Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II

FARMAKOTERAPI PASIEN CHF dan PPOK

Disusun oleh :

Nisa Sundari Tasripin (I1C016014)

Sarah Azizah (I1C016032)

Dani Oktaviana (I1C016050)

Rahmadhani Kusuma Putri (I1C016068)

Aprillia Siskawati D (I1C016084)

Dosen Pembimbing Praktikum : Masita Wulandari, M.Sc., Apt.

Tanggal Presentasi Diskusi Dosen : Rabu, 20 Maret 2019

Asisten Praktikum : Icmi Ahita

Tanggal Diskusi Kelompok : Rabu, 13 Maret 2019

LABORATORIUM FARMASI KLINIK


JURUSAN FARMASI FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2019
A. KASUS
Profil Pasien
Nama : Tn. Th
Usia : 80 tahun
BB :-
Tangga MRS : 3/12
Keluhan : sesak nafas, batuk, greges, kaki bengkak, sudah mondok di RS 5 hari
tidak ada perubahan
Riwayat penyakit : Penyakit Jantung dan paru
Riwayat obat :-
Riwayat sosial : merokok
Diagnosa : CHF, PPOK

Data Klinik
Parameter Nilai normal 3/12 4/12 5/12
TD (mmHg) 120/80 160/80 180/100 160/90
Nadi (x/menit) 50-80 100 116 90
Suhu (°C) 36 36 37 36
Nafas (x/menit) 16-20 25 30 20

Data Laboratorium
Parameter Nilai normal 3/12
Leukosit (mm3) 3.200-10.000 11.080
Segmen (%) 93,7
Kalium (mEq/L) 3,4
SGOT (u/L) 81
SGPT (u/L) 86

Terapi Pasien
Tanggal
Obat Dosis
3/12 4/12 5/12
Inj Ranitidin /12 jam - √ √
Inj Ceftriaxone /12 jam - √ √
Inj Furosemide /12 jam - - √
Irbesartan 150 mg 1x1 √ - -
Spironolakton 25 mg 1x1 √ √ -
Aspilet 80 mg 1x1 √ √ √
Bisoprolol 2,5 mg 1x1 √ - -
Ambroxol 3x1 √ √ √
Paracetamol 3x1 √ √ √
Salbutamol 3x1 √ √ √
IVFD RL 12 TPM √ √ √
IVFD D5% 10 TPM √ - -

B. DASAR TEORI
1. Patofisiologi
a. Patofisiologi CHF
Gagal jantung adalah sindroma klinik yang ditandai oleh adanya kelainan pada
struktur atau fungsi jantung yang mengakibatkan jantung tidak dapat memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Gagal jantung ditandai dengan
manifestasi klinik berupa kongesti sirkulasi, sesak, fatigue dan kelemahan. (Rachma,
2014).
Terdapat dua mekanisme yang menyebabkan pengurangan pada cardiac
output dan kegagalan jantung yaitu disfungsi sistolik dan disfungsi diastolik. Penyebab
tersering dari disfungsi sistolik adalah penyakit jantung iskemik, idiopatik
kardiomyopathy, hipertensi, dan penyakit katup jantung. Disfungsi diastolik dapat
terjadi pada beberapa kondisi yang menyebabkan disfungsi sistolik. Penyebab
tersering dari disfungsi sistolik ini adalah hipertensi, penyakit jantung iskemik,
hipertropik kardiomiopati, dan restriktif kardiomiopati (Rachma, 2014).
Gangguan irama jantung atau konduksi beban pengisian (preload) dan beban
tekanan (afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi atau hipertrofi
memungkinkan adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat, sehingga
curah jantung/ cadiac output meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar
meningkatkan simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah meningkat dan
terjadi takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung
yang berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terjadi
redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan
vasokontriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik vena (venous
return) ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir diastolic dan
menaikkan kembali curah jantung. Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan redistribusi cairan
badan merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung
dalam memenuhi kebutuhan kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam
memenuhi kebutuhan sirkulasi badan. Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi
jantung tersebut di atas sudah dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam
badan belum juga terpenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung (Rachma, 2014).
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun
dengan akibat tekanan akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole
dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam
kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolic, dengan akibat terjadinya
kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang
meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena-vena pulmonal.
Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam paruparu
dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda-tanda akibat
adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir ini merupakan
hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk sirkuit paru (sirkulasi
kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan meransang
ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan mengalami hipertropi dan
dilatasi sampai batas kemempuannya, dan bila beban tersebut tetap meninggi maka
dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada akhirnya terjadi akhirnya terjadi
gagal jantung kiri-kanan. (Rachma, 2014) Bila kegagalan jantung kanan diawali gagal
jantung kiri, pasien mengalami gagal jantung biventrikel. Pada kondisi ini dapat
muncul gejala gagal jantung kiri seperti: sesak saat beraktivitas (dyspnea d’effort) ,
sesak malam hari (paroxysmal nocturnal dyspnea) , sesak saat berbaring (orthopnea)
mengi dan mudah lelah. (Kusmana, 2016).
b. Patofisiologi Cardiac Sirosis
Pada gagal jantung kronis terjadi mekanisme kegagalan mundur (backward
failure) yaitu kondisi kerusakan kantung yang berkembang ke arah berlawanan dari
aliran darah di Kantung. Pada keadaan ini terjadi :
1. Peningkatan tekanan vena karena disfungsi ventrikel kanan mengakibatkan atrofi
hepatosit dan edema perisinusoid sehingga mengganggu difusi oksigen dan
nutrien ke hepatosit. Peningkatan tekanan pengisian jantung kanan ditransmisikan
ke sinusoid hati sentrilobular yang akan menekan struktur lobulus yaitu kanalikuli
dan duktus biliaris. Hal ini memicu kerusakan duktus biliaris karena merusak sel
endotel dan ikatan kuat intrahepatosit yang memisahkan rongga ekstravaskuler
dari kanalikuli biliaris sehingga terjadi kolestasis. Ditambah terjadinya
peningkatan pembentukan limfe hati yang juga akibat kegagalan mundur akan
menghasilkan asites saat laju produksinya melebihi kemampuan drainase
2. Terjadinya stagnasi aliran darah trombosis di sinusoid venula dan jalur vena porta,
berlanjut timbulnya aktivasi fibroblas dan deposisi kolagen, akhirnya terjadi
fibrosis hati.

(Kusmana, 2016).

C. PENATALAKSANAAN KASUS DAN PEMBAHASAN (SOAP)


1. Subjective
Nama : Tn. Th
No rekam medik :-
Umur/TTL : 80 Tahun
BB :-
TB :-
Alamat :-
Status Jaminan :-
Tanggal MRS : 3/12
Riwayat MRS : sesak nafas, batuk, greges, kaki bengkak, sudah mondok di RS
5 hari tidak ada perubahan
Riwayat Penyakit : Jantung dan paru
Riwayat Obat :-
Riwayat Lifestyle : merokok
Alergi :-

2. Objective
Parameter Penyakit
TTV 13/9 14/9 15/9 16/9 Nilai Keterangan
normal
TD (mmHg) 110/70 80/50 80/60 100/60 120/80 Menurun
Nadi (x/menit) 88 105 98 92 60-100 Meningkat pada
tanggal 14
Suhu (°C) 35 36,5 36,4 36 36 Normal
Nafas (x/menit) 20 28 24 24 16-20 Meningkat pada
tanggal 14
kemudian
membaik
Sesak Nafas - √ √ √ - Terjadi sesak
nafas sejak
tanggal 14
Muntah Mual √ - - - - Muntah mual
pada tanggal 13
kemudian
membaik
Batuk Dahak - - √ √ - Batuk berdahak
pada tanggal 14
dan 15
Nyeri Perut - - - √ - Nyeri perut pada
tanggal 15

Data Laboratorium
D
Parameter 13/9 14/9 16/9 Nilai normal Keterangan
Hb 12,2 - - 12-16 g/dL Normal
Leukosit 18.460 - - 3.200-10.000 Meningkat
Cr 1,66 - - 0,6-1,3 mg/dL Meningkat
Ur 92,7 - - 14,98-38,52 mg/dL Meningkat
GDS 112 GD2PP - GDS : <200 mg/dL Normal
115 GD2PP : <126 mg/dL
GDP 125 GDP : <126 mg/dL
Na 137 134 - 135-144 mEq/L Normal
K 7 5,7 3,1 3,6-4,8 mEq/L Meningkat
Cl 102 98 - 97-106 mEq/L Normal
3. Assesment

Diagnosa pasien : CHF dan PPOK


Untuk menentukan terapi yang dibutuhkan pada pasien CHF, terlebih dahulu
diperlukan pengklasifikasian kategori CHF yang diderita pasien, sesuai dengan grade
CHF oleh NYHA (PERKI, 2015)
(PERKI, 2015)
Berdasarkan klasifikasi tersebut, pasien dapat dikategorikan mengalami CHF
Stage C karena pasien memiliki penyakit struktural yang mendasari yaitu riwayat
penyakit jantung sebelumnya. Pasien juga dapat diklasifikasikan menderita CHF kelas
III ditandai dengan keluhan sesak nafas dan bengkak pada kaki (PERKI, 2015)

1) Guideline Terapi
Guideline Terapi CHF

(Abrams,etal, 2012)
Berdasarkan algoritma diatas, terapi farmakologi bagi penderita CHF stage C
adalah ACEI atau ARB dan B-blocker, serta dikombinasikan dengan diuretik kuat.
(Abrams, et al, 2012)

Guideline Terapi Cardiac Sirosis


Sirosis jantung (hepatopati kongestif) mencakup spektrum gangguan hati yang
terjadi pada setting gagal jantung sisi kanan. Secara klinis, tanda dan gejala gagal
jantung kongestif (CHF) mendominasi kelainan tersebut. Tidak seperti sirosis
yang disebabkan oleh penggunaan alkohol kronis atau hepatitis virus, efek sirosis
jantung terhadap keseluruhan prognosis belum jelas. Akibatnya, pengobatan
ditujukan untuk mengelola gagal jantung yang mendasarinya. Tidak ada penelitian
prospektif yang dilakukan untuk mengevaluasi perawatan medis sirosis jantung.
Karena tidak ada data yang menunjukkan bahwa adanya sirosis jantung
memperburuk angka kematian atau tingkat kesakitan, pengobatan langsung pada
sumber tekanan jantung kanan sisi bawah dan kongesti vena hepatik. Dengan
sedikit pengecualian (misalnya, infark miokard ventrikel kanan akut), diuresis
adalah batu penjuru pengelolaan awal sirosis jantung. Sebagai sirosis jantung
adalah komplikasi langsung dari tekanan vena sentral yang meningkat, diuresis
yang efektif harus memperbaiki gangguan hati. Kurangnya perbaikan harus
mendorong pencarian penyakit hati primer. Di luar diuretik, terapi medis harus
diarahkan untuk mengobati gagal jantung yang mendasar dan memperbaiki
sumber tekanan jantung sisi kanan yang meningkat. Pengobatan awal sirosis
jantung biasanya membutuhkan diuretik loop (misalnya furosemid). Spironolakton
dapat memberikan tambahan diuresis melalui efek antagonis aldosteronnya.
Meningkatkan ekskresi air dengan mengganggu sistem cotransport klorida, yang
pada gilirannya menghambat reabsorpsi natrium dan klorida dalam lingkaran
ascending Henle dan tubulus ginjal distal (Ziccardi, 2017).

Guideline Terapi Hiperkalemi

(NHS, 2016)
Berdasarkan algoritma terapi tersebut, terapi yang digunakan untuk
hiperkalemi yaitu Calcium Gluconate 10% 10 ml tanpa diencerkan lebih dari 5 menit,
pada pasien dengan digoxin diberikan lebih lambat yaitu 100 ml glucose 5% lebih
dari 20 menit. (NHS, 2016)
2) Riwayat Terapi yang Telah Diterima Pasien Saat MRS
Tanggal
Obat Dosis
13/9 14/9 15/9 16/9
IVFD O2 4 √ √ √ √
RL 10 tpm √ - - -
D5:NS (1:1) 12 tpm - √ √ √
Terapi Furosemid 3x1 A √ - - -
Parenteral Ranitidin 2x1 A √ √ √ √
Furosemid 2x1 A - √ √ (3x1 A) √
Ceftriaxon 1x2gr √ √ √ √
Nebu Combivent /12jam - √ √ √
Insulin 10 Unit + √ - √ -
D40% 2 fl
Ca glucose 1A √ -
dalam 100 cc
Terapi Digoxin 1x1 √ √ √ (2x½) √
Peroral (1x½)
Spironolakton 1x 25mg √ - - √
Curcuma 2x1tab √ √ √ √
Vip Albumin 3x1 √ √ √ √
Clind 2x1 - - - √

3) Assasement DRP pada Pasien


Subjektif Objektif Problem DRP/ Uraian DRP Plan Penatalaksanaan
Medik DRP
Pasien - CHF Stage Indikasi Tanpa Terapi Terapi ditambah obat
(Kebutuhan Terapi golongan ARB, yaitu
rutin C karena Candesartan dengan dosis
Tambahan) awal yaitu 4 mg 1 kali
kontrol pasien
Setelah diklasifikasikan, sehari (FKUI,2016)
dipoli memiliki pasien mengalami CHF
stage C sehingga pilihan
jantung. penyakit
terapi utama adalah obat
struktural ACEi / ARB + beta
blocker + diuretic kuat.
yang
ARB memiliki ESO yang
mendasari lebih kecil daripada ACEI
(ESO paling sering
yaitu
muncul pada ACEI adalah
riwayat batuk kering) disebabkan
terakumulasinya
penyakit
bradikinin karena ACEI
Terdapat jantung menghambat degradasi
bradikinin, dikhawatirkan)
keluhan sebelumnya.
(PERKI, 2015) selain itu
sesak (PERKI, pasien dinilai intoleran
terhadap ACEi sehingga
nafas 2015)
ARB lebih dipilih. ARB
yang lebih dipilih menurut
PERKI (2015) adalah
candesartan atau valsartan.
Candesartan dipilih karena
resiko kematian yang
ditimbulkan lebh sedikit
dibanding valsartan yaitu
12,82% (Cernes et al,
2011)
Indikasi tanpa terapi Terapi ditambah obat
(Kebutuhan Terapi golongan beta blocker,
yaitu Carvedilol dengan
Tambahan) dosis awal yaitu 3,125 mg
pilihan terapi utama adalah 2 kali sehari (FKUI,
obat ACEI / ARB+ beta 2016)
blocker + diuretic kuat.
Namun belum diberikan
beta blocker (Abrams,
2012). Beta blocker yang
dapat digunakan untuk
terapi CHF berdasar
PERKI (2015) yaitu
Carvedilol, metropolol,
dan bisoprolol. Carvedilol
lebih dipilih karena dapat
menurunkan mortalitas
sebanyak 65% dibanding
dengan obat yang lainnya
(Klaphloz, 2009)
Perut - Cardiac Wrong Drug pada Spironolakton dapat
bekas Sirosis tanggal 13. Pasien kembali diberikan saat
diambil menerima spironolakton kadar kalim
cairanya 25 mg 1 kali sehari. <5mg/dL.Spironolakton
datang Spironolakton dapat dapat diberikan pada
dari IGD digunakan kombinasi kondisi sirosis yang
dengan Furosemid untuk disertai dengan edema
mengoreksi Kalium dalam karena merupakan first
darah. Tetapi line therapy serta dapat
Spironolakton memiliki diberikan pada gagal
kontraindikasi pada pasien jantug kelas III dan IV
dengan kalium > 5,0 (PERKI, 2015)
mg/dL (PERKI,2015) (Qavi,2015)
(FKUI, 2016)
- - - Terapi tanpa indikasi Pemberian nebu
pada tanggal 14/9- 16/9 combivent dihentikan
Pasien diberikan terapi biasanya diberikan
nebu combivent pada (Singer Aj, 2008)
tanggal 14/9- 16/9, pasien
CHF tidak disertai riwayat
COPD sedangkan
pemberian bronkodilator
biasanya diberikan untuk
pasien CHF dengan COPD
(Singer Aj, 2008)

Pasien - Batuk Indikasi tanpa terapi Diberikan ambroxol 3x


mengalam berdahak pada tanggal 15/9 -16/9 sehari 30 mg
i batuk Pasien mengalami batuk (ISO, 2016)
berdahak berdahak pada tanggal 15-
pada 16 sedangkan belum
tanggal menerima obat untuk
15/9 – meredakan batuk
16/9 berdahak.
- - - Terapi tanpa indikasi Pemberian antibiotik
pada tanggal 16/9 clindamisin dihentikan
Pasien diberikan terapi (Medscape, 2015).
clindamisin 2x1 pada
tanggal 16/9 sedangkan
clindamisin merupakan
antibiotik profilaksis
sebelum dilakukan
pembedahan (Medscape,
2015)
- - - Wrong drug pada Dihentikan penggunaan
tanggal 14/9-16/9 D5 + NS (1:1), dan
Penggunaan infus ringer dilanjutkan penggunaan
laktat lebih tepat infus Ringer Laktat
digunakan dibandingkan ( Khajavi, 2009).
penggunaan dektrose dan
NS, karena RL memiliki
kemampuan lebih tinggi
menurunkan kadar
potasium ( Khajavi, 2009).
- - - Underdose pada tanggal Dilakukan penggantian
pada tanggal 14/9 dan D 40% menjadi D 50%
16/9 (NHS, 2016)
Penggunaan insulin 10
unit + D40% mengalami
underdose pada D 40%,
seharusnya diberikan
D 50%, karena dapat
menurukan K+ 0,65 – 1
mmol/ liter (NHS, 2016)

- - - Wrong drug pada Dilakukan penggantian


tanggal 13/9 NS dengan glukosa 5 %
Penggunaan glucors 1 A (NHS, 2016).
dalam NS 100cc kurang
tepat, seharusnya jika
pasien mengkonsumsi
digoxin ,kalsium glukonat
harus diberikan perlahan
(dicampur dengan glukosa
100ml 5% dan diberikan
lebih dari 20 menit )
(NHS, 2016)
4. PLAN
a. Tujuan Terapi
- Mencegah memburuknya fungsi jantung, dengan memperlambat progresi
remodelling miokard, sehingga dapat mengurangi mortalitas
- Mengurangi gejala-gejala gagal jantung sehingga memperbaiki kualitas hidup
pasien.
- Mengatasi Hiperkalemia pasien
- Menyeimbangkan hemodinamik melalui pengelolaan cairan untuk mengatasi
cardiac sirosis
(FKUI,2016)
b. Terapi Non Farmakologis
- Pemantauan berat badan setiap hari secara rutin, asupan cairan 1,5 – 2 liter/
hari, pengurangan berat badan pada pasien obesitas IMT > 30 kg/mL, latihan
fisik (PERKI, 2015).
- Diet rendah kalium (MIMS, 2017).
- Pembatasan konsumsi Natrium kurang dari 2 gram per hari.
- Aktivitas fisik teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan untuk pasien
gagal jantung yang stabil (NYHA kelas II-III) dengan intensitas yang nyaman
bagi pasien.
- Istirahat yang cukup
- Menghindari bepergian ke tempat dataran tinggi atau tempat yang panas atau
lembab.
(FKUI,2016)
c. Terapi Farmakologi
Congestive Heart Failure

Algoritma terapi untuk pasien dengan CHF kelas III NYHA atau Stage C yaitu
menggunakan terapi sebagai berikut :
1) ARB (Angiotensin Receptor Blocker)/ Antagonis Angiotensin II
Merupakan alternatif yang efektif pada pasien yang intoleran terhadap ACE
inhibitor seperti pasien dengan riwayat batuk atau Hiperkalemia. Candesartan
merupakan obat pilihan untuk CHF kelas III NYHA atau Stage C. Candesartan
bekerja dengan cara memnghambat pembentukan Angiotensi II melalui
mekanisme penghambatan reseptor AT1 dan tidak pada reseptor AT2. Tidak
adanya hambatan kinase II menyebabkan bradikinin dipecah menjadi kinin
inaktif, sehingga vasodilator NO dan PGI2 tidak terbentuk. Karena itu
Antagonis AT1 bloker tidak menimbulkan efek samping batuk. (FKUI,2016).
Terapi ditambah obat golongan ARB, yaitu Candesartan dengan dosis awal yaitu 4 mg
1 kali sehari (FKUI,2016). Candesartan dipilih karena resiko kematian yang
ditimbulkan lebh sedikit dibanding valsartan yaitu 12,82% (Cernes et al, 2011).
2) Carvedilol
Carvedilol bekerja terutama dengan menghambat efek merugikan dari
aktivasi simpatis pada pasien gagal jantung dan efek ini jauh lebih
menguntungkan dibandingkan dengan efek ionotropik negatifnya. Stimulasi
adrenergik pada jantung memang pada awalnya meningkatkan kerja jantung
akan tetapi aktivasi simpatis yang berkepanjangan pada jantung yang telah
mengalami disfungsi akan merusak jantung dan hal ini dapat di cegah oleh
carvedilol (FKUI, 2016). Terapi ditambah obat golongan beta blocker, yaitu
Carvedilol dengan dosis awal yaitu 3,125 mg 2 kali sehari (FKUI, 2016).
3) Digoxin
Manfaat digoxin pada HF terkait dengan efek neurohormonalnya. Digoxin
tidak memperbaiki ketahanan hidup pasien, namun dapat diberikan pada kasus
simtomatik. Bagi pasien dengan ritme sinus normal, efek pada pengurangan
gejala dan peningkatan kualitas hidup terlihat pada pasien dengan HF mild
hingga severe (pasien termasuk kedalam stage moderate). Oleh karena itu,
digoksin harus digunakan bersamaan dengan terapi HF standar (ACE inhibitor,
β-blocker, dan diuretik) pada pasien dengan gejala HF untuk mengurangi lama
rawat inap (Dipiro, et al., 2008).
4) Furosemide
Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang
selalu disertai dengan kelebihan cairan yang bermanifestasi sebagai kongesti
paru atau edema perifer. Pada pasien-pasien ini diuretik mengurangi retensi air
dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel, alir balik vena dan
tekanan pengisian ventrikel. Dengan demikian edema perifer dan kongesti paru
akan berkurang atau hilang sedangkan curah jantung tidak berkurang ( FKUI,
2016 )
5) Ambroxol
Pasien mengeluhkan batuk berdahak pada 2 hari terakhir berturut-turut,
sehingga diberikan obat batuk berdahak golongan mukolitik yaitu ambroxol.
Ambroxol yang berefek mukokinetik dan sekretolitik dapat mengencerkan
mukus yang kental dan lengket dari saluran pernafasan. Pengeluaran lendir
dipermudah sehingga melegakan pernafasan. Sekresi lendir menjadi kembali
normal selama pengobatan dengan ambroxol (Depkes RI, 2005).
6) Oksigen (O2)
Terapi yang diberikan kepada pasien adalah oksigenasi 3 liter per menit,
pemberian oksigen untuk pencegahan hipoksia serta mengurangi beban
jantung pada pasien yang mengalami sesak napas (Sari, et al, 2016).

Cardiac chirrosis
1) Ceftriaxone
Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan cefalosporin generasi 3 yang
gunakan pada terapi kardiak sirosis yang ditandai dengan meningkatnya nilai
leukosit, dan terdapat riwayat pasien mengalami pembedahan karena
pengambilan cairan dari perut (Moore and Thiel, 2013).

2) Clindamisin
Clindamisin merupakan antibiotik golongan makrolida yang digunakan
sebagai antibiotik profilaksis sebelum dilakukan pembedahan, makadari dari
itu penggunaan clindamisin dihentikan karena tidak sesuai dengan indikasi
pasien (Medscape, 2015).
3) Vip Albumin
Pasien mengalami sirosis sehingga diberikan terapi albumin. Albumin
sangat diperlukan dalam transpor obat – obatan, karena salah fungsi albumin
adalah untuk membantu metabolisme dan transportasi berbagai obat-obatan
dan senyawa endogen dalam tubuh. Albumin oral (Vip Albumin)
meningkatkan kadar albumin secara bertahap sedangkan infus albumin
memberikan peningkatan secara signifikan pada hari pertama (Nugroho, 2016).
4) Spironolakton
Pada pasien gagal jantung kadar plasma aldosteron meningkat bisa sampai
20x kadar normal. Aldosteron menyebabkan retensi Na dan air serta ekskresi K
dan Mg. Retensi Na dan air menyebabkan edema dan peningkatan preload
jantung. Efek antagonis aldosteron akan mengurangi progesi remodeling
jantung sehingga dapat mengurangi mordibitas dan mortalitas akibat gagal
jantung (FKUI, 2016). Pasien menerima spironolakton 25 mg 1 kali sehari.
Spironolakton dapat digunakan kombinasi dengan Furosemid untuk
mengoreksi Kalium dalam darah. Tetapi Spironolakton memiliki kontraindikasi
pada pasien dengan kalium > 5,0 mg/dL (PERKI,2015) (FKUI, 2016).
Spironolakton dapat kembali diberikan saat kadar kalim
<5mg/dL.Spironolakton dapat diberikan pada kondisi sirosis yang disertai
dengan edema karena merupakan first line therapy serta dapat diberikan pada
gagal jantug kelas III dan IV (PERKI, 2015) (Qavi,2015)
5) Ranitidine
Ranitidine merupakan antagonis reseptor H2 yang diindikasikan efektif
untuk mengatasi gejala akut tukak deodenum seperti mual muntah serta
digunakan untuk profilaksis aspirasi asam lambung (PIONAS, 2018).
6) Curcuma
Penggunaa curcuma sebagai suplemen tambahan yang berfungsi untuk
memperbaiki fungsi hati serta memperbaiki nafsu makan (Syah, 2014).

Hiperkalemia
1) Infus Ringer Laktat
Infus Ringer Laktat berisi Na, Cl, K, Ca, dan Laktat .Penggunaan infus
ringer laktat lebih tepat digunakan dibandingkan penggunaan dektrose dan
NS,karena RL memiliki kemampuan lebih tinggi menurunkan kadar potasium (
Khajavi, 2009).
2) Insulin 10 unit + D40 %
Penggunaan insulin 10 unit dalam 50 mL Glukosa 50% IV selama 30 menit
melalui pompa volumetrik dapat mengurangi serum K + sebesar 0,65 -
1,0mmol / L. Tetapi pasien menerima insulin 10 unit dalam D 40 %, makadari
itu dilakukan penggantian manjadi insulin 10 unit + D 50% (NHS, 2016).

3) Ca glukos 1A dalam NS 100 cc


Merupakan alternatif yang efektif bagi pasien hiperkalemia, tidak
menurunkan potassium serum namun melindungi selaput jantung. Perubahan
EKG harus membaik dalam waktu 1 sampai 3 menit dan pengaruhnya
berlangsung selama kurang lebih 30 menit. Jika dosis yang diperlukan dapat
diulang setelah 5 menit sampai maksimum 30 ml. Jika pasien menggunakan
digoksin, kalsium glukonat harus diberikan secara perlahan (dicampur dengan
glukosa 100 ml 5% dan diberikan lebih dari 20 menit) karena pemberian
kalsium cepat dapat memicu toksisitas digoksin miokard. Jangan sekali-kali
diberi sodium bikarbonat melalui tempat akses yang sama karena risiko
presipitasi (NHS, 2016). Makadari itu dilakukan penggantian NS menjadi
glukosa.
7) Nebulizer Combivent
Nebulizer combivent merupakan bronkodilator yang ipatropium bromida
dan albuterol. Pasien CHF tidak disertai riwayat COPD sedangkan pemberian
bronkodilator biasanya diberikan untuk pasien CHF dengan COPD (Singer Aj,
2008). Makadari itu pemberian nebu combivent dihetikan.

Jadi saran terapi untuk pasien Ny.K :


Terapi 13/9 14/9 15/9 16/9
Candesartan 4 - - - √
mg 1 x sehari
Carvedilol - - - √
3,125 mg 2 x
sehari
Furosemide - - - √
2x1 A
Ranitidine √ √ √ √
2x1 A
Ceftriaxone √ √ √ √
parenteral
1x 2gr
Ca glucors √ - - -
1A dalam
glukosa 5%
Digoxin 1x 1 √ √ √ √
Spironolakto - - - √
n 1x 25 mg
Curcuma 2x √ √ √ √
1 tab 20 mg
Vip albumin √ √ √ √
3x1 ,500mg
O2 √ √ √ √
Infus RL √ √ √ √
10ptm
Ambroxol - - √ √
Terapi yang disarankan saat KRS :
Obat Dosis Frekuensi

Candesartan 4mg 1x sehari 1 tablet, selama


1minggu
Carvedilol 3,125 mg 2 x sehari 2 x sehari 1 tablet, selama
1minggu
Curcuma 20 mg 2x 1 tablet, selama 3 hari
Furosemid 20 mg 2x sehari 1 tablet, selama 1
minggu
Vip albumin 500 mg 3x sehari 1 kapsul, selama
1minggu
Spironolakton 25 mg 1x sehari 1 tablet, selama 1
minggu
Ambroxol 30 mg 3 x sehari 1 tablet ,selama
3 hari

KIE :
 KIE untuk tenaga kesehatan yang merawat pasien
a. Perlu dilakukan pengecekan kadar kalium dan fungsi ginjal dalam 3 hari
dan pada 1 minggu setelah awal terapi dan sedikitnya 1 bulan sekali pada 3
bulan pertama.
b. Perlu dilakukan pemeriksaan EKG untuk mengetahui pelebaran chamber
jantung, abnormalitas wall motion, penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri,
hipertrofi ventrikel atau gangguan struktur dan fungsi katup jantung.
c. Perlu dilakukan pengukuran nilai AST dan ALT.
d. Perlu dilakukan pengukuran nilai albumin dan leukosit.
 KIE untuk keluarga pasien
a. Memberi edukasi cara meminum obat dan frekuensinya untuk pasien
b. Mengingatkan pasien untuk patuh meminum obat
c. Meningkatkan motivasi pasien untuk melaksanakan pola hidup sehat KIE
untuk pasien
 KIE untuk pasien
a. Memotivasi pasien untuk melaksanakan pola hidup sehat
b. Memberikan edukasi cara meminum obat dan frekuensinya. Pasien pulang
dengan membawa 6 macam obat oral. Jadwal minum obatnya dan hal-hal
yang perlu diperhatikan adalah :
Nama obat Jadwal Dosis Manfaat Hal yang
minum perlu
diperhatikan
Candesartan -pagi 4 mg Menormalka Resiko
-1x sehari
n nilai kalium hiperkelemi
1 tablet,
selama dan obat
1minggu
untuk gagal
jantung
Carvedilol Pagi dan 3,125 mg Menormalka Resiko
malam
2 x sehari 1 n nilai kalium hiperkalemi
tablet, dan obat
selama
1minggu untuk gagal
jantung
Curcuma Pagi dan 20 mg Menjaga -
malam
fungsi hati
2x 1 tablet,
selama 3
hari
Furosemid Pagi dan 20 mg Menormalka Pasien lemas
malam
n nilai mungkin
2x sehari 1
tablet, elektrolit hipokalemi’
selama 1
Obat untuk berikan
minggu
gagal jantung makanan
dan kardiak tinggi
sirosis kalium
seperti buah
pisang
Vip albumin Pagi, 500 mg Menormalka Hati-hati
siang, dan
n nilai apabila
malam
3x sehari 1 albumin alergi
kapsul,
terhadap
selama 3
hari ikan gabus
Spironolakto Pagi 25 mg Menormalka Pasien lemas
n 1x sehari 1
n nilai mungkin
tablet,
selama 1 elektrolit hipokalemi’
minggu Obat dan berikan
kardiak makanan
sirosis tinggi
kalium
seperti buah
pisang
Ambroxol Pagi, siang 30 mg Mengurangi Tidak boleh
dan malam
batuk digunakan
3x sehari 1
tablet berdahak dalam
selama 3
jangka
hari
waktu lama
tanpa
konsultasi
dokter

Monitoring :
Hal yang perlu dimonitoring dari pengobatan adalah :
Obat Monitoring Target keberhasilan
Keberhasilan ESO
Candesartan -Kadar kalium , Takikardi, Kadar kalium
tekanan darah dan albuminuria normal (3,6-4,8
Carvedilol nadi Hiperglikemi, mEq/L)
- Dilakukan diare, hipotensi Tekanan darah
Furosemide pemantauan satu Hipokalemia,
minggu setelah normal (120/80)
hiperuremia Nadi normal (60-
pemberian awal
Spironolakton Diare, 100)
hiponatremi (Kemenkes RI,
2011)

Ceftriaxone -Kadar leukosit Diare, sakit kepala Kadar leukosit


-Dilakukan normal (3.200-
pemantauan 10.000)
leukosit 4 hari (Kemenkes RI,
setelah pemberian 2011)
Digoxin EKG , Nadi Pusing, diare, Nadi normal ( 60-
mual 100) dan EKG
(Medscape,2015) normal
(Kemenkes RI,
2011)
Insulin + D50% -Kadar GD2PP dan Udem sementara, Nilai GD2PP
GDP hipertrofi lemak normal (<126
- pantau glukosa pada daerah mg/dL)
darah setelah 15 injeksi , kelebihan Nilai GDP normal
menit, 30 menit dan dosis (<126 mg/dL)
kemudian perjam menyebabkan
hingga 6 jam hipoglikemi
sebagai ada resiko (PIONAS , 2018)
akhir hipoglikemia
(NHS, 2016)
Ca glukors dalam -Perubahan EKG Bradikardi, Perubahan EKG
glukosa 5 % -pemantauan gangguan GI harus ditingkatkan
dilakukan 4-6 jam ringan, aritmia, dalam waktu 1 – 3
untuk iritasi setelah menit dan efeknya
mempertahankan injeksi intravena bertahan kira-kira
kadar kalsium (PIONAS, 2018) 30 menit
dalam serum (NHS,2016)
(Medscape, 2015 )
Ambroxol Batuk berdahak Reaksi alergi Batuk berdahak
seperti mereda
pembengkakan
wajah, dipsnea,
demam (PIONAS,
2018)
Ranitidin Mual muntah Sakit kepala, nyeri Mual muntah
perut , konstipasi teratasi
(Medscape, 2015)
Vip albumin Menormalkan nilai Menghilangkan
albumin edema,
mempercepat
proses
penyembuhan
penyakit,
meningkatkan daya
tahan tubuh
(MIMS, 2017)
Curcuma -Menjaga fungsi - Kadar AST dan
hati ALT >40
-Dilakukan (Kemenkes RI,
monitoring kadar 2011)
ALT dan AST 7-10
hari
Infus Ringer -Nilai K normal Panas, infeksi Kadar kalium
Laktat pada tempat normal (3,6-4,8
penyuntikan mEq/L)
(Kemenkes RI,
2011)

KESIMPULAN
1. Problem medic pasien setelah sesuai diagnosa adalah CHF, cardiac sirosis, dan
hiperkelemia. Terdapat beberapa DRP pada pengobatan pasien Ny. K yaitu
indikasi tanpa terapi (kebutuhan terapi tambahan) pada CHF, wrong drug
diuretic pada cardiac sirosis, terapi tanpa indikasi pada hiperkalemi, indikasi
pada terapi untuk batuk, terapi tanpa indikasi antibiotik clindamisin, wrong
drug pada ringer laktat, underdose pada infus insulin dan Dextrose, wrong drug
pada Ca glukors
2. Penatalaksanaan terapi farmakologis yang disarankan pada pasien adalah
Candesartan, Carvedilol, Furosemide, Ranitidine, Ceftriaxone parenteral, Ca
glucors 1A dalam glukosa 5%, digoxin, spironolakton, curcuma, vip albumin,
O2,infus RL, dan ambroxol
DAFTAR PUSTAKA
Abrams J, Fihn SD, Gardin JM, 2012, ACCF/AHA/ACP/AATS/PCNA/SCAI/STS
Guideline for the diagnosis and Management of Patients with Stable Ischemic
Heart Disease : a report of the American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines, and
the American College of Physicians, American Association for Thoracic Surgery,
Preventive Cardiovascular Nurses Association, Society for Cardiovascular
Angiography and Interventions, and Society of Thoracic Surgeons. J Am Coll
Cardiol 2012;60:e44
Cernes Relu., Mashavi Margarita, 2011, Differential Clinical Profile of Candesartan
Compared to Other Angiotensin Reseptor Blockers, Vaskuler Health and Risk
Management , (7): 749-759
Depkes RI, 2015, Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Dipiro., JL, 2008, Pharmacotherapy Handbook 8th Edition, Mc. Graw Hill, New
York.
FKUI, 2016, Farmakologi dan Terapi Edisi 6, Departemen Farmakologi dan Terapetik
UI, Jakarta
ISO, 2016, Informasi Spesialite Obat Volume 50, ISFI, Jakarta.
Kemenkes RI, 2011, Pedoman Interpretasi Data Klinik, Kementrian Kesehatan RI,
Jakarta.
Khajavi, M Rezu., Etazadi F., Maharani R., Imani F., Nesyami A.D., Khasyayar P.,
Najati, 2009, Effect of Normal Saline us Lactaced Ringers during renal
transplantation, Journal Renal Failure, Vol 30 (5)
Klaphloz., Marc, 2009, β Blocker Use for The Stages of Heart Failure , Mago Clin
Proc , (18) : 718-729
Kusmana, felix. 2016. Congestive Hepatopathy dan Ischemic Hepatitis – Penyakit Hati
Akibat Penyakit Jantung. Tinjauan Pustaka. Vol 43. No 1
Medscape, 2015, www. Medscape.com. Diakses pada 13 Maret 2018
MIMS, 2017, Petunjuk Konsultasi Edisi 16, BIP, Jakarta
Moore, Christophere M., Thiel David H Van, 2013, Cirrhotic Ascites Review :
Pathophysiology, Diagnosis and Management, World Journal of Hepatology, Vol
5(5)
NHS , 2016 , Guideline for The Management of Acute Hyperkalemia in Adult ,
Nottingham University Hospitals
Nugroho., Alit Yudistiro, 2016, Perbandingan Efektivitas Terapi Albumin Ekstrak
Ikan Gabus Murni Dibanding Human Albumin 20% Terhadap Kadar Albumin
dan pH Darah pada Pasien Hipoalbuminenia, UNS Surakarta
PERKI, 2015, Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskuler Edisi
1, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia , Jakarta
PIONAS , 2018, Pusat Informasi Obat Nasional , Badan Pengawas Obat dan Makanan
, http://pionas.pom.go.id. Diakses pada tanggal 18 Maret 2018
Qavi, Ahmed Hassan ., Kamal Rida., Schrier Robert W, 2015, Clinical Use of
Diuretics in Heart Failure, Cirrhosis , and Neprhotic Syndrome, International
Journal of Nephrology.
Rachma ., Lailia Nur, 2014, Patomekanisme Penyakit Gagal Jantung Kongestive , El-
Hayah , Vol 4 (2)
Sari, Pradila Desti., Yonata Ade., Haryadi., Swadharma Bobby, 2016, Penatalaksanaan
Gagal Jantung NYHA II disertai Pleurapneumonia pada Laki-laki Usia 38 tahun,
Jurnal Medula Unila, Vol 6 (1)
Singer AJ et al. 2008, Bronchodilator therapy in acute decompensated heart failure
patients without a history of chronic obstructive pulmonary disease. Ann Emerg
Med Jan; 51:25.
Syah., M.M.S., 2014, Acute Viral Hepatitis Caused By Hepatitis A Virus in Children,
Medula , Vol 2 (3)
Ziccardi, Mary Rodriguez., Bhimji, Steve S, 2017, Cardiac Cirrhosis. StatPearls
Toronto

Anda mungkin juga menyukai