Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

BUDIDAYA IKAN KUWE

Nama : Richa Pratiwi

NIM : L011181036

Kelas : Manejemen Marikultur

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2020
I. PENDAHULUAN

Budidaya ikan laut di Indonesia sebenarnya sudah mulai berkembang tetapi masih
belum cukup memasyarakat dengan baik. Beberapa Balai Penelitian (Perikanan) telah
banyak melakukan penelitian mengenai budidaya ikan laut walaupun sebagian besar masih
dalam skala percobaan untuk melihat pengaruh beberapa aspek tertentu. Penelitian skala
komersial juga sudah dicoba untuk beberapa jenis komoditas ekonomis penting seperti
kerapu (Epinephelus spp., Chromileptes spp., Plectropoma spp.) beronang (Siganus sp),
kuwe (Caranx spp.), kakap (Lutjanus spp.), bandeng (Chanos chanos), ikan napoleon
(Cheilinus sp.), nila merah (Oreochromis niloticus) dan sebagainya (Tonnek dan
Rachmansyah, 1993).

Pada umumnya, ikan-ikan karang ekonomis penting seperti tersebut di atas diperoleh
dari penangkapan di alam. Dengan semakin tingginya permintaan pasar terhadap jenis-jenis
ikan tersebut baik untuk pasar lokal maupun pasar internasional, semakin tinggi pula tingkat
tekanan penangkapan (fishing pressure) yang dikhawatirkan mengganggu kelestariannya.
Tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan khususnya pada perairan pantai dewasa ini telah
mencapai tingkat yang berlebihan bahkan ada kecenderungan telah terjadi kerusakan
lingkungan khususnya pada daerah-daerah “nursery ground” (Nurhakim, et al, 1998). Oleh
karena itu maka seluruh rangkaian kegiatan perikanan harus dilandasi dengan kelestarian
dan keberlanjutan (wawasan lingkungan). Budidaya ikan, selain merupakan sistem produksi
juga merupakan salah satu komponen yang diperlukan untuk mendukung suatu sistem
usaha perikanan yang menyeluruh mulai dari penangkapan sampai pasca panen. Hasil
penangkapan ikan di alam biasanya sangat bervariasi baik dalam hal jenis dan ukuran ikan,
sehingga adakalanya ukuran ikan tertentu (kecil) tidak laku di pasaran dan harus dibesarkan
sampai ukuran pasar.

Ikan kuwe (Caranx spp.) merupakan salah satu jenis ikan karang yang sangat
potensial untuk dikembangkan karena mempunyai beberapa keunggulan komparatif antara
lain sebagai berikut (Anonimus, 2000) : mampu hidup dalam kondisi kepadatan yang tinggi
(150 ekor/m2), mempunyai laju pertumbuhan tinggi, sangat tanggap terhadap penambahan
pakan dari ikan rucah, konversi pakan cukup efisien dan digemari konsumen.

II. ASPEK BIOLOGI

Blue fin trevally yang di Indonesia dikenal dengan nama ikan kuwe merupakan salah
satu jenis ikan permukaan (pelagis) dan termasuk ikan karnivora. Ikan ini sangat digemari
oleh masyarakat karena rasanya yang enak serta memiliki kandungan protein yang tinggi
(Nelson, 1984). Ikan kuwe pada masa juvenil dapat digunakan sebagai ikan hias laut karena
warnanya yang menarik. Pada saat dewasa tubuh ikan kuwe berbentuk oval dan pipih.
Warna tubuhnya bervariasi, yaitu biru bagian atas dan perak hingga keputih-putihan di
bagian bawah. Tubuh ditutupi sisik halus berbentuk cycloid. Sisiknya kecil dengan gurat sisi
yang bercabang. Dibagian dada sisiknya berkurang atau tidak ada. Terdapat tiga duri, dua
yang pertama terpisah dari sirip yang diam. Sirip ekornya berjagak (Poernomo dkk.2006).
Klasifikasi ikan kuwe C. melampygus menurut Nelson (1984) adalah :

Class : Osteichthyes
Ordo : Perciformes
Sub ordo : Percoide
Family : Carangidae
Genus : Caranx
Spesies : Caranx melampygus
Nama local : Kuwe (Jakarta), Tongkolok (Madura), Balaret
(Bacan), Bobara ( Sulut, Maluku, Papua), Baura (Muna,
Buton)

Gambar 1. Ikan Kuwe (Caranx melampygus)

Pada ikan kuwe putih (Caranx melampygus) mempunyai badan memanjang dan
gepeng sekali. Punggungnya hijau kebiruan dan putih keperakan pada bagian perut. Warna
sirip punggung kedua, sirip perut dan sirip ekor kebiruan dan berubah menjadi gelap dan
noda-noda hitam pada badan ikan-ikan tua. Kepala agak tumpul dan memiliki dua sirip
punggung (Kordi dan Tamsil, 2010).

Ikan kuwe dapat berenang cepat dan memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan jenis ikan laut lainnya. Ikan ini bersifat karnivora. Adapun pakan
utamanya, yaitu ikan dan crustasea berukuran kecil. Ikan ini juga efisien memanfaatkan
pakan serta mampu hidup dalam kondisi yang cukup padat. Sebagai ikan ekonomis, sejak
tahun 1993 Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) Maros, Sulawesi Selatan,
telah menjadikan ikan ini sebagai salah satu ikan yang diteliti. Dari hasil penelitian kemudian
diketahui bahwa spesies Gnathanodon melampygus dan Gnathanodon sexfasciatus yang
merupakan jenis cepat bertumbuh. Selain memiliki laju pertumbuhan harian yang cepat,
yang mencapai 1,71%, juga mempunyai konversi pakan yang cukup rendah, yakni 3,31
(Kordi dan Tamsil, 2010).

Cara makan dan kebiasaan makan ikan sangat berkaitan dengan morfologi eksternal
dan internal dari ikan tersebut (John dan Lythgoe, 1992). Pada ikan genus Caranx, bentuk
gigi Canine, pada rahang atas dan bawah menjadi ciri khas kelompok ikan carnivora (Myers,
1991). Adapun pakan utamanya adalah ikan dan crustasea berukuran kecil. Ikan ini juga
efisien memanfaatkan pakan serta mampu hidup dalam kondisi yang cukup padat serta
memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan laut lainnya.

III. TEKNIK BUDIDAYA


a. Pemilihan Lokasi Budidaya

Salah satu faktor penentu usaha dalam budidaya ikan adalah pemilihan lokasi yang
tepat dan benar dengan mempertimbangkan factor lingkungan, resiko dan hidrografi
perairan. Lokasi budidaya harus memenuhi persyaratan dan memperhatikan keadaan
pasang, kondisi dasar peraairan, arus dan konstniksi. Perairan tempat kejapung sebaiknya
bertofografi landai, kedalaman 6-10 m, substrat dasar pasir berlumpur atau lumpur berpasir,
airnya jernih serta terhindar dari pencemaran dan pelumpuran. Selain itu juga harus
terhindar dari gelombang kuat dan badai, sedangkan perbedaan pasang sebaiknya kurang
dari 100 cm. Selanjutnya dinyatakan bahwa perairan tempat kejapung harus terhindar dari
stratifikasi suhu dan oksigen. Selain hal diatas, perairan yang ditetapkan untuk lokasi
budidaya harus memenuhi persyaratan fisikia, kimia dan biologi. Parameter fisika dan kimia
yang harus dipertimbangkan antara lain adalah arus, suhu, kecerahan, pH, salinitas, oksigen
terlarut dan senyawa nitrogen. AHMAD et al. (1991) menyatakan, kecepatan arus yang balk
untuk budidaya ikan laut dalam kejapung adalah 5-15 cm/detik, suhu air 27-32 °C (Gunarso,
1985), pH 6,5-9,0 (Boyd & Lichtkoppler, 1979) dan kecerahan > 3 m (KLH, 1988).
Selanjutnya Ahmad et al. (1991) menyatakan bahwa oksigen yang baik adalah 5-8 ppm,
sedangkan konsentrasi amonia kecil dari 0,1 ppm.

b. Konstruksi Sarana Budidaya

Sarana yang digunakan untuk membudidayakan ikan kuwe lebih banyak


menggunakan karamba jaring apung seperti yang telah dibudidayakan di BBL
Lampung. Sarana pokok yang digunakan pada budidaya dikaramba jaring apung untuk
keberhasilan suatu budidaya ikan, khususnya budidaya ikan kuwe meliputi kerangka rakit,
pelampung, jangkar, dan kurungan jaring.
1. Kerangka Rakit

Rakit adalah kerangka yang mengapung di permukaan air dan berfungsi sebagai
tempat menggantungkan keramba, dudukan bangunan gudang dan jalan (Kordi, 2005).
Pemilihan bahan disesuaikan dengan ketersediaan di lokasi budidaya, namun secara
umum dapat menggunakan balok kayu, dolken, bambu, pipa PVC, atau besi yang
dilapisi bahan anti karat. Bentuk kerangka rakit sangat bervariasi, namun yang banyak
diaplikasikan di Indonesia adalah berbentuk bujur sangkar. Pengikatan rakit dapat
digunakan tali polietilen, ijuk/amit, ataupun kawat. Bambu dan pelampung dipasang
sedemikian rupa sehingga tidak mudah rusak. Pengikatan bambu di setiap sudut rakit
paling luar harus kuat dan kokoh (Kordi, 2005).

2. Pelampung

Pelampung berfungsi untuk mengapungkan kerangka rakit. Bahan yang dapat


digunakan sebagai pelampung adalah drum plastik, drum besi, styrofoam, dan fiberglass
(Mayunar dan Genisa, 2002). Bahan pelampung yang mudah berkarat, seperti drum
besi, sebaiknya dilakukan pelapisan dengan cat anti karat atau dibungkus plastik untuk
memperkuat proses korosi dan menghindari tumbuhnya fouling (jasad penempel pada
bangunan yang terendam air laut, misalnya cacing, kerang teritip, dan lain-lain) (Kordi,
2005).

3. Jangkar

Jangkar atau tapu berfungsi menahan KJA dari pengaruh arus, air, angin,
ombak, dan pasang surut, sehingga KJA tetap di tempatnya yang telah ditetapkan
(Kordi, 2000). Satu unit rakit apung paling sedikit digunakan 4 buah jangkar, namun bila
terdiri dari beberapa unit rakit, jumlah jangkar yang dibutuhkan bukan kelipatan 4 tetapi
dapat diatur sedemikiam rupa (Mayunar dan Genisa, 2002).

Menurut Rahardjo dkk., (1999) pada daerah terlidung satu unit rakit memerlukan
4 buah jangkar, dengan berat berkisar 50-75 kg/buah. Daerah yang lebih terbuka
memerlukan jangkar yang beratnya lebih dari 75 kg/buah. Rakit yang digunakan
sebanyak  dua unit hanya diperlukan 6 buah jangkar. Pemasangan jangkar perlu
dilengkapi dengan tali jangkar yang berdiameter 18-20 mm. Panjang tali jangkar dapat
berpatokan pada 2,5 – 3 kali kedalaman perairan. Di perairan yang cukup terlindung
(teluk, selat), jangkar yang digunakan berukuran 50 kg/buah sedangkan di perairan
berarus kuat ukuran jangkar berkisar antara 150-200 kg/buah dan bahkan lebih.
Perairan lumpur berpasir sebaiknya menggunakan jangkar berbentuk kait atau kodok,
sedangkan perairan pasir berkarang menggunakan jangkar berbentuk pancang, jarum.
Pengikat jangkar yang digunakan adalah tali plastik (polyetylene) berdiameter 3-5 cm,
sedangkan panjangnya 3 kali kedalaman air (Mayunar dan Genisa, 2002).

4. Kurungan Jaring

Menurut Mayunar dan Genisa (2000), Kurungan jaring disebut kurung-kurung


yang merupakan wadah atau tempat pemeliharaan ikan yang terbuat
dari polyetylene (PE), polypropylene (PP), dan polyester (PES). Ukuran mata jaring yang
digunakan harus sesuai dengan ukuran ikan, biasanya berkisar antara 0,5 – 3,0
cm.  Kurung-kurungan agar tetap simetris, setiap sudutnya perlu dipasang pemberat.
Pemberat yang digunakan biasanya terbuat dari timah atau semen dengan kisaran berat
2,5 kg/buah. Jaring pemeliharaan dilengkapi dengan yang disebut cover (Rahardjo dkk.,
1999)

Menurut Sutarmat, dkk., (2004), selain rakit terdapat beberapa perlengkapan yang


harus disiapkan untuk memudahkan proses kegiatan budidaya. Berikut beberapa
perlengkapan penting yang diperlukan :

 Perahu, yang digunakan untuk mengangkut ikan/benih, pakan, jaring, hasil panen
dan sebagainya.
 Freezer dan kulkas digunakan untuk menyimpan pakan, obat-obatan, bahan aditif
seperti vitamin.
 Generator, digunakan sebagai sumber tenaga listrik untuk keperluan penerangan,
aerator, dan lain-lain.
 Aerator, diperlukan selama treatmen ikan dengan perendaman air tawar atau obat-
obatan untuk menanggulangi penyakit.
 Paranet penutup jaring, digunakan untuk mengurangi sinar matahari masuk kedalam
jaring. Hal ini diperlukan karena jika ikan kuwe banyak terkena sinar matahari
langsung bisa menimbulkan stres.
 Peralatan yang lain, beberapa perlengkapan yang diperlukan dalam kegiatan sehari-
hari diantaranya serok dengan berbagai ukuran, timbangan untuk menimbang ikan,
sprayer untuk mencampur obat dan vitamin dengan pakan, tangki untuk perendaman
ikan, sikat untuk mencuci jaring, ember, dan lain-lain.

Usaha pemeliharaan ikan Kuwe di KJA lebih mempunyai nilai ekonomis jika
didukung dengan prasarana seperti : jalan, pasar, listrik, air tawar dan telepon. Prasarana
jalan akan memperlancar pengiriman hasil panen ke pasar ataupun untuk mendapatkan
kebutuhan sehari-hari pekerja, baik yang sifatnya konsumtif ataupun peralatan-peralatan
kerja untuk budidaya.
c. Pengumpulan Benih/Penebaran

Benih yang digunakan untuk pembudidayaan bisa berasal dari tangkapan dari alam
maupun pembenihan. Umumnya tangkapan benih dari alam sangat terbatas, ukurannya
tidak seragam serta sering sudah terserang penyakit akibat luka pada saat penangkapan
dan pengangkutan. Benih yang digunakan lebih baik berasal dari hasil pembenihan. Hal
yang perlu diperhatikan dalam pemilihan benih adalah tidak adanya cacat tubuh pada ikan
karena pada saat pemeliharaan biasanya ikan yang cacat kondisinya lemah dan mudah
terserang penyakit, kemudian akan berkembang secara intensif dan kemudian penyakit
akan menular pada ikan yang sehat. Benih yang cacat akan mempengaruhi pada
pertumbuhannya yaitu menjadi lambat. Beberapa hal terpenting dalam pemilihan benih
adalah : tidak sakit atau membawa penyakit khususnya virus, bentuk badan normal, tidak
mengkonsumsi pakan hidup, pakan benih selalu dalam keadaan baik dengan kandungan
nutrisi bagus (Sutarmat, dkk., 2004). Hal ini juga menjadi patokan setiap pemilihan benih
ikan untuk dibudidayakan misalnya pada ikan benih ikan kuwe. Benih yang digunakan untuk
budidaya berukuran 20-25 gram dan banyak tersebar pada perairan dangkal, padang
lamun. Para petani biasanya mengambil benih dengan alat tangkap seperti redi, sero,
bandrong.

Penebaran ikan sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari. Benih dimasukkan ke
dalam karamba secara perlahan-lahan. Sebelum penebaran, kondisi kualitas air harus
diperhatikan. Apabila kualitas air pengangkutan berbeda dengan kualitas air lokasi
budidaya, perlu dilakukan adaptasi secara perlahan-lahan, terutama terhadap salinitas dan
suhu. Benih berukuran 20-25 gram dapat ditebar dengan kepadatan 150 ekor/m3. Jika benih
yang digunakan lebih dari 25 gram/ekor padat tebar menjadi 100 ekor/m3

d. Pemberian Pakan

Menurut Irianto dkk. (2002), dibandingkan dengan jenis-jenis ikan lainnya, ikan kuwe
(Caranx spp.) merupakan salah satu jenis ikan karang yang sangat potensial untuk
dikembangkan karena mempunyai beberapa keunggulan komparatif antara lain mampu
hidup dalam kondisi kepadatan yang tinggi (150 ekor/m2), mempunyai laju pertumbuhan
tinggi, sangat tanggap terhadap penambahan pakan dari ikan rucah, konversi pakan cukup
efisien dan digemari konsumen.

Ketersediaan ikan rucah sebagai pakan utama ikan Kuwe selalu berfluktuasi menurut
musim penangkapan baik jumlah maupun jenisnya (Lutfillah, 1988). Pada saat tertentu
ketersediaan pakan ini sedikit sehingga menjadi masalah besar dalam pemeliharaannya.
Upaya alternatif yang dapat dilakukan adalah menambahkan beberapa suplemen pakan
pada ikan rucah, supaya jumlah pakan yang ada dapat memenuhi kebutuhan makanan ikan
Kuwe peliharaan, antara lain ubi kayu dan pelet tenggelam.

Pemberian pakan pada ikan kuwe yang dibudidayakan berupa ikan rucah yang
dipotong-potong sesuai besar bukaan mulut ikan dan diberikan sebanyak 6-8 persen bobot
tubuh per harinya pada pagi dan sore hari. Pakan yang diberikan juga dapat berupa pelet
tenggelam dengan frekuensi pemeberian pakan 2 kali sehari sehingga ikan kenyang.

e. Pengendalian Hama dan Penyakit

Menurut Kordi (2004), hama adalah organisme yang dapat menimbulkan gangguan
pada ikan budidaya secara langsung maupun tidak langsung. Hama dapat berupa predator,
penyaing, perusak budidaya, dan pencuri. Hama pemangsa adalah organisme yang
memangsa ikan budidaya, seperti ikan buas, ular, burung, katak, belut, dan berang-berang.
Sedangkan hama penyaing adalah hewan yang masuk ke dalam wadah budidaya dan
bersifat menyaingi kehidupan budidaya tersebut. Penyaingan tersebut apat berupa pakan,
apabila hama tersebut memakan jenis pakan yang sama dimakan dengan ikan yang
dibudidayakan. Hama perusak sarana adalah organisme yang dapat menimbulkan
kerusakan sarana budidaya, seperti kepiting, ikan-ikan buas yang dapat merobek keramba
jaring apung di laut.

          Adapun beberapa cara penanggulangan hama di keramba jarring apung adalah


sebagai berikut :

1. Penanggulangan ikan buas

Ikan-ikan berukuran besar dan buas, seperti ikan hiu dapat menyerang ikan-ikan
budidaya pada keramba jarring apung di laut. Ikan-ikan buas dapat merobek jaring
keramba, sehingga ia dapat memangsa ikan peliharaan, dan ikan-ikan peliharaan pun
dapat lolos melalui bagian jarring yang robek. Penanggulangan hama ikan buas ini
dengan merangkap jarring keramba, juga selalu melakukan control terhadap ikan
peliharaan.

2. Penanggulangan siput dan alga

Mata jaring keramba yang kecil akan memudahkan jaring keramba cepat kotor
ditempeli organisme pengganggu, seperti beberapa jenis alga, teritip, dan kerang-
kerangan. Menempelnya organisme tersebut akan menghambat pertukaran air. Untuk
menanggulanginya, keramba harus diganti. Keramba yang kotor dicuci dan dikeringkan
yang nantinya untuk mengganti keramba yang kotor. Biasanya untuk keramba berukuran
mata jaring kecil (1 inci) membutuhkan waktu ganti jaring 2 minggu, sedangkan untuk
mata jaring bermata 2 inci membutuhkan waktu ganti 3-4 minggu.

Di lingkungan alam ikan air laut khususnya ikan yang dipelihara di KJA dapat
diserang berbagai macam penyakit. Penyakit tersebut dapat menyerang dalam jumlah yang
lebih besar dan dapat menyebabkan kematian. Pencegahan penyakit dan penanggulangan
merupakan aspek budidaya yang penting. Budidaya ikan kuwe dalam keramba jaring apung
bila tidak dikelola dengan baik, dapat mengakibatkan kerugian. Pemilihan lokasi yang tidak
tepat, kepadatan yang terlalu tinggi, mutu pakan dan benih yang rendah serta jaring yang
dibiarkan kotor dapat menyebabkan serangan penyakit pada ikan budidaya. Ikan kuwe yang
tidak sehat cenderung berbaring/bersembunyi di dasar keramba atau dibawah naungan
namun mampu bergerak cepat memangsa ikan.

Penyakit yang menyerang budidaya pembesaran ikan kuwe di KJA yaitu:

1. Kutu kulit

Selama pemeliharaan ikan sering ditemukan parasit eksternal yang umum pada
ikan budi daya laut, yaitu kutu kulit. Ada dua jenis kutu kulit yang ditemukan,
yaitu Neobenedenia dan Benedenia. Jenis yang disebut pertama bersifat lebih patogen
dibandingkan jenis kedua. Neobenedenia tidak hanya menyerang permukaan tubuh,
tetapi juga mata yang dapat menyebabkan kebutaan dengan infeksi sekunder oleh
bakteri. Upaya pencegahan dan pengobatan penyakit tersebut adalah sebagai berikut:

 Pemberian pakan harus cukup memadai dan tidak berlebihan


 Kepadatan tebar tidak terlalu tinggi.
2. Penyakit Bakterial

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Vibriosis sp.  Bakteri ini biasanya bertindak


sebagai pathogen sekunder yang timbul akibat infeksi primer protozoa. Gejala yang
ditimbulkan adalah nafsu makan berkurang, lesu, terdapat pembusukan pada sirip, mata
menonjol, terjadi penggumpalan cairan pada perut, serta terdapat radang berwarna
merah pada bagian anus.  Pengobatan dapat dilakukan dengan cara merendam ikan
pada larutan prefuran 1 ppm selama 1 hari. Selain itu pengobatan bisa dilakukan dengan
pakan yang sudah dicampur dengan oksitetrasiklin 2 - 3 g/kg pakan.  Pengobatan
dengan pakan dapat dilakukan selama 1 minggu berturut-turut (Akbar dan Sudaryanto,
2002 ).

f. Panen
Teknik pemanenan ikan pada unit karamba jaring apung relatif mudah dilakukan.
Pemanenan dapat dilakukan secara total dan sebagian sesuai dengan permintaan pasar,
terutama pada saat harga jual tinggi (Puja et al., 2001). Setelah pemeliharaan selama 5-6
bulan, ikan kuwe dapat dipanen dengan ukuran konsumsi (300-400 g). Dengan
kelangsungan hidup 70-95%, dapat dihasilkan ikan rata-rata 28 kg/m3. Pemanenan ikan
dalam KJA sangat mudah dilakukan. Sistem pemanenan dapat dilakukan secara total atau
selektif tergantung kebutuhan.

IV. KESIMPULAN

Pembudidayaan ikan kuwe (Caranx melampygus) sangat potensial untuk


dikembangkan karena mempunyai beberapa keunggulan komparatif antara lain sebagai
yaitu mampu hidup dalam kondisi kepadatan yang tinggi (150 ekor/m2), mempunyai laju
pertumbuhan tinggi, sangat tanggap terhadap penambahan pakan dari ikan rucah, konversi
pakan cukup efisien dan digemari konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, S. dan Sudaryanto. 2002. Pembenihan dan Pembesaran Kerapu Bebek. Penebar


Swadaya. Jakarta

Anonimus, 2000. Laporan Tahunan 1998/1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan


Perikanan, Badan Litbagn Pertanian. Jakarta.

Irianto B, Zubaidi T, Hasan N, Harwanti S, Suwarda R. 2002 Potensi Pengembangan


Budidaya Ikan Kuwe, Caranx spp. Dengan Sistem Keramba Jaring Apung. Balai
Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros. 49 hal.

John dan G. Lytogoe. 1992. Fishes of the Sea. Blandford Press. London. 255 pp.

Kordi M.G.H. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakitnya. Rineka Cipta. Jakarta.

Kordi M.G.H. 2005. Budidaya Ikan Laut di Karamba Jaring Apung. Rineka Cipta. Jakarta.

Kordi M.G.H. dan Tamsil A. 2010. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis secara Buatan. Penerbit
Andi. Yogyakarta.

Lutfillah E. 1988. Berbagai Cara Penanganan Ikan Rucah dan Pembuatan Pelet Ikan.
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Mayumar dan Genisa.2002. Budidaya Ikan Kakap Putih. Grasindo. Jakarta

Nelson, J.,S. 1984. Fisher of the World. John Wiley and Sons, New York 524 p.
Nurhakim, S., JCB. Uktolseya, Badrudin dan IGS. Merta, 1998. Potensi, tingkat
pengusahaan dan penyebaran sumberdaya ikan laut di Indonesia dalam Inovasi
Teknologi Pertanian. Seperempat Abad Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Buku 2. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Myres, R., F. 1991. Micronesian Reef Fishes, a Practical Guidea to the Identification On the
Coral Reef Fishes of the Tropical Central and Western Pacific. Coral Graphics. Guam.
298 hal.

Poernomo A,. Mardlijah,S., Linting M.L., Amin E.M,. Widjopriono. 2006. Ikan Hias Laut
Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta.

Puja, Y., Evalawati dan Syamsul, A. 2001.Pembesaran Kerapu macan dan Kerapu Tikus di
Karamba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut Lampung.

Rahardjo, Budi, Bambang, P. Hartono dan Nico Runtuboy. 1999. Sarana dan Prasarana
Budidaya Ikan Kakap Putih di Keramba Jaring Apung. Budidaya Kakap Putih (Lates
calcalifer, Bloch) di Keramba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut Lampung. Hal 14-19

Sutarmat, T., Suko Ismi, Adi Hanafi, dan Shogo Khawara. 2004. Petunjuk Teknis Budidaya
Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) di Keramba Jaring Apung. Cetakan ke II. Balai
Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol

Tonnek, S dan Rachmansyah (1993). Pengembangan Budidaya Ikan Laut Dalam Keramba
Jaring Apung di Kawasan Timur Indonesia dalam Rapat Teknis Ilmiah Penelitian
Perikanan Budidaya Pantai, Tanjung Pinang, 29 April – 1 Mei 1993. Prosiding No.10,
1993. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros.

Anda mungkin juga menyukai