Anda di halaman 1dari 12

Representasi Pola Pikir dan Perilaku Anak dalam E-Hon Nande no Awa

OLEH :

DWI NOVI RAHAKJANI (1701581002)


NI KOMANG SRI ASTUTI (1701581006)
AJENG DIANA WATI (1701581017)
DEWANGGA MERDEKA (1701581028)
NI KADEK RIKA WIJAYANTI (1701581067)

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Orang tua ataupun orang dewasa umumnya kadang kurang memahami pemikiran
anak-anak dengan baik. Hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi orang tua ataupum
orang dewasa untuk mengabaikan ataupun tidak mencarikan anak tersebut solusi
bagaimana cara untuk memahami pola pikir dari anak tersebut. Diusia anak-anak
memang rasa ingin tahunya sangat besar sehingga orang tua harus mempu memberi
respon atau jawaban yang baik terhadap hal-hal yang ingin diketahui si anak. Anak-anak
mengorganisasikan pola pikir dan tingkah laku mereka sesuai dengan umur mereka. Pola
pikir merupakan sikap mental yang mapan yang dibentuk melalui pendidikan,
pengalaman, dan prasangka (Mulyadi, 2007:71). Pola pikir sangat erat kaitannya dengan
tingkah laku yang akan diterapkan dalam keperibadian seseorang itu. Maka dari itu
sangat disarankan kepada para orang tua untuk menanamkan pola pikir yang baik dan
membangun, supaya kelak anak tersebut yang nantinya akan tumbuh dewasa memiliki
pola pikir yang baik dan memiliki tingkah laku atau keperibadian yang baik pula. Tempat
yang paling baik untuk menanamkan pola pikir terhadap anak sebelum terjun ke
lingkungan yang lebih luas adalah dimulai dari lingkungan keluarga. Ketika anak tersebut
sudah terjun ke dalam lingkungan yang lebih luas disana ia akan dipertemukan oleh
orang-orang yang memiliki watak yang berbeda-beda. Setidaknya dimulai dari dalam
keluarga anak tersebut sudah ditanamkan norma-norma dan pola pikir yang baik.

Setelah itu peran guru di sekolah juga ikut andil dalam perkembangan pola pikir
dan prilaku seorang anak. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu keseharian
mereka di sekolah, sehingga dalam hal ini sikap guru juga sangat dibutuhkan dalam
membentuk pola pikir dan tingkah laku yang baik pada anak-anak. Guru memiliki
dampak yang besar bagi pertumbuhan serta perkembangan seorang anak, jadi apapun
yang guru tersebut ucapkan akan memberikan dampak yang besar terhadap
perkembangan anak. Jika perkataan guru tersebut mengandung unsur yang negatif maka
seorang siswa tersebut akan terus mengamalkannya dan akan berdampak tidak baik
kedepannya. Oleh karena itu guru harus sudah paham dengan ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan perkembangan pola pikir dan tingkah laku anak. Hal tersebut
bertujuan agar seorang guru dapat memberikan harapan yang nyata terhadap peserta
didik.

Kali ini peneliti menganalisis ehon yang berjudul “nan de” no Awa. Ehon ini
merupakan buku dongeng jenis fabel yang menceritakan tentang seekor anak ikan yang
penuh rasa ingin tahu. Dalam cerita tersebut memperlihatkan bagaimana rasa ingin tahu
yang dimiliki oleh anak- anak pada umumnya. Dalam kehidupan nyata anak-anak
memang diselimuti dengan rasa-rasa ingin tahu terhadap apa yang tidak dimengerti dan
dipahami oleh si anak, dan diharapkan kepada orang tua ataupun guru di sekolah nantinya
juga bisa memberikan pemahaman yang baik untuk membentuk pola pikir dan prilaku
yang baik untuk anak kedepannya.

Teori yang digunakan dalam analisis ini adalah teori antrozoologi. Antrozoologi
adalah ilmu tentang relasi antara manusia dan hewan. Antrozoologi adalah bidang
interdisipliner modern yang diciptakan oleh tumpang tindih beberapa disiplin ilmu lain,
termasuk antropologi, etologi, psikologi, kedokteran hewan, dan zoologi. Fokus utama
penelitian antrozoologi adalah kuantifikasi efek positif dari hubungan manusia-hewan
pada salah satu pihak dan studi tentang realitas interaksi ini (Dicowden, 2012:1) Fokus
utama dari penelitian antrozoologi yaitu mengamati dan mengumpulkan relasi antara
manusia dengan hewan dan studi tentang interaksi diantara manusia dan hewan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana representasi pola pikir dan prilaku anak yang terdapat dalam ehon “nan
de” no Awa.

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui representasi pola pikir dan prilaku anak yang terdapat dalam ehon
“nan de” no Awa.

1.4 Manfaat

1. Menambah ilmu pengetahuan dalam sastra dengan tinjauan antrozoologi mengenai


representasi pola pikir dan prilaku anak yang terdapat dalam ehon “nan de” no Awa.
PEMBAHASAN

Representasi pola pikir dan prilaku anak yang terdapat dalam ehon “nan de” no
Awa

Dalam masyarakat jepang, mereka cenderung mempercayai segala jenis mahkluk


hidup dan menganggap semua mahkluk hidup adalah setara maka dari itu harus
menghargai sesama mahkluk hidup. Dalam cerita Nande no awa tokoh utamanya
merupakan seekor anak ikan yang memiliki pola pikir dan perilaku sama seperti anak di
dunia nyata Cerita ini merupakan cerita anak yang cukup populer di Jepang, dan berikut
ini merupakan analisis dari cerita anak Nande no awa berdasarkan teori antrozoologi :

(1) みなみの うみで チョウチョウウオの あかちゃんが うまれました
チョウチョウの ように きれいな きいろの あかちゃんです
ルイと なづけられた そのさかなは、おとうさんと おかあさんに ついて よちよち
と およぐように なりました

Minami no umi de chōchō̄o no aka-chan ga umaremashita chouchou no yō ni kireina


kīro no akachandesu. Rui to nadzuke rareta sono sakana wa, otōsan to okāsan ni tsuite
yochiyochi to oyogu yō ni narimashita

Di laut selatan terlahir bayi ikan kupu-kupu


Bayi ikan kupu-kupu tersebut memiliki warna kuning yang indah seperti ibunya.
Bayi ikan yang diberi nama Rui itu,
Terhuyung-huyung berenang mengikuti ibu dan ayahnya
(Nande? no Awa, 2017:1)

Data (1) menggambarkan kelahiran seorang anak ikan yang bernama Rui. Berdasarkan
data (1) telihat bahwa Rui terhuyung-huyung berenang mengikuti ayah dan ibunya.
Perilaku tersebut tidak jauh berbeda dengan perilaku manusia, ketika rui berenang
mengikuti ayah dan ibunya menunjukkan adanya perilaku seorang anak yang biasanya
mengikuti orang tuanya kemana pun orangtuanya pergi. Seorang anak melakukan hal
tersebut karena mereka belum mengerti dan membutuhkan didikan dari orangtua.

(2) そのつぎのひ、おとうさんと さんぽしていた ルイはクラゲを みかけました。
Sono tsugi no hi, otōsan to sanpo shite ita Rui wa kurage o mikakemashita

Keesokan harinya, Rui yang sedang berjalan-jalan dengan ayahnya melihat seekor ubur-
ubur
(Nande? no Awa, 2017:4)

Data (2) menunjukkan perilaku anak-anak yaitu ketika Rui berjalan-jalan bersama
ayahnya. Anak-anak cenderung suka berjalan-jalan jauh maupun hanya disekitar rumah.
Karena dengan berjalan-jalan, anak-anak bisa mendapatkan pengetahuan baru dan
kesenangan tersendiri. Perilaku yang ditunjukkan Rui tidak jauh berbeda dengan anak-
anak di dunia manusia pada umumnya.

(3) おとうさんの ことばに、またまた ルイの くちから ブクッと アワが でました。その


アワは ルイの あたまに くっついて はなれません。
「なんで デンキクラゲって いうの?」
Otōsan no kotoba ni, matamata Rui no kuchi kara bukutto awa ga demashita. Sono awa
wa Rui no a tamani kuttsuite wa naremasen. `Nande denkikurage tte iu no?'
Karena perkataan ayahnya, blup. Keluar gelembung dari mulut Rui. Gelembung itu juga
tetap menempel di kepala Rui dan tidak bisa lepas “Mengapa itu disebut ubur-ubur
listrik”
(Nande? no Awa, 2017:4)

Data (3) menggambarkan ketika Rui bertanya kepada ayahnya mengenai ubur-ubur
listrik, keluar gelembung dari mulut Rui. Data (3) menunjukkan adanya pola pikir anak
yang memiliki keingintahuan yang tinggi karena anak-anak masih belum banyak
memiliki pengetahuan tentang banyak hal. Anak-anak cenderung memiliki karakter
egosentris. Menurut Hurlock, 1993 Egosentris berasal dari kata ego dan sentris. Ego
artinya aku, sentris artinya pusat. Jadi egosentris artinya ”berpusat pada aku”, artinya
bahwa anak usia dini pada umumnya hanya memahami sesuatu dari sudut pandangnya
sendiri, bukan sudut pandang orang lain. Anak yang egosentrik lebih banyak berpikir dan
berbicara tentang diri sendiri dari pada tentang orang lain dan tindakannya terutama
bertujuan menguntungkan dirinya (dalam Satibi, 2004:6)

(4) 日が経つにつれて、ルイの「不思議だな」と思うことがどんどん増えていきました。

「どうして海は青いの?」
「どうして魚は泳げるの?」
「どうして僕の体はきいろいの?」
その度に「なんで?」のアワがルイの口からブクッとでてきてはルイのあたまにくっつきま
す。
Higatatsu ni tsurete, Rui no `fushigidana' to omou koto ga dondon fuete ikimashita.
`Dōshite umi wa aoi no?'
Dōshite sakana wa oyogeru no?'
`Dōshite boku no karada wa kīroi no?'
Sono-do ni `nande?' No awa ga Rui no kuchi kara bukutto dete kite wa Rui no a tamani
kuttsukimasu.

Seiring berjalannya waktu, pikiran Rui tentang hal aneh semakin meningkat.
“Mengapa laut berwarna biru?”
“Mengapa ikan bisa berenang?”
“Kenapa tubuh saya warna kuning?”
Setiap kali “mengapa?” gelembung keluar dari mulut Rui dan menempel di kepala Rui.
(Nande? no Awa, 2017:6)

Data (4) menunjukkan pola pikir Rui yaitu rasa ingin tahu seoranga anak. Semakin hari
rasa ingin tahu Rui semakin meningkat dan semakin banyak pertanyaan yang muncul.
Oleh karena itu dalam hal ini orang tua harus lebih perhatian dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh anaknya. Ketika mendapatkan jawaban,
seorang anak menjadi lega dan tahu tentang hal tersebut. Seperti yang dialami tokoh Rui,
ketika ia menerima jawaban atau mengetahui tentang suatu hal maka gelembung di
kepalanya akan menghilang. Hal ini sejalan dengan Target pendidikan di Jepang, salah
satunya adalah mengembangkan rasa ingin tahu. Mereka dilatih untuk peka pada
lingkungan serta memiliki minat pada benda di alam maupun buatan manusia. Khususnya
pada anak usia dini, anak-anak diajari untuk menumbuhkan kreativitasnya dengan
membebaskan mereka menggambar, menyanyikan lagu, menciptakan ritme sederhana,
serta mengekspresikan imajinasi dengan gerakan atau kata-kata. Ini bisa dilihat pada
dinding-dinding sekolah yang dipenuhi karya anak-anak (Jessica, 2017). Anak usia dini
sangat tertarik dengan dunia sekitarnya. Dia ingin mengetahui segala sesuatu yang terjadi
di sekelilingnya. Pertanyaan anak usia ini biasanya diwujudkan dengan kata ’apa’ atau
’mengapa’ (Satibi, 2004:4).

(5) つぎのひのあさ、おとうさんはルイにいいました。
「いっしょについておいで」
「どこへいくの?」
ルイがふしぎにおもってたずねると、またまたブクッとアワがでて、ルイのあたまにくっつき
ました。
「いいからついておいで」
あたまにいっぱいの「なんで?」のアワをつけたルイは、とにかくおとうさんについていき
ました。
そうして、ふたりがたどりついたところは「うみのがっこう」でした。

Tsugi no hi no asa, otōsan wa Rui ni īmashita.


`Issho ni tsuite oide'
`doko e iku no?'
Rui ga fushigi ni o motte tazuneru to, matamata bukutto awa ga dete, Rui no a tamani
kuttsukimashita.
`Īkara tsuite oide' a tamani ippai no `nande?' No awa o tsuketa Rui wa, tonikaku otōsan
ni tsuite ikimashita.
Sōshite, futari ga tadoritsuita tokoro wa `umi no gakkō'deshita.
Keesokan pagi harinya, ayah rui berkata
“Mari ikut,”
“kemana?”
Jika Rui bertanya hal yang aneh, Gelembung akan muncul lagi dan menempel di atas
kepala Rui.
“Ayo, ikut saja”
Rui dengan banyak “mengapa?” akhirnya hanya mengikuti ayahnya.
Kemudian, tempat di mana keduanya tiba adalah “Sekolah Laut”.
(Nande? no Awa, 2017:11)

Data (5) menggambarkan situasi saat Rui diajak ayahnya pergi ke suatu tempat dan
tempat itu adalah sekolah laut. Data (5) menunjukkan perilaku anak yang cenderung
menurut kepada orangtuanya. Rui mengikuti ayahnya karena Rui masih memiliki banyak
pertanyaan mengapa dan juga rasa penasaran Rui belum terpenuhi. Oleh karena itu, sudah
saatnya anak seperti Rui mengenyam Pendidikan di sekolah untuk memperluas
pengetahuannya. Seperti halnya dengan anak-anak di Jepang yang mulai sekolah pada
umur 6 tahun. Pendidikan anak usia dini terbagi dalam dua bentuk, hoikuen atau yang
biasa disebut penitipan anak dan youichien atau taman kanak-kanak. Di hoikuen, anak-
anak yang ibunya adalah pekerja dititipkan mulai dari pukul 7 pagi hingga pukul 7
malam. Segala aktivitas dilakukan bersama-sama, seperti makan, tidur dan bermain.
Mereka dididik untuk merapikan sendiri alat-alat makannya, membereskan mainannya,
lalu menggelar sendiri alas tidurnya, dan tidur tanpa harus digendong atau dibujuk.
Aktivitas anak yang sering dilakukan adalah menyanyi, bermain, mendengarkan sensei
bercerita, berolahraga, dan belajar bertanggung jawab pada dirinya. Di samping itu, anak-
anak juga diajari menghargai seni dan keindahan (Jessica, 2017)

(6) こうちょうせんせいのかおがこわかったので、ルイはうつむきました。
こうちょうせんせいがルイのあたまをなでようとすると、ルイのからだはおそろしさでビ
クッとしました。
Kōchousenseinokaogakowakattanode, Rui wa utsumukimashita. Kō chō sensei ga Rui no
a tama o nadeyou to suru to, Rui no karada wa osoroshi-sa de bikutto shimashita.

Kepala sekolah hiu menatap kepala Rui, karena Rui tahu seperti apa kepala sekolah itu
lalu
Rui menundukkan kepala. Ketika kepala sekolah membelai kepala Rui, tubuh Rui
ketakutan.
(Nande? no Awa, 2017:12)

Data (6) menggambarkan situasi saat Rui tiba di sekolah laut dan bertemu dengan kepala
sekolah hiu. Rui menundukkan kepala dan takut terhadap kepala sekolah hiu. Perilaku
yang ditunjukkan Rui merupakan salah satu perilaku yang dimiliki anak-anak yaitu
merasa takut karena melihat sesuatu yang baru ataupun yang menyeramkan.

(7) 「このがっこうはそのアワをひとつずつけすところなのです」
「このアワをけしてくれるの?」
「いやいや、わたしたちきょうしはきみのアワをけすてつだいをするだけです。
これからはじぶんでけしていくんですよ」
「じぶんで?」
「そう、じぶんで。それが「まなぶ」ということなのです」
こうちょうせんせいはじぶんのあごをなでながら、きっぱりいいました。
`Kono gakkō wa sono awa o hitotsu zutsu kesu tokorona nodesu'
`kono awa o keshite kureru no?'
`Iyaiya, watashi-tachiki kyoushi wa kimi no awa o kesu tetsudai o suru dakedesu.
Korekara waji bun de keshite iku ndesu yo'
`ji bun de?'
`Sō,jibun de. Sore ga `manabu' to iu kotona nodesu' kōchou sensei wa jibun'no ago o
nadenagara, kippari īmashita.

“Di sekolah ini,merupakan tempat untuk menghilangkan gelembung tersebut dengan


perlahan-lahan”
“apakah kalian mampu menghilangkan gelembung ini untukku?”
“Bukan seperti itu, kami para guru yang akan membantumu menghilangkan gelembung
tersebut. Mulai saat ini kamu harus menghilangkannya oleh dirimu sendiri”
“diri saya sendiri?”
“Iya kamu sendiri, itulah yang disebut belajar” kata kepala sekolah yang sambil
mengusap-usap dagunya.
(Nande? no Awa, 2017:14)

Data (7) menggambarkan situasi saat Rui bercakap-cakap dengan kepala sekolah hiu
mengenai sekolah laut. Data (7) menunjukkan perilaku anak-anak yang mudah percaya
dengan perkataan orang yang lebih tua ataupun seorang guru. Anak-anak mudah percaya
karena mereka masih memiliki perilaku yang polos, pola pikir anak-anak masih terlalu
jauh untuk memikirkan hal-hal yang diluar daya berfikirnya. Anak usia dini berada
pada tahapan heteromonous (usia 2-6 tahun) menurut Piaget, memiliki karakter
yaitu: anak masih sangat labil, mudah terbawa arus, mudah terpengaruh, dan dalam
rangka pendidikan moral mereka sangat membutuhkan bimbingan, proses latihan
serta pembiasaan yang terus menurut. Sesuai dengan pendapat dari pusat
pengembangan dan pendidikan anak usia dini (Early Childhood Education and
Development Center, 2003) menyatakan bahwa anak membutuhkan latihan dan
rutinitas. Melakukan sesuatu secara berulang-ulang adalah suatu keharusan dan
kesenangan bagi anak usia dini. (dalam Satibi, 2004:4)

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis kami menggunakan teori antrozoologi dari cerita anak E-hon
Nande no awa dapat dilihat bahwa tokoh utama dari cerpen tersebut yaitu Rui yang
merupakan seekor ikan yang ingin tau segala hal dengan bertanya kepada ayah dan
ibunya. Rui merupakan seekor anak ikan namun mempunyai pola pikir dan perilaku yang
sama seperti anak-anak di dunia nyata. Sifat Rui dalam cerita tersebut menggambarkan
sosok seorang anak kecil manusia yang selalu ingin tahu, mempunyai sifat yang
cenderung egois dengan memikirkan dirinya sendiri, masih percaya dan menurut kepada
orangtuanya, dan mampu belajar dengan baik di sekolah seihingga mampu menemukan
jawaban atas pertanyaannya selama ini. Dalam hal ini juga tokoh Rui dari cerita E-hon
tidak jauh berbeda dengan soerang anak kecil manusia pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Satibi, Otib (2004), Metode Pengembangan Moral dan Nilai-nilai agama, Jakarta.

Jesicca. 2016. Berkaca dari Sistem Pendidikan Anak di Jepang, untuk Anak Lebih
Mandiri dan Kreatif. Diakses pada tanggal 13 Mei 2020 pukul 18:17 WITA. Melalui
website https://www.educenter.id/berkaca-dari-sistem-pendidikan-anak-di-jepang-untuk-
anak-lebih-mandiri-dan-kreatif/

Riadi, Muchlisin. 2016. Pengertian, Jenis, dan Cara Membentuk Mindset. Diakses pada
tanggal 14 Mei 2020 pada pukul 21:50 WITA. Melalui website
https://www.kajianpustaka.com/2016/09/pengertian-jenis-dan-cara-membentuk-
mindset.html?m=1

DiCowden, Marie (2012), Anthrozoology:Quantifying the Positive Effects of Human-


Animal Interactions and Relationships, California.

Anda mungkin juga menyukai