Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH AGAMA ISLAM 2

Mengenal Manusia Sebagai Makhluk Allah (Ma’rifatul Insan)

Fasilitator:
Eka Misbahatul M.HAS., S.Kep., Ns., M.Kep

Oleh:
Kelompok 5/A1-2015
Meidina Dewati 131511133003
Fara Farina 131511133022
Farida Norma Yulianti 131511133034
Hesti Lutfia Arif 131511133050
Lilik Choiriyah 131511133064
Clauvega Myrtha Ranggun S 131511133076
Ucik Nurmalaningsih 131511133088
Zaenab 131511133101
Najla Khairunnisa 131511133120

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat dan
Ridha-Nya kami dapat menyusun makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam tak lupa kami
limpahkan pada Nabi Muhammad SAW.

Selesainya makalah yang membahas tentang Mengenal Manusia Sebagai Makhluk Allah
(Makrifatul Insan) ini tak lepas dari dukungan beberapa pihak yang telah membantu. Oleh
karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Eka Misbahatul M.HAS., S.Kep.,
Ns., M.Kep selaku dosen yang telah membimbing dan memberikan banyak masukan dalam
penyusunan makalah ini. Dan juga teman-teman sekalian atas kerjasamanya dalam membuat
makalah ini, dari awal hingga terselesainya makalah. Sehingga kami dapat menyusun
makalah ini dengan baik.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun penulis. Kami menyadari
bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun. Sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini dengan
lebih baik lagi. Terima kasih.

Surabaya, 1 September 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB 1...................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................1
1.3 Tujuan....................................................................................................................................2
BAB 2...................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
2.1 Definisi Manusia....................................................................................................................3
2.2 Proses Penciptaan Manusia....................................................................................................6
2.3 Potensi Manusia.....................................................................................................................7
2.4 Jiwa Manusia.........................................................................................................................9
2.5 Sifat Manusia.......................................................................................................................13
2.6 Tujuan dan Fungsi Manusia sebagai Makhluk Allah...........................................................14
2.7 Tugas Manusia terhadap Diri Sendiri, Orang Lain dan Lingkungan....................................15
2.8 Hakikat Ibadah dan Diterimanya Ibadah..............................................................................16
2.9 Keterkaitan Makrifatul Insan dengan Dunia Keperawatan...................................................21
BAB 3..................................................................................................................................................25
PENUTUP...........................................................................................................................................25
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................25
3.2 Saran....................................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................26

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Allah telah menciptakan agama Islam sebagai rahmat di muka bumi, bagi
bentangan ciptaan dan juga bagi makhluknya terutama manusia. Agama merupakan
salah satu fitrah yang Allah karuniakan pada diri manusia, dengan adanya agama segala
pengaturan kehidupan bagi makhluk tertera di dalamnya, terkhusus Islam. Namun
banyak manusia yang dalam keidupannya tidak memiliki pemahaman terhadap hakikat
ia di ciptakan, maupun bagaimana hubungannya dengan sang Pencipta.

Banyaknya manusia yang hidup di dunia tanpa memahami hakikat hidupnya,


menyebabkan ia menjadikan hidup sebagai sarana kesenangan belaka. Kehidupan
hanya digunakan sebagai tempat singgah sebelum akhirnya ia meninggal dunia.
Manusia banyak melupakan hakikat penciptaan dan bahkan enggan memahami
keterkaitan penciptaannya bersama Penciptanya yaitu, Allah Swt.

Islam memiliki aturan yang lengkap bagi seluruh asas kehidupan. Allah
menciptakan banyak makhluk di bumi, termasuk hewan, tumbuhan dan manusia
sebagai makhluk paling mulia diantara mereka. Manusia hari ini, seringkali melupakan
apa yang telah menjadi fitrahnya sebagai makhluk ciptaan Allah. Mereka banyak
melakukan kerusakan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungannya. Sebab tak
paham aturan yang sudah Allah ciptakan, sebab tak mau mencari tahu apa yang
seharusnya dilakukan di dunia sesuai perintah Allah.

Oleh karena manusia merupakan satu-satunya makhluk yang dikaruniai Allah akal
sehat yang sempurna, maka kita pun wajib mengetahui bagaimana konsep Allah
menciptakan manusia. Hal tersebut penting kita ketahui agar manusia dapat mengetahui
hakikat hidup dengan sebaik-baiknya dalam menjalankan tugasnya di dunia sebagai
bekal kembali ke akhirat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep manusia?


2. Bagaimana konsep proses penciptaan anusia?

1
3. Bagaimana potensi yang dimiliki manusia?
4. Bagaimana konsep tentang jiwa manusia?
5. Bagaimana sifat-sifat manusia?
6. Bagaimana tujuan dan fungsi manusia diciptakan?
7. Bagaimana tugas manusia terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungannya?
8. Bagaimana hakikat ibadah, cakupan, serta diterimanya ibadah?

1.3 Tujuan

1. Memberikan pengetahuan tentang konsep manusia


2. Memberikan pengetahuan tentang proses penciptaan
3. Memberikan penetahuan tentang potensi yang dimiliki manusia
4. Memberi pengetahuan tentang konsep jiwa pada diri manusia
5. Memberi pengetahuan tentang sifat-sifat manusia
6. Memberi pengetahuan tentang tujuan dan fungsi manusia diciptakan
7. Memberi pengetahuan tentang tugas manusia terhadap dirinya, orang lain serta
lingkungan
8. Memberi pengetahuan tentang tentang hakikat ibadah, cakupan, serta diterimanya
ibadah

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Manusia


Manusia adalah mahluk ciptaan Allah SWT yang diciptakan dari tanah kering dan
diberikan kelebihan berupa potensi akal, pendengaran, penglihatan, serta hati. Nama
manusia dalam bahasa arab disebut Insan. Manusia diciptakan Allah SWT di alam
azali melalui 3 zat dasar yaitu ruh, tanah, dan akal. (QS. 32 : 7-9) “Yang membuat
segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan
manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang
hina  (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalam (tubuh)wya roh  (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”
Dimensi-dimensi yang Allah berikan secara komperhensif pada manusia meliputi:

1. Manusia sebagai Hamba Allah (Abd Allah)


Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengabdi dan taat kepada Allah selaku
Pencipta karena adalah hak Allah untuk disembah dan tidak disekutukan. Bentuk
pengabdian manusia sebagai hamba Allah tidak terbatas hanya pada ucapan dan
perbuatan saja, melainkan juga harus dengan keikhlasan hati, seperti yang
diperintahkan dalam surah Bayyinah: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan
agama yang lurus …,” (QS:98:5). Dalam surah adz- Dzariyat Allah menjelaskan:
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah
Aku.” (QS51:56).
Dengan demikian manusia sebagai hamba Allah akan menjadi manusia yang
taat, patuh dan mampu melakoni perannya sebagai hamba yang hanya
mengharapkan ridha Allah.
2. Manusia sebagai Al-nas (Makhluk Sosial)
Manusia, di dalam al- Qur’an juga disebut dengan al- nas. Konsep al- nas ini
cenderung mengacu pada status manusia dalam kaitannya dengan lingkungan
masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan fitrahnya manusia memang makhluk sosial.
Dalam hidupnya manusia membutuhkan pasangan, dan memang diciptakan
berpasang-pasangan seperti dijelaskan dalam surah An-Nisa’, “Hai sekalian

3
manusia, bertaqwalaha kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istirinya, dan dari pada
keduanya Alah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Dan bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) namanya kamu saling
meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS:4:1).
Selanjutnya dalam surah al- Hujurat dijelaskan: “Hai manusia sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorng laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah
yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.” (QS: 49:13).
Dari dalil di atas bisa dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang
dalam hidupnya membutuhkan manusia dan hal lain di luar dirinya untuk
mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya agar dapat menjadi bagian dari
lingkungan soisal dan masyarakatnya.
3. Manusia sebagai Khalifah Allah
Hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi dijelaskan dalam surah al-
Baqarah ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka
berkata:”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (QS:2: 30), dan
surah Shad ayat 26, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(peguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena ia akan menyesatkan kamu
dari jalan Allah. …” (QS:38:26).
Dari kedua ayat di atas dapat dijelaskan bahwa sebutan khalifah itu merupakan
anugerah dari Allah kepada manusia, dan selanjutnya manusia diberikan beban
untuk menjalankan fungsi khalifah tersebut sebagai amanah yang harus
dipertanggungjawabkan. Sebagai khalifah di bumi manusia mempunyai wewenang
untuk memanfaatkan alam (bumi) ini untuk memenuhi Kebutuhan hidupnya
sekaligus bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ini. seperti dijelaskan dalam

4
surah al- Jumu’ah, “Maka apabila telah selesai shalat, hendaklah kamu
bertebaran di muka bumi ini dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah
banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS: 62: 10), selanjutnya dalam surah Al-
Baqarah disebutkan: “Makan dan minumlah kamu dari rezeki yang telah diberikan
Allah kepadamu, dan janganlah kamu berbuat bencana di atas bumi.” (QS: 2 : 60)
4. Manusia sebagai Bani Adam
Sebutan manusia sebagai bani Adam merujuk kepada berbagai keterangan
dalam al- Qur’an yang menjelaskan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan
bukan berasal dari hasil evolusi dari makhluk lain seperti yang dikemukakan oleh
Charles Darwin. Konsep bani Adam mengacu pada penghormatan kepada nilai-
nilai kemanusiaan. Konsep ini menitikbertakan pembinaan hubungan persaudaraan
antar sesama manusia dan menyatakan bahwa semua manusia berasal dari
keturunan yang sama. Dengan demikian manusia dengan latar belakang sosia
kultural, agama, bangsa dan bahasa yang berbeda tetaplah bernilai sama, dan harus
diperlakukan dengan sama. Dalam surah Al-A’raf dijelaskan: “Hai anak Adam,
sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu
dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.
Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga
mereka selalu ingat. Hai anak Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan
sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, …” (QS : 7; 26-
27)
5. Manusia sebagai Al-Insan
Manusia disebut al-insan dalam Al-Qur’an mengacu pada potensi yang
diberikan Tuhan kepadanya. Potensi antara lain adalah kemampuan berbicara
(QS:55:4), kemampuan menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu
(QS:6:4-5), dan lain-lain. Namun selain memiliki potensi positif ini, manusia
sebagai al- insan juga mempunyai kecenderungan berprilaku negatif (lupa).
Misalnya dijelaskan dalam surah Hud: “Dan jika Kami rasakan kepada manusia
suatu rahmat, kemudian rahmat itu kami cabut dari padanya, pastilah ia menjadi
putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS: 11:9)
6. Manusia sebagai Al-Basyar (Makhluk Biologis)
Manusia dalam konsep al-Basyr, dipandang dari pendekatannya biologis. Dalam
konsep Al-Basyar ini tergambar tentang bagaimana seharusnya peran manusia
sebagai makhluk biologis. Sebagai makhluk biologis, manusia dibedakan dari

5
makhluk biologis lainnya seperti hewan, yang pemenuhan kebutuhan primernya
dikuasai dorongan instingtif. Sebaliknya manusia, didasarkan tata aturan yang baku
dari Allah SWT. Pemenuhan kebutuhan biologis manusia diatur dalam syari’at
agama Allah (Din Allah).

2.2 Proses Penciptaan Manusia


Manusia yang ada di bumi ini berasal dari satu nenek moyang yaitu nabi Adam As.
Manusia dilahirkan ke duina ada 2 cara yaitu secara alami dan secara azali. Secara
alami, manusia dilahirkan ke dunia ada sebab akibat dan keturunannya yaitu dari nabi
Adam dan Siti Hawa terlahirlah bani Adam. Hal ini dijelaskan dala QS. Al-Mu’minun :
12-14, “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari saripati yang
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)
dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging
itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami balut dengan daging.
Lalu Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah,
Pencipta yang paling baik.” (Al-Mu’minun : 12-14)
Sedangkan secara Azali yaitu kelahiran manusia tanpa adanya proses perpaduan
antara laki-laki dan wanita, tidak ada penyebabnya namun kehendak dari Allah Swt lah
terciptalah seorang anak manusia seperti halnya terciptanya nabi Isa As dalam QS. Al-
Imran : 59 bahwa nabi Isa diciptakan seperti penciptaan Adam. Allah swt menciptakan
Adam dari tanah kemudian Allah swt berfirman kepadanya “Jadilah” seorang manusia,
maka jadilah dia”. Nabi Isa dilahirkan dari rahim seorang wanita yang suci lagi beriman
kepada Allah Swt yaitu Maryam (QS. Maryam : 1-36).
Setelah  manusia lahir, manusia akan tumbuh menjadi anak-anak remaja, dewasa
kemudian tua lalu meninggal. Dari proses manusia menjadi dewasa lingkunganlah yang
dapat mempengaruhi kedewasaannya. Lingkungan bisa berasal dari keluarga, orang tua,
bahkan sahabat atau teman yang dikenalinya. Dalam kehidupan yang nyata ini Allah
swt menciptakan manusia bersama dengan syaitan. Syaitan adalah musuh Allah yang
nyata, sedangkan teman sejati manusia yaitu manusia yang mempunyai komitmen yang
sama hanya Allahlah yang patut disembah dan meyakini Rasulullah Muhammad saw
adalah utusan Allah. Hal ini dijelaskan dalam QS. Al-Mujaadalah : 22 dan Al Imran :
118, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-

6
hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang
menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami
terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”

2.3 Potensi Manusia


Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia adalah ciptaan Allah yang paling
potensial. Artinya potensi yang dibekali oleh Allah untuk manusia sangatlah lengkap
dan sempurna. Hal ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan dirinya melalui
potensi-potensi (innate potentials atau innate tendencies) tersebut.

Secara fisik manusia terus tumbuh, secara mental manusia terus berkembang,
mengalami kematangan dan perubahan. Kesemua itu adalah bagian dari potensi yang
diberikan Allah kepada manusia sebagai ciptaan pilihan. Potensi yang diberikan kepada
manusia itu sejalan dengan sifat-sifat Tuhan, dan dalam batas kadar dan
kemampuannya sebagai manusia. Karena jika tidak demikian, menurut Hasan
Langgulung, maka manusia akan mengaku dirinya Tuhan. Jalaluddin mengatakan
bahwa ada empat potensi yang utama yang merupakan fitrah dari Allah kepada
manusia.

1. Potensi Naluriah (Emosional) atau Hidayat al- Ghariziyyat


Potensi naluriah ini memiliki beberapa dorongan yang berasal dari dalam diri
manusia. Dorongan-dorongan ini merupakan potensi atau fitrah yang diperoleh
manusia tanpa melalui proses belajar. Makanya potensi ini disebut juga potensi
instingtif, dan potensi ini siap pakai sesuai dengan kebutuhan manusia dan
kematangan perkembangannya. Dorongan yang pertama adalah insting untuk
kelangsungan hidup seperti kebutuhan akan makan, minum penyesuaian diri dengan
lingkungan. Dorongan yang kedua adalah dorongan untuk mempertahankan diri.
Dorongan ini bisa berwujud emosi atau nafsu marah, dan mempertahankan diri dari
berbagai macam ancaman dari luar dirinya, yang melahirkan kebutuhan akan
perlindungan seperti senjata, rumah dan sebagainya. Yang ketiga adalah dorongan
untuk berkembang biak atau meneruskan keturunan, yaitu naluri seksual. Dengan
dorongan ini manusia bisa tetap mengembangkan jenisnya dari generasi ke
generasi.
2. Potensi Inderawi (Fisikal) atau Hidayat al- Hasiyyat

7
Potensi fisik ini bisa dijabarkan atas anggota tubuh atau indra-indra yang
dimiliki manusia seperti indra penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan
perasa. Potensi ini difungsikan melalui indra-indra yang sudah siap pakai hidung,
telinga, mata, lidah, kulit, otak dan sisten saraf manusia. Pada dasarnya potensi fisik
ini digunakan manusia untuh mengetahui hal-hal yang ada di luar diri mereka,
seperti warna, rasa, suara, bau, bentuk ataupun ukuran sesuatu. Jadi bisa dikatkan
poetensi merupakan alat bantu atau media bagi manusia untuk mengenal hal-hal di
luar dirinya. Potensi fisikal dan emosional ini terdapat juga pada binatang.
3. Potensi Akal (Intelektual) atau Hidayat al- Aqliyat
Potensi akal atau intelektual hanya diberikan Allah kepada manusia sehingga
potensi inilah yang benar-benar membuat manusia menjadi makhluk sempurna dan
membedakannya dengan binatang. Jalaluddin mengatakan bahwa: “potensi akal
memberi kemampuan kepada manusia untuk memahami simbolsimbol, hal-hal yang
abstrak, menganalisa, membandingkan, maupun membuat kesimpulan yang
akhirnya memilih dan memisahkan antara yang benar dengan yang salah.
Kebenaran akal mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan
kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah serta merekayasa
lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman, dan nyaman.”
4. Potensi Agama (Spiritual) atau Hidayat al- Diniyyat
Selain potensi akal, sejak awal manusia telah dibekali dengan fitrah beragama
atau kecenderungan pada agama. Fitrah ini akan mendorong manusia untuk
mengakui dan mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki kelebihan dan
kekuatan yang lebih besar dari manusia itu sendiri. Nantinya, pengakuan dan
pengabdian ini akan melahirkan berbagai macam bentuk ritual atau upacara-upacara
sakral yang merupakan wujud penyembahan manusia kepada Tuhannya. Dalam
pandangan Islam kecenderungan kepada agama ini merupakan dorongan yang
bersal dari dalam diri manusia sendiri yang merupakan anugerah dari Allah. Dalam
al-Qur’an dijelaskan: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui,’ (QS: ar-Rūm:30).

8
Dari ayat di atas bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah adalah
ciptaan Allah. Artinya Allah menciptakan manusia dengan memberinya potensi
beragama yaitu agama tauhid sehingga apabila ada manusia yang tidak beragama tauhid
maka itu tidak wajar. Dan bisa dipastikan bahwa keadaan seperti itu adalah karena
pengaruh dari luar diri manusia. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Bukhari
menyatakan bahwa setiap anak yang lahir itu sesuai dengan fitrah atau potensi
beragama tauhid dari Allah, namun orang tuanya (lingkungannya) yang menyebabkan
anak tersebut keluar dari fitrah Allah tersebut. Untuk mempertahankan fitrah tersebut,
manusia juga dibekali dengan potensi emosi (seperti telah dijelaskan di atas), sehingga
dengan emosi yang ada dalam dirinya manusia dapat merasakan bahwa Allah itu ada.

Dalam ayat lain dijelaskan bahwa: “Dan ingatlah ketika Tuhan-mu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap
jiwa mereka dan berfirman, ‘Bukankah Aku ini Tuhan mu?’ Mereka menjawab, ‘Betul,
Engkau adalah Tuhan kami, kami menjadi saksi.” (QS: al-A’raf;172).

Dari ayat di atas bisa kita simpulkan bahwa potensi beragama tauhid ini telah ada
jauh sebelum manusia lahir. Potensi positif ini harus dipupuk dan dibimbing melalui
proses pendidikan agar tidak menyimpang dari esensi potensi tersebut. Dalam
menjalani hidup di dunia ini manusia memang membutuhkan agama. Selain potensi
atau fitrah dari Allah tersebut, Abuddin Nata25 mengatakan ada dua hal lain lagi
mengapa manusia membutuhkan agama. Manusia memang makhluk sempurna, namun
meskipun memiliki banyak potensi tetap saja manusia mempunyai banyak kelemahan
dan kekurangan. Hal ini menyebabkan manusia membutuhkan sesuatu yang lain yang
lebih hebat dari dirinya sendiri, yang dalam hal ini adalah Tuhan. Hal lain adalah
tantangan dalam hidup yang berupaya menjauhkan atau melencengkan manusia dari
potensi beragama ini. Tantangan ini bisa berasal dari dalam diri manusia, seperti
dorongan hawa nafsu dan bisikansetan ataupun dari luar diri manusia yaitu lingkungan
atau manusia lain yang ingin menjauhkannya dari agama tauhid.

2.4 Jiwa Manusia


Allah ta’ala mengaugerahkan pada jiwa manusia karakteristik berupa kemampuan
untuk mengetahui kebaikan dan keburukan, serta kesiapan untuk melaksanakan
keduanya, sebagaimana firman-Nya dalam surat asy syams ayat 7-8,

9
َ ‫فَأ َ ْلهَ َمهَا فُج‬ . ‫س َو َما َسوَّاهَا‬
‫ُورهَا َوتَ ْق َواهَا‬ ٍ ‫َونَ ْف‬
“Dan demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Kami ilhamkan kepadanya jalan
kefasikan dan takwa.”
‫إِنَّا هَ َد ْينَاهُ ال َّسبِي َل إِ َّما َشا ِكرًا َوإِ َّما َكفُورًا‬
“Sungguh telah Kami tunjukkan jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula
yang kufur”

Menurut al Fairuz Abadi, jiwa manusia itu memiliki sifat-sifat sebagai berikut;
jiwa itu memiliki kecenderungan kepada sesuatu yang diinginkannya, menghendaki
sesuatu yang disukainya, kecintaannya terhadap sesuatu itu akan dapat menjadikan
sesuatu itu keutamaan dalam hidupnya dan jika ia menikmati sesuatu yang disukainya
itu lambat laun kesenangannya itu akan menguasai isi hatinya.
Sehingga jiwa manusia ini akan selalu tunduk dan patuh kepada Allah serta
menyenangi kebaikan hingga kebaikan itu akan menguasai segenap isi hatinya jika
mendapat bimbingan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Begitu pula sebaliknya bila ia dibiarkan tanpa pengendalian maka ia akan
mengendalikan manusia mengikuti gejolak jiwa yang rendah yang mengajak kepada
kemaksiatan hingga kemaksiatan itu pada puncaknya akan menguasai pula hatinya.
Secara garis besar dari berbagai ayat yang terdapat di al Qur’an dapat disimpulkan
bahwa kondisi jiwa manusia terdiri dari tiga jenis, yaitu jiwa yang mengajak berbuat
buruk (nafsu ammarah bi suu’), jiwa yang menyesali diri (nafsu lawwamah) dan jiwa
yang tenang (nafsu muthmainnah).

a. Jiwa yang Mengajak Berbuat Keburukan


Allah ta’ala berfirman dalam surat Yusuf ayat 53,

‫س أَل َ َّما َرةٌ بِالسُّو ِء إِاَّل َما َر ِح َم َربِّي إِ َّن َربِّي َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬ ُ ‫َو َما أُبَ ِّر‬
َ ‫ئ نَ ْف ِسي إِ َّن النَّ ْف‬
“Dan aku tidak mampu membebaskan jiwaku (dari kesalahan), sungguh jiwa itu
menyuruh berbuat keburukan, kecuali jiwa yang dirahmati Tuhanku, sungguh
Tuhanku Mahapengampun dan Mahapengasih.

Jiwa yang mengajak berbuat keburukan ini juga dijelaskan oleh Ibnu Katsir,
dalam tafsirnya tentang perkataan istri al Aziiz yang menggoda nabi Yusuf as, “
ُّ ِ‫او َد ْت••هُ أِل َنَّهَ••ا أَ َم••ا َرةٌ ب‬
‫الس••و ِء‬ ُ ‫س تَتَ َح•• َّد‬
َ ‫ث َوتَتَ َمنَّى؛ َولِهَ•• َذا َر‬ ُ ‫ت أُبَ•• ِّر‬
َ ‫ فَ••إ ِ َّن النَّ ْف‬،‫ئ نَ ْف ِس••ي‬ ُ ••‫” َولَ ْس‬, Aku tidak

10
membebaskan diriku dari kesalahan, sebab hawa nafsu diriku selalu membisikkan
godaan dan angan-angan kepadaku. Karena itulah aku menggoda Yusuf
dikarenakan jiwaku yang mengajak berbuat keburukan.
Jiwa yang memerintahkan perbuatan buruk ini adalah jiwa yang menipu akal
dan menghilangkan rasa malu manusia, ia menjadikan sesuatu yang buruk menjadi
indah dan baik. Sifat jiwa yang demikian akhirnya menjadi kesempatan bagi Iblis
untuk membisikkan kejahatan, menyesatkan, menggelincirkan dan menjerumuskan
manusia kepada kemaksiatan.
Ibnul Qayyim al Jauziyyah menjelaskan bisikan setan ini pada jiwa yang
lemah sebagai berikut, “‫َوأما النَّفس األمارة فَجعل ال َّش ْيطَان قرينه•ا وص•احبها الَّ ِذي يَليهَ••ا فَهُ• َو يع•دها‬
‫ ”ويمنيه••ا ويق••ذف فِيهَ••ا ْالبَا ِط• ل ويأمره••ا بالس••وء‬adapun jiwa yang memerintahkan berbuat
keburukan, maka syetan akan menjadi pendamping dan sahabatnya yang memberi
janji-janji, angan-angan kosong kemudian menyusupkan kebatilah pada hati
manusia serta memerintahkan berbuat keburukan.
Manusia yang tertipu adalah mereka yang berjalan dibelakang kehendak
jiwanya (nafsunya) tanpa pengendalian akal dan syari’at serta tidak
memperhitungkan dampak perbuatannya.  Menjadikan hawa nafsunya sebagai
panglima adalah kesesatan. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Qashash ayat 50,

َ‫ضلُّ ِم َّم ِن اتَّبَ َع ه ََواهُ بِ َغي ِْر هُدًى ِمنَ هَّللا ِ إِ َّن هَّللا َ اَل يَ ْه ِدي ْالقَوْ َم الظَّالِ ِمين‬
َ َ‫َو َم ْن أ‬
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya
dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.”

Jiwa yang mengajak pada keburukan ini harus diperangi dengan sungguh-
sungguh agar terbebas dari belenggu keindahan kenikmatan maksiat yang bersifat
fana dan menipu. Mengajari dan melatih jiwa untuk memikul beban dan kesulitan
seperti merutinkan shalat malam, puasa sunnah, shadaqah dan sebagainya.

Dari ‘Abdullah bin Umar, Rasulullah saw bersabda,


ُ ‫ال ي ُْؤ ِمنُ أَ َح ُد ُك ْم َحتَّى يَ ُكونَ هَ َواهُ تَبَعًا لِ َما ِج ْئ‬
‫ت بِ ِه‬
“Tiadalah (sempurna) keimanan seorang Mukmin sehingga menjadikan hawa
nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”

11
b. Jiwa yang Menyesali Diri
Jiwa yang menyesali diri adalah jiwa yang senantiasa mengingatkan
pemiliknya dari perbuatan maksiat dan mengajak pemiliknya segera bertaubat
ketika bermaksiat. Jiwa semacam ini dapat meningkat hingga mengembalikannya
kepada kondisi fitrahnya yang bersih.

Allah ta’ala berfirman dalam surat al qiyamah ayat 2,


ِ ‫َواَل أُ ْق ِس ُم بِالنَّ ْف‬
‫س اللَّوَّا َم ِة‬
“Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (dirinya sendiri)”

Jiwa yang menyesali diri adalah kondisi jiwa pada level berikutnya, setidaknya
inilah kondisi jiwa yang harus dimiliki oleh orang beriman, manakala ia lalai maka
jiwanya mengingatkan atas kelalaiannya.
Setiap mukmin wajib mewaspadai ketika jiwanya merasa nyaman akan
kemaksiatan, tidak tergerak jiwanya untuk membenci kemungkaran, sementara
membenci kemungkaran dengan hati adalah selemah-lemah iman.
c. Jiwa yang Tenang
Ini adalah tingkatan jiwa yang tertinggi, jiwa yang tenang dengan keta’atan
kepada Allah, tenang dengan janji-janji Allah. Merasakan nikmat dalam beribadah
kepada Allah. Allah memenuhi segenap jiwanya, Allah selalu ada dalam segala
aktivitasnya. Jika Allah memberinya kenikmatan maka ia bersyukur dan bertambah
keta’atannya. Jika Allah mengujinya dengan musibah maka ia bersabar dan
bertambah kedekatannya kepada Allah, dan ia kembalikan segala urusannya
kepada Allah.
Jiwa semacam ini tak mengenal kecewa dalam kebaikan, tak mengenal gentar
dalam ujian. Ia memahami betul hakikat kehidupan, dunia itu fana dan sementara,
akhiratlah tujuan utama. Jiwa ini tenang karena surga adalah terminal akhir yang
akan diraihnnya. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Fajr ayat 27-30,

)30( ‫) َوا ْد ُخلِي َجنَّتِي‬29( ‫) فَا ْد ُخلِي فِي ِعبَا ِدي‬28( ً‫ضيَّة‬
ِ ْ‫ضيَةً َمر‬
ِ ‫ك َرا‬ ْ ‫يَا أَيَّتُهَا النَّ ْفسُ ْال ُم‬
ِ ِّ‫) ارْ ِج ِعي إِلَى َرب‬27( ُ‫ط َمئِنَّة‬
 “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-
Nya, maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam
surga-Ku”

12
Keberhasilan yang besar dari tazkiyatun nafs adalah jiwa yang tenang, tenang
dalam beribadah, tenang dalam perjuangan dan pengorbanannya, tenang karena
Allah menjadi poros segala amalnya, hati, ucapan dan tindakan.

Allah ta’ala berfirman dalam surat ar ra’du ayat 28

ْ ‫َط َمئِ ُّن قُلُوبُهُ ْم بِ ِذ ْك ِر هَّللا ِ أَاَل بِ ِذ ْك ِر هَّللا ِ ت‬


ُ‫َط َمئِ ُّن ْالقُلُوب‬ ْ ‫الَّ ِذينَ آ َمنُوا َوت‬
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hatinya menjadi tenteram dengan
mengingat Allah, Ingatlah hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenang.”

2.5 Sifat Manusia


1. Manusia mempunyai sifat berkeluh kesah lagi kikir QS. Al-Maarij : 19
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia
ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat
kikir.” (QS. 70 : 19-21).
Keluh kesah dan kikir timbul karena tidak adanya rasa syukur atas karunia
yang Allah berikan dan tidak sabar atas cobaan-Nya, sehingga ia senantisa kurang
dan tidak cukup dalam segala hal dan tidak sabar atas musibah –musibah yang
menimpanya. Apabila sifat ini dituruti, maka manusia akan terombang-ambing
dalam keragu-raguan, dan sikap su’udzon kepada Allah sehingga mengingkari
nikmat yang Allah berikan.
Untuk itu, sifat ini harus diluruskan dan diarahkan pada arah yang benar, yaitu
dengan mengerjakan sholat dan amalan-amalan sholeh lainnya. Sedangkan untuk
mengatasi sifat kikir yaitu dengan menginfaqkan hartanya kepada fakir miskin,
mendirikan sholat, menjaga atau menutup aurat.
2. Manusia bersifat Dhoif (lemah) QS. Annisa : 28
Allah berfirman dalam QS. An Nisa’ : 28
“Allah hendak memberi keringanan-keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan
bersifat lemah “(QS. 4 : 28).
Dengan tabiat kelemahannya itu, Allah memberikan keringanan dan
kemudahan baginya. Untuk mengatasi kelemahannya itu manusia harus menerima
kemudahan dan keringanan yang Allah berikan. Bagi manusia memadai apa yang
telah ia usahakan sesuai dengan keadaannya.

13
3. Manusia bersifat Ka’bad (susah payah)
Allah menciptakan manusia dalam keadaan yang sangat berat, yaitu adanya
berbagai halangan dan rintangan yang harus dihadaqpinya sebagaimana firman-
Nya dalam QS. Al-Balad : 4 “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia
berada dalam susah payah” ( QS. 90:4).
Untuk mengatasinya adalah dengan mengadakan perjuangan untuk
membebaskan perbudakan manusia diatas manusia. Apabila manusia enggan
mengadakam perjuangan, maka ia akan senantiasa berada didalam
kesusahpayahan itu. Oleh karene itu, ia harus bangkit menggunakan potensi yang
ada dan menyusun kekuatan bersama-sama untuk perjuangan pembebasan
tersebut. Allah berfirman dalam QS. Al-Balad : 10-20

2.6 Tujuan dan Fungsi Manusia sebagai Makhluk Allah

َ ‫ت ْال ِج َّن َواإل ْن‬


‫س إِال لِيَ ْعبُدُو ِن‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah-Ku”. (QS. Adz Dzariyat: 56).

Ayat di atas jelas menyebutkan tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah,
hanya menyembah Allah semata. Ayat ini mengisyaratkan pentingnya tauhid, karena
tauhid adalah bentuk ibadah yang paling agung, mengesakan Allah dalam ibadah.

Ayat ini juga mengisyaratkan pentingnya beramal, setelah tujuan pertama manusia
diciptakan adalah agar berilmu. Maka buah dari ilmu adalah beramal. Tidaklah ilmu
dicari dan dipelajari kecuali untuk diamalkan. Sebagaimana pohon, tidaklah ditanam
kecuali untuk mendapatkan buahnya. Karena ilmu adalah buah dari amal.

Fungsi manusia dijelaskan pada Surah Al-Baqarah Ayat 30

14
Isi Kandungan

a. Manusia berfungsi sebagai khalifah dibumi Allah


b. Fungsi khalifah dibumi sebagai berikut:
- menjadi pemimpin
- menyejahterakan dan memakmurkan bumi
c. Upaya antisipasi terhadap rintangan pada umat manusia karena di dalam
menjalankan fungsi atau tugas manusia, iblis dan setan tidak akan henti- hentinya
menggoda manusia agar tersesat.
d. Manusia yang mukhlis tidak akan mudah tergoda iblis atau setan

2.7 Tugas Manusia terhadap Diri Sendiri, Orang Lain dan Lingkungan
Tugas manusia adalah memelihara amanah yang Allah pikulkan kepadanya, setelah
langit, bumi dan gunung enggan memikulnya.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu
amat zalim dan amat bodoh, (Al-Ahzab:072)
Amanat Allah itu adalah berupa tanggung jawab memakmurkan bumi  dengan
melaksanakan hukum-Nya dalam kehidupan manusia di bumi ini. Sebagaimana yang
Allah tegaskan kepada nabi Daud as.
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,
maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Shaad:026)
Untuk menunaikan tangggung jawab yang dipikulkan kepadanya ini manusia harus
mengerahkan segala potensi (baik internal dan eksternal) yang ada pada dirinya, dan
harus sanggup berkorban dengan jiwa dan hartanya. Dengan pengerahan potensi dan
kesanggupan berkurban, maka tugas dan peran manusia untuk mewujudkan
kekhalifahan dan menegakkan hukum-Nya pasti akan dapat terwujud.
Adapun manusia yang tidak mau melaksanakan tugas enggan merealisasikan tugas
dan perannya, maka ia adalah manusia yang jahil (bodoh) dan dzalim. Sebagaimana

15
yang disinyalir oleh Allah SWT: “Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat
bodoh”. (33:72)
Kewajiban utama seorang muslim adalah shalat dan beribadah lainnya, kemudian
kewajiban terhadap diri sendiri adalah mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya. Bilamana sudah berkeluarga, maka kebutuhan untuk keluarganya. Perolehan
nafkah yang sudah tercukupi, wajib meringankan kebutuhan saudara, kerabatnya dan
masyarakat yang membutuhkan.
Kemudian kewajiban bagi dirinya sendiri merupakan keharusan yang mana
dikerjakan mendapatkan pahala, ketika ditinggalkan mendapatkan siksa. Dalam ajaran
Islam, bekerja merupakan kewajiban. Diriwayatkan Imam Thabrani dan Baihaqi,
“Mencari pekerjaan yang halal merupakan kewajiban setelah kewajiban beribadah
(ritual).” Nabi saw bersabda, “Berpagi-pagilah mencari rezeki dan kebutuhan hidup.
Karena dalam kepergian di pagi hari untuk bekerja itu terdapat keberkahan dan
kemenangan.”
Sedangkan kewajiban terhadap orang lain yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah, dia berkata Rasulullah bersabda “Terdapat lima kewajiban muslim terhadap
muslim lainnya.” (HR. al- Bukhari)
1. Menjawab salam.
2. Mendoakan orang bersin.
3. Menghadiri undangan.
4. Menjenguk orang sakit.
5. Menghantarkan jenazah.

2.8 Hakikat Ibadah dan Diterimanya Ibadah


Hakikat Ibadah dalam syariat islam mempunyai dua unsur, yaitu ketundukan dan
kecintaan yang paling dalam kepada Allah SWT. Unsur yang tertinggi adalah
ketundukan, sedangkan kecintaan merupakan implementasi dari ibadah tersebut. Pada
mulanya ibadah merupakan “hubungan” hati dengan yang dicintai, menuangkan isi
hati, kemudian tenggelam dan merasakan keasyikan, akhirnya sampai kepada puncak
kecintaan kepada Allah SWT. Kecintaan yang sempurna adalah kepada Allah SWT.
Setiap kecintaan yang bersifat sempurna terhadap selain Allah SWT adalah batil.
Dengan melihat hakikat dan pengertiannya Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa
ibadah merupakan kewajiban dari apa yang disyariatkan Allah SWT yang disampaikan
oleh para rasul-Nya dalam benyuk perintah dan larangan. Kewajiban itu muncul dari

16
lubuk hati orang yang mencintai Allah SWT. Di mana pun dan dalam keadaan apa pun,
manusia dituntut untuk selalu dalam keadaan sadar sebagai hamba Allah dan mampu
menguasai dirinya, sehingga segala sikap, ucapan, dan tindakannya selalu dalam
kontrol Ilahi.
Ibadah di dalam Islam terbadi menjadi dua jenis, yaitu Ibadah Mahdhah dan Ibadah
Ghairu Mahdhah.
1. Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah (murni), yaitu ibadah yang pedoman dan kaifiyat
pelaksanaannya sudah ditentukan berdasarkan keterangan nash dan bersifat baku;
sehingga manusia dilarang untuk menambah atau menguranginya. Contoh: shalat,
zakat, puasa, haji, umrah. Ibadah mahdhah akan diterima oleh Allah Ta’ala
jika memenuhi syarat berikut.

a. Pertama, niat yang benar (shihatun niyyati). Yakni niat yang ikhlash (murni),
tidak tercampuri oleh syirik atau maksud lainnya, sebagaimana difirmankan
oleh Allah Ta’ala,

ِ ِ‫َو َما أُ ِمرُوا إِال لِيَ ْعبُدُوا هَّللا َ ُم ْخل‬


َ ِ‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ ُحنَفَا َء َويُقِي ُموا الصَّالةَ َوي ُْؤتُوا ال َّز َكاةَ َو َذل‬
ُ‫ك ِدين‬
‫ْالقَيِّ َم ِة‬

“Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah


dengan mengikhlaskan ibadat kepadaNya, lagi tetap teguh diatas tauhid dan
supaya mereka mendirikan shalat serta memberi zakat. Dan demikian itulah
agama yang benar.” (QS. Al-Bayyinah, 98: 5).

‫َت ِهجْ َرتُهُ إِلَى هللاِ َو َرسُوْ لِ ِه‬ ْ ‫ فَ َم ْن َكان‬. ‫ئ َما ن ََوى‬ ِ ‫إِنَّ َما ْاألَ ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬
ٍ ‫ت َوإِنَّ َما لِ ُك ِّل ا ْم ِر‬
ُ‫ص ْيبُهَا أَوْ ا ْم َرأَ ٍة يَ ْن ِك ُحهَا فَ ِهجْ َرتُه‬
ِ ُ‫َت ِهجْ َرتُهُ لِ ُد ْنيَا ي‬ْ ‫ َو َم ْن َكان‬،‫فَ ِهجْ َرتُهُ إِلَى هللاِ َو َرسُوْ لِ ِه‬
‫ إِلَى َما هَا َج َر إِلَ ْي ِه‬.

“Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap


orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya
karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena
dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka

17
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” (HR. Bukhari &
Muslim)

b. Kedua, disyariatkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya (masyru’iyyah), dan


Ketiga, tata cara pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dan contoh dari
Rasul-Nya (kaifiyyatan).

Jadi, seorang muslim harus melaksanakan segenap peribadatan dengan


mengikuti ketentuan-ketentuan yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala, dan
mengikuti cara yang diridhai-Nya, jangan mengikuti cara yang dibuat oleh
manusia yang hanya didasari dengan dugaan dan memperturutkan hawa nafsu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan bahwa pengamalan


ibadah di dalam Islam wajib merujuk kepada perintah/contoh dari beliau dan
tidak diperkenankan berkreasi sendiri. Dari Ummul Mu’minin Ummu Abdillah
Aisyah radiyallahu ‘anha, ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,

َ ‫َث فِ ْي أَ ْم ِرنَا ه َذا َما لَي‬


‫ْس ِم ْنهُ فَهُ َو َر ٌّد‬ َ ‫َم ْن أَحْ د‬

‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang


bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak’.” (Diriwayatkan oleh al-
Bukhari dan Muslim).

Maka, seluruh ibadah mahdhah harus dilaksanakan sesuai syariat yang telah
ditentukan oleh Allah Ta’ala melalui Rasul-Nya. Tentang bagaimana
pelaksanaa shalat, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ُ‫صلُّوْ ا َك َما َرأَ ْيتُ ُموْ نِ ْي أ‬


‫صلِّ ْي‬ َ

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Al-Bukhari dari


Malik bin al-Huwairits).

2. Ibadah Ghairu Mahdhah


Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang pedoman dan kaifiyat
pelaksanaanya tidak ditentukan atau disebutkan secara rinci oleh nash.
Pelaksanaannya disesuaikan dengan tuntutan, kelapangan waktu, dan ‘urf (tradisi).

18
Contoh: menyantuni fakir miskin adalah ibadah. Tetapi nash tidak menentukan
bagaimana menyantuni fakir miskin itu secara rinci kecuali berupa pedoman dan
arahan umum. Oleh karena itu, berapa besar jumlah santunan, kepada siapa harus
diberikan, bagaimana teknisnya, dan lain-lain, semuanya diserahkan kepada
pertimbangan si penyantun selama dilakukan secara ma’ruf. Boleh diberikan secara
langsung oleh si penyantun, boleh diberikan melalui lembaga amal, boleh
diberikan berupa dana, boleh pula diberikan berupa barang, dan lain-lain.

Contoh lain misalnya ibadah menuntut ilmu. Kapan dan di mana harus dilakukan,
bagaimana teknisnya, bagaimana manajemen dan kurikulumnya, dan lain-lain,
semuanya diserahkan sesuai dengan tuntutan, kelapangan waktu, dan ‘urf (tradisi).

Begitupula ibadah berupa berdakwah. Semuanya dikembalikan kepada ijtihad


masing-masing du’at selama tidak bertentangan dengan dalil-dalil syariat yang
jelas. Maka berdakwah bisa melalui sarana sekolah/pesantren, partai politik,
yayasan, karang taruna, kelompok diskusi, dan perkumpulan lainnya.

Ibadah ghairu mahdhah ini akan diterima oleh Allah Ta’ala jika memenuhi
syarat berikut.

a. Pertama, ibadah tersebut diiringi niat yang ikhlas (ikhlashun niyyat). Hal ini
telah dijelaskan sebelumnya.
b. Kedua, ibadah tersebut adalah amal yang baik (al-‘amalus shalih). Yakni
perbuatan-perbuatan yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aqidah dan
syariat Allah Ta’ala.
- Makna amalan
Ibnu Faris dalam Mu’jamu Maqayisul Lughah berkata, “Ain – Mim –
Lam’ akar suatu kata yang menunjukkan pada satu makna yang sama,
yaitu semua pekerjaan yang dilakukan” (Mu’jamu Maqayisul Lughah ,
1/17, Cet: Darul Kutub ‘Alamiyah).
Raghib al Asfahaniy berkata, “Amalan adalah semua pekerjaan yang
berasal dari makhluk hidup dan dilakukan dengan sengaja” (Al-Mufradaat
Fi Gharibul Qur’an:351, Cet: Darul Ma’rifat).

- Makna shalih

19
Ibnu Faris dalam Mu’jamu Maqayisul Lughah berkata, “Shad-lam-ha, ‘
akar suatu kata yang menunjukkan pada satu makna yang sama yaitu
lawan dari kerusakan” (Mu’jamu Maqayisul Lughah, 1/17, Cet: Darul
Kutub ‘Alamiyah).

Syaikh Ahmad bin Yusuf Al Halabiy berkata, “‫ الصالح‬maknanya adalah


lawan dari kerusakan, lawan dari keshalihan di dalam al Qur’an adalah
kerusakan [‫ ] الفساد‬dan kejelakan [‫ ] السيء‬sebagaimana dalam firman Allah
(yang artinya), “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kalian
berbuat kerusakan di muka bumi, mereka mengatakan hanya saja kami
adalah orang-orang yang berbuat perbaikan’” (QS. Al Baqarah:11).

Kesimpulannya, amal shalih adalah perbuatan baik yang dapat membuat


kebaikan dan dilakukan secara sengaja.

Kenapa Perbuatan Baik Dikatakan Sebagai Amal shalih?

Syaikh Abdurrahman as Sa’diy dalam Taisiru Karimir Rahman


mengatakan, “Amalan yang baik dinamakan amal shalih karena dengan
sebab amal shalih keadaan urusan dunia dan akhirat seorang hamba Allah
akan menjadi baik dan akan hilang seluruh keadaan- keadaannya yang
rusak. Dengan amalan yang baik tersebut seseorang akan termasuk
golongan orang yang shalih yang pantas bersanding dengan Allah Yang
Maha Pengasih di dalam surga-Nya” (Taisiru Karimir Rahman: 1/62,cet:
Markaz Shalih bin Shalih ats Tsaqafiy).

Kapan Suatu Amalan Menjadi Shalih?

Suatu amalan dalam agama Islam dikatakan sebagai amal shalih apabila
terpenuhi di dalamnya dua syarat, yaitu Ikhlas karena Allah dan mengikuti
sunnah Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam dalam hal
sebab, jenis, kadar, tata cara, waktu, dan tempat (Ahkam Minal
Qur’an:1/94 syaikh Utsaimin).

20
Dalam konteks pembicaraan tentang ibadah ghairu mahdhah, maka ibadah
itu akan diterima oleh Allah Ta’ala jika al-ittiba’ manhajan (mengikuti
pedoman dari Allah dan Rasul-Nya).

2.9 Keterkaitan Makrifatul Insan dengan Dunia Keperawatan


Makrifatul insan dalam dunia keperawatan berhubungan dengan hak manusia
kepada manusia lain. Hak manusia terhadap orang lain adalah hukum agama yang
memerintahkan manusia memenuhi keinginan pribadinya dengan tidak melampaui
batas, dan tidak merusak hak orang lain.
Menurut Kusnanto (2004), beberapa peran perawat terdiri dari:
a. Pemberi Asuhan Keperawatan dan Edukator
Hukum agama memerintahkan agar manusia berbuat baik dan bermanfaat bagi
orang lain yang dalam dunia keperawatan dimanifestasikan dalam pemberian
asuhan keperawatan. Asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan
memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui
pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan
sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan
dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia,
kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan
keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks.
Sedangkan peran edukator dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan
tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang
diberikankan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan
pendidikan kesehatan. Dalam  al-Qur’an surat al-Qashash ayat 77 disebutkan:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

21
b. Advokat Klien
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain
khusunya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang
diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi
hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas
informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menntukan nasibnya
sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.
Seluruh informasi dan keadaan klinis pasien bersifat rahasia. Sebagai perawat,
kita harus menjaga privasi pasien dengan tidak membicarakan hal-hal yang dialami
pasien dengan orang lain kecuali dalam hal yang menunjang kesembuhan pasien,
misalnya mendiskusikan tentang perubahan terapi untuk pasien dan perencanaan
perawatan pasien selama di rumah serta hal-hal yang berhubungan dengan
penegakan hukum. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

‫ض ُكم‬ ْ ‫ض ٱلظَّنِّ إِ ۡث ۬ۖ ٌ‌م َواَل ت ََج َّسس‬


ُ ‫ُوا َواَل يَ ۡغتَب ب َّۡع‬ َ ‫ُوا َكثِي ۬ ًرا ِّمنَ ٱلظَّنِّ إِ َّن بَ ۡع‬ ْ ‫ٱجتَنِب‬
ۡ ‫وا‬ْ ُ‫يَ ٰـٓأَيُّہَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
‫َّحي ۬ ٌم‬
ِ ‫َّابٌ ر‬ ِ ْ ُ‫ڪ َل لَ ۡح َم أَ ِخي ِه َم ۡي ۬تًا فَ َك ِر ۡهتُ ُمو ۚ‌هُ َوٱتَّق‬
۬ ‫وا ٱهَّلل ۚ‌َ إ َّن ٱهَّلل َ تَو‬ ُ ‫ض ۚا‌ أَيُ ِحبُّ أَ َح ُدڪُمۡ أَن يَ ۡأ‬
ً ‫بَ ۡع‬

Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,


sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-
cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian
yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.”(Q.S. Al-Hujurat [49] :12).
c. Konsultan
Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan
keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien
terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan. Allah
melarang manusia berbuat dusta. Menipu orang adalah suatu kesalahan dimana
dusta dapat menjadi sumber bahaya bagi orang lain. Layaknya sebagai perawat,
kita harus memberikan informasi yang benar, dengan tidak ditambah-tambahi dan
tidak dikurang-kurangi serta bisa dipertanggungjawabkan. Segala hal mengenai
keadaan klinis, perjalanan penyakit, prognosis penyakit, pengobatan, biaya, dan

22
hal-hal lain yang berhubungan dengan pasien harus disampaikan dengan jujur.
Sebagaimana firman Allah ta’ala:

َ‫ت هَّللا ِ ۖ َوأُو ٰلَئِكَ ُه ُم ا ْل َكا ِذبُون‬


ِ ‫إِنَّ َما يَ ْفتَ ِري ا ْل َك ِذ َب الَّ ِذينَ اَل يُؤْ ِمنُونَ بِآيَا‬

Artinya: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang


yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah orang-orang
pendusta.”(QS. An-Nahl: 105)

Dalil Hadits
‫ق يَ ْه ِدي إِلَى ْالبِرِّ َوإِ َّن ْالبِ َّر يَ ْه ِدي إِلَى‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل إِ َّن الصِّ ْد‬
َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ع َْن النَّبِ ِّي‬
ِ ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ َر‬
ِ َّ‫ُور َوإِ َّن ْالفُجُو َر يَ ْه ِدي إِلَى الن‬
‫ار َوإِ َّن‬ ِ ‫ب يَ ْه ِدي ِإلَى ْالفُج‬ َ ‫صدِّيقًا َوإِ َّن ْال َك ِذ‬ِ َ‫ق َحتَّى يَ ُكون‬ ُ ‫ْال َجنَّ ِة َوإِ َّن ال َّر ُج َل لَيَصْ ُد‬
‫َب ِع ْن َد هَّللا ِ َك َّذابًا‬
َ ‫ال َّرج َُل لَيَ ْك ِذبُ َحتَّى يُ ْكت‬
Artinya : dari Abdullah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
beliau bersabda: "Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan
kebaikan itu akan membimbing ke surga, sesungguhnya jika seseorang yang
senantiasa berlaku jujur hingga ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan
sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan sesungguhnya
kejahatan itu akan menggiring ke neraka. Dan sesungguhnya jika seseorang yang
selalu berdusta sehingga akan dicatat baginya sebagai seorang pendusta." (HR.
Bukhari)

‫ق يَ ْه ِدي إِلَى ْالبِ ِّر َوإِ َّن‬ ِّ ‫ق فَإ ِ َّن ال‬


َ ‫ص ْد‬ ِ ‫ص ْد‬ ِّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َعلَ ْي ُك ْم بِال‬
َ ِ ‫ال قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َم ْسعُو ٍد ق‬
َ ‫صدِّيقًا َوإِيَّا ُك ْم َو ْال َك ِذ‬
‫ب فَإ ِ َّن‬ ِ ِ ‫َب ِع ْن َد هَّللا‬ َ ‫ق َحتَّى يُ ْكت‬ َ ‫ص ْد‬ ِّ ‫ق َويَت ََحرَّى ال‬ ُ ‫ْالبِ َّر يَ ْه ِدي إِلَى ْال َجنَّ ِة َو َما يَزَا ُل ال َّر ُج ُل يَصْ ُد‬
ِ ‫َب ِع ْن َد هَّللا‬ َ ‫ار َو َما يَزَا ُل ْال َع ْب ُد يَ ْك ِذبُ َويَت ََحرَّى ْال َك ِذ‬
َ ‫ب َحتَّى يُ ْكت‬ َ ‫ُور َوإِ َّن ْالفُج‬
ِ َّ‫ُور يَ ْه ِدي ِإلَى الن‬ ِ ‫ب يَ ْه ِدي إِلَى ْالفُج‬
َ ‫ْال َك ِذ‬
‫َك َّذابًا‬
Artinya : dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Hendaklah kalian bersikap jujur, karena kejujuran itu akan
membawa pada kebaikan, sedangkan kebaikan akan membawa kepada surga.
Tidaklah seorang bersikap jujur dan selalu berbuat jujur hingga ia ditulis di sisi
Allah sebagai orang yang jujur. Dan hendaklah kalian menjauhi sikap dusta, karena
kedustaan itu akan membawa pada kekejian, sedangkan kekejian akan membawa
kepada neraka. Dan tidaklah seorang berbuat dusta dan selalu berdusta hingga ia
ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta." (HR. Tirmidzi)

23
d. Peneliti / Pembaharu
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan,
kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian
pelayanan keperawatan.
Perawat sebagai manusia yang memiliki akal pikiran dapat menemukan ilmu
pengetahuan atau terobosan terbaru dalam dunia keperawatan yang bermanfaat
untuk meningkatkan pelayanan keperawatan dan kualitas perawat di masa yang
akan datang. Ilmu-ilmu tersebut didapat dari fenomena-fenomena terjadi dan
pengalaman-pengalaman yang dialami perawat di lingkungan kerja. Untuk
menemukan ilmu-ilmu tersebut, perawat akan menggunakan akal pikirannya yang
memang hal ini telah menjadi Qudrat dan Irodat Allah bahwa manusia dapat
memikirkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Adapun ayat Al-Quran yang menyuruh manusia untuk berpikir, diantaranya:

“Katakanlah : “perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah


bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul yang member peringatan bagi
orang-orang yang tidak beriman” (Yunus [10] : 101)

“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka/ Allah
tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan
dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya
kebanyakan diantara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan
Tuhannya.” (Ar-Rum [30] : 8)

24
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Manusia merupakan makhluk yang Allah ciptakan dari tanah dan kemudian
disempurnakan dengan ruh dan akal yang menjadi keistimewaan daripada makhluk-
makhluk lain. Beserta segala potensi yang Allah telah karuniakan, manusia ialah utusan
Allah bagi bumi, menjadi pemelihara bagi dirinya sendiri, pemimpin bagi orang lain,
dan keberlangsungan lingkungan hidup. Melalui akalnya, manusia akan belajar dan
mengerti mana hal yang khair (baik) dan shyar/bathil (buruk).
Selain beragam tanggung jawabnya di dunia, keberadaan dan tujuan utama
manusia di bumi tidak lain untuk beribadah kepada Allah. Seluruh aktivitasnya diiringi
dengan ibadah menyembah Allah semata, sebagai bekal untuk kembali pada tempat
bermulanya, yaitu akhirat.
3.2 Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa memahami tujuan
penciptaan manusia dan mampu mengamalkan dalam pemberian asuhan keperawatan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranul Kareem

Yusuf Al-Qardhawi, Al-‘Ibadah fi al –Islam, (Beirut: Muassasah al-Risalah,cet.6,1979),


hal.32-33.

kitab “Al-Ibadah fil Islam”, DR Yusuf Al Qardhawi

Khasinah, Siti. 2013. Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat. Jurnal Ilmiah
DIDAKTIKA. VOL. XIII, NO. 2, 296-317

Arofah, Rahmat. 2015. Telaah Hakikat Manusia dan Relasinya Terhadap Proses Pendidikan
Islam. Jurnal Pendidikan Islam. VOL 1, No 1

Masrohan, 2014. Hakikat Manusia dalam Al-Qur’an. Wahana Akademia. VOL. 1 No. 1, 29-
40

Handrianto, B. (2002). Kebeningan Hati dan Pikiran: Reflekso Tasawuf Kehidupan Orang
Kantoran. Jakarta: Gema Insani.
Ummatin, K. (2011). 40 Hadits Shahih. Yojgakarta: Pustaka Pesantren.
Al-Muhairy, Tengku Azhar . 2013. Amanah Allah Kepada Manusia. Tafsir . Maklumat

 Al Fairuuz Abadi : Bashairu Dzawi at Tamyiz fi Lathaif al Kitab al Aziz, Qahirah : Lajnah
Ihya at Turats al ‘Araby, 1412 H, Jilid 5, hlm 359.
 
Asy Syariif Al Jurzani: Kitab at Ta’rifat, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1403 H, hlm
243.

Ibnu Katsir: Tafsir al Qur’an al Adzhim, Daar Thayyibah li nushr wa at tauzi’, 1420 H, Jilid
4, hlm 394.

26

Anda mungkin juga menyukai