Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN

PHARMACEUTICAL CARE
TOPIK: DIABETES MELLITUS
Kasus No : 1

Kelompok 9
Nama NPM Nilai
Norsalihan 1948201110108
Afzan Ridhani 1948201110004
Novi Siska Amalia 1948201110109
Novia 1948201110110

Semester Ganjil 2022 – 2023


Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Banjarmasin
THE PATIENT CASE PRESENTATION
(SOAP FORMAT)
1. Patient’s Database
Nomor registrasi/tanggal masuk rumah sakit : 0012536/29 November
2022 (05.00)
Tanggal Review : 2 December 2022 (10.00)
Nama : Tn. Sam
Usia : 62 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Tinggi badan :-
Berat badan :-

Past Medical History


-

Family History
Ibu meninggal karena diabetes pada usia 65 tahun

Social History
-

Allergic History/Adverse Drug Reaction History


-

Past Medication History


-

Current Medication History

Nama Obat Frekuens Rute Waktu 29/11 30/11 1/12 2/12


i
Tomit 3x1 i.v P √ √ √ √
(Metoclopramide) Si √ √ √
So √ √ √
M
Pantozol 1x1 i.v P
(Pantoprazole) Si √ √ √
So
M
Levofloxacin 750 1x1 i.v P √ √ √ √
mg Si
So
M
Magasida Syr 3x1C Oral P √ √ √ √
Si √ √ √
So √ √ √
M
Lipitor 40 mg Oral P
(Atorvastatin) Si
So
M √ √ √
Glucobay 3x1 Oral P √ √ √ √
(Akarbosa) Si √ √ √
So √ √ √
M

Further Information Required (dan alasannya)


1. Dilakukan pengujian lebih lanjut baik dari kultur darah atau sputum untuk
menentukan terapi pneumonia secara spesifik terhadap agen penyebab
pneumonia. Jika pasien kesulitan mengeluarkan sputum, dapat diberikan
fisioterapi dada atau dapat diberikan pengencer dahak.
2. Ditanyakan apakah masih terdapat gejala sesak dan dilakukan tes tanda
tanda vital respiratory rate, PaO2 dan PaCO2 untuk menentukan apakah
pasien diberi terapi oksigen atau bronkodilator. Jika pasien mengalami
hipoksemia berat (misalnya sindrom gangguan pernapasan akut, pneumonia
luas, atau asma akut berat), oksigen aliran tinggi, melalui masker wajah atau
bersama dengan bantuan ventilasi, mungkin diperlukan. Namun, pada
pasien dengan eksaserbasi PPOK berat, oksigen aliran tinggi yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan retensi progresif karbon dioksida
(hiperkapnia) dan asidosis pernapasan, yang dengan sendirinya dapat
mengancam jiwa (ERS, 2020).

(ERS, 2020)

2. SOAP Notes
Subjective
a. Sesak (+) mulai sore
b. Batuk (+)
c. Nyeri ulu hati (-)
d. BAK dan BAB lancer
e. Mual dan muntah (+) sejak 2 hari lalu
f. Riak (-) (menurut kbbi: lendir yang keluar dari tenggorok pada saat
terserang batuk; dahak)
g. Lemas (+)
h. Gejala mual dan muntah (-) pada 1 Desember

Objective
Physical Examination
Pemeriksaan Nilai 29/11 30/11 1/12 2/12
Normal
Tekanan darah <120/80 135/90 130/90 125/80 130/80
(mmHg)
Nadi (x/min) 60 – 100 85 80 89 86
Temperatur 36,5 – 37,2 37,5 37,1 36,8 36,5
(oC)
Pernafasan 12–18 atau - - - -
(x/min) 12–20

Tekanan Darah (Whelton, P. K., et. al., 2022)

Nadi/Pulse rate (APTA, 2021)

Suhu (Jones, A., n.d.)

RR (Respiratory Rate)

(APTA,2021)
(Jones, A., n.d.)

Laboratory Test

Hasil
Pemeriksaan Satuan Nilai Normal
29/11 1/12
WBC (White x 109/L 3,2 – 10,0 10,52
Blood (Kemenkes, 2011. hal 15)
Cells) /Leuko 3.2–11.3
(Whalen K.L., et. al.,
2009)
RBC (Red x 1012/L Pria: 4,4 - 5,6 4,62
Blood (Kemenkes, 2011. hal 12)
Cells)/Eri
HGB/Hb 14,0 g% Pria : 13 - 18 g/dL atau 13,3
(Hemoglobin) 8,1 - 11,2 mmol/L
(Kemenkes, 2011. hal 10)
HCT/PCV % Pria : 40% - 50 % 39,5
(Hematokrit) (Kemenkes, 2011. hal 9)
PLT/Thrombo x 109/L 170 – 380 412
(Platelets/ (Kemenkes, 2011. hal 22)
trombosit)
LED (Laju mm/jam Pria <15mm/1 jam 48
Endap Darah) (Kemenkes, 2011. hal 24)
Eo (Eosinofi) % 0% - 6% 2
(Kemenkes, 2011. hal 19)
Ba (Basofil) % 0% - 2% -
(Kemenkes, 2011. hal 20)
Stab (Stabs / % 0% - 12% 9
Bands (Kemenkes, 2011. hal 17)
Neutrofil)
Seg (Segment % 36% - 73% 65
Neutrofil) (Kemenkes, 2011. hal 17)
Lym % 15% - 45% 20
(Kemenkes, 2011. hal 21)
Mo % 0%-11% 4
(Kemenkes, 2011. hal 20)
CRP mg/dL < 0,3 mg/dL 61
(C-Reactive (Nehring SM., et. al.,
Protein) 2022)
Natrium mMol/L 135 – 144 mmol/L 130 132
(Kemenkes, 2011. hal 27)
Kalium mMol/L ≥18 tahun: 3,6 – 4,8 3,4 3,5
mmol/L
(Kemenkes, 2011. hal 30)
SGOT (AST) U/L 5 – 35 U/L 24
(Kemenkes, 2011. hal 59)
SGPT (ALT) U/L 5-35 U/L 27
(Kemenkes, 2011. hal 58)
Cholesterol mg/dL <200mg/dL 201
(Kemenkes, 2011. hal 8)
 <200 (diinginkan)
 200–239 (borderline)
 ≥240 (tinggi)
(Perkeni b, 2021. hal 6)
Triglycerida mg/dL Pria : 40 - 160 mg/dL 165
(Kemenkes, 2011. hal 64)
 <150 (normal)
 150-199 (borderline)
 200-499 (tinggi)
 ≥500 (sangat tinggi)
(Perkeni b, 2021. hal 6)
HDL- mg/dL 30 - 70 mg/dL 43
Cholesterol (Kemenkes, 2011. hal 63)
 <40 (rendah)
 ≥60 (tinggi)
(Perkeni b, 2021. hal 6)
LDL- mg/dL <130 mg/dL 98
Cholesterol (Kemenkes, 2011. hal 63)
 <100 (optimal)
 100 – 129 (mendekati
optimal)
 130 – 159 (borderline)
 160 – 189 (tinggi)
 ≥190 (sangat tinggi)
(Perkeni b, 2021. hal 6)
Gula puasa mg/dL  70 – 99 (normal) 165
 100 – 125
(prediabetes)
 ≥ 126 (diabetes)
(Perkeni halaman 12)
2 jam PP mg/dL  70 – 139 (normal) 205
 140 – 199
(prediabetes)
 ≥ 200 (diabetes)
(Perkeni halaman 12)
HbA1C %  < 5,7 (normal) 7,9
 5,7 – 6,4 (prediabetes)
 ≥ 65 (diabetes)
(Perkeni halaman 12)
Thorax photo Terlihat
adanya
infiltrate
pada
paru-
paru

Parameter Interpretasi
WBC Peningkatan jumlah WBC disebut sebagai leukositosis.
Leukositosis dapat disebabkan oleh infeksi, leukemia,
trauma, badai tiroid, dan penggunaan kortikosteroid
(Whalen K.L., et. al., 2009).
Hct Penurunan nilai Hct merupakan indikator anemia
(karena berbagai sebab), reaksi hemolitik, leukemia,
sirosis, kehilangan banyak darah dan hipertiroid.
Penurunan Hct sebesar 30% menunjukkan pasien
mengalami anemia sedang hingga parah. Nilai normal
Hct adalah sekitar 3 kali nilai hemoglobin.
PLT Peningkatan trombosit (trombositosis, trombositemia)
dapat disebabkan oleh infeksi, keganasan, splenektomi,
gangguan inflamasi kronis (misalnya rheumatoid
arthritis), polisitemia vera, perdarahan, anemia
defisiensi besi, atau metaplasia myeloid (Whalen K.L.,
et. al., 2009). Trombositosis berhubungan dengan
kanker, splenektomi, polisitemia vera, trauma, sirosis,
myelogeneus, stres dan arthritis reumatoid (Kemenkes,
2011. hal 22).
LED nilai meningkat terjadi pada: kondisi infeksi akut
dan kronis, misalnya tuberkulosis, arthritis
reumatoid, infark miokard akut, kanker, penyakit
Hodkin’s, gout, Systemic Lupus Erythematosus
(SLE), penyakit tiroid, luka bakar, kehamilan
trimester II dan III (Kemenkes, 2011. hal 24).
CRP Tes ini dilakukan ketika dokter mencurigai peradangan
akut atau kronis (misalnya, SLE atau rheumatoid
arthritis [RA]) atau infeksi.
 Kurang dari 0,3 mg/dL: Normal (tingkat terlihat
pada kebanyakan orang dewasa yang sehat).
 0,3 hingga 1,0 mg/dL: Peningkatan normal atau
minor (dapat dilihat pada obesitas, kehamilan,
depresi, diabetes, flu biasa, radang gusi,
periodontitis, gaya hidup menetap, merokok, dan
polimorfisme genetik).
 1,0 hingga 10,0 mg/dL: Peningkatan sedang
(Peradangan sistemik seperti RA, SLE, atau penyakit
autoimun lainnya, keganasan, infark miokard,
pankreatitis, bronkitis).
 Lebih dari 10,0 mg/dL: Peningkatan yang nyata
(Infeksi bakteri akut, infeksi virus, vaskulitis
sistemik, trauma berat).
 Lebih dari 50,0 mg/dL: Peninggian parah (Infeksi
bakteri akut).
(Nehring SM., et. al., 2022)
Natrium  Hiponatremia dapat terjadi pada kondisi
hipovolemia (kekurangan cairan tubuh),
euvolemia atau hipervolemia (kelebihan cairan
tubuh). Hipovolemia terjadi pada penggunaan
diuretik, defisiensi mineralokortikoid,
hipoaldosteronism, luka bakar, muntah, diare,
pankreatitis. Euvolemia terjadi pada defisiensi
glukokortikoid, SIADH, hipotirodism, dan
penggunaan manitol. Sedangkan hypervolemia
merupakan kondisi yang sering terjadi pada gagal
jantung, penurunan fungsi ginjal, sirosis, sindrom
nefrotik (Kemenkes, 2011. hal 27).
 Tanda klinik yang akut dari penurunan kadar
elektrolit dalam tubuh adalah mual, lelah, kram,
gejala psikosis, seizures, dan koma (Kemenkes,
2011. hal 27).
 Hiponatremia dengan osmolalitas plasma tinggi
disebabkan oleh hiperglikemia, sedangkan
osmolalitas plasma normal menunjukkan
pseudohiponatremia atau sindrom reseksi prostat
pasca-transurethral (Goh KP, 2004).
 Nilai kritis untuk Natrium:
<120 mEq/L lemah, dehidrasi
90-105 mEq/L gejala neurologi parah, penyebab
vaskular
> 155 mEq/L gejala kardiovaskular dan ginjal
> 160 mEg/L gagal jantung
Kalium Hipokalemia, adalah konsentrasi kalium dalam
serum darah kurang dari 3,5 mmol/L. Kondisi
hipokalemia akan lebih berat pada diare, muntah,
luka bakar parah, aldosteron primer, asidosis tubular
ginjal, diuretik, steroid, cisplatin, tikarsilin, stres yang
kronik, penyakit hati dengan asites, terapi amfoterisin
(Kemenkes, 2011. hal 30 – 31).

Diagnosis Dokter
Pneumonia dan Diabetes Mellitus

Past and current medication


Current:
1. Tomit (3x1 pada pagi, siang dan sore) rute i.v
2. Pantozol (1x1 pada siang) rute i.v
3. Levofloxacin 750 mg (1x1 pada pagi) rute i.v
4. Magasida Syr (3x1C pada pagi, siang, dan sore) rute oral
5. Lipitor 40 mg (1x1 pada malam) rute oral
6. Glucobay (3x1 pada pagi, siang, dan sore) rute oral

Assessment
1. Medical Problem: Diabetes Melitus
a. Therapy (Past and current medication): Glucobay
b. Drug-related Problems (DRP) dan cause:
P 1.2 Efek terapi obat tidak optimal
C 1.1 Obat yang tidak sesuai dengan guidelines/formulary
Berdasarkan logaritma di bawah, diabetes mellitus dilakukan terapi
non farmakologi berupa perubahan gaya hidup dan diberikan
monoterapi obat karena pasien baru saja didiagnosis diabetes. Adapun
Metformin merupakan lini pertama dalam terapi diabetes mellitus.
(Pedoman Pengelolaan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 halaman
32)
2. Medical Problem: mual dan muntah serta penggunaan obat dispepsia
a. Therapy (Past and current medication):
• Tomit (Metoclopramide) 3x1 i.v
• Magasida sirup 3x1C
• Pantozol 1x1 i.v
b. Drug-related Problems (DRP) dan cause
P3.1 Perawatan obat yang tidak perlu
C1.2 Tidak ada indikasi obat
Pasien sebelumnya mengalami gejala mual dan muntah dan diberikan
Tomit melalui rute intravena. Gejala mual dan muntah mungkin
disebabkan oleh adanya infeksi pneumonia. Namun, gejala sudah
tidak muncul sejak 1 Desember sehingga sebaiknya obat tersebut
digunakan jika memang muncul gejala mual dan muntah. Penggunaan
Magasida dan Pantozol mungkin dikarenakan kecurigaan terhadap
mual dan muntah yang dipicu oleh asam lambung. Namun, sama
seperti sebelumnya, gejala mual dan muntah pada pasien tidak muncul
sejak 1 Desember dan bahkan tidak ditemukan indikasi adanya ulkus
peptik maupun maag.
C1.6 terlalu banyak obat yang diberikan kepada pasien untuk
mengatasi gejala mual dan muntah.

3. Medical Problem: Pneumonia


P 2.1 Kejadian obat yang merugikan (kemungkinan) terjadi
C 1.3 Kombinasi obat yang tidak sesuai, atau obat dan obat herbal, atau
obat dan suplemen diet.
Kejadian obat yang merugikan mungkin dapat terjadi karena ditemukan
interaksi antara kombinasi Levofloxacin baik dengan Metformin yang
akan diberikan maupun Acarbose yang sudah diberikan kepada pasien.
Adapun berikut adalah interaksi obat-obat tersebut.

4. Medical Problem: Dislipidemia


P2.1 Kejadian obat yang merugikan (kemungkinan) terjadi
C3.2 Dosis obat dari bahan aktif tunggal terlalu tinggi
Penggunaan dosis simvastatin 10-20 mg dan atorvastatin 20 mg termasuk
ke dalam dosis lazim, sedangkan atorvastatin 40 mg termasuk ke dalam
dosis tinggi.

(Anne Tournadre, 2019)


Adapun salah satu efek samping dari penggunaan statin adalah
rabdomiolisis. Gejala klinis klasik rabdomiolisis berupa nyeri,
pembengkakan dan disfungsi otot, kaku, kesemutan, kelemahan, serta urin
berwarna teh. Sehingga dikhawatirkan penggunaan dosis yang lebih
tinggi akan meningkatkan efek samping tersebut.

(Wangko, S., 2013)

(Perki Dislipidemia halaman 41)

5. Medical Problem: Resiko Tinggi Penyakit Kardiovaskular


P 2.1 Kejadian obat yang merugikan (kemungkinan) terjadi
C 1.5 Tidak ada atau pengobatan obat tidak lengkap terlepas dari indikasi
yang ada.
Berikut ada hasil perhitungan Skor Resiko Framingham pasien.
 Perkiraan Risiko CVD Global 10 tahun: >30%*
 Kategori Risiko: Risiko Tinggi*
 Perkiraan Usia Pembuluh Darah: >80 Tahun*
Seharusnya pasien dapat diberi trombolitik ataupun aspirin untuk
mencegah resiko tejadinya penyakit kardiovaskular. Terapi aspirin (75-162
mg/hari) dapat dianggap sebagai strategi pencegahan primer pada mereka
dengan diabetes yang berada di peningkatan risiko kardiovaskular.

Diabetes Care Volume 45, Supplement 1, January 2022 hal. 155


Plan
1. Medical Problem No.1 (Diabetes Melitus)
a. Rekomendasi dan Alasan:
I 3.1 Obat diubah menjadi Metformin 500 mg dengan pemberian 2x
sehari pada pagi dan malam serta dianjurkan untuk modifikasi atau
perubahan gaya hidup. Pasien pertama kali didiagnosis diabetes
melitus sehingga terapi dapat dimulai dengan modifikasi gaya hidup
dan monoterapi metformin sebagai lini pertama.

(Pedoman Pengelolaan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 halaman


97)
b. Monitoring:
Kriteria pengendalian diasarkan pada hasil pemeriksaan kadar
glukosa, kadar HbA1c, dan profil lipid. Definisi DM yang terkendali
baik adalah apabila kadar glukosa darah, kadar lipid, dan HbA1c
mencapai kadar yang diharapkan, serta status gizi maupun tekanan
darah sesuai target yang ditentukan. (Pedoman Pengelolaan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia halaman
43). Jika dalam 3 bulan HbA1c belum mencapai <7%, maka dapat
dikombinasikan atau ditambahkan obat kedua.

Selain itu juga dilakukan monitoring terhadap kondisi terjadinya


hipoglikemia dan efek samping obat. Karena Metformin memiliki
efek samping terhadap gastrointestinal. Selain itu, penggunaan
Metformin dan Levofloxacin secara bersamaan memungkinkan
terjadinya kondisi hipoglikemia. Oleh sebab itu, kondisi pasien perlu
dipantau secara ketat.

(Pedoman Pengelolaan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa


di Indonesia halaman 38)
c. Target:
• GDP = 70-99 mg/dl
• GD2jamPP = <180 mg/dl
• HbA1C = <7%

(Perkeni halaman 45)

2. Medical Problem No.2 (mual dan muntah)


a. Rekomendasi dan Alasan:
I 3.5 Obat dijeda atau dihentikan
Ketiga obat tersebut dapat dijeda terlebih dahulu jika pasien sudah
tidak mengalami gejala mual dan muntah. Pasien dapat diberikan
kembali obat tersebut jika gejala kembali muncul.
b. Monitoring:
Kemunculan kembali gejala mual muntah maupun dispepsia baik
disebabkan oleh infeksi maupun penggunaan obat lain yang
berpotensi memiliki efek samping terhadap gastrointestinal.
c. Target: -
3. Medical Problem No.3 (Pneumonia)
a. Rekomendasi dan Alasan:
I 4.1 Intervensi lain
Dilakukan pemantauan kadar glukosa untuk memastikan dan
menghindari kondisi hipoglikemia. Hal ini karena pengobatan dengan
Levlofloxacin sudah sesuai dengan guidline. Antibiotik tersebut
merupakan golongan fluoroquinolone yang merupakan spektrum luas
dan dijadikan monoterapi secara empiris untuk pneumonia. Sedangkan
menggunakan obat selain golongan tersebut harus menggunakan
kombinasi dua antibiotik dan masih terdapat interaksi dengan obat
diabetes dan hiperlipid yang digunakan. Jika ternyata pasien
mengalami hipoglikemia, maka dapat diberikan infus glukosa hingga
antibiotik berhenti digunakan dan pneumonia pasien sudah sembuh.

(Depkes RI, 2005)

(Metlay, J. P., et. al., 2019)


b. Monitoring:
 Tanda-tanda hipoglikemia dan glukosa serum
 Evaluasi lekosist & tanda infeksi lainnya, kemungkinan
kristaluria, fungsi organ (ginjal, liver, mata) secara periodik
(Departemen Kesehatan RI, 2005, halaman 52).
c. Target:
 Glukosa serum tidak kurang dari 70 mg/dL (Pedoman
Pengelolaan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di
Indonesia halaman 54)
 Hasil tes laboratorium yang menunjukkan infeksi telah normal.

4. Medical Problem No.4 (Dislipidemia)


a. Rekomendasi dan Alasan:
I 3.2 Dosis diubah atau dimulai dari 10 mg sehari. Dikhawatirkan
penggunaan dosis yang lebih tinggi akan meningkatkan efek samping
rabdomiolisis. Walaupun sebenarnya pasien termasuk dalam terapi
high intensity karena terdapat penyakit diabetes, umur berkisar 40 –
75 tahun dan hasil prediksi penyakit kardiovaskular dalam sepuluh
tahun >30% dan seharusnya dosis yang didapat sesuai, namun karena
efek samping rabdomiolisis terapi statin pada pasien dan pasien baru
saja mendapat terapi dislipidemia, maka pengobatan diturunkan ke
low intensity, yaitu Simvastatin 10 mg. Selain itu, dari segi biaya
Simvastatin lebih terjangkau dibanding Atorvastatin. Dilakukan
monitoring efektivitas terapi ini agar dapat dilakukan tapering up.

(Perkeni Dislipidemia halaman 26)


(Perkeni Dislipidemia halaman 37)
b. Monitoring:
 Pemeriksaan lipid dilakukan sebelum memulai terapi dan setiap 4-
12 minggu setelah terapi dimulai atau setelah pengaturan dosis obat
hingga target yang diinginkan tercapai. Bila target terapi sudah
tercapai maka pemeriksaan lipid dapat dilakukan sekali dalam
setahun (Perkeni Dislipidemia halaman 34).
 Pemeriksaan SGPT dianjurkan sekali yaitu pada minggu ke 8-12
setelah memulai terapi atau setelah dosis ditingkatkan. Bila
didapatkan adanya peningkatan SGPT namun 3 kali dari batas atas
normal, maka segera hentikan atau turunkan dosis dan cek ulang
SGPT setelah minggu ke 4-6. Bila SGPT sudah kembali normal,
maka terapi statin dapat dimulai kembali dengan berhati-hati
(Perkeni Dislipidemia halaman 34).
 Monitoring timbulnya efek samping rabdomiolisis ataupun miopati
pada penggunaan statin.
c. Target:
Pasien termasuk dalam kategori resiko sangat tinggi karena nilai
perolehan prediksi resiko penyakit kardiovaskular dalam 10 tahun
>20% dan adanya penyakit diabetes, sehingga target terapi yang harus
dicapai ialah:
LDL = < 70
Non-HDL = <100
Apo B = <80
(Perkeni Dislipidemia halaman 32)
(Perkeni Dislipidemia halaman 32)

5. Medical Problem No.5 (Resiko Penyakit Kardiovaskular)


a. Rekomendasi dan Alasan:
I 3.6 Obat dimulai, yakni berikan terapi terapi aspirin (75-162
mg/hari) sebagai strategi pencegahan primer pada mereka dengan
diabetes yang berada di peningkatan risiko kardiovaskular.

\
(Diabetes Care Volume 45, Supplement 1, January 2022 hal. 155)
b. Monitoring: terjadinya efek samping atau efek obat yang merugikan
c. Target: tercegahnya penyakit kardiovaskular
Konseling Diabetes
1. Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan makanan
selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori
sehari.
2. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu fullcream
3. Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan
tempe. Sumber bahan makanan protein dengan kandungan saturated fatty acid
(SAFA) yang tinggi seperti daging sapi, daging babi, daging kambing dan
produk hewani olahan sebaiknya dikurangi untuk dikonsumsi
4. Anjuran asupan natrium untuk pasien DM sama dengan orang sehat yaitu <
1500 mg per hari. (B). Sedangkan pasien DM yang juga menderita hipertensi
perlu dilakukan pengurangan natrium secara individual yaitu mengurangi
konsumsi garam (< 2300 mg/hari).
5. Pada upaya pembatasan asupan natrium ini, perlu juga memperhatikan bahan
makanan yang mengandung tinggi natrium antara lain adalah garam dapur,
monosodium glutamat, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan
natrium nitrit.
6. Pasien DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan, buah dan
sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat
7. Gunakan pemanis alternatif yang aman digunakan sepanjang tidak melebihi
batas aman. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada pasien DM karena
dapat meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari
makanan seperti buah dan sayuran yang mengandung fruktosa alami.
Sedangkan golongan pemanis tak berkalori yang dapat digunakan termasuk
aspartam, sakarin, acesulfame potasium, sukrose, neotame.
(Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 halaman 18-20).
Konseling Dislipidemia:
1. Aktifitas fisik yang disarankan meliputi program latihan yang mencakup
setidaknya 30 menit aktivitas fisik dengan intensitas sedang (menurunkan 4-7
kkal/menit) 4 sampai 6 kali seminggu, dengan pengeluaran minimal 200 kkal/
hari. Kegiatan yang disarankan meliputi jalan cepat, bersepeda statis, ataupun
berenang. Tujuan aktivitas fisik harian dapat dipenuhi dalam satu sesi atau
beberapa sesi sepanjang rangkaian dalam sehari (minimal 10 menit). Bagi
beberapa pasien, beristirahat selama beberapa saat di sela-sela aktivitas dapat
meningkatkan kepatuhan terhadap progran aktivitas fisik. Selain aerobik,
aktivitas penguatan otot dianjurkan dilakukan minimal 2 hari seminggu.
2. Disarankan untuk mengkonsumsi diet rendah kalori yang terdiri dari buah -
buahan dan sayuran (≥ 5 porsi/hari), biji-bijian (≥ 6 porsi/hari), ikan, dan
daging tanpa lemak. Asupan lemak jenuh, lemak trans, dan kolesterol harus
dibatasi, sedangkan makronutrien yang menurunkan kadar LDL-C harus
mencakup tanaman stanol/sterol (2 g/hari) dan serat larut air (10-25 g/hari).
3. Berhenti merokok
(Perkeni Pedoman Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia 2021 halaman 14).
4. Adapun berikut adalah rekomendasi makanan untuk diet
(Perki Dislipidemia halaman

Konseling Pencegahan Hipoglikemia


Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dL.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa
adanya tanda dan gejala sistem autonom, seperti adanya whipple͛ s triad: Terdapat
gejala-gejala hipoglikemia, kadar glukosa darah yang rendah, gejala berkurang
dengan pengobatan. Berikut adalah gejala dan klasifikasi dari hipoglikemia.
(Perkeni halaman 53)
1. Disarankan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah mandiri kepada
pasien saat rawat jalan ketika dicurigai adanya hipoglikemia. Adapun pasien
saat ini termasuk dalam penyandang diabetes pola satu karena pasien diberi
terapi OHO saja. Pasien dengan OHO disarankan untuk melakukan
pemeriksan PGDM low-intensity dalam bentuk paired-test sebelum dan
sesudah makan utama 3 hari berturut-turut sebelum kunjungan ke dokter
dan bila ada gejala hipoglikemia. Tabel di bawah merupakan contoh jika
pasien kontrol ke dokter pada hari Kamis.

2. Lakukan edukasi tentang obat-obatan atau insulin yang dikonsumsi, tentang:


dosis, waktu megkonsumsi, efek samping. Adapun Metformin 500 mg
diminum pada pagi dan malam bersama atau sesudah makan. Berikut adalah
efek samping atau kerugian yang mungkin terjadi dari penggunaan
metformin.

Berikut adalah rekomendasi pengobatan jika terjadi hipoglikemia pada pasien.


Pada hipoglikemia ringan (pasien tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk
pemberian glukosa per-oral):
1. Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana).
2. Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain
yang berisi glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah. (E)
3. Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon kenaikan
glukosa darah.
4. Glukosa 15 - 20 g (2 - 3 sendok makan gula pasir) yang dilarutkan dalam air
adalah terapi pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar (E)
5. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15
menit pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15 menit
setelah pengobatan hipoglikemia masih tetap ada (glukosa serum <70
mg/dL), pengobatan dapat diulang kembali.
6. Jika hipoglikemia menetap setelah 45 menit atau 3 siklus pengananan sesuai
dengan poin 4 maka diperlukan pemberikan cairan glukosa yaitu infus
dextrose 10% sebanyak 150 ʹ 200 mL dalam waktu 15 menit.
7. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal
(glukosa serum >70 mg/dL), pasien diminta untuk makan atau
mengkonsumsi makanan ringan untuk mencegah berulangnya hipoglikemia.

Pada hipoglikemia berat (pasien tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk
pemberian glukosa per-oral):
1. Hentikan obat-obat antidiabetes. Jika pasien menggunakan insulin, maka
perlu dilakukan penyesuaian dosis.
2. Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa
pemberian intravena dextrose 20% sebanyak 75 – 100 mL dalam waktu 15
menit.
3. Periksa glukosa darah tiap 10 – 15 menit setelah pemberian i.v tersebut
dengan target ≥70 mg/dL. Bila target belum tercapai maka prosedur dapat
diulang.
4. Jika glukosa darah sudah mencapai target, maka pemeliharaannya diberikan
dextrose 10% dengan kecepatan 100 mL/jam (hati – hati pada pasien dengan
gangguan ginjal dan jantung) hingga pasien mampu untuk makan.
5. Pemberian glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan sebagai alternatif
lain terapi hipoglikemia jika akses intravena sulit dicapai (hati ʹ hati pada
pasien malnutrisi kronik, penyalahgunaan alkohol, dan penyakit hati berat).
6. Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia. Jika hipoglikemia
disebabkan oleh regimen SU atau insulin kerja panjang maka hati – hati
hipoglikemia dapat bertahan dalam kurun waktu 24 – 36 jam (E)
DAFTAR PUSTAKA

Anne Tournadre. Statins, myalgia, and rhabdomyolysis. Science article. 2019: 1-


24.
APTA Acute Care. (2021). Adult Vital Sign Interpretation In Acute Care Guide
2021.
ERS European Respiratory Society. (2020). Principles of respiratory therapy -
Nonpharmacological therapy. In European Lung White Book.
Departemen Kesehatan RI. (2005). Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan.
Jones, A. (n.d.). Policy Directive Royal Prince Alfred Hospital Patient
Observation (Vital Signs) Policy-Adult.z
Goh KP. Management of hyponatremia. Am Fam Physician. 2004 May
15;69(10):2387-94. PMID: 15168958.
Kemenkes. (2011). Pedoman Interpretasi Data Klinik.
Mantero M, Tarsia P, Gramegna A, Henchi S, Vanoni N, Di Pasquale M.
Antibiotic therapy, supportive treatment and management of
immunomodulation-inflammation response in community acquired
pneumonia: review of recommendations. Multidiscip Respir Med. 2017 Oct
5;12:26. doi: 10.1186/s40248-017-0106-3. PMID: 29034094; PMCID:
PMC5628439.
Metlay, J. P., Waterer, G. W., Long, A. C., Anzueto, A., Brozek, J., Crothers, K.,
Cooley, L. A., Dean, N. C., Fine, M. J., Flanders, S. A., Griffin, M. R.,
Metersky, M. L., Musher, D. M., Restrepo, M. I., & Whitney, C. G. (2019).
Diagnosis and treatment of adults with community-acquired pneumonia.
American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 200(7), E45–
E67. https://doi.org/10.1164/rccm.201908-1581ST
Nehring SM, Goyal A, Patel BC. C Reactive Protein. [Updated 2022 Jul 18]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441843/
Perkeni. 2021. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2.
Perkeni b. 2021. Pedoman Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia.
Pionas. (n.d). https://pionas.pom.go.id/ioni/bab-3-sistem-saluran-napas-0/36-
oksigen
Wangko, S. (2013). Rabdomiolisis. Jurnal Biomedik: JBM, 5(3).
Whalen K.L., & Borja-Hart N (2009). Chapter 11. interpretation of clinical
laboratory data. Nemire R.E., & Kier K.L.(Eds.), Pharmacy Student
Survival Guide, 2e. McGrawHill.
https://accesspharmacy.mhmedical.com/content.aspx?
bookid=512&sectionid=41742440
Whelton, P. K., Carey, R. M., Mancia, G., Kreutz, R., Bundy, J. D., & Williams,
B. (2022). Harmonization of the American College of Cardiology/American
Heart Association and European Society of Cardiology/European Society of
Hypertension Blood Pressure/Hypertension Guidelines: Comparisons,
Reflections, and Recommendations. In Circulation (Vol. 146, Issue 11, pp.
868–877). Lippincott Williams and Wilkins.
https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.121.054602

Anda mungkin juga menyukai