soxhlet. Simplisia dan ekstrak berada di
labu yang berbeda pada soxhletasi. Pemanasan akan mengakibatkan
pelarut menguap dan uap masuk ke dalam labu pendingin. Hasil
kondensasi jatuh di bagian simplisia sehingga ekstraksi berlangsung
terus-menerus dengan jumlah pelarut relative konstan (Endang Hanani,
2017).
13

5. Infusa
Infusa adalah cara ekstraksi dengan menggunakan pelarut air
pada suhu 96-98oC selama 15-20 menit, dihitung mulai setelah
mencapai suhu 96oC. benjana infusa tercelup dalam tangas air. Cara ini
sesuai untuk simplisia yang bersifat lunak (Endang Hanani, 2017).
6. Dekok
Dekok adalah cara ekstraksi yang mirip dengan infusa, hanya
saja waktu ekstraksinya lebih lama yaitu 30 menit dan suhunya
mencapai titik didih air (Endang Hanani, 2017).
7. Destilasi (Penyulingan)
Destilasi merupakan cara ekstraksi untuk menarik atau menyari
senyawa yang ikut menguap dengan air sebagai pelarut. Pada proses
pendinginan, senyawa dan uap air akan terkondensasi dan terpisah
menjadi destilat air dan senyawa yang diekstraksi. Cara ini digunakan
untuk menyari minyak atsiri dari tumbuhan (Endang Hanani, 2017).

C. Jamur (Fungi)
Jamur/fungi adalah organisme mikro dan ada juga yang makro yang
terdapat dimana-mana dibumi. Ada bermacam kelompok fungi menurut
lingkungan hidupnya antara lain yaitu : fungi hutan mangrove, fungi akuatik,
fungi laut, fungi lingkungan udara. Namun demikian disini yang akan dibahas
adalah fungi yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia yang bisa
ditemukan disemua lingkungan atau habitat tersebut di atas (Misnadiarly &
Djajaningrat, 2014).
Jamur terbagi menjadi 4 kelas jamur sejati (true or filamentous fungi)
dalam Kingdom Fungi yaitu :
1. Phycomycetes.
2. Ascomycetes.
3. Basidiomycetes.
4. Deuteromycete
Mikologi (mykes dan logos) adalah ilmu yang mepelajari tentang jamur.
Jamur merupakan organisme protista eukariotik, kemoheterotrof, reproduksi
14

secara seksual dan atau aseksual, struktur vegetatif berupa filamen atau bersel
tunggal (Harti, 2015).
1. Sifat umum
a. Termasuk protista eukariotik.
b. Kemoorganotrof dan kemoheterotof.
c. Parasit atau saprofit.
d. Struktur vegetatif berupa uniselular (yeast/khamir) atau multiselular
atau berfilamen (molds atau kapang, cendawan)
e. Reproduksi seksual/aseksual (Harti, 2015).
2. Karakteristik jamur
a. Yeast (khamir)
Memiliki sifat uniselular: nonfilamentous, dapat membentuk
pseudohifa; bentuk oval atau spheris. Umumnya nonmotil.
Reproduksi dengan pembelahan/fission dan seksual. Fakultatif
anaerob; bila ada O2 mampu melakukan respirasi aerob atau
metabolisme karbohidrat menjadi CO2 dan H2O. Bila tidak ada O2
mampu melakuan fermentasi karbohidrat menghasilkan etanol dan
CO2 (Harti).
b. Kapang atau molds
Sifat multiselular reproduksi seksual atau aseksual. Struktur
vegetatif berfilamen atau benang disebut hifa. Kumpulan hifa disebut
miselium.
Macam atau tipe hifa adalah :
1) Hifa nonsepta (coenocytic) merupakan hifa tidak bersepta.
2) Hifa bersepta (acoenocytic) uninukleat (1 inti) aatau multinukleat
(banyak inti)
3) Hifa vegetative merupakan hifa yang berpungsi untuk nutrisi
4) Hifa reproduktif atau aerial hifa, merupakan hifa yang berpungsi
untuk reproduksi atau pembentuka spora
5) Pseudohifa merupakan hifa yang membentuk kuncup (Harti,
2015).
15

c. Dimorfik
Memiliki dua bentuk pada pertumbuhannya, yaitu pada kapang
membentuk hifa vegetatif dan aerial hifa, sedangkan pada khamir
membentuk kuncup. Banyak terdapat pada jamur pathogen, dapat
dipengaruhi oleh suhu, pada suhu 37oC sebagai bentuk khamir dan
pada 25oC sebagai bentuk kapang (Harti, 2015).
d. Cendawan
Adalah jamur tingkat tinggi dan tersusun sebagai talus; umumnya
makroskopis; dan dapat menghasikan mikotoksin (Harti, 2015).
3. Reproduksi Jamur
Terdapat dua macam cara reproduksi yaitu (Harti, 2015) :
a. Aseksual merupakan reproduksi secara fission atau pembelahan,
budding/kuncup atau pembentukan spora aseksual.
b. Seksual merupaka reproduksi secara fusi atau peleburan nuklesu dari
2 sel gamet induk dan menghasilkan spora seksual.
Adanya reproduksi secara seksual dan aseksual maka jamur
mempunyai siklus hidup. Jamur yang menghasilkan spora seksual dan
aseksual disebut teleomorphs, sedangkan jamur yang menghasilkan spora
aseksual saja disebut anamorphs.
Macam-macam spora aseksual yaitu :
a. Conidiospora/conidia (tunggal : conidium).
b. Sporangiospora, yaitu spora yang dibentuk dalam sporangium.
c. Oidia (tunggal : oidium) atau arthrospora, yaitu spora hasil
fragmentasi hifa.
d. Klamidospora, yaitu spora aseksual berdinding tebal.
e. Blastospora, yaitu spora hasil pembentukan secara kuncup
Macam-macam spora seksual :
a. Ascospora, yaitu spora bersel satu yang dibentuk dari ascus dan dalam
setiap ascus terdapat satu atau beberapa ascospora.
b. Basidiospora, yaitu spora bersel satu yang di atas struktur berbentuk
gada yang disebut basidium.
16

c. Zygospora, yaitu spora besar berdinding tebal yang terbentuk dari


ujung-ujung dua hifa yang serasi yang disebut gametangia.
d. Oospora, yaitu spora hasil terbentuk dari pertemuan antara gamet
betina (oogonium) dan gamet jantan (anteridium) sehingga akan
terjadi pembuahan (oosfer) sehingga menghasilkan oospora.
4. Fisiologi Jamur
a. Habitat jamur yaitu pada lingkungan kadar gula tinggi (osmofilik) dan
pH asam/asidofil.
b. Yeast bersifat fakultatif (aerob dan anaerob), kapang bersifat aerob.
c. Mempunyai kisaran suhu pertumbuhan yang luas : saprofit (22 –
30oC), pathogen (30 – 37oC).
d. Kemoheterotrof, umumnya membutuhkan kadar gula 4%.
e. Tumbuh baik pada substansi dengan kelembaban rendah.
f. Membutuhkan sumber dan lebih sedikit dibandingkan bakteri.
g. Mampu memetabolisme karbohidrat komplek seperti lignin (Harti,
2015).
5. Klasifikasi Jamur
Berdasarkan cara reproduksinya, jamur terbagi menjadi 2 kelompok :
a. Jamur perfect (perfect fungi), yaitu jamur melakukan reproduksi
secara aseksual dan seksual.
b. Jamur imperfect (imperfect fungi), yaitu jamur melakukan reproduksi
secara aseksual saja (Harti, 2015).
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur
Pada umumnya pertumbuhan fungi dipengaruhi oleh faktor
substrat, kelembapan, suhu, derajat keasaman substrat (pH) dan senyawa-
senyawa kimia dilingkungannya (Roosheroe et al., 2014).
a. Substrat
Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi fungi. Nutrien-
nutrien baru dapat dimanfaatkan sesudah fungi mengekskresi enzim-
enzim ekstraselular yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks
dari substrat tersebut menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana
(Roosheroe et al., 2014).
17

b. Kelembapan
Faktor ini sangat penting untuk pertumbuhan fungi. Dengan
mengetahui sifat-sifat fungi penyimpanan bahan pangan dan materi
lainnya dapat dicegah kerusakannya (Roosheroe et al., 2014).

c. Suhu
Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik untuk
pertumbuhan, suhu pertumbuhan suatu jamur adalah sangat penting,
terutama bila isolat-isolat tersebut akan digunakan di industri
(Roosheroe et al., 2014).
d. Derajat keasaman lingkungan
pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena
enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai substrat sesuai dengan
aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya fungi menyenangi pH
dibawah 7. Jenis-jenis tertentu bahkan tumbuh pada pH yang cukup
rendah, yaitu pH 4,5 - 5,5 (Roosheroe et al., 2014).

7. Mikosis, Mikotoksikosis dan Misetismus


a. Mikosis
Mikosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur, biasanya
infeksi bersifat kronis karena jamur tumbuh lambat. Terdapat 5
kelompok berdasarkan tingkat jaringan yang terlibat dan cara masuk
pada host yaitu mikosis :
1) Sistemik
Merupakan mikosis yang terjadi pada jumlah jaringan dan
organ, biasanya disebabakan oleh jamur geofilik (tanah), transmisi
melalui spora yang terinhalasi lalu ke paru-paru menyebar ke
jaringan tubuh laing (Harti, 2015).
2) Sub cutaneous
Merupakan mikosis yang terjadi dibawah kulit oleh jamur
saprofitik, geofilik dan tanaman, infeksi terjadi secara langsung
18

dengan implantasi spora atau fragmen miselia melalui luka pada


kulit (Harti, 2015).
3) Cutaneous = Dermatomycosis
Merupakan mikosis yang terjadi pada epidermis, rambut, dan
kuku. Disebabkan oleh jamur dermatophyta yang mensekresikan
keratinase dan Transmisi terjadi dari manusia (antrofilik) ke
manusia atau darin hewan (zoofilik) ke manusia secara kontak
langsung atau kontak dengan rambut yan terinfeksi dan sel
epidermis (Harti, 2015).
Ada tiga genus dari jamur dermatophyta, yaitu microsprum,
epidermophyton, dan trichophyton. Contoh mikosis adalah tinea
capitis, tinea manum, tinea pedis, tinea favosa, tinea barbae dan
tinea cruris (Harti, 2015)
4) Superficial
Merupakan mikosis pada batang rambut dan permukaan/
superfisialis, umumnya mikosis ini terjadi di iklim tropis.
Penyebab atau etiologi adalah jamur non dermatophyta. Contoh
mikosis yaitu: tinea axilaris, tinea versicolor/ panu, piedra hitam,
piedra putih, dan onichomycosis (Harti, 2015)
5) Opportunistic
Merupakan bersifat apatogen pada habitat normal, menjadi
pathogen bila ada factor predisposisi (terapi antibiotic sprektum
luas dalam jangka waktu lama, imunosupresive). Contoh mikosis :
Mucormycosis, Aspergillosis, Candidiasis (Harti, 2015)
b. Mikotoksikosis atau keracunan mikotoksin
Yaitu proses keracunan karena tertelannya mikotoksin (toksin
jamur) ekstraseluler. Contohnya: Aspergillus flavus penghasil
aflatoksin (Harti, 2015).
c. Misetismus
Yaitu proses yang terjadi akibat mengkonsumsi jamur dan toksin
jamur. Contohnya: Amanitus muscaria penghasil aminitin (Harti,
2015)
19

D. Trichophyton rubrum
1. Klasifikasi Trichophyton rubrum
Adapun sistematika klasifikasi Trichophyton rubrum adalah
sebagai berikut (Tonsurans, Folliculitis, Folliculitis, & Folliculitis, 2018):

Kingdom : Fungi
Devisi : Ascomycota
Class : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Family : Arthrodermatoceae
Genus : Trichophyton
Species : Trichophyton Rubrum

Gambar 2.5 Trichophyton rubrum


2. Karakteristik Trichophyton rubrum
Trichophyton rubrum dapat menginfeksi rambut, kulit dan kuku,
membentuk makrokondia silindris dengan dinding dinding tipis, halus,
club-shaped dengan 8-10 septum dengan ukuran 4 x 8 – 8 x 15 µm dan
mikrokonidia yang khas berbentuk bulat, piriform atau clavate dengan
ukuran 2-4 µm (Koes Irianto, 2014).
Trichophyton rubrum merupakan jamur yang paling umum
menjadi menyebabkan infeksi jamur kronis pada kulit dan kuku manusia.
Pertumbuhan koloninya dari lambat hingga menjadi cepat. Teksturnya
yang lunak, dari depan warnanya putih kekuning-kuningan (agak terang)
atau bisa juga merah violet. Kalau dilihat dari belakang tampak pucat,
kekuning-kuningan, coklat atau cokelat kemerahan. Meskipun
Trichophyton rubrum merupakan jamur yang paling umum terdeteksi
20

menjadi dermatophytes (jamur parasit-mycosis-yang menginfeksi kulit)/


dan menyebabkan jamur kuku tangan (Tonsurans et al., 2018).
3. Habitat
Trichophyton rubrum merupakan jamur dermatofita. Berdasarkan
habitatnya dermatofita dikelompokan menjadi tiga yaitu Geofilik (tanah),
Zoofilik (hewan) dan Antropofilik (manusia). Trichophyton rubrum
termasuk dalam katagori jamur Antropofilik, yang dapat menyebabkan
infeksi ringan atau kronis dan sulit sembuh (Irianto, 2014).
4. Patogenesis
Trichophyton rubrum merupakan jamur penyebab Tinea (capitis, barbae,
cruris, pedis, corporis, dan unguium). Jamur ini bersifat dermatophytes
antrofilik, infeksi rambut, kulit dan kuku (Jawets et al., 2016).
a. Tinea kapitis (kulit dan rambut kepala)
Lebih jarang dijumpai di sini. Diagnosis mudah ditegakan
tampak ada daerah seolah-olah botak dikepala, tetapi bila
diperhatikan dengan seksama, maka tampak adanya rambut yang
terputus. Kadang-kadang pada kulit kepala teraba ada infiltrat
(kerian) (Irianto, 2014).
b. Tinea Barbae (dagu dan jenggot)
Mikosis ini agak jarang dilihat. Biasanya asimetris dan
rambutnya mudah dicabut (Irianto, 2014).
c. Tinea Kruris (bokong, genitali, area pubis)
Dermatofitosis kulit tak berambut sering sekali memunculkan
lesi kurap berbentuk cincin, dengan area tengah yang jernih dan
berskuama dikelilingi tepi kemerahan yang meluas dan dapat kering
atau vesikular. Dermatofit tumbuh hanya di dalam jaringan
berkeratin yang sudah mati, tetapi metabolit, enzim, dan antigen
jamur berdifusi melalui lapisan epidermis yang viabel sehingga
menyebabkan eritema, pembentukan vesikel, dan pruritus. Jika
infeksi terjadi di daerah selangkangan, ini di namakan tinea kruris.
Kebanyak infeksi seperti ini menyerang kaum lelaki dan muncul
21

sebagai lesi kering dan gatal yang sering bermula di skrotum dan
menyebar hingga ke selangkangan (Jawets et al., 2016).
d. Tinea Pedis (kaki)
Dermatofitosis yang paling banyak dijumpai. Penyakit ini
biasanya muncul sebagai infeksi kronis sela-sela jari kaki. Ragam
lainnya adalah tipe vesikular, ulseratif, dan mokasin, dengan
hiperkeratosis telapak kaki. Awalnya, ada rasa gatal di antara jari
kaki dan timbul vesikel-vesikel kecil yang pecah dan mengeluarkan
cairan encer. Kulit di sela-sela jari kaki mengalami maserasi dan
terkelupas, serta muncul retakan kulit yang rentan mengalami infeksi
bakteri sekunder. Jika infeksi jamur menjadi kronis, pengelupasan
dan keretakan kulit merupakan manifestasi utamanya, disertai nyeri
dan pruritus (Jawets et al., 2016).
e. Tinea Unguium (kuku jari tangan dan kuku jari kaki)
Infeksi kuku dapat terjadi setelah tinea pedis yang
berkepanjangan. Dengan invasi hifa, kuku menjadi kuning, rapuh,
menebal, dan mudah rontok. Infeksi dapat mengenai satu atau lebih
kuku kaki atau tangan (Jawets et al., 2016).
f. Tinea Korporis (pada permukaan kulit kecuali telapak tangan serta
kaki dan bokong)
Kita lihat ada plaque yang berbatas jelas, sirsiner dan ditengah
terdapat daerah penyembuhan. Menurut pengalaman yang sangat
penting untuk diagnosis ialah distribuasi dari lesi. Biasanya unilateral
dan bila bilateral asimetris. Tetapi terutama pada yang unilateral dan
dan soliter perlu sekali diadakan pemeriksaan sensibilitas (Irianto,
2014).

E. Antijamur
Antijamur merupakan senyawa kimia yang dapat menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroba (Waluyo & Kusuma, 2017). Zat yang
tercantum di dalam antijamur adalah untuk pengobatan infeksi kulit yang
disebabkan oleh jamur yang paling umum dari tindakan agen-agen antijamur
22

adalah mengganggu jamurs untuk membangun didnding selnya dengan


produksi zat yang dibutuhkan. Akibatnya, dinding sel mengembangkan
lubang yang menghentikan pertumbuhan jamur dan akhirnya menyebabkan
kematian. Antijamur dapat diterapkan dalam bentuk larutan, krim, sampo,
bedak, atau bentuk lain, tergantung pada daerah yang akan dirawat. Ada
kombinasi zat yang mengandung kortikosteroid atau antibiotik di samping ke
antijamur. Ini digunakan dalam kasus-kasus dimana ada jamur dan bakteri
infeksi, dan infeksi jamur telah menyebabkan peradangan parah pada kulit,
untuk menggunakan dari bahan yang mengandung steroid mungkin
dianjurkan (Maharani, 2015).
1. Jenis Antijamur
a. Antijamur Topikal
Obat antijamur topikal digunakan untuk pengobatan infeksi
lokal pada kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous skin), namun
kurang efektif untuk pengobatan infeksi pada kulit kepala dan kuku,
infeksi pada tubuh yang kronik dan luas, infeksi pada stratum korneum
yang tebal seperti telapak tangan dan kaki. Efek samping yang dapat
ditimbulkan oleh obat antijamur topikal lebih sedikit dibandingkan
obat antijamur sistemik.
Jenis golongan obat antijamur topikal yang sering digunakan
yaitu (Kamienski & Keogh, 2015) :
1) Poliene, termasuk amfoterisin B dan Nistatin.
2) Azole-Imidazol meliputi krtokonazo, mikonazol dan klotrimazol.
3) Antimetabolik antijamur flusitosin.
4) Agen antiprotozoa.
b. Antijamur Sistemik
Pemberian obat antijamur sistemik digunakan untuk pengobatan
infeksi jamur superfisial dan sistemik (deep mikosis), obat-obat
tersebut yaitu (Ritiasa, Hamid, Rekso, Karniani, & Astuti, 2015)
1) Amfoterisin B
2) Griseofulvin
3) Itrakonazol
23

4) Ketokonazol
5) Flukonazol
6) Vorikonazol
7) Terbinafin
8) Nystatin
2. Uji Aktivitas Antijamur
Penentuan kerentanan suatu pathogen mikroba terhadap obat anti
mikroba dapat dilakukan dengan salah satu diantara dua metode utama
yaitu dilusi dan difusi. Dengan menggunakan organisme tes standar yang
sesuai dan sampel obat yang diketahui sebagai pembanding, metode-
metode tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan potensi antibiotik
dalam sampel atau kerentanan mikroorganisme (Brooks, Carroll, Butel,
Morse, & Mietzner, 2013).
a. Metode Dilusi
Substansi mikroba dalam kadar bertingkat dicampurkan ke
dalam medium mikrobiologis solid atau cair. Biasanya digunakan
substansi antimikroba dengan pengenceran dua kali lipat. Medium
kemudian diinokulasi dengan bakteri penguji dan diinkubasi. Titik
akhir yang diambil adalah jumlah substansi antimikroba yang
diperlukan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri
penguji. Uji sensitivitas dilusi agar memakan banyak waktu, dan
penggunaan mereka dibatasi hanya pada kondisi khusus. Uji dilusi
kaldu tidak praktisdan hanya digunakan jika dilusi dilakukan dalam
tabung uji. Keuntungan uji dilusi adalah dilaporkannya hasil
kuantitatif yang menunjukkan jumlah obat tertentu yang diperlukan
untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme yang diuji
(Brooks et al., 2013).
24

b. Metode Difusi
Metode difusi ini dibagi atas beberapa cara sebagai berikut:
1) Metode disc diffusion (Kirby Bauer)
Metode yang paling banyak digunakan uji difusi cakram.
Cakram kertas saring yang mengandung obat dalam jumlah
tertentu ditempatkan pada permukaan medium padat yang
sebelumnya telah diinokulasi dengan bakteri uji pada
permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona inhibisi yang
jernih yang mengelilingi cakram diukur sebagai ukuran
kekuatan inhibisi obat terhadap organisme uji tersebut. Metode
ini dipengaruhi oleh banyak faktor fisik dan kimiawi, disamping
interaksi sederhana antara obat dan organisme (yaitu sifat
medium, kemampuan difusi, ukuran molekular dan kestabilan
obat). Bagaimanapun juga tetap memungkinkan penentuan
kerentanan organisme (Brooks et al., 2013).
Diameter zona hambat dihitung dalam satuan milimeter
(mm) menggunakan penggaris. Interpretasi hasil berdasarkan
acuan tabel interpretasi zona hambat menurut CLSI (Anggita,
Abdi, & Desiani, 2018):
a) Diameter zona hambat ≥20 mm atau lebih artinya sensitif.
b) Diameter zona hambat 15-19 mm artinya intermediet.
c) Diameter zona hambat ≤14 mm artinya resisten.
2) Metode Well Diffusion (Sumuran)
Metode ini digunakan secara luas untuk mengevaluasi
aktivitas antimikroba pada tanaman. Prosedur metode sumuran
sama seperti metode difusi cakram. Permukaan agar
diinokulasikan dengan cara menyebarkan inoculum mikroba
diseluruh permukaan agar kemudian dilubangi dengan diameter
6-8 mm lalu dimasukkan agen antimikroba atau larutan ekstrak
dengan konsentrasi yang diinginkan (Balouiri, Sadiki, &
Ibnsouda, 2016).
25

3. Faktor- faktor yang mempengaruhi aktifitas anti jamur


Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil tes yaitu : (Jawetz,
Melnick, & Adelberg, 2014)
a. pH lingkungan
Beberapa obat lebih aktif pada pH asam (misalnya,
nitrofurantoin) pada pH basa (misalnya, aminoglikosida).
b. Komponen medium
Sodium polyanethol sulfonate (dalam medium biakan darah)
dan deterjen anionik lainnya menghambat amino glikosida. Protein
serum meningkat penisilin, dalam derajat yang berbeda-beda,
berkisar dari 40% untuk metisilin hingga 98% untuk dikloksasilin.
c. Stabilitas obat
Pada suhu inkubator, beberapa agen antimikroba kehilangan
aktivitasnya. Penisilin mengalami inaktivasi secara lambat,
sedangkan amino glikosida dan siproflaksasin cukup stabil untuk
periode yang lama.
d. Ukuran inokulum
Pada umumnya, semakin besar inokulum bakteri, semakin
rendah “kerentanan” bakteri tersebut. Populasi besar bakteri lebih
lambat dan kurang sempurna dibandingkan pada populasi yang kecil.
Selain itu, mutan resisten lebih mungkin muncul pada populasi yang
besar.
e. Lama inkubasi
Pada banyak keadaan, mikroorganisme tidak dimatikan, tetapi
hanya dihambat pada pajanan singkat terhadap terhadap agen
antimikroba.

F. Ketokonazol
Antijamur azol merupakan senyawa sintetik dengan aktivitas spectrum
yang luas, yang diklasifikasikan sebagai imidazol (ketokonazol, mikonazol,
bifonazol,, klotrimazol, ekonazol) atau triazol (itrakonazol dan flukonazol)
yang tergantung pada jumlah kandungan atom nitrogennya 92 atau 3 atom N).
26

Ketokonazol berbentuk Kristal denagan titik leleh 146°. Senyawa ini praktisss
tidak larut dalam air, larut dalam etanol, kloroform, methanol dan sangat
sedikit larut dalam eter (Rohman, 2018).
Ketokonazol merupakan obat antifungi sistemik pertama yang
bersprektum luas. Ketokonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang
bersifat lipofilik dan larut dalam air pada pH asam. Kotekonazol bekerja
dengan cara berinteraksi dengan C-14 - demetilase (enzim P- 450
sitokorom) untuk menghambat dimetilasai lanosterol menjadi ergosterol yang
merupakan sterol penting untuk membran jamur. Penghambatan ini
mengganggu fungsi membran dan meningkatkan permeabilitas. Pemakaian
ketokonazol belum ditemukan adanya resistensi sehingga obat ini sangat
efektif dalam pengobatan jamur. Keunggulan ketokonazol sebagai obat
berspektrum luas, tidak resisten, efek samping minimal dan harganya yang
terjangkau maka obat ini paling banyak dipergunakan dalam pengobatan
antifungi.
27

G. Kerangka Teori

Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale var. Rubrum) indicum)

Akar Batang Daun Rimpang Bunga

Ekstrak

Flavonoid

Jamur Tricophyton rubrum

Uji Aktivitas Antijamur

Metode Dilusi Metode Difusi

Difusi Cakram Metode Sumuran

Gambar 2.9 Kerangka Teori Efektivitas Konsentarasi Ekstrak


Metanol Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale var.
rumbum) Terhadap Pertumbuhan Jamur Tricophyton
rubrum Dengan Metode Difusi.
28

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kerangka Konsep

VARIABEL BEBAS VARIABELTERIKAT


Ekstrak Rimpang Jahe Zona hambatan terhadap
Merah (Zingiber jamur Trichophyton
officinale var. Rubrum) rubrum

VARIABEL PENGGANGGU(*)
1. pH *
2. Suhu*
3. Lama perendaman cakram disc*

Keterangan :
: Dilakukan penelitian
: Tidak dilakukan penelitian
* : Dikendalikan
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Efektivitas Konsentrasi Ekstrak
Metanol Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale var.
rubrum) Terhadap Pertumbuhan Jamur Tricophyton
Rubrum Dengan Metode Difusi.

28
29

B. Definisi Operasional
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,
obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang dittapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2017).
1. Variabel independen (bebas) adalah varibel yang mempengaruhi atau
menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen(Sugiyono,
2017). Variabel bebas dalam penelitian adalah ekstrak rimpang jahe
merah (Zingiber offcinale var rubrum).
2. Variabel dependen (Terikat) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2017). Variabel
terikat dalam penelitian ini adalah zona hambat terhadap jamur
Trichophyton rubrum.
3. Variabel intervening (pengganggu) adalah variabel yang secara teoritis
mempengaruhi hubungan antara variabel independen dengan dependen
menjadi hubungan yang tidak langsung dan tidak diamati dan diukur
(Sugiyono, 2017). Varibel penggu dalam penelitian ini adalah suhu, lama
perendaman disk cakram, pH tidak diteliti tapi dikendalikan.
30

Tabel 3.1 Definisi Operasional Efektifitas Konsentrasi Jahe


Merah (zingiber officinale var. Rubrum)Terhadap
Pertumbuhan Jamur Trichophyton rubrum Metode
Difusi
Cara Hasil Skala
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur
Ukur Ukur Ukur
Variabel Bebas
1. Ekstrak Hasil ekstraksi yang Pengece Pipet Ukur % Rasio
rimpang jahe diperoleh dari ran
merah rimpang jahe merah
(zingiber (Zingiber officinale
officinale var. var. rubrum) dengan
Rubrum) menggunakan pelarut
etanol 70 % dibuat
dalam konsentrasi 5%,
10%, 15%, 20%, 25%,
30%, 35%, 40%, 45%,
dan 50%.
VariabelTerikat
1. Zona Hambat Area jernih di sekitar Penguk Penggaris Milimeter Rasio
jamur cakram pada media uran (mm)
Trichophyton agar yang
rubrum menunjukkan tidak
adanya pertumbuhan
jamur Trichophyton
rubrum
Variabel
Pengganggu
1. pH Derajat keasaman Manual pH 5-7 Rasio
media jamur berkisar universal
antara 5-7
o
2. Suhu Temperatur yang Manual Termometer C Interv
digunakan yaitu 37oC al
3. Lama Waktu perendaman Manual Stopwatch Menit Rasio
perendaman disc cakram ekstrak
disc cakram rimpang jahe merah
(Zingiber officinale
var. rubrum) dapat
terserap semua pada
disc cakram,
dilakukan selama ± 15
menit

C. Hipotesis
Hipotesis merupakan suatu jawaban sementara rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
31

kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan


baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta
empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat
dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian,
belum jawaban yang empirik (Sugiyono, 2017). Dalam penelitian ini
menggunakan Hipotesis Alternatif (Ha)

Ha : Terdapat pengaruh efektivitas konsentrasi ekstrak rimpang jahe merah


(Zingiber officinale var. rubrum) terhadap pertumbuhan jamur Trichophyton
rubrum dengan metode difusi.
32

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian yang dilakukan berbentuk penelitian eksperimen semu (Quasi
Eksperimen) adalah eksperimen yang mempunyai kelompok kontrol, tetapi
tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar
yang mempengaruhi eksperimen (Siswanto, Susila, & Suyanto, 2017). Desain
dalam penelitian ini adalah eksperimental semu.

B. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subyek/objek yang
mempunyai kualitas dan karakterisasi tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya(Sugiyono,
2015) Populasi pada penelitian ini adalah Rimpang Jahe Merah (Zingiber
officinale var. Rubrum) yang dibuat ekstrak terdapat di daerah Rasau Jaya,
Kabupaten Kubu Raya.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi itu (Sugiyono, 2015). Sampel
ekstrak rimpang jahe merah (Zingiber officinale var. Rubrum) yang
digunakan adalah Ekstrak Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale var.
Rubrum) dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%,
45%, 50% % menggunakan Dimetyl Sulofoksida 15% sebagai pengencer.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah metode rancangan acak
lengkap (RAK). Penentuan jumlah replikasi pada sampel dapat dihitung
berdasarkan rumus Frederer (Syahdrajat, 2015) yaitu:
Rumus : ( r – 1 ) ( t – 1 ) ≥ 15
Keterangan : r = jumlah replikasi
t = jumlah kelompok perlakuan

32
33

Jika jumlah perlakuan ada 10 buah, maka jumlah ulangan untuk tiap
perlakuan dapat dihitung :
( r – 1) (t – 1) ≥ 15
(r – 1) (10 – 1) ≥ 15
(r – 1) (9) ≥ 15
9r – 9 ≥ 15
9r ≥ 15 + 9
9r ≥ 24
r ≥ 2,6667
r=3
Maka didapatkan nilai r = 3. Untuk itu dilakukan 3 kali pengulangan
pada masing-masing konsentrasi ekstrak rimpang jahe merah. Jadi,
jumlah sampel minimal yang digunakan adalah 30.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive
sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu
(Sugiyono, 2015).
Adapun kriteria sampel rimpang jahe merah yang digunakan peneliti
adalah rimpang jahe merah segar berwarna merah, tidak lecet dan tidak
rusak, bagian yang digunakan adalah bagian rimpang jahe merah yang
berasal dari daerah Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya.

C. Waktu dan Tempat Penelitian


1. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan November tahun 2018 sampai dengan
bulan Maret 2019.
2. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Pontianak. Untuk pembuatan ekstrak
dilakukan di Laboratorium YARSI Pontianak.
34

D. Jenis Data Penelitian


1. Data Primer
Data primer didapat langsung dari hasil pengamatan observasi
dengan pengukuran lebar zona hambatan dalam satuan mm.
2. Data Sekunder
Data sekunderdidapatdari berbagai pustaka seperti buku dan jurnal
penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini.

E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data


1. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilaksanakan setelah dilakukan pengukuran
lebar zona hambatan dalam satuan mm antara sisi terluar paper disc yang
mengandung ekstrak perlakuan dengan koloni Trichophyton rubrum di
permukaan medium lempeng PDA (Potato Dextrose Agar) dengan
menggunakan penggaris. Kemudian hasil pengukuran dimasukan ke
dalam tabel hasil pengukuran seperti tersaji pada Tabel 4.2.
2. Instrumen Pengumpulan Data
a. Labu ukur
b. Penggaris
c. pH universal
d. Termometer
e. Stopwatch

F. Pengukuran dan Pengamatan Variabel Penelitian


1. Metode Pemeriksaan
Metode penelitian yang digunakan adalah metode difusi cakram.
2. Prinsip Pemeriksaan
Disk antibiotik diletakkan pada permukaan media agar yang telah
dinokulasi secara perataan, diinkubasi dan diamati terbentuknya zona
hambatan (Harti, 2015).
35

3. Alat dan Bahan


a. Alat
1) Petri dish steril
2) Autoclave
3) Hot plate
4) Pinset steril
5) Lampu spiritus
6) Timbangan + gelas arloji
7) Labu erlenmeyer steril
8) Gelas ukur
9) Oven
10) Rak tabung reaksi
11) Botol steril
12) Penggaris
13) Rotary evaporator
14) Cawan penguap
15) Desikator
16) Blender
17) Ayak
18) Mikroskop
19) Pipet
20) Tabung reaksi
b. Bahan
1) Rimpang jahe merah (zingiber officinale var. Rubrum)
2) Pelarut Metanol
3) Dimetil-Sulfoksida 15%
4) Biakan murni jamur Trichophyton rubrum
5) Barium klorida (BaCl2) 1,175%
6) Asam Sulfat (H2SO4) 1%
7) NaCl steril 0,9%
8) Media PDA (Potato Dextrose Agar)
9) Timbal asetat
36

10) NaCl 10%


11) Gelatin 1%
12) Antibiotik ketokonazol
13) Aquadest
14) Larutan FeCl35%
15) Kloroform
4. ProsedurKerja
a. Preparasi Sampel
1) Rimpang jahe merah diambil di daerah Rasau Jaya, Kabupaten
Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Rimpang jahe merah yang
diambil adalah rimpang yang bewarna merah, tidak lecet dan tidak
rusak.Kemudian dibersihkan dari kotoran yang menempel lalu di
cuci dengan air bersih dan mengalir.
2) Rimpang jahe merah yang telah di bersihkan kemudian di potong
kecil-kecil dan di keringkan di lemari oven Suhu 50 ºC.
3) Selanjutnya digiling menggunakan blender, dan diayak dengan
ayakan.
4) Kemudian dimasukan kedalam botol dan ditutup rapat.
b. Pembuatan ekstrak rimpang jahe merah dengan metode maserasi (Jie,
2018)
1) Rimpang jahe merah yang sudah kering dihaluskan dan ditimbang.
2) Kemudian dimasukkan ke dalam botol steril dan dilakukan
maserasi dengan menggunakan pelarut metanol sebanyak 1000 ml
selama 3 hari.
3) Maserat yang didapat dari proses maserasi disaring dan diulang
sebanyak 5 kali.
4) Kemudian filtrat dari penyaringan diuapkan dengan menggunakan
rotary evaporator pada suhu 50oC hingga diperoleh ekstrak
rimpang jahe merah.
5) Filtrat dituang dalam cawan penguap, kemudian diuapkan lebih
lanjut dengan menggunakan hot plate.
37

6) Kemudian sisa residu dimasukkan ke dalam desikator selama 24


jam untuk menghilangkan sisa pelarut.
7) Selanjutnya ekstrak dilakukan pengenceran dengan menggunakan
pelarut dimetil sulfoksida 15% yang dibuat dalam konsentrasi 5%,
10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45% dan 50% sebanyak 2
ml pada masing-masing konsentrasi.
Tabel 4.1 Cara Pembuatan Konsentrasi Ekstrak Rimpang Jahe
Merah Dengan Metode Cakram
Ekstrak Dimetil
Konsentras
Rimpang Jahe Sulfoksida Kertas Cakram Kosong
i (%)
Merah 15%
0,1gram 1,9 ml 5% Direndam dalam sampel yang
telah diencerkan pada berbagai
0,2 gram 1,8 ml 10%
konsentrasi selama 10 menit
0,3 gram 1,7 ml 15%
0,4 gram 1,6 ml 20%
0,5 gram 1,5 ml 25%
0,6 gram 1,4 ml 30%
0,7 gram 1,3 ml 35%
0,8 gram 1,2 ml 40%
0,9 gram 1,1 ml 45%
1,0gram 1,0 ml 50%

a. Cara Pembuatan Media PDA (Potato Dextrose Agar) (Farmakope,


2014)
1) Ditimbang PDA (Potato Dextrose Agar) 235 gram masukkan ke
dalam erlenmeyer.
2) Ditimbang antibiotik ketokonazol sebanyak 1 gram. Kemudian
dicampurkan kedalam erlenmeyer yang berisi media PDA tadi.
3) Ditambah 1000 ml aquadest steril pada erlenmeyer tersebut.
4) Dipanaskan sambil digoyang-goyang diatas waterbath sampai
larut sempurna.
5) Disterilkan kedalam autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit.
38

b. Skrining fitokimia
1) Pemeriksaan Flavonoid
 Uji timbal asetat
Sebanyak 1 ml larutan timbal asetat di tambahkan ke dalam 5
ml larutan ekstrak suatu bagian tanaman. (adanya kandungan
flavonoid ditandai dengan timbulnya flok-flok endapan
bewarna putih) (Kumoro, 2015).
2) Pemeriksaan Terpenoid
 Sebanyak 5 ml ekstrak dicampur dengan 2 ml kloroform dan
3 ml asam sulfat pekat. Terbentuk warna merah kecoklatan
pada antar permukaan menunjukkan adanya triterpenoid
(Kumoro, 2015).
3) Pemeriksaan Tanin
 Uji gelatin
Suatu ekstrak bagian tanaman mengandung tanin jika
terbentuk endapan putih setelah diberi larutan gelatin 1% yang
mengandung natrium khlorid (NaCl) 10% (Kumoro, 2015).
Tabel 4.2 Hasil Skrinning Fitokimia
No Golongan Senyawa Hasil Keterangan

1. Flavonoid

2. Tanin

3. Terpenoid

c. Cara Pembuatan Standar Kekeruhan Mc. Farland (Dewi, Fauzana,


Farmasi, & Abdurrab, 2017).
1) Dipipet 0,5ml 1,175% Barium Chloride dehydrate (BaCl2) +
9,5ml 1% Asam Sulfat, homogenkan.
2) Standar kekeruhan ini dimasukkan kedalam tabung reaksi yang
dipakai sebagai pembanding kekeruhan untuk membuat suspensi
bakteri, ditutup rapat supaya tidak terjadi penguapan.
3) Dapat disimpan diruang gelap suhu kamar selama 6 bulan, kalau
akan digunakan dikocok terlebih dahulu.
39

d. Cara Pembuatan Suspensi Jamur Trichophyton rubrum


1) Masukkan 5ml NaCl steril ke dalam tabung reaksi steril.
2) Diambil koloni jamur Trichophyton rubrum dari biakan murni
dengan menggunakan ose bulat steril.
3) Dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi NaCl steril.
4) Dihomogenkan.
5) Kekeruhan dibandingkan dengan standar kekeruhan Mc. Farland
0,5.
6) Salah satu cara membandingkannya adalah pegang dua tabung
berhimpitan, satu tabung standar dan satu tabung suspensi bakteri.
Kemudian, lihat dan bandingkan kekeruhannya dengan latar
belakang kertas putih yang diberi garis tebal dengan spidol
berwarna. Jika kurang keruh, tambahkan koloninya, sedangkan
jika lebih keruh tambahkan NaCl.
e. Cara Pembuatan Larutan Kontrol Positif Ketokonazol
1) Gerus sediaan tablet Ketokonazol 200mg hingga halus
menggunakan mortar.
2) Timbang sebanyak 0,0025 gram.
3) Kemudian larutkan didalam 0,5ml aquadest dan diaduk sampai
homogen.
4) Sehingga diperoleh konsentrasi 5mg/ml.
f. Cara Pembuatan Cakram Antijamur
1) Disiapkam cakram kertas Watman no.1 dengan diameter 6 mm
sebanyak 40 butir cakram dengan diameter dan ketebalan yang
sama.
2) Kemudian dengan menggunakan pinset steril kertas cakram
direndam ke dalam masing-masing konsentrasi (5%, 10%, 15%,
20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45%, 50%) ekstrak rimpang jahe
merah (Zingiber officinale var. Rubrum) sebanyak 4 disc setiap
konsentrasinya selama 10menit.
40

3) Kemudian cakram diangkat dan dibiarkan sebentar agar tiris,


selanjutnya letakkan kertas cakran pada permukaan Agar Plate
sesuai dengan masing-masing konsentrasi.
4) Jarak cakram terhadap plate ±2 cm dan jarak antar cakram ±3cm.
g. Penanaman Kontrol (KEMENKES, 2014).
a) Kontrol Positif
1) Celupkan swab kapas steril kedalam suspensi yang terdapat
dalam tabung reaksi.
2) Kemudian swab steril tersebut diusapkan pada permukaan
lempeng agar PDA (Potato Dextrose Agar) dan sebarkan secara
merata pada permukaan agar tersebut. Diamkan selama 3-5
menit sampai mengering.
3) Dengan menggunakan pinset kertas cakram dengan kandungan
Ketokonazol diletakkan diatas PDA (Potato Dextrose Agar).
4) Diinkubasi pada suhu 37oC selama 96 jam kedalam inkubator.
5) Hasil pertumbuhan diamati.
b) Kontrol Negatif
1) Celupkan swab steril kedalam suspensi yang terdapat dalam
tabung reaksi.
2) Kemudian swab tersebut diusapkan pada permukaan lempeng
agar PDA (Potato Dextrose Agar) dan sebarkan secara merata
pada permukaan agar tersebut.
3) Dengan menggunakan pinset kertas cakram kosong yang telah
direndam dandiletakkan diatas Potato Dextrose Agar.
4) Diinkubasi pada suhu 37oC selama 96jam.
h. Cara Kerja Penanaman Antijamur dengan Metode Difusi Cakram
(KEMENKES, 2014).
1) Dicelupkan swab steril ke dalam suspensijamur Trichophyton
rubrum kemudian tekan kapas ke sisi tabung agar air tiris.
2) Inokulasikan pada seluruh permukaanmedia PDA (Potato
Dextrose Agar) secara merata, kemudian biarkan selama 5 menit.
41

3) Kertas cakram dicelupkan ke dalam ekstrak rimpang jahe merah


(Zingiber officinale var. rubrum) dengan konsentrasi tertentu
selama 10 menit.
4) Diangkat dan biarkan 5 menit agar tiris, selanjutnya letakkan
kertas cakram pada permukaan media PDA (Potato Dextrose
Agar) yang telah diinokulasi jamur uji.
5) Kertas cakram ditekan menggunakan pinset steril supaya
menempel sempurna di permukaan agar plate.
6) Kemudian inkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
7) Hasil pertumbuhan diamati dengan melihat ukuran zona
hambatannya.
5. Pembacaan Hasil
Diameter zona hambat dihitung dalam satuan milimeter (mm)
menggunakan penggaris. Interpretasi hasil berdasarkan acuan tabel
interpretasi zona hambat menurut CLSI (Anggita et al., 2018):
a. Diameter zona hambat ≥20 mm atau lebih artinya sensitif.
b. Diameter zona hambat 15-19 mm artinya intermediet.
c. Diameter zona hambat ≤14 mm artinya resisten.
Diameter zona hambat diukur dengan rumus:
(Dv – Dc) + (Dh – Dc)
2

Keterangan:
Dv : Diameter vertikal
Dh : Diameter horizontal
Dc : Diameter cakram

Gambar 4.1 Pengukuran Zona Hambat


42

G. Teknik Pengolahan dan Penyajian Data


1. Teknik Pengolahan Data
a. Penyuntingan (Editing)
Proses editing merupakan proses dimana peneliti melakukan
klarifikasi, keterbacaan, konsistensi dan kelengkapan data yang sudah
terkumpul (Priyono, 2016).
b. Pengkodean (Coding)
Merupakan suatu proses penyusunan secara sistematis data
mentah (yang ada dalam kuesioner) ke dalam bentuk yang mudah
dibaca oleh mesin pengolah data seperti computer (Priyono, 2016).
Pemberian kode data disesuaikan dengan jenis sampel dan
disesuaikan dengan masing-masing ekstrak rimpang jahe merah
(Zingiber officinale var. rubrum).
RJM5a – RJM5c = Rimpang Jahe Merah dengan konsentasi 5%
replikasi 1 – 3
RJM10a – RJM10c = Rimpang Jahe Merah dengan konsentasi 10%
replikasi 1 – 3
RJM15a – RJM15c = Rimpang Jahe Merah dengan konsentasi 15%
replikasi 1 – 3
RJM20a – RJM20c = Rimpang Jahe Merah dengan konsentasi 20%
replikasi 1 – 3
RJM25a – RJM25c = Rimpang Jahe Merah dengan konsentasi 25%
replikasi 1 – 3
RJM30a – RJM30c = Rimpang Jahe Merah dengan konsentasi 30%
replikasi 1 – 3
RJM45a – RJM45c = Rimpang Jahe Merah dengan konsentasi 35%
replikasi 1 – 3
RJM45a – RJM45c = Rimpang Jahe Merah dengan konsentasi 45%
replikasi 1 – 3
RJM50a – RJM50c = Rimpang Jahe Merah dengan konsentasi 50%
replikasi 1 – 3
43

c. Pemasukan Data (Entry)


Entering adalah memindahan data yang telah diubah menjadi
kode kedalam mesin pengolah data (Priyono, 2016). Dari hasil
penelitian pengukuran zona hambatan dalam satuan mm antara sisi
terluar paper disc yang mengandung ekstrak perlakuan dengan koloni
Trichophyton rubrumdi permukaan medium lempeng PDA (Potato
Dextrose Agar), dihitung dan ditulis dalam bentuk data, selanjutnya
dimasukkan kedalam bentuk tabel.
d. Pengecekan (Cleaning)
Cleaning adalah memastikan bahwa seluruh data yang telah
dimasukkan ke dalam mesin pengolah data sudah sesuai dengan yang
sebenarnya (Priyono, 2016).
2. Penyajian Data
Seluruh data disajikan dalam bentuk Tabel 4.3 hasil pengukuran
zona hambatan jamur Trichophyton rubrum dengan masing-masing
konsentrasi ekstrak rimpang jahe merah (Zingiber officinale var.
Rubrum) 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45%, 50%.
Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Zona Hambatan Jamur Trichophyton
rubrum
Zona Hambat Setelah Inkubasi
Kons. Rata-Rata
RJMa RJMb RJMc
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
50%
K (+)
K(-)
44

H. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis dengan
menggunakan Uji Regresi Linier yang diolah secara komputerisasi
menggunakan program SPSS :
1. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisa yang dilakukan menganalisis
tiapvariabel dari hasil penelitian. Analisis univariat berfungsi untuk
meringkas kumpulan data hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga
kumpulan data tersebut berubah menjadi informasi yang berguna dan
pengolahan datanya hanya satu variabel saja sehingga dinamakan
univariat. Yang termasuk analisis univariat tersebut adalah statistik
deskriptif. Dalam analisis univariat data diolah untuk mengetahui
gambaran dari tiapkonsentrasi seperti nilai maksimum, nilai minimum,
rata-rata (mean) dan standar deviasi (Sujarweni, 2014).
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan lebih dari dua
variabel. Analisa bivariat berfungsi untuk mengetahui hubungan antar
variable.Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis dengan
menggunakan Uji Regresi Linier yang diolah secara komputerisasi
menggunakan program SPSS (Sujarweni, 2014).
45

I. Jadwal Penelitian
Tabel 4.4 Jadwal Penelitian
Nov 2018 Des 2018 Jan 2019 Feb 2019 Mar 2019
No Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Penyusunan
Proposal
2. Seminar proposal

3. Persiapan penelitian

4. Pelaksanaan
penelitian
5. Pengumpulan dan
analisis data
6. Penyusunan laporan
46

DAFTAR PUSTAKA

Anggita, D., Abdi, D. A., & Desiani, V. (2018). Efektifitas Ekstrak Daun dan
Getah Tanaman Jarak Cina ( Jatropha Multifida L .) Sebagai Antibakteri
terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus Aureus Secara In Vitro 29
| Penerbit : Pusat Kajian dan Pengelola Jurnal Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universi, 1(1), 29–33.
Anwar, F. (2016). Kiat Ampuh Bertanam Jahe Merah. JAWA BARAT.
Astawan, M. (2016). Sehat dengan Rempah dan Bumbu Dapur. (M. Ye, Ed.).
Jakarta: Buku Kompos.
Balouiri, M., Sadiki, M., & Ibnsouda, S. K. (2016). Methods for in vitro
evaluating antimicrobial activity: A review. Journal of Pharmaceutical
Analysis, 6(2), 71–79. https://doi.org/10.1016/j.jpha.2015.11.005
Brooks, G. F., Carroll, K. C., Butel, J., Morse, S. A., & Mietzner, T. (2013).
Medical Microbiology. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical
Microbiology. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Dewi, A. P., Fauzana, A., Farmasi, A., & Abdurrab, U. (2017). Uji Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Etanol Biji Mahoni (Swietenia mahagoni) Terhadap
Shigella dysenteriae. Journal Of Pharmacy & Science, 1, 15–21.
Endang Hanani. (2017). Analisis Fitokimia. Jakarta: EGC.
F., T. S. dan N. F. (2013). Keragaman Jenis dan Pemanfaatan Tumbuhan
Berkhasiat Obat Oleh Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Gunung
Beratus, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi
Alam, 10(1), 1–18.
Farmakope. (2014). farmakope Indonesia Edisi V.
Gendrowati, F. (2018). Tanaman Ajaib. (Geulis, Ed.). Jakarta: Pustaka Makmur.
Hanani, E. (2017). Analisis Fitokimia. Jakarta: EGC.
Harti, A. S. (2015). Mikrobiologi Kesehatan; Peran Mikrobiologi Dalam Bidang
Kesehatan. Yogyakarta: ANDI.
Hatta, M. (2016). Mukjizat Herbal Dalam Al Qur’an. (M. W. Centre, Ed.). jakarta
timur.
Irianto, K. (2014). Bakteriologi Medis , Mikologi Medis dan Virologi Medis
(Medical Bacteriology, Medical Micology, and Medical Virology).
Bandung: ALFABETA.
Jawetz, Melnick, & Adelberg. (2014). Medical Microbiology. Jawetz, Melnick, &
Adelberg’s (25th ed.). New York: Angota IKAPI.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
47

Jie, woNG P. (2018). Efektivitas Pelarut Etanol 96% dan Aquadest pada Ekstrak
Jahe Merah terhadap Jamur candida albicans (IN VITRO).
Kamienski, M., & Keogh, J. (2015). Farmakologi Demystified. (A. Sahala, Ed.)
(1st ed.). Yogyakarta: Rapha Publising.
KEMENKES. (2014). Prosedur Pemeriksaan Bakteriologi Klinik. Jakarta:
KEMENKES.
Khusnul, *, Kurniawati, I., Rudy, D., Program, H., Analis, S. D.-I., Stikes, K., …
Tasikmalaya, H. (2018). Isolasi Dan Identifikasi Jamur Dermatophyta
Pada Sela-Sela Jari Kaki Petugas Kebersihan Di Tasikmalaya. Jurnal
Kesehatan Bakti Tunas Husada, 18, 45–50. Retrieved from
http://ejurnal.stikes-
bth.ac.id/index.php/P3M_JKBTH/article/viewFile/304/266
Koes Irianto. (2014). Bakteriologi Medis, Mikologi Medis, dan Virologi Medis.
Bandung: Alfabeta.
Kumoro. (2015). Teknologi Ekstraksi Senyawa Bahan Aktif dari Tanaman Obat.
Yogyakarta: Plantaxia.
Maharani, A. (2015). Penyakit Kulit, Perawatan, Pencegahan & Pengobatan.
(Mona, Ed.). Yogyakarta: Pusta Baaru Press.
Mindarti, S. (2015). Buku Saku Tanaman Obat Keluarga (TOGA). (B. Nurbaeti,
Ed.). JAWA BARAT.
Misnadiarly, & Djajaningrat, H. (2014). Mikrobiologi Untuk Klinik dan
Laboratorium. Jakarta: Rineka Cipta.
Pramudyo, A. (2018). Budi Daya dan Bisnis Jahe, Lengkuas, Kunyit, dan Kencur.
Jakarta.
Priyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif. (T. Candra, Ed.). Sidoarjo:
Zifatama Publishing.
Putra, W. S. (2015). Kitab Herbal Nusantara. (andien, Ed.). yogyakarta:
KATAHATI.
Ritiasa, K., Hamid, B. J., Rekso, G. T., Karniani, M. A., & Astuti, L. S. Y. (2015).
Info Obat Indonesia. (M. A. Karniani, Y. Yudistira, D. A. Gunawan, &
M. Syarifudin, Eds.). Jakarta: PARAMA ABHIPRAYA.
Rohman, A. (2018). Analisi Obat Dalam Sediaan Farmasi. (Dewi, Ed.).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Roosheroe, I. G., Sjamsuridzal, W., & Oetari, A. (2014). Mikolagi Dasar dan
Terapan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Santoso, H. B. (2017). Sukses Budidaya Jahe Organik di Pekarangan &
Perkebunan. (Maya, Ed.). Yogyakarta: LILY PUBLISHER.
Setyawan, B. (2015). Peluang Usaha Budidaya Jahe. (Mona, Ed.). Yogyakarta:
Pustaka Baru Press.
48

Siswanto, Susila, & Suyanto. (2017). Metodologi Penelitian Kombinasi Kualitatif


Kuantitatif Kedokteran & Kesehatan. Klaten: Penerbin BOSSSCRIPT.
Sugiyono. (2015). Statistika Untuk Penelitian (26th ed.). Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Sujarweni, W. (2014). Metodologi Penelitian. Yogyakarta:
PUSTAKABARUPRESS.
Syahdrajat, T. (2015). Paduan Menulis Tugas Akhir Kedokteran & Kesehatan.
Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP.
Tim Trufus. (2013). 100 Plus Herbal Indonesia. Depok: PT. Trubus Swadaya.
Tonsurans, T., Folliculitis, F., Folliculitis, F., & Folliculitis, F. (2018).
Trichophyton rubrum.
Waluyo, E., & Kusuma, B. (2017). Keamanan Pangan Produk Perikanan. Malang:
UB Press.

Anda mungkin juga menyukai