Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III

STUDI KASUS DENGAN DIAGNOSIS UTAMA CAP (Community-acquired Pneumonia)


RECURRENT

Disusun Oleh:
1. Reza Arisandi (I1C016095)
2. Yulia Anggraini (I1C017001)
3. Ayu Azizah N (I1C017003)
4. Shafira Nabila N (I1C017005)
5. Adek Syukri N (I1C017007)

Kelas/Kelompok: A-8

Nama Dosen Pembimbing : Masita Wulandari S., M.Sc., Apt.


Tanggal Diskusi Dosen : Kamis, 1 Oktober 2020
Nama Asisten : Mia
Tanggal Diskusi Kelompok: Kamis, 24 September 2020

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
STUDI KASUS DENGAN DIAGNOSIS PENYAKIT INFEKSI CAP (Community-
acquired Pneumonia) RECURRENT
A. KASUS
Nama : Sdr. IM
No RM : 410-xx-xx
Jenis Kelamin : laki-laki
Umur : 17 Tahun
BB/TB : 36 kg/ 146 cm
MRS : 11 Juli 2017
Keluhan utama : Sesak sejak 6 jam sebelum MRS, batuk, riak tampak lebih
banyak. Demam sejak 2 hari SMRS, peak 38,9°C, diberi
paracetamol demam turun namun naik lagi.
Diagnosis : CAP (Community-acquired Pneumonia) Recurrent
Riwayat Keluarga : Tidak ada keluarga dengan penyakit serupa
Riwayat alergi : Transfuse darah merah (reaksi : bentol-bentol)
Riwayat penyakit : Pneumonia recurrent (Pneumonia sejak 2016)
Riwayat pengobatan : Omeprazol 20 mg/12 jam p.o. Diazepam 1 mg/12 jam p.o. Zinc
50 mg/8 jam p.o. Penicillamine 250 mg/ 8 jam p.o. Propranolol 20
mg/12 jam p.o.
Riwayat antibiotik : Juni 2016 : Cefotaxime kemudian cefixime
September 2016 : Cefotaxime
Februari 2017 : Cefotaxime
Mei 2017: Cefotaxime

TTV Nilai
11/7 12/7 13/7 14/7 15/7 16/7 17/7 18/7 19/7
Normal
TD 120 –
(mmHg) 129/80 130/80 100/60 100/70 83/53 100/65 107/85 100/90 87/56 77/52
mmHg
Nadi 60 – 100
60-100 120 110 118 80 100 100 100 104
(x/menit) x/menit
Suhu (°C) 36,2 – 36,5-
38,9 36,5 38,1 38,0 36,5 37 37,8 36
37,5 °C 37,5
Napas 12 – 20
12-20 28 20 24 20 24 24 30 28
(x/menit) x/menit
Gejal
11/7 12/7 13/7 14/7 15/7 16/7 17/7 18/7 19/7
a
GCS cm cm cm cm cm cm cm Cm cm
Batuk +
berda +++ + + + + + berkura - -
hak ng
Sesak + + + + + + -
nafas + Berkur Berkur Berkur Berkur Berkur Berkur -
berat ang ang ang ang ang ang
Retra
ksi +
dada
Tida 96% 99%
k Tidak Tidak roo roo
SaO2 97% 99% 96% 97%
diuk diukur diukur m m
ur air air
7x
Tida
bub
k Tidak Tidak 1x Tidak 1x nor
BAB 2x cair ur,
terca tercatat tercatat padat tercatat bubur mal
kuni
tat
ng
Munta 1x -
- - - - 1x -
h lendir
Rhon -
+ + + + - - - -
ki

Data Laboratorium
Parameter Nilai normal 11/7 17/7
Hb 13 - 16 g/dL 12,6 11,2
Hct 40% - 50 % 37,1 33,4
Eritrosit 4,4 - 5,6 x 106 sel/mm3 - 4,11
Leukosit 3,2 – 10,0 x 109/L 6,37 4,41
Trombosit 170 – 380 x 103/mm3 67,4
MCV 80 – 100 (fL) 81,3 81,3
MCH 26– 33 pg/ sel 27,6 27,3
MCHC 32 – 36 g/dL 34 33,5
APTT 21 – 45 detik - 45,2
PT 10 – 15 detik - 12,4
Eosinofil 0-6 % 0 8,4
Basofil 0-2 % 13 0,7
Neutrofil batang 0-12 % 3 54,7
Neutrofil segmen 36-73 % 48 54,7
Limfosit 15-45 % 26 24,9
Monosit 0-10 % 10 11,3
Kalium 3,6-5,2 mEq/L 3,6 3,9
Klorida 98-108 mEq/L 108 106,8
Natrium 135-144 mEq/L 143 139
Ureum 10-50 mg/ dL - 10
Kreatinin serum 0,6-1,3 mg/dL - 0,3
SGOT 5 – 35 U/L - 31
SGPT 5-35 U/L - 26
Albumin 3,5 – 5,0 g - 3,7
pH 7,35-7,45 7,414 -
pCO2 (mmHg) 35-45 mmHg 29,2 -
pO2 (mmHg) 75-100 mmHg 115,4 -
HCO3 22-26 mmol/L 18,9 -
SaO2 95-99% 98% -

Pemeriksaan Penunjang
Jenis Pemeriksaan : Hasil
- Foto Toraks  Infiltrat di kedua paru bertambah
- Kultur Darah (dibanding 17 Mei 2017). Tak tampak
kelainan radiologis di jantung.
Spesimen : Darah
 Biakan darah steril (tidak ada bakteri
Tanggal : 11 Juli 2017 dalam darah)
B. DASAR TEORI
1. Patofisiologi
CAP didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi pada pasien yang tidak
mendapatkan perawatan inap di rumah sakit atau fasilitas perawatan inap jangka
panjang (panti) setidaknya lebih dari 14 hari sebelum mulai munculnya tanda dan
gejala tersebut. Etiologi CAP bervariasi menurut tingkat keparahan penyakitnya,
meliputi bakteria, fungi, virus, protozoa, dan lain-lain. Namun sebagian besar kasus
CAP etiologinya adalah kuman atau bakteri patogen. Beberapa studi di negara barat
mengidentifikasi Streptococcus pneumoniae sebagai patogen etiologi yang paling
sering teridentifikasi. Patogen etiologi lain yang juga banyak teridentifikasi adalah
Mycoplasma pneumoniae, Haemophylus influenzae, agen viral, dan lain-lain. (PDPI,
2003)
Pada keadaan normal di paru-paru orang yang sehat tidak ada pertumbuhan
mikroorganisme. Namun, ketika ada ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dapat berkembang dan terjadi mekanisme pertahanan paru, ketika
pertahanan paru tidak kuat maka mikroorganisme dapat berkembang biak dan
menimbulkan penyakit. Resiko terjadinya infeksi pada paru tergantung pada
kemampuan mikroorganisme dalam merusak permukaan epital saluran pernafasan.
Ada beberapa cara mikrooganisme mencapai permukaan:
- Inokulasi langsung
- Penyebaran melalui pembuluh darah
- Inhalasi bahan aerosol
- Kolonisasi di permukaan mukosa.
Pada umumnya terjadi melalui kolonisasi, kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5
-2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya
terjadi proses infeksi. Jalur yang paling umum untuk agen mikroba mencapai alveoli
adalah dengan mikroaspirasi sekresi orofaringeal. Begitu mikroorganisme mencapai
ruang alveolar, mereka menyebabkan pneumonia dengan melumpuhkan mekanisme
pertahanan terakhir dari paru-paru pada makrofag alveolar. Jika makrofag alveolar
tidak dapat mengontrol pertumbuhan mikroorganisme, maka sebagai mekanisme
pertahanan pelindung terakhir, paru-paru mengembangkan respons inflamasi lokal.
Respon inflamasi lokal ini ditandai dengan pergerakan sel darah putih, limfosit dan
monosit dari kapiler ke dalam ruang alveolar. Sebagian besar tanda, gejala, dan
kelainan laboratorium yang menjadi ciri sindrom pneumonia a (CAP) yang didapat
dari komunitas berasal dari respon inflamasi local (Julio A. Ramirez. 2017)
Pasien dengan sindrom pneumonia akan datang dengan gejala batuk, produksi
sputum, sesak napas, nyeri dada karena pleuritik, demam, menggigil. Takikardia,
takipnea, rales, dan tanda konsolidasi pada pemeriksaan fisik, leukositosis, shift kiri,
dan infiltrat paru baru pada foto toraks. Beberapa kelainan ini disebabkan oleh respon
inflamasi lokal yang dihasilkan oleh masuknya sel darah putih ke dalam ruang
alveolar. Perkembangan produksi batuk dan dahak disebabkan oleh kelebihan sel
darah putih di alveoli. Sesak napas dan hipoksemia terjadi akibat akumulasi sel di
ruang alveolar, menghasilkan ketidakcocokan ventilasi-perfusi. Adanya infiltrasi paru
baru pada rontgen dada sebagian besar disebabkan oleh penumpukan sel inflamasi di
alveoli (Julio A. Ramirez, 2017)

2. Guideline Terapi
a. CAP

(Prina et al., 2015)


C. PENATALAKSANAAN KASUS DAN PEMBAHASAN
1. SUBJEKTIF
Nama : Sdr. IM
Jenis Kelamin : laki-laki
Umur : 17 Tahun
BB/TB : 36 kg/ 146 cm
MRS : 11 Juli 2017
Keluhan utama : Sesak sejak 6 jam sebelum MRS, batuk, riak tampak lebih
banyak. Demam sejak 2 hari SMRS, peak 38,9°C, diberi
paracetamol demam turun namun naik lagi.
Diagnosis : CAP (Community-acquired Pneumonia) Recurrent
Riwayat Keluarga : Tidak ada keluarga dengan penyakit serupa
Riwayat alergi : Transfuse darah merah (reaksi : bentol-bentol)
2. OBJEKTIF

TTV Nilai Keteranga


Norma 11/7 12/7 13/7 14/7 15/7 16/7 17/7 18/7 19/7 n
l
TD 120 – Hipotensi
100/6 100/7 83/5 100/6 107/8 100/9 87/5 77/5 85/6
(mmHg 129/80
0 0 3 5 5 0 6 2 0
) mmHg
Nadi 60 –
(x/menit 100
120 110 118 80 100 100 100 104 97
) x/meni
t
Suhu 36,2 – 36
(°C) 37,5 38,9 36,5 38,1 38,0 36,5 37 37,8 36
°C
Napas 12 – 20
(x/menit x/meni 28 20 24 20 24 24 30 28 26
) t
(Kemenkes, 2011 dan
 Tekanan Darah
Tekanan darah pasien turun di bawah batas normal setelah hari pertama di rawat
di RS.
 Nadi
 Nafas
Data Laboratorium
Keterangan
Parameter Nilai normal 11/7 17/7
Hb 13 - 16 g/dL 12,6 11,2 Rendah hari ke2
Hct 40% - 50 % 37,1 33,4 Normal
Eritrosit 4,4 - 5,6 x 106 sel/mm3 - 4,11 rendah
Leukosit 3,2 – 10,0 x 109/L 6,37 4,41 Normal
Trombosit 170 – 380 x 103/mm3 67,4 Rendah (trombophenia)
MCV 80 – 100 (fL) 81,3 81,3 Normal
MCH 26– 33 pg/ sel 27,6 27,3 Normal
MCHC 32 – 36 g/dL 34 33,5 Normal
APTT 21 – 45 detik - 45,2 Naik sedikit
PT 10 – 15 detik - 12,4 Normal
Eosinofil 0-6 % 0 8,4 Naik
Basofil 0-2 % 13 0,7 Normal
Neutrofil batang 0-12 % 3 54,7 Tinggi
Neutrofil segmen 36-73 % 48 54,7 Normal
Limfosit 15-45 % 26 24,9 Normal
Monosit 0-10 % 10 11,3 Naik
Kalium 3,6-5,2 mEq/L 3,6 3,9 Normal
Klorida 98-108 mEq/L 108 106,8 Normal
Natrium 135-144 mEq/L 143 139 Normal
Ureum 10-50 mg/ dL - 10 Normal
Kreatinin serum 0,6-1,3 mg/dL - 0,3 Rendah
SGOT 5 – 35 U/L - 31 Normal
SGPT 5-35 U/L - 26 Normal
Albumin 3,5 – 5,0 g - 3,7 Normal
pH 7,35-7,45 7,414 - Normal
pCO2 (mmHg) 35-45 mmHg 29,2 - Rendah
pO2 (mmHg) 75-100 mmHg 115,4 - Tinggi
HCO3 22-26 mmol/L 18,9 - Rendah
SaO2 95-99% 98% - Normal
Pemeriksaan Penunjang
Jenis Pemeriksaan : Hasil
- Foto Toraks  Infiltrat di kedua paru bertambah
- Kultur Darah (dibanding 17 Mei 2017). Tak
Spesimen : Darah tampak kelainan radiologis di
Tanggal : 11 Juli 2017 jantung.
 Biakan darah steril (tidak ada
bakteri dalam darah)

 Hemoglobin
 Eritrosit
 Trombosit
 APTT
 Eosinofil
 Neutrofil batang
 Monosit
 Kreatinin serum
 Tekanan parsial oksigen
 Tekanan parsial karbondioksida
 HCO3
3. ASESSMENT
Diagnosa pasien : CAP (Community-acquired Pneumonia) Recurrent
Problem medic yang perlu diterapi : Syok sepsis
Terapi Pengobatan selama di RS

Obat Dosis/Interva Cara 11/ 12/ 13/ 14/7 15/ 16/7 17/ 18/7 19/
l Pemberia 7 7 7 7 7 7
n
Paracetamo Iv
l 400 mg k/p
Diazepam 2.5 mg/12 jam Po v v v v v v v v v
Zinc 50 mg/8 jam Po v v v v v v v v v
Propranolol 20 mg/12 jam Po v v v v v v v v v
Omeprazol 20 mg/12 jam Po v v v v v stop
Po 18.0 v v v
Omeprazol
20 mg/24 jam 0
Penicilamin 250 mg/8 jam Po v v v v v v v v v
1 resp + 3 ml Nebulizer stop
Inhalasi 06.0
NaCl 0.9%, v v v
Ventolin 0
tiap 6 jam
Inhalasi Nebulizer 12.0 v v v 06.0 stop
Ventolin 1 resp + 3 ml 0 0
NaCl 0.9%, 20.0
tiap 8 jam 0
Inhalasi 1 resp + 3 ml Nebulizer 18.0 v
Ventolin NaCl 0.9%, 0
tiap 12 jam
Cefotaxime 900 mg/8 jam po v v v v v v v v
DTP

Tgl Subjektif Objektif Asessment


12-19 Diagnosa CAP - Terjadi penurunan pCO2, DRP : Underdose
Sesak sejak 6 jam pO2 dibawah nilai normal Pasien mengalami underdose pada pengobata
sebelum MRS, batuk, (35-45 dan 75-100 cefotaxime. Pada kasus cefotaxime diberikan sebanyak
riak tampak lebih mmHg) 900 mg/8 jam i.v. sedangkan menurut ATS (2019)
banyak. Demam sejak - Infiltrat di kedua paru dosis untuk Cefotaxime yaitu 1-2 g/8 jam.
2 hari SMRS, peak bertambah (dibanding 17
38,9°C Mei 2017
- DRP : Kebutuhan Terapi Tambahan
Menurut ATS (2019) pasien termasuk dalam kategori
severe CAP. Terapi yang diberikan untuk pasien
severe CAP yaitu β-lakatm + makrolida. Sedangkan
pasien baru diberikan Cefotaxim, maka dibutuhkan
tambahan obat makrolida. Menurut Caballero J &
Rello J (2011) terapi kombinasi lebih baik
dibandingkan dengan monoterapi Antibiotik makrolida
yang dapat digunakan yaitu Azitromisin 500 mg/hari
atau Claritromisin 2 hari sekali (ATS, 2019). Kedua
obat memiliki perbedaan efektifitas dan keamanan
yang tidak signifikan (Pakhale S et al. 2014). Angka
mortilitas Azitromisin (3.7%) lebih keil dibandingkan
Claritromisin (7.3%), dan rata-rata rawat inap
Azitromisin lebih rendah disbanding Claritromisin
(Bill Zepf, M.D. 2014). Azitromisin merupakan dosis
tunggal sehingga dapat dipertimbangakn mengenai
kepatuhan pasien.

- Tekanan darah <130/80 DRP : Terapi Yang Tidak Perlu


mmHg menurun terutama
pada 3 hari terakhir MRS Penggunaan obat propranolol pada pasien tidak tepat,
dikarenakan obat propranolol. Propranolol merupakan
obat golongan beta-blocker yang merupakan salah satu
dalam terapi hipertensi. kondisi dimana tekanan darah
sistolik seseorang lebih dari 140 / 90 mmHg (Yulanda
Glenys et al, 2017). Akan tetapi pasien tidak sedang
mengalami kondisi hipertensi. Pasien mengalami
kondisi hipotensi yang secara umum dapat dilihat saat
tekanan darah sistolik pasien turun sampai 90 mmHg
atau lebih rendah (Sulistyowati, 2018). Selain itu juga
Penggunaan b-blocker, penghambat saluran kalsium,
dan penghambat ACE lipofilik dapat menimbulkan
risiko insiden pneumonia yang lebih tinggi (Mukamal
Kenneth J. et al, 2010),
- DRP : Terapi Yang Tidak Perlu
Berdasarkan penelitian case control study Wang et al
(2017), penggunaan benzodiazepine diberikan ketika
pasien mengalami insomnia, kecemasan, dan berfokus
pada sistem saraf pusat serta gangguan fungsi kognitif,
sedangkan pasien tidak mengalami kondisi tersebut.
Penggunaan benzodiazepine juga secara signifikan
dapat meningkatkan resiko CAP baik pada pasien yang
menggunakan benzodiazepine ataupun tidak, sehingga
perlu dihindari (Salat David et al, 2017). Penggunaan
benzodiazepin dapat meningkatkan risiko pneumonia
yang signifikan (OR 1,31, 95% CI 1,18-1,46)
dibandingkan dengan yang tidak menggunakan, di
mana peningkatan risiko sebesar 2,47 kali lipat.
Penggunaan lorazepam, diazepam, chlordiazepoxide,
flunitrazepam, midazolam, dan nordazepam dapat
peningkatan risiko pneumonia 1,28 - 3,69 kali lipat. (Wang
et al, 2017)
4. PLAN
a. Tujuan terapi
b. Terapi non farmakologis
c. Terapi farmakologis
1. Cefotaxime 1-2 g/ 8 jam iv
Cefotaxime merupakan antibiotic yang memiliki cincin beta-laktam termasuk
dalam golongan Sefalosporin generasi ke 3. Cefotoxime dipilih karena
termasuk dalam antibiotic yang memiliki spectrum yang luas namun lebih
suspetible pada pneumonia oleh bakteri gram negative maka dibutuhkan
kombinasi dengan antibiotic lain yang sensitive dengan bakteri gram positif
Streptococcus pneumoniae (Padda & Nagalli, 2020). Cefotaxime bersifat
bakteridal dengan mekanisme menghambat pembentukan dinding sel bakteri
(Caballero J & Rello J, 2011)
2. Azithromisin 500 mg/hari dilanjut 250 mg/hari
Azithromisin termasuk antibiotic golongan makrolida, pemilihan azitromisin
dikarenakan dibutuhkannya antibiotic makrolida untuk kombinasi dengan
Cefotaxime dalam penanganan CAP (ATS, 2019). Azithromisin termasuk ke
dalam antibiotic yang memiliki spectrum yang luas dengan aktivitas sebagai
bakteriostatik terhadap bakteri gram positif dan gram negative seperti
Bordetella pertussis & Legionella species, Mycoplasma pneumoniae,
Treponema pallidum, Chlamydia species dan Mycobacterium (McMullan BJ
& Mostaghim M, 2015)

Evidance Based Medicine


Beberapa permasalahan medik yang dialami pasien:
a. CAP (Community Aqcuired Pneumonia)
DRP: Kebutuhan Terapi Tambahan
Pada kasus ini pasien didiagnosa CAP (Community Aqcuired Pneumonia)
dengan riwayat pneumonia sejak 2016. Kondisi CAP pasien termasuk ke dalam
kategori berat, berdasarkan Guideline American Thoracic Society and Infectious
Diseases Society of America terdapat kriteria untuk menentukan severe CAP,
yaitu terdapat satu kriteria major atau tiga atau lebih kriteria minor. Pasien
memiliki tekanan parsial O2 (PaO2) 115.4 (≤250), Trombositopenia 67.4 x
103/mm3 dan hipotensi.
Gambar 1. Tabel kategori penentuan kategori CAP berat (ATS, 209)
Standar terapi pengobatan untuk kondisi Severe CAP yaitu kombinasi
antibiotic β-lakatm + makrolida (ATS, 2019). Pasien baru diberikan terapi
Cefotaxime yang merupakan antibiotic β-lakatm oleh karena itu dibutuhkan terapi
tambahan berupa antibiotic makrolida. Menurut Caballero J & Rello J (2011)
terapi kombinasi lebih baik diberikan pada pasien CAP kategori berat
dibandingkan dengan monoterapi karena terapi kombinasi memiliki cakupan
mikroorganisme atipikal yang lebih baik pada CAP polimikroba, termasuk
Chlamydia pneumonia dan Mycoplasma pneumonia, telah dikemukakan bahwa
sebagian besar CAP disebabkan dari bakteri Streptococcus pneumoniae, banyak
juga pasien pneumonia menderita Mycoplasma pneumoniae secara bersamaan.
Selain itu terapi kombinasi lebih baik dihubungkan dengan site of action dari
kombinasi β-lakatm + makrolida, terapi kombinasi bekerja di dua tempat berbeda
dalam bakteri: dinding sel oleh b-laktam, dan penghambatan sintesis protein oleh
makrolida. Ada beberapa keunggulan dari makrolida anatara lain makrolida
memiliki sifat antiinflamasi yang efektif, dapat mengurangi pelepasan interleukin-
8 dan tumor nekrosis faktor-a, mengurangi penempelan Streptococcus pneumonia
ke sel epitel pernafasan. Selain itu, studi terbaru lainnya menyarankan terapi CAP
berat dengan kombinasi makrolida karena memiliki efek imunomodulator
(Cabello, J & Rello J., 2011)

Gambar 2. Standar terapi empiric pada Severe CAP (ATS, 2019)


Gambar 3. Manfaat terapi Kombinasi antibiotic β-lakatm + makrolida yang lebih
kuat dibandingkan mooterapi (Cabello J & Rello J., 2011)
Antibiotik makrolida yang disarankan menurut Guidline ATS (2019) yaitu
Azitromisin 500 mg/hari atau Claritromisin 2 hari sekali. Kedua obat memiliki
perbedaan efektifitas dan keamanan yang tidak signifikan (Pakhale S et al. 2014).
Angka mortilitas Azitromisin (3.7%) lebih kecil dibandingkan Claritromisin
(7.3%), dan rata-rata rawat inap Azitromisin lebih rendah dibanding Claritromisin
(Bill Zepf, M.D. 2014). Azitromisin merupakan dosis tunggal sehingga dapat
dipertimbangakn mengenai kepatuhan pasien. Dosis Azitromisin yang digunakan
yaitu 500 mg/ hari untuk hari pertama kemudian 250 mg untuk hari berikutnya
(ATS, 2019). Lama durasi pengobatan selama 7 hari untuk severe CAP (Prina et
al., 2015).
Gambar 4. Dosis Azithromisin (ATS, 2019)
DRP : Underdose
Terdapat Drug Related Problem lainnya yaitu pemberian Cefotaxime yang
underdose. Pada kasus cefotaxime diberikan sebanyak 900 mg/8 jam i.v,
sedangkan menurut ATS (2019) dosis untuk Cefotaxime yaitu 1-2 g/8 jam. Hal
ini dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tidak efektifnya obat dalam
menangani masalah CAP pada pasien sehingga pasien mengalami CAP Recurrent.
Berdasarkan hal di atas maka pengobatan empiric pasien Sdr.IM yaitu Cefotaxime
diberikan dengan dosis 1-2 gram/8 jam i.v + Azitromisin 500 mg/ hari untuk hari
pertama kemudian 250 mg untuk hari berikutnya.

Gambar 5. Dosis Cefotaxime (ATS, 2019)

DRP : Terapi Yang Tidak Perlu

a. Diazepam
Pada kasus ini pasien didiagnosa CAP (Community Aqcuired
Pneumonia) dengan riwayat pneumonia sejak 2016. Terapi lain yang
digunakan pasien dalam rekam medik RS iyalah diberikan terapi dengan
Diazepam 2.5 mg/12 jam secara peroral selama 9 hari MRS (11/7- 19/7).
Diazepam merupakan obat golongan benzodiazepine yang termasuk dalam
obat psikotropika dan banyak digunakan pada pasien insomnia dan kecemasan
serta memiki sifat anxiolytic, hypnotic, muscle relaxant, dan antiepileptic
(Salat David et al, 2017). Berdasarkan penelitian case control study Wang et
al (2017), penggunaan benzodiazepine diberikan ketika pasien mengalami
insomnia, kecemasan, dan berfokus pada sistem saraf pusat serta gangguan
fungsi kognitif. Jika dilihat dari rekam medik dan keluhan pasien, pasien tidak
mengalami gejala pada kriteria diatas, sehingga perlu adanya penghentian
terapi terhadap obat diazepam. Penggunaan benzodiazepine juga secara
signifikan dapat meningkatkan resiko CAP baik pada pasien yang
menggunakan benzodiazepine ataupun tidak, sehingga perlu dihindari (Salat
David et al, 2017)

(Salat David et al, 2017)

Penggunaan benzodiazepin dapat meningkatkan risiko pneumonia yang


signifikan (OR 1,31, 95% CI 1,18-1,46) dibandingkan dengan yang tidak
menggunakan, di mana peningkatan risiko sebesar 2,47 kali lipat. Penggunaan
lorazepam, diazepam, chlordiazepoxide, flunitrazepam, midazolam, dan
nordazepam dapat peningkatan risiko pneumonia 1,28 - 3,69 kali lipat. (Wang
et al, 2017)
(Wang et al, 2017)

Benzodiazepine receptor agonists (BZRAs) dianggap dapat menekan


imunitas perifer melalui aktivasi reseptor gamma-amino-butyric-acid tipe A
(GABAA) atau reseptor BZD perifer (PBR), sehingga terjadi aktivasi reseptor
GABAA dan dapat melemahkan sistem kekebalan. Tingkat peningkatan
pneumoniamortalitas dari diazepam terjadi melalui tindakan pada subunit
reseptor GABAA. BZD (benzodiazepin) memiliki afinitas tinggi pada jenis
reseptor PBR yang mendasari terjadinya pneumonia (Wang et al, 2017).

(Wang et al, 2017)


b. Propanolol
Pada kasus ini pasien didiagnosa CAP (Community Aqcuired Pneumonia)
dengan riwayat pneumonia sejak 2016. Terapi lain yang digunakan dalam rekam
medik pasien iyalah diberikan terapi dengan Propanolol. Propranolol merupaka
obat golongan beta-blocker yang merupakan salah satu dalam terapi hipertensi.
kondisi dimana tekanan darah sistolik seseorang lebih dari 140 / 90 mmHg
(Yulanda Glenys et al, 2017). Akan tetapi pasien tidak sedang mengalami kondisi
hipertensi. Pasien mengalami kondisi hipotensi yang secara umum dapat dilihat
saat tekanan darah sistolik pasien turun sampai 90 mmHg atau lebih rendah
selama MRS khususnya pada hari ke 8 dan 9 perawatan (Sulistyowati, 2018).
Dalam hal ini perlu dilakukan penghentian terapi dengan propranolol pada pasien.
Pasien mengalami hipotensi sehingga tidak tepat jika menggunakan terapi
propranolol.

Berdasarkan penelitian case control study Mukamal Kenneth J. et al


(2010), bahwa penggunaan b-blocker, penghambat saluran kalsium, dan
penghambat ACE lipofilik dapat menimbulkan risiko insiden pneumonia yang
lebih tinggi dibandingkan dengan golongan lain.

(Mukamal Kenneth J. et al, 2010),


Penggunaan propranolol bersama dengan Ventolin inhalasi juga dapat
menurunkan efek dari ventolin (antagonisme farmakodinamik) karena memiliki
efek berlawanan (Medscape, 2020) Selain itu, propranolol terkadang dapat
menyebabkan penyempitan saluran udara, yang dapat memperburuk masalah
pernapasan atau memicu serangan asma yang parah. Propranolol biasanya tidak
dianjurkan jika pasien menderita asma / riwayat asma (Grugs. com, 2020)

(Grugs. com, 2020)


(Medscape, 2020)

Penggunaan b blocker beresiko besar pada Asien pneumonia karena


akan mempengaruhi sistem pernapasan pasien. Stimulasi Beta adrenergik
memberikan dampak pada paru paru pasien diantaranya pelebaran sirkulasi
udara bagian sentral dan Perifer , menghambat degranulasi sel mast dan
pelepasan neural acetilkolin serta mengurangi edema alveolar. Pada pneumonia
akut, blokade Beta dapat meningkatkan kerusakan paru dan penundaan
kesembuhan dari edema paru (Mukamal Kenneth J. et al, 2010).

(Mukamal Kenneth J. et al, 2010)’


KIE
 Pasien
 Tenaga Kesehatan
 Keluarga pasien
Monitoring
Monitoring
Obat Target Keberhasilan
ESO Keberhasilan
Cefotaxim
Azithromisin Diare (<15%)
Nausea (5-10%)
Muntah (1-6%)
( Merckmanuals,
2020)

5. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society. 2019. Diagnosis and Treatment of Adults with Community-acquired
Pneumonia. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine Volume 200
Number 7.
Bill Zepf, M.D. 2014. Clarithromycin vs. Azithromycin for Pneumonia. Am Fam Physician.
2014 Jan 15;69(2):420.
Caballero J, Rello J. Combination antibiotic therapy for community-acquired pneumonia. Ann
Intensive Care. 2011;1:48. Published 2011 Nov 23. doi:10.1186/2110-5820-1-48
Drug. Com, 2020. Drugs interaction checker propranolol with albuterol :
https://www.drugs.com/interactions-check.php?drug_list=11-2744,862-0,2329-
16534,1956-0,1750-0,1814-0,549-0,109-2463

Pakhale S, Mulpuru S, Verheij TJM, Kochen MM, Rohde GGU, Bjerre LM. Antibiotics for
community‐acquired pneumonia in adult outpatients. Cochrane Database of Systematic
Reviews 2014, Issue 10. Art. No.: CD002109. DOI: 10.1002/14651858.CD002109.pub4.
Padda IS, Nagalli S. Cefotaxime. [Updated 2020 Jul 16]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560653/
McMullan BJ, Mostaghim M. Prescribing azithromycin. Aust Prescr. 2015;38(3):87-89.
doi:10.18773/austprescr.2015.030
Medscape. 2020. Drugs interaction checker propranolol with albuterol :
https://reference.medscape.com/drug-interactionchecker propranolol with albuterol

Mukamal, K. J. et al. (2010) ‘Antihypertensive medications and risk of community-acquired


pneumonia’, Journal of Hypertension, 28(2), pp. 401–405. doi:
10.1097/HJH.0b013e3283330948.

Prina E, Ranzani OT, Torres A. Community-acquired pneumonia. Lancet. 2015;386(9998):1097-


1108. doi:10.1016/S0140-6736(15)60733-4
Salat, D. et al. (2017) ‘Benzodiazepine use and risk of community-acquired pneumonia in a
population-based cohort study from north-eastern Spain’, Clinical Medicine Insights:
Therapeutics, 9. doi: 10.1177/1179559X16689676.
Wang, M. T. et al. (2017) ‘Benzodiazepine and Z-drug use and risk of pneumonia in patients
with chronic kidney disease: A population-based nested case-control study’, PLoS ONE,
12(7), pp. 1–16. doi: 10.1371/journal.pone.0179472.
Yulanda, G. and Lisiswanti, R. (2017) ‘Penatalaksanaan Hipertensi Primer’, Majority, 6(1), pp.
25–33.

Anda mungkin juga menyukai