Anda di halaman 1dari 7

REFLEKSI DIRI

1. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mendapatkan materi ini diharapkan mahasiswa dapat:
a. Menjelaskan definisi refleksi
b. Menjelaskan manfaat refleksi pada pendidikan kedokteran dan kesehatan
c. Menjelaskan dan mengidentifikasi dimensi refleksi

2. ISI

A. DEFINISI REFLEKSI
Salah satu area kompetensi lulusan dokter menurut Standar Nasional Pendidikan Profesi
Dokter Indonesia (SNPPDI) 2019 adalah mawas diri dan pengembangan diri. Berdasar area
kompetensi tersebut, seorang mahasiswa harus dapat melakukan refleksi diri, mawas diri dan
evaluasi diri untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan diri, identifikasi kebutuhan belajar
secara terus-menerus dikaitkan dengan peran sebagai mahasiswa kedokteran.
Oleh karena itu, mahasiswa kedokteran harus dilatih untuk dapat melakukan refleksi diri
terhadap proses, pengalaman belajar dan pencapaian tujuan belajarnya untuk mengetahui kekuatan
dan kelemahan dirinya agar dapat menyusun suatu rencana tindak lanjut untuk memperbaiki
kekurangan dan meningkatkan kemampuan diri.
Kemampuan Refleksi berasal dari bahasa Latin yang berarti “to bend” atau “to turn back”.
Pengertian refleksi dapat ditemukan secara luas pada penelusuran literatur. Sandars (2009)
menjelaskan refleksi sebagai
“proses metakognitif yang terjadi sebelum, selama dan setelah situasi dengan
tujuan mengembangkan pemahaman yang lebih besar tentang diri dan situasi
sehingga pertemuan pada situasi yang sama di masa depan dapat
diinformasikan sebelumnya”.
Pengertian refleksi menurut Dewey pada Mann, Gordon dan MacLeod (2009) adalah sebagai
berikut
“Refleksi adalah pertimbangan-pertimbangan yang aktif, terus-menerus dan
penuh kehati-hatian tentang suatu keyakinan atau pengetahuan yang menjadi
pokok dalam mendukung hal itu di masa yang akan datang”.
Moon pada Sandars (2009) menjelaskan refleksi sebagai:
“bentuk proses mental dengan tujuan dan atau hasil yang diantisipasi yang
diterapkan untuk ide-ide yang relatif kompleks atau tidak terstruktur yang tidak
memiliki solusi yang jelas”.
Berdasarkan penjelasan di atas, refleksi dapat diartikan sebagai suatu proses berpikir tingkat
tinggi tentang situasi atau pengalaman tertentu dan membentuk suatu keyakinan atau pengetahuan
baru untuk menghadapi situasi yang sama di masa yang akan datang.
Pembelajaran refleksi memungkinkan mahasiswa untuk mengidentifikasi dan membangun
pengetahuan mereka sendiri serta membuat generalisasi dari pengalaman tertentu yang akan
membantu mereka untuk mengaplikasikan pembelajaran dalam situasi selanjutnya. Selain itu, juga
memungkinkan mahasiswa untuk mengintegrasikan pemahaman baru mereka.

B. TEORI PEMBELAJARAN BERKAITAN DENGAN REFLEKSI


Refleksi merupakan bentuk penerapan dari Experiential Learning Theory . Experiential
learning atau pembelajaran berdasarkan pengalaman adalah proses dimana pembelajaran terjadi
melalui pengalaman riil yang dilihat, dialami, dan didengar oleh pembelajar/ mahasiswa.
Pengalaman ini harus diinterpretasikan dan diintegrasikan dengan struktur pengetahuan yang
sudah ada (prior knowledge) untuk membentuk suatu pengetahuan baru yang lebih mendalam atau
lebih luas. Proses penginterpretasian dan pengintegrasian ini merupakan proses yang aktif.
Pembelajaran berdasar pengalaman merupakan suatu siklus pembelajaran yang terdiri dari
beberapa fase . Kolb menyebutkan terdapat 4 fase pada “Experiential Learning Cycle”, seperti
ditunjukkan pada Gambar 1.
Feeling

Concrete
Experience

Accomodating: feel and do


Diverging: Feel and watch

Doing
Active Reflective Watching
Experimentation Observation

Converging: think and do Assimilating: Think and watch

Abstract
Conseptualisation

Thinking

Gambar 1. Siklus Refleksi Kolb

Gambar tersebut memperlihatkan proses belajar dimulai dari pengalaman konkret yang dialami
seseorang. Pengalaman tersebut kemudian direfleksikan secara individu. Melalui proses refleksi,
seseorang berusaha memahami apa yang terjadi atau yang dialaminya. Refleksi ini menjadi dasar
proses konseptualisasi atau proses pemahaman yang mendasari pengalaman yang dialami serta
perkiraan kemungkinan pengaplikasiannya dalam situasi atau konteks yang lain (baru).
Maksudnya adalah kemungkinan belajar melalui pengalaman-pengalaman nyata dan kemudian
direfleksikan dengan mengkaji pengalaman tersebut.
Pengalaman yang telah direfleksikan kemudian diatur kembali sehingga membentuk
pengertian-pengertian baru atau konsep-konsep abstrak. Pengertian dan konsep abstrak itu menjadi
petunjuk bagi terciptanya pengalaman atau prilaku-prilaku baru. Proses pengalaman dan refleksi
dikategorikan sebagai proses penemuan (finding out), sedangkan proses konseptualisasi dan
implementasi dikatagorikan dalam proses penerapan (taking action).

C. MANFAAT REFLEKSI
Refleksi memiliki beberapa efek positif pada pendidikan kedokteran. Sobral pada Mann,
Gordon, dan MacLeod (2007) menjelaskan bahwa refleksi dapat memfasilitasi mahasiswa untuk
memiliki pengalaman belajar positif dan belajar mendalam. Hal tersebut mengakibatkan refleksi
juga dihubungkan dengan adanya peningkatan kemampuan penalaran klinis tentang kasus-kasus
yang unik atau kompleks (Sandars, 2009). Refleksi juga dapat meningkatkan hubungan baik antara
dosen dan mahasiswa, serta meningkatkan kualitas pengajaran (Mann, Gordon, dan MacLeod,
2007). Kemampuan refleksi berhubungan dengan perkembangan profesionalisme seorang dokter
(Driessen et al., 2003). Tulisan refleksi mahasiswa pada pendidikan kedokteran berbasis
komunitas mampu menggambarkan dan mengevaluasi proses pembelajaran yang terjadi (Driessen
et al., 2007).

D. MODEL DAN LEVEL REFLEKSI


Secara garis besar terdapat 2 model refleksi meliputi sebagai berikut:
a. Dimensi Iteratif atau siklik
Proses ini distimulasi oleh adanya pengalaman belajar, kemudian membentuk suatu keyakinan
atau pemahaman baru untuk menghadapi pengalaman yang sama di masa akan datang
(Sandars, 2009). Model ini dikenalkan oleh Kolb, Schon, dan Boud, Keogh dan Walker
(Sandars, 2009). Siklus reflektif Kolb terdapat pada gambar 1. Dimensi siklik dari refleksi juga
dijelaskan oleh Boud, Keogh dan Walker.

Gambar 2. Siklus Refleksi Boud

Gambar 2 menunjukkan Siklus Refleksi Boud. Boud dan Walker (1991) dan Boud dan Walker,
(1990) menjelaskan bahwa proses refleksi distimulasi oleh adanya pengalaman. Pengalaman
ini dapat berhubungan dengan perilaku, pemikiran, dan perasaan dirinya terkait dengan suatu
event atau peristiwa tertentu. Boud and Walker (1991) dan Lestari (2019) menjelaskan bahwa
pengalaman ini mendorong suatu proses refleksi yang terdiri dari 3 fase meliputi
1. Returning to experience
Proses refleksi dimulai dengan mengingat kembali, mengumpulkan data tentang
pengalaman, atau memutar kembali pengalaman tersebut dalam pikiran. Akan lebih baik
jika proses ini dijelaskan secara tertulis maupun secara lisan kepada orang lain.
2. Attending to feelings
Proses yang melibatkan perasaan yang terjadi dengan memaksimalkan perasaan positif dan
membuang perasaan negatif sehingga membuat kita lebih fokus terhadap pengalaman
tersebut. Perasaaan positif ini penting karena mendorong kita untuk bertahan dalam situasi
yang sulit, membuat kita lebih tajam dalam melihat atau menganalisis sesuatu. Perasaan
positif dapat ditingkatkan dengan mengingat kembali situasi ketika kita merasa baik,
mampu, sukses dalam melakukan sesuatu.
3. Re-evaluating experience
Merupakan proses yang dapat dilakukan dengan melalui beberapa hal, yaitu proses
asosiasi, yaitu mengkaitkan data baru dengan pengetahuan yang telah diketahui
sebelumnya. Proses integrasi, melihat hubungan antar data. Proses validasi, yaitu
menentukan otentisitas dan kebenaran ide atau pemikiran yang dihasilkan. Proses
penyesuaian yang membuat pengetahuan tersebut menjadi pengetahuan yang ditanamkan
dalam pikiran kita.
Ketiga fase dalam proses refleksi ini nantinya akan mendorong suatu struktur perspektif baru
berupa perubahan sikap atau perilaku, kesiapan untuk menerapkan sesuatu, dan komitmen
bertindak. Pengalaman, proses refleksi dan luaran berupa perspektif baru ini saling berkaitan
satu sama lain dan membentuk suatu siklus refleksi.
b. Dimensi Vertikal
Dimensi ini menggambarkan kualitas atau tingkatan refleksi yang semakin mendalam
menggambarkan proses analisis dan sintesis yang lebih kompleks, sedangkan, semakin rendah
tingkatannya menggambarkan proses refleksi yang deskriptif (Sandars, 2009). Semakin
mendalam level refleksi, semakin sulit pencapaiannya. Model ini dikenalkan oleh Dewey,
Hatton dan Smith ,Mezirow, Moon, dan Boud et al. (Sandars, 2009). Tabel 1 menunjukkan
beberapa contoh level refleksi dari berbagai literatur.
Tabel 1. Dimensi Vertikal Refleksi
Penulis Kriteria/ Level Penjelasan
Moon dalam Grade A Adanya perubahan pandangan terkait suatu peristiwa, menjeaskan
Sandars (2009) bagaimana perubahan tersebut. Dapat menjelaskan bagaimana jika
menghadapi peristiwa yang sama di masa yang akan datang. Dapat
menyertakan penjelasan termasuk referensi pada literatur
Grade B Meliputi pertimbangan – tentang apa yang berjalan dengan baik atau
tidak baik, serta alasannya
Grade C Menjelaskan peristiwa - Mengakui bagaimana peristiwa mempengaruhi
perasaan, sikap dan keyakinan, dan atau menanyakan apa yang telah
dipelari dan membandingkannya dengan pengalaman sebelumnya
Grade D Menjelaskan peristiwa - Mengakui adanya sesuatu yang penting, tetapi
tidak menjelaskan alasannya
Grade E Menjelaskan peristiwa - Mengulang detil dari peristiwa, tetapi tanpa
interpretasi.
Grade F Menjelaskan peristiwa - Deskripsi yang tidak jelas tentang peristiwa.
Boenink et al., 1-2 Sangat simpel, opini intoleran, hanya reaksi emosional
(2004) 3-4 Terbatas, pandangan sempit, reaksi 1 pihak, kebanyakan hanya berdasar
1 perspektif, tidak ada keseimbangan pertimbangan, tidak
memperhatikan konteks
5 More than 1 perspective, but neither balancing nor attention paid to
context
6-7 Perspektif lebih luas, personal dan sedikit keseimbangan antar
perspektif
8-9 Keseimbangan perspektif yang lebih terdiferensiasi, ada pernyataan
dilemma atau keraguan, perhatian yang jelas terhadap pasien
10 Pendekatan yang seimbang atau halus, mempertimbangkan semua
perspektif yang relevan dan perbedaan minat, membahas dilemma dan
ketidakpastian, memperhatikan pandangan pasien, dan mengevaluasi
posisi dan ruang gerak seseorang dengan tajam
Kember et al., Non-refleksi • Jawaban menunjukkan tidak ada bukti tentang usaha untuk mencapai
(2008) suatu pemahaman tentang konsep atau teori yang mendasari suatu topic
• Materi telah ditempatkan pada tulisan esai tanpa ada pemikiran serius
tentang hal itu, tanpa usaha menginterpretasikan materi, atau
membentuk pemahaman.
• Secara garis besar meniru tulisan temannya, dengan atau tanpa adaptasi
Pemahaman • Bukti akan pemahaman tentang suatu konsep atau topik
• Adanya ketergantungan terhadap apa yang dijelaskan pada buku teks
atau catatan kuliah
• Teori tidak dihubungkan dengan pengalaman personal, aplikasi di
kehidupan nyata, atau situasi praktik
Refleksi • Teori diaplikasikan pada situasi praktik
• Situasi yang dihadapi saat praktik dipertimbangkan dan didiskusikan
tekait hubungannya dengan apa yang telah diajarkan. Terdapat tilikan
personal diluar teori pada buku
Refleksi kritis • Bukti adanya perubahan pandangan lebih dari keyakinan fundamental
tentang pemahaman atau konsep inti dari fenomena
• Refleksi kritis biasanya jarang terjadi

3. REFERENSI
Boenink, A. D. et al. (2004) ‘Assessing student reflection in medical practice. The development
of an observer-rated instrument: Reliability, validity and initial experiences’, Medical
Education, 38(4), pp. 368–377. doi: 10.1046/j.1365-2923.2004.01787.x.
Boud, D. and Walker, D. (1990) ‘Making the most of experience’, Studies in Continuing
Education, 12(2), pp. 61–80. doi: 10.1080/0158037900120201.
Boud, D. and Walker, D. (1991) Experience and Learning: Reflection at Work, Deakin University.
doi: 10.1037//0003-066x.31.9.638.
Driessen, E. et al. (2003) ‘Use of portfolios in early undergraduate medical training’, Medical
Teacher, 25(1), pp. 18–23. doi: 10.1080/0142159021000061378.
Driessen, E. et al. (2007) ‘Portfolios in medical education: Why do they meet with mixed success?
A systematic review’, Medical Education, 41(12), pp. 1224–1233. doi: 10.1111/j.1365-
2923.2007.02944.x.
Kember, D. et al. (2008) ‘A four-category scheme for coding and assessing the level of reflection
in written work’, Assessment and Evaluation in Higher Education, 33(4), pp. 369–379. doi:
10.1080/02602930701293355.
Lestari, S. M. P. (2019) ‘Perbedaan Tingkat Refleksi Diri dalam Pembelajaran Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Tahun 2019’, Jurnal Ilmu Kedokteran dan
Kesehatan, 53(9), pp. 1689–1699. doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.
Mann, K., Gordon, J. and MacLeod, A. (2009) ‘Reflection and reflective practice in health
professions education: A systematic review’, Advances in Health Sciences Education,
14(4), pp. 595–621. doi: 10.1007/s10459-007-9090-2.
Sandars, J. (2009) ‘The use of reflection in medical education: AMEE Guide No. 44.’, Medical
teacher, 31(8), pp. 685–95. doi: 10.1080/01421590903050374.

Anda mungkin juga menyukai