Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

INSTRUMEN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

DOSEN PEMBIMBING
Wenny Widya Wahyudi SP, M.Si

DISUSUN OLEH
Sindy Kanaya

1910015311022

UNIVERSITAS BUNG HATTA


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
2020/2021
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Instrumen dalam Kehidupan Sosial ini tepat
pada waktunya.

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas UTS Ibu Wenny Widya
Wahyudi SP, M.Si pada mata kuliah Aspek Sosial dalam Perencanaan. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang struktur sosial, kelembagaan sosial, perubahan
sosial, dan pengendalian sosial bagi para pembaca dan bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Wenny Widya Wahyudi selaku dosen mata kuliah
Aspek Sosial dalam Perencanaan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jambi 20 april 2020

Sindy Kanaya

ii
Daftar Isi

Judul………………………………………………………………………………………………..i

Kata pengantar……………………………………………………………………………….........ii

Daftar isi……………………………………………………………………………………….....iii

Bab I Pendahuluan

A. Latar belakang……………………………………………………………………………..1
B. Rumusan masalah…………………………………………………………………………1
C. Tujuan masalah……………………………………………………………………………1

Bab II Pembahasan

A. Pengertian dan fungsi struktur sosial……………………………………………………...2

B. Ciri-ciri struktur sosial dan kaitannya dengan pembangunan……………………………..2


C. Pengertian perubahan sosial……………………………………………………………….3
D. Proses terjadinya perubahan sosial………………………………………………………..5
E. Pengertian dan pola pengendalian sosial………………………………………………….6
F. Sifat dan jenis pengendalian sosial………………………………………………………..7
G. Cara-cara pengendalian sosial…………………………………………………………….9
H. Pengertian kelembagaan sosial…………………………………………………………..10
I. Tujuan dan fungsi kelembagaan sosial…………………………………………………..10
J. Ciri-ciri kelembagaan sosial……………………………………………………………..11

Bab III Penutup

A. Kesimpulan………………………………………………………………………………12
B. Saran……………………………………………………………………………………..12

Daftar pustaka……………………………………………………………………………………13

iii
Bab I

Pendahuluan

A. Latar belakang
Di dalam kehidupan bermasyarakat tentunya kita memiliki struktur sosial yang sudah
dikenal sejak lama yaitu adanya suatu tingkatan dalam masyarakat. Perbedaan pada setiap
tingkatan masyarakat tersebut menimbulkan beberapa perubahan didalam kehidupan
sosial yang menyebabkan beberapa konflik sehingga dilakukanlah pengendalian agar
terjadinya keseimbangan kehidupan bermasyarakat yang damai dan tentram melalui
kelembagaan sosial.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian, fungsi dan ciri-ciri dari struktur sosial serta perannya terhadap
pembangunan?
2. Apa pengertian perubahan sosial dan bagaimana perubahan itu terjadi di lingkungan
sosial?
3. Apa pengertian, sifat, jenis dari pengendalian sosial dan bagaimana cara-cara untuk
melakukan pengendalian sosial?
4. Apa pengertian, tujuan dan fungsi dari kelembagaan sosial?

C. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui pengertian, fungsi dan ciri-ciri dari struktur sosial serta perananya
terhadap pembangunan
2. Untuk mengetahui pengertian perubahan sosial dan bagaimana perubahan itu dapat
terjadi
3. Untuk mengetahui pengertian, sifat dan jenis dari pengendalian sosial serta cara apa
saja yang dilakukan untuk melakukan pengendalian tersebut di lingkungan
bermasyarakat
4. Untuk mengetahui pengertian, tujuan dan fungsi dari kelembagaan sosial

1
Bab II

Pembahasan

A. Pengertian dan fungsi struktur sosial


Struktur sosial merupakan suatu bangunan sosial yang terdiri dari berbagai unsur
pembentuk masyarakat (Setiadi dan Kolip, 2011). Koentjaraningrat juga menjelaskan bahwa
struktur sosial merupakan kerangka yang dapat menggambarkan kaitan berbagai unsur
dalam masyarakat (Setiadi dan Kolip, 2011). Abdulsyani (1994) juga menjelaskan bahwa
struktur sosial di dalamnya terdapat hubungan timbal balik yang menjadi tatanan sosial
masyarakat sehingga status dan peran membentuk keteraturan perilaku yang nantinya
memberi bentuk masyarakat. Secara garis besar dapat dipahami bahwa struktur sosial
merupakan jalinan unsur-unsur pembentuk masyarakat yang berfungsi untuk memberikan
keteraturan bentuk masyarakat.

Struktur sosial yang berkembang di masyarakat memiliki fungsi (Hoogvelt dalam


Abdulsyani, 1994):
1. Fungsi mempertahankan pola (pattern maintenance);

2. Fungsi integrasi;

3. Fungsi pencapaian tujuan (goal attainment);

4. Fungsi adaptasi;

B. Ciri-ciri struktur sosial dan kaitannya dengan pembangunan


Ciri-ciri struktur sosial meliputi (Abdulsyani, 1994):
1. Struktur sosial dapat diartikan hubungan sosial yang nantinya akan memberikan bentuk
pada kehidupan sosial sehingga memberikan batasan terhadap aksi-aksi yang
dilakukan dalam bentuk organisatoris.

2. Struktur sosial dapat dilihat melalui hubungan antar individu pada periode tertentu.
3. Struktur sosial apabila dipandang dari sudut teoritis merupakan kebudayaan
masyarakat.

4. Struktur sosial bersifat statis akibat dari realitas sosial.

2
5. Struktur sosial merupakan transformasi masyarakat yang terdiri dari perubahan dan
perkembangan.
Peran struktur sosial yang terjalin dengan baik dapat meningkatkan efektifitas program
pembangunan sarana prasarana permukiman perkotaan dengan pendeketan wawancara
mendalam.
Struktur sosial dalam pembangunan memberikan pandangan terhadap prinsip-prinsip
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dalam pelaksanaan program, membuat masyarakat
menjadi terkoordinasi dalam suatu sistem pada program, memobilisasi masyarakat dalam
penentuan dan pencapaian tujuan yang harus dilaksanakan dalam program, serta hubungan
yang didasarkan pada struktur sosial mampu menjadi sarana masyarakat dalam
menyesuaikan terhadap perubahan lingkungannya.

C. Pengertian perubahan sosial


Rogers et.al. mengemukakan bahwa perubahan sosial adalah suatu proses yang
melahirkan perubahan-perubahan didalam struktur dan fungsi dari suatu sistem
kemasyarkatan. Sedangkan Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi mengemukakan bahwa
perubahan sosial diartikan sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima,
baik karena perubahan-peubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi
penduduk, idiologi, maupun karena adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam
masyarakat tersebut.
Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat terjadi dalam masyarakat maupun terjadi
karena faktor-faktor yang datang dari luar. Berdasarkan hal tersebut maka diperoleh tiga
kategori perubahan sosial yaitu :
1. Immanent Change; yang merupakan suatu bentuk perubahan sosial yang berasal dari
dalam sistem itu sendiri dengan sedikit atau tanpa inisiatif dari luar.
2. Selective Contact Change; yaitu outsider seca tidak sadar dan spontan membawa ide-
ide baru kepada anggota-anggota dari pada suatu sistem sosial.
3. Directed Contact Change; yaitu apabila ide-ide baru, atau cara-cara baru tersebut
dibawa dengan sengaja oleh outsider.

Jika dilihat dari proses perubahan itu sendiri memiliki tahap-tahap tertentu, yang dalam
hal ini ada tiga tahap yaitu :

3
1. Invention; yang merupakan proses perubahan dalam masa suatu ide baru diciptakan
dan dikembangkan dedalam masyarakat.

2. Diffusion; yang merupakan suatu proses dalam mana ide-ide baru tersebut
disampaikan melalui suatu sistem-sistem hubungan sosial tertentu

3. Consequence; yang merupakan proses perubahan yang terjadi dalam sistem


masyarakat tersebut, sebagai hasil dari adopsi (penerimaan) mauoun rejection
(penolakan) terhadap ide-ide baru.

Bila dilihat dari tahap-tahap terrsebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa terjadinya
perubahan ada yang diterima dan ada yang menolak sehingga didapatkan beberapa faktor
yang mendorong terjadinya perubahan sosial dan juga faktor penghambat bagi terjadinya
perubahan sosial.

Faktor-faktor yang mendorong jalannya perubahan, yaitu :

1. Kontak dengan kebudayaan lain

2. Sistem pendidikan formal yang maju

3. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju

4. Toleransi terhadap perbuatn-perbuatan yang menyimpang (deviation) yang bukan


merupakan delik

5. Sistem terbuka lapisan masyarakat

6. Penduduk yang heterogen

7. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu

8. Orientasi ke masa depan

9. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya

Faktor yang menghalangi perubahan yaitu :

1. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain

2. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat

3. Sikap masyarakat yang sangat tradisional

4
4. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested
interests

5. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan

6. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap yang tertutup

7. Hambatan-hambatan yang bersifat idiologis

8. Adat atau kebiasaan

9. Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki

D. Proses terjadinya perubahan sosial


Perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma
sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan
dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya. Salah
satu alasan terjadinya perubahan-perubahan tersebut yaitu adanya urbanisasi, apalagi gejala
perpindahan penduduk semakin intens di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Adanya modernisasi berupa kemajuan peradaban yang mendorong penduduk desa beramai-
ramai masuk ke kota-kota besar untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan ekonomi,
tanpa mempedulikan kerasnya persaingan.
Terjadinya perpindahan penduduk tersebut tentunya membawa perubahan-perubahan
sosial baik yang didapatkan di tempat tujuan maupun dibawa dari tempat asalnya. Di dalam
kehidupan sosial perubahan-perubahan sosial itu tentunya membawa beberapa dampak
sehingga selalu terdapat alat kontrol sosial atau alat kendali untuk mengendalikan bebagai
tingkah laku anggota tesebut tetap dalam batas-batas tingkah konformis. Artinya perilaku
manusia selalu dibatasi dalam batasan antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang
tidak boleh dilakukan. Batasan ini tentu dalam bentuk perintah dan larangan. Perintah dan
larangan atas perilaku manusia ini dinamakan pengendalian sosial (social control).

5
E. Pengertian dan pola pengendalian sosial

Bruce J. Cohen (dalam Setiadi, 2011:252), mengemukakan bahwa “Pengendalian sosial


sebagai cara-cara yang digunakan untuk mendorong seseorang agar selaras dengan kehendak
kelompok atau masyarakat luas tertentu.
Joseph S. Roucek (dalam Setiadi, 2011:252) membatasi “pengendalian sosial segala
proses, baik direncanakan maupun tidak direncanakan yang bersifat mendidik, mengajak,
atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial
yang berlaku”.
Senada dengan Roucek, Setiadi (2011:253) memberikan batasan “Pengendalian sosial
adalah cara dan proses pengawasan yang direncanakan atau tidak yang bertujuan untuk
mengajak, mendidik, bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi norma dan nilai
sosial yang berlaku di dalam kelompoknya”.
Dari berbagai batasan tersebut dapat dimaknai bahwa pengendalian sosial adalah semua
cara atau proses pengawasan yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa
anggota masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial untuk mendorong
mereka berperilaku selaras dengan kehendak kelompok masyarakat tertentu.
Sehingga dapat disimpulkan oleh Koentjaraningrat menyebut setidaknya ada lima macam
fungsi pengendalian sosial, yaitu:
(1) Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma
(2) Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma
(3) Mengembangkan rasa malu
(4) Mengembangkan rasa takut
(5) Menciptakan sistem hukum.
Hanya saja pengendalian sosial akan dapat dilakukan sesuai dengan fungsinya apabila
didasarkan pada wewenang yang terdapat pada masyarakat. Jika wewenang itu tidak ada,
dipastikan pengendalian juga tidak akan ada. Dalam hal itulah penting adanya kewenangan
atau keputusan yang diberikan dari pihak pemegang otoritas kepada pihak tertentu.
Kemudian pemberian kewenangan tersebut tidak akan mungkin hanya dalam bentuk
ancaman atau kekerasan semata. Sebab, kebanyakan masyarakat tersusun atas dasar sistem
pengendalian di mana kekerasan merupakan upaya yang paling terakhir (Soerjono Soekanto:
2011: 306).

6
Kewenangan dimaksud harus tersosialisasi kepada anggota masyarakat dengan harapan
agar mereka berperilaku dan bersikap sesuai dengan pola bersama. Apabila sosialisasi ini
tidak berhasil, prosesproses pengendalian sosial dapat digiatkan (Bruce J. Cohen: 1992: 199)
sehingga tercipta jaminan kehidupan yang damai dan tertib sebagai sesuatu yang mutlak
harus diciptakan oleh hukum (Peter Mahmud Marzuki: 2014): 128). Melalui proses
sosialisasi, seseorang dapat mempelajari perilaku yang dapat diterima dalam berbagai situasi
dan belajar untuk membedakan antara pola-pola perilaku yang pantas dan tidak pantas.
Dalam pengendalian sosial kita bisa melihat pengendalian sosial berproses pada tiga pola
yakni:
(1) Pengendalian kelompok terhadap kelompok
(2) Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya
(3) Pengendalian pribadi terhadap pribadi lainnya.

F. Sifat dan jenis pengendalian sosial

Setiadi (2011) membagi sifat-sifat pengendalian sosial menjadi dua, yaitu:


a. Pengendalian sosial preventif
Sifat pengendalian preventif adalah segala bentuk pengendalian sosial yang berupa
pencegahan atas perilaku meyimpang (deviation) agar kehidupan sosial tetap kondusif
(konformis). Adapun keadaan konformis dari kehidupan sosial hanya akan tercapai jika
perilaku sosial dalam keadaan terkendali. Dengan demikian, tindakan pencegahan adalah
kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap norma sosial yang berlaku.
b. Pengendalian sosial represif
Pengendalian sosial secara represif adalah bentuk pengendalian sosial yang bertujuan
untuk mengembalikan kekacauan sosial atau mengembalikan situasi deviasi menjadi
keadaan kondusif kembali (konformis). Dengan demikian, pengendalian sosial represif
merupakan bentuk pengendalian di mana penyimpangan sosial sudah terjadi kemudian
dikembalikan lagi agar situasi sosial menjadi kembali normal. Yaitu situasi di mana
masyarakat mematuhi norma sosial kembali. (Setiadi, 2011:255-256)
Maryati (2001) mengklasifikasikan jenis pengendalian sosial untuk mencegah perilaku
menyimpang antara lain sebagai berikut :

7
1. Desas-desus (gosip)
Merupakan kabar angin (kabar burung). Kabar ini berupa kabar yang menyebar secara
cepat dan kadang-kadang tidak berdasarkan fakta atau kenyataan. Kebenaran berita
tersebut masih diragukan. Gossip sebagai bentuk pengendalian sosial dapat membuat
pelaku pelanggaran sadar akan perbuatannya dan kembali kepada perilaku yang sesuai
dengan norma-norma dalam masyarakatnya. Hal ini akan membuat pelaku bertindak
lebih berhati-hati dan tidak mengulangi perbuatannya.
2. Teguran
Adalah peingatan yang ditujukan kepada seseorang yang melakukan penyimpangan.
Teguran dapat lisan maupun lisan. Tujuan teguran adalah membuat si pelaku sesegera
mungkin menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya. Teguran dalam organisasi
formal dilakukan secara bertahap. Biasanya teguran dilakukan sebanyak tiga kali
secara tertulis. Jika teguran demi teguran tidak diindahkan, maka pelaku pelanggaran
akan dikenakan sanksi disiplin.
3. Hukuman (punishment)
Hukuman adalah sanksi negatif yang diberikan kepada seseorang yang melanggar
peraturan tertulis atau tidak tertulis.
4. Pendidikan
Merupakan pengendalian sosial yang telah melembaga baik di lingkungan keluarga
maupun lingkungan masyarakat. Pendidikan membimbing seseorang agar menjadi
manusia yang bertanggung jawab dan berguna bagi agama, nusa dan bangsanya.
Pendidikan disekolah bukan hanya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi
juga mendidik berdisiplin agar bertindak tertib dan teratur dalam kehidupan di
masyarakat.
5. Agama
Merupakan pedoman hidup untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi
penganutnya. Oleh karena itu, seseorang memeluk suatu agama dituntut untuk
melaksanakan kewajibannya dan menjauhi larangan yang telah digariskan dalam
ajaran agamanya. Jika seseorang meyakini dan patuh pada agamanya, maka dengan
sendirinya perilaku akan terkendali dari bentuk perilaku menyimpang.

8
6. Kekerasan fisik
Tindakan ini sebetulnya merupakan alternatif terakhir dalam pengendalian sosial
apabila alternatif lain sudah tidak mempan diterapkan. (Maryati, 2001:113-114)

G. Cara-cara pengendalian sosial

Ada berbagai cara pengendalian sosial agar anggota masyarakat berperilaku selaras
dengan nilai dan norma yang ada dimasyarakat. Cara-cara mengendalian sosial tersebut
yaitu dengan cara persuasif dan koersif (Muin, 2006:171) :
 Cara persuasive menekankan pada usaha untuk mengajak atau membimbing anggota
masyarakat agar dapat bertindak sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku di
masyarakat. Cara ini menekankan pada segi nilai kognitif (pengetahuan) dan nilai
afektif (sikap).
 Cara koersif adalah pengendalian sosial yang menekankan pada tindakan atau
ancaman yang menggunakan kekuatan fisik. Tujuan tindakan ini agar si pelaku jera
dan tidak melakukan perbuatannya itu lagi. Akan tetapi, cara-cara ini sangat
berbahaya karena kekerasan/paksaan akan menimbulkan respon yang negatif pula
baik secara langsung maupun tidak langsung (Muin, 2006:171). Sebab, apabila
menyelesaikan masalah dengan kekerasan akan menghasilkan banyak kekerasan
pula.
Cara pengendalian lainnya pada dasarnya dapat dibedakan pada sifatnya yang formal dan
informal. Cara-cara seperti membujuk, memperolok, mempermalukan dan mengucilkan,
misalnya dapat dimasukkan dalam katagori pengendalian yang sifatnya informal. Sedangkan
apabila pengendalian diatur oleh hukum tertulis atau aturan-aturan formal lainnya, maka
pengendalian ini adalah bersifat formal. Hukum sebagai pranata sosial menjadi instrumen
yang sangat penting bagi sarana mengatur (Satjipto Rahardjo:1996:19). Perwujudan
pengendalian sosial nya mungkin dapat berupa pemidanaan, kompensasi, terapi atau
konsiliasi.
Setiap pengendalian dalam masyarakat pasti dijalankan oleh sebuah (atau lebih)
kelembagaan. Untuk kebutuhan hidup, dalam hal berproduksi dan distribusi, dijalankan oleh
kelembagaan ekonomi. Setiap orang yang terlibat di dalamnya diikat oleh suatu pola nilai
dan norma sebagai pedoman bersikap dan berperilaku.

9
H. Pengertian kelembagaan sosial
Kelembagaan sosial ialah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada
aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan
masyarakat (Koentjaraningrat, 1996). Kelembagaan sosial juga dimaknai sebagai himpunan
norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam
kehidupan masyarakat (Mutiara, 2015;Soekanto, 2003).
Kelembagaan adalah sekumpulan jaringan dari relasi sosial yang melibatkan orang-orang
tertentu, memiliki tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur.
Kelembagaan dapat berbentuk sebuah relasi sosial yang melembaga (non formal institution),
atau dapat berupa lembaga dengan struktur dan badan hukum (formal institution). Suatu
relasi sosial dapat disebut sebagai sebuah kelembagaan apabila memiliki empat komponen,
yaitu adanya:
(1) Komponen aturan/kebijakan
Setiap kelembagaan mengembangkan seperangkat kesepakatan yang dipegang secara
bersama, sehingga peran masing-masing yang terlibat dalam lembaga tersebut dapat
kelihatan
(2) Komponen person (SDM)
Orang-orang yangterlibat di dalam satu kelembagaan dapat di identifikasi dengan jelas
(3) Komponen kepentingan (koordinasi)
Orang-orang tersebut pasti sedang diikat oleh satu kepentingan atau tujuan, sehingga
di antara mereka harus saling berinteraksi
(4) Komponen struktur/institusi dan tata laksana
Setiap orang memiliki posisi dan peran,yang harus dijalankannya secara benar. Orang
tidak bisa mengubah posisinya dengan kemauan sendiri.

I. Tujuan dan fungsi kelembagaan sosial


Kelembagaan sosial memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia.
Kelembagaan sosial memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai berikut :
(1) Sebagai pedoman anggota masyarakat dalam bertingkahlaku atau bersikap untuk
menghadapi masalah dalam masyarakat, khususnya yang menyangkut kebutuhan
manusia

10
(2) Sebagai penjaga bagi keutuhan masyarakat
(3) Menjadi pedoman dalam sistem pengendalian sosial terhadap tingkah laku anggota
masyarakat.

J. Ciri-ciri kelembagaan sosial


Ciri-ciri pokok yang membedakan kelembagaan sosial dengan konsepsi lain (Mutiara,
2015; Soekanto,1990) :
(1) Merupakan pengorganisasian pola pemikiran yang terwujud melalui aktivitas
masyarakat dan hasil-hasilnya
(2) Memiliki kekekalan tertentu
(3) Mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu
(4) Mempunyai lambang-lambang yang secara simbolik menggambarkan tujuan
(5) Mempunyai alat untuk mencapai tujuan tertentu
(6) Mempunyai tradisi tertulis atau tidak tertulis.
Selain itu, Lembaga-lembaga sosial tentunya memiliki program kerja dan distribusi
pembagian tugas-tugas yang kemudian memiliki target dan capaian yang jelas.

11
Bab III
Penutup

A. Kesimpulan
Didalam kehidupan bersosial tentunya memiliki perbedaan dalam tingkatan kehidupan.
Perbedaan yang terjadi menimbulkan beberapa perubahan-perubahan dikehidupan bersosial,
karena adanya kemajuan-kemajuan peradaban yang belum merata. Perubahan sosial yang
terjadi harus dikendalikan agar anggota masyarakat selaras dengan aturan kelompok atau
masyarakat luas serta tidak keluar dari jalurnya yang kemudian diharapakan terciptanya
kehidupan bersosial yang rukun dan damai. Pengendalian sosial tersebut dapat secara
informal maupun formal sepeti adanya kelembagaan sosial tertentu yang berperan untuk
mengatur dan sebagainya agar anggota masyarakat selaras membangun kehidupan sosial
yang rukun dan damai.

B. Saran
Terkait dengan hal pembangunan yang belum merata sehingga menyebabkan
meningkatnya perpindahan penduduk dengan intens, yang kemudian berdampak pada
terjadinya perubahan sosial. Saya menyarankan agar pembangunan sekiranya dapat
dilakukan dengan merata karena sejatinya, peran aspek sosial sangat penting bagi
pembangunan, terutama adanya struktur sosial, karena dapat memberikan pandangan
terhadap prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dalam pelaksanaan program,
membuat masyarakat menjadi terkoordinasi dalam suatu sistem pada program, memobilisasi
masyarakat dalam penentuan dan pencapaian tujuan yang harus dilaksanakan dalam
program, serta hubungan yang didasarkan pada struktur sosial mampu menjadi sarana
masyarakat dalam menyesuaikan terhadap perubahan lingkungannya.
Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dalam penulisan makalah dikemudian hari.

12
Daftar Pustaka

Amir syamsuadi & M. Zainuddin. (2018). Strategi Pos Pemberdayaan Keluarga Dalam
Penguatan Fungsi Kelembagaan Sosial Di Kelurahan Binawidya Kota Pekanbaru. Jurnal
Dinamika Pemerintahan, 2(2) : 99-109.

Bakhtiar. (2017). Hukum Dan Pengendalian Perilaku Sosial. Jurnal Psikologi Islam, 173-181.

Ellya Rosana. (2011). Modernisasi Dan Perubahan Sosial. Jurnal TAPIs, 7(12) : 31-47.

F. Hapsari & S.D. Surya. (2017). Efektivitas Kelembagaan Sosial Masyarakat Dalam
Pemberdayaan Wanita Dan Keluarga Di Kelurahan Ciracas. Journal Of Applied Business And
Economics, 4(3) : 266-276.

Jelamu Ardio Marius. (2006). Perubahan Sosial. Jurnal Penyuluhan, 2(2) : 125-132.

Lucky Zamzami. (2010). Tradisi Dan Kelembagaan Sosial Berdasarkan Budaya Masyarakat
Lokal Berbasis Komunitas Dalam Aktivitas Penangkapan Ikan. 39-63.

Mas Ahmad Yani. (2015). Pengendalian Sosial Kejahatan : Suatu Tinjauan Terhadap Masalah
Penghukuman Dalam Perspektif Sosiologi. Jurnal Cita Hukum, 3(1) : 77-90.

Mega Ulimaz & Nadia Almira Jordan. (2019). Tipologi Struktur Sosial Masyarakat Kampung
Tradisional Atas Manggar Dalam Penggunaan Ruang Pemukiman Nelayan. Jurnal
Pengembangan Kota, 7(2) : 161-171.

Yaryani, Sulistyarini & Rustiyarso. Analisis Pengendalian Sosial Perilaku Menyimpang Siswa
Bermasalah Di SMA. Jurnal Pendidikan Sosiologi, 1-16.

Y.K. Wardani, Y. Herwangi & A. Sarwadi. (2018). Peran Struktur Sosial Dalam Pembangunan
Sarana Prasarana Pemukiman Perkotaan. Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, 44(1) : 1-20.

13

Anda mungkin juga menyukai