Anda di halaman 1dari 22

PROPOSAL PENELITIAN

“HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA


PASIEN DM TIPE 2”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Riset Keperawatan

DISUSUN OLEH:

Nama : Risha Risna Dewi

NIM : PO.62.20.1.17.344

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALANGKA RAYA

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

KELAS REGULER IV

TAHUN 2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit kronis dimana organ pankreas tidak
memproduksi cukup insulin atau ketika tubuh tidak efektif dalam menggunakannya.
(WHO,tahun 2016 ).
Diabetes Melitus (DM) dapat menyebabkan hiperglikemia pada pasien DM. Kondisi
hiperglikemia pada DM yang tidak dikontrol dapat menyebabkan gangguan serius pada
sistem tubuh, terutama saraf dan pembuluh darah (World Health Organization, 2018).
Diabetes Mellitus tipe 2 atau dikenal dengan istilah Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM). DM tipe 2 merupakan jenis penyakit diabetes mellitus dimana
individu mengalami penurunan sensitivitas terhadap insulin atau yang lebih dikenal
dengan resistensi insulin dan kegagalan fungsi sel beta yang mengakibatkan penurunan
produksi insulin. DM tipe 2 ini mengenai 90-95% pasien dengan DM. insiden ini terjadi
lebih umum pada usia > 30 tahun, dan obesitas (menurut Smeltzer dan Bare 2008 dalam
Aini Yusra 2011). Perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup barat dimana
stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang manis-manis dan
berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar serotonin otak. Serotonin ini memiliki efek
penenang sementara untuk menurunkan stress, tetapi gula dan lemak dapat berakibat fatal
dan beresiko terjadinya DM. Obesitas juga disebabkan karena konsumsi yang terlalu
banyak yang disimpan di dalam tubuh dan sangat berlebihan.
Jumlah penderita DM di dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. World
Health Organization / WHO (2016), memperkirakan sebanyak 422 juta orang dewasa
hidup dengan DM. International Diabetic Foundation (IDF), menyatakan bahwa terdapat
382 juta orang di dunia yang hidup dengan DM. Diabetes merupakan penyakit yang
jumlah penderitanya mengalami peningkatan di Indonesia. Menurut data WHO, Indonesia
menempati peringkat ke-4 dengan penderita DM terbanyak di dunia. Diperkirakan
penderita DM akan meningkat pada tahun 2030 sebesar 21,3 juta orang.
Diabetes Mellitus adalah penyakit selama hidup, menurut Widyawati (2008) dalam
Sholihatul magfirah (2013) pada umumnya penderita Diabetes Mellitus mengalami depresi
karena mendapat informasi bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan dan penderita
harus mampu mengubah gaya hidupnya dengan melakukan diet yang ketat kalau ingin
sembuh. Maka pengawasan dan pemantauan dalam penatalaksanaan penderita Diabetes
Melitus pada setiap saat menjadi penting. Oleh karena itu, penatalaksanaan Diabetes
Melitus tidak dapat sepenuhnya diletakkan pada pundak dokter dan klinis saja. Dalam hal
ini partisipasi penderita Diabetes Melitus dan keluarganya sangat diperlukan khususnya
dalam orientasinya pada upaya mengembalikan penderita Diabetes Mellitus ke dalam
situasi sehat atau paling tidak mendekati normal (Waspadji, 2005).
Diabetes merupakan salah satu penyakit kronis yang dapat menimbulkan keluhan
penyertai serta memiliki menejemen kompleks, sehingga dapat mempengaruhi kondisi
psikologis pasien. Salah satu gangguan psikologis yang dapat mucul adalah depresi.
Depresi merupakan gangguan mental umum yang 3 ditandai dengan perasaan
tertekan, kehilangan kesenangann atau minat, perasaan bersalah atau harga diri rendah,
gangguan makan dan tidur, menurunnya konsentrasi, dan kurang energi (WHO, 2010).
Penelitian Smenkof, et al (2015) menunjukan bahwa satu dari setiap empat orang
yang menderita diabetes mellitus tipe II juga menderita depresi. Faktor pencetus terjadinya
distress pada penderita dikarenakan kurangnya dukungan sosial, ketidakterimaan akan
keadaan yang dialaminya. Hal ini yang memunculkan rasa depresi pada penderita diabetes
mellitus tipe 2 sebagai respon rasa kehilangan dan berduka yang dialaminya. Selain itu,
depresi yang dialami oleh penderita diabetes mellitus tipe 2 dapat meningkatkan resiko
komplikasi pada diabetes mellitus tipe II itu sendiri seperti, hiperglikemia, insulin,
resistensi, dan mikro dan makrovaskuler. Sebaliknya, diagnosis diabetes mellitus tipe II
meningkatkan resiko depresi pada seseorang atau bahkan membuat lebih parah seseorang
yg telah menderita depresi. Hubungan ini mencerminkan 3 etiologi bersama yang terdiri
dari interaksi dua arah yang kompleks mencakup beberapa variabel, antara lain disregulasi
neurohormonal, obesitas, peradangan, perubahan struktur hipokampus (Smenkof, 2015).
Menurut Handayani dan Dewi (2009) mengemukakan adanya gangguan psikologis
pada orang yang terdiagnosa penyakit diabetes mellitus yaitu depresi, kecemasan,
kehilangan minat, mudah marah, dan tersinggung. Kondisi depresi terjadi akibat faktor
fisik dan psikososial yang berhubungan dengan penyakit atau terapinya. Depresi pada
diabetes terjadi akibat meningkatnya tekanan pasien yang dialami dari penyakitnya yang
kronik. Penanganan depresi adalah dengan memberikan perhatian dan dukungan yang baik
bagi penderita diabetes mellitus. Mengatasi depresi akan lebih mudah dilakukan dengan
adanya bantuan dari keluarga, akan tetapi tidak adanya keluarga akan dapat menimbulkan
bahkan memperburuk depresi itu sendiri. Dukungan keluarga sangat penting bagi
penderita DM karena keluarga adalah salah satu dasar untuk membantu agar pasien dapat
tetap sehat dan meningkatkan adaptasi kehidupan mereka. Dengan dukungan keluarga
diharapkan dapat mengurangi risiko untuk terjadinya depresi pada pasien diabetes
mellitus. Keluarga berperan sebagai motivator, fasilitator sekaligus sebagai pendamping
yang baik dengan begitu penderita DM akan selalu merasa diperhatikan dan diharapkan
penderita DM mampu melakukan aktivitas sehari-harinya secara mandiri.
Orang yang menderita diabetes membutuhkan seseorang yang memberikan dukungan
dan mendengarkan dengan baik keluhan yang dirasakan oleh penderita. Dukungan
emosional tersebut didapatkan dari anggota keluarga yang merawat penderita diabetes,
termasuk dari orang tua, pasangan, anak dan dukungan dari saudara kandung (Snouffer &
Fisher, 2016).
Dukungan keluarga merupakan sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap
penderita yang sakit. Dukungan bisa berasal dari orang lain (orangtua, anak, suami, istri
atau saudara) yang dekat dengan penderita, dimana bentuk dukungan dapat berupa
informasi, tingkah laku tertentu atau materi yang dapat menjadikan individu merasa
disayangi, diperhatikan dan dicintai (Ali, 2019).
Dukungan keluarga yang dapat diberikan kepada penderita diabetes millitus bisa
dalam bentuk dukungan emosional, penghargaan, instrumental, dan informasi.
Keuntungan individu yang memperoleh dukungan keluarga yang tinggi akan menjadi
individu lebih optimis dan yakin dalam menghadapi kenyataan hidupnya, lebih percaya
diri, individu merasa diperhatikan dan disayangi. Dampak lain dari dukungan keluarga
yaitu individu yang memiliki dukungan keluarga yang lebih 5 kecil, lebih kemungkinan
mengalami pemikiran yang negatif, lebih mudah mengalami stres dalam dirinya, serta
berpengaruh terhadap kondisi kesehatan mental seseorang sehingga membuat inidvidu
menjadi tidak bahagia dalam hidupnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dirumuskan masalah
dari penelitian ini adalah: “Apakah ada hubungan antara dukungan keluarga dengan
tingkat depresi pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada pasien diabetes mellitus tipe 2.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian diabetes melitus tipe 2.
b. Mengetahui pengertian depresi.
c. Mengetahui pengertian keluarga.
d. Mengetahui pengertian dukungan keluarga.
e. Mengetahui gambaran kejadian depresi pada pasien diabetes mellitus tipe 2.
f. Mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada pasien
diabetes mellitus tipe 2.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Diabetes Melitus
1. Definisi Diabetes Melitus tipe 2
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis yang semakin banyak dan sulit
untuk diturunkan jumlah penderitanya. Diabetes millitus menduduki peringkat ke-lima
sebagai penyebab kematian di dunia setelah kardovaskular atau penyakit jantung,
kanker, stroke, dan infeksi pernafasan. Diabetes millitus merupakan salah satu jenis
penyakit degeneratif yang mengalami peningkatan setiap tahun di negara-negara
seluruh dunia, dan akan terus meningkat (WHO, 2015). Di Indonesia sendiri, penderita
diabetes millitus yang terbanyak adalah diabetes millitus tipe 2 yakni sekitar 90% dari
seluruh populasi diabetes yang ada. Prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok wanita
berusia 41-55 tahun (Wahdah, 2011).

Diabetes Mellitus Tipe II adalah keadaan dimana kadar glukosa tinggi, kadar insulin
tinggi atau normal namun kualitasnya kurang baik, sehingga gagal membawa glukosa
masuk dalam sel, akibatnya terjadi gangguan transport glukosa yang dijadikan sebagai
bahan bakar metabolisme energi. (FKUI, 2011).
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2016, Diabetes mellitus adalah
suatu penyakit kronis dimana organ pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau
ketika tubuh tidak efektif dalam menggunakannya.
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis
termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price
dan Wilson, 2006). Hiperglikemia atau terjadinya peningkatan kadar gula darah adalah
salah satu efek yang terjadi jika penyakit diabetes tidak terkontrol dan lambat laun akan
mengakibatkan kerusakan diberbagai sistem di dalam tubuh khususnya saraf dan
pembuluh darah.
Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik yang berlangsung lama atau kronis
yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah sebagai akibat dari kelainan insulin,
aktivitas insulin ataupun sekresi insulin yang dapat menimbukan berbagai masalah
serius dan prevalensi dari penyakit diabetes mellitus ini berkembang sangat cepat
(Smeltzer &Bare, 2008).
2. Penyebab Diabetes Melitus tipe 2
1. Penurunan fungsi cell  pankreas
Penurunan fungsi cell  disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Glukotoksisitas
Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebkan peningkatan
stress oksidatif, IL-1 DAN NF-B dengan akibat peningkatan apoptosis sel
beta
b. Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam proses
lipolisis akan mengalami metabolism non oksidatif menjadi ceramide yang
toksik terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis
c. Penumpukan amiloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar glukosa
darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha mengkompensasinya
dengan meningkatkan sekresi insulin hingga terjadi hiperinsulinemia.
Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi amylin dari sel beta
yang akan ditumpuk disekitar sel beta hingga menjadi jaringan amiloid dan akan
mendesak sel beta itu sendiri sehingga akirnya jumlah sel beta dalam pulau
Langerhans menjadi berkurang. Pada DM Tipe II jumlah sel beta berkurang
sampai 50-60%.
d. Efek inkretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkatkan
proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel
beta.
e. Umur
Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah  usia 30 tahun dan semakin sering
terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut. Usia
lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50 – 92%. Proses
menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan
anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut
pada tingkat jaringan dan ahirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi
fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah sel
beta pankreas yang mengahasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan terget yang
menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar
glukosa.
f. Genetik

2. Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tapi faktor-
faktor berikut ini banyak berperan:
a. Obesitas terutama yang bersifat sentral ( bentuk apel )
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah
berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di otot
berkurang jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.
b. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
c. Kurang gerak badan
d. Faktor keturunan ( herediter )
e. Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf simpatis
yang diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila stress menetap maka
sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Hipotalamus mensekresi
corticotropin releasing factor yang menstimulasi pituitari anterior memproduksi
kortisol, yang akan mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah (FKUI,
2011)
Menurut Suiraoka (2012) penyebab DM tipe 2nadalah sebagai berikut
a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
1) Umur
Umur merupakan faktor pada orang dewasa, dengan semakin bertambahnya
umur kemampuan jaringan mengambil glukosa darah semakin menurun.
Penyakit ini lebih banyak terdapat pada orang berumur diatas 40 tahun daripada
orang yang lebih muda.
2) Keturunan
Diabetes mellitus bukan penyakit menular tetapi diturunkan. Namun bukan
berarti anak dari kedua orangtua yang diabetes juga, sepanjang bisa menjaga
dan menghindari faktor resiko yang lain.
b. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi/diubah :
1) Pola makan yang salah
Pola makan yang salah dan cenderung berlebih menyebabkan timbulnya
obesitas. Obesitas sendri merupakan faktor predisposisi utama dari penyakit
diabetes mellitus.
2) Aktivitas fisik
Kurang nya aktivitas fisik menyebabkan kurangnya pembakaran energi oleh
tubuh sehingga kelebihan energi dalam tubuh akan disimpan dalam bentuk
lemak dalam tubuh.
Menurut Santosa (2014) faktor penyebab terjadinya diabetes melitus adalah
sebagai berikut:
a) Faktor genetik atau keturunan
Penyakit diabetes merupakan penyakit yang cenderung diturunkan bukan
ditularkan. Biasanya jika orangtua menderita diabetes, kemungkinan
anaknya juga menderita penyakit yang sama. Para ahli diabetes telah
menentukan presentase kemungkinan terjadinya diabetes karena faktor
keturunan.
b) Terlalu banyak mengkonsumsi karbohidrat atau gula
Saat ini, semakin banyak makanan yang mengandung gula, seperti berbagai
macam kue, makanan ringan,minuman es krim, permen dan aneka jajanan
lainnya. Tanpa kita sadari makanan dan minuman tersebut akan
mengandung bahaya bagi tubuh kita, jika dikonsumsi dalam jumlah banyak
dan secara terus menerus.
c) Kurang tidur
Jika kualitas tidur baik, metabolism tubuh dan sistem kekebalan tubuh bisa
terganggu sehingga mudah terserang penyakit. Para ahli menyatakan bahwa
kurang tidur selama hari dapat menurunkan kemampuan tubuh untuk
memproses glukosa. Kurang tidur juga dapat merangsang nafsu makan
dalam darah yang memicu nafsu makan. Munculnya nafsu makan tersebut
akan mendorong penderita gangguan tidur untuk memakan makanan
berkalori tinggi yang membuat kadar gula darah naik.
d) Malas beraktivitas fisik
Saat ini, gaya hidup manusia semakin jauh dari pola hidup sehat. Aktivitas
seperti bekerja di kantor, naik mobil atau motor saat berangkat kerja, naik
lift dan duduk terlalu lama didepan computer, dapat membuat sistem kreasi
tubuh menjadi lambat. Akibatnya, terjadilah penumpukan lemak di dalam
tubuh yang lambat laun akan menyebabkan berat badan bertambah.
Seseorang yang memiliki berat badan berlebih, beresiko terkenan diabetes
yang lebih tinggi.
e) Rokok,soda dan minuman berakohol
Rokok mengandung zat nornikotin, yakni salah satu zat yang mudah
menguap. Keberadaan zat nornikotin dalam tubuh dapat meningkatkan
diabetes. Perokok berat yang menghabiskan lebih dari satu bungkus rokok
beresiko terkena diabetes tiga kali lebih besar dibandingkan dengan orang
yang tidak merokok. Sama seperti rokok, kecanduan minuman bersoda pun
akan berpengaruh terhadap peningkatan bobot badan dan resiko diabetes
akan semakin tinggi. Para peneliti menyatakan kenaikan resiko diabetes
terjadi karena adanya kandungan pemanis yang ada dalam minuman
bersoda. Asupan kalori dalam bentuk cair pun tidak membuat Anda
kenyang, sehingga terdorong untuk minum lebih banyak. Selain itu, miuman
berakohol juga sebagai salah satu faktor pemicu diabetes. Alkohol dapat
menyebabkan inflamasi kronis di pancreas yang mengakibatkan produksi
insulin mengalami gangguan.
f) Ketika stress dating, produksi hormone epinefrin dan kortisol akan
meningkatkan gula darah dan tubuh akan mendapatkan cadangan energi
untuk beraktivitas. Namun, jika kadar gula darah semakin meningkat karena
stres berkepanjangan, maka diabetes pun menyerang tubuh Anda.

3. Tanda dan gejala Diabetes Melitus tipe 2


a. Poliuria (sering kecing), merupakan gejala umum pada penderita diabetes melitus ,
banyak nya kencing ini disebabkan kadar gula dalam darah berlebihan,sehingga
merangsang tubuh untuk berusaha mengeluarkannya melalui ginjal bersama air dan
kencing, gejala banyak kencing ini terutama menonjol pada waktu malam hari,
yaitu saat kadar gula dalam darah relative tinggi.
b. Polidipsi (banyak minum), sebenarnya merupakan akibat (reaksi tubuh) dari banyak
kencing tersebut. Untuk menghindari tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), maka
secara otomatis akan timbul rasa haus/kering yang menyebabkan timbulnya
keinginan untuk terus minum selama kadar gula dalam darah belum terkontrol baik.
Sehingga dengan demikian, akan terjadi banyak kencing dan banyak minum.
c. Polifagi (banyak makan), merupakan gejala yang tidak menonjol. Terjadinya
banyak makan ini disebabkan oleh berkurangnya cadangan gula dalam tubuh
meskipun kadar gula dalam darah tinggi. Sehingga dengan demikian, tubuh
berusaha untuk memperoleh cadangan gula dari makanan yang diterima.
d. Kelelahan
e. Penurunan berat badan.
f. Timbulnya rasa kesemutan (mati rasa) atau sakit pada tangan atau kaki.
g. Luka yang tak kunjung sembuh.
( Santosa, 2014).

4. Patofisiologi Diabetes Melitus

Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer,
gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan fungsi cell β, yang
akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula timbul resistensi insulin
yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi retensi
insulin itu agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta tidak akan
sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin hingga kadar glukosa darah meningkat
dan fungsi sel beta makin menurun saat itulah diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata
penurunan fungsi sel beta itu berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali
tidak mampu lagi mengsekresi insulin.( FKUI,2011 )
Individu yang mengidap DM Tipe II tetap mengahasilkan insulin. Akan tetapi jarang
terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah total insulin yang di
lepaskan. Hal ini mendorong semakin parah kondisi seiring dengan bertambah usia
pasien. Selain itu, sel-sel tubuh terutama sel otot dan adiposa memperlihatkan resitensi
terhadap insulin yang bersirkulasi dalam darah. Akibatnya pembawa glukosa
(transporter glukosa glut-4) yang ada disel tidak adekuat. Karena sel kekurangan
glukosa, hati memulai proses glukoneogenesis, yang selanjutnya makin meningkatkan
kadar glukosa darah serta mestimulasai penguraian simpanan trigliserida, protein, dan
glikogen untuk mengahasilkan sumber bahan bakar alternative, sehingga meningkatkan
zat- zat ini didalam darah. Hanya sel-sel otak dan sel darah merah yang terus
menggunakan glukosa sebagai sumber energy yang efektif . Karena masih terdapa
insulin , individu dengan DM Tipe II jarang mengandalkan asam lemak untuk
menghasilkan energi dan tidak rentang terhadap ketosis. (Elizabeth J Corwin, 2009).
5. Komplikasi Diabetes Melitus

Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat DM Tipe II, antara lain:
a. Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang di obati dengan
insulin atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin di sebabkan oleh
pemberian insulin yang berlebihan, asupan kalori yang tidak adekuat, konsumsi
alkohol, atau olahraga yang berlebihan. Gejala hipoglikemi pada lansia dapat
berkisar dari ringan sampai berat dan tidak disadari sampai kondisinya mengancam
jiwa.
b. Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi yang
mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada lansia dengan diabetes
Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada individu yang menderita diabetes Tipe
2 yang mengalami stress fisik dan emosional yang ekstrim.
c. Sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar hyperglycemic
syndrome, HHNS) atau koma hiperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien yang menderita
diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai dengan hiperglikemia
berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl), hiperosmolaritas (di atas 280
mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat deuresis osmotic. Tanda gejala mencakup
kejang dan hemiparasis (yang sering kali keliru diagnosis menjadi cidera
serebrovaskular) dan kerusakan pada tingkat kesadaran (biasanya koma atau hampir
koma).
d. Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau nyeri dan
kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi dalam berbagai cara,
yang mencakup gastroparesis (keterlambatan pengosongan lambung yang
menyebabkan perasaan mual dan penuh setelah makan), diare noktural, impotensi,
dan hipotensi ortostatik.
e. Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insidens hipertensi 10 kali lipat dari
yang di temukan pada lansia yang tidak menderita diabetes. Hasil ini lebih
meningkatkan resiko iskemik sementara dan penyakit serebrovaskular, penyakit
arteri koroner dan infark miokard, aterosklerosis serebral, terjadinya retinopati dan
neuropati progresif, kerusakan kognitif, serta depresi sistem saraf pusat.
f. Infeksi kulit
Hiperglikemia merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena kandungan glukosa
epidermis dan urine mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini membuat lansia rentan
terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta vaginitis. (Jaime Stockslager L dan
Liz Schaeffer, 2007)

B. Depresi
1. Definisi Depresi
Depresi adalah gangguan alam perasaan hati (mood) yang ditandai oleh kemurungan
dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sampai hilangnya kegairahan hidup,
tidak mengalami gangguan menilai realitas ( reality testing ability/ RTA masih baik)
kepribadian tetap utuh (tidak ada splitting of personality), perilaku dapat terganggu
tetapi dalam batas-batas normal (Hawari,2011).
Depresi merupakan suasana perasaan yang menurun, dengan gejala utama berupa
kesedihan. Gejala ini ternyata cukup banyak dijumpai dengan angka prevelansi 4-5%
populasi, dengan derajat gangguan bertaraf ringan, sedang, atau berat. Ditinjau dari
aspek klinis, depresi dapat berdiri sendiri, merupakan gejala dari penyakit lain,
mempunyai gejala fisik beragam , atau terjadi bersama dengan penyakit lain
(komorbiditas), sehingga dapat menyulitkan penatalaksanaan (Sudiyanto,2010)

2. Penyebab Depresi
Faktor-faktor penyebab depresi menurut Durand & Barlow (2010) sebagai berikut :
a. Dimensi Biologis
Prevalensi keluarga yang memiliki anggota pernah mengalami depresi ada
kemungkinan dialami oleh anggota keluarga lain.
b. Dimensi Pskologis
1) Peristiwa lingkungan yang stressfull
2) Learned Helpnessless, orang menjadi cemas dan depresi ketika membuat
atribusi bahwa mereka tidak memiliki control atas stress dalam kehidupannya.
3) Negative Cognitive Style, adanya pikiran negatif atas semua fenomena yang
sudah terpola atau menjadi gaya hidup.
c. Dimensi Sosial Kultural
Meliputi berbagai masalah sosial misalnya hubungan interpersonal,hubungan
dengan keluarga, dukungan sosial dan pengaruh budaya setempat.

Pada dasarnya factor penyebab depresi dapat ditinjau dari berbagai segi baik fisik
(biologis), pskologis, ataupun sosial (lingkungan/kultural) yang ketiganya tidak
berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi terbentuknya depresi.

3. Tanda dan Gejala Depresi


Gejala depresi meliputi trias depresi, yang terdiri dari mood yang terdepresi,
hilangnya minat dan kegembiraan, serta berkurang energy yang ditandai dengan
keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas.
Tanda dan Gejala Depresi yaitu:
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
5) Gagasan dan perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6) Tidur terganggu
7) Nagsu makan berkurang
Tingkat depresi yang muncul merupakan gambaran dari banyaknya gejala trias
depresi serta gejala tambahannya.
Ciri-ciri depresi menurut American Psychology Association – APA (2011)
1) Mood yang depresi hamper sepanjang hari dan hamper setiap hari. Dapat berupa
mood yang mudah tersinggung.
2) Penurunan kesenangan atau minat secara drastic dalam seluruh aktivitasnya.
3) Suatu kehilangan atau pertambahan berat badan yang signifikan (5% dari berat
tubuh dalam sebulan) atau suatu peningkatan atau penurunan selera makan yang
drastis.
4) Agitasi yang berlebihan atau melambatnya respon gerakan hamper setiap hari.
5) Perasaan lelah atau kehilangan energi setiap hari.
6) Perasaan berharga atau salah tempat ataupun rasa bersalah yang berlebihan hampir
setiap hari.
7) Berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi atau berfikir jernih atau untuk
membuat keputusan.
8) Pikiran yang muncul berulang tentang kematian atau bunuh diri.
Depresi sebagai suatu diagnose gangguan jiwa adalah suatu keadaan jiwa dengan
ciri sedih,merasa sendirian,putus asa,rendah diri,disertai perlambatan pskomotorik,
atau kadang agitasi, menarik diri dari hubungan sosial, dan terdapat gangguan
vegetatif seperti anoreksia serta insomnia (Kaplan & Sadock,2010).
Orang yang rentan terkena depresi menurut Hawari (2011) biasanya mempunyai
ciri-ciri:
1) Pemurung, sukar untuk merasa bahagia
2) Pesimis menghadapi masa depan
3) Memandang diri rendah
4) Mudah merasa bersalah dan berdosa
5) Mudah mengalah
6) Enggan bicara
7) Mudah merasa haru,sedih,dan menangis
8) Gerakan lamban,lemah,lesu,kurang energik
9) Keluhan pskosomatik
10) Mudah tegang,agitatif,gelisah
11) Serba cemas,khawatir,takut
12) Mudah tersinggung
13) Tidak ada percaya diri
14) Merasa tidak mampu,merasa tidak berguna
15) Merasa selalu gagal dalam usaha, pekerjaan ataupun studi
16) Suka menarik diri,pemalu,dan pendiam
17) Lebih suka menyisihkan diri, tidak suka bergaul,pergaulan sosial sangat terbatas
18) Lebih suka menjaga jarak,menghindar keterlibatan dengan orang
19) Suka mencela,menkritik, konvensional
20) Sulit mengambil keputusan
21) Tidak agresif,sikap oposisinya dalam bentuk pasif-agresif
22) Pengendalian diri terlampau kuat,menekan dorangan/implus
23) Menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan
24) Lebih senang berdamai untuk menghindari konflik atau konfrontasi
4. Tipe Depresi
Kategorisasi depresi menurut Durand & Barlond (2010) berdasarkan berat tidaknya
gangguan ada dua yaitu:
a. Depresi berat disebut episode depresi mayor
Ini adalah depresi yang paling sering didiagnosis dan paling berat. Mengindikasikan
keadaan suasana ekstrem yang berlangsung paling tidak selama 2 minggu dan
meliputi gejala-gejala kognitif (perasaan tidak berharga dan tidak pasti) dan fungsi
fisik yang terganggu (seperti perubahan pola tidur,perubahan pola makan,dan berat
badan yang signifikan atau kehilangan banyak energi). Episode ini biasanya disertai
dengan hilangnya interes secara umum terhadap berbagai hal dan ketidakmampuan
mengalami kesenangan apapun dalam hidup.
b. Mania
Periode kegirangan atau eforia eksesif yang tidak normal yang berhubungan pada
beberapa gangguan suasana perasaan.
c. Hypomanic Episode
Versi episode hipomanik yang tidak begitu berat yang tidak menyebabkan
terjadinya hendaya berat pada fungsi sosial atau okupasional. Episode manik tidak
selalu bersifat problematic, tetapi memberikan kontribusi pada penetapan beberapa
gangguan suasana perasaan.
d. Episode Manik Campuran
Suatu kondisi dimana individu mengalami kegirangan dan depresi atau kecemasan
diwaktu yang sama. Juga dikenal dengan sebutan episode manik disforfik.

5. Alat Ukur Derajat Depresi


Untuk mengetahui sejauh mana derajat depresi seseorang apakah ringan,sedang,berat
sekali, orang menggunakan alat ukur (instrument) yang dikenal dengan nama Hamilton
Rating Scale Of Depression (HRS-D). alat ukur ini terdiri dari 21 kelompok diberi
penilaian angka (score) antara 0-4, yang artinya adalah:
Nilai :
0 = tidak ada gejala
1 = gejala ringan
2 = gejala sedang
3 = gejala berat
4 = gejala berat sekali
Penilaian atau pemakaian alat ukur ini dilakukan oleh pskiater atu orang yang telah dilatih
untuk menggunakannya melalui teknik wawancara langsung. Masing-masing nilai angka
dari ke 21 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan hasil penjumlahan itu dapat
diketahui derajat depresi seseorang, yaitu:
Total Nilai (score):
Kurang dari 17 = tidak ada depresi
18-24 = depresi ringan
25-34 = depresi sedang
35-51 = depresi berat
52-80 = depresi berat sekali
(Hawari,2011)

C. Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah
yang sama atau tidak, yang terlihat dalam kehidupan terus menerus, yang tinggal satu
atap, mempunyai ikatan emosional dan mempunyai kewajiban satu orang dengan
lainnya. (Johnson,2010).
Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa hidup,
sifat dan jenis dukungan social berbeda-beda dalam berbagai tahap siklus kehidupan.
Namun demikian dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan social keluarga
membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian akal. Sebagai
akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman,2010)
2. Struktur Keluarga
a. Patrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah
hubungan dalam beberap generasi. Dimana itu disusun melalui jalur garis ayah.
b. Matrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam
beberapa generasi dimana hub itu disusun melalui jalur ibu
c. Matrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah
dengan istri
d. Patrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga suami.
e. Keluarga kawinan : adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan
keluarga, dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya
hubungan suami istri.
(Johnson,2010).
3. Fungsi Keluarga
a. Fungsi afektif
Keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan
anggota keluarga berhubungan dengan orang lain.
b. Fungsi sosialisasi
Mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan social sebelum
meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain.
c. Fungsi reproduksi
Untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.
d. Fungsi ekonomi
Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan
tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
(Setiadi,2008).
4. Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan, antara lain :
a. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota nya.
b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.
c. Memberikan perawatan pada anggota keluarga yang sakit dan yang tidak dapat
membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda.
d. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarga.
e. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan
yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas yang ada.
(Johnson,2010)

D. Dukungan Keluarga
1. Definisi Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga menurut Fridman (2010) adalah sikap, tindakan penerimaan
keluarga terhadap anggota keluarganny, berupa dukungan informasional, dukungan
penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional. Jadi dukunan keluarga
adalah suatu bentuk hubungan interpersonal yang meliputi sikap, tindakan dan
penerimaan terhadap anggota keluarga, sehingga anggota keluarga merasa ada yang
memperhatikannya. Jadi dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-
dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat
diakses atau diadakan untuk keluarga yang selalu siap memberikan pertolongan dan
bantuan jika diperlukan (Erdiana, 2015).

2. Tujuan Dukungan Keluarga


Sangatlah luas diterima bahwa orang yang berada dalam lingkungan sosial yang
suportif umumnya memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan rekannya yang tanpa
keuntungan ini. Lebih khususnya, karena dukungan sosial dapat dianggap mengurangi
atau menyangga efek serta meningkatkan kesehatan mental individu atau keluarga
secara langsung, dukungan sosial adalah strategi penting yang haru ada dalam masa
stress bagi keluarga (Friedman, 2010).
Sistem dukungan keluarga ini berupa membantu berorientasi tugas sering kali
diberikan oleh keluarga besar, teman, dan tetangga. Bantuan dari keluarga besar juga
dilakukan dalam bentuk bantuan langsung, termasuk bantuan financial yang terus-
menerus dan intermiten, berbelanja, merawat anak, perawatan fisik lansia, melakukan
tugas rumah tangga, dan bantuan praktis selama masa krisis (Friedman, 2010).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga


Menurut Kodriati (2008) factor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga antara
lain :
a. Usia
Dukungan dapat ditentukan oleh factor usia, dalam hal ini adalah pertumbuhan
dan perkembanga. Dengan demikian setiap rentang usia (bayi-lansia) memiliki
pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.
b. Jenis kelamin
Pada wanita diketahui memiliki hubungan social yang lebih luas dan lebih erat
dibandingkan dengan kaum pria.
c. Tingkat pendidikan
Menurut Ihsan (2008) dalam pengertian yang sederhana dan umum makna
pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan
potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.
d. Status pernikahan
Pernikahan akan memberikan keuntungan bagi kesehatan seseorang karena akan
mendapatkan perhatian dari pasangannya.
e. Lamanya menderita
Seseorang yang semakin lama menderita suatu penyakit ada kemingkinan
dukungan sosial yang diterima semakin berkurang. (Kodriati,2008).
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Durand & Barlow. 2010. Faktor penyebab


depresi.https://core.ac.uk/download/filespdf.Diakses 04/01/2018

Hawari. 2011. Manajemen Stress Cemas dan Depresi.Jakarta. FKUI.

Johnson. 2010. Keperawatan Keluarga. Yogyakarta. Nuha Medika

Kaplan & Sadock, 2010. Depresi sebagai suatu diagnose gangguan jiwa.
https://core.ac.uk/download/files.pdf.

Kaplan & Sadock, 2010. Gangguan depresi berat. https://core.ac.uk/download/files.pdf.

Kodriati. 2008. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga.


http://www.library.upnvj.ac.id/pdf.

Lanywati.2011. Diabetes mellitus penyakit kencing manis. Yogyakarta. Kanisius. Lubis.


2009. Dukungan keluarga pada penderita. http://repo.unand.ac.id/394/1.

Maghfirah, S., 2013. Optimisme dan Stress pada pasien Diabetes Melitus. JurnalFrorence, 1
(2)

Santosa. 2014. Sembuh Total Diabetes dan Hipertensi dengan Ramuan Herbal. Jakarta.
Pinang Merah.

Setiadi. 2008. Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta. Graha.

Smeltzer & Bare. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddart/editor,Suzzane C.

Smeltzer, Brenda G. Bare; alih bahasa, Agung Waluyo, dkk. Jakarta: EGC.

Suiraoka. 2012. Penyakit Degeneratif. Yogyakarta. Nuha Medika.


WHO.Global Report On Diabetes. France: World Health Organization; 2016.

WHO. 2018. Diabetes Melitus. www.who.int.

Anda mungkin juga menyukai