Anda di halaman 1dari 252

Anamnesis dr.

Fathi
• Tujuan umum: mengumpulkan semua informasi dasar yang berkaitan dengan penyakit dan
adaptasi pasien dengan penyakitnya

• Tujuan khusus: mengarahkan dan menyingkirkan diagnosis sehingga dapat ditentukan hipotesa
awal

• Sacret seven :

1. Keluhan utama à keluhan yang menyebabkan pasien datang saat ini

2. Onset : mendadak, perlahan, hilang-timbul

3. Lokasi : paling nyeri, paling sering, dll

4. Kualitas : gambaran keluhannya, warna, seperti apa, dll. kuantitas : frekuensinya,


jumlahnya, berapa lama, dll

5. Faktor yang memperberat atau memperingan : perubahan posisi, minum obat, aktivitas,
istirahat, dll.

6. Kronologis : gejala prodromal, sumber penularan, faktor pencetus

7. Gejala yang menyertai : selain dari keluhan utama à diurai lagi seperti ”sacret seven” ≈
sindrom

• Fundamental four :

1. Riwayat Penyakit Sekarang à segala keluhan yang disusun berdasarkan ”sacret seven”

2. Riwayat Penyakit Dahulu à Segala penyakit yang pernah diderita = tahun berapa, pernah
operasi dll.

3. Riwayat Penyakit Keluarga à terutama yang berkaitan dengan keluhan pasien sekarang

4. Riwayat Sosial Ekonomi (termasuk gizi, sanitasi, pekerjaan, dll)

DEMAM & PATOFISIOLOGI dr.Fathi


 Tempat pengukuran : Aksila, Oral,rektum
o Suhu normal : 36,5-37,2 C
o Demam : > 37.2 C
o Sub Normal : 36 C
o Hiperpireksia : 41,2 C
o Hipotermia : < 35 C
 Suhu rektal lebih tinggi 0,5-0,8 C (paling tepat)
 Kenaikan Suhu 1 C dikompensasi dg kenaikan nadi 10-15 x
 Terjadi bradikardi relative jika tidak sebanding dengan suhu. Pada typhoid fever (tanda cardinal)
= kenaikan suhu yang tidak disertai kenaikan nadi.
 Patofisiologi demam
o Infeksi dan inflamasi
o Aktivasi monosit dan makrofag
o Mediator pirogen endogen ( IL 3,IL 6, TNF alfa, IFN gamma) membuat endotel
hipothalamus bereaksi
o Toksisistas dapat menyebabkan demam juga
o Hipothalamus : pengaturan semua suhu
o Mengigil
o Menghasilkan As. Archidonat (COX2)
o Heatstroke : serangan panas , contoh pirogen eksogen yang membuat demam karena
lingkungan
o Paracetamol adalah obat yg menghambat COX 2
o PGE2 naik, siklik AMP kemudian menyebabkan panas/demam
 Tipe Demam
o Septik/Hektik : meningkat sampai puncak, dapat turun normal pagi hari
o Kontinyu : naik turun tapi fluktuasinya +- 1 C
o Remiten : fluktuasi 1-2 C turun tidak sampai normal (contoh : Typhoid)
o Intermitten : turun sampai normal dengan pola
 1 hari bebas : tertiana malaria (p. Vivax)
 2 hari bebas : Quartana (p.malariae)
o Siklik : naik bebeapa hari turun beberapa hari
o Fever Unknown Origin (FUO)
 Belum terdiagnosis, slm 3 minggu ( diatas 38,3C) penyebab tdk diketahui
 Klasik : sudah dirawat 3 hari
 Nosokomial : saat masuk RS tanpa infeksi (demam)
 Netropenia : neutrofil < 500 slm 3 hari
 HIV : pd pasien HIV, 4 mgg rawal jalan, 3 hari rawat inap
o Drug Fever
 Obat yang mengakibatkan, terkadang,insidentil menyebabkan demam
 Reaksi Imunologis. Faktor alergi
o Factitious Fever
 Pura pura demam ( Malinger)
 Konsul Kesehatan Jiwa
DIARE & CHOLERA dr. Fathi
 pulse pressure : perbedaan sistol diastol , pasien yg pp menyempit : Pre-Shock kalau 10-15
bedanya sistol dan diastol
(contoh 110/95 atau 110/100)
 Kreatinin menigkat = Gagal ginjal akut pre renal
 Orang diare periksa feses terutama untuk mencari +- leuosit
 Jika feses leukosit + diberi antibiotik

Diare

 Perubahan frekuensi (>3x) dan konsistensi BAB; > 200 gr lembek ke cair
 Klasifikasi
o Akut (<14 hari)
o Persisten (15-28 hari)
o Kronik (> 4 minggu)
 Mekanisme :
o Sekretory atau osmotik
o Watery atau bloody stool
 Penyebab : Inflamasi/ non inflamasi, organik/fungsional
 Derajat dehidrasi : ringan ,sedang, berat (preshock dan mengantuk sudah pasti berat)
 Etiologi :
o Infeksi
 Enteral ( Bakteri(e.coli, amuba,cholera) , virus, parasit)
 Parenteral : infeksi di tempat lain
o Non infeksi
 Keracunan makanan, malabsorpsi (intoleransi laktosa)
 Alergi, metabolik, imunodefisiensi(HIV)
 Anamnesis
o Gejala tanda,riwayat kontak, perjalanan, makan ,obat
 Pemeriksaan Fisik
o Keadaan umum, vital sign
o Asessement kegawatan
o Status hidrasi
 Pemeriksaan Penunjang
o Darah lengkap
o Fungsi hati dan ginjal (SGOT,SGPT,Ur,Kreatinin)
o Serum elektrolit (Na,K,Ca)
o Feses lengkap : leukosit, bakteri, konsistensi (cair,lendir,darah)
 KEGAWATAN
o Rehidrasi
 Skor daldiyono
 Osmolaritas =
 Osm = 2 (Na+K) + GDA/18 + ureum/6
 Fluid defisit = ( osm – 295 ) / 295 x 0,6 x BB
 Jika fluid defisit 0 maka seterusnya 0 jadi tidak ada kehilangan cairan
 Pad pasien dehidrasi osmolaritas akan meningkat
o Diet
 Porsi kecil, frekuensi sering
 Hindari susu dan lemak
o Simtomatik
 Loperamid, bismut salisilat, probiotik, dll
 PENATALAKSANAAN
o Tergantung etiologi
 Shigellosis =Kotrimoksazole2x960mg
 Salmonellosis = ciprofloxacin 2x500mg
 Cholera = tetrasiklin 4x500mg
 Amoebiasis dan Giardiasis = Metronidazole 3x500 mg
 Campylobacter = Azitormisin 1x500mg
 E.coli =Kotrimoksazole2x960mg
o Menjaga Kebersihan Lingkungan
 Makanan dan minuman tertutup
 Masak matang

CHOLERA

 Vibrio cholerae
 Biotipe : klasik dan El tor ( serotipe Inaba dan Ogawa)
 Waspada
o Endemik dan Pandemik
o Dehidrasi, syok dan asidosis metabolik (HCO3 menurun, nafas cepat dan dalam)
 Transmisi : Oral ( sumber air)
 Patogenesis :
o enteroksin non invasif ( invasif : lendir dan darah, kalo non invasif hanya absorpsi
terganggu)
o cAmp meningkat menghambat absorpsi NaCL dan merangasang eksresi klorida
menyebab kan kehilangan air, Nacl, kalium dan bikarbonat
 Manifestasi Klinis
o Inkubasi 16-72 jam
o Asimptom
o Simptomatis
 Diare encer warna dan berbau ( putih keruh dan bau nyengat)
 Muntah tanpa mual
 Mules dan tenesmus
 Kejang,lemas,asidosis, penurunan kesadaran
o Tanda :
 nadi cepat (saat orang kehilangan cairan, tubuh mencoba memenuhi dengan
oksigen/cairan dan jantung mompa dengan cepat) ,
 RR cepat
 Suara serak
 Turgor menurun ( periksa di dahi)
 Skafoid, waher womans hand
 Oliguria dan anuria ( gagal ginjal akut)
 Pemeriksaan penunjang
o Darah lengkap (leukosistosis)
o Serum elektrolit ( Na,K,Cl)
o BGA (asidosis, sesak nafas)
o Fungsi ginjal (ureum kreatinin meningkat)
o Feses lengkap (leukosit dan bakteri)
 PENATALAKSANAAN
o Ringan :
 ORS (Oral rehodration) 50 ml/kgBB maks 750 ml/jam 3-4 jam
o Sedang
 ORS 100ml/KgBB maks 750 ml/jam 3 jam
o Berat
 Intravena Ringer Lactate 110 ml/kgBB
 3 jam prtama guyur sampai nadi teraba, sisanya diabgi dalam 2 jam
o Sesuai dengan penatalaksanaan diare
o Antibiotik
 Tetrasiklin 4x 500 mg ( jika diberikan pada anak mempengaruhi warna gigi)
 Doksisiklin 300 mg
 Kotrimoksazole 2x960 mg ( paling baik diberikan untuk anak anak)

HIV/AIDS DR FATHI
A. Dasar imunologi
 Imunitas:

- Seluler = Limfosit T (CD3, CD4, CD8) u/ diagnosis hitung jenis CD4&8

- Humoral = Limfosit B(CD19, CD20, CD21, Imunoglobulin)

 Imunoglobulin : IgA, IgM, IgG, IgE, IgD


 Hipersensitivitas = peningkatan kepekaan terhadap rangsang dari IgE yang melepaskan
mediator (basofil dan sel mast)yang dicetuskan oleh antigen (alergen).
 Alergi= implikasi klinik yang berkembang dari sederhana jadi kompleks
B. AIDS/HIV
 HIV = Human Imunodefisiensi Virus
 AIDS (Acquired Immonodeficiency Syndrome) = Seorang dewasa (>12 tahun) dianggap
positif HIV / AIDS :
o tes HIV (+)
o 2 gejala mayor dan 1 gejala minor
o gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan
infeksi HIV
C. Epidemiologi
 80% AIDS anak anak perinatal dari ibu
 Amerika dan Eropa = risiko perinatal dari ibu ke janin 20 – 40 % :
- melalui plasenta
- perlukaan selama proses persalinan (bertukar darah)
- ASI
 WHO tetap menganjurkan ASI sebab manfaat > risiko penularan HIV
 Risiko > jika ibu hamil menggunakan narkotika intra vena
D. Gejala
Mayor
 BB menurun > 10% dalam 1 bulan
 Diare kronis lebih dari 1 bulan
 Demam > 1 bulan
 Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
 Demensia/HIV ensefalopati

Minor

 Batuk menetap > 1 bulan (pneumosistis karemii)


 Dermatitis generalisata
 Kandidiasis orofaringeal
 Herpes Zooster berulang
 Herpes simpleks kronik progresif
 Limfadenopati generalisata
 Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
 Retinitis virus sitomegalo
E. Cara penularan
 Hubungan seksual ganti pasangan tanpa pengaman
 Darah (transfusi, alat suntik /medis tidak steril, pengguna narkotika dengan jarum suntik
yang bergantian)
 Cairan tubuh (sperma, cairan vagina, ASI)
 Perinatal
F. Patogenesis
 Penurunan jumlah dan kualitas CD4 karena banyak yang berinteraksi dengan virion HIV
 Terjadi defek imunitas signifikan

 Mudah terjadi infeksi oportunistik dan neoplasma


G. Kategori klinik HIV (+)
 Grup I : Infeksi akut
 Grup II : Infeksi asimptomatik
 Grup III : Limfadenopati persisten generalisata
 Grup IV : Penyakit Lain
- subgrup A = Penyakit konstitusional
- subgrup B = Penyakit neurologik
- subgrup C = Infeksi dekunder
- subgrup D = Kanker sekunder
- subgrup E = Kondisi lain
H. Manajemen AIDS pada kehamilan
 Identifikasi risiko tinggi :
- narkotika intra vena
- biseksual dengan HIV (+)
- WTS (PSK)
- penderita PHS (penyakit hubungan seksual)
 Pengetahuan tentang AIDS
 Konseling masalah AIDS
 Pemeriksaan darah terhadap HIV
 Pencegahan sumber infeksi

I. Indikasi terapi antiretroviral


 Infeksi akut
 Infeksi kronik :
- Simtomatis
- Asimtomatis dengan :
 CD4 < 350 / μL
 HIV RNA > 50.000 kopi/mL
 Postexposure Profilaksis
J. Medikamentosa
 Reverse transcriptase inhibitor :
contoh : didanosine (Videx) 2x125mg
nevirapine (Viramune) 2x200mg
 Protease inhibitor :
contoh : Lopinavir (Kaletra) 2x100mg
 Fusion inhibitor
contoh : enfuvirtide (Fuzeon) 2x90mg
K. Pencegahan untuk NAKES
 menolong persalinan memakai : sarung tangan, masker dan gaun
 Sarung tangan saat merawat bayi
 Cuci tangan
 Memberi label infeksius pada plasenta
 Hindari hisap lendir bayi (mulut)
 Konseling untuk NAKES

INTOKSIKASI dr Fathi
 Racun : Setiap bahan yang mempunyai kemampuan untuk menimbulkan efek yang merugikan
pada makhluk hidup.
 Keracunan : dikaitkan dengan ketidak-sengajaan
 Overdosis : sengaja; atau percobaan bunuh diri
 Efek samping obat : Reaksi yang tidak diharapkan akibat dari pengobatan

Toksikologi : Ilmu yang mempelajari masalah keracunan pada makhluk hidup


JALUR KERACUNAN :

PATOGENESIS UMUM KERACUNAN :

Diagnosis Keracunan :
 Anamnesis (keluarga, teman, saksi lain) :
1. Kondisi di tempat kejadian botol, jarum suntik, cairan, kimia
2. Onset : berapa lama terpapar (2jam – masuk usus, 1jam-dilambung)
3. Riwayat obat yang diminum : rutin, paling update (racun : tentukan jumlah, jenis, dan bau)
4. Racun : Jenis, jumlah, bau, dsb
5. Pekerjaan / rutinitas pasien : terpapar bahan kimia di tempat kerja
6. Kondisi psikologis : masalah pekerjaan, keluarga, dsb
 Pemeriksaan Fisik :
1. Kesadaran -> GCS (E4M6V5)
2. Kondisi umum saat keracunan : PSS (Poisoning System Score) =
0 ->NONE : tidak ada gejala
1 ->Minor : gejala ringan, sembuh spontan
2 ->Moderate : Gejala menetap, memburuk
3 ->Severe : gejala berat, mengancam nyawa
4 ->Fatal : Kematian
3. Pupil : MIOSIS = kolinergik, organofosfat, phenotiazine
MIDRIASIS = antihistamin, antidepresan, simpatis (simpatomimetik)
4. Neuropati ->
* Paparan berulang (INH, organofosfat, piridoksin, antineoplastik, antiretroviral)
* Sekali terpapar (dosis besar) = arsenik
5. Abdomen :
* Distensi dan ileus : infark usus akut
* Hematemesis : keracunan korosif (gampang mati)
6. Bau : * Kacang almond = racun sianida(terkadang tertutupi oleh bau muntah)
7. Kulit ->
* Berkeringat : Sindroma autonomik
* Kemerahan : CO, asam boraks, zat korosif, hidrokarbon, obat antikolinergik
-> vasodilatasi karena interaksi fenotiazin vs etanol
* Pucat : Diaforesis karena obat SIMPATOMIMETIK
->vasospasme karena ergotamin atau amfetamin
* Sianosis : hipoksia, sulfahemoglobinemia / methemoglobinemia (kurang O2)
Pemeriksaan Laboratorium :
1. Rutin : * DL, UL, GDA dan serum elektrolit
* Fungsi hati : SGOT, SGPT, bilirubin (melibatkan ganguan di hati?)
* Fungsi ginjal : BUN, Kreatinin
* Test kehamilan (jika gejala mual muntah pd wanita)
2. X-ray abdomen : tablet radioopak (radio opaque)
3. Skrining Toksikologi
->mengetahui efek racun pada pasien = jenis, kadar, dosis
->mencari penyebab yang mendasari
Prinsip Tatalaksana Keracunan :
1. STABILISASI : Airway = jalan napas (pastikan tidak ada sumbatan)
Breathing = Oksigenasi, intubasi
Circulating = hemodinamik
Drug = antidotum
2. Pemeriksaan LABORAT : BGA, serum elektrolit
3. Dekontaminasi saluran cerna, kulit dan mata
4. Evaluasi / Observasi (monitoring) dan disposisi

ASESMEN KEGAWATAN :
1. KESADARAN
2. VITAL SIGN
3. LABORATORIUM

Indikasi Intubasi pada Keracunan :


ORGANOFOSFAT
 GEJALA
1. SLUD ( Salivasi, Lakrimasi, Urinasi, Defekasi )
2. Miosis, nausea, vomitus, batuk dengan dahak berbusa
3. Sianosis ( karena edema paru )
4. Kejang
 TINDAKAN
1. Amankan jalan nafas
2. Oksigen ( kateter hidung atau oksigen anak )
3. Kalau bahan toksik dimakan < 4 jam segera bilas lambung
4. Dosis Sulfas Atropin 2 mgr i.v. ( bila ringan bisa i.m atau s.c ) Selanjutnya diberikan dosis 2 mgr
iv/im tiap 5-10 menit sampai tercapai atropinisasi ( pupil midriasis, wajah kemerahan, mulut
terasa kering, nadi cepat ). Setelah itu SA diberikan sesuai kebutuhan ( 2 mgr setiap 4-8 jam )
selama 2-3 hari bisa secara oral.
5. Kulit yang terkena dicuci dengan sabun dan air
6. Bila ada kejang beri Diazepam 10 mg iv.
PARASETAMOL
 GEJALA
1. Nausea, vomitus, sakit di daerah epigastrium
2. Ikterus dan hepatitis fulminan ( sesudah 12 jam ) *hepatotoksik
3. Hiperventilasi, hipoglikemi, asidosis
4. Ensefalopati
5. Dosis toksik parasetamol sekitar 8 gr ( 16 tablet ) sekali makan

 TINDAKAN
1. Amankan jalan nafas
2. Oksigen ( kateter hidung atau oksigen anak )
3. Kalau bahan toksik dimakan < 4 jam segera bilas lambung
4. Tindakan suportif untuk mengatasi
asidosis : ( Injeksi Bikarbonat Natrikus )
hipoglikemi ( Injeksi D40% )
5. N- acetylcystein : 140 mg/KgBB per os ; NGT kemudian 70
mg/KgBB tiap 4 jam sampai tercapai 17 dosis.
SALISILAT
 GEJALA
1. Tinitus, tuli, nausea, vomitus
2. Hiperventilasi, keringat, vasodilatasi, takhikardi
3. Kesadaran berkabut/delirium/koma
4. Hipotensi/ henti jantung mendadak
5. Dosis toksik salisilat sekitar 10 gr ( 20 tablet @ 500 mg ) sekali makan
 TINDAKAN
1. Amankan jalan nafas
2. Oksigen ( kateter hidung atau oksigen anak )
3. Kalau bahan toksik dimakan < 4 jam segera bilas lambung
4. Forced Alkaline DIURESIS dengan :
Jam I : 500 cc D5% i.v dengan 50 mEq NaHCO3 (Natrium bikarbonat/ Meylon)
Jam II : 500 cc D5% i.v dengan 25mEq KCl
Jam III : 500 cc NaCl 0,9%, Furosemid (20-40mg) iv dan dijaga
output urin >50 cc/ jam
SIANIDA
 GEJALA
1. Bau nafas khas (pahit), respirasi cepat dan dalam kemudian menjadi perlahan & dangkal. Baunya
spt almond
2. Nadi kecil dan lemah
3. Mata membelalak, pupil midriasis
4. Kejang atau paralysis otot, kulit lembab dan dingin> gagal nafas
 TINDAKAN
1. Amankan jalan nafas (inhalasi)
2. Segera inhalasi Amylnitrit 15-30 detik setiap 3-5 menit
3. Oksigen dengan respirator
4. Sodium nitrit 300 mg dalam 10 cc Aqua destilata diberikan perlahan . (jangan melebihi 5
cc/menit)
5. Thiosulfat 25% 50 cc i.v diberikan dalam waktu lebih dari 10 menit
6. Tindakan suportif untuk sistem sirkulasi> (shock : tensi rendah maka lakukan rehidrasi)

INH (obat TB)


 GEJALA
1. Nausea, vomitus, bicara mengacau, pusing
2. Miosis
3. Kejang-kejang tonis-klonis/stupor/koma
4. Dosis toksik 2-3 gr (5 tablet @ 400 mg)
 TINDAKAN
1. Amankan jalan nafas
2. Oksigen ( kateter hidung atau oksigen anak )
3. Kalau bahan toksik dimakan < 4 jam segera bilas lambung
4. Vitamin B6 1gr i.v untuk tiap gram INH. Jika dosis INH yang diminum tidak diketahui, berikan
Vit B6 5 gr dalam 50 cc Dextrose 5% i.v dalam 3 menit
5. Diazepam 5-10 mg i.v untuk mengatasi kejang-kejang
6. Infus D5% atau NaCl 0,9% 20 tetes/menit

BENZODIAZEPAM
 GEJALA
1. Pusing, bingung, ataxia (tangan bergerak-gerak sendiri), pelo, halusinasi, nistagmus
2. Lesi-lesi bulosa (bula) pada kulit
3. koma
4. Dosis toksik : 500-1000 mg
5. Kecurigaan overdosis kalau terdapat apneu, paralysis “flaksid”, reflek cahaya (-) dan bising
usus (-)
 TINDAKAN
1. Amankan jalan nafas
2. Oksigen
3. Kalau bahan toksik dimakan < 4 jam segera bilas lambung
4. Castor oil 15 cc ( dihangatkan dulu) lewat pipa NGT tiap 12 jam> jika tidak ada rujuk
5. Jika gejalanya ringan cukup diobservasi saja.
LUMINAL
 GEJALA
1. Depresi susunan saraf pusat : hipotermi, hipotensi, depresi pernafasan, sianosis, reflek pupil
negatif
2. Koma
3. Syok
4. Gagal nafas
5. Dosis toksik : 2-6 gr 6. Kecurigaan overdosis kalau terdapat apneu, paralysis “flaksid / layu”,
refleks cahaya negative dan bising usus negative
 TINDAKAN
1. Amankan jalan nafas
2. Oksigen dengan respirator
3. Kalau bahan toksik dimakan < 4 jam segera bilas lambung
4. Jika ada syok berikan Dopamin 400 mg dalam D5% (10-15 tts/menit)
5. Forced Alkaline diuretik (dikeluarkan lewat urine)
⁻ Jam I : 500 cc D5% i.v dengan 50 mEq NaHCO3 (Meylon)
⁻ Jam II : 500 cc D5% i.v dengan 25 mEq KCl
⁻ Jam III : 500 cc NaCl 0,9%
⁻ Furosemid (20-40 mg) i.v
BELLADONA
 GEJALA
1. Mulut kering, kulit kering, haus
2. Vasodilatasi perifer, dilatasi pupil, takhikardi
3. Delirium dan excitement
4. Dosis toksik 50-500 mg
5. Kecurigaan overdosis kalau terdapat apneu, paralysis “flaksid”, reflek cahaya (-) dan
bising usus (-)
 TINDAKAN
1. Amankan jalan nafas
2. Oksigen dengan kateter hidung atau masker
3. Kalau bahan toksik dimakan < 4 jam segera bilas lambung
4. Fisostigmin i.m 1 ampul (2 mg) sampai keluhan atau gejala hilang
5. Diazepam i.v sesuai kebutuhan
JENGKOL
 GEJALA
1. Riwayat makan jengkol (2-12 jam)
2. Mikrohematuria asimptomatik
3. Mual, muntah, diare, disuria,
4. Nyeri pinggang atau suprapubik
5. Oliguria, anuria sd GGA
6. Terdapat kristal asam jengkolat berbentuk seperti jarum> menyebabkan gagal ginjal
akut (terapi Forced diuresis/ minum banyak)
 TINDAKAN
1. Forced diuresis
2. ALKALINISASI : Na bikarbonat 4x2 gram / hari
3. Simtomatik : antimual, antinyeri, dsb
4. Konsultasi bedah jika tidak respon dengan terapi konservatif :
5. Pasang Stent Ureter
METIL ALKOHOL (Minuman Keras)
 TINDAKAN
1. Bila minum < 4 jam lakukan emesis dengan sirup ekstrak ipekak atau perangsangan
tenggorokan agar muntah dan bilas lambung
2. Berikan antidotum : etil alcohol (etanol) 50% Dosis awal : 1,5 ml/kgBB peroral atau i.v
selama 4 hari
3. Bila asidosis beri Natrium Bikarbonat (Meylon) 5 gr peroral setiap 30 menit sampai urin
menjadi alkalis (dengan kertas lakmus menjadi biru) *untuk cegah gagal ginjal
4. Beri cairan 4 L / hari peroral atau i.v untuk mempertahankan pengeluaran urin yang
adekuat
5. Pemberian nutrisi dalam porsi kecil tetapi sering (interval 3-4 jam)
6. Bila timbul delirium : berikan fenobarbital 100 mg tiap 6-12 jam atau
diazepam 10 mg i.v pelan
*dapat menyebabkan ablasio retina (buta), kena hepar (mati)
MAKANAN BAKTERIAL
 TINDAKAN
1. Atasi muntah yang hebat dengan Chlorpromazin 25-100 mg i.m atau obatanti emetik
lain (metoklorpramid). Dapat diulang tiap 4 jam jika diperlukan.
2. Penderita diistirahatkan, hentikan makan minum sampai muntah berhenti selama 4 jam.
Beri makanan cair 12-24 jam dan selanjutnya diet biasa.
3. Bila muntah dan diare hebat hindari dehidrasi. Berikan Infus RL untuk rehidrasi. Tidak
perlu obat anti diare.
JENIS KERACUNAN DAN ANTIDOTUMNYA

Rabies dr. Fathi


 Definisi
o Rabies (anjing gila) = infeksi zoonosis virus yang fatal
o Vaksin profilaksis diberikan jika ada paparan gigitan HPR (hewan penular rabies)
o HPR : anjing, kucing, kera, kelelawar, rakun dan musang.
o Dead End : sapi, kelinci kalau binatang tertular tidak menular ke manusia
 Etiologi
o Disebabkan oleh virus rabies dari family Rhabdoviridae dan genus Lysavirus.
o Strukturnya ada RNA single strand negatif, nucleoprotein, fosfoprotein, matrix,
membrane lipid, RNA polymerase
 Host
o Hewan berdarah panas
 Anjing (banyak di Asia, Amerika Latin, di Indonesia 90% kasus rabies ditularkan
oleh anjing)
 Kucing
 Monyet
 Kelelawar
 Rakun dan sigung (Amerika Utara)
 Rubah merah (Eropa)
 Epidemiologi
o Tersebar di Asia, Amerika Latin, Amerika Utara, Eropa, Afrika
o Di Indonesia daerah endemisnya adalah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa
Barat, Jawa Timur, Pulau Sumbawa
 Transmisi dan patogenesis
o Menularnya melalui gigitan dan jilatan hewan pada kulit yang terluka
o Patogenesis dimulai dari host intermediet yaitu hewan menggigigit host definitive
manusia atau hewan lain lalu virusnya masuk lewat saraf sensoris menuju sumsum
tulang belakang dan otak untuk replikasi lalu migrasi ke bagian non saraf yaitu kelenjar
air liur dan masuk ke liur.
 Gejala pasca infeksi
o Rabies buas: galak, agresif, menggigit barang, hipersaliva, meraung-raung, paralisa,
sampai bisa mati
o Rabies jinak: paralisa total/local, fotofobia, konvulsi, susah napas, galak
o Biasa gejala muncul dalam waktu 30-50 hari setelah infeksi
o Masa inkubasinya 10-14 hari pada anjing, manusia 9 bulan
o Stadiumnya:
 Prodromal: demam, anoreksia, pusing, mual
 Sensoris: nyeri luka gigit, panas, bingung, hipersaliva, dilatasi pupil,
hyperhidrosis, hiperlakrimasi
 Eksitasi: gelisah, mudah kaget, konvulsi, aerofobia, fotofobia, hidrofobia
 Paralitik: tanda lumpuh dari atas ke bawah progresif
o Tanda klinis pada hewan
 Perilaku menggigit, tidak nurut pada pemilik, galak, takut cahaya, takut air, takut
angina akan mati dalam waktu kurang dari 14 hari
o Gejala patologi
 Terdapat nigri bodies di sel purkinje cerebellum dan ada peri vaskularisasi
cuffing

 Diagnosa
o Diagnose rabies manusia dan hewan berdasar gejala klinis dan uji lanjut, yaitu:
 Histopatologi: ada nigri bodies
 Kultur virus dengan imunofluoresensi
 Serologi dengan uji netralisasi infeksi tikus (MNT) atau rapid fluorescent focus
inhibition test (RFFIT)
 Rapid virus antigen detection
 Uji antibody fluoresensi langsung
 Differential diagnosa
o Viral encephalitis, toxoplasmosis, feline infectious peritonitis, canine distemper,
neoplasia, trauma, paralysis laryngeal, pseudorabies, tetanus, intoksikasi obat
 Preventif
o Vaksinasi
 Syarat efektif: titer antibody tinggi, dilakukan massal, kekebalan bertahan lama,
jumlah populasi kebal lebih banyak daripada yang tidak kebal
 Jenisnya: vaksinasi massal, sweeping, darurat
 Butuh: data populasi, vaksin dan perlengkapan, sumber daya manusia terlatih,
regulasi atau aturan
 Akan terbentuk kekebalan kelompok
 Tatalaksana
o Suportif dan agresif agar tidak fatal dan menular
 Vaksin Rabies
 Imunoglobulin Rabies
 Antibodi Monoklonal
 Ribavirin dan Amantadine
 Interferon
 Ketamine
 Kunci keberhasilan melawan rabies
o Penetapan target hewan penular rabies
o Cakupan vaksinasi agar kekebalan kelompok target tinggi
o Semua anjing divaksinasi (diluar maupun didalam dan juga anak anjing yg umurnya > 2
minggu)
o Semua wilayah desa, kecamatan, kabupaten harus divaksin
o Verifikasi dengan survey pasca vaksin (harus >70% anjing diluar rumah diseluruh wilayah
tervaksin)
o Eliminasi target sesuai standar
o Sosialisasi sebelum vaksinasi melalui acara masyarakat, tokoh penting dimasyarakat
o Pengawan lalu lintas saat membawa hewan penular rabies:
 Yang menertibkan harus punya sertifikat veteriner dari otoritas veteriner
provinsi
 Sesuai prinsip lalu lintas yaitu dari daerah bebas ke bebas diperbolehkan,
daerah bebas ke endemis diperbolehkan, daerah tertular ke babas dilarang, dan
daerah tertular ke tertular bebas bersyarat
 Lalukan vaksin sebelum regulasi lalulintas dan dites dilaboratorium minimal 3
minggu setelah vaksin (hasil harus >/= 0,5 IU)
o Kontrol populasi
 Manajemen sampah agar tidak menjadi sumber makanan anjing liar
 Mendata hewan penyebar rabies berpemilik
 Eliminasi tertarget sesuai prosedur
o Penyampaian informasi semua kasus gigitan dan HPR ke dokter hewan kabupaten
o Investigasi cepat hewan yang menggigit
o Pastikan kasus gigitan pada manusia dapat treatmen secepatnya di pusat rabies
o Uji lab untuk hewan suspek dengan uji tepat (FAT) agar cepat diagnosanya
o Pemakaian vaksin anti rabies yg efektif
o Konfirmasi situasi rabies atas kasus gigitan
Sindroma Disentri dr.fathi
 Sindroma disentri : diare dengan lendir dan darah yang disertai dengan Demam, Tenesmus,
Abdominal Cramp → Bloody stool diarrhea
 Etiologi : Entamoeba, paling sering Shigella ( Tipe A : shigella disentri, Tipe B : shigella flexnery,
Tipe C : shigella boydii, Tipe D : shigella sonney)
 Disentri Basiler
-Bersifat serotipe spesifik, menginvasi sel epitel intestinal, ringan-berat
-Tanda klinis : diare lendir dan berdarah, kram perut dan tenesmus
-Cara infeksi : feca-oral, tahan pada ph rendah (barrier asam lambung), penularan → air,
makanan, lalat yang tercemar
-Kelainan klinis : Basil kuman tidak ditemukan di rongga usus dan tidak merusak selaput lendir,
toksin kuman → kerusakan selaput lendir hampir diseluruh usus besar, terberat di sigmoid
-Gejala klinis : Gejala khas mendadak, defekasi sedikit-sedikit dan terus menerus, sakit perut
dengan rasa kolik dan mejan, muntah dan sakit kepala, tinja berlendir dan kemerahan (red
currant jelly)
Mikroskopis : sel-sel pus, sel-sel leukosit, eritrosit, makrofag besar,
-Pengobatan : istirahat dan cegah dehidrasi, antibiotik, cairan dan elektrolit, diet
Antibiotik → ampisilin 4x500mg selama 5 hari, cortrimoksasol 2x690mg, amoksisilin tidak
efektif, siprofloksasin 2x500mg 3 hari, azitromisin 1gr dosis tunggal, sefixim 400mg/hari selama
5 hari
Obat anti diare tidak di anjurkan untuk disentri
 Disentri Amubiasis
-Penyakit usus besar yang disebabkan entamoeba histolitica
-Epidemiologi : ditularkan secara feca-oral, sumber penularan tinja yang mengandung kista
amuba dari carrier (cystapasser)

-Manifestasi klinis:
Ringan : onset perlahan, perut kembung, nyeri perut, diare ringan (4-5x), tinja berbau busuk,
kadang bercampur lendir dan darah, nyeri tekan daerah sigmoid
Sedang : gejala lebih berat dari yang ringan tetapi masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari,
tinja di sertai lendir dan darah, perut kram, demam, hepatomegali dengan nyeri ringan
Berat : gejala klinis berat, diare dengan darah banyak, >15x/hari, demam tinggi (40-40,5), mual
dan anemia
Kronik : gejala sama dengan ringan , berbulan-bulan atau tahun, neurastemia, kambuh bisa
lelah, demam dan makan susah di cerna
-Pemeriksaan penunjang : makroskopi tinja, mikroskopi tinja, diare (-) : kista bulat berkilau
seperti mutiara dengan badan kromatid berbentuk batang, diare (+) : trofozoit bergerak aktif
seperti keong (tinja berlendir dan bedarah)
-Diagnosis : pasti di temukan trofozit pada tinja
-Pengobatan :
amubiasis asimtomatik : diloksanit furoat 3x500mg selama 10 hari, diyodohidroksikin 3x600mg
selama 10 hari, yodoklorohidrosikin atau kliokinol 3x250mg selama 10 hari, karbarson 3x500mg
selama 7 hari, bistmuth glycoarsanilate 3x500mg selama 7 hari, kloroquin difosfat 2x500mg
selama 1-2hari dilanjutkan2x250mg selama 7-12 hari, metronidazole 3x500mg selama 5 hari
ringan-sedang : metronidazole 3x750mg selama 5-10hari, ditambah tetrasiklin 4x500mg selama
5 hari
berat : obat amubisid ditambah, terapi suportif → cairang elektrolit dan tranfusi darah, emetin
( 1mg/kgbb/hari maks 60mg/hr) atau dihidroemetin (11,5mg/kgbb/hr maks 90mg/hr) selama 3-
5 hari subkutan atau IM

Anti Helmintik dr lestari


 Syarat : dapat menembus kulit luar cacing & mencapai saluran cerna cacing
 Benzimidazole : Thiabendazole, mebendazole, albendazole
Mekanisme kerja :
1. Merubah biokimiawi nematoda :

- menghambat fumarate reduktase di mitokondria

- mengurangi transport glukosa

- menghambat fosforilasi oksidatif

2. Menghambat polimerisasi mikrotubule dengan berikatan pada β-tubulin

 Thiabendazole
-Absorbsi cepat, konsentrasi puncak 1 jam, metabolisme dihati, ekskresi : 5-
hydroxythiabendazole urin 24 jam
-Mekanisme kerja : menghambat fumarate reduktase → agregasi mikrotubulus, skabisid, anti
jamur, anti piretik
-Penggunaan terapi : Strongyloides stercoralis, Trichinosis, Nematoda gastrointestinal
tidak boleh pemberian jangka lama (toksik)
 Mebendazole
-Absorbsi p.o jelek (10%) → tidak aktif, terikat protein, konsentrasi dalam darah rendah,
bioavabilitas rendah (25%), klirens 2 metabolit utama rendah : methyl-5-(-hydroxybenzyl)-2-
benzimidazole carbamate & 2-amino-5aminobenzoylbenzimidazole
-Mekanisme kerja : menghalangi sintesa mikrotubulus → menghentikan ambilan glukosa
iireversibel →parasit lumpuh dan mati perlahan
-penggunaan terapi : sangat efektif untuk nematoda GI, enterobiasis, ascaris, trichuriasis, cacing
tambang
-Kontradiksi : ibu hamil, anak < 2thn, gangguan fungsi hati, penggunaan dengan carbamazepine
penurunan efektivitas, cemitidine
 Albendazole
-Spektrum luas, absorbsi p.o tidak teratur
-Mekanisme kerja : menghambat sintesa mikrotubulus dalam nematoda → me↓uptake glukosa
irreversibel → cacing lumpuh→ mati.
-Kontradiksi : ibu hamil, anak < 2 thn, penderita sirosis, pemakaian jangka panjang
 Diethylcarbamazine
-Absorbsi p.o cepat, metabolisme cepat
-Mekanisme kerja : Melumpuhkan mikrofilaria → dipindahkan dari jaringan
Mengubah struktur kulit luar →mudah dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh manusia
-Penggunaan klinis :Diminum sesudah makan, cegah/ obati infeksi filaria akibat W.bancrofti, B.
malayi, B. timori dan loa-loa
Dosis 2 mg/kg/hari, 3 X sehari, 21 hari
-Penggunaan harus dihindari apabila tersedia Ivermectin → reaksi okuler dan sistemik yang
keras
-Pada pasien onchocerciasis : Reaksi Mazzotti
gejala : sangat gatal, skin rash, pembesaran kgb, rash papular halus, demam, takikardi, atralgia,
sakit kepala,penglihatan rusak) selama 3-7 hari
 Ivermectin
-Eksresi melalui feses, 93% terikat protein plasma, matabolit : 10 (derivat hydroxylated dan
demethylated)
-Mekanisme kerja : Meningkatkan transmisi sinyal yang diperantarai GABA dalam saraf perifer
→ melumpuhkan nematoda
Pada Onchocerciasis :
- sbg mikrofilarisid
- mempengaruhi embriogenesis
-Penggunaan terapi : Onchocerciasis, Filariasis Bancroftian, Infeksi B. Malayi
Strongyloidiasis, ascariasis, trichuriasis, enterobiasis →dosis tunggal 150-200 mg/kg
Cutaneous larva migrans
kausa hookworm anjing & kucing; kutu kepala manusia, scabies
- dosis tunggal 150-200 mg/kg
-Kontradiksi : anak < 5 tahun, ibu hamil dan menyusui, hindari bersama pemakaian
benzodiasepin, barbiturat, valproic acid
 Piperazine
-Efektif : A. lumbricoides(90%) & E.vermicularis
-Kontradiksi : tidak diberikan bersama fenotiazin, waspada pada malnutrisi dan anemia
 Praziquantel
-Bioavailabilitas 80%, metabolisme lintas pertama: hydroxylated & conjugated inaktif
80% terikat protein plasma
-Mekanisme kerja : meningkatkan permeabilitas membran sel parasit terhadap kalsium,
sehingga terjadi vakuolisasi, kontraksi kuat, paralisis, dan kematian
-Penggunaan terapi : harus disimpan suhu < 30°C; ditelan dengan air, jangan dikunyah: pahit.
Drug of choice: schistomiasis
dosis tunggal 40 mg/kg, atau 3 x 20 mg/kg tiap 4-6 jam, hasil 70%-95% (>85% untuk
telur cacing)
S. mansoni & S. japonicum: resisten
H. nana , DOC :25 mg/kg
D.latum, T.saginata, T.solium :10-20 mg/kg
Clonorchiasis & Opisthorchiasis : 25mg/kg, 3x/hari
-Kontradiksi : Cysticercosis okular → kerusakan mata ireversibel
Hindari mengemudikan kendaraan, menjalankan mesin, dsb.
 Pyrantel Pamoat (COMBATRIN)
-broad spectrum, Absorpsi jelek, < 15% diekskresi di urin bentuk tetap atau metabolit, sebagian
besar di feses
-Dosis : Ascariasis, enterobiasis (p.o. dosis tunggal 11 mg/kg, maks 1 g)
T. trichiura : tidak efektif →pyrantel + oxantel
Pinworm perlu dosis ulangan interval 2 minggu
-Kontradiksi : tidak boleh dipakai pada ibu hamil & anak < 2 tahun, tidak boleh diminum +
piperazine karena antagonistik mutual

Anti Amuba dr. lestari


 Amebiasis : Infeksi oleh parasit protozoa Entamoeba
Spesies :
1. Entamoeba dispar
- colon
- komensal stabil
- virulen
- karier asimtomatik
2. Entamoeba histolytica
- virulensi bervariasi
- infeksi intestinal ringan – sedang
- infeksi intestinal berat (dysentery)
- asimtomatik
- ameboma
- abses hepar
- infeksi ekstraintestinal
 Amebicid jaringan
1. NITROIMIDAZOLES
- Metronidazole
- Tinidazole
- Ornidazole
2. EMETINES
- Emetine
- Dihydroemetine
3. CHLOROQUINE
 Amebicid luminal
1. DICHLOROACETAMIDES
- Diloxanide furoate
- Clefamide
- Teclozan
- Etofamide
2. HALOGENATED HYDROXYQUINOLINES
- Iodoquinol (Diiodohydroxyquin)
- Clioquinolin (Iodochlorhydroxyquin)
3. ANTIBIOTIK
- Tetracyclines
- Paromomycin
- Erytromycin
 Metronidazole
-Aktivitas ANTIBAKTERIAL cocci anaerob
-Dosis 3 x 750 mg selama 5 – 10 hari, anak 35-50 mg/kg dibagi 3 dosis selama 10 hari
-Mekanisme kerja : Gugus nitro dari metronidazole secara kimiawi tereduksi dalam bakteri
anaerobik dan protozoa yang sensitif
-Penggunaan klinis : Amoebiasis harus ditambah amubisida luminal untuk Tx parasit luminal,
Giardiasis dosis<<< amoebiasis, Trikomoniasis dosis 2 g
 Emitine&Dehydroemetine
-Derivat alkaloid ipecac, efektif terhadap tropozoit jaringan, toksisitas besar : diganti
metronidazole, dehidroemetin < toksik daripada emetin, efek Farmakologi :terakumulasi di
jaringan → ekskresi lambat di ginjal, di berikan secara parenteral
-Dosis : 1 mg/kg/hari SC atau IM selama 3 – 5 hari maks90 mg (DE) atau 65 mg (E)
 Chloroquine
-Untuk sistemik/ hepatik amebiasis o.k. konsentrasi di hepar sangat tinggi, tidak efektif untuk
intestinal amebiasis, sangat efektif mencegah/ mengobati abses hepar bila + dehydroemetine
(emetine)
-Dosis : Dosis dewasa 1 g/ hari selama 2 hari, diikuti 500 mg/ hari selama 2-3 minggu
 Diloxanide Furoate
-Derivat dichloroacetamide
-Farmakokinetik :
Di usus dipecah : diloxanide + furoic acid
90% diloxanide diabsorbsi cepat  dikonjugasi  glucoronide
Diloxanide yang tidak diabsorbsi : aktif antiamebik
-Dosis : Dosis 3 x 650 mg selama 21 hari
-Kontradiksi : Pasien yang sensitif thd iodine, hati-hati pada px neuropati optik, penyakit ginjal,
penyakit tiroid, sebaiknya dikonsumsi dengan makanan → mengurangi efek toksik
 Paromomycin
-Broadspektrum, antibiotik aminoglikosida, efektif terhadap amebisida lumen usus, tidak
berefek pada infeksi amuba ekstraintestinal, hampir 100% tidak diabsorbsi, ekskresi : ginjal,
lambat, dalam bentuk tetap melaui filtrasi glomerulus
-Dosis 25-35 mg/kg PO dibagi 3 dosis sesudah makan selama 7 hari, maks 3 g
-Hati-hati :
- Px gangguan fungsi ginjal
- Px ulserasi GI

Anti Fungi dr. Lestari


Mycosis Sistemik : jaringan dan organ dalam

Mycosis Superfisial : kulit, kuku, kulit kepala, membran mukosa

1. Dermatomycosis

- oleh dermatophyt
- scalp : tinea capitis
- kaki : tinea pedis
- badan : tinea corporis
2. Candidiasis

- Membran mukosa mulut, vagina, kulit

Obat yg digunakan :

1. Amphotericin
Mekanisme kerja : terikat pd membrane sel, mempengaruhi permeabilitas & fungsi transport
Terikat kuat pd membrane fungi dan bbrp protozoa (ergosterol) & kurang terikat pd sel mamalia
& bakteri (kolestrol)
Aktif pd semua fungi & yeast
F. kinetika & dinamika :
oral : absorpsi minimal →mycosis di giti.v. → lambat, mycosis sistemik
topikal
 terikat kuat pd protein
 terdapat dengan konsentrasi tinggi di eksudat inflamasi
 sedikit menembus bbb
Efek samping :
1. toksisitas pd ginjal
- pd 80% px
- reversibel jk obat stop
- tersisa bbrp gangguan filtrasi glomerulus
2. hipokalemia : pd 25 % px →perlu suplemen k
3. anemia
4. gangguan fungsi hepar
5. trombositopenia
6. rx. anafilaksis
Injeksi IV :
o demam, tinitus, headache, muntah
o iritasi endotel vena
o tromboflebitis lokal
o injeksi intrathecal : neurotoksisitas
o topikal : rash
2. Nystatin
struktur & mekanisme = amphotericin
pemakaian terbatas pd mycosis di kulit dan GIT

3. Griseofulvin (banyak dipake)


anti fungi spektrum sempit
isolasi dari kultur penicillium griseofulvum
mekanisme kerja :
1. interaksi dengan mikrotubulus :
- pengaruhi pembentukan spindel dlm pembelahan sel dan mitosis
- mempengaruhi transport material via sitoplasma ke perifer →hambat sintesa dinding sel
2. . terikat pd rna →menghambat sintesa asam nukleat
F. Kinetika :
• secara oral
• sedikit larut air
• absorpsi : variasi, tgt tipe dan ukuran partikel
• kons puncak plasma : 5 jam
• t ½ : 24 jam
doc (drug of choice): mycosis kulit yang luas dan intractable
Efek samping :
• jarang
• gangguan git
• headache
• fotosensitivitas
• alergi : rash, demam

4. Flucytosin : snit fungi sintesis


• aktivitas terbatas pd mycosis sistemik
• efektif pd yeast
mekanisme kerja :

 konversi ke 5-fluorouracil → menghambat sintesa thymidylat→ hambat sintesa dna


• spesifik utk sel fungi drpd sel mamalia (tdk punya enzim utk mengubah mjd 5-fluorouracil
• bbrp yeast resisten
F. kinetika :
• secara oral
• absorpsi cepat dan lengkap
• distribusi : luas via cairan tubuh
• ekskresi : urine
• t ½ : 3-5 jam
• 20 % terikat protein : dpt di hemodialisa
• dosis dikurangi jk ada gangguan fungsi ginjal
Efek samping :
• Jarang
• ditoleransi baik pd dosis tinggi & wkt lama
• efek toksik akibat metabolit 5-fluorouracil
- ringan , stop jk obat stop
- gangguan git
- anemia, neutropeni, trombositopeni
- alopesia

1. Azoles
Mekanisme kerja :
interaksi enzim yg mengubah lanosterol mjd ergosterol (sterol utama membran sel fungi)
→ergosterol ↓→ mempengaruhi fluiditas membran→mempengaruhi aktivitas membran thd
enzim → hambat replikasi → hambat transformasi sel candida yeast mjd hyphae (invasif &
pathogenic)
2. Ketoconazole
 secara oral
 mycosis sistemik
 efektif thd bbrp tipe fungi
 sering terjadi relap dan toksik setelah tx berhasil
 absorpsi di git, tu pd ph <
 distribusi luas via jaringan dan cairan
 tdk dpt mencapai konsentrasi terapi di cns→dosis tinggi
 metabolisme : hepar
 ekskresi : empedu & urine
 t ½ : 8 jam
Efek samping :

toksisitas liver→kadang fatal


kerusakan hepar :tanpa gx klinik, berkurang jk obat stop
gangguan GIT
pruritus
hambatan steroid adrenokortikal
tjd sintesa testosteron
dosis tinggi : ginekomastia : px laki
Interaksi obat :
• cyclosporin, terfenadin, astemizole
- mempengaruhi enzim metabolisme →me ↑konsentrasi azole dlm plasma
• rifampisin, h2 reseptor , antasida antagonis → menurunkan absorpsi azole →
meningkatkan konsentrasi plasma
3. Miconazole
 secara infus i.v :infeksi sistemik
 oral : infeksi di GIT
 topikal
 t ½ plasma : pendek, diberikan tiap 8 jam
 konsentrasi terapi : tulang, sendi, dan jaringan paru (tdk cns)
 mycosis di cns : intrathecal
 metabolisme : hepar
Efek samping :
• jarang
• gangguan GIT
• pruritus
• discrasia darah
• hiponatremia
injeksi :
• rx anafilaksis
• disritmia
• demam
4. Fluconazole
 oral & iv
 konsentrasi tinggi pd cairan cns dan okular →doc utk semua meningitisakibat fungi
 jaringan vagina, saliva, kuku
 t ½ : 25 jam
 ekskresi : urine
Efek samping :
• ringan : nausea, headache, nyeri abdomen
• jarang : steven johnson syndrome (tu px. aids yg di tx. multipel obat)
• hepatitis : jarang
5. Terbinafine
• fungicidal untuk semua kelainan kulit
• mekanisme :
menghambat enzim squalene epoxidase →squalene tdk dpt menjadi ergosterol
akumulasi squalene →toksik bg organisme
• tx : mycosis di kuku
f.kinetika :

- oral
absorpsi cepat oleh kulit & jaringan adipose

ANTI MALARIA dr LESTARI


 MALARIA (etio: plasmodium sp, vekt: anopheles)
FASE SEKSUAL : DLM NYAMUK ANOPHELES ♀
FASE ASEKSUAL: PADA MANUSIA
SIKLUS NYAMUK

NYAMUK ANOPHELES ♀ YG TELAH TERINFEKSI PARASIT (SPOROZOIT) → GIGIT MANUSIA →SPOROZOIT


(SEDIKIT) TERINJEKSI KE TUBUH MANUSIA → CAPAI ALIRAN DARAH →DLM 30 MENIT MENGHILANG
DARI DARAH → MASUK SEL PARENKIM HEPAR ( SELAMA 10-14 HARI) → FASE PRE ERYTHROCYTIC-
BERKEMBANG & MULTIPLIKASI (= MEROZOIT) → SEL HEPAR RUPTUR → RILIS MEROZOIT → TERIKAT
DAN MASUK ERITROSIT ( = TROPOZOIT, MOTILE INTRACELLULAR PARASIT) →BERKEMBANG &
MULTIPLIKASI →FASE ERYTHROCYTIC

DALAM ERITROSIT :

PARASIT MENGUBAH BENTUK SEL HOST, INSERSI PROTEIN & FOSFOLIPID PARASIT KE DALAM MEMBRAN
SEL ERITROSIT → HEMOGLOBIN HOST DICERNA & DITRANSPORT KE VAKUOLA MAKANAN PARASIT SBG
SUMBER ASAM AMINO → PENUMPUKAN PIGMEN MALARIA( = HAEMOZOIN) DLM ERITROSIT-SETELAH
REPLIKASI DGN CARA MITOSIS DARI NUKLEUS, PARASIT DLM ERITROSIT = SCHIZONT, YG TUMBUH CEPAT
& MEMBELAH = SCHIZOGONI → MULTIPLIKASI = MEROZOIT → DIRILIS JK ERITROSIT RUPTUR → TERIKAT
& MASUK ERITROSIT BARU → FASE ERYTHROSYTIC LAGI

RELAPS MALARIA

- TERJADI JIKA PUNYA FASE EXO ERITROSITIC

- KARENA HYPNOZOIT DAPAT DIREAKTIVASI DLM INTERVAL MINGGU, ATAU BULAN UTK MULAI
INFEKSI LAGI

PLASMODIUM FALCIPARUM

 MALARIA TERTIANA MALIGNA

 SIKLUS ERITROSITIK PD MANUSIA : 48 JAM

 PANAS TIAP HARI KETIGA

 TDK ADA FASE EXO ERITROSITIK

→ ERADIKASI FASE ERITROSITIK TDK TERJADI RELAPS

PLASMODIUM VIVAX

 MALARIA TERTIANA BENIGNA

 SIKLUS ERITROSITIK PD MANUSIA : 48 JAM

 TIPE MALARIA YANG RINGAN DANJARANGBERAKIBAT FATAL

PLASMODIUM OVALE

 PENYEBAB MALARIA YANG JARANG

 SIKLUS ERITROSITIK PD MANUSIA : 48 JAM

PLASMODIUM MALARIAE

• PENYEBAB MALARIA QUARTANA

• SIKLUS ERITROSITIK 72 JAM

• TIDAK ADA SIKLUS EXO ERITROSITIK

KLASIFIKASI :

1. Tissue schizonticides = eliminasi parasit di liver, dalam fase berkembang atau dormant

2. blood schizonticides = Bekerja terhadap parasit dalam eritrosit

3. gametocides = Membasmi fase seksual & mencegah transmisi ke nyamuk lagi


4. radical cure = Eliminasi parasit di hepar dan eritrosit

5. causal prophylactic drugs = Mencegah infeksi pada eritrosit

Obat anti malaria pd serangan akut Fase eritrosit KUININ, MEFLOKUIN, KLOROKUIN, PHENANTHREN,
HALOFANTRIN, SULFON, PYRIMETHAMIN, ANTIBIOTIK : DOKSISIKLIN, TETRASIKLIN, QUINHAOSU :
ARTEMETHER

OBAT UNTUK KEMOPROFILAKSIS

• MENCEGAH SERANGAN PADA DAERAH MALARIA DGN CARA MEMBUNUH SPOROZOIT PD


JALAN MASUK KE TUBUH

• DAPAT MENCEGAH SERANGAN DENGAN MEMBUNUH MEROZOIT YG KELUAR DARIHEPAR

• OBAT : KLOROKUIN, MEFLOKUIN, PROGUANIL, PYRIMETHAMIN, DAPSON, DOKSISIKLIN

OBAT YANG MENYEMBUHKAN SECARA RADIKAL, dengan cara

• BEKERJA PADA PARASIT DI HEPAR (TISSUE SCHIZONTICIDAL)

• 8-AMINOQUINOLINES : PRIMAKUIN

OBAT BEKERJA PADA GAMETOSIT DAN MENCEGAH TRANSMISI OLEH NYAMUK PRIMAKUIN,
PROGUANIL, PYRIMETHAMIN

KLOROKUIN

• BLOOD SCHIZONTICIDE(FASE ERITROSITIK) YANG POTEN PADA 4 PLASMODIUM

• TDK BEREFEK THD SPOROZOIT, HYPNOZOIT, GAMETOSIT

Mekanisme kerja :

 MENGHAMBAT PENCERNAAN HB OLEH PARASIT

 MENGURANGI SUPLAI AS.AMINO KE PARASIT

 FRAGMENTASI RNA PARASIT

 TERIKAT PD HAEMAZOIN → TOXIC BAGI PARASIT

 AMAN BAGI BUMIL

 ES : PD DOSIS BESAR → GANGGUAN GIT , DIZZINESS, URTIKARIA, GANGGUAN PENGLIHATAN

 SECARA I.V : HIPOTENSI , DYSRITHMIA

KUININ

 BLOOD SCHIZONTICIDE

- EFEKTIF PD FASE ERITROSITIK 4 PLASMODIUM


- TDK BEREFEK THD FASE EXO ERITROSITIK DANGAMETOSIT P.FALCIPARUM

 MEKANISME = KLOROKUIN

 DOC KE 2 SETELAH KLOROKUIN

MEFLOQUINE

• BLOOD SCHIZONTIZIDAL

• PADA P.FALCIPARUM & P. VIVAX

• TDK EFEK PD HYPNOZOIT

• MEMPENGARUHI TRANSPORT HB HOST MASUK KE VAKUOLA MAKANAN PARASIT

• TERIKAT PD HAEMOZOIN

• SECARA ORAL, ABSORPSI CEPAT

• OOA : LAMBAT

• T ½ 30 HARI

PROGUANYL

• ANTAGONIS FOLAT

• BLOOD SCHIZONTICIDE YG LAMBAT DENGAN

• BBRP AKTIVITAS PD BENTUK PRIMER DI HEPAR DARI P.VIVAX

• T ½ 16 JAM

HALOFANTRINE

• BLOOD SCHIZONTIZIDAL

• AKTIF PADA SEMUA SPESIES PARASIT MALARIA TERMASUK P.FALCIPARUM YANG


MULTIRESISTEN THD KLOROKUIN, PYRIMETHAMIN DAN KUININ

• EFEKTIF PD FASE ERITROSITIK P.VIVAX

• TDK ADA EFEK PD HYPNOZOIT

• SECARA ORAL, ABSORPSI ↑ DG FATTY MEAL

• T ½ : OBAT ASAL : 1-2 HARI

METABOLIT AKTIF : 3 -5 HARI

PRIMAQUINE

• AKTIF PADA HYPNOZOIT DR P. VIVAX & OVALE


GAMETOSIT DAN CEGAH TRANSMISI PD 4 PLASMODIUM

• TDK EFEK PD SPOROZOIT

• MOA : PENGARUHI MITOKONDRIA HYPNOZOIT

• ORAL, ABSORPSI BAIK

• T ½ 3 - 6 JAM

ARTEMISININ ( QINGHAOSU)

• LARUT AIR

• BLOOD SCHIZONTIZIDAL CEPAT

• EFEKTIF PADA SERANGAN AKUT PD MALARIA AKIBAT P. VIVAX DAN P. FALCIPARUM (TERMASUK
MALARIA SEREBRAL DAN YANG RESISTEN

PYRIMETHAMINE

• ANTAGONIS FOLAT

• BLOOD SCHIZONTICIDE YG LAMBAT

• SECARA ORAL

• T ½ 4 HARI

COCCIDIA – Dr WESTY

PROTOZOA

SARCOMASTIGOPHORA CILIOPHORA APICOMPLEXA MICROSPORA

SARCODINA MASTIGOPHORA

AMOEBA FLAGELATA CILIATA


 Phylum : Apicomplexa
Class/kelas : Sporozoa
Sub class : Coccidia
Spesies di intestinal : Cystospora belli, Sarcocystis, Cryptosporidium, Cyclospora
Spesies di Jaringan : Toxoplasma gondii

 COCCIDIA
Coccidia awalnya non pathogen (1907) lalu menjadi oportunistik pathogen (1976) 
human pathogen (1982)  parasit protozoa yang mengalami reproduksi seksual dan aseksual
dalam tubuh manusia/ host.
Hidup secara intracellular, pada siklus hidupnya didapatkan stadium yang memiliki struktur
apical complex, yang berfungsi untuk melekatkan diri pada sel host.
Berkaitan erat dengan orang HIV.

 Taksonomi
4 genus yang hidup dalam host tunggal Cyclospora, Eimeria, Cystoisospora, Cryptosporidium
(Cyclospora cayetanensis &Cystoisospora belli hanya menginfeksi manusia saja).
Genus lain dari coccidia  siklus hidupnya butuh intermediate hosts.
Zoonotic coccidia  Toxoplasma, Sarcocystis, and Cryptosporidium.

 CYCLOSPORA CAYETANENSIS
- MENGINFEKSI USUS HALUS, bukan penyakit zoonotik
- Merupakan patogen pada manusia yang baru dikenal dan telah menyebabkan banyak
wabah yang ditularkan melalui makanan dan air
- Terdapat beberapa spesias Cyclospora yang dapat menginfeksi hewan maupun manusia,
contoh C. macacae menginfeksi monyet macaca mulata
- Manusia merupakan satu – satunya host definitive dari C. cayetanensis.
- Ukurannya lebih kecil dari ookista C. belli, dan ookista / sporokista S. hominis dan S.
suihominis, tetapi berukuran dua kali lipat ookista Cryptosporidium parvum (jadi
cryptosporidium terkecil baru diikuti Cyclospora)
- Ookista unsporulated(imatur)  berbentuk bulat dengan diameter antara 7,5 dan 10 µm
dengan dinding tebal dengan lapisan fibrillar luar
- Ookista bersporulasi(matur)  isi dua sporokista, masing-masing berisi 2 sporozoit
berbentuk pisang.
-

 TRANSMISI
- Ookista yang sporulatedbersifat infektif (stadium infektif)  dapat ditularkan ke host
lainnya.
- Transmisi indirek jika ookista yang dikeluarkan olehhost DI FESES dalam bentuk
unsprorulated memerlukan beberapa saat di lingkungan untuk berubah menjadi stadium
yang infektif/ sporulated ookista
- Terjadinya KLB akibat protozoa ini dikaitkan dengan kontaminasi air dan makanan segar

 SIGN SYMPTOMS
- Masa inkubasi rata-rata 1 minggu dengan penyakit yang berlangsung hingga 6 minggu;
- Manifestasi bervariasi bergantung pada usia dan kondisi inang dan dosis pathogen yang
menginisiasi infeksi. (kalo makin banyak parasite manifes makin berat)
- Protozoa dapat menginfeksi usus kecil  menyebabkan diare berair, kehilangan nafsu
makan, penurunan berat badan, perut kembung dan kram, peningkatan gas, mual,
kelelahan, muntah dan demam ringan (CDC).
- Infeksi yang tidak diobati biasanya berlangsung selama 10-12 minggu dan dapat diikuti
gejala relaps - remitten. (diare hilang timbul)
- Durasi gejala dan penurunan berat badan lebih banyak terjadi pada orang dengan HIV atau
kemungkinan kondisi imunosupresif lainnya.
- Infeksi bisa asimtomatik di daerah endemis.
 KRITERIA DIAGNOSIS
- Kriteria diagnosis siklosporosis (CDC) pada orang yang bergejala atau tanpa gejala
berdasarkan:
- Deteksi ookista dalam tinja dengan pemeriksaan mikroskopis atau
- Deteksi ookista dalam cairan usus / spesimen biopsi usus halus, atau
- Demonstrasi sporulasi ookista, atau
- Amplifikasi DNA C. cayetanensis dengan PCR dalam sampel feses, aspirasi duodenum /
jejunal / biopsi usus halus

Klasifikasi kasus

Confirmed
Confirmed symptomatic
asymptomatic:
kasus dengan adanya
kasus tanpa adanya
gejala dan didukung
gejala tetapi hasil
hasil laboratorium positif
laboratorium positif
-

 METODE DIAGNOSIS
- STANDARD: MIKROSKOPIS
- Satu spesimen tinja negatif tidak mengesampingkan diagnosis; tiga atau lebih spesimen
dengan interval 2 atau 3 hari mungkin diperlukan.
- Prosedur konsentrasi digunakan untuk memaksimalkan penemuan ookista.
- Metode yang paling familiar  teknik sedimentasi formalin-etil asetat (sentrifuse selama 10
menit pada 500 × g).
- Metode lain juga dapat digunakan (seperti prosedur flotasi Sheather).
- Pemeriksaan sampel wet mount  mikroskop cahaya konvensional, mikroskop fluoresensi
UV atau kontras interferensi diferensial [DIC, Nomarsky]
- Pemeriksaan dengan pengecatan khusus  tahan asam yang dimodifikasi atau safranin
yang dimodifikasi kista Cyclospora berwarna merah muda -merah cerah.
- Pemeriksaan molecular  deteksi Cyclospora  sensitivitas tinggi
 TREATMENT
- Trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX), atau Bactrim, Septra, atau Cotrim ,  doc
- Dosis orang dewasa yang imunokompeten  TMP 160 mg plus SMX 800 mg, per oral, dua
kali sehari, selama 7-10 hari.
- Pasien yang terinfeksi HIV membutuhkan terapi lebih lama dengan rejimen sama
- Belum ada alternatif yang sangat efektif untuk orang yang alergi terhadap (atau tidak
toleran) TMP-SMX.
- TMP-SMX umumnya harus dihindari oleh wanita saat menyusui bayi yang prematur, ikterus,
sakit, disstres, dan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase.
- Trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX) termasuk dalam kategori kehamilan C. TMP-
SMX harus dihindari dalam saat mendekati usia aterm kehamilan karena potensi
hiperbilirubinemia dan kernikteruspada bayi baru lahir.
- Penggunaan pada anak-anak kurang dari 2 bulan umumnya tidak dianjurkan.
 PREVENTION
- Minum air kemasan atau air matang danmenghindari produk segar siap makan akan
membantu mengurangi risiko infeksi
- Simpan buah dan sayuran jauh dari daging mentah, unggas, dan makanan laut.
- Cuci tangan dengan sabun dan air hangat sebelum dan sesudah menyiapkan buah dan
sayuran. Cuci berbagai alat tadi dengan sabun dan air panas setelah digunakan dalam
penyiapan daging mentah, unggas, dan produk makanan laut

 CRYPTOSPORIDIUM PARVUM
- kriptosporidiosis  infeksi oleh Cryptosporidium, parasit obligat intraseluler yang hidup di
usus kecil. Parasit ini juga dapat ditemukan di lambung, usus buntu, usus besar, rektum, dan
percabangan bronkus.
- Ada banyak spesies Cryptosporidium yang menginfeksi hewan, tapi cuma beberapa di
antaranya juga menginfeksi manusia.
- Parasit memiliki outer shell  bertahan hidup di luar tubuh untuk jangka waktu yang lama
dan membuatnya sangat toleran terhadap desinfeksi klorin (kolam renang klorin dia tahan)
- Ookista dapat bertahan selama 2 hingga 6 bulan di lingkungan yang lembab.

 EPIDEMIOLOGI
- Kriptosporidiosis ditemukan lebih umum pada anak-anak berusia kurang dari 24 bulan
karena mereka memiliki sistem kekebalan yang kurang berkembang dibandingkan dengan
orang dewasa.
- Lebih tinggi pada populasi pria dibandingkan dengan populasi wanita
- lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan terutama pada orang yang terpapar toilet
umum.
- Anak kecil dan wanita hamil  kelompok rentan mengalami dehidrasi jika terinfeksi
- Orang dengan sistem kekebalan yang sangat lemah berisiko terkena penyakit yang lebih
serius dan mengancam jiwa (pengidap HIV dan kanker)
 SPESIES DAN HOST
- Cryptosporidium dapat ditularkan dari hewan ke manusia, namun belum ada bukti
penularan dari hewan ke manusia (antropozoonotik)
- Cryptosporidium parvum(sebelumnya dikenal sebagai C. parvum genotipe II) dan C.
hominis(sebelumnya dikenal sebagai C. parvum genotipe I) adalah penyebab utama
kriptosporidiosis pada manusia.
- C. meleagridis, C. felis, C. canis, C. ubiquitum, C. cuniculus, C. viatorum, Genotipe tupai I,
genotipe munk Cryptosporidium, dan C. muris juga dapat menginfeksi manusia.
- Spesies Cryptosporidium parvum yang menginfeksi manusia biasanya dikaitkan kontak
dengan anak sapi

 TRANSMISI
- Menelan air rekreasi yang terkontaminasi Crypto. Toleransi tinggi Crypto terhadap klorin
memungkinkan parasit bertahan dalam waktu lama dalam air minum dan kolam renang
- Fecal oral
- Makan makanan setengah matang atau minum buah segar atau susu yang terkontaminasi
Crypto
- Menyentuh mulut Anda dengan tangan yang terkontaminasi.
- Paparan feses dari orang yang terinfeksi melalui kontak seksual oral-anal
- Crypto tidak menyebar melalui kontak dengan darah.
- Autoinfeksiterutama pada ookista dengan dinding tipis

-
- YANG KELUAR DI FESES: SPORULATED OOKISTA(DIRECT TRANSMISION), BISA AUTOINFEKSI
 MORFOLOGI
- Terdapat 2 macam ookista:
- Thick wall ookista keluar dari host dalam bentuk yang siap untuk ditularkan ke host
lainnya
- Thin wall ookista pecah didalam sal.cerna autoinfeksi
- Cryptosporidium spp. ookista berbentuk bulat dan berukuran diameter 4,2 sampai 5,4 µm.
- Satu ookista mengandung 4 sporozoitetanpa memiliki sporokista
- Sporozoit terkadang terlihat di dalam ookista, menandakan bahwa sporulasi telah terjadi.
 PATOGENESIS
- perkembangan parasit biasanya menempel pada sel epitel usus melalui reseptor gp900 dan
gp60
- Proliferasi dalam vakuola parasitoforus  reproduksi aseksual  penambahan parasit
dalam usus halus
- Inflamasi dan perubahan struktur vili usus atrofi gangguan absorbsi
 GEJALA KLINIS
- Masa inkubasi rata-rata 7 hari (kisaran: 2-10 hari). Gejala bisa asymptomatic atau
symptomatic
- Gejala-gejalanya diare encer, kram perut atau nyeri, dehidrasi, Mual, muntah, demam,
penurunan berat badan; berlangsung sekitar 1 hingga 2 minggu (beberapa hari - 4 minggu)
pada orang yang sehat. Gejala muncul dan hilang hingga 30 hari.
- Usus kecil adalah tempat yang paling sering terkena, pada orang yang mengalami
gangguan sistem kekebalan, infeksi Cryptosporidium  mempengaruhi area lain dari
saluran pencernaan atau saluran pernapasan.
- Orang dengan sistem kekebalan yang lemah  penyakit yang serius, kronis, dan terkadang
fatal.
 DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan Mikroskopis
o Pemeriksaan minimal 3 X sampel feses dengan selisih beberapa hari
o Spesimen tinja diperiksa secara mikroskopis
o Metode pewarnaan tahan asam, dengan atau tanpa konsentrasi tinja, paling sering
digunakan.
o Penggunaan mikroskop fluoresens meningkatkan sensitifitas &
spesifisitaspemeriksaan.
2. Immunoassay
o Antibodi fluoresen langsung [DFA],enzyme immunoassay/ EIA, dan uji
imunokromatografi cepat.
3. Metode molekuler
o Polymerase chain reaction - PCR)paling tinggi sensitifitas & spesifisitasnya 
metode tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi pada tingkat spesies.
 MANAJEMEN
- Prinsip terapi:
1) Mengatasi dehidrasi dengan rehidrasi cairan
2) Pemberian antiparasit yang menjadi doc pada crypto yaitu nitazoxanide
3) Terapi simptomatik lainnya.
- Tingkat kesembuhan klinis (resolusi diare) berkisar antara 72-88% lebih tinggi dari tingkat
kesembuhan parasitologis (tidak ada Cryptosporidium yang terdeteksi dalam tinja) berkisar
antara 60-75% orang yg asymptomatic setelah pemberian obat tetap dianjurkan tdk
berenang 2 minggu setelah gejala hilang
- Immunodefisiensi host  perbaikan sistem imun tanpa antiprotozoal  membaik klinisnya

-
 PENCEGAHAN
- Mencuci tangan sebelum makan atau menyentuh area mulut dan wajah
- Meminum air yang telah dimasak  mendidihkan air selama 1 menit  membunuh parasit
ini
- Metode filtrasi pada air minum. Reverse filter osmosis efektif untuk mencegah
kontaminasi Crypto. Filter lain juga dapat berfungsi jika memiliki ukuran pori absolut 1
mikron atau lebih kecil.
- Tidak kontak dengan feses dari hewan ternak dan hewan peliharaan
- Tidak menelan air kolam renang, danau, sungai dll
- Memasak makanan yang akan dikonsumsi
- Menghinduri kotak seksual oral - anal

 CYSTOISOSPORA
- Cystoisosporiasis (sebelumnya dikenal sebagai isosporiasis) adalah penyakit usus manusia
yang disebabkan oleh parasit coccidian Cystoisospora belli (sebelumnya dikenal sebagai
Isospora belli).
- Cystoisosporiasis menginfeksi sel epitel usus halus manusia yang bersifat parasit obligat
intraseluler.
- Distribusinya  dominasi di daerah tropis dan subtropik,
- Namun laporan di berbagai negara membuktikan bahwa ada kaitan erat dengan penyebab
diare pada pasien HIV – AIDS, meski juga mampu menginfeksi orang yang imunokompeten
 HOST, SPESIES dan TRANSMISI
- Manusia  satu-satunya inang untuk C. belli ( belum ada bukti kuat adanya hewan
reservoir).
- Namun terdapat spesies lain yang ada pada hewan seperti Cystoisospora suis (babi), C.
rivolta dan C. felis (kucing), C. canis dan C. ohioensis (anjing)  spesifisitas spesies hewan 
tidak bersifat zoonosis
- Transmisi parasit  menelan makanan atau air yang terkontaminasi yang mengandung
parasit matur (sporulated ookista)/ fecal oral
- Orang terinfeksi  ookista yang belum matang  membutuhkan 1 atau 2 hari di
lingkungan  matur & siap ditularkan ke host lainnya  tidak dapat terjadi penularan
secara langsung
 MORFOLOGI

- ookista memanjang / berbentuk bulat telur, berukuran 25–30 μm, dengan penyempitan
sedang di salah satu ujungnya memberikan ciri khas, penampilan “botol dengan leher
pendek”
- Ookista Immature/ unsprorulated ookista massa protoplasma yang membelah
membentuk sporoblast; dinding kista halus, tipis, tidak berwarna, dinding lapis ganda
- Sporulated ookista mengandung 2 sporokista dan masing-masing berisi 4 sporozoit
berbentuk cresent
 PATOGENESIS
- C. belli dapat menyebabkan atrofi vili yang nyata, dan hiperplasia kriptus di usus halus.
Infiltrat inflamasi di lamina propria meliputi eosinofil, neutrofil, limfosit, dan sel plasma.
- Mekanisme pasti yang menyebabkan perubahan ini tidak diketahui, tetapi dapat
menyebabkan steatorrhea dan malabsorpsi.
- Infeksi saluran empedu oleh I. belli juga mungkin terjadi. Parasit dapat menyelesaikan siklus
hidupnya di saluran empedu dan ookista dapat diamati di empedu.
 DIAGNOSIS
- Pemeriksaan Mikroskopis
- Standard diagnosis menemukan ookista parasit melalui pemeriksaan spesimen tinja
(feses) di bawah mikroskop.
- Dibutuhkan beberapa kali pemeriksaan dalam penegakan diagnosisnya.
- Metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan sensitivitas pemeriksaan  konsentrat
methode, tehnik flotasi dan pengecatan tahan asam yang dimodifikasi
- Sampel  feses dan sampel jaringan duodenum
 GEJALA KLINIS
- Gejala  diare, steatorrhea, sakit kepala, demam, malaise, sakit perut, muntah, dehidrasi,
dan penurunan berat badan, darah tidak ada dalam tinja. Penyakit bersifat kronis serta
kekambuhan sering terjadi.
- Pada pasien AIDS, atau host lain yang immunocompromised  infeksi parah dengan diare
berat yang menyebabkan dehidrasi. Dalam host yang kekebalannya terganggu, kekambuhan
umum terjadi.
- Infeksi isospora belli pada saluran empedu dapat terjadi pada pasien dengan penekanan
imun atau pada pasien yang kompeten imun.
- Infeksi juga dilaporkan terjadi di luar saluran pencernaan, misalnya menginfeksi area
genitourinary
 MANAJEMEN
- trimetoprim (160 mg) dan sulfametoksazol (800 mg)/ TMP-SMX diberikan per oral dua kali
sehari selama 7 -10 hari  DOC pada orang imunokompeten
- Pada pasien imunosupresi  TMP-SMX dapat diberikan 2 x dosis  4 x/ sehari selama 3 – 4
minggu
- Jika alergi TMP-SMX  alternatif  Pyrimethamine per oral 50-75 mg / hari terbagi dalam 1
x minum/dua kali minum, harus diberikan dengan asam folat/ leucovorin (5-10 mg/ hari, per
oral terbagi dalam 1 x minum atau 2 x minum) untuk mencegah depresi sumsum tulang.
- Second line alternatif  Ciprofloxacin 500 mg, per oral, 2 x sehari selama 7 hari 
efektivitas lebih rendah dari TMP-SMX
 PENCEGAHAN
- Menghindari makanan atau air yang mungkin terkontaminasitinja dapat membantu
mencegah infeksi.
- Membiasakan mencuci tangan dan kebersihan pribadi yang baik harus diikuti.
- Cuci tangan Anda dengan sabun dan air hangat setelah menggunakan toilet,mengganti
popok, dan sebelum memegang makanan.

 SARCOCYSTIS
- Sarcocystis Sp membutuhkan dua inang, definitif host dan host perantara, untuk
menyelesaikan siklus hidupnya.
- Sarcocystosis  istilah penyakit infeksi yang disebabkan Sarcocystis sp
- Distribusi  cosmopolitan terutama area tropis dan subtropis
- Host definitive semua karnivora dan omnivora (termasuk manusia)
- Host intermediate  semua hewan mamalia, burung, reptile dan ikan daging host
intermediate akan dimangsa/ dimakan oleh definitive host
- Manusia terinfeksi setelah konsumsi daging setengah matang, host definitive untuk tiga
spesies Sarcocystis : Sarcocystis hominis & S, heydorni, dari daging sapi, dan Sarcocystis
suihominis, dari daging babi.
- Manusia  host perantara Sarcocystis nesbitti (host definitifnya reptilian)& spesies yg
belum teridentifikasi lainnya; yang diperoleh dengan menelan sporokista dari makanan atau
air yang terkontaminasi tinja dan lingkungan;

 MORFOLOGI
- Bentuk oval transparan berukuran rata-rata 10 - 18 μm (S.hominis lebih besar dari
S.suihominis)
- Terdiri 2 sporokista besar, diisi dengan 4 sporozoit matang
- Dinding sel bening dan tidak berwarna berlapis ganda mengelilingi sporokista
-

 SIKLUS HIDUP
- Membutuhkan 2 host: host perantara & host intermediate
- Ookista keluar dari host definitive bersifat infekstif
- Manusia dapat berperan sebagai host intermediate dan host definitive
- Manusia  host definitive  makan daging yg mengandung sarcocyst yang mengandung
bradizoit seksual reproduksi  habitat usus halus
- Manusia  host perantara  konsumsi air/makanan yg mengandung ookista matur 
aseksual reproduksi  sel endotel pembuluh darah di semua jaringan

-
 MANIFESTASI KLINIS
- Gejala yang muncul bervariasi  asimptomatik sampai simpromatik
- Pada manusia, manifestasi klinis meliputi 2 hal :
- Intestinal  jika manusia berperan sebagai host definitive  mual, muntah, enteritis akut
dan parah, atau enteritis kronis. Progresifitas gejala bergantung pada spesies yang
menginfeksi serta parasit load
- Ekstraintestinal  jika manusia berperan sebagai host intermediate/ abberant atau
accidental intermediate host  di endotel vaskular dan monosit yang bersirkulasi, 
perkembangan sarkokista dalam miosit otot rangka, jantung, dan polos 
myositis,kardiomiopati, glomerulonephritis dan keganasan
 DIAGNOSIS
- Penegakan diagnosis intestinal sarcocystosis  manifestasi klinis enteritis dan riwayat
mengonsumsi daging kurang matang, d
- Konfirmasi  identifikasi ookista / sporokista dengan pemeriksaan mikroskopis (Teknik
konsentrasi dan flotasi) pada sampel feses atau pada biopsy jaringan usus (jika pada feses
negative)  tidak dapat membedakan spesies
- Diagnosis ekstraintestinal  riwayat perjalanan di Asia/ negara tropis & gejala bergantung
pada jaringan terinfeksi  dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan biopsy jaringan.
- Pemeriksaan serologi  deteksi Ab-Ag parasit  ELISA, IFA  belum terstandarisasi,
ketersediaan terbatas, dan tidak semua laboratorium menyediakan pemeriksaannya.
 MANAJEMEN
- Terapi untuk intestinal sarcocystosis  belum ada terapi standard yang efektif 
dithiazanine, pyrimethamine dikombinasikan dengan sulfisoxazole dan acetylspyramicin
- Terapi untuk myositis  400 mg albendazole 2 x sehari selama 15 hari ; TMP – SMX 3 x
sehari selama 12 hari; kombinasi dengan pemberian prednisone  hasil yang baik, namun
belum ada terapi standard.
- Orang yang pernah terinfeksi parasit ini  dapat mengalami reinfeksi kembali  imunitas
terhadap sarcocystis tidak terbentuk
 PENCEGAHAN
- Konsumsi daging yang dimasak matang (memasak pada suhu 60° C selama 20 menit/ 100° C
selama 5 menit).
- Menghindari kontak dengan feses binatang
- Kebiasaan mencuci tangan setelah kontak dengan feses dan sebelum makan
- Memasak air yang akan dikonsumsi dan mengurangi konsumsi makanan mentah (buah dan
sayur segar)

BABESIOSIS – dr. Westy


 Babesiosis adalah penyakit infeksi eritrosit yang disebabkan protozoa Babesia sp
 Babesia adalah sporozoa intraeritrosit, morfologisnya mirip plasmodium dan menyebabkan
penyakit seperti malaria tickborne pada hewan peliharaan dan hewan liar
 Diklasifikasikan sebagai tick borne disease
 4 spesies yang sering menginfeksi : B. microti (rodent strain), B. divergens (cattle strain), B.
duncani, MO-1
 Dalam siklus hidupnya butuh 2 macam host / indirect life cycle
 Host definitive babesia : ixodidae tick
 Host intermediate babesia : manusia dan mamalia lainnya
 Habitat babesia : sel darah merah
 Stadium infektif : sporozoite (di manusia)
 Stadium di dalam tubuh manusia: trofozoit dan merozoite
 Penularan terjadi melalui gigitan stadium nimfa betina tick (ixodes scapularis pada B. microti)
yang butuh darah sebagai asupan makanan
 Distribusi di kota cosmopolitan pada musim panas (Mei – September)
 Transmisinya melalui 3 jalur
 Transmisi utama : gigitan ixodidae ticks yang terinfeksi selama aktivitas di luar ruangan
 Transmisi juga bisa melalui donor darah yang terinfeksi babesia tapi tidak ada gejala apapun
(OTG wkwk)
 Transmisi dari ibu yang terinfeksi ke bayi selama kehamilan atau persalinan
 Periode inkubasi 1 – 6 minggu
 Morfologi:
- Trofozoit : berbentuk cicin, tidak ada Schuffner’s, Ziemann’s, atau Maurer dots. Karakteristik
cincin pada pewarnaan giemsa yaitu berwarna lingkaran biru sitoplasmik dengan red
chromatin dot. Biasanya tampak vacuola
- Merozoit: 4 trofozoit berkaitan dengan respective chromatin dots, bentuk maltese cross
 panah putih : fase awal, ring form mirip Plasmodium falciparum
 Panah hitam : gambaran khas Babesia sp, dalam 1
eritrosit mengandung 4 bentukan yang membentuk
maltese cross

 Siklus hidup Babesia :

 Manifestasi
klinis
- Orang yang
terinfeksi : ada yang

asimptomatik dan simptomatik


- Gejalanya : flu like symptomps dan efek dari pecahnya eritrosit (anemia hemolitik) -> jadi
hyperbilirubinemia -> jaundice dan urine gelap
- Pada kondisi tertentu seperti usia tua, tidak punya lien, penyakit komorbid, dan penyakit
penurunan imunitas (HIV-AIDS, kanker) bisa mengancam jiwa
 Perjalanan penyakit sangat dipengaruhi oleh tingginya level parasitemia, pecahnya eritrosit
adalah faktor utama yang menentukan manifestasi klinis pasien
 Babesiosis berat -> tingkat parasitemia lebih dari 4% sel darah merah yang terinfeksi, harus
dirawat inap
 Tingkat kematian 5%, pada pasien immunocompromised 20%
 Faktor resiko anemia berat dan tingkat parasitemia tinggi
 Komplikasi:
- Tekanan darah rendah dan tidak stabil
- Anemia hemolitik berat (hemolisis)
- Trombositopenia
- Koagulasi intravaskular diseminata -> menyebabkan pembekuan darah dan pendarahan
- Kerusakan organ vital spt ginjak paru hati
- Kematian
 Diagnosis dengan hasil pemeriksaan miskroskopis dengan pengecatan leishman / giemsa,
tampak : babesia bulat intraeritrositik atau pyriform, ada bentuk cincin, tanpa pigmen
hemozoin, tidak ada skizon dan gametosit, ada tetrad (maltose crossed). Didukung dengan
adanya anemia, trombositopenia, proteinuria, hemoglobinuria, kenaikan SGOT/SGPT, BUN –
serum kreatinin.
 Diagnosis bisa juga dengan deteksi antibodi indirect immunofluoresence assay / IFA untuk
deteksi tingkat parasitemia yang sangat rendah (biasanya tanpa gejala), untuk monitoring terapi
dan untuk membedakan antara infeksi Plasmodium falciparum dan babesia
 Molekular diagnosis dengan PCR amplifikasi babesia 18S rRNA untuk memastikan spesies
penyebab penyakit pasien
 Terapi babesia Untuk pasien bergejala diterapi selama 7-10 hari dengan kombinasi obat:
- Atovaquone (750 mg per oral 2x sehari) + azitrhromycin (hari pertama 500-1000 mg perhari,
selanjutnya 250-1000 mg perhari, per oral)
- Atau clindamycin (600 mg per oral 3x sehari atau 300-600 mg intravena 4 kali sehari) +
quinine (650 mg per oral 3 kali sehari)
 Preventif:
- Pakai baju tertutup dan warna terang
- Mengoleskan produk yang mengandung DEET (N,N-diethylmetatoluamide) pada kulit yang
terbuka dan pakaian
- Mengaplikasikan produk permetrin pada pakaian/sepatu
- Lakukan pemeriksaan kutu di seluruh tubuh sebelum masuk rumah
- Ambil kutu yang nempel pakaian dengan menggunakan penjepit

Plasmodium Sp – dr Westy
Malaria: penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasite plasmodium melalu gigitan nyamuk anopheles
betina

Klasifikasi: phylum apicomplexa, class sporozoa, order haemosporidia, genus plasmodium


Distribusi: daerah tropis dan subtropics dan daerah suhu lebih dari 16derajat

P. vivax: benign tertian malaria, inkubasi 8-14 hari

P. falciparum: malignant tertian malaria/malaria tropikana, inkubasi 7-14 hari

P. malariae: benign quartan malaria, inkubasi 7-30 hari

P. ovale: benign tertian malaria, inkubasi 8-14 hari

P. knowlesi: quotidian malaria

Bisa terinfeksi dua jenis parasit, yang paling sering p. falciparum dengan p. vivax atau p.malaria

Transmisi langsung: transfusi darah, transplantasi organ, jarum suntik bersamaan, dari ibu ke janin

Transmisi tidak langsung: gigitan nyamuk anopheles betina

Siklus hidup: nyamuk gigit yg mengandung sporozoite -> secara exo eritrositik masuk ke sel liver lalu
membentuk skizon -> skizon lisis dari hepar lalu masuk masuk ke darah ke siklus eritrositik ->
membentuk trofozoit imatur kemudian terbagi menjadi 2 tahap ada yang menjadi trofozoit matur lalu
menjadi skizon kemudian skizon rupture dan menginfeksi sel darah merah yg lain -> ada yang menjadi
gametosit yg terdiri dari microgamet dan macrogamete -> nyamuk menggigit darah yg mengandung
gametosit -> di dlm nyamuk terjadi reproduksi seksual dimana macrogamet dan microgamet menjadi
ookinete -> menjadi ookista -> ookista rupture yg berisi sporozoit -> balik lagi nyamuk yg punya
sporozoite gigit manusia

Definitive host anopheles betina, intermediet host manusia

Stadium infektif sporozoite, siklus dlm nyamuk berlangsung 7-20 hari

Pathogenesis: produk yg dilepas saat eritrosit lisis yang memicu inflamasi serta dan hipoksia jaringan
obstruksi dari aliran darah oleh eritrosit yg terinfeksi.

Liver, ginjal, lien dan otak  bendungan dan ukurannya membesar berisi sdm yg terinfeksi parasit dan
pigmen yang dihasilkan parasit.

Pathogenesis anemia: Penghancuran sejumlah besar sel darah merah oleh komplemen dimediasi dan
hemolisis autoimun, Penekanan eritropoiesis di sumsum tulang, Peningkatan clearance oleh limpa,
kegagalan host untuk mendaur ulang besi
Gejala Klinis:

1. malaria relaps/ rekurensi: pada p.vivax dan p.ovale, perbedaan pada siklus hidupnya yaitu ada
stadium yang tidak aktif (hipnozoit) setelah skizon lisis dari heap.

2.malaria tanpa komplikasi: sensasi dingin, menggigil (tahap dingin). Demam, sakit kepala, muntah,
kejang (tahap panas). Berkeringat, suhu kembali normal, kelelahan (tahap berkeringat). Serangan
tersebut terjadi setiap hari kedua pada “tertian” (P. falciparum, P. vivax, dan P. ovale) dan setiap hari
ketiga dengan parasit “quartan” (P. malariae)

Malaria berat:

ditemukannya P. falciparum stadium aseksual dengan minimal satu dari manifestasi klinis atau
didapatkan temuan hasil laboratorium :

1. Perubahan kesadaran (GCS<11, Blantyre <3)


2. Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan)
3. Kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam
4. Distres pernafasan
5. Gagal sirkulasi atau syok: pengisian kapiler > 3 detik, tekanan sistolik <80 mm Hg (pada anak:
<70 mmHg)
6. Jaundice (bilirubin>3mg/dL dan kepadatan parasit >100.000)
7. Hemoglobinuria
8. Perdarahan spontan abnormal
9. Edema paru (radiologi, saturasi Oksigen <92%) (WHO,2015)

Perbedaan infeksi malaria melalui vector dan transfuse darah

Perbedaan
Rekrudensi: p. falciparum dan p. malaria, terjadi karena adanya parasite di sirkulasi, terjadi setelah
beberapa minggu, dapat diobati dengan terapi adekuat (<6bulan)

dan relapse : p.vivax dan p.ovale , terjadi karena reaktivasi hypnozoite, terjadi setelah 24 minggu-
5tahun, diterapi dengan primaquine (6 bulan-5 tahun)

rekrudensi : 8 minggu setelah serangan primer

rekurensi : 24 minggu setelah serangan primer

Diagnosis

sediaan darah hapus tebal: ada parasite/tidak

sediaan hapus tipis: jenis plasmodium dan stadium dan menghitung kepadatan parasite

rapid diagnostic tes untuk deteksi antigen malaria

Terapi:

-p.falciparum dan knowlesi DHP pada hari 1-3 dan primakui pada hari 1

-p.falciparum dengan vivax/ovale: DHP pada hari 1-3, primakuin hari 1-14

Kemoprofilaksis

klorokuin, meflokuin, doksisiklin, primakuin dan sebagainya

dilakukan setiap minggu, mulai minum 1-2 minggu sebelum bepergian ke tempat endemis, dilanjutkan
setiap minggu selama perjalanan dan selama 4minggu setelah

Preventif
Mofologi

trofozoit

p. falciparum p.vivax p. ovale p. malaria

trofozoit SDM ga membesar, Cincin 1/3 sel, 1 kromatin dot, Cincin dan pita
ada double dots(2 SDM membesar, yg dewasa punya atau band form,
inti), ada ring form tampak vakuola pigmen kasar, pigmen kasar
bisa 2/lebih dlm 1 SDM oval dan wrn coklat tua
SDM berfimbrae

skizon SDM membesar, Merozoit hanya Merozoite 8-12,


protoplasma 8, lebih kecil dr Pigmen-pigmen
padat, mjd p.vivax kasar berkumpul
merozoite (12-24 di tengah
buah) dikelilingi oleh
merozoit yang
letaknya teratur
disebut “rosette”

gametosit Makrogamet(betina) SDM membesar, Oval dgn tepi Sitoplasma


banana form, parasite mengisi berumbai, menjadi
langsing, sitoplasma seluruh eritrosit, sitoplasma homogen
biru sioplasma homogen,
Makrogamet(jantan homogen pigmen difus
) berwarna coklat
Pisang gemuk,
tumpul, sitoplasma
merah pucat

Mikrosporidia – dr westy
eukariotik, uniseluler, obligat intraseluler, pembentuk spora yang menyerang vertebrata dan
invertebrate.

Ciri khas >tabung kutub atau filamen kutub yang ditemukan di spora yang digunakan untuk menyusup
ke sel inang

Predisposisi mikrosporidiosis > imunodefisiensi

Morfologi

 inti yang jelas dan membran plasma tidak memiliki mitokondria, badan golgi , dan
peroksisom.
 Bentuk spora  bulat dan lonjong, ukuran 1-4 µm; polar tubulus atau filamen, vakuola posterior
(berfungsi sebagai golgi); endospore dan exospore.
 Polar tubule/ filamen  alat ekstrusi untuk menyuntikan isi spora infektif ke dalam sel inang.
 Spora dikelilingi oleh dinding kista berlapis ganda yang tebal:
 Lapisan luar (exospore) berprotein dan elektron padat
 Lapisan dalam (endospora) bersifat kitinous ( bertanggung jawab pada ketahanan spora
dilingkungan luar sel inang) dan electronlucent.
 Spora  Gram-positif dan tahan asam

Transmisi

Vertikal: perpindahan langsung infeksi dari orang tua ke keturunan

Horizontal: transmisi spora patogen dari satu individu ke individu lain dari generasi yang sama melalui
transmisi oral, inhalasi, kontak langsung dengan kulit atau mukosa yang mengalami trauma / tidak intak
serta kontak seksual

Siklus Hidup
Spora Microsporidium  menginjeksikan sporoplasma infektif dalam sel host melalui polar tubule 
sporoplasma bereproduksi aseksual (merogoni) meront/merozoite (lokasi dalam sel bergantung jenis
spesiesnya) sporogony (perkembangan organel & dinding kista)  spora matur  sel host pecah 
spora matur keluar dan menginfeksi sel host lainnya

Manifestasi Klinis

 Di sal. Cerna  diare kronis (berair dan tidak berdarah), penurunan berat badan, sakit
perut, mual, dan muntah.
 Infeksi diseminata/sistemik  kolesistitis, gagal ginjal, infeksi saluran pernafasan, sakit
kepala, hidung tersumbat, nyeri mata dan sinusitis.
 Infeksi pernafasan batuk, dispnea dan mengi/wheezing.
 Infeksi mata  sensasi benda asing, sakit mata, fotofobia, kemerahan, produksi air mata
berlebihan atau gangguan penglihatan.
 infeksi saluran kemih  tidak menunjukkan gejala.
 Infeksi otot  kelemahan otot dan nyeri.
 Infeksi pada otak /saraf  kejang, sakit kepala,dll.

Diagnosis

identifikasi spora dalam sampel tinja, urin, cairan tubuh atau jaringan tubuh lainnya

1. mikroskop cahaya dengan pewarnaan tertentu :


2. Pewarnaan gram spora mikrosporidia gram positif berwarna ungu gelap;
3. Pewarnaan trikrom modifikasi (biru trichrome),
4. Pewarnaan perak Warthin-Starry, Giemsa, dan
5. Pewarnaan chemofluorescent seperti Calcoflur

Terapi : Sejauh ini baru nikkomycin Z (NIK-Z)

SUBCUTANEOUS MYCOSIS – dr Varid


Spotothrix schenckii

 Sporothrix schenckii adalah jamur dimorfik yang hidup di tumbuhan


 Ketika masuk kulit, biasanya dengan duri, menyebabkan pustul atau ulcer lokal dengan nodules
sepanjang aliran limfe
 Menyebabkan adanya gangguan sistemik kecil
 Lesi bisa jadi kronis
 Ulcer kecil (sporotrichotic chancre) diikuti dengan pertumbuhan nodul erythematous sepanjang
aliran limfe, membentuk pola linear yg khas. Biasanya diikuti adenopathy regional
 pada pemeriksaan lab biasanya terlihat budding yeast berbentuk bundar atau cerutu (cigar) di
spesimen jaringan
 Pada kultur, tampak hifa dengan conidia bentuk oval di cluster pada ujung konidiofor yang
slender (berbentuk bunga daisy)
 Penyakit ini diobati dengan kalium iodida atau ketoconazole oral


Bisa dicegah dengan melindungi kulit saat nyentuh tanaman, lumut, dan kayu

Sporothrix schenckii di suhu ruangan (25 oC)

Sporothrix schenckii di temperatur 37 oC. Budding yeast bentuk spheric atau oval

Chromomycosis

 Infeksi granulomatuous progresif lambat yang disebabkan oleh beberapa jamur tanah
seperti Fonsecaea, Phialophora, Cladosporium, dll yang masuk ke kulit melalui trauma
 Jamur-jamur ini secara kolektif disebut jamur dematiaceous, karena menghasilkan pigmen
mirip melanin
 Lesi mirip kutil (wartlike lesion) dengan abses krusta meluas di sepanjang area limfatik
Phialophora verrucosa Cladosporium carrionii

Chromoblastomycosis, syn. Chromomycosis: lesi hiperkeratotik pada kaki, disebabkan


infeksi Fonsacaea (Phialophora)
 Penyakit ini muncul umumnya di daerah tropis dan ditemukan di kaki telanjang
 Pada pemeriksaan lab, ditemukan sel fungal bundar dan coklat di sel leukosit atau giant cells
 Diobati dengan flucytosine atau thiabendazole oral, dengan bedah lokal

Mycetoma
 Synonim nya Eumycotic mycetoma
 Organisme tanah seperti Petriellidium, Madurella mycetomatis masuk ke luka yang ada di
kaki, tangan, atau punggung dan menyebabkan abses, dengan pus dicharged lewat sinus
 Pus nya mengandung compact colored granules

Stadium awal mycetoma di kaki, disebabkan Madurella. Terdapat ulserasi, bengkak, dan
scarring
 Actinomycetes seperti Nocardia dan Actinomyces bisa menyebabkan lesi yang mirip
(actinomycotic mycetoma)
 Sulfonamides bisa membantu bentuk actinomycotic
 Tidak ada obat yang efektif untuk mengobati bentuk jamur, direkomendasikan untuk bedah
eksisi
Actinomycosis (lumpy jaw)

Grain atau granul khas Actinomyces spp Actinomycosis typical granule (Splendore-Hoepplei)

Corynebacterium diphtheria dr Varid


Bakteri gram positif peptidoglikannya tebal, bentuk clubshaped dengan
granula meta kromatik panjang

Toxin menghambat sintesis protein ADP-ribosylation pada Elongasi


Faktor-2

Menghasilkan pseudomembrane ada nanah, melekat, warna abu

Komplikasi :

 penyebaran ke larynx > obstruksi > mati


 Myocarditis > arythmia > collapse
 Saraf cranial > paralysis

Lab dx : organisme isolasi dan produksi toxin

Swab tenggorokan di kultur di tellurite plate (loeffler’s / pai medium) dan blood agar

Treatment : Antitoxin & Antibiotic

Prevention : Imunisasi diphtheria toxoid, tetanus toxoid, dan vaksin pertussis acellular (bakteri utuh)

*toxoid : toxin diencerkan/dilemahkan


Imunisasi aktiv : toxoid, imunisasi pasif : bakteri

Bordetella Pertussis dr. varid


Bakteri gram negatif, bentuk kokobasil ujung agak runcing, ukuran kecil, berkapsul. Peptidoglikan tipis
dengan 2 lapisan, mengandung lipopolysacharida, antigen lebih banyak > menyebabkan sepsis.

Patogenesis : Organisme menempel pada se epitelium bersilia, dimediasi oleh protein pili *gampang
nempel* (hemaglutinin filamentous). mengeluarkan toxin (antigen), imun tubuh (antibodi) menyerang
filamentous hemaglutinin untuk menghambat perlekatan dan proteksi penyakit hal ini ikut
menghancurkan cilia.

Toxin pertussis stimulasi Adenylate cyclase melalui katalisis Adenosine diphosphateribose disebutt ADP-
ribosylation. Menghambat subunit pada G protein complex. Hasilnya stimulasi memanjang dr adenylate
cyclase dan terbentuknya AMP. Sehingga protein kinase kerjanya terpacu. Toxin juga melekatkan diri
pada reseptor permukaan pd sel epitel respiratory tract.

Terjadi lymphocytosis di darah yang disebabkan toxin. Toxin menghambat signal transduksi dari reseptor
chemokine. Sehingga lymphocyte tidak bisa masuk ke jaringan lymphoid. Oleh karena itu terjadi
perkmbangan jumlah di dalam darah. Hambatan sinyal transduksi oleh reseptor chemokine juga disebut
ADP-ribosylation dari G I protein.

Organisme juga sintesis dan eksport adenylate cyclase. Enzyme ini mengambil sel phagocytic yang
menghambat aktivitas baktericidal. Sitotoksin tracheal adalah fragment bakteri peptidoglycan merusak
silia respi tract. Tracheal cytotoxin dan endotoxin menginduksi Nitric oxide yang membunuh epitel silia.

Whooping cough (1-4mgg): pada saat batuk tubuh harus berhenti untuk ambil nafas > hypoxia.
Menghasilkan mucus, kematian disebabkan pneumonia.umumnya anak2

Lab dx : kultur Bordet Gengou medium (merah – keemasan bakterinya)

Treatment : cek sensitifity > tent. Antibiotic

Pencegahan : imunisasi aktif > vaksinasi


Leptospira (Leptospiraceae) dr Varid
Bentuk tipis spiral, tidak ada flagella, bergerak dengan rotating motion cell corpus. Lihat engan dark field
microskop / mikroskop contrast . Kultur dengan medium khusus.

Patogenesis : umumnya pipis tikus saat ada luka di kaki (mikroinjuries), gada tanda inflamasi dan bukti
masuknya. Organisme masuk dan menyebar diseluruh tubuh. Bisa ke liver 9non nekrotik hepatocellular
dysfunction) > icterus.

Leptospirosis generalized vasculitis. Merah dan nyeri dimana mana. Patogen merusak sel endotel di
kapiler. Jika bocor vasculer menyebabkan hemoragik dan terganggunya suplai o2 menuju jaringan.
Mengganggu hasil fungsi renal dari kerusakan hypoxic tubular. Klinisnya mirip dengan leptospirosis
anicteric, dengan gejala lebih ringan. Yang berat Icteric leptospirosis (weil disease) ada konjunctivitis
merah dr tengah ke samping. Any serovars bisa menyebabkan 2 jenis ini. klinis keduanya demam
menggigil, sakit kepala, myalgia, setelah inkubasi 7-12 hari. Septic stage 3-7 hari, lalu stage immune 30
hari. Manifestasi klinis stage 2 anicteric leptospirosis, aseptic meningitis. Second stage Weil disease
karakteristiknya hepatic dan renal dysfunction, perdarahan hebat, gejala cardiovascular, dan
kebingungan. Imunitas infeksi hanya memproteksi 1 serovans.

Diagnosis : deteksi dan identifikasi leptospirae di kultur.

Darah, cerebrospinal fluid, urine, biopsy organ, harus kontaminasi dari bakteri lain, lalu inkubasi di
medium special 27-30 derajat selama 3-4 minggu.

Leptospirae serologically dalam lysis-agglutianation reaction dengan specific test sera. Setelah minggu
pertama, infeksi terdeteksi di serum pasien dengan quantitative lysis agglutination test.

Terapi : Penicillin G

Epidem dan prevensi : typical zoonotic infeksi. Bisa pada hewan dan manusia. Sumbernya tikus dan
hewan lokal (umumnya babi). Ekskresi hewan patogen dengan urine. Leptospira tidak dapat bertahan di
daerah kering, penularannya hanya karena kontak langsung dengan area lembab dengan urine yang
terkontaminasi . pekerjaan yang paling tinggi resikonya petani, tukang daging, pengolahan limbah, dan
staf kebun binatang.
Prevensi : jauhi kontak dengan material yang mengandung patogen, kontrol Muridae rodent dan
pengobatan hewanlokal yang berhasil. Tidak perlu isolasi orang yang terinfeksi. Tidak ada vaksin yang
gratis.

Clostridium Perfringens dr Varid


Bakteri gram positif. ukuran kecil, batang pendek, pleimorfik, bakteri anaerobik dan memiliki spora.
Spora lebih besar daripada vegetatifnya. Medium agar darah > hemolysin

Toxin dan enzyme : toxin diproduksi dari Invasive clostridia yang menimbulkan nekrosis, hemolitik, dan
atau aktivitas mematikan. Memproduksi enzim (pemecah) collagenase, proteinase, DNAse, lecithinase,
dan hyaluronidase, semuanya menghancurkan struktur jaringan, menghasilkan akumulasi metabolisme
toxin.

Patogenesis : dengan tersebarnya clostridium, mereka dapat mengkontaminasi luka yang terbuka,
biasanya bersamaan deengan mikro organisme lain.

Deteksi clostridium di luka tidak ditemukan indikasi infeksi clostridial. Infeksi ini berkembang ketika
potensi redoks jaringan rendah sehingga reproduksi anaerob terjadi, dan menghasilkan nekrosis jaringan

 Anaerobic Cellulitis : infeksi terbatas pada ruang spasia (fascial spaces) yang tidak
mempengaruhi otot. Formasi gas dalam jaringan menyebabkan retak, sensasi meletup dibawah
kulit yang disebut Krepitus. tidak ada toksemia .
 Gas Gangrene (clostridial myonecrosis) : periode inkubasi bervariasi mulai jam hingga beberapa
hari. Infeksi agresif pada otot dengan myonekrosis dan toxemia. Nyeri dan edema muncul
disekitar area luka, adanya Krepitasi mengindikasi ada gas dalam jaringan. Hemolysis dan
Jaundice umumnya ada dan angka mortalitas tinggi.
 Keracunan makanan : Masa inkubasi 8-16jam patogenesis beda, bukan disebabkan racun,
disebabkan oleh bagian tubuh bakteri yang bertindak sebagai antigen sehingga reaksinya seperti
alergi. Karakteristiknya diare cair disertai keram dan muntah. Sembuh dalam 24 jam.

Diagnosis : identifikasi patogen dengan material yang relevan melalui mikroskop dan kultur. Identifikasi
anaerobic berdasarkan morfologi dan karakteristik fisiologis.
Terapi : Antibiotik. Kalau ada luka lakukan debridema dan dibersihkan. Treatment dengan Hyperbaric O2
sangat efektif. Pasien bernafas menghirup Oksigen murni melalui masker dalam chamber (ruangan)
dengan tekanan 3 atm beberapa kali selama 2jam

Clostridium Difficile dr Varid


C. difficile Menyebabkan antibiotic-associated pseudomembranous colitis (Pseudomembran colitis yang
disebabkan antibiotik). Faktor perkembangan penyakit ini belum diketahui secara pasti.

Umumnya disebabkan oleh seseorang yang sering menggunakan antibiotik maka bakteri ini berkembang
biak dalam usus dan membentuk alergi sehingga tercipta suatu granuloma, yang menyebabkan
pseudomembran collitis.

Kasus pseudomembran colitis diamati sering dalam perawatan dengan Clindamycin, aminopenicillin, dan
cephalosporin, namun juga muncul pada orang yang tidak menggunakan antibiotik. Terkadang terjadi
wabah di RS.

Patogenesis : Antibiotik menekan sensitivitas flora normal yang peka obat, sehingga mengizinkan C.
difficile untuk bermuliplikasi dan memproduksi exotoxin. Mekanisme patologisnya berdasarkan formasi
2 toxin.
Toxin A : Enterotoxin yang menyebabkan disfungsi karakteristik dengan meningkatkan sekresi elektrolit
dan cairan (fluids)

Toxin B : Cytotoxin yang merusak mukosa usus besar (colon)

Temuan Klinis : demam, daire, dan nyeri spasme abdomen. Colonoscopy / sigmoidoscopy menimbulkan
perubahan edema pada mukosa colon (large intestine) yang ditutupi Pseudomembran (yellowish-
whitish matter).

Terapi : Tidak ada terapi spesifik dibanyak kasus. Pada kasus berat Treatment dengan antibiotik (sesuai
hasil kultur). Beberapa pilihan tersering metronidazole dan vancomycin. Antibiotik terbaru Colistin.

Penyakit Kulit Pada Parasit dr.Eko Riyanto


► Etiologi :
 Protozoa (Serangga)
 Cnidaria (Serangga)
 Nemathelminthes (Cacing)
 Platyhelminthes (Cacing)
 Annelida (Cacing)
 Arthropoda (Serangga)
 Chordata (Serangga)
Pedikulosis (Kutu)

► Kausa : Arthropoda
► Class : Insecta
► Ordo : Anoplura
Dibagi 3 :

Pedikulosis kapitis (Kepala), Pedikulosis korporis, Pedikulosis pubis

Pedikulosis Kapitis (Kepala)

► Kausa : Pediculus humanus varian capitis


► Makan & reproduksi pada kulit manusia, telur menempel di rambut
► Terutama pada anak-anak
► Penularan melalui Kontak erat, pemakaian bantal & sisir bersama-sama
Gejala

► Gatal hebat di kulit kepala, ekskoriasi


► Telur pada pangkal rambut, kutu +
Sekunder infeksi  pembesaran kelenjar getah bening servikal (Awalnya infeksi pertama terjadi
pedikulosis kemudian terinfeksi lagi oleh staphylococcus atau streptococcus)

Terapi :

- Permethrin 1% krem “rinse”

- Permethrin 5% krem

- Malathion lotion 0,5%

- Lindane 1% shampoo

► Sisir, baju, sprei harus dicuci air panas


► Terapi untuk keluarga yang sakit (semuanya)

Pedikulosis Korporis

 Kausa : Pediculus humanus var corporis


 Tinggal di serat baju, terutama daerah tekanan / hangat (di
bawah ikat pinggang, kerah)
 Penularan lewat baju / sprei
 Tuna wisma, pengungsi karena biasanya jarang mandi,
higiene jelek
 Gejala : Gatal menyeluruh, makulae eritematus, tanda
garukan linear, hiperpigmentasi
Terapi dan Pencegahan

 Permethrin 5% krem
 Baju & sprei cuci air panas, Malathion 1% powder, DDT 10%

Pedikulosis Pubis (Short Hair)

► Phtirus Pubis
► Menyukai genitalia, hipogastrium, aksila, bulu mata (short
hair), hidupnya dirambut sama seperti pedikulosis kapitis
► Terutama pada dewasa ( bisa ditularkan melalui hubungan seksual )
► Makulae kebiruan Ø 0,5 cm, sedikit gatal (makulae ceruleae) terutama di tubuh bagian samping,
paha bagian dalam
► Ekskoriasi  sekunder infeksi  limfadenitis, panas
► Terapi :
- Permethrin 1% krem rinse

- Permethrin 5% krem bisa diulang 1 minggu

- Lindane shampoo 5‘

► Baju dicuci air panas, pasangan diterapi

Skabies (Kudis)

► Kausa : Sarcoptes scabiei


► Penularan seksual, non seksual (kontak kulit erat)
► Predileksi :
sela jari, fosa antikubiti, fleksor,

pergelangan tangan, areola mamae,

periumbilikus, skrotum, pantat

► Siklus Hidup
Tungau ♀ yang telah dibuahi  membuat
terowongan di stratum korneum  telur 2-3/ hr (3-4 hari)  menetas  larva  nimfa 
dewasa

Tungau ♂ mati setelah membuahi

► Klinis :
Gatal hebat terutama malam hari, terowongan (burrow) : peninggian ~ garis, pendek, gelap

► Patognomonis : ekskoriasi, impetiginisasi (infeksi sekunder karena staphylococcus)


► Diagnosis :
• Gatal malam hari
• Distribusi karakteristik
• Tungau (+)
• Anggota keluarga sakit (+)
► Terapi :
• Permethrin 5%, 8-10 jam bisa diulang 1 minggu
• Lindane (gama benzene hexachloride) lotion  neurotoksik
• Sulfur precepitatum 6-10% in petrolatum untuk bayi < 2 bulan, ♀ hamil , selama 3
malam
• Benzyl benzoat 25%
• Crotamiton
• Antihistamin

Kutaneus Larva Migrans(Creeping Eruption)

 Kausa : Nemathelminthes, klas Nematoda : larva cacing


Ancylostoma braziliense, A. caninum

 Tropis, subtropis >


 Tukang kayu, tukang pipa, tukang kebun, anak bermain di
kotak pasir, pengunjung pantai tanpa alas kaki
 Kaki, tangan, pantat, genitalia >>
 Inkubasi 1-6 hari
 Siklus hidup : Cacing tinggal di usus binatang, kemudian menetas di dalam binatang tsb dan
menjadi larva, saat menjadi larva akan keluar melalui anus, ketika tangan bersentuhan dengan
tanah yg mengandung larva akan tertular dan menempel di kulit (epidermis dibawah stratum
korneum)
 Kontak dengan pasir/tanah terkontaminasi kotoran anjing/kucing
Larva penetrasi kulit  diantara stratum germinativum - stratum korneum

 Gatal  papula  garis merah berkelok-kelok, lesi linier sering diselingi papulae yang
merupakan tanda tempat larva bersitirahat
 Pemeriksaan darah : Eosinofilia
 Terapi :
- Albendazole 400mg/hr , 3 hari

- Ivermectin 150 µg-200µg/hr, 1-2 hari

Amoebiasis Kutis

► Kausa : Protozoa, klas Sarcodinia yaitu Entamoeba Histolytica


► Negara tropis > , semua usia
► Badan, perut, genitalia eksterna, pantat, perianal, perineum
► Gejala : Usus biasanya disentri atau berak darah/ diare bersama
darah
► Invasi langsung parasit dari abses ke kulit
► Abses dalam  pecah  ulserasi :
• tepi meninggi, menggaung
• halo eritematus
• dasar jaringan nekrotik, berbau
• amoeba + dari : kerokan jaringan, biopsi tepi ulkus
► Terapi : metronidazole 750 mg 3x/hari, 10 har

Filariasis

► Kausa : Nemathelminthes,
► klas Nematoda : cacing
Wuchereria bancrofti

Brugio malayi/ B. timori

Vektor : Nyamuk

► Endemik di Afrika, India, Cina Selatan, Jepang, Taiwan


► Lelaki muda >
► Tungkai, skrotum, labia mayora
► Vektor : nyamuk
► Serangan berulang limfangitis akut disertai demam, berakhir dalam beberapa hari–minggu,
berulang dalam hitungan bulan - tahun
Bengkak menghilang sebagian  penebalan, hipertropi

► Klinis : limfedema  hipertropi kulit dan jaringan subkutan  pembesaran, deformitas bagian
yang terkena
Permukaan kulit jadi verukosa /papilomatosis karena infeksi sekunder

► Lab :
darah segar jari / telinga diambil tengah malam (ditemukan mikrofilaria pada sirkulasi perifer saat
tengah malam)  nocturnal periodicity

► Terapi : - diethylkarbamazine
- ivermectin 100-440 µg/hr
- bedah

PIODERMA – dr. Eko Riyanto


Piorderma adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman gram (+) contoh (Staphylococcus
aureus dan Streptococcus β hemolyticus)

Pioderma dibagi menjadi Primer dan Sekunder

- Faktor predisposisi : Daya tahan tubuh, Higiene kurang, atau penyakit kulit penyerta
- Pemeriksaan : Gram, Kultur, dan tes resistensi pada lesi dan darah, serta Lekositosis darah
IMPETIGO

Definisi : Infeksi piogenik pada kulit superfisial dan menular akibat Staphylococcus dan/
Streptococcus.

Klasifikasi :

1. Impetigo Krustosa (Impetigo Kontagiosa)

Penyebab :
 Streptococcus β hemolyticus
 Staphylococcus aureus
Umur : terutama anak-anak
Sex : Perempuan maupun laki2 sama
Predileksi : wajah (sekitar hidung dan mulut), anggota gerak,badan
Klinis : makula eritematus → vesikula/bula, cepat pecah → krusta tebal, kuning
kecoklatan seperti madu, jika dilepas tampak erosi di bawahnya
Penatalaksanaan :
- jaga kebersihan kulit, pakaian, handuk
- melepas krusta dengan dikompres dulu atau lesi dicuci
- antibiotika topikal
- kasus berat/lesi banyak → antibiotika sistemik (ampisilin,amoksilin, eritromisin)

2. Impetigo Bulosa

Penyebab : Staphylococcus aureus


Umur : semua umur
Sex : Perempuan maupun laki2 sama
Predileksi : ketiak, dada, punggung, ekstremitas
Klinis : bula yang membesar, tidak mudah pecah,isi mula-mula jernih → keruh, bila
pecah → krusta kecoklatan tepinya meluas, tengahnya menyembuh(koleret)
Penatalaksanaan :
 jaga kebersihan
 antibiotik topikal
 bila berat → antibiotika sistemik

FOLIKULITIS
Definisi : peradangan folikel rambut
Penyebab : Staphylococcus aureus
Umur dan sex : semua umur, anak-anak , dan kedua jenis kelamin sama banyak
Tipe : Superfisialis (terbatas di epidermis) dan Profunda (sampai subkutan)
Lokasi : daerah berambut → kulit kepala& anggota gerak
Klinis : Superfisial : papula atau pustula eritematus ditengahnya terdapat rambut
Profunda : seperti superfisialis + infiltrate subkutan
Penatalaksanaan : Jaga kebersihan, Antibiotik topical, bila berat -> antibiotika sistemik

FURUNKEL/KARBUNKEL

Definisi :
- Furunkel :peradangan folikel rambut dan jaringan subkutan sekitarnya
- Karbunkel : kumpulan furunkel
Penyebab : Staphylococcus aureus
Umur : anak, dewasa muda, dewasa
Sex : anak ♂
Predileksi : daerah banyak gesekan dan keringat (hidung,leher,wajah,ketiak,pantat)
Klinis :Nyeri, Nodul eritematosa bentuk kerucut, ditengah pustul → melunak jadi abses isi pus
dan jaringan nekrotik → memecah
Penyulit :
 Furunkel : sepsis, meningitis, Di bibir atas /pipi → trombosis sinus kavernosus
 Karbunkel : sepsis
Penatalaksanaan :
- obat topikal : - lesi basah / kotor -> kompres , lesi bersih → antibiotika
- obat sistemik : antibiotika : injeksi penisilin G, ampisilin, amoksisilin, kloksasilin, dikloksasilin,
eritromisin, linkomisin

ERISIPELAS

Definisi : infeksi akut pada epidermis dan dermis, yang biasanya disebabkan Streptococcus
Penyebab : Streptococcus β hemolyticus
Umur : anak dan dewasa
Sex : Wanita dan Laki2 sama
Predileksi : Tungkai bawah dan wajah
Klinis :
o sering didahului luka kecil di kulit
o panas badan, malaise
o makula eritematus, batas tegas, panas pada perabaan, nyeri, bisa ada bula atau vesikula
diatasnya
Penatalaksanaan :
o istirahat (tungkai bawah dan kaki ditinggikan)
o topikal → kompres terbuka
o sistemik antibiotika

SELULITIS
Definisi : radang akut pada kulit hingga subkutis
Penyebab : Streptococcus β hemolyticus dan Staphylococcus aureus
Umur : anak dan orang tua
Sex : ♂=♀
Predileksi : wajah dan anggota gerak
Klinis : - demam, malaise
- infiltrat difus di subkutan, tanda radang akut (+)
Penatalaksanaan : sama dengan Erisipelas

EKTIMA
Definisi : ulkus dangkal dengan krusta berlapis diatasnya
Penyebab : Streptococcus β hemolyticus
Umur : anak-anak >>
Sex : ♂=♀
Predileksi : tungkai bawah
Klinis : krusta tebal warna kuning jika diangkat
ternyata lekat dan tampak ulkus dangkal
Penatalaksanaan : antibiotika topikal / sistemik
STAPHYLOCOCCUS SCALDED SKIN SYNDROME (SSSS)
Definisi : suatu penyakit dengan pengelupasankulit superfisial luas, umumnya terjadi
pada neonatus dan anak kecil
Etiologi : Staphylococcus aeureus (Epidermolitik toksin dilepaskan oleh
Staphylococcus dari lokasi yang jauh( hidung, mata, telinga, pharynx)
Epidemiologi: usia < 5 tahun, ♂ ( imunosupresi, kegagalan fungsi ginjal padadewasa )
Klinis :
- Demam
- Kulit eritematus, mula-mula pada leher,lipat paha, ketiak, wajah → 24-48 jam → meluas →
pengelupasan )
- Bula bisa (+)
- Bila kulit ditekan dan digeser → terkelupas (tanda Nikolsky (+)
- Lesi mukosa (-)
- Laboratorium : pewarnaan Gram, kultur
- Komplikasi : pneumonia, sepsis
Terapi :
- antibiotika topical
- antibiotika sistemik : kloksasilin, dikloksasilin
- keseimbangan cairan dan elektrolit.

INFEKSI SEKUNDER

Penyakit Infeksi Di Bidang Obstetri- dr ketut


Infeksi pada kehamilan

● infeksi yang ditularkan ke janin dalam rahim atau ke bayi selama atau segera setelah melahirkan,
Penyakit infeksi serius pada ibu dapat memiliki efek pada janin menyebabkan keguguran, persalinan
prematur, kelainana kongenital, kematian janin

● Jalur Transmisi ke janin ada intarauterine (Transplacenta, Ascending infection), Intarapartum


(Maternal exposure, External contamination), Neonatal.

Infeksi Genetali eksternal

BAKTERIAL VAGINOSIS (BV) CANDIDIASIS VAGINALIS TRIKOMONAS VAGINALIS


Penyebab Terjadi karena perubahan Penyabab candida ● penyabab trichomonas
flora normal vagina, yaitu albicans, vaginalis, parasit flagelata
jumlah lactobacillus turun Sering terjadi pada atau unaerobic protozoa,
dan jumlah bakteri an-aerob wanita obese, diabetes, inkubasi 3 hari – 4
naik seperti Gardnerella terapi immunosupresan minggu.
vaginalis dll. (kortikosteroid), ●70% kasus trikomonasis,
pregnancy, pemakaian pada saluran kencing
Pengaruh terhadap kehamilan: broad spektrum antibiotik suami terinfeksi
lahir prematur jangka panjang, dan HIV trikomonas tetapi
asymptomatik.
Faktor resiko : douching, ●Infeksi ini sebagai
cigarette smoking, IUD, sexual marker untuk high-risk
during menses, multiple sexual sexual bihavior, sering
partners, black race. terjadi bersamaan
dengan infeksi N
gonorrhoeae.
● Menyebabkan kelahiran
prermatur
●Bisa terjadi transmisis
vertikal saat persalinan.

Symptom keputihan yang berbau amis ● pruritus, eritema dan ● fluornya banyak
and sign : (fishy odor/molodorous odema vulva/labia, dan (greenish and frothy
vaginal discharge).Biasanya ekskoriasi/iritasi, suami discharge), dan
tidak ada iritasi maupun sering mengeluh gatal menyebabkan iritasi dan
eritematous didaerah vagina, daerah kemaluan. itching sekitar introitus
pemeriksaan serviks tidak ada ●fluor berwarna : thick vagina.
perubahan (serviks normal). white atau thick cheesy ● discharge warna kuning
discharge yang lengket ataiu green
pada dinding vagina ● keluhan : pruritus
disebut COTTAGE CHEESE- vulva, dyspareunia,
LIKE (tanda spesifik ), pH dysuria
vagina normal(asam) <4.5 vulva eritematous,
odema dan excoriated,
adanya bercak
subepitelial hemorrhages
disebut STROBERRY
SPORTS pada vagina
maupun serviks.

Diagnosis ●WET-PREParation (salin Lab: pemeriksaan vagilan pemeriksaan memakai


preparation) , fluor ditetesi swab memakai salin atau salin tampak dibawah
larutan salin, dilihat KOH 10%, secara mikroskop tampak parasit
dimikroskop, akan tampak sel mikriskopik tampak flagdellata berbentuk oval
epitel vagina yang dikelilingi hypha/psudo hypha, .
oleh bakteri (disebut CLU mycelia, buds.
CELLS) yang merupakan tanda
spesifik BV.
●WHIFF TEST fluor/sekret
vagina ditetesi 10% KOH
(potasium hydroxide) sehingga
akan mengeluarkan volatile
amin yang berbau amis (fishy
odor) yang merupaka tanda
spesifik BV.

Terapi clindamycin 2X300mg (7hari)/ ●efektif diberikan anti Terapi:


clindamycin cream 2%, 5 g jamur secara kombinasi METRONIDAZOLE,
intra vaginal 7 hari setiap oral flukonazol 150 mg TINIDAZOLE 3x500 mg, 7
malam, atau metronidazole 2- dosis tunggal , dan topikal hari.
3X 500mg (7hari) / imidazole creami
metronidazole gel 0.75% (miconazole 2%,
intravagilal setiap hari (5 hari). butoconazole 2%,
●suami tidak perlu diobati clotrimazol 1%,
●suami juga harus
diterapi.
●kasus uncomplicated
terapi golongan Azole
sangat efektif .

Infeksi Virus

INFEKSI VULVO-VAGINAL

1) HERPES SIMPLEK
 Disebabkan oleh virus herpes simpleks : HSV1 (ekstra genital), HSV2 (genital).
 s/s : gatal, panas, dan nyeri, timbul vesikula eritematous 1-2 mm, multiple daerah vulvo vagina
selama 1 minggu, selanjutnya terbentuk ulkus dan krusta. inkubasi 7 hari, kdg2 disertai demam
 Gold standar dx/ kultur jaringan dari lesi
 lesi herpes ini bisa menyebar ke vagina, serviks, blader dan anus.
 Transmisi Herpes genitalis pada kehamilan dapat menyebabkan transmisi virus dari ibu ke janin/
bayi terjadi pada masa dalam kandungan (prenatal), menjelang kelahiran (perinatal) atau
sesudah lahir (postnatal)
 Pengaruh infeksi herpes simplek terhadap kehamilan:
o transmisi neonatal melalui 3 rute : peripartum/kontak langsung saat persalinan (85%),
postnatal (10%), dan intrauterin (5%) ascending mll serviks masuk ke uterus.
o pengaruh terhadap janin : abortus, anomali kongenital dan infeksi neonatus :
konjungtivitis/keratitis, encsefalitis, vesikulitis kutis.
 Terapi: anti-virus acyclovir (Zovirax 3x 400mg 7-10 hari) , famciclovir (Famvir 3x250 mg, 7-10
hari) , valaciclovir (valtrex 2x 500mg 3 hari) , bila terjadi infek si sekunder bs diterapi anti
bakteri.
 nyeri terasa 7-10 hari, lesi hilang setelah 2-3 minggu.
 Terapi pada kehamilan : acyclovir dan valaciclovir (direkomendasikan).

2) CONDYLOMA ACCUMINATA (genital warts)


 Penyabab HPV6 dan 11, sedangkan HPV 16 dan 18 (kanker serviks).
 lokasi genitalia eksterna, uretra, anus, bisa vagina dan serviks.
 S/S: lesi berbentuk gerigi seperti jengger ayam (cauliflower like/bunga kool), dengan keluhan
gatal dan iritasi.
 menular mll kontak terhadap bayi saat persalinan, terapi pada kehamilan dengan ablasi, bisa
persalinan pervaginam, paling aman persalinan perabdominal.
 Patient therapy: topikal [podophyllotoxin seperti podofilox 0.5%(Condylox) sol/gel 3 hari,

 provider therapy dengan (obat topikal, cautrisasi, operasi/eksisi).


 podophylin (suatu anti mitotic agent) 1 minggu sekali; Trichloro acetic acid/TCA atau Bichloro
acetic acid solution (proteolytic agent)/BCA 80-90%
- cauterisasi listrik.

- operasi untuk mengeksisi jaringannya.

3) VARICELLA – ZOSTER (chicken pox).


 infeksi biasanya pada anak-anak, menular melalui kontak langsung, respirasi. inkubasi 10-
21 hari.
 gejala flulike, diikuti lesi vesikuler gatal.
 infeksi pd kehamilan sampai 20 minggu, menyebabkan congenital varicella syndrome
(korioretinitis, mikroptalmia, atropi kortek otak, hidroneprosis, growth restriction).
 terapi asiklovir 8-10 mg/8 jam.
 pencegahan : Imunisasi attenuated live-virus

4) MUMPS.
 jarang terjadi karena sdh imunisasi sejak bayi
 infeksi pada kehamilan tdk menmyebabkan kelalainan kongenital, tetapi infeksi pada TM1
menyebabkan abortus.

5) RUBEOLA (measles).
 gejala spesifik Koplik sports
 virus tdk teratogenik
 infeksi pada kehamilan : menyebabkan abortus, lahir prematur, BBLR, infeksi menjelang
persalinan menyebabkan infeksi serius pd bayi lahir terutama bayi yg lahir prematur.

6) SITOMEGALOVIRUS
 penularan ke janin melalui plasenta, kontak virus melalui serviks dan urin ibu saat persalinan,
ASI, transfusi darah.
 infeksi pada ibu hamil : TM 1 sampai awal TM2 (hidro/mikrosefalus, gangguan pendengaran,
RM, kalsifikasi serebral) ; infeksi dalam bulan bulan akhir kehamilan (hepato-splenomegali,
trombositopenia purpura, korioretinitis, pneumonitis).
 Dx/ serologi IgM/IgG.
 terapi simptomatis.
TORCH = TOXOPLASMA, RUBELLA, CYTOMEGALO VIRUS, HERPES SIMPLEX (infeksi yang paling sering
menyebabkan kelainan bawaan pada janin intra-uterin

Toksoplasma Rubella(german measles) Cytomegalovirus

Diesebabkan protozoa gejala pada dewasa biasana ● Cytomegalo berarti


Toxoplasma gondii ringan, rash makulopapuler. sel yang besar. Sel
 bersifat yang terinfeksi akan
teratogenik berat (infeksi membesar lebih dari
TM1 80% , minggu ke 13-14 atau sama dengan 2x
54%, akhir TM 2 25% sel yang tidak
mengerita kelainan terinfeksi.
kongenital pd bayi). ● Sekitar 90% infeksi
primer
Bisa terjadi salah satu atau ASIMTOMATIK pada
lebih dari gejala: ibu dan menunjukkan
Sidroma kongenital rubella komplikasi seperti
(CRS) berupa: demam, kelelahan,
 MATA:Katarak/glaukom mialgia, hepatitis,
a kongenital limfadenopati.
 TELINGA: gangguan ● Bayi menunjukkan
pendengaran type komplikasi seperti
sensorik (infeksi <8 atrofi optik,
minggu kehamilan) microcephaly,
 JANTUNG (PDA, VSD, hipotonia, kalsifikasi
PS) intrakranial, dan
 CNS ( mikrosefali, penurunan
mental retardasi, pendengaran,
meningoensefalitis) pneumopati, purpura
trombositopenik.
Patogenesi siklus hidup ada 3 bentuk Virus rubella ditransmisikan Cytomegalovirus
s  takizoit hidup dan melalui droplet. virus memasuki sel dengan
replikasi di replikasi di nasofaring dan di terikat pada reseptor di
intramedullary otak daerah kelenjar getah permukaan sel inang →
bayi yang terinfeksi; bening. Viremia terjadi menembus membran sel,
 bradizoit hidup dalam antara hari 5-7 setelah masuk ke vakuola di
jaringan tubuh (infeksi terpajan virus rubella. sitoplasma→selubung
laten); virus terlepas, dan
 sporozoit berbentuk Masa inkubasi virus rubella nucleocapsid cepat
ookista hidup di berkisar antara 14–21 hari. menuju ke nukleus sel
lingkungan sekitar Masa penularan 1 minggu inang.
manusia sebelum dan 4 hari setelah Dalam waktu cepat
penularan : makan daging onset ruam (rash). setelah itu, ekspresi gen
mentah, terpapar benda immediate early (IE)
yang mengandung ookista. Pada infeksi rubella spesifik RNA (ribonucleic
infeksi pada ibu hamil maternal, yang biasanya acid) atau transkrip gen
menyebabkan TRIAS terjadi 5-7 hari setelah alfa (α) dapat dijumpai
kongenital(korioretinitis, inokulasi pada ibu, virus tanpa ada sintesis protein
hidro/mikrosefalus, menyebar HEMATOGIN ke virus de novo atau
kalsifikasi intrakranial). seluruh plasenta. replikasi DNA virus.

Infeksi virus rubella terjadi


selama awal kehamilan, ● Infeksi primer :
maka resiko resiko serius Infeksi CMV karena
lebih sering terjadi yaitu paparan pertama kali.
abortus, lahir mati ● Infeksi Laten:
serta virus akan
menetap dalam
jaringan hospes
dalam waktu tidak
terbatas. Selanjutnya
virus masuk ke dalam
sel-sel dari berbagai
macam jaringan,
proses ini disebut
infeksi laten.
● Infeksi Laten bisa
eksaserbasi bila
kondisi kita
lemah/imun menurun
● Infeksi rekuren
(reaktivasi/reinfeksi)
yang kemungkinan
karena penyakit
tertentu serta
keadaan supresi imun
yang bersifat
iatrogenik.

Diagnosis Pemeriksaan serologi IgM ● Skrining serologis


dan IgG anti toksoplasma. dengan IgM dan IgG.
 IgM (+) berarti infeksi
akut (positif lk 10 hari
setelah infeksi, dan
menghilang setelah 3-4
bulan)
 IgG (+) berarti infeksi
kronis (positif 1-2
minggu pasca infeksi
dan kadar puncak 1-2
bulan pasca infeksi).

diagnosis prenatal :
analisa serologi dari cairan
amnion/darah tali pusat;
USG (hidrosefalus

 Kordosentesis
(pengambilan sampel
darah janin melalui tali
pusat)
 amniosentesis (aspirasi
cairan ketuban) dengan
tuntunan
ultrasonografi.
 PCR : mende-teksi DNA
T. gondii pada darah
janin atau cairan
ketuban.
 ELISA pada darah
janin : mendeteksi
antibodi IgM janin
spesifik (anti-
toksoplasma)
Syarat kordosentesis &
Amniosintesis :
1. Antibodi IgM
2. Serokonversi
dengan interval
wakju 2 sampai 3
minggu, perubahan
dari seronegatif
menjadi seropositif
IgM dan IgG.
3. Titer IgG yang
tinggi ≥1/1024
(ELISA)
4. Aviditas IgG ≤200.

Terapi terapi pada kehamilan:  Terapi rubella hanya  Penatalaksanaan ibu


spiramisin (3x500mg) bersifat suportif. hamil yang
selama kehamilan;  Vaksinasi sejak kecil atau imunokompeten
pirimetamin, sulfonamid, sebelum hamil. dengan CMV primer
dan folinic acid.  vaksin kombinasi dikenal atau rekuren terbatas
pencegahan : memasak sebagai vaksin MMR pada pengobatan
daging sampai matang, (Mumps, Measles, simtomatik.
mencuci bersih sayur/buah Rubella).
dan peralatan yang  bisa diberikan
terpapar Valacyclovir 8g/hari.
daging/ikan/sayur/buah,
menghindari kontak
dengan bahan yang
berhubungan dengan
binatang terutama kucing.`

FILARIASIS dr.Risma
Filaria

 Nematoda dalam jaringan, mikrofilia di dalam jaringa/darah


 Habitat : RES, jaringan ikat, rongga tubuh
 Famili : Filaridae
 Nama Penyakit : Filariasis
 Cacing Dewasa
o Warna putih kuning, kutikula halus
o Betina 0,2 x 65-100 mm ekor tumpul, jantan 0,1 x 40 mm ekor melingkar
o Rongga mulut tidak nyata
o Oesophagus bentuk tabung : anterior berotot, posterior berkelenjar
o Mempunyai 2 spikula dan caudal alae
o Habitat : Kelenjar Limfe
o Periodisitas : malam hari mikrofilia terdapat di pembuluh darah tepi, siang hari di kapiler
organ dalam
o Ovovivipar
o Mikrofilia trdpt dalam darah dan limfe
 Macam Periodisitas
o Nocturnal
o Diural
o Sub Periodik : lebih sering waktu malam ( sub periodik nokturnal), sering siang ( sub
periodik diurnal)
 Siklus Hidup
o Ditularkan oleh nyamuk (intermediate host)
o Di Intermediate host dalam lambung, masuk otot thorax jadi LIII(stadium infektif)
o Masuk kelenjar ludah, kemudian nyamuk menghisap darah manusia
o Dalam tubuh nyamuk (cyclo developmental,tdk berkembang biak
o Nyamuk mati jika mengihasp lebih dr 12 mikrofilia
o LIII masuk sirkulasi darah
o LIV jadi jantan dan betina
o L1;1-3 jam, LII;3-4 hari, LIII;5-6 hari,pre latent period ? inkubasi;8-16 bulan
Filaria Vektor Penyakit

1. W.bancrofti Culex LF
2. B.malayi Mansonia LF
3. B.timori Anopheles/ Mansonia LF
4. O.volvulus Simulium flies River Blindness
5. L.loa Chrysops flies S/c swellings
6. M.perstans Culicoides Serous cavity
7. M.streptocerca Culicoides ”
8. M.ozzardi Culicoides ”

Wuchereria bancrofti

 Iklim panas
 Definitif host :manusiaVektor : Nyamuk Culex ,bisa aedes & anopheles
 Habitat : Saluran limfe
 Morfologi
o Halus, panjang, putih, ekor melengkung ke ventral
o Jantan : 40 mm d 0,1 mm, betina : 80-100 mm d : 0,3 mm ekor melengkung ke ventral
o Mikrofilia :
 sheath (+), tidak tampak pada pengecetan Giemsa. P : 250-300 d: 7,5-10 mikron
 anterior tumpul, posterior lancip
 cephalic space 1:1
 Inti rapih dan teratur
 Caudal nuclei (-)
 Bentuk luwes pd sediaan darah kering
 Periodik nocturnal
 Di Indo : Kalimantan .Sumatera,Jakarta,Malang,Sulawesi,P. Buru
 Gejala Klinis :
o Reaksi Jaringan RES
o Pembuntuan Limfe
o Ekstravasasi cairan
o Gejala muncul saat larva keluar tubuh
o Akut dan kronis
o Flu, demam, limfadenitis
o Timbul setelah kerja berat. 1-2 minggu (relaps)
o Infeksi alat kelamin host definitif ( orchitis, epidedimitis, funiculitis)
o Hydrocele, keluarnya chylus di urine
 Elefantiasis
o Jika tidak di terapi menjadi kronis 10-20 tahun infeksi
o Pada seluruh tungkai (pangkal paha ke bawah
o Seluruh lengan, kulit kering,gatal,kasar,mudah pecah
o Infeksi sekunder
o Pria : elefantiasis scroti, wanita mammae dan vulva
o Bersifat occult (batuk malam hari,sesak,terengah engah, pembesaran limfe, pada lab
eosinofil 20%, mikrofilia (-) : Sindorma Tropical Eosinofilia)

Brugria Malayi

 Penyakit : Brugriasis Malayi / Filariasis malayani


 Asia di rural
 Asosiasi tes, Host reservoir : manusia anjing kucing kera
 Habitat : limfe
 Betina p 43-55 mm, jantan 13-23 mm
 Mikrofilaria
o P : 180-230 mikro / 265-320 mikron
o Sheath (+) merah muda pada giemsa
o Cephalic space p 2 : 1
o Inti bergerombol,tak teratur, 2 caudal nuclei di ujung ekor
o Tampak patah patah
o Periodik nocturnal dan sebagian sub periodic noktrunal
o Vektor : Anopheles barbirostris dan Mansoni
 Gejala Klinis
o Demam Limfedenitis stlh kerja berat
o Elefantiasis
 Jika kronis
 Tungkai dan lengan saja
 Lengan dibawah siku, kaki dibawah lutut

Brugria Timori
 Mikrofilia
o Giemsa (-)
o Cephalic space : 3 : 1
o 2 caudal nuclei pada ujung ekor kecil dan jauh

TICKS AND MITES DR ERINA


 Ticks

Morfologi :

 Arachnids = tubuh dibagi jadi 2 bagian (cephalothorax & abdomen) atau fused sepenuhnya, fase
dewasa punya 4 pasang kaki, antenna (-), sayap (-).
 Ixodidae (hard tick):
o memiliki penutup / scutum meluas ke seluruh permukaan punggung jantan, tapi hanya
menutupi area kecil di belakang kepala pada larva, nimfa atau betina.
o Mulut yang ada di bagian kapitulum ada di anterior & terlihat dari permukaan dorsal,
terdiri dari sepasang chelicerae (menyerupai taring) dan sepasang pedipalps (di lateral
taring).
o Ada lekukan pada scutum dan tubuh, dan pada beberapa spesies, deretan
cekungansebagai hiasan (festoons), di perbatasan posterior tubuh.
o Bukaan genital di garis tengah ventral dan anus posterior. Beberapa kutu memiliki
areaberwarna seperti enamel di tubuh dan ini disebut ornate ticks.
o Mata ada di batas luar scutum (jika punya mata).
Female hard tick male hard tick

Hard tick (Ixodidae) soft tick (argasidae)

 Life cycle
o Metamorfosis sederhana (larva & nymph dewasa).
o Betina mengerami telur pada host. Larva (6 kaki, tidak ada organ reproduksi) menetas,
makan dan berkembang pada host dan berganti kulit menjadi nimfa.
o Nymph (8 kaki, tidak ada organ reproduksi fungsional) makan dan berkembang pada
host dan berganti kulit menjadi nimfa lain (soft tick) atau dewasa (hard tick).
o Soft ticks= 2 atau lebih tahap nimfa; hard ticks hanya memiliki 1.
o Kemudian nymph berganti kulit lagi jadi adult tick.
o Soft ticks hidup di indoor (liang, sarang, kandang, dll.), Makan dengan cepatdan hidup
sebentar di inangnya.
o hard ticks hidup di outdoor, makan dengan lambat, dan hidup lebih lama di inangnya.
o Sebagian besar kutu tidak tahan sinar matahari langsung, kekeringan, atau hujan yang
berlebihan; aktivitas kutu menurun padamusim dingin dan meningkat pada musim semi,
panas, dan gugur.
o hard ticks dapat diklasifikasikan menjadione-host (semua tahapan pada satu inang,
Boophilus annulatus), two-host (dua tahapan pada satu inang, Rhipicephalus bursa),
atau three-host (semua tahapan pada inang berbeda, Rhipicephalus appendiculate).
CHARACTER Argasidae (soft ticks) Ixodidae (hard ticks)
SCUTUM Absent Jantan menutupi seluruh dorsal,
betina Sebagian dorsal
MULUT Tidak terlihat dari dorsal Terlihat dari dorsal
CARA Larva makan dengan lambat Larva, nymph, dewasa makan
MAKAN beberapa hari, nymph dan sekali, bisa kenyang beberapa hari
dewasa makan dengan cepat,
beberapa kali
STADIUM Telur, larva, 2 atau lebih Telur, larva, nymph, dewasa
nymph, dewasa
INFESTASI Hanya menginfeksi unggas Menginfeksi manusia & hewan
SPESIES • Argas americanus, • Ixodes,
• A. persicus, • Rhipicephalus bursa,
• Ornithodoros • R. appendiculate,
moubata, • R. sanguineus,
• Otobius megneni • Hyalomma anatolicum,
• Hyaloma dromadarii,
• Amblyomma maculatum,
• A. americanum, Boophilus
annulatus, Dermacenter
andersoni, D. venustus, D.
variabilis
B. Hard ticks

 Genus Ixodes spp. =Lyme Disease

• Genus Hyalomma:H. marginatum (Crimean-Congo hemorrhagic fever)

H. anatolicum foundin Iraq( H. anatolicum) transmit theileriosis(Theileria hirci)

 Genus Rhipicephalus:di Afrika, tapi beberapa spesies tersebar di wilayah tropis


R. sanguineus (Brown Dog tick) tersebar di seluruh dunia (rocky mountain spotted fever
[RMSF]). Found in Iraq (Rhipicephalus turanicus transmit Babesiabovis, B. bigemina) pada
hewan ternak.
 Genus Boophilus annulatusnon-ornamented, one-host ticks (Cattle Fever tick) southern US,
Mexico (Texas Cattle fever) (found in Iraq transmitBabesiabigemina, Anaplasma marginale
pada hewan ternak).

• Genus Dermacentor: Ornate ticks (D. variabilis&D. andersoni)

• Genus Amblyomma: Large ornate ticks

A. americanum (Lone Star tick)


C. Soft ticks

• Genus Argas:berhubungan dengan ungags nocturnal

A. persicus (Fowl tick) penyebaran seluruh dunia (terasa sakit jika menggigit)

• Genus Ornithodoros: Reservoirs dan vector mengalami demam yang relaps

• Genus Otobius:O. megnini (Spinose ear tick) (fase nymph infestasi di telinga)

D. Diagnosis

 Kutu diambil dengan hati-hati agar mulut tetap utuh.


 Pengawetan spesimen utuh dalam etanol 70% atau isopropil alkohol direkomendasikan,
meskipun formalin 5% sudah cukup.
 Identifikasi spesifik kutu agak susah, terutama jika saat stadium larva atau nimfa.
 Namun, fase dewasa dapat diidentifikasi genus nya berdasarkan bentuk kapitulum dan panjang
mulut, ada tidaknya tanda pada scutum, dan struktur tubuh.

Pengambilan kutu:

1. Gunakan penjepit berujung halus atau lindungi jari Anda dengan tisu, handuk kertas, atau sarung
tangan karet. Janganmengambil kutu dengan tangan kosong.

2. Pegang kutu sedekat mungkin dengan permukaan kulit dan tarik ke atas dengan tekanan yang stabil
dan merata. Jangan memutar atau menarik paksa kutu; Hal ini dapat menyebabkan mulut pecah dan
tertinggal di kulit.

E. Treatment and Control

 Untuk mengontrol R. sanguineusindoor, semprot dalam ruangan dengan Diazinon. Singkirkan


vegetasi dan debris dari kasur untuk mengurangi kelangsungan hidup kutu.Semprotkan dengan
acaricide untuk membunuh yang tersisa.
 Untuk sapi perah, coumaphos dan dichlorvos dapat digunakan. Kedua obat tadi dan malathion
dapat digunakan pada sapi potong dan sapi perah.
 Coumaphos efektif untuk kuda.
 Debu insektisida atau konsentrat emulsi digunakan dalam pengobatan infestasi O. megnini.

F. Tick borne disease

a) Infeksi Rickettsia = agen penyebab dari :

1. trench fever.

2. Rocky mountain spotted fever disebabkan oleh Rickettsia rickettsia yang ditularkanoleh kutu
ixodid.

3. Query fever ditularkan melalui kutu mamalia kecil.

b) Tick borne bacterial infections = kutu ixodid dan argasid berfungsi sebagai vektor dari beberapa
bakteri pathogen.

1. Relapsing fever (demam berulang) yang disebabkan oleh Borrelia duttoni.

2. Tularemia: penyakit bakteri menular yang disebabkan oleh Francisella tularensis.

c) Tick borne viral infections:

Encephalitis and haemorrhagic fever


d) Tick borne parasitic(protozoa) infections):

1. Babesiosis (demam sapi Texas)

2. Theileriosis (demam east coast)

3. Anaplasmosis

e)Umumnya kutu menyebabkan:

1. inflamasi local& kerusakan pada lokasi pelekatan.

2. Kerusakan sistemik dapat mengakibatkan kelumpuhan (tick paralysis) akibat zattoksik yang
disekresikan oleh kelenjar ludah kutu.

spotted rash of late-stage Rocky Mountain spotted fever

erythema chronicum migrans (bull’s eye rash) Lyme disease


Antiviral farmakologi – dr Pra
•Virus-obligat intraselular dan ada 2 macam DNA dan RNA

•Struktur virus:

1.DNA virus

⁃ poxvirus, herpes, adenovirus, papilomavirus


⁃ lbh bnyk yg double strand
⁃ virus DNA bisa lgsg masuk ke nukleus sel host dan mmbntk virus baru
2.RNA virus

⁃ influenza, measles, mumps, poliomyeltis, retrovirus (AIDS)


⁃ lbh bnyk yg single strand
⁃ virus RNA tdk masuk ke dlm nukleus sel host, kecuali influenza
⁃ retrovirus pnya enzim reverse transcriptase utk membuat copy DNA
•Tempat2 utama aksi antivirus:

⁃ Viral attachment/saat virus mau masuk ke dalam sel bisa dihambatdengan enfuvirtide (HIV),
maraviroc (HIV), docosanol (HSV), pavalizumab (RSV)
⁃ Saat virus penetrasi dapat dihambat dengan interferon-alfa (HBV,HCV)
⁃ Saat virus uncoating dpt dihambat dengan amantadine, rimantadine (influenza)
⁃ Saat virus sintesa as. Nukleat dpt dihambat dengan NRTI(HIV), NNRTI (HIV), acyclovir (HSV),
foscarnet (CMV), entecavir (HBV)
⁃ Saat virus mau keluar bisa dihambat dengan inhibitor neuraminidase (influenza)
•Antivirus secara umum:

⁃ Prodrugs(blm aktif, dlm tubuh di metabolisme dulu baru bisa aktif)


⁃ harus di fosforilasi oleh virus atau reaksi dengan enzim sel supaya aktif
⁃ spektrum terbatas dan sering menghambat protein virus melalui perubahan enzim sintesa
as.nukleat virus
⁃ resisten antivurus karena perubahan nukleotida
⁃ menghambat replikasi aktif virus, tpi tdk bsa mengeliminasi pd saat virus itu tdk bereplikasi (saat
virusnya dorman, tdk dpt dieleminasi)
⁃ bisa pnya antiviral synergistic effects (ganciclovir dengan foscarnet, zidovudine dengan
didanosine) dan toxic synergistic effects (zidovudine dengan acyclovir, zidovudine dengan
ganciclovir)
⁃ efikasi klinis obat antiviral bergantung pada konsentrasi inhibotris pada sel yg terinfeksi

•Amantadine (tricyclic amines)

Aksi mekanisme

- menghambat uncoating virus dengan:


a) menghalangi membran virus protein matrix M2 yg berfungsi sbg ion channel, ini diblok utk
mencegah fusi dgn membran sel
b) meningkatkan pH endosome
- spektrum antivirus & resistensi
a) Infleunza A
b) 30% pasien resisten
- efek lain
a) punya efek antiparkinson (krn efek antimuskarinik, dan stimulasi dopamine)
Farmakokinetik & pemberian:

- absorbsi oral 50-90%


- distribusi ke sluruh tubuh tmsk SSP
- ekskresi di renal >90%
- waktu paruh >>16jam
- Administrasi/pemberian:oral
Ef.samping

- Anorexia, mual, muntah, cemas, insomnia


- Delirium & halusinasi (dosis tinggi)
- Efek teratogenic
Penggunaan terapi

- Utk influenza A treatmen dlm waktu 48jam sdh dpt mnurunkan gejala2 klinis
- Prevensi 70-90% protektif efektif
•Ribavirin (analog nukleosida purin)

Aksi mekanisme

- Menghambat sintesis guanosine triphosphate shg menghambat sintesa as.nukleat


- Menghambat spesifik sintesis mRNA virus
- Spektrum antivirus:
a) Spektrum luas bisa DNA maupun RNA : Influenza A,B,C, parainfluenza, measles HSV1,2 CMV,
RSV
b) Tidak ada dokumentasi resisten
Farmakokineitk & pemberian

- Absorbsi oral 50-90%, aerosol <5%


- Distribusi ke sluruh tubuh kecuali SSP
- Eksresi renal >35%
- Waktu paruh 30 hrs
- Adm:oral, IV, inhalasi
Ef. Samping

- Pemberian aerosol bisa konjungtivitis, sesak (wheezing), deteriorasi fungsi paru


- Pemberian oral/IV bisa supresi sumsum tulang, sakit kepala, insomnia
- Teratogenic efek
Penggunaan terapi

- Drug of choice utk bronkiolitis RSV, dan pneumoni pd anak2(aerosol), lassa fever
- Alternative drug utk influenza, parainfluenza, measles pd pasien immunocompromised

•Acyclovir dan golongannya (-clovir), (analog guanine nucleoside)

Mekanisme aksi

- di fosforilasi oleh thmidine kinase virus dan dimetabolisme host cell jadi nucleotide analog
- analog ini hambat dna polymerase virus,
- hanya hambat replikasi aktif, bntk triphosphate baru bisa hambat virus
- spektrum antivirus & resistensi:
a) acyclovir=HSV-1 2 dan VZV
b) gancyclovir=HSV1 2, VZV, EBV, CMV
c) resisten bisa karena penurunan produksi thymidine kinase, perubahan thymidine kinase,
dan perubahan dna polymerase virus
- Hambat sintesa DNA virus, dan memutus rantai virus
Farmakologi dan pemberian

- adm oral acy(20-30%) gancy (<10%)


- distribusi sluruh tubuh trmsk CNS
- eksresi renal 80%
- waktu paruh 2-5h
- adm: oral, topical(tdk efektif jika ruamnya sdh muncul lebih dari 1 hari), IV
Ef samping

- nausea, mual muntah,


- nefrotoxic(IV),
- teratogenic hny pd binatang(aman utk bumil& bayi baru lahir)
Penggunaan terapi

- HSV genital, HSV encephalitis, HSV pd pasien immunocompromised, CMV retinitis, prevensi CMV
pd pasien transplantasi

•Vidarabine (analog nucleoside)

Aksi mekanisme

- obatnya dikonversi oleh enzim selular jd analog triphosphate yg menghambat viral dna
polymerase
- Spektrum antivirus & resistensi
a) bisa untuk HSV 1 2, VZV
Farmakokinetik & pemberian

- absorbsi oral <2%


- distribusi sluruh tubuh trmsk SSP
- ekskresi renal >50%
- waktu paruh 3-4jam
- Adm:topical atau IV
Ef. Samping

- Neurotoxic
Penggunaan terapi

- HSV keratoconjungtivitis (topical)


- Neonatal herpes
- VZV

•Idoxuridine & Trifluridine (analog nucleoside)

Aksi mekanisme

- jg di konversi seluler enzim jd triphosphate menghambat virus dna synthesis


- Spektrum antivirus & resistensi:
a) bisa utk HSV 1-2 dan VZV,
b) bisa resisten klo diberi jangka panjang
Farmakokinetik & pemberian

- adm:topical
Efek samping

- bisa sakit/gatal di daerah palpebra karen pemberian topikal di mata bisa


- reaksi alergi
Penggunaan terapi

- inf HSV mata, mulut, genital

•Foscarnet (analog pyrophosphate)

Mekanisme aksi

- hambat dna virus polymerase dan inverse transcriptase


- Spektrum antivirusnya utk HSV1,2, VZV, CMV dan HIV
Farmakokinetik & pemberian

- Absorbsi oral 10-20%


- Waktu paruh 3-4 hari
- Adm: hnya IV
Efek samping

- Hipokalsemia, dan hypomagnesemia (krn chelating agents)


- Neurotoxic dan nephrotoxic
Penggunaan terapi

- Alternative drug utk HSV, CMV

•Zidovudine (slh 1 anti-HIV) (analog thymine nucleoside)

Aksi mekanisme

- difosforilasi oleh thymdine kinase sel terkait dgn analog nucletida


- analog ini menghalangi rna dependent dna-polymerase shg menghalangi sintesis DNA
- spektrum antivirus & resisten
a) bs utk HIV 1 2, HTLV1 dan retrovirus lainnya
Farmakokinetik & pemberian

- absorbsi oral65%,
- renal eksresi 15%,
- distribusi selurh tubuh termasuk CNS
- waktu paruh 1jam
Efek samping

- anemia leukopenia krn supresi bone marrow (30% pasien butuh transfuse)
- myopathy, asidosis laktat
Penggunaan terapi

- HIV
- Jika tidak dpt lagi merespon trhdp zodivudine, pakai Didanosine & Zalcitabine

•HIV protease inhibitor (atazanavir, darunavir, lopinavir(bs buat COVID19), saquinavir)

Aksi mekanisme

- Suatu aspartic endopeptidase yg memutus produk polypeptide virus


- Dengan menghambat protease HIV obat ini menghambat pertumbuhan/maturation virus shg
aktif pada sel terinfeksi scr akut maupun kronis
- Spektrum antivirus HIV 1,2 dan strain yg resisten nucleotide analog
Farmakokinetik & pemberian

- absorbsi 4-10%(first pass effect tinggi)


- administrasi oral
Efek samping

- nausea vomit diare, steven johnson syndrome


Penggunaan terapi

- infeksi HIV lanjut


-
•Efuvirtide dan Maraviroc(berikatan dgn CCR5)

- hambat entry atau masuknya virus


•Raltegravir

- hambat integrasi
•Interferon (IFN)

- tiga kelas pd manusia yaitu: IFN-alpha(human leucocyte), IFN-betha(human fibroblast),IFN-


gamma(human immune) yg alpha dan beta diinduksi oleh virus, dan gamma diinduksi oleh
antigen
- mekanisme antivirus:terikat dengan reseptor spesifik sel host lalu menginduksi enzim2 berikut:
a) protein kinase -> menghambat sintesa protein
b) oligoadenylate synthase -> degradasi mRNA virus
c) Phosphodiesterase -> menghambat tRNA
- Aksi trhdp enzim2 diatas menyebabkan penghambatan translasi virus
- Antivirus spektrum=HBV, HCV ,HDV, HSV, VZV, CMV, HPV
- bisa dipakai utk pengobatan sel kanker krn ada aksi immunomodulating dan antiproliferative
-
Farmakokinetik

- absorbis oral<1%, kalo IM yg IFN alpha >80%, beta >40%


- waktu paruh 1-4jam
Efek samping

- flu like synd, supresi sumsum tulang, neurotoxicity


Penggunaan terapi

- Hepatitis B&C kronis, HZV pd pasien Ca, CMV pd transplan renal,


Ada antibiotik yg mempunyai efeksprti interferon yaitu azythromicin dan doxicycline

TERAPI ANTIMIKROBA –dr pra


DEFINISI OBAT ANTIMIKROBA
Merupakan obat yang menghancurkan mikroba, mencegah perkembangan, atau mencegah aksi
patogennya. Setiap obat memiliki perbedaan:
 Memiliki perbedaan secara fisik, kimia, dan farmakologis
 Memiliki perbedaan pada aktivitas spektrum
 Memiliki perbedaan pada mekanisme aksi

KLASIFIKASI OBAT ANTIMIKROBA


1. Menghambat sintesis dinding sel
a. Penicillins
b. Cephalosporins
c. Carbapenems
d. Monobactams (aztreonam)
e. Vancomycin
2. Menghambat sintesis protein
a. Chloramphenicol
b. Tetracyclines
c. Macrolides
d. Clindamycin
e. Streptogramins (quinupristin/dalfopristin)
f. Oxazolidinones (linezolid)
g. Aminoglycoside
3. Menghambat metabolisme folat
a. Trimethroprim
b. Sulfamethoxazole
4. Mengubah metabolism asam nukleat
a. Rimfamycins
b. Quinolones
5. Lain-lain
a. Metronidazole
b. daptomycin

CARA MEMILIH OBAT ANTIMIKROBA


1. Konfirmasi adanya sauatu infeksi
a. Riwayat dan pemeriksaan fisik
b. Sign and symptoms
c. Faktor predisposisi
2. Mengidentifikasi jenis pathogen
a. Mengambil sampel dari jaringan terinfeksi
b. Pengecatan
c. Serologi
d. Kultur dan uji sensitivitas
3. Dugaan terapi
a. Drug factor
b. Host factor
4. Memonitor respon terapeutik
a. Penilaian klinis
b. Uji lab
c. Penilaian kegagalan
MACAM TERAPI ANTIMIKROBA
1. Empiris
a. Organisme yang menginfeksi belom diketahui
b. Broad sprekturm (lebih luas jangkauan obat)
2. Definitif
a. Organisme diketahui dan obat lebih spesifik
b. Narrow spektrum (lebih sempit jangkauan obat)
3. Profilaksis atau preventif
a. Mencegah infeksi awal atau berulang

DOK DOK? APAKAH SAYA TERINFEKSI?!


1. Lakukan anamnesa dengan TELITI (pemeriksaan fisik dan lab, riwayat, serta sign and symptom)
a. Temperatur
b. White Blood Cell count (WBC)
c. Apakah ada bengkak atau eritema (kemerahan)
d. Apakah ada drainase purulent
e. Adanya komplain dari pasien, jangan menduga-duga karena kita bukan dukun!
2. Faktor Predisposisi
a. Surgey, berbagai macam penanganan, keterbatasan fisik, dll

HASIL KULTUR
1. Minimum Inhibitory Concentration (MIC)
a. Jadi… intinya... sampel diambil dari pasien yang terinfeksi, kemudian dilakukan kultur
yang dimana kultur tersebut diberikan obat antimikroba dengan konsentrasi terendah,
setelah itu inkubasi dan dilihat 24 jam berikutnya apakah obat tersebut mencegah
pertumbuhan bakteri atau tidak. Paham?
b. Organisme dan antimikroba yang spesifik
c. Interpretasi
i. Farmakokinetik obat dalam tubuh manusia
ii. Aktivitas obat terhadap organisme
iii. Site of infection
iv. Mekanisme resistensi obat
2. Laporan kultur
a. Susceptible (S) “organisme kultur ngaruh sama obat jd terhambat”
b. Intermediate (I) “organisme kultur ga terlalu ngaruh sama obat”
c. Resistant (R) “organisme kultur tetap tumbuh walau udh ada obat”
3. Susceptibility testing method
a. Diisk Difussion (Kirby-Bauer disks)
b. Broth dilution
c. E-Test (epsilometer)

FARMAKOKINETIK
1. Absorbsi
a. Intramuskular, subkutan, topical
b. GI via oral, tubulus, atau rectal
c. Bioavailabilitas = jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik
2. Distribusi
a. Dipengaruhi lipofolisitas obat, koefisien partisi, aliran darah ke jaringan, pH, dan binding
protein
3. Metabolisme
a. FASE 1
i. Substrat masih inaktivasi dan merupakan senyawa polar
ii. Dealkylation, hydroxylation, oxidation, deamination
iii. Cytochrome P-450 system (CYP3A4, CYP2D6, 2C9,1A2,2E1)
b. FASE 2
i. Senyawa sebelumnya terkonjugasi dengan molekul lebih besar dan polaritas
meningkat
ii. Glucuronidation, sulfation, acetylation
4. Eleminasi
a. Total body clearance
i. Renal + non-renal
ii. Waktu paruh
1. Renal
a. Filtrasi glomelurus, sekresi tubulus, difusi pasif
b. Dialysis
2. Non-renal
a. Hepatic clearance, biliaris, kulit
3. Waktu paruh
a. Konsentrasi stabil setelah 4-5 waktu paruh
b. Bervairasi
c. Dipengaruhi fungsi organ dan protein binding

FARMAKODINAMIK
Ada yang diinginkan (membunuh bakteri) dan tidak diinginkan (efek samping)
1. Bakteriostatik (menghambat pertumbuhan atau replikasi)
2. Bakterisidal (membunuh baktaeri terkadang sel juga ikut mati)

PARAMETER FARMAKODINAMIK ANTIMIKROBA

POST ANTIBIOTIC EFFECT (PAE)


1. Lambatnya pertumbuhan ulang bakteri setelah pemebrian antibiotic
2. Organisme gram positif
a. Kebanyakan antibiotic (beta-lactam) mencapai PAE ~1-2 jam
b. Aminoglikosida PAE <1jam
3. Organisme gram negative
a. Kebanyakan beta-lactm (kecuali imipenem) tidak ada PAE
b. Aminoglikosida dan quinolone PAE ≥2jam

FAKTOR OBAT LAIN


1. Efek samping dan potensi toxic
2. Biaya
a. Beli + penyimpanan + persiapan + distribusi + administrasi
b. Monitoring
c. Lama rawat inap
d. Kualitas hidup
3. Resisten

HOST FACTOR
1. Kehamilan
a. Semua antimikroba melewati barrier plasenta
b. Penisilin, cephalosporin, erythromisin aman
2. Disposisi obat
a. Penisilin, cepalosporin, aminoglikosida di eleminasi lebih cepat saat hamil karena ↑
intravascular volume, ↑ glomerular filtration rate, ↑ hepatic and metabolic activities
3. Abnormalitas genetic atau metabolic
a. Defisiensi Glucose-6-Phosphate dehydrogenase (G6PD)
4. Fungsi renal dan hepar
5. Penyakit yang dimiliki sebelumnya atau menyertai

SITE OF INFECTION
Adanya suatu site of infection merupakan FAKTOR TERPENTING untuk mempertimbangkan
pemberian obat antimikroba. Selain itu menentukan agen infeksi, pemberian dosis dan rute administrasi
yang tepat juga sangat penting.

 Oral atau IV ?
o Tergantung biovailabilitas obat, keparahan infeksi, fungsi GI
 Konsentrasi pada darah atau jaringan?
o Ampicillin (tinggi di bile)
o Fluoroquinolone (tinggi di tulang)
o Quinolone, TMP/SMX, cephalosporin, amoxicillin (tinggi di prosate)
 Kemampunan menembus barrier blood-brain
o Generasi ke 3 atau 4 dari cephalosporin, ampicillin, oxacilin
 Permasalahan infeksi local
o Aminoglikosida inaktivasi akibat pH rendah dan tekanan okigen yg rendah
o Beta-lactam >>> inoculum effect

INTERAKSI OBAT

 Pharmacokinetic
Alterasi dari satu atau lebih parameter dasar obat serta efffek yang diinginkan
 Absorption
Biovailabilitas
 Distribution
Protein binding
 Metabolism
CYP450
 Elimination
Renal
 Obat tambahan
Bisa berujung ke efek yang diinginkan atau menjadi racun
 Obat Antagonis
Bisa berujung ke efek yang merugikan
 Efek tidak langsung
Obat saling mempengaruhi satu sama yang lain

KOMBINASI TERAPI ANTIMIKROBA

 Sinergistik
 Antagonistic
 Indifferent

MONITORING

1. Kemanjuran (efficacy) dan sifat beracun (toxicity) dari obat


2. Penilaian klinis
a. Perbaikan pada sing and symptoms
i. Penurunan demam, penurunan WBC
ii. Penurunan eritema, nyeri, batuk,drainase, dll
3. Antimicrobial regimen
a. Level serum
b. Fungsi renal dan hepar
c. Tes lab lain yang diperlukan
d. Perubahan dari IV ke PO
4. Laporan mikrobiologi
a. Ubah antimokroba untuk mendapatkan hasil yang susceptibility
b. Apakah obat resisten?
c. Pilih antimikroba yang spektrum nya sempit jika memungkinkan

RESISTENSI
MORBUS HANSEN
Leprosy akibat M.leprae, ada dua tipe dari leprosy :
1. Lepromatous Leprosy
a. Infeksi berat dan progress rapid
b. Terdapat ulcerasi jelas
c. Kerusakan jaringan dan saraf
d. Manajemen terapi = berlangsung 2thn dengan Dapsone + Rimfapicin + Clofazimine
2. Tuberculoid Leprosy
a. Infeksi ringan dan progress lambat
b. Penurunan sensoris
c. Managemen therapy = berlansgung 6bln dengan Dapsone + Rimfapicin

DAPSONE / SULFONE
1. Dapsone = diamino-diphenyl sulfone DDS
2. Primary drug = efektif, toxic rendah dan tidak mahal
a. MOA = menghambat sintesis folat
b. PK = oral , diserap dengan baik, didistribusi dengan baik
i. Melewati enterohepatic recycling
ii. Ekskresi sebagai metabolit secara renal
3. Efek samping
a. Rash, gangguan GI
b. Adanya nodul eritema
CLOFAZIMINE = bakterisidal mingguan

1. Kemungkinan MOA:
a. Gangguan membrane
b. Inhibisi mikobakterial phospholipase A2
c. Inhibisi mikrobakterial K+ transport
d. Pembentukan hydrogen peroksida
e. Menggaunggu tranpor electron bakteri
2. Ada efek ani-inflamasi via inhhibisi makrofag, sel T, neutrophil dan komplemen
a. Digunakan bersamaan atau sebagai alternative terhadap Dapsone pada leprosy yang
resisten atau intoleran dengan sulfone
b. 100 mg/d oral
3. Efek samping
a. Merah kecoklatan hampir hitam pada kulit dan konjungtiva
b. Intoleransi GI (terkadang)

RIMFAMISIN
1. MOA = berikatan dengan subunit β dari DNA-dependent RNA polymerase (rpoB)
2. Farmakokinetik
a. Diserap baik, ditribusi baik, exkresi utama melalui hepar
3. Efek samping
a. Hepatitis
b. Hipersensitivitas
c. Demam, wajah merah, pruritus
d. Thrombositopenia
e. Nefritis interstisial
f. Warna orange pada urin, saliva, tears, sweat dan lensa mata

Nosocomial Infection dr retno


Terdapat sekitar 15% pasien yang dirawat di RS mengalami infeksi nosocomial.
Disebabkan oleh pathogen oportunistik yang biasanya dianggap sebagai flora normal.

Centers for Disease Control Atlanta mendefinisikan infeksi ini sebagai infeksi local atau yang tersebar
luas ke seluruh tubuh yang diakibatkan oleh reaksi merugikan terhadap mikroorganisme atau toksin
infeksius yang tidak ada pada saat masuk ke RS.

Menurut WHO : infeksi nosocomial adalah

 Infeksi yang didapat di rumah sakit oleh pasien yang dirawat karena alasan selain infeksi
tersebut.
 Infeksi yang terjadi pada pasien di rumah sakit atau fasilitas perawatan kesehatan lain yang tidak
ada infeksi atau inkubasinya pada saat masuk rumah sakit.

Menurutku: intinya infeksi nosocomial itu infeksi yang terjadi di lingkungan rumah sakit. Seseorang
dikatakan mengalami infeksi nosokomial jika infeksinya didapat ketika berada atau menjalani perawatan
di rumah sakit. Infeksi nosokomial bisa terjadi pada pasien, perawat, dokter, serta pekerja atau
pengunjung di rumah sakit

Lanjut : Infeksi dianggap nosokomial jika muncul pertama kali 48 jam atau lebih setelah masuk rumah
sakit. Infeksi nosokomial yang paling umum adalah pada saluran kemih, dan berbagai pneumonia.

Penularan infeksi di dalam rumah sakit membutuhkan tiga elemen :

 sumber mikroorganisme yang menginfeksi


 host yang rentan
 sarana penularan mikroorganisme.

Host

 Manusia itu sebagai reservoir atau sumber mikroorganisme, pemancar mikroorganisme dan
reseptor mikroorganisme.
 Infeksi yang berasal dari orang lain di rumah sakit (cross-infection), dari benda mati yang baru-
baru ini terkontaminasi oleh sumber manusia (environmental infection) atau mungkin
disebabkan oleh flora pasien itu sendiri (infeksi endogen).

Sumber

Sumber dari manusia dapat berupa pasien, pekerja, pengunjung, orang dengan penyakit akut, orang
dalam masa inkubasi penyakit, orang yang didiami oleh agen infeksi tetapi tidak memiliki penyakit yang
jelas, atau orang yang merupakan pembawa kronis agen infeksi.

Tipe-tipe infeksi nosocomial:

Alasan infeksi nosocomial begitu umum :

 Rumah sakit menampung banyak orang yang sakit dan yang sistem kekebalannya sering kali
dalam keadaan lemah.
 Staf medis berpindah dari satu pasien ke pasien lain, memberikan jalan bagi patogen untuk
menyebar.
 Banyak prosedur medis melewati barrier pelindung alami tubuh.
 Penggunaan rutin agen anti-mikroba di rumah sakit menciptakan munculnya strain resisten.
Etiologi

Penyebab mikrobiologis yang paling umum dari infeksi nosokomial adalah bakteri. Bakteri gram negatif,
E. coli, Proteus mirabilis dan anggota famili Enterobacteriacaea lainnya adalah yang utama. Bakteri ini
adalah penghuni saluran usus, menyebar melalui kontaminasi tinja orangatau permukaan lain. Gram-
negatif lainnya: Pseudomonas dan Acinetobacter.

Bakteri

Bakteri komensal yang ditemukan dalam flora normal manusia sehat, memiliki peran perlindungan yang
signifikan dengan mencegah kolonisasi oleh mikroorganisme patogen. Beberapa bakteri komensal dapat
menyebabkan infeksi jika natural host terganggu. Misalnya, Staphylococcus epidermidis menyebabkan
infeksi jalur IV, Escherichia coli (E. coli) adalah penyebab paling umum dari infeksi saluran kemih.

Bakteri patogen memiliki virulensi yang lebih besar, dan menyebabkan infeksi terlepas dari status
hostnya. Contoh:

 Batang Gram-positif anaerobik (misalnya Clostridium) menyebabkan gangren.


 Staphylococcus aureus (yang menempati kulit dan hidung dari pasien dan staf rumah sakit)
menyebabkan berbagai macam infeksi paru-paru, tulang, jantung dan aliran darah dan seringkali
kebal terhadap antibiotik
 Enterobacteriaceae (misalnya E. coli, Proteus, Klebsiella, Enterobacter, Serratia marcescens)
mungkin juga sangat resisten terhadap antibiotik.
 Pseudomonas spp. sering diisolasi di air dan daerah lembab. Mereka mungkin menyerang
saluran pencernaan pasien yang dirawat di rumah sakit.
 Legionella dapat menyebabkan pneumonia melalui penghirupan aerosol yang mengandung air
yang terkontaminasi (AC, pancuran, aerosol terapeutik).

Virus:

 Termasuk virus hepatitis B dan C (transfusi, cuci darah, suntikan/injeksi, endoskopi)


 virus pernapasan syncytial (RSV), rotavirus, dan enterovirus (ditularkan melalui kontak tangan
ke mulut dan melalui jalur fekal-oral)
 Virus lain seperti cytomegalovirus (CMV), HIV, Ebola, virus influenza, virusherpes simplex, dan
virus varicella-zoster, juga dapat ditularkan.

Parasite dan Fungi:

 Jamur dan parasitmerupakan organisme oportunistik dan menyebabkan infeksi selama


pengobatan antibiotik yang diperpanjang dan imunosupresi parah (Candida albicans,
Aspergillus spp., Cryptococcus neoformans, Cryptosporidium), penyebab infeksi sistemik di
antara pasien dengan gangguan kekebalan.
 Pencemaran lingkungan oleh organisme di udara seperti Aspergillus spp. yang berasal dari debu
dan tanah, terutama selama pembangunan rumah sakit.

Predisposisi infeksi

 Orang-orang di rumah sakit yang biasanya dalam keadaan kesehatan yang buruk, mengganggu
pertahanan mereka terhadap bakteri.
 Penyakit akut dapat sangat meningkatkan risiko infeksi - luka bakar dan trauma menyebabkan
hilangnya kulit, penghalang penting untuk melawan infeksi.
 Perangkat invasif, seperti tabung intubasi, kateter, saluran pembedahan, dan tabung
trakeostomi melewati garis pertahanan alami tubuh terhadap patogen.
 Imunosupresi dan pengobatan antasida merusak pertahanan tubuh, sedangkan terapi
antimikroba (menghilangkan competitive flora dan hanya menyisakan organisme resisten)
 Transfusi darah berulang, nutrisi parenteral semuanya telah diidentifikasi sebagai faktor risiko.

Transmisi

 Kontak langsung antara host yang rentan dan orang yang terinfeksi, seperti yang terjadi ketika
seseorang membalikkan pasien, memandikan pasien, atau melakukan aktivitas perawatan
pasien lainnya yang memerlukan kontak pribadi langsung.
 Kontak tidak langsung, melibatkan kontak host yang rentan dengan benda perantara yang
terkontaminasi, biasanya benda mati, seperti instrumen yang terkontaminasi, jarum, atau
tangan terkontaminasi yang tidak dicuci dan sarung tangan yang tidak diganti antar pasien.

Rute utama penularan dan pencegahan penyebaran patogen nosocomial


 

Droplet Transmission

 Merupakan salah satu bentuk transmisi kontak. Droplet dihasilkan dari orang yang menjadi
sumbernya terutama selama batuk, bersin, dan berbicara, serta prosedur seperti penyedotan
dan bronkoskopi.
 Penularan terjadi ketika droplet yang mengandung mikroorganisme yang dihasilkan dari orang
yang terinfeksi bergerak dalam jarak dekat melalui udara dan disimpan di konjungtiva, mukosa
hidung, atau mulut host.

Airborne Transmission
 Terjadi melalui penyebaran droplet nuclei melalui udara (residu partikel kecil 5 µm atau lebih
kecil) dari droplet yang menguap yang mengandung mikroorganisme yang tersuspensi di udara
untuk jangka waktu yang lama, atau oleh partikel debu yang mengandung agen penular.
 Mikroorganisme yang dibawa dengan cara ini dapat tersebar luas oleh udara dan dapat terhirup
oleh host yang rentan dalam ruangan yang sama atau dalam jarak yang lebih jauh dari sumber
pasien.
 Mikroorganisme yang ditularkan melalui transmisi udara termasuk M. tuberculosis, rubeola dan
virus varicella.

Other Transmission

 Transmisi Kendaraan Umum berlaku untuk mikroorganisme yang ditularkan melalui item yang
terkontaminasi seperti makanan, air, obat-obatan, perangkat, dan peralatan.
 Penularan Vectorborne terjadi ketika vektor seperti nyamuk, lalat, tikus, dan hama lainnya
menularkan mikroorganisme.

Which Nosocomial Infections Are Emerging?

 Memperoleh resistensi antimikroba


 VRE dan MRSA adalah patogen gram positif utama yang menjadi perhatian
 P.aeruginosa, Klebsiella, dan Enterobacter memiliki enzim beta-laktamase yang dimediasi oleh
kromosom atau plasmid merupakan patogen gram negatif resisten utama.
 Kontribusi resistensi antibiotik terhadap angka kematian yang berlebihan di rumah sakit sulit
untuk dievaluasi, resistensi antimikroba berkontribusi pada kematian nosokomial.
 Resistensi virus dan jamur dapat menjadi penting karena sedikitnya pilihan terapi

HIV dr. Retno

Virology
 Menyerang gol.
Mononuclear/ limfosit &
monosit
 Punya kemampuan u/
menyisip di sel host di
nucleus/ kromosom sel
host sehingga tidak
terdeteksi
 Disebut retroviridae
punya enveloped
mengandung GP120 &
GP 41
 Mentranskripsi RNA menjadi DNA
 Dua untai virus RNAdikelilingi protein
 Ada enveloped mengandung glikoprotein & reseptor
 Struktur seperti knob u/ berikatan dengan sel target

 Reverse
transcriptase :
RNA -> DNA
 Integrase :
menyisip
 Protease :
memotong”
protein
 Yang di serang
adalah sel yg
dipermukaannya terdapat CD 4

Replikasi yang spesifik

 HIV menginfeksi limfosit T4 dan sel dengan CD4 di permukaannya.


 Molekul CD4 adalah reseptor utama HIV, atau lebih tepatnya untuk gp120-nya
 reseptor kemokin : CCR5 (strain HIV makrofag-tropik R5) atau CXCR4 (strain sel-tropik X4)
sebagai coreceptor
 Orang dengan (homozigot) kehilangan CCR5 sangat resistan terhadap infeksi HIV.
 Sejumlah koreptor lain juga aktif tergantung pada jenis virus yang terlibat.
 Pada infeksi HIV fase awal. Glikoprotein gp120 envelope mampu mengikat molekul CD4 dan
reseptor kemokin yang disebut CCR5 yang ditemukan pada makrofag.
 Pada infeksi HIV fase akhir.Memiliki gp120 yang mampu mengikat CD4 dan CXCR4 yang terdapat
pada limfosit T4.
 Protein gp120 pada virus berikatan khusus dengan reseptor CD4 pada sel inang dengan afinitas
tinggi.
 Gp41 menyebabkan fusi virus ke membran sel.
-Setelah partikel virus fusi memasuki sel.
-Genom virus terpapar oleh partikel yang tidak dilapisi.
 Reverse transcriptase menghasilkan DNA virus dari RNA.
-Menjadi provirus yang terintegrasi ke dalam DNA inang.
-Terjadi periode latensi.
 Setelah periode laten yang berlangsung hingga 10 tahun, replikasi virus dipicu dan terjadi pada
tingkat yang tinggi.
 Sel CD4 dapat dihancurkan dalam prosesnya, tubuh berusaha untuk menggantikan sel CD4 yang
hilang, tetapi selama beberapa tahun tubuh tidak dapat menjaga jumlah pada tingkat yang
aman.
 Penghancuran CD4 dalam jumlah besar menyebabkan munculnya gejala HIV dengan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi oportunistik, penyakit, dan keganasan.
 HIV kemudian diambil oleh sel.
 Setelah pelapisan, transkripsi balik terjadi di sitoplasma.
 Interaksi dari berbagai kontrol gen yang berkontribusi bertanggung jawab atas periode latensi
yang lama dan replikasi virus selanjutnya
 Replikasi HIV mengambil bentuk siklus litik, yaitu menghasilkan kerusakan sel inang
 Perlu juga dicatat bahwa mekanisme penghancuran sel belum sepenuhnya dijelaskan.
 Fusi sel diinduksi oleh strain X4 (pembentukan syncytial).
Transmisi

 Partikel virus diikat oleh sel dendritik (DC) sebagai APC melalui reseptor lektin tipe C (CLR) DC-
SIGN
 Virus atau sel yang terinfeksi virus kemudian mencapai kelenjar getah bening yang
mengeringkan, dimana CD4 + CCR5 + T diaktifkan
 Patogenesis
 Imunosupresi mendalam yang terlihat pada AIDS disebabkan oleh menipisnya
limfosit pembantu T4.
 Segera setelah pajanan, HIV hadir dalam tingkat tinggi di dalam darah (seperti
yang dideteksi oleh tes Antigen HIV dan HIV-RNA).
 Selama masa inkubasi, terjadi pergantian besar-besaran sel CD4, di mana sel
CD4 yang dibunuh oleh HIV diganti secara efisien.
 Akhirnya, sistem kekebalan menyerah dan AIDS berkembang ketika sel CD4 yang
mati tidak dapat lagi diganti (disaksikan oleh tingginya HIV-RNA, antigen HIV,
dan jumlah CD4 yang rendah).
 P
e
riode Latensi Klinis
 HIV continues to reproduce, CD4 count gradually declines from its normal value of 500-1200.
 Once CD4 count drops below 500, HIV infected person at risk for opportunistic infections.
 The following diseases are predictive of the progression to AIDS:
 persistent herpes-zoster infection (shingles)
-oral candidiasis (thrush)
-oral hairy leukoplakia
-Kaposi’s sarcoma (KS)
 Sarkoma
Kaposi

(ditampilkan) adalah kanker pembuluh darah langka


yang berhubungan dengan HIV. Ini bermanifestasi
sebagai bercak berbentuk oval merah kebiruan yang
akhirnya bisa menebal. Lesi bisa muncul sendiri-sendiri
atau berkelompok.

Varicella – dr Pramita
Varicella ( chicken pox) : infeksi karena Varicella zoster virus (VZV)

- Rash
- Spot seperti blister seluruh tubuh
- Biasa pada anak2
Herpers zoster (shingles) : reaktivasi VZV pada orang dewasa atau anak imunocompromised

Epidemiologi :

- Semua umur
- Di indonesia imunisasi varicela pada usia diatas 4 tahun

Tansmisi :

- Kontak
- Droplet
- Udara
Etiologi :

- Chicken pox dan zoster karena VZV


- Dna virus : family herpesvirus
- Natural host : manusia
- Chicken pox (varicella) adalah manifestasi infeksi primer
Patogenesis :

- VZV menginfkesi melalu konjungtiva atau saluran respirasi dan replikasi di nasofaring dan
saluran nafas atas
- Menyebar melalui viremia primer setelah itu menginfeksi lymphnode regional, liver, spleen, dan
organ RES ( retikuloendotelial sistem )
- Viremia sekunder menghasilkan infeksi kulit dengan tipikal rash vesikular
- Dari masuknya virus hingga menimbulkan rash sekitar 10 hari

- Setelah penyembuhan dari chicken pox, virus tidak akan hilang tetapi menetap menjadi infkesi
laten di sel ganglia dorsalis ( sehingga jika aktivasi lagi akan nyeri banget, dan mengikuti
dermatom)
- Masa penularan berkisar dari 2 hari sebelum hingga 7 hari setelah timbulnya ruam, saat semua
lesi membentuk krusta.
Penjelasan :

- Masuk ke mukosa
- Kemudian inkubasi 10-21 hari
- Kemudian demam selama 2 hari
- Setelah itu muncul rash ( makula ke vesikel ke pustul ke krusta)
- Kemudian tidur di dorsal ganglia
- Dan jika ada imunocompromised maka akan teraktivasi lagi
- Muncul nyari dan gejala flu
- Kemerahan tapi unilateral mengikuti dermatom berisi vesikel dan blister

Tanda dan gejala :

Masa inkubasi varicella umumnya 10 sampai 21 hari setelah terpapar.

• Stadium:

1. Stadium Prodromal :
- fever, malaise, sakit kepala, dan anoreksia bisa mendahului ruam 1-2 hari.
- Pada anak2 yg sudah di imunisasi stadium prodormal biasanya ke skip atau ringan
kemudian langsung ke stadium rash
- Fungsi imunisasi : agar ketika terkena patogen sesunggguhnya gejalanya tidak parah
2. Stadium erupsi

- Ruam yang khas awal: papula merah kecil kemudian jadi vesikula oval seperti "tetesan air
mata"/teardrop dengan dasar eritematosa.
- Muncul selama 3 sampai 4 hari, biasanya dimulai di batang tubuh ( perut , dada) diikuti oleh
kepala, wajah, dan, yang lebih jarang, ekstremitas (sentrifugal)
- Dan khasnya : umur dari vesikel tidak sama ( contoh : di pipi kanan vesikel sudah pecah tapi di
tempat yg sama juga ada yg baru tumbuh)
- Limfadenopati dapat general → infeksi sekunder → sakit tenggorokan, batuk
- Tingkat keparahan ruam bervariasi, begitu juga dengan tanda sistemik dan demam, yang
biasanya mereda setelah 3 sampai 4 hari.

Diagnosis :

- Berdasarkan tanda dan gejala ( anamnesis)


- Pemeriksaan lab tidak perlu

Terapi varicella :

1. Terapi simtomatik - antipiretik, mandi air dingin ( mandi air dingin pada anak demam dapat
menurunkan 1 derajat, bertujuan untuk termoregulasi yaitu melepaskan panas pada tubuh anak
yg demam), dan kebersihan hati.
2. Pemberian asiklovir oral rutin tidak perlu pada anak yg sehat, tapi perlu pada anak yg
imunocompromised seperti kena HIV.
3. Keputusan untuk menggunakan obat antivirus, rute, dan durasi pengobatan tergantung pada
faktor host dan risiko infeksi atau komplikasi yang parah ( antivirus perlu diberikan jika ada
tanda2 komplikasi seperti encephalitis)
4. Terapi dini dengan antivirus (terutama dalam 24 jam setelah timbulnya ruam) pada orang
dengan gangguan sistem imun efektif dalam mencegah komplikasi yang parah, termasuk
pneumonia, ensefalitis, dan kematian akibat varicella.
5. Asiklovir atau valasiklovir dapat dipertimbangkan pada mereka yang berisiko terhadap varisela
berat, seperti orang yang tidak divaksinasi yang berusia lebih dari 12 tahun; mereka yang
menderita penyakit kulit atau paru kronis; menerima kortikosteroid shortcourse, intermiten,
atau aerosol; atau menerima terapi salisilat jangka panjang.
6. Dosis asiklovir yang dipakai untuk infeksi VZV jauh lebih tinggi daripada untuk HSV
Jadi intinya :

- Tidak diberikan pada anak sehat karena tidak terlalu berefek


- Terapi antivirus (acyclovir atau valasiklovir) diberikan dalam waktu 24 jam setelah timbul rash
pada pada orang imunocompromised, ada komplikasi, belum imunisasi, minum kortikosteroid
dan salisilat
- Dosis untuk VZV lebih tinggi dari HSV
Komplikasi :

- Paling sering : infeksi sekunder pada kulit akibat streptococus dan staphylococci ( jadi diberikan
salep, rajin mandi tapi saat handukan hanya di tap tap saja gar gak pecah dan terinfeksi
- Pneumonia jarang terjadi pada anak-anak yang sehat tetapi terjadi pada 15% hingga 20% orang
dewasa yang sehat dan orang dengan gangguan kekebalan.
- Miokarditis, perikarditis, orkitis, hepatitis, gastritis ulseratif, glomerulonefritis, dan artritis dapat
menjadi komplikasi varisela.
- Komplikasi neurologis sering termasuk ensefalitis pascainfeksi, ataksia serebelar ( encephalitis
pasca infeksi varicella, biasanya 2 minggu setelah terinfeksi, maka dari itu imunisasi sangat
penting).
- Komplikasi neurologis yang lebih jarang termasuk menigitis, sindrom Guillain-Barre, mielitis
transversa, kelumpuhan saraf kranial, neuritis optik, dan sindrom hipotalamus.
- Janin (trimester pertama) terpapar virus → kelainan kongenital
- Jika ibu terkena varicela saat trimester ke 3 dan terjadi 5 hari sebelum melahirkan hingga 2 hari
setelah melahirkan maka bayi dapat terkena → varisela neonatal berat ( seluruh tubuh bayi
terdapat vesikel, kemungkinan survive kecil, tapi kalau survive langsung memiliki kekebalan
terhadap VZV)
- Bayi-bayi ini harus dirawat secepat mungkin dengan imunoglobulin varicellazoster (VZIG) atau
imunoglobulin intravena jika VZIG tidak tersedia, untuk mencoba mencegah atau memperbaiki
infeksi.
Prognosis :

- Varicella primer dapat menjadi penyakit yang fatal pada orang dengan gangguan kekebalan
akibat penyebaran viseral, ensefalitis, hepatitis, dan pneumonitis.
- Angka kematian mendekati 15% pada anak-anak dengan leukemia yang tidak menerima
profilaksis atau terapi untuk varicella.
- Varisela primer biasanya sembuh secara spontan.
Jadwal imunisasi anak usia 0-18 tahun :
Preventif :

- Vaksin varicella hidup dilemahkan - dua dosis untuk semua anak -disarankan.
- Vaksin varisela 85% efektif mencegah penyakit dan 97% efektif mencegah penyakit sedang dan
berat.
- Penularan virus vaksin dari individu sehat yang divaksinasi jarang terjadi tetapi mungkin.
- Kekebalan pasif dapat disediakan oleh VZIG, yang diindikasikan dalam 96 jam setelah terpapar
untuk individu yang rentan dengan peningkatan risiko penyakit parah.
- Pemberian VZIG tidak menghilangkan kemungkinan penyakit pada penerima dan
memperpanjang masa inkubasi hingga 28 hari
- Anak2 dengan varisela tidak boleh sekolah sampai semuanya sudah menjadi krusta

Pertussis dr. Pramita


= batuk rejan, batuk rejan, batuk 100 hari

 sangat menular
 disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis.
 dapat menyerang orang-orang dari segala usia, mematikanuntuk bayi berusia kurang dari satu
tahun.
 preventif dengan mendapatkan vaksinasi
 menyebabkan kejang klasik (paroxyms) dari batuk tak terkendali, yaitu batuk yang keras dan
terus menerus diikuti dengan pemasukan udara yang tajam dan bernada tinggi yang
menimbulkan ciri khas bunyi “WHOOP”.
 Anak-anak yang biasanya kesakitan untuk mengambil napas dalam-dalam di antara batuk
mengakibatkan suara whooping.
Etiologi :

 Bordetella Pertussis

o gram negative

o aerobic

o patogenic

o punya capsul

o cocobacillus

o genus bordetella

Epidemiologi :

- Ini terutama penyakit sebelum sekolah (3-5 tahun) & dapat terjadi pada bayi, bayi baru lahir,
wanita hamil.

- lebih sering terjadi pada wanita daripada pria

- Serangan tunggal memberikan kekebalan seumur hidup

- Masa inkubasi: 7-10 hari

- Penularan melalui droplet

Patogenesis :

- B. pertusis melepaskan antigen dan toksin

- Menyebabkan perubahan patolgis pada saluran pernafasan ( dari nasofaring sampai bronkiolus),
terjadi ciliary stasis ( cilia tidak dapat bergerak)

- Sehingga terjadi inflamasi pada mukosa dan sekresi mukus berlebihan sehingga menghasilkan
kerusakan epitel dan munculah gejala

Gejala klinis

- Pertusis adalah penyakit 6 minggu

• Menifestasi klinis meliputi 3 tahapan :


1. Stadium Catarrhal (Stadium pra paroxymal, 0-2 minggu)

Meliputi :

• congestion , Rhinorrhoea

• Bersin

• Lacrimation, Konjungtiva kemerahan

• Demam ringan, batuk ringan

2. Stadium Paroxymal (Stadium spasmodik, 2-4 minggu)

Meliputi :

• Batuk pertama mengering & berselang

• Paroksisma (terus menerus)

• batuk tak terputus

• Rangkaian batuk dalam satu kali ekspirasi

• Mata menonjol — berair

• Dagu & Dada terangkat ke depan

• Lidah menonjol secara maksimal

• Wajah-Merah-Biru

• Whoop di akhir paroxysm

• Post tussive emesis ( batuk diakiri dengan muntah)

• Jumlah dan Tingkat Keparahan Paroxysm berkembang dari hari ke minggu

3. Tahap Kesembuhan (2 minggu terakhir)

- Gejala membaik

- Whooping hilang

Gejala pada Bayi <3 bulan :

• Apnea
• Terengah-engah &ektremitas menghentak

• Muka merah

• Batuk mungkin tidak menonjol

• Woop jarang

Diagnosis :

- Pemeriksaan klinis

- Lab : absolut limfositosis ( 15.000-100.000)

- X ray : perihilar infiltrasi, atelectasis ( paru kolaps)

DD :

• bronkiolitis
• pneumonia bakterial • sistik fibrosis
• tuberkulosis
• Foreign body

Komplikasi :

1.Respiratory ( jadi intinya ada masalah di saluran nafas)


• - Apnea
• - Bronchopneumonia
• - Atelectasis
• - Bronchiectasis
• - Emphysema—Interstitial / Subcutaneous

• - Otitis media
• - Reactivation tuberculosis

2. Akibat batuk terus menerus ( jadi akibat batuk akhirnya tekanan darah dan tekanan intraabdomen
meningkat timbulah perdarahan dan hernia)
• - Epistaxis ( mimisan) , sub-conjunctival hemorrhage

• - Intracranial Bleeding
• - Rectal prolapse, umbilical hernias
• - Dehydration, Malnutrition
• - Tetany

3.CNS
• - Convulsions.....Hypoxemia,Hemorrhage
• - Encephalopathy

Terapi: dibagi 2

1. General Treatment
• pasien yg anak2 segera masuk RS

• hidrasi dan nutrisi

• Oxygen
• Gentle suction
• sirup batuk ( tp belum jelas)
• Isolation ( agar tidak menular)

2. Specific

• Erythromycin 40-50 mg/kg/day for 14 d

• Clarithromycin 15 mg/kg for 7 d


• Azithromycin 10 mg/kg for 5 d

Preventif

- Imunisasi aktif

Jadwal imunisasi pertusis

Kalau sesuai tabel :

1. Bulan : 2, 3, 4, 18

2. Tahun : 5, 10
dr Pramita – Imunisasi

- Imunisasi merupakan pencegahan penyakit infeksi pada anak dengan cara pembentukan kekebalan
tubuh baik dengan imunisasi aktif maupun pasif (pemberian antibodi).

- Alur terjadinya kekebalan :

Antigen mempengaruhi sistem imun humoral dan seluler sehingga menyebabkan kekebalan dalam
tubuh, kekebalan dibagi jadi 2 yaitu

 Pasif (karena suntikan imunoglobulin bila sedang sakit/mendapatkan antibody dari ibu) 
kekebalan sebentar

 Aktif (imunisasi terpajan alamiah)  kekebalan lama

- Vaksin: mengandung mikroorganisme/toksoid yangdiubah sehingga patogenitas/toksisitasnya hilang


tapi mempunyai sifat antigenitas.

- Komponen vaksin

 Bakteri yg dilemahkan dan dimatikan

 Zat dari bakteri


 Virus mati/dilemahkan/fraksi antigen/rekayasa genetik

 Zat tambahan (perlu diperhatikan karena anak bisa alergi kandungan-kandungan dalam vaksin)

o Cairan pelarut aquades/NaCl0.9%,

o Bahan pengawet/stabilisator mercuri dan antibiotika

o Ajuvant Aluminium

- Contoh jenis vaksin

- Imunisasi sesuai kelompok umur

 Bayi lahir 1 tahun  imunisasi dasar

 Balita 1-4 tahun  imunisasi ulangan (catch up : imunisasi dilakukan pada anak-anak yang
belum dapat imunisasi dasar, lebih baik dikejar imunisasinya daripada terlambat)

 Usia sekolah 5-12 tahun  catch up

 Remaja 13-18 tahun  catch up (untuk persiapan masa dewasa dan kehamilan)

 Lansia  mengurangi morbiditas

- Jenis vaksin sesuai kelompok umur

 Lahir 1 tahun  BCG, Polio, Hepatitis B, DTP, Campak+Hib, Pneumokokus, Rotavirus

 1-4 taun  DPT, Polio, MMR, Tifus, HepA, Varisela, Influenza, Hib, Pneumokokus

 5-12 tahun  DPT, Polio, campak, MMR, tifoid, hepA, varisela, influenza, pneumokokus
 12-18 tahun  TT, HepB, (MM)R, tifoid, HepA, varisela, influenza, pneumokokus, HPV

 Lansia  influenza dan pneumokokus

- Organ limfoid mayor dan jaringan : waldayer’s ring, bronchus-associated lymphoid tissue, lymphoid
nodules, payer patch, urogenital lymphoid tissue.

 Menghalangi mikroorganisme menembus tubuh dan menghancurkannya oleh mekanisme innate


immunity (imunitas alami) dan adaptive immunity (imunitas didapat).

- Imunitas adaptif (didapat)

Menjadi aktif setelah dirangsang oleh patogen dalam tubuh, biasanya terjadi setelah
infeksi/vaksinasi.

- Prinsip vaksinasi

“Bila vaksinasi, akan menimbulkan pembentukan sel memory pada tubuh dan membutuhkan waktu.
Tetapi jika sudah tercapai, maka proteksinya lebih daripada imunisasi yang pasif jika diberi
imunoglobulin atau terpapar dari ibu kekebalannya berlangsung cepat/sebentar”.

- Vaksin vs Antibodi

Vaksin : imunisasi aktif, pertahanan didapat sendiri, untuk pencegahan,


onset2minggu, efeknya lama (tahunan).

Antibodi/imunisasi pasif : imunisasi pasif, pertahanan didapat dari luar, untuk terapi, onsetcepat,
efeknya sebentar(minggu).

- Vaksinasi

 [wajib] PPI/Pengembangan program imunisasi : BCG, polio, DTP, campak, hepatitis B

 Non-PPI : Hib, pneumokokus, MMR, influenza, hepatitis A, tifoid, varisela, HPV, rotavirus

- Sasaran imunisasi : semua bayi mendapatkan imunisasi dasar, anak sekolah mendapatkan imunisasi
lanjutan (campak, DT, TT), dan kelompok beresiko tinggi.

- PD3I (penyakit yg dapat dicegah dengan imunisasi)

1. Hepatitis B

- Kelompok resiko tinggi adalah secara vertikal bayi dari ibu pengidap, secara horisontal
pecandu narkotika, tenaga medis, pekerja lab.
- Untuk memutus rantai penularan secara vertikal, diberikan untuk bayi baru lahir (0-7hari)
uniject HB.

2. TBC
- Imunisasi BCG.
- Selain mencegah TBC, berfungsi untuk mengurangi komplikasi berat.
- Jadi kalau sudah imunisasi tapi masihterkena tbc, komplikasinya nantitidak berat.

3. Difteri
- Gejala ringan – berat (pseudomembran menutupi jalur nafas/obstruksi dan toksinnya dapat
lepas menuju jantung terjadi myocarditis).
- Imunisasi DPT, transmisi melalui droplet.
- 50% meninggal dengan gagal jantung.
- Pseudomembrane warna kotor tidak putih bersih (berbeda dengan tonsilitis bakterial) dan
berdarah kalau dikorek
- Ada bullneck

4. Pertussis
- Whooping cough (batuk kering 100 hari)
- Imunisasi DPT
- Bisa terjadi konjungtival bleeding karena batuk terus

5. Tetanus
- Clostridium tetani, spora tetani masuk ke dalam luka pada neonatus kuman masuk melalui
tali pusat.
- Remaja/perempuan harus punya sertifikat imunisasi TT sebelum menikah.
- Kejang perifer (kejang tetapi tetap sadar, jadi bukan kejang karena CNS tapi karena otot).

6. Polio
- Diawali ISPA, demam, lalu paralisis ekstremitas bawah.
- Transmisi droplet.
- Pencegahan imunisasi polio.
7. Campak
- Measles/rubeola virus, transmisi melalui droplet
- Demam, coryzae, konjungtivitis, batuk,ruam dari kepala dulu lalu ke badan lalu terjadi
deskuamasi, koplik spots(+)

8. Pneumococcus (PCV)
- Imunisasi PCV.
- Bisa di saluran nafas atas atau bisa juga meningitis.

9. Rotavirus
- Diare karena rotavirus, resiko tinggi pada anak<5tahun.
- Menimbulkan komplikasi dehidrasi berat yang bisa menyebabkan kematian.

10. Varicella zoster


- Ibu hamil yang terkena bisa sindroma varisela kongenital.
- Diberikan sejak usia 1 tahun 1x pemberian.
11. Tifoid
- Karena Salmonella typhi, demam, nyeri perut, konstipasi/diare.
- Vaksin tifoid diberikan sejak usia 2 tahun, diulang setiap 3 tahun.

12. Hepatitis A
- Transmisi fecal oral, pada sanitasi kurang bersih.
- Vaksin diberikan 2x, suntikan booster 6-18bulan setelah dosis pertama.
- Komplikasi gagal hati akut  meninggal.

13. HPV
- Ca mulut rahim untuk usia remaja persiapan menikah dan kehamilan, diberikan sejak usia 9
tahun -usia produktif.

14. Japanese Encephalitis


- Bisa meninggal karena radang otak karena virus ini.
- Lewat vektor nyamuk
- Dosis obat 2x, wajib bila usia >17 tahun dan didaerah endemis (Bali) seminggu sebelum
kesana.

- Prosedur Vaksin

 Disuntikan/diteteskan ke dalam mulut


untuk merangsang kekebalan tubuh (hati-hati menimbulkan KIPI (Kejadian Ikutan Pasca-
Imunisasi).
 Penyimpanan dan transportansi vaksin.
 Persiapan alat bahan : untuk vaksinasi dan mengatasi gawat – darurat.
 Persiapan pemberian : anamnesis, informed consent, pemeriksaan fisik.
 Cara pemberian : dosis? Interval? Lokasi? Sudut? Kedalaman?
 Pemantauan KIPI (efek samping)
 Sisa vaksin, pemusnahan alat suntik.
 Pencatatan dan laporan.

- VAKSIN
NOTE : Jika sudah dibuka campak dan BCG tidak boleh dipake > 3 jam.

- Vaksin Kombinasi (TETRACT-HIB, INFANRIX-HIB)

 Vaksin DPT-Hepatitis B
 Tetract-Hib : kombinasi DPwT+Hib
 Infanrix-Hib : kombinasi DpaT+Hib

- Penyimpanan vaksin
 Pada cool box suhu 2 – 8 derajat celcius, atau -15 - (-25) derajat celcius.
 Jarak lemari es tidak boleh mepet dinding belakang 15 cm, tidak boleh terkena sinar matahari
langsung.
 Susunan vaksinnya jugatidak boleh mepet, harus berjarak.
 Plastik penetes (dropper) jangan diletakkan di lemari es karena bisa robek.
 Jangan dimasukkan makanan/minuman.
- Kontraindikasi
 Reaksi anafilaksis, sedang sakit berat.
 DTP/DTPa bisa ensefalopati dalam 7 hari pasca vaksinasi.
- Vaksin layak atau tidak : VVM, shake test, alat suntik sudah ready.
Note : apabila vaksin pernah beku, maka dikocok menggumpal
- Ukuran Jarum
Intramuscular di paha mid-anterolateral
 Neonatus
Kurang bulan / BBLR : 5/8 inch (15,8mm)
Cukup bulan : 7/8 inch (22,2 mm)
 1-24 bulan : 7/8 – 1 inch (22,2-25,4 mm)
Intramuskular di deltoid

 > 2 tahun (tergantung ketebalan otot)


7/8 – 1,25 inch (22,2 – 31,75 mm)
 Usia sekolah dan remaja : 1,5 inch (38,1 mm)
- Teknik penyuntikan dan penetesan
Subkutan : MMR, varicella
IM : hepatitis A dan B, DTP
Oral : polio
Intradermal : BCG
NOTE : jangan lupa lakukan pencatatan setelah vaksinasi, dan lakukan pemantauan setelah vaksinasi
apakah ada KIPI. Tidak boleh langsung pulang, ditunggu 15 menit.

Diphteria pada anak - Dr. Sitti


Pendahuluan

 Penyakit lama yang re-emerging lagi (ancient disease).


 Insidensi dan mortalitas tinggi. Di eropa sudah berkurang karena ada vaksinasi.
 Aspek diagnosis penyakit difteri pada anak “lebih heboh” dibandingkan aspek tatalaksana.
 Banyak variasi, tergantung pada banyak hal.

Definisi = penyakit infeksi akut oleh Corynebacterium diphteria


(toksin)

Gejala khas = (+) pseudomembran

Epidemiologi

 Kasus paling banyak di Indonesia dan India.


 Terjadi outbreak pada 2017, fatality naik pada 2011. Dari
kasus yang ada di Indonesia, 50% ada di Jawa Timur (Madura).

Etiologi

Disebabkan oleh Corynebacterium Diphteria :

 kuman gram positif


 batang
 spora -, kapsul -, flagella-, non-motile
 2-6 mikrometer x 0,5-1,0 mikrometer
 Obligat aerobe

Berdasarkan koloni media tellurite, dibagi menjadi :

1. Mitis
2. Gravis
3. Intermedius
4. Belfanti

Toksin diproduksi pada tempat


infeksi.

Fragmen B untuk melekat pada sel.

Fragmen A untuk masuk ke sel, proses


tertentu
Menghasilkan
Menyebabkan sintesis protein exotoksin.
terhenti -> sel mati.
Kalau melakukan swab diambil spesimen dibawah membran, akan terjadi pendarahan, disana terdapat
banyak kuman.

Patogenesis

A. Lokal
Exotoxin yang keluar akan membuat nekrosis jaringan -> menjadi media favorabel tumbuhnya c.
diphteria -> produksi toksin meningkat -> terbentuk pseudomembran, terdiri dari:
1. Eksudat
2. Materi nekrotik jaringan
3. Sel eritrosit
4. Sel leukosit
5. Fibrin
6. Bakteri
B. Sistemik
Toksin ikut dengan sirkulasi darah -> ke seluruh tubuh, dampak negatif pada:
1. Jantung (myocarditis)
2. Otot skeletal (kelumpuhan)
3. Ginjal (gagal ginjal)
4. Saraf perifer

Klasifikasi

1. Klasifikasi WHO ( Lama )


Kepentingan epidemiologis
Klasifikasi kasus : suspect, probable, confirmed
Suspect case = laringitis/ nasofaringitis/ tonsilitis + pseudomembran
Probable case = sama dengan suspected case ditambah 1 diantara :
 Kontak dalam waktu <2 minggu dengan kasus confirmed
 Daerah tersebut endemis
 Stridor ( berarti ada penyumbatan sal napas atas)
 Pembengkakan/ edema leher
 Perdarahan submukosa atau petechiae di kulit
 Toxic circulatory collapse
 Insufisiensi renal akut
 Miokarditis dan/ paralisis motorik 1-6 minggu awitan sakit
 Meninggal

Confirmed case (indigenous/imported) = sama dengan probable case ditambah :

 Isolasi strain toksigenik C. Diphteriae dari lokasi tipikal (hidung, tenggorok, ulkus kulit,
luka, konjungtiva, telinga, vagina)
 Atau ≥4x kenaikan serum antitoksin, tapi kedua sampel serum diambil sebelum
pemberian toksoid atau antitoksin difteri
2. Klasifikasi Klinis berdasar lokasi anatomis dan membran difteri :
 Konjungtiva, telinga, vagina, anal
 Tonsil faring, laring, hidung, kulit

Dapat lebih dari satu lokasi. Kunci : temukan membrannya.


Difteri nasal Difteri Pharyng-Tonsil (faucial)
1. Pilek berkepanjangan, sekret 1. Malaise
mukopurulen, serosanguinus 2. Sumer atau bisa febris tinggi (koinfeksi
2. Epistaksis dengan bakteri lain)
3. Ekskoriasi daerah nasolabial 3. Nyeri menelan
4. Pseudomembran pada septum nasi 4. Anoreksia
5. Ringan dan berlangsung lama 5. Tidur ngorok
6. Napas bau
7. Pseudomembran putih keabuan, bintik-
bintik perdarahan, melekat erat
ditempatnya
8. Penyumbatan saluran napas atas
9. Tampak toksik
10. Kesadaran menurun
11. Pucat
12. Nadi cepat dan berakhir dengan
kematian
13. Lymphadenitis submandibula
14. Oedem jaringan submandibula “bullneck”

Difteri laring Difteri Tracheobronkhial


1. Subfebris 1. Obstruksi saluran napas bawah
2. Suara parau 2. Ekspirator wheezing
3. Batuk 3. Atelektasis
menggonggong 4. Pneumonia
4. Obstruksi 5. Berakhir dengan kematian
saluran napas
atas (inspirator
stridor,
dyspnea,
gangguan
oksigenasi)
5. Cyanosis
6. Fatigue
7. Kesadaran
menurun
8. Kematian

Difteri pada Kulit


1. Impetigo, ecthyma, pyodermi, dry scally lesion
2. Jarang (+) komplikasi berhubungan dengan toksin
3. Epidemiologis menguntungkan, banyak anak di negara miskin kebal terhadap diphteria

3. Klasifikasi Klinis berdasarkan berat-ringan penyakit :


 Ringan : nasal, kulit
 Sedang : tonsil-faring
 Berat : tonsil faring (ada perluasan diluar tonsil), bullneck

Komplikasi

1. Komplikasi myocarditis
Berkaitan dengan diphteria tonsil-pharyng (berat), pseudomembran luas, bullneck, diagnosis
dibuat >hari ke 6.
Early myocarditis = minggu ke 2 sakit
Late myocarditis = minggu ke 4-6 sakit
2. Komplikasi polyneuritis
Berkaitan dengan diphteria tonsil-pharyng. Bersifat sementara dan reversibel.
 Parese/ paralise palatum mole (pada hari ke 10-14 sakit) = gangguan proses menelan,
perubahan suara, sengau
 Parese/ paralise otot akomodasi mata
 Parese/ paralise oto penggerak bola mata
 Parese/ paralise diaphragma

Diagnosis

 Gejala Klinis
 Penemuan kuman : isolasi C.diptheriae, dari swab tenggorok dan hidung dengan media Loffler
(dulu), amies & stewart (kini) -> dilanjutkan tes toksigenisitas in vivo (marmut) dan in vitro (tes
elek).
 Di Jawa timur, kita melapor ke dinas kesehatan, dan petugasnya yang mendatangi RS tempat
perawatan, mengambil sampel dari hidung untuk kultur.
 Deteksi adanya bactriophage tox+
 PCR

Dilakukan kultur swab tenggorok = K dan hidung = N (K/N) pada hari rawat 3,4,5 dan 7,8,9

Curiga difteri jika : pseudomembran putih abu-abu, kotor kecoklatan, jika dilepas dari dasarnya akan
berdarah, lokasi biasanya menyatu (terutama tonsil-faring), ditungjang status imunisasi yang kurang
baik.
Bukan difteri jika : pseudomembran putih bersih, lokasi tersebar, ukuran kecil-kecil, dilepas tidak
berdarah, di tonsil tapi cuma 1 tonsil

Tata Laksana ADS :

 Uji kulit dahulu


 ADS 1/100 0,1 ml, kontrol saline, intra dermal 20 menit, baca, indurasi >1cm = positif
 Kalau negatif, ADS IV larutkan 1/20 dalam larutan D5 ¼ saline, kecepatan < 1 ml/menit
 Kalau positif, pemberian ADS harus dievaluasi, karena resiko komplikasi. Kalau diputuskan
lakukan desensitisasi.

Dosis ADS

 Ringan = nasal 20.000 U


 Sedang = tonsil, laring primer 40.000 U
 Berat = pseudomembran luas, bullneck +,
diagnosis dibuat hari ke>6, 100.000 U

Komplikasi pemberian ADS

 Immediate = anaphilaksis akut, shock


 Delayed = serum sickness

Tata Laksana Antibiotika :

 eradikasi C. Difteri tidak merubah perjalanan klinisnya


 Penisilin prokain (50.000-100.000 U/Kg BB/hari)
 Eritromisin (50 mg/kg BB/hari PO 3-4 kali selama 10 hari)

Tata Laksana Bedrest & supportif :

 bedrest absolut pada monitoring komplikasi khususnya myocarditis (4-6 minggu)


 makanan dan cairan sesuai kondisi
 obat simptomatis

Tata laksana isolasi penderita :

 strict isolation
 ruangan tersendiri
 petugas memakai gaun, topi, masker saat masuk ruangan perawatan

Tata laksana kontak penderita :

 periksa kultur swab tenggorok = K dan hidung = N (K/N)


 lihat status imunisasi (walaupun sudah kena tapi tetap divaksin, kalau belum booster, berikan
booster)

DENGUE FEVER PADA ANAK - Dr Sitti


ETIOLOGI

 Infeksi dengue disebabkan oleh 4 serotype virus dengue yaitu : DENV-1,2,3,4


 Merupakan suatu RNA virus
 1 kelas dengan virus yang menyeybabkan cikungunya, zika, yellow fever, Japanese encephalitis
 Infeksi dengan salah satu serotype akan menimbulkan antibody seumur hidup, namun tidak
melindungi dari serotype yang lain

MANIFESTASI KLINIS

1. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)


 Demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan penyebab virus lain
 Demam disertai kemerahan berupa makulpapular, timbul saat demam reda (mirip
dengan gejalaroseola infantile pada bayi)
 Gejala dari saluran pernafasan dan sal. Cerna sering dijumpai
 Kalau ga diperika PCR, gaakan tau kalo itu infeksi virus dengue
2. Demam Dengue (DD)
Anamnesis : demam mendadak tinggi, nyeri kepala, nyeri otot/tulang/sendi, nyeri punggung,
facial flush, photophobia, nyeri retroorbital, tenggorok, konstipasi, tidak mau makan, depresi
umum

Pem. Fisik

 Demam 39-40celcius, 5-7 hari


 Pada hari1-3 tampak flushing pada muka,leher, dada
 Convalescent rash (khas), muncul petekie mengelilingi daerah yg pucat pada kulit
normal, dapat disertai gatal
 Manifestasi perdarahan : petekie, mimisan hebat, menstruasi lebih banyak, perdarahan
sal. Cerna (dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia)
3. Demam Berdarah Dengue
Fase Demam
 Demam tinggi 2-7 hari, bisa mencapai 40 celcius  kejang demam
 Dijumpai facial flush, nyeri tulang, otot, sendi, tenggorok, faring hiperemis, nyeri
lengkung iga kanan (hepatomegaly), nyeri perut
 Manifestasi perdarahan : a)petekie >= 10/inch2 b)mudah lebam dan berdarah pada jalur
tusukan vena c)petekie pada ketiak, muka, palatum lunak d)epistaksis, perdarahan gusi
e)perdarahan sal. Cerna f)hematuria g)menorrhagia & hepatomegaly teraba 2-4 cm
dibawah arcus costae kanan & kelainan fungsi hati transaminase lebih sering pada DBD
Fase Kritis (terjadi saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi saat demam ke
bebas demam (time of fever defervescence) )ditandai dengan,

 Peningkatan hematokrit 10-20% diatas nilai dasar


 Tanda perembesan plasma ke rongga interstisial  efusi pleura & asites
 Edema pada dinding kandung empedu
 Deteksi perembesan plasma : rontgen dada (Right Lateral Decubitus) & USG
 Penurunan albumin >0.5g/dl dari nilai dasar
Tanda-tanda syok : anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas cepat, nadi
terasa lembut hingga tidak terasa

 Hipotensi ( <= 20mmHg dengan peningkatan tekanan diastolic)


 Ekstremitas dingin, CRT >3 detik
 Diuresis menurun ( <1ml/kg/bb/jam) sampe anuria
 Komplikasi : asidosis metabolic, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit, perdarahanhebat &
kegagalan multiple organ
Fase Penyembuhan (convalescence, recovery)

 Diuresis membaik, nafsu makan kembali  menghentikan cairan pengganti


 Gejala umum : sinus bradikardia/ aritmia, confluent petechial rash (SOCK AND GLOVES
SIGN) kemerahan pada kaki dan tangan

Perbedaan DF dengan DHF


Kalo panas turun tapi
anak sesak  DHF karena
kebocoran plasma ke
rongga pleural

4. Expanded Dengue Syndrome


 Manifestasi berat : gagal ginjal akut, bradiaritmia, ensefalopati, SGOT SGPT meningkat
s/d 10.000
 Kelainan organ berkaitan dengan infeksi penyerta, komorbiditas, komplikasi dari syok yg
berkepanjangan – anak obes susah dikelola

Perjalanan infeksi Virus Dengue

 Fase 4,5 hanya berlangsung 2x24


jam tapi kalua penaganan salah, bisa
menyebabkan kematian
 Dehidrasi terjadi karena demam
tinggi, nafsu makan turun
 Saat syok diberi resusistasi cairan
 Saat fase penyembuhan  restriksi
cairan / diberi agen diuretic agar
tidak overload cairan dan
memperberat kerja jantung paru
1. Fase demam : viremia menyebabkan demam tinggi
2. Fase kritis / perembesan plasma : onset mendadak ; asites & efusi pleura
3. Fase recovery/ penyembuhan : perembesan plasma berhenti disertai reabsorpsi cairan &
ekstravasasi plasma

DIAGNOSIS DBD/DSS

 Kritteria klinis : demam tinggi mendadak, tanpa sebab yg jelas, 2-7 hari
 Petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis
 Pembesaran hati
 Syok : nadi cepat dan lemak, penurunan tekanan nadi (<= 20 mmHg), hipotensi, kaki tangan
dingin, kulit lembap, pasien gelisah
 Lab : Trombositopenia (<=100.000/microliter)
 Peningkatan hematokrit 20%
Ditegakkan berdasarkan,

 2 kriteria klinis pertama + trombositopenia + hematokrit meningkat


 Hepatomegaly sebelum terjadi perembesan plasma
 Hipoalbuminemia, Efusi pleura (foto toraks, USG)
 PERHATIAN !! pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas,
mendukung diagnosis DSS
Komplikasi

Demam Dengue  perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptic, trombositopenia, trauma

Demam berdarah Dengue

 Ensefalopati dengue  DBD dengan / tanpa syok


 Kelainan gijal  syok berkepanjangan  AKI
 Edema paru/ gagal jantung karena overloading pemberian cairan
 Syok berkepanjangan  asidosis metabolic & perdarahan hebat
 Hipoglikemia/ hiper, hyponatremia, hipokalsemia akibat syok berkepanjangan dan terapi cairan
yang tidak sesuai

Diagnosis Banding

 Perlu ditanya gejala penyerta lainnya yg terjadi Bersama demam


 Peny darah seperti trombositopenia purpura idiopatik, leukemia / anemia aplastic dapat
dibedakan dari pem. Lab darah tepi lengkap + pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila
diperlukan
 Anak mengalami demam dan syok  sepsis, meningitis

Pemeriksaan Penunjang

 Darah lengkap
 Antigen NS-1  hari ke 1 setelah demam dan akan meurun  tidak terdeteksi setelah hari sakit
ke 5-6 (tidak dapat membdakan DD/DBD)
 Uji serologi IgM/IgG anti dengue
 IgM dapat dideteksi pada hari ke 5 sakit, puncak hari ke 10-14 dan akan menghilang/turun pada
akhir minggu keempat sakit
 IgG pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke 14 & menghilang setelah 6 bulan- 4
tahun. Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke 2
TATALAKSANA

!! keseimbangan cairan & observasi !!

Bisa oral / IV

Monitor

 Keadaan klinis
 Tanda vital  min tiap 1-2 jam
 Hematokrit  min 4-6 jam
 Produksi urine  min tiap 8 jam (0.5-1ML/kgbb/jam)
ATASI FEBRIS

 Parasetamol
 Hindari asetosal & ibuprofen
 Makan sebisanya
 Minum sesuai kebutuhan
Obat2 supportive

 Muntah – domperidone
 Kejang - antikonvulsan
 Perdarahan GI – H2 blocker
PENATALAKSANAAN INFEKSI VIRUS DENGUE PERIODE AFEBRIS

Kebocoran plasma

 DF : maintenance  Halliday segar


 DHF : Maintenance + Defisit 5%
RUMUS 1-7-5-3 (kebutuhan dasar, perembesan sedikit, perembesan banyak)

TATALAKSANA DBD TANPA SYOK (DERAJAT I&II)


TATALAKSANA DBD DERAJAT I&II

TATALAKSANA DBD SYOK


INDIKASI PEMBERIAN KOLOID

 Syok tidak teratasi dalam 60 menit (maks. 90 menit dihitung sejak awal syok, sebelum dirawat)
 Dosis 10-30 ml/kgbb/jam
 Melalui jalur infus berbeda dengan cairan rumatan
 25% kasus DBD syok memerlukan koloid
 Perhatikan pemilihan jenis cairan koloid

PENGOBATAN ASIDOSIS & HIPOKSIA

 Koreksi asidosis diberikan bersamaan dengan pengobatan syok


 Beri O2 2-4L/menit
 DBD derajat III : ringer laktat resusistasi syok
 Dejat IV : perlu tambahan bikarbonat

TIPS PENGOBATAN DBD


PEMANTAUAN SELAMA PERAWATAN

PADA DHF BERAT

 A- acidosis ( prolonged shock : lft, bun, creatinine)


 B- bleeding (Hb, Hct)
 S- Serum elektrolit calcium (Ca, Na, K)
 G- gula darah (blood sugar)
PERDARAHAN PADA DBD

 Penyebab perdarahan multifactor ( trombositopenia, vaskulopati), kelainan koagulasi, DIC


 PENTING : perdrahan sal. Cerna masih mengikuti syok berat, dapat memtikan // mencegah dan
mengobati syok secepatnya, kunci berhasil cegah perdarahan

TRANSFUSI DARAH & INDIKASI PEMBERIAN TROMBOSIT

*suspense trombosit tidak pernah diberika sebagai profilaksis

INDIKASI MEMULANGKAN

 Melewati 48 jam setelah syok


 Tidak sesak (krn efusi/ asites)
 Klinis baik, nafsu makan kembali
 Buang air kecil normal
 Ruam konvalesen
 Hematokrit seperti keadaan semua
 Trombosit >50.000 dan cenderung meningkat
 Tidak ada komplikasi lain

CATATAN PENTING

 Monitor gejala klinik & lab secara teratur selama masa gawat darurat (2x24 jam) untuk
mentnukan adanya kegawtaan & jumlah Ciairan yg arus diberikan
 Edukasi (grafik awal)
Pemeriksaan Laboratorium HIV dr. Bambang
 Alur diagnosisnya menggunakan rapid test untuk identifikasi infeksi setelah itu diterapi ARV
dan dimonitor viral load & CD4 setelah itu harus hati-hati dengan infeksi opertunistik dan
malignansi.
 Definisi
o HIV = human immunodeficiency virus
o AIDS = acquired immunodeficiency syndrome
o ODHA = orang dengan HIV-AIDS
o OHIDHA = orang yang hidup dengan ODHA
 Etiologi
o Karena vitus RNA family Retroviridae, subfamily Lentivinae, genus Lentivirus
o Dibagi menjadi 2:
 HIV 1: penyebab utama 90% kasus dan lebih infeksius daripada HIV 2
 HIV 2: kemampuan transmisi termasuk rendah dengan prevalensi rendah juga.
Hanya di Afrika Barat dan Portugal
 Struktur virus
o Inti virusnya ada protein kapsid utama p24, protein nukleokapsid p18, dua genom RNA
dan tiga enzim (protease, reverse transcriptase, integrase)
o Tersusun dari envelope dan inti

 Siklus hidup
1. Binding dan fusion yaitu virus mengikat CD4 dan reseptor kemokin lalu berfusi dengan
membrane sel masuk ke sitoplasma
2. Reverse transcription yaitu sintesis RNA proviral
3. Integration yaitu penggabungan provirus ke genom sel
4. Transcription yaitu aktivasi sitokin sel dan transkrip genom HIV lalu mentransport RNA ke
sitoplasma
5. Assembly yaitu sintesis protein HIV dan pengumpulan struktur inti virus
6. Budding yaitu ekspresi gp120/gp41 (protein envelope) ke permukaan sel dan budding virus
sehingga dapat keluar
 Kerja obat ARV sesuai siklus hidup
1. Pada saat transkripsi genom RNA, ARV mengeluarkan reverse transcriptase inhibitors
2. Pada waktu integrasi genom virus, ARV mengeluarkan integrase inhibitor
3. Untuk membalikkan efek koreseptor kemokin maka ada mekanisme antagonist reseptor
kemokin
4. Saat perakitan virus dan budding dilepaskan protease inhibitor untuk menonaktifkan enzim
dalam inti virus

 Transmisi
o Perilaku seksual (anal/vaginal)
o Jarum suntik terkontaminasi
o Transfuse darah
o Cairan tubuh (semen, rektal, vaginal, ASI)
o Ibu-bayi (vertical)
o Lewat darah dan luka
 Patogenesis
1. Infeksi primer sel di darah dan mukosa tubuh
2. Mulai infeksi di jaringan limfoid atau nodus limfatik
3. Sindrom HIV akut, sudah menyebar ke seluruh tubuh
4. Terjadi respon imun dari antibody anti HIV dan HIV-spesific CTLs
5. Terjadi latensi klinis yaitu infeksi jadi kronis, virusnya terperangkap di limfe oleh sel dendrit
folikular, dan virus memproduksi terus-menerus. Jika terjadi infeksi mikroba maka tubuh akan
memproduksi sitokin sehingga meningkatkan replikasi virus dan dapat berkembang menjadi
AIDS (terjadi destruksi jaringan limfatik, CD4 dan sel T)

 Sindroma akut HIV


1. Infeksi primer selama 3-6 minggu
2. Terjadi viremia plasma, migrasi limfosit dan sindrom akut
3. Setelah 1-3 minggu imun merespon virus HIV dengan menekan viremia plasma dan
dimulainya infeksi kronis jaringan limfoid
4. Setelah 1-2 minggu terjadi latensi klinis
 Diagnosis
o Dasar diagnosisnya berdasarkan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis definitif dan
standar dari WHO yaitu:
 Strategi 1: semua sampel dites dengan satu EIA
 Strategi 2: dari semua hasil reaktif strategi 1, dites lagi dengan tes yang lebih spesifik
 Strategi 3: dari semua hasil reaktif strategi 2, dites lagi dengan tes yang berbeda
dari 2 strategi sebelumnya
o Laboratoriumnya sebagai berikut:
 Rekomendasi utama adalah ELISA (sensitivitas 93-98% dan spesifisitas 98-99%)
 Rapid tes dengan 3 metode antigen berbeda:
 Rapid tes 1 sensitifitas reagen 1 >99%
 Rapid tes 2 spesifisitas reagen 2 >98%
 Rapid tes 3 spesifisitas reagen 3 >99%
 Dengan catatan jika indeterminan maka dites dengan Western Blot
 Tujuan dan sasaran pemeriksaan laboratorium HIV
o Tujuannya untuk skrining, menegakkan diagnosis, keperluan epidemiologi, keamanan
transfusi darah dan transplantasi
o Sasarannya wanita hamil, pasien infeksi opertunistik, deteksi window period (saat
antibody belum ada), deteksi serokonversi, PSK, pasangan ODHA, pengguna napza
suntik
 Prosedur
o Prakonseling: menjelaskan informasi yang ada, mendeteksi adanya kontak, dan jika
positif apa yang dilakukan setelahnya
o Informed consent: tanda tangan pasien, jika anak maka orangtua tanda tangan
o Pelaksaan: ambil specimen
o Post konseling: jika negative bukan berarti kebal, harus stop kontak dengan ODHA dan
setelah 6 bulan dikonfirmasi lagi, hasil tes indeterminet konfirmasi dengan Western Blot
atau IgS RT-PCR, hasil tes positif melakukan rujukan, beritahu keluarga, beri support
psikologis dan lanjut terapi
 Klasifikasi
o Serologi
 Antibody indirect
 Screening (Rapid Diagnostic Test (RDT = Rapid test), Enzyme Immuno-Assay
(EIA) → ELISA, Rapid latex agglutination, Rapid oral HIV test
 Confirmatory test (Western-Blot (WB), Indirect Immunofluorecence (IFA), Radio-
immunoprecipitation assay (RIPA))
 Deteksi Antigen (direk) menggunakan p24 antigen assay (EIA)
 Deteksi Antigen & Antibodi sekaligus (Combo test; 4Th Gen) menggunakan deteksi
Ag p24 + Ab HIV yang penting untuk menentukan window period
 Identifikasi
o Kultur limfosit biasa untuk penelitian
o HIV RNA: RT-PCR, Dried Blood Spot (DBS), Branched DNA(bDNA), Nucleic acid sequence
based assay (NASBA)
 Kapan dilakukan tes?
o Bisa setiap saat dan tidak perlu puasa
 Bahan tes
o Serum, plasma, darah, cairan otal, urin
 Macam pemeriksaan
o Screening/diagnosa (tes antibody-antigen): rapid tes, ELISA, western blot
o Diagnose awal untuk bayi: p24
o Inisiasi dan monitor ARVTh: CD4 count dan rasio CD4:CD8 yang normalnya 2:1
 Rapid test
o Untuk deteksi antibody HIV, merupakan tes kualitatif untuk HIV 1 dan 2
o Setara dengan ELISA
o Syaratnya mudah, murah, tepat
o Kelebihan: cepat, tidak perlu peralatan mahal, praktis
o Kekurangan: antibody baru ada 3-6 minggu sampai 3-6 bulan setelah infeksi dan butuh
validasi serta terdapat variasi bacaan
o Hasilnya: jika positif palsu mungkin ada penyakit autoimun atau kesalahan teknis, jika
negative palsu mungkin terjadi serokonversi, mutasi, masih dalam window period atau
respon imun turun
 Enzyme immunoassay (ELISA)
o Kuantitatif atau untuk deteksi antibody: kebanyakan mendeteksi HIV 1 dan 2, antibody-
antigen dideteksi lewat perubahan warna pada tes, makin banyak antiibodi warnanya
makin pekat
o Masalahnya perlu keterampilan, jumlah pemeriksaan harus banyak dan perlu perawatan
alat
 Western blot (line immunoassay)
o Untuk tes konfirmasi jika hasil tes indeterminet yang mendeteksi antibody
o Masalahnya: lama, mahal, jumlah terbatas
 Antigen p24 HIV
o Mendeteksi protein core virus (yang bebas/yang terikat antibody)
o Dapat mendeteksi 2-3 minggu setelah infeksi
o Kegunaan: pada HIV 1 membantu diagnose pada anak, memonitor window period,
untuk keamanan blood bank (daerah insidensi tinggi) dan monitoring terapi
o Masalahnya: terbatas, sulit, pemeliharaan sulit

 CD4-T-lympocyte count
o Gunanaya untuk menentukan prognosis, pengukur sebelum melakukan terapi, untuk
menilai kegunaan ARV dan untuk monitor terapi
o Metode bisa manual bisa otomatis
o Pada orang AIDS jumlah CD4 200/mm3 dan biasanya sudah ada infkesi opertunistik,
normalnya 7500/mm3
o Tmasalahnya perlu skill dan pemeliharaan yang cukup sulit
 Viral load
o Menghitung jumlah RNA virus HIV/ml dalam darah dengan RT-PCR (misal 100.000
copies/ml maka setara dengan 100.000 virus/ 1 ml
o Viral load meningkat saat progress penyakit meningkat, terapi gagal, ada infeksi aktif
lain seperti TB atau infeksi opertunistik
o Gunanya untuk menentukan stadium penyakit, strategi pengobatan dan monitor terapi
o Masalahnya mahal dan perlu fasilitas

BIOSAFETY LEVELS – dr Budiarto


 Definisi : penerapan prosedur keselamatan kewaspadaan (safety precaution) untuk menurunkan
risiko paparan material laboratorium yang infeksius kepada pekerja lab dan membatasi
kontaminasi tempat kerja (lab. Dan lingkungan sekitarnya) serta pada komunitas.
 Mengapa diperlukan : - Lab berpotensi memproses agen infeksius
- Antisipasi ancaman bahaya kecelakaan kerja terhadap pekerja lab &
lingkungan sekitar
- Kepatuhan terhadap peraturan keselamatan selama bekerja dengan
agen yang sangat infeksius

BSL-1
• Peralatan dan/atau desain fasilitas Special Containment tidak diperlukan.
• Personel/ Staf Laboratorium harus sudah memiliki pelatihan spesifik mengenai prosedur kerja di
laboratorium dan bekerja di bawah supervisi ilmuwan mikrobiologi atau bidang ilmu terkait.
Prosedure kerja di lab BSL-1

• Prosedur Standard Keamanan Mikrobiologis.


• Praktikum/ Pengerjaan di lab tersebut dapat berlangsung di meja terbuka (biasa) dan bangku
standard (biasa)
• PPE (Personal Protective Equipment)/ APD tetap digunakan  Masker Medis dan sarung tangan.
• Pipet mekanis (TIDAK BOLEH pipet mulut/hisap)
• Wastafel cuci tangan

Risk group 1 agents

- E. coli K-12, Bacillus subtilis, Adenoasoiated viruses 1-4, T4 bacteriophages, saccharomyces


cerevisiae, Rhizopus stolonifera, candida albicans, pseudomonas, infectious canine hepatitis

- Transgenic plants

- plasmids

- Fungi

- Mold

- Yeast

BSL-1 Containment overview

- RG-1 Agents : tidak diketahui dapat menyebabkan penyakit/immunokompeten pada orang


dewasa

- Praktek : standar praktek microbiologi

- Primary barrier (perlengkapan keselamatan) : minimal requirement

- Secondary barrier (fasilitas) : open bench top work

BSL-2

- Dibangun dengan pondasinya adalah/diatas persyaratan BSL-1

- Agen yang pengerjaannya di lab BSL-2 memiliki risiko sedang (moderate) terhadap personil lab dan
lingkungan. Terkait dengan penyakit pada manusia.

- Tersedia Terapi definitif/ Pencegahannya (Anitibiotik/ Vaksin)


-Personil laboratorium telah mengikuti pelatihan spesifik dalam menghandle agen pathogenik.

- Personel/ Staf Laboratorium disupervisi oleh Ilmuwan yang kompeten dalam menghandle agen
infeksius dan prosedur terkait.

- Akses terhadap laboratorium terbatas saat sedang aktif digunakan/ mengerjakan prosedur di lab
tersebut.

Prosedur kerja di LAB BSL-2

- Semua prosedur yang berpotensi menimbulkan aerosol atau percikan infeksius dikerjakan di
BioSafety /Laminar flow Cabinet (BSC) atau dengan perlengkapan kontainmen fisik terkait.

- Diperlukan manual/ petunjuk biosafety yang mengatur tentang dekontaminasi limbah atau kebijakan
surveilans/pengawasan medis.

- Risiko Hazard bagi Personil:

–Tertelan material infeksius


–Paparan/ kontak langsung dengan agen infeksius
–Tertusuk/ tergores jarum suntik
–Potenis terinfeksi melalui paparan (percikan) ke mata, mulut, hidung, luka terbuka (membran
mukosa)
–Agen BSL-2 tidak menyebabkan infeksi mematikan, tidak ditransmisikan via rute airborne 
tidak menimbulkan infeksi saat percikan droplet kecil menjadi airborne dan terhirup, yang bisa
saja terjadi saat material terpercik.
– Kewaspadaan tinggi perlu diterapkan pada jarum suntik yang terkontaminasi maupun
instrumen laboratorium yang tajam yang terkontaminasi agen infeksius.
- Meliputi BSL-1 DITAMBAH dengan:

– Akses terbatas saat laboratorium sedang digunakan


– Dekontaminasi rutin setiap hari
– Pipet mekanis
– Perlu jas lab, kaca mata pelindung, dan sarung tangan
– Kontainer khusus untuk membuang jarum suntik, spuit post pengerjaan agen
– Logo BIOHAZARD di pintu masuk laboratorium dengan nomer kontak yang bisa
dihubungi (WAJIB TERSEDIA)
– Semua perlengkapan harap dilabel
– Ada ruangan bertekanan negatif, autoclaf
– Mungkin memerlukan vaksinasi sebelum bekerja di laboratorium

Risk Group 2 agents


- S. aureus, Bordetella pertussis, Corynebacterium diphteriae, other e.coli, nisseria gonorrhoea,
streptococcus pyogenes, vibrio cholerae, klesiella spp., proteus, serratia marcescens, salmonella,
l.monocytogenes

- rabies, hepatitis A B C, cryptococcus neoformans, most parasitic agents, human/primate cells, herpes
simplex virus, replikasi virus human immunodeficiency yang tidak kompeten, spesimen pasien

BSL-2 Containment overview

- RG-2 Agents : berhubungan dengan penyakit ringan-sedang pada manusia


- Praktek : BSL-1 ditambah akses terbatas
- primary barrier (perlengakpan keamanan dan PPE) : biosafety cabinets / perangkat perangkat
penahan lain yang disetujui, peralatan protektif personal (jas lab, sarung tangan, pelindung
wajah, pakaian pelindung dilepas Ketika meninggalkan area lab

BSL-3

• Diaplikasikan pada setting klinis, diagnostik, pendidikan, penelitian di mana personil


laboratorium bekerja dengan agen infeksius yang berpotensi mematikan, dan dapat
ditransmisikan via rute inhalasi.
• Terapi untuk agen yang pengerjaannya di BSL-3 bisa tersedia, atau tidak tersedia.
• Personil laboratorium harus sudah mendapatkan pelatihan spesifik dalam upaya menghandle
agen yang infeksius dan berpotensi fatal.
• Personel/ Staf Laboratorium disupervisi oleh Ilmuwan yang kompeten dalam menghandle agen
infeksius dan prosedur terkait.
• Semua prosedur dikerjakan di BSC (BioSafety Cabinet)
• APD yang digunakan adalah seperti persyaratan APD di Lab BSL-2 dengan tambahan respiratory
protection.
• Desain Spesifik laboratorium dengan pengaturan tekanan udara.

Prosedur kerja di lab BSL-3

• Meliputi BSL-2 ditambah dengan:


– Akses ke lab yang sangat terbatas
– Pelatihan spesifik bagi personil lab dalam menghandle agen infeksius berpotensi letal
– Prosedur Dekontaminasi untuk semua limbah kerja
– Mengganti Pakaian protektif lab yang sudah terkontaminasi
– Dekontaminasi pakain protektif lab sebelum dicuci
– Dekontaminasi setiap hari setelah selesai pengerjaan di lab dan saat terjadi
tumpahan(spill)
– Autoklaf dan Pembuangan limbah kerja setelah selesai pengerjaan setiap harinya
– Wastafel cuci tangan yang digunakan dengan diinjak
– Minimalisir penggunaan instrumen tajam (eg. Jarum suntik) kecuali benar-benar
dibutuhkan
– Minimalisir Prosedur yang berpotensi menimbulkan aerosol
– Perlengkapan khusus mungkin diperlukan bergantung prosedur yang dikerjakan
• Label/ logo biohazard wajib selalu terpasang
• Aliran udara HARUS dari area low hazard hingga ke high hazard
• Tidak diperkenankanpengerjaan di meja terbuka
• Pemeriksaan Serologis pendahuluan pra-kerja bagi seluruh personil
• Spill harap selalu dilaporkan segera dan ditangani sesuai protokol.
• Tersedia Vaksinasi dan protokol post-exposure
• SOP
• Manual Biosafety
• Petugas Biosafety
Risk group 3 Agents

- Sars termasuk juga nCov-2019/SarSCoV-2, rift valley fever, human immunodeficiency virus, yellow
fever virus, VEE virus, hanta virus, prions, M.tuberculosis, m.bovis, Coxiella burnetii, franciella
tulerensis, b.abortus, bacillus anthracis, Pasteurella multocida, yersinia pestis, coccidiodes immitis,
plasmodium, trypanosoma, no parasitic agents.

BSL-3 Containment overview

- RG-3 Agents : berhubungan dengan serius/potensi penyakit mematikan pada manusia

- praktek : BSL-2 ditambah akses terkontrol

- Primary barrier (perlengkapan keselamatan) : biological safety cabinet dan peralatan pelindung diri
yang dibutuhkan serupa dengan BSL-2 & peralatan pernafasan jika resiko infeksi melalui penghirupan

- Secondary barrier (fasilitas) : Akses melalui pintu ganda yang menutup sendiri, koridor terpisah dari
akses langsung ke lab, aliran udara arah negative single-pass, system penanganan udara untuk
memastikan aliran udara negative (aliran udara ke lab), & udara yang dipompa ke lab tidak disirkulasi
ulang di dalam gedung

BSL-4

• Diperlukan bagi agen eksotik dan berbahaya yang memiliki risiko tinggi bagi individu atau dapat
menimbulkan penyakit yang mengancam jiwa, transmisi aerosol, atau agen terkait dengan
potensi risiko transmisi yang belum jelas diketahui.
• Agen dengan karakteristik antigenik menyerupai/ mirip dengan agen yang pengerjaannya di lab
BSL-4 HARUS DIKERJAKAN di Lab BSL-4 sampai data yang dibutuhkan memberi informasi
memadai apakah pengerjaannya tetap di lab BSL-4 atau dapat diturunkan levelnya.
• BELUM ADA TERAPI TERSEDIA
• Transmisi aerosol/pajanan membran mukosa/accidental prick
• Personil laboratorium harus sudah sangat terlatih dalam upaya menghandle agen yang infeksius
dan berpotensi fatal.
• Personil laboratorium harus memahami upaya containment primer, sekunder, peralatan
containment, dan karakteristik desain laboratorium
• Semua staf personil dan supervisor harus kompeten dalam menghandle agen dan prosedur
yang memerlukan upaya containment BSL-4
• Akses ke laboratorium dikontrol oleh Supervisor dengan mengacu pada kebijakan institusi
setempat.
Prosedur kerja di lab BSL-4

• Maximum Containment Facilities


• Dibangun mengacu pada standard BSL-3 ditambah dengan:
– Akses ke laboratorium yang sangat terbatas dan tersupervisi
– Mengganti pakaian sebelum dan sesudah memasuki lab, dengan prosedur
dekontaminasi decontamination showering upon exiting lab
– Dekontaminasi semua material saat meninggalkan lab
– Seseorang dengan kondisi imunokompromais TIDAK DIPERBOLEHKAN SAMA SEKALI
memasuki lab
– Terdapat pakaian tersendiri untuk memisahkan pekerja dari agen infeksius:
- Suit Laboratory
- Cabinet Laboratory
- Pressurized Containment Suite: BSL-3 + Class III Biosafety Cabinet
- High Safety Animal Disease Laboratory

Risk group 4 agents

- Ebola hemmorrhagic fever virus, Marburg virus, lassa fever virus, machupo virus, Crimean congo
haemorrhagic viruses, bolivian and argentine haemorrhagic fever viruses, some encephalitis viruses,
herpesvirus simiae, no bacterial agents, no fungal agents, & no parasitic agents

BSL-4 Containment overview

- RG-4 agents : berhubungan dengan risiko tinggi dari penyakit mengancam nyawa pada manusia/hewan

- Praktek : BSL-3 ditambah akses terkontrol

- Primary barrier : biological safety cabinet, udara seluruh tubuh dipasok, tekanan positif pada personel
suit.

- secondary barrier (fasilitas)-BSL-3 plus : udara dan pembuangan uadara khusus, prosedur
dekontaminasi untuk keluar, Gedung terpisah, & tidak adanya jendela yang disarankan (atau disegel
dan tahan terhadap keusakan)
P2PM DBD & MALARIA DI FASYANKES PRIMER,FOKUS PUSKESMAS – dr ronald

DEMAM BERDARAH DENGUE

 Masih masalah kesehatan dan saat ini endemis pd beberapa kab./Kota.


 Disebabkan oleh virus dengue yang Ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, dengan gejala:
 demam mendadak 2 – 7 hari, Lemah/lesu, nyeri pada ulu hati, disertai Tanda perdarahan di
kulit berupa bintik Perdarahan, kadang 2 disertai dengan Mimisan, berak berdarah, muntah
darah, Kesadaran menurun dan dapat berujung kematian.

PENYEBARAN KASUS

 Sebagian besar berada pada kecamtan-kecamatan di pusat kota


 Kecenderungan kasus terjadi pada kompleks perumahan
 Jmlh kasus meningkat sesudah musim hujan, sejalan dengan meningkatnya kepadatan vektor
(tempat berkembang biak nya di air didalam kontainer dsb)

SITUASI DBD DI INDONESIA


 71.633 KASUS PER JULI 2020

TRIAD EPIDEMIOLOGI

 Virus (nyamuk Aedes aegypti)


 Host
 Lingkungan (curah hujan tinggi, genangan air, gantungan baju)

PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN DBD

 Tempat berkembang biak nyamuk aedes


 Tempat penampungan air (bak mandi, ember, drum), vas bunga, wadah minum burung,
barang bekas, talang air
 Lubang pohon, pelepah daun, tempurung kelapa.

UPAYA P2 DBD DI FASYANKES PRIMER, FOKUS PUSKESMAS

 Terdiri dari beberapa komponen yaitu:

1) Surveilans Kasus

2) Surveilans Jentik (PJB Pemantauan Jentik Berkala)

3)Penyelidikan Epidemiologi (PE) DBD


4)Upaya Perlindungan Spesifik, termasuk pemantauan Kesehatan dan Kebersihan Lingkungan
dan Kegiatan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) 3M plus (Menutup, menguras, mendaur
ulang)

5) Promotif, melalui KIE (konseling informasi edukasi) tentang Bahaya terjangkit DBD dan
upaya pencegahannya berupa penyuluhan, pemasangan media informasi berupa x-banner,
spanduk, dsb.

SURVEILANS KASUS

1. DEMAM DENGUE
Khas: Suhu tinggi mendadak, dengan 2 atau lebih gejala berikut:
 Menggigil
 Nyeri kepala
 Nyeri tulang belakang
 Nyeri belakang bola mata
 Myalgia
 Anoreksia
 Konstipasi
 Nyeri tenggorokan
Dapat disertai perdarahan:
 Petechiae
 Epistaksis (mimisan)
 Menorrhagia
 Trombositopenia

2. DBD
KRITERIA DIAGNOSIS (WHO, 1997):
 Demam mendadak tinggi
 Perdarahan (petechiae, epistaksis, hematemesis)
 Hepatomegali
 Syok: tekanan nadi <20 , hipotensi, gelisah dan akral dingin
 Laboratorium: Trombositopenia <100.000 dan hemokonsentrasi (Hematokrit >20% dari
normal)

BERAT PENYAKIT

 Derajat I : demam + petechiae


 Derajat II : derajat I + perdarahan spontan
 Derajat III : I + II + nadi cepat, tekanan nadi <20, akral dingin
 Derajat IV: syok berat, nadi tidak teraba
Catatan: Trombositopenia dan hemokonsentrasi membedakan DBD derajat I/II dengan DD
3. SINDROM SYOK DENGUE

DD VS DBD

 Tidak mungkin dibedakan pada awal


 Perembesan plasma merujuk ke DBD
 DD lebih seing disertai dengan gejala nyeri kepala, mialgia, nyeri retrobulbar, mual, muntah,
diare
 DD bisa juga disertai perdarahan
 Prognosis DD lebih baik ketimbang DBD

PERTOLONGAN PERTAMA DI RUMAH

 Berbaring selama demam


 Antipiretik
 Kompres hangat
 Rehidrasi (minum 1-2 liter/hari)
 Bila ada kejang:
 Jaga lidah agar jangan sampai tergigit
 Kosongkan mulut
 Longgarkan pakaian
 Tidak memberikan apapun melalui mulut
Jika dalam 2 hari panas tidak turun atau timbul gejala lanjut seperti perdarahan, muntah, gelisah,
epistakis segera ke puskesmas/ rumah sakit.

SUMBER DATA KASUS DBD

 puskesmas
 rumah sakit
 praktek mandiri
 laporan masyarakat

SURVEILANS JENTIK

 Surveilans Jentik, atau disebut juga sebagai PJB (Pemantauan Jentik Berkala) adalah kegiatan
pemantauan di pemukiman atau tempat-tempat umum/industri (TTU/I) di desa/kelurahan
endemis dan sporadis pada tempat-tempat perkembangbiakan nyamukAedes di 100
rumah/bangunan yang dipilih secara acak dilaksanakan 4 kali setahun (3 bulan sekali).

 Apa tujuan pelaksanaan PJB? Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) melalui 3M.

BAGAIMANA CARA MELAKUKAN PEMERIKSAAN JENTIK BERKALA ?

A. PERSIAPAN :
- Siapkan surat pemberitahuan kepada Camat, Kepala Desa/Lurah tentang jadwal pelaksanaan
PJB.

- Siapkan surat tugas pelaksana.

- Siapkan perlengkapan bagi tenaga pelaksana Puskesmas (form pemeriksaan jentik dan senter).

- Siapkan data lokasi PJB.

B. PELAKSANAAN :

- Sebelum melaksanakan pemeriksaan, petugas melapor pada Kepala Desa/Lurah dan RW/RT
setempat dengan membawa surat tugas, dan minta tenaga pendamping.

- Pilih 100 rumah secara acak.

- Catat hasil pemeriksaan jentik pada form PJB (Lampiran 5).


PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI

Kegiatan pencarian penderita DBD atau tersangka infeksi dengue lainnya dan pemeriksaan jentik
nyamuk di tempat tinggal penderita dan rumah/ bangunan sekitar dengan radius sekurang kurangnya
100 meter,

TUJUAN PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI

 Mengetahui adanya penderita dan tersangka infeksi dengue lainnya.


 Mengetahui angka bebas jentik (ABJ) atau house index (HI)
 Mengidentifikasi faktor resiko lingkungan dan perilaku masyarakat terhadap timbulnya DBD
 Menentukan jenis tindakan yang akan dilakukan

CARA MELAKUKAN PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI


 Setelah menerima laporan adanya penderita DBD, petugas puskesmas/ koordinator DBD segera
mencatat dalam buku catatan harian penderita DBD
 Menyiapkan alat survei : tensimeter, termometer, senter, formulir PE, dan surat tugas.
 Memberitahukan ke Kades/ Lurah dan Ketua RW/RT setempat bahwa di wilayahnya ada
penderita DBD dan akan dilaksanakan PE
 Masyarakat di tempat tinggal penderita membantu kelancaran pelaksanaan PE

PELAKSANAAN PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI

 Petugas puskesmas perkenalan diri dan wawancara dengan keluarga untuk mengetahui ada atau
tidaknya penderita DBD lainnya (sudah ada konfirmasi dari puskesmas/ RS dan penderita demam
selama 1 minggu sebelumnya.
 Jika ditemukan penderita demam tanpa sebab yang jelas dilakukan pemeriksaan petechiae dan
uji tourniquet
 Melakukan pemeriksaan jentik pada tempat penampungan air dan tempat yang mungkin untuk
menjadi perkembangbiakan nyamuk
 Kegiatan PE dilakukan dalam radius 100 meter dari lokasi penderita.
SKEMA PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI

RENCANA TINDAK LANJUT APA YANG AKAN DILAKUKAN SETELAH PENYELIDIKAN EPIDEIMOLOGI?

 Setelah hasil PE ditentukan kemudian dilakukan penanggulangan fokus.


 Melaporkan hasil PE ke Camat melalui Kepala Desa/Lurah (Lampiran 2) atau ke Kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kab/Kota
KAPAN DATA KASUS DBD DI LAPORKAN?

a. Dalam waktu 24 jam bilamana KLB dengan menggunakan formulir W1 (Lampiran 6)

b. Dalam waktu 24 jam dengan menggunakan formulir KD/RS DBD (Lampiran 7)

c. Setiap minggu dengan menggunakan formulir W2 (Lampiran 8)

d. Setiap bulan dalam formulir K-DBD yang digunakan dalam pelaporan bulanan kasus DBD
(Lampiran 9)

e. Setiap tahun menggunakan formulir rekapan Penderita DBD (Lampiran 10)


UPAYA PERLINDUNGAN SPESIFIK

 Mekanik : 3M (menguras, menutup, mendaur ulang) tempat tempat yang menampung air (bak
mandi, kolam, drum)
 Kimia : Fogging. Hanya membunuh nyamuk dewasa nya aja. Dilakukan pd saat jam aktif
nyamuk, tidak ada angin kuat. Obat nyamuk bakar, semprot.
 Biologis : Ikan pemakan jentik (ikan mujair, ikan cupang), tanaman pengusir nyamuk
 Bersihkan lingkungan (vas bunga, wadah minum burung)

MALARIA
 Kematian akibat malaria di seluruh dunia : 1,5 – 2,7juta /tahun
 Laporan WHO : 500 juta penderita malaria /tahun, terutama di Afrika dan Asia, dengan kematian
1,1 juta /tahun
 Di Indonesia, KLB malaria pernah terjadi di Sukabumi (Jabar) pada Januari –Juni 2004 :
993/32.664, dengan kematian 10 orang dan di Karimun (Riau) 144 penderita, dengan kematian 3
orang
 Peningkatan tinggiterjadi diNTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, & NAD
 Di Jawa-Bali, tahun 2003 : 0,22/1000( laporan Dirjen PPM-PL)
 =>Menyebabkan kerugian negara (pertumbuhan ekonomi menurun) karena orang yang
menderita menjadi tidak produktif

EPIDEMIOLOGI MALARIA
AGEN PENYEBAB MALARIA
 Terdiri dari4 spesies(Plasmodium vivax,Plasmodium falciparum,Plasmodium
malariae,Plasmodium ovale)
 Pada kera ditemukan : Plasmodium cynolmogi (mirip Plasmodium vivax), Plasmodium
Knowlesi(mirip Plasmodium Falciparum&Plasmodium malariae)
 Plasmodium rodhaini pada simpanse Afrika &Plasmodium brasilianum pada kera Amerika
Selatan (mirip Plasmodium Malariae)
 Manusia dapat diinfeksi parasit malaria kera secara alami & eksperimental, &
sebaliknya !!!

VEKTOR PENULAR MALARIA


 Nyamuk Anophelini (genus Anopheles)
 Ada +2ribu spesies Nyamuk Anopheles di dunia
 Yang dapat menularkan malaria +60 spesies
 Di Indonesia ada 80 spesies Anopheles. Yang dapat berperan sebagai vektor malaria hanya
16 spesies dengan tempat perindukan yg berbeda-beda
 Di Jawa&Bali : An.sundaicus&An.aconitus, An.supticus&An.maculatus
 Di pantai :An.sundaicus&An. Supticus
 Di pedalaman : An.aconitus&An.ma-culatus
 Di Sumatra : An.sundaicus,An.macu-lates&An.nigerrimus,An.sinensis&An.letifer
 Di Sulawesi : An.sundaicus, An.sup-ticus&An.barbirostris,An.sinensis,An.nigerrimus,
An.umbrosus,An.flavi-rostris&An.ludlowi
 Di Kalimantan : An.balabacensis,An.letifer
 Di Irian Jaya:An.farauti, An.punc-tulatus&An.bancrofti,An.karwari&An.koliensis
 Di NTT:An.sundaicus,An.supti-cus&An.barbirostris

TRANSMISI MALARIA
 Masa tunas ekstrinsik : waktu antara nyamuk menghisap darah yg mengandung gametosit
sampai dengan mengandung sporozoit (bentuk infektif) dalam kelenjar liurnya

CARA INFEKSI
 Alami : melalui vektor (sporozoit masuk ke tubuh manusia melalui tusukan nyamuk)
 Induksi (stadium aseksual dalam eritrosit tidak sengaja masuk ke tubuh manusia
melaluidarah, misal :melaluitranfusi, suntikan, kongenital)
 Manusia yg mengandung stadium gametosit dapat membantu stadium infektif (sporozoit)
dalam nyamuk (vektor) !!!

MANIFESTASI KLINIS

1. Gangguan kesadaran (>30 menit)


2. Kejang
3. Panas tinggi, gangguan kesadaran
4. Mata & tubuh kuning
5. Perdarahan di hidung, gusi, saluranpencernaan
6. Jumlah kencing berkurang (oliguri)
7. Warna urine seperti teh (kecoklatan)
8. Kelemahan umum (tidak bisa duduk/berdiri)
9. Sesak Nafas

ARAH KEBIJAKAN PROGRAM MALARIA

Tujuan umum : Menurunkan angka kesakitan dan kematian


Tujuan Khusus:

 Penemuan penderita dengan konfirmasi lab


 Pengobatan penderita dengan cepat dan tepat
 Penanggulangan faktor resiko
 Pemberdayaan masyarakat, advokasi, dan kemitraan
 Surveilans

POKOK KEGIATAN PEMBERANTASAN MALARIA

 Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko selektif yang lokal spesifik


 Penemuan dan tatalaksana kasus dengan cepat, tepat dan efektif
 Peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/ Wabah
 Peningkatan komunikasi, informasi, edukasi serta dukungan dalam pencegahan dan
pemberantasan malaria.

TUJUAN PENGENDALIAN MALARIA


Tujuan umum: Terwujudnya masyarakat yang hidup sehat yang terbebas dari penularan malaria
(eliminasi malaria) sampai tahun 2030 dengan menurunnya kasus malaria dari 2 menjadi 1 per 1000
penduduk.
Tujuan khusus:
 Semua kabupaten/ kota mampu melaksanakan pemeriksaan sediaan darah malaria dan
memberikan pengobatan tepat dan terjangkau dengan ACT
 Pada tahun 2020 seluruh wilayah Indonesia sudah melaksanakan intensifikasi dan integrasi dalam
pengendalian malaria
 Jumlah daerah endemis malaria turun 50%

Intensifikasi adalah upaya peningkatan output dengan memaksimalkan sumberdaya yang telah
ada.
Integrasi adalah keberadaan dua atau lebih sistem yang ada bersama-sama dalam suatu waktu
dan tempat.
KOMPONEN POKOK P2 MALARIA DI FASYANKES PRIMER (PUSKESMAS)
 Upaya Penemuan Kasus
 Upaya Pengendalian Vektor (dan Survey Entomologi)
 Upaya Pengobatan yang Efektif

CARA PENEMUAN PENDERITA


1. Survey – survey:
 Mass Fever Survey (MFS)
 Mass Blood Survey (MBS)
 Surveilans Migrasi
2. Passive Case Detection (PCD)
 Survei kontak
 Malariometric Survey (MS)
3. POSMALDES (POS Malaria Desa)
4. Active Case Detection (ACD)

1. POS MALARIA DESA


Pos Malaria Desa adalah wadah pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian malaria yang
dibentuk dari, oleh dan untuk masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan.

Tujuan:
 Meningkatkan jangkauan penemuan kasus malaria melalui peran aktif masyarakat dan dirujuk ke
fasilitas kesehatan terdekat
 Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan malaria

Posmaldes diperlukan karena:

 Sekitar 45% dari desa endemis, malaria merupakan daerah terpencil (transportasi dan komunikasi
sulit, akses pelayanan kesehatan yang rendah, sosial ekonomi masyarakat rendah, pengobatan
tidak sempurna karena banyak obat malaria dijual bebas
TUGAS KADER MALARIA

 Menemukan kasus malaria klinis


 Merujuk penderita
 Melakukan penyuluhan dan upaya pencegahan bersama masyarakat
 Membuat catatan hasil kegiatan
 Kader mendapat pelatihan dan dilengkapi dengan POSMALDES kit dan media penyuluhan malaria

KELOMPOK BERESIKO:

 Semua kelompok umur dan jenis kelamin yang positif malaria


 Di desa yang lebih luas (>30 rumah) penularan malaria seringkali berkelompok dekat tempat
perindukan di atu bagian desa saja
 Jika bayi dan balita positif, beberapa penularan kemungkinan terjadi di dalam rumah

PENDUDUK BERISIKO (POPULATION OF RISK)


Kemungkinan masuknya penderita malaria di suatu daerah disebut Malariogenic Potential yang
ditentukan:
1. Receptivity
Adanya vektor malaria dalam jumlah besar dan terdapatfaktor-faktor ekologis dan iklim yang
memudahkan penularan

2. Vulnerability
Dekat dengan daerah malaria atau kemungkinan masuknya penderita malaria dan atau vektor
yang telah terinfeksi
INDIKATOR PROGRAM MALARIA
Terdiri dari indikator outcome dan indikator deteksi kasus/ prevalensi.

INDIKATOR OUTCOME
1. API (Annual Parasit Incidence)
Jumlah penderita positif malaria X 1.000
Jumlah penduduk

Kegunaan: Untuk mengetahui insidensi (kasus baru) malaria


pada satu daerah tertentu selama 1 tahun

2. AMI (Annual Malaria Incidence)


Jumlah penderita malaria klinis
X 1.000
Jumlah penduduk

Kegunaan: Untuk mengetahui incidence malaria klinis pada


satu daerah tertentu selama 1 tahun

3. MOPI (Monthly Parasite Incidence)


Jumlah penderita positif malaria per bulan
X 1.000
Jumlah penduduk

Kegunaan:Untuk mengetahui incidence malaria pada satu daerah


tertentu selama 1 bulan

4. MOMI (Monthly Malaria Incidence)


Jumlah penderita malaria klinis per bulan
X 1.000
Jumlah penduduk

Kegunaan: Untuk mengetahui incidence malaria klinis pada


satu daerah tertentu selama 1 bulan

5. CFR (Case Fatality Rate)


Jumlah penderita meninggal karena malaria
X 100%
Jumlah penderita malaria
Kegunaan: Untuk mengukur angka kematian yang disebablKn malaria dibandingkan dengan
jumlah penderita malaria, biasanya digunakan pada saat KLB

INDIKATOR DETEKSI KASUS/ PREVALENSI


1. PR (Parasit Rate), kegiatan Malariometrik Survey (MS)

Jumlah malaria positif usia 0-9 th


Jumlah anak 0-9 th yg diperiksa sampel darahmya X 100%
Kegunaan: Untuk mengetahui prevalensi (total kasus) malaria pada satu
daerah tertentu.

2. IPR (Infant Parasit Rate), kegiatan Malariometrik


Survey (MS)

Jumlah malaria positif usia 0-11 bulan


Jumlah anak 0-11 bulan yang diperiksa sampel darahnya
X 100%

Kegunaan: Untuk mengetahui prevalensi kasus malaria penularan


setempat (indigenous) pada satu daerah tertentu.

3. SR (Spleen Rate), kegiatan Malariometrik Survey (MS)

Jumlah anak usia 2-9 th yg spleenomegaly


X 100%
Jumlah anak usia 2-9 th yg diperiksa spleen nya

Kegunaan: Untuk mengetahui prevalence malaria pada satu daerah


tertentu

4. SPR (Slide Positive Rate)

X 100%
Jumlah malaria positif
Jumlah malaria klinis yang diperiksa sampel darah nya

Kegunaan: Untuk mengetahui proporsi ketepatan diagnosa

BERDASARKAN MALARIOMETRIC SURVEY DASAR

UPAYA PENGENDALIAN
SURVEI ENTOMOLOGI

Kegiatan dalam rangka pengumpulan data untuk:

 Inventarisasi dan dokumentasi


 Setelah dianalisa menjadi informasi yang berguna sebagai bahan pertimbangan penent
kebijaksanaan dalam menyusun program strategi P2PM

MACAM-MACAM SURVEI

1. Spot survey (survei sewaktu)


2. Longitudinal survey (Survei dalam waktu lama)
3. Survei dasar (untuk memperoleh data dasar)
4. Survei evaluasi (sesudah intervensi pemberantasan)
5. Survei kerentanan vektor terhadap insektisida
6. Survei penentuan ketepatan dosis aplikasi
7. Survei dinamika penularan penyakit (terjadinya penularan)

KEGIATAN:

 Penentuan lokasi survei entomologi (kasus, bentuk)


 Penangkapan nyamuk dan jentik
 Melaksananakan uji kerentanan dan uji bioassay
 Pengamatan dinamika penularan penyakit

TUJUAN:

Data yang terkumpul dianalisa, dipelajari untuk mengetahui:

 Fauna nyamuk (inventarisasi dan dokumentasi)


 Bionomik nyamuk vektor maupun bukan vektor
 Hubungan nyamuk dengan parasit (vektor, tersangka vektor, dimana terjadi penularan penyakit)
 Hubungan nyamuk dengan lingkungan antara lain suhu, kelembaban, angin, musim dan ketinggian
 Tempat yang menampung air seperti rawa, sungai, sawah, muara yang dekat dengan permukiman
 Perubahan lingkungan yang terjadi antara lain: penebangan hutan, pembukaan lahan baru,
pembangunan waduk, dll.
 Keberadaan ternak sapi dan kerbau pengaruhnya terhadap vektor
 Pengaruh penggunaan insektisida kesehatan atau pertanian

BEBERAPA ASPEK TERKAIT UPAYA PENGENDALIAN VEKTOR


1. Bionomik/ perilaku vektor (hubungan vektor dengan lingkungan)
 Kebiasaan menggigit dan aktivitas menggigit
2. Breeding place (Habitat)
 Sawah, kubangan, pantai, sungai
 Bak mandi, tempat penampungan air
3. Kerentanan terhadap insektisida
4. Tempat istirahat vektor
 Dalam rumah atau luar rumah

Catatan: Harus diketahui spesies serangga vektor, sehingga pengendalian nya maksimal
BEBERAPA HAL PENTING DALAM USAHA PEMBERANTASAN VEKTOR MALARIA
1. Umur populasi vektor
Pengetahuan tentang umur nyamuk sangat penting untuk mengetahui masa penularan
2. Distribusi musiman
Memberikan gambaran atau menjelaskan musim penularan penyakit yang tepat
3. Perilaku mencari darah
Waktu, tempat, sumber, frekuensi menggigit
4. Perilaku istirahat (sementara atau sebenarnya)
5. Pengaruh lingkungan
 Fisik : Angin
 Kimia: Kadar garam
 Biologis: Lumut ganggang predator
KEBIJAKAN ELIMINASI MALARIA

1. Eliminasi malaria dilakukan secara menyeluruh dan terpadu oleh pemerintah bersama mitra kerj
pembangunan yaitu LSM, lembaga donor, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan
masyarkat.
2. Eliminasi malaria dilakukan secara bertahap dari kabupaten/ kota, provinsi, dan dari satu pulau ke
beberapa pulau sampai ke seluruh wilayah Indonesia menurut tahapan yang didasarkan pada
situasi malaria dan kondisi sumber daya yang ada.
SASARAN ELIMINASI MALARIA

STRATEGI PROGRAM
KEMITRAAN ELIMINASI MALARIA
KESIMPULAN

 DBD dan Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, yang merupakan
daerah endemis dan cukup sering terjadi KLB.
 Upaya Pencegahan dan Pengendalian DBD dan Malaria tidak hanya mengandalkan Dinas
Kesehatan, Rumah Sakit maupun Puskesmas, namun perlu melibatkan peran serta aktif
masyarakat dan lintas sektoral.

Upaya Surveilans Kasus, Peneylidikan Epidemiologi dan Tatalaksana Kasus secara Dini dan Efektif
menjadi hal penting dalam keberhasilan P2 DBD dan Malaria.

TROPICAL MEDICINE

KUSTA/Leprosy
(Sesi pertama)

Judul Kasus: Tn. Agus

Halaman 1

Pak Agus, pria 40 tahun, datang ke Puskesmas untuk memeriksa masalah kulitnya yang terjadi sejak
lebih dari empat bulan yang lalu.

----------------------------------------------------------------
Halaman 2 (Riwayat Penyakit Sekarang)

Dari riwayat pasien, ia memiliki beberapa bercak warna merah pada kulitnya dengan diameter 3-15 mm
pada badan dan ekstremitasnya sejak lebih dari empat bulan yang lalu, pasien dapat dengan tepat
menyebutkan kapan pertama kali munculnya.

Wajahnya memiliki banyak benjolan kecil. Pasien tidak merasa gatal atau nyeri untuk masalah kulitnya
tersebut. Pasien merasa mati rasa pada lesi kulit pada wajah dan tubuh. Kelopak mata kanannya tidak
bisa menutup dengan benar daripada kelopak mata sebelah kirinya. Untuk anggota tubuhnya masih
belum ada keluhan.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Halaman 3 (Riwayat
penyakit sebelumnya)

Pasien tidak memiliki riwayat diabetes dan hipertensi.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Halaman 4 (Riwayat
Obat)
Pasien telah menggunakan berbagai lotion atau krim dari toko obat selama tiga bulan tanpa adanya
perbaikan.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Halaman 5 (Riwayat
Keluarga)

Ia memiliki istri dengan dua orang anak. Istrinya juga memiliki bercak warna merah di kulitnya juga sama
sepertinya

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Halaman 6 (Riwayat
Sosial)

Ia merupaakan Orang Madura, tinggal di Bangkalan, Pulau Madura sebagai “tukang becak”.

Tujuan:
Di akhir sesi pertama, siswa harus mampu:

Jelaskan terminologi (morfologi) penyakit kulit

Jelaskan anatomi nervus aurikuler besar, nervus median, nervus ulnaris, nervus radial, nervus peroneus
komunis, dan nervus tibialis posterior

Jelaskan pengertian kusta

Jelaskan epidemiologi kusta di Indonesia dan dunia

Guiding Question and answer

Apa yang tampaknya menjadi masalah pada pasien?


Identifikasi masalah:

Laki-laki, 40 tahun

Bercak warna merah di kulitnya dengan diameter 3-15 mm pada badan dan ekstremitasnya sejak empat
bulan lalu

Banyak benjolan kecil di wajahnya.

Mati rasa di kulit.

Ia orang Madura, tinggal di Bangkalan, Pulau Madura.

Ia berprofesi sebagai “tukang becak”.

Istrinya juga memiliki lesi kulit seperti dia.


Tentukan hipotesis dari setiap masalah (Diagnosis banding)

Kusta/Leprosy: salah satu great imitator illness, merupakan infeksi jangka panjang oleh bakteri
Mycobacterium leprae, dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf, kulit, mata, otot, dll.

Tinea corporis: dermatomikosis superfisial yang disebabkan oleh dermatofita. Tandanya ada eritematosa
atau hiperpigmentasi, makula bersisik terisi tajam dan aktif, terdiri dari papula, pustula, dan vesikula.
Ada central clearence (khas fungal) di bagian dalam lesi.

Psoriasis vulgaris: penyakit inflamasi kronis dan berulang pada kulit yang ditandai dengan plak berbatas
tegas, eritematosa, kering, bersisik dengan berbagai ukuran. Lesi biasanya ditutupi oleh sisik pipih putih
keabu-abuan atau keperakan.

Pityriasis rosea: Inflamasi eksantema ringan yang ditandai dengan lesi pertama yang disebut mother-
plaque/Herald patch, diikuti oleh beberapa makula dan papula eritematosa yang lebih kecil. Ini tersusun
sedemikian rupa sehingga sumbu panjang makula sejajar dengan garis belahan kulit.

Discoid lupus erythematous: adalah jenis lupus eritematosus kulit kronis (CCLE) yang paling umum,
suatu kondisi kulit autoimun pada spektrum penyakit lupus eritematosus. Muncul dengan bercak merah,
meradang, kulit berbentuk koin dengan tampilan bersisik dan berkerak, paling sering di kulit kepala, pipi,
dan telinga. Rambut rontok dapat terjadi jika lesi tersebut kemudian membentuk jaringan parut yang
parah, dan area tengah mungkin tampak berwarna lebih terang dengan pinggiran yang lebih gelap dari
kulit normal.

Apa informasi selanjutnya yang Anda butuhkan?

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Halaman 7 (Pemeriksaan Fisik)

Pemeriksaan umum

BP: 120/80 mmHg Nadi : 80x / menit

RR: 20 x / menit Suhu: 36.5 0 C

Kepala dan leher: terjadi pembesaran sebelah kiri dan kanan dari N. Auricularis magnus, banyak papula
dan nodul pada wajah (Leonine facies), sebagian bulu alis hilang dan tidak simetris (madarosis dini),
lagophtalmos pada mata kanan.

Thorax dan Abdomen: tidak ada kelainan

Ekstremitas: tidak ada kelainan.

Dermatological Trunk Finding:


Ada beberapa plak eritematosa 3 -15 cm terdistribusi/menyebar secara asimetris di tubuhnya. Beberapa
dari plak itu menonjol. Ada begitu banyak nodul tersebar secara simetris. Ada sensitivitas nyeri sedikit
menurun pada lesi / mati rasa.

Pemeriksaan Mata: Anemia (-), ikterus (-), konjungtiva kemerahan (-), anestesi kornea kanan (+)

Bibir: mukosa kering (-)

THT: JVP PR + 0 cm H2O, Limfadenopati colli (-)

Jantung:
Inspeksi: IC Tak Terlihat

Palpasi : IC teraba pada ICS V MCL S.

Perkusi : Batas kanan: Garis Parasternal kanan

Batas kiri: MCL sinistra

Auskultasi : S1 S2 single, regular, murmur (-)

Paru: Vesikular + / +, tidak ada ronki dan wheezing

Inspeksi: simetris

Palpasi: VF N / N

Perkusi: Sonor / Sonor

Auskultasi: Ves + / +, Rhonchi - / -, Wheezing - / -

Abdomen

Inspeksi: Distended (-), Darm contour (-), Darm Steifung (-)

Auskultasi: Bising usus (+) normal

Palpasi: liver: tidak teraba; limpa: tidak teraba, traube ruang timpani

Perkusi: Timpani.
Bisakah Anda menjelaskan terminologi (morfologi) dalam penyakit kulit?

Macula: perubahan warna kulit tanpa elevasi atau depresi.

Papula: lesi superfisial, elevasi, padat, umumnya berdiameter <0,5 cm.

Plak: plateau-like elevation di atas permukaan kulit yang menempati area permukaan yang relatif luas
dibandingkan dengan ketinggian di atas kulit.

Nodul: lesi teraba, padat, bulat, atau ellipsoidal yang lebih besar dari papula, dan mungkin mengenai
epidermis, dermis, atau jaringan subkutan.

Wheal: papul atau plak merah pucat bulat atau datar yang biasanya menghilang dalam waktu 24-48 jam.

Vesicle-Bulla: vesikel (<1 cm) atau bulla / blister (> 1 cm) adalah rongga superfisial yang memiliki batas,
elevasi, dan berisi cairan.

Pustula: rongga superfisial berbatas pada kulit yang berisi eksudat purulen.

Kerak/krusta: berkembang ketika serum, darah, atau eksudat purulen mengering di permukaan kulit.

Scales (squames): serpihan stratum korneum.

Erosi: defect hanya pada epidermis, tidak mengenai dermis.

Ulcer: defect kulit yang meluas ke dermis atau lebih dalam ke subkutis dan selalu terjadi dalam jaringan
yang berubah secara patologis.
Scar: penggantian jaringan fibrosa dari jaringan yang rusak akibat ulkus atau luka sebelumnya.

Atrophy: berkurangnya beberapa atau semua lapisan kulit.

Kista: rongga yang berisi bahan cair atau padat atau setengah padat dan mungkin dangkal atau dalam.

Eritematosa: kemerahan yang disebabkan oleh vasodilatasi vaskular

Patch: area datar kulit atau membran mukus dengan warna yang berbeda dari sekitarnya, namun patch
lebih besar dari 0,5 cm, dan mungkin bersisik halus sangat tipis.

Edema: istilah medis untuk pembengkakan/swelling. Bagian tubuh membengkak karena cedera atau
peradangan.

Hangat saat palpasi: sensasi hangat dibandingkan bagian kulit normal lainnya saat palpasi.

Rasa nyeri: sensasi tidak menyenangkan yang dapat berkisar dari ketidaknyamanan ringan dan
terlokalisasi hingga menyiksa. Ini dimediasi oleh serabut saraf spesifik yang membawa impuls nyeri ke
otak di mana apresiasi kesadaran mereka dapat dimodifikasi oleh banyak faktor.

Apakah informasi ini mengubah hipotesis Anda?

Iya. Kusta/Leprosy

Jelaskan definisi kusta

Kusta (disebut juga penyakit Hansen) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae yang mempengaruhi secara primer di sistem saraf perifer, sekunder pada kulit, dan organ
tertentu lainnya (kecuali sistem saraf pusat). Manifestasi klinis, riwayat alamiah, dan prognosis kusta
berhubungan dengan respons host, dan berbagai jenis kusta mewakili spektrum respons imunologis
host (imunitas yang dimediasi sel).

Bisakah Anda menggambarkan epidemiologi kusta?

Kusta masih merupakan penyakit serius yang terabaikan

WHO menyebut jumlah kasus baru secara bertahap menurun dalam 10 tahun terakhir.

Bahkan, pemodelan matematis menunjukkan bahwa di tahun 2020 kita mungkin memiliki 4 juta kasus
kusta yang tidak terdiagnosis di seluruh dunia.

Meskipun India memiliki jumlah kasus kusta tertinggi di dunia, Brasil memiliki angka penemuan kasus
baru tertinggi di antara semua negara.

Negara teratas adalah India, Brazil, dan Indonesia.


Di Indonesia, pada tahun 2016 terdapat 16.286 kasus kusta.

Maluku Utara pada tahun 2018 memiliki kasus kusta tertinggi. Provinsi Jawa Timur memiliki kasus kusta
tertinggi di Pulau Jawa dan Madura pada tahun 2018.

Kembar monozigot memiliki penyakit konkordan pada 60% hingga 85% kasus, dan kembar dizygotik 15%
hingga 25%, menunjukkan kerentanan genetik terhadap perkembangan penyakit klinis. Gen yang
berbeda telah diidentifikasi dalam populasi yang berbeda, menunjukkan mungkin ada beberapa
penyebab genetik yang rentan terhadap infeksi. M. leprae.

Walaupun penyakit kusta terjadi pada semua umur, kebanyakan kasus muncul atau didapat di daerah
endemis hadir sebelum usia 35. Pada orang dewasa, kasus pada pria melebihi jumlah pada wanita 1.5: 1.

Periode laten antara pajanan/exposure dan tanda-tanda penyakit biasanya 5 tahun untuk kasus
paucibacillary, tetapi bisa sampai 20 tahun pada kasus multibacillary.

Cara transmisi masih kontroversial. Kecuali untuk kasus yang terkait dengan paparan armadillo, kasus
kusta lainnya dianggap sebagai satu-satunya sumber penularan. Kasus multibasiler jauh lebih menular
daripada kasus paucibacillary, jadi sifat sumber kasus adalah faktor terpenting dalam penularan.
Droplet infeksi dari kasus sekresi hidung multibasiler aktif dengan erosi hidung awalnya dirasakan
sebagai satu-satunya sumber penyebaran penyakit melalui jalur pernapasan.

Di daerah endemis tidak semua penularan bisa langsung dari kasus multibasiler aktif. Jelas, kontak jarak
dekat berkaitan dengan menularnya infeksi.
TROPICAL MEDICINE

"KUSTA/Leprosy"
(Sesi kedua)

Judul Kasus: Tn. Agus

Hasil pemeriksaan laboratorium:

Pemeriksaan KOH dari kulit: hifa tidak ditemukan Ziehl-Nielsen smears diambil dari lesi dan cuping
telinga: Indeks Bakteri: 4+; Indeks Morfologi: 3,5%

Investigasi Histologis dari lesi kulit menunjukkan:

Infiltrat limfositik padat terbatas pada ruang yang ditempati oleh makrofag. Makrofag terisi dengan M.
leprae, memiliki banyak sitoplasma berbusa atau bervakuola. Ditemukan basil tahan asam.

Tujuan:
Di akhir sesi kedua, siswa harus mampu:

Jelaskan karakteristik M. leprae ( Mikrobiologi)

Jelaskan klasifikasi WHO dan klasifikasi Kusta Ridley Jopling.

Jelaskan keterlibatan organ dan manifestasi kusta.

Menjelaskan jalur deteksi dini kasus kusta.

Jelaskan kriteria diagnosis kusta

Jelaskan diagnosis laboratorium M. Leprae

Menjelaskan tentang indeks bakteriologis dan indeks morfologi (WHO- Mikrobiologi M. leprae)
(Mikrobiologi)

Jelaskan patogenesis bakteri penyebab infeksi ini (Mikrobiologi)

Guiding Questions

1. Apa karakteristik dari Mycobacterium leprae? ( Mikrobiologi)

Khas basil tahan asam-singly, dalam bundel paralel, atau dalam massa globular —Ditemukan secara
teratur pada kerokan dari kulit atau membran mukus (terutama septum hidung) pada pasien dengan
kusta lepromatosa. Seringkali basil ditemukan di dalam sel endotel pembuluh darah atau di sel
mononuklear. Ketika basil dari kusta manusia (ground tissue nasal scrapings) diinokulasi ke dalam
bantalan kaki tikus, lesi granulomatosa lokal berkembang dengan perbanyakan basil terbatas. Armadillo
yang diinokulasi mengembangkan kusta lepromatosa yang luas, dan armadillo yang secara alami
terinfeksi kusta telah ditemukan di Texas dan Meksiko. M leprae dari armadillo atau jaringan manusia
mengandung keunikan o-difenoloksidase, mungkin merupakan karakteristik enzim dari basil lepra.

Suhu optimal untuk pertumbuhan (30 ° C) lebih rendah dari suhu tubuh; karena itu, M. leprae tumbuh
secara khas di kulit dan saraf superfisial. Tumbuh sangat lambat, dengan penggandaan waktu 14 hari. Ini
menjadikannya patogen bakteri manusia yang tumbuh paling lambat. Salah satu akibatnya adalah terapi
antibiotik harus dilanjutkan dalam waktu yang lama, biasanya beberapa tahun

2. Jelaskan klasifikasi penyakit kusta!

Kusta dapat muncul dengan spektrum penyakit klinis yang luas, tergantung pada respon imun pasien.

Klasifikasi atau modifikasi Ridley dan Jopling telah mengklasifikasikan kasus berdasarkan gambaran
klinis, bakteri, imunologi, dan histopatologi. Pada banyak pasien yang terpajan, infeksi tampaknya hilang
secara spontan dan tidak ada lesi klinis yang berkembang.
Pasien yang mengembangkan penyakit klinis secara luas diklasifikasikan menjadi dua kelompok:

Pasien dengan sedikit organisme di jaringan mereka disebut paucibacillary

Pasien dengan sejumlah besar organisme disebut multibasiler

Respon imun individu yang dimediasi sel terhadap organisme menentukan bentuk kusta yang akan
terjadi pada individu. Jika respon CMI terhadap M. leprae kuat maka jumlah organisme akan sedikit
(paucibacillary), sebaliknya jika respon tidak mencukupi maka jumlah organim akan banyak
(multibacillary).

Early and Intermediate Leprosy

Biasanya awal kusta berbahaya. Gejala prodromal umumnya sangat ringan sehingga penyakit ini tidak
dikenali sampai munculnya erupsi kulit.

Manifestasi klinis pertama pada 90% pasien adalah mati rasa, dan bertahun-tahun mungkin berlalu
sebelum lesi kulit atau tanda lain diidentifikasi. Perubahan sensorik paling awal adalah hilangnya indra
sentuhan dingin dan ringan, paling
sering di kaki atau tangan.

Lesi pertama yang dicatat adalah makula soliter, tidak jelas, dan terhipopigmentasi yang menyatu
dengan kulit normal di sekitarnya. Lesi paling mungkin terjadi di pipi, lengan atas, paha, dan bokong.
Pemeriksaan fungsi sensorik menunjukkan perubahan normal atau minimal.

Saraf perifer tidak membesar.


Beberapa kasus tetap dalam keadaan ini; mereka berkembang menjadi tipe lepromatous, tuberculoid,
atau borderline, atau sering sembuh secara spontan dan tidak pernah mengembangkan tanda atau
gejala kusta lainnya.

Kusta Tuberkuloid

Lesi tuberkuloid adalah soliter atau sedikit jumlahnya dan menyebar secara asimetris.
Lesi mungkin hipopigmentasi atau eritematosa, dan biasanya kering, bersisik, dan tidak berbulu.

Lesi tipikal adalah plak eritematosa yang besar dengan batas tajam dan meninggi yang miring ke bawah
menuju pusat atrofi yang rata.

Lokasi paling umum adalah wajah, tungkai, atau trunk

Lesinya anestesi / hipestetik dan anhidrotik, dan saraf perifer superfisial atau proksimal lesi membesar,
tender atau keduanya. Keterlibatan saraf merupakan awal dan prominent yang menyebabkan
perubahan karakteristik pada kelompok otot yang disuplai

Mungkin disana ada atrofi otot interoseus tangan, dengan penurunan fungsi tenar dan hipotenar,
kontraktur jari, kelumpuhan otot wajah, dan foot drop.

Borderline Kusta Tuberkuloid

Lesi mirip dengan lesi tuberkuloid, hanya saja lesi tersebut lebih kecil dan lebih banyak.

Lesi satelit di sekitar makula besar atau plak merupakan ciri khas.

Borderline Kusta

Lesi sangat banyak dan terdiri dari plak merah berbentuk tidak teratur. Lesi satelit kecil mungkin
mengelilingi plak besar

Lesi umum terjadi, tapi asimetris.

Saraf mungkin menebal dan tender tetapi anestesi hanya moderat pada lesi.

Borderline Lepromatous Leprosy

Lesi simetris, banyak, bisa berupa makula, papula, plak, dan nodul.

Keterlibatan saraf muncul kemudian, saraf membesar, tender, atau keduanya; dan simetris.

Pasien biasanya tidak menunjukkan ciri-ciri penyakit kusta yang parah, seperti madarosis, keratitis,
ulserasi hidung, dan fasies leonin.

Lepromatous Leprosy
Lesi kulit terutama terdiri dari makula lepromatosa pucat atau infiltrasi lepromatosa, dengan banyak
basil di lesi.

Lesi kusta makula merata dan simetris didistribusikan ke seluruh tubuh, ill defined. Tidak ada perubahan
tekstur kulit. Ada sedikit atau tidak ada hilangnya sensasi pada lesi, tidak ada penebalan saraf, tidak ada
perubahan pada keringat.

Infiltrasi lepromatosa dapat dibagi menjadi tipe difus, plak atau nodular.
Jenis difus ditandai dengan perkembangan infiltrasi wajah yang menyebar, terutama dahi, kehilangan
alis (madarosis), dan waxy appearence pada kulit.
Keterlibatan saraf selalu terjadi, tetapi berkembang sangat lambat, simetris bilateral, biasanya pada pola
stocking-glove.
3. Dapatkah anda menjelaskan klasifikasi kusta menurut WHO?

Mereka dengan resistensi tinggi mengembangkan tipe tuberkuloid paucibacillary dan mereka dengan
resistansi rendah mengembangkan tipe lepromatous multibasiler.

Kusta Paucibacillary (PB) meliputi: TT, tidak tentu, mayoritas BT dengan basil tahan asam negatif

Kusta multibasiler (MB) meliputi: LL, BL, BB, beberapa BT, dan semua kasus dengan basil tahan asam
positif
\\

Bisakah anda menjelaskan keterlibatan organ dan manifestasi kusta?

Keterlibatan Saraf

Keterlibatan saraf mempengaruhi terutama dan paling mudah diamati pada nervus trunk dan tungkai
yang lebih superfusial, seperti:

Nervus aurikularis besar

Nervus ulnaris → anestesi dan paresis / melumpuhkan otot jari tangan keempat & kelima

Nervus medianus → pertama terjadi anestesi dan paresis / lumpuh hingga otot jari tangan ketiga.

Kerusakan nervus ulnaris dan medius mengarah ke claw toes and claw hand

Nervus radial → drop wrist

Poplitea lateral (nervus peroneal umum) → drop foot

Nervus tibialis posterior → anestesi kulit kaki dan paresis / melumpuhkan otot-otot kaki

Gangguan saraf tepi bisa saraf tunggal atau multipel. Ini bertanggung jawab atas temuan klinis anestesi
di dalam lesi, dan Neuropati perifer “stocking-glove” progresif. Pembesaran saraf lebih awal dan lebih
jelas pada tuberkuloid
dibandingkan tipe lepromatosa.

Tanda-tanda neuralnya adalah dysesthesia, pembesaran saraf, kelemahan dan pengecilan otot, dan
perubahan tropik. Akibat kerusakan saraf, area anestesi, kelumpuhan, dan gangguan trofik di bagian
perifer ekstremitas secara bertahap berkembang.
Kelumpuhan otot dan atrofi umumnya mempengaruhi
otot-otot kecil tangan dan kaki. Jari mengembangkan kontraktur, dengan formasi claw hand, dan
sebagai hasil dari resorpsi tulang ruas jari, jari tangan dan kaki menjadi lebih pendek.

Setelah terjadinya kerusakan saraf, ulserasi, alopecia, anhidrosis, dan malumperforans pedis (perforasi
ulcer pada ball of the foot atau tumit kaki) bisa berkembang.

Keterlibatan kulit: makula, plak, nodul, infiltrasi, scar, ulcer

Keterlibatan mata

Erosi kornea, keratitis eksposur, dan ulserasi dapat terjadi sebagai akibat dari keterlibatan saraf ketujuh.
Pasien multibasiler akan berpotensi terjadinya proses kebutaan.

Keterlibatan membran mukosa

Selaput lendir juga bisa terpengaruh, terutama di hidung, mulut, dan laring. Perforasi septum hidung
dapat terjadi pada kasus lanjut, dengan collapsnya nasal bridge (saddle-nose deformities).

Keterlibatan visceral

Kelenjar getah bening, sumsum tulang, limpa, hati, dan testis paling banyak terinfeksi. Atrofi testis akan
berkembang menjadi ginekomastia.
Dapatkkah anda mendeskripsikan jalur untuk deteksi awal kasus kusta? (IKM)
Apa kriteria diagnosis penyakit kusta?

Untuk menegakkan diagnosa penyakit kusta:

Ada Tanda kardinal menurut WHO (1997)

Lesi kulit eritematosa atau hipopigmentasi dengan kehilangan sensorik pasti

Penebalan saraf tepi dengan gangguan fungsi saraf. Ini mungkin fungsi sensorik, motorik, atau otonom.

Ditemukan basil tahan asam pada smear kulit.

Satu dari tiga tanda ini harus ada untuk diagnosis kusta.

Bagaimana membuat diagnosis laboratorium untuk menemukan M leprae?


a. Mikroskopis

Pada kusta lepromatosa, basil mudah ditunjukkan dengan melakukan pewarnaan tahan asam pada lesi
kulit atau kerokan hidung. Lipid-laden makrofag yang disebut "sel busa" yang mengandung banyak basil
tahan asam terlihat di kulit. Dalam bentuk tuberkuloid, sangat sedikit organisme yang terlihat, dan
penampilan granuloma
yang khas sudah cukup untuk diagnosis.
Gambar mikroskopis Mycobacterium leprae pada noda Ziehl Nielseen (AFB = noda basil tahan asam).

Kultur negatif karena organismenya tidak tumbuh di media buatan.

Tes serologi untuk IgM terhadap fenolik glikolipid-1 berguna dalam diagnosis kusta lepromatous tetapi
tidak berguna dalam diagnosis kusta tuberkuloid. Diagnosis kusta lepromatosa dapat dipastikan dengan
menggunakan uji polymerase chain reaction (PCR) pada sampel kulit.

Cara membuat indeks bakteriologis dan indeks morfologi (WHO- Mikrobiologi dari M. leprae)

Indeks bakteriologis (BI)

Ini adalah ekspresi dari tingkat muatan bakteri. Dihitung dengan menghitung enam sampai delapan
perwanaan smear di bawah lensa oil immersion 100 x dalam smear yang dibuat dengan merobek kulit
dengan pisau bedah tajam dan mengikisnya; cairan dan jaringan yang diperoleh dioleskan cukup tebal
pada kaca objek dan diwarnai dengan metode Ziehl-Neelsen dan decolorisasi (tetapi tidak seluruhnya)
dengan alkohol asam 1%. Hasilnya dinyatakan dalam skala logaritmik.

1+ Setidaknya 1 basil di setiap 100 bidang.

2+Setidaknya 1 basil di setiap 10 bidang.

3+ Setidaknya 1 basil di setiap bidang.

4+ Setidaknya 10 basil di setiap bidang.

5+ Setidaknya 100 basil di setiap bidang.

6+ Setidaknya 1000 basil di setiap bidang.

Indeks bakteriologis sangat berharga karena sederhana dan mewakili banyak lesi tetapi dipengaruhi oleh
kedalaman sayatan kulit, ketelitian goresan dan ketebalan lapisan.
Indeks yang lebih akurat dan dapat diandalkan dari kandungan basil pada lesi diberikan oleh indeks
logaritmik biopsi (LIB. Indeks ini membantu menilai keadaan pasien pada awal pengobatan dan menilai
progressnya).

Indeks morfologi (MI)


Ini dihitung dengan menghitung jumlah batang tahan asam pewarnaan padat. Hanya basil pewarna
padat yang layak. Hal ini tidak biasa terjadi pada pewarnaan padat M. Leprae untuk muncul kembali
dalam waktu singkat pada pasien yang berhasil
diobati dengan obat-obatan. Penting untuk diketahui bahwa pengukuran MI bervariasi tergantung
pengamat dan oleh karena itu tidak selalu dapat diandalkan.

Bisakah Anda menjelaskan patogenesis bakteri ini menyebabkan infeksi?


Organisme ini bereplikasi secara intraseluler, biasanya dalam histiosit kulit, sel endotel, dan sel Schwann
dari saraf. Kerusakan saraf pada penyakit kusta disebabkan oleh dua proses yaitu kerusakan akibat
kontak langsung dengan bakteri dan kerusakan akibat serangan CMI pada saraf.

-----------------------------------------------------------
TROPICAL MEDICINE
"KUSTA/Leprosy"
(Sesi ketiga)

Dokter memberikan Multi Drug Therapy (MDT) dan neurotropik untuk kusta kepada Tn. Agus. Dokter
pun menyarankan agar ia membawa istri dan kedua anaknya ke Puskesmas untuk pemeriksaan kusta.
Tn. Agus rutin minum obat tapi pada bulan ke-9, dia mengeluh demam, mialgia, dan beberapa nodul
subkutan dan dermal eritematosa yang tersebar luas di tubuhnya. Dokter memberikan beberapa obat
dan merekomendasikan untuk melanjutkan MDT.

Tujuan:
Di akhir sesi ketiga, siswa harus mampu:

Jelaskan protokol penatalaksanaan Kusta yang direkomendasikan WHO

Sebutkan cara penularan kusta (IKM)

Jelaskan masa penularan kusta (IKM)

Sebutkan metode pengendalian kusta (IKM)

Sebutkan obat yang digunakan pada penyakit kusta (Farmakologi)

Jelaskan keadaan reaksional kusta dan penatalaksanaannya

Guiding Question and answer

Jelaskan penatalaksanaan Kusta

Prinsip umum manajemen:

Memberantas infeksi dengan terapi antilepromatous

Mencegah dan mengobati komplikasi kerusakan saraf

Cegah dan obati reaksi

Merehabilitasi pasien ke dalam masyarakat


Pasien disebut RFT (Release From Treatment) setelah selesai MDT, tanpa pemeriksaan laboratorium,
barulah pasien disebut RFC (Release From Control) setelah 2 tahun surveilans PB dan 5 tahun surveilans
MB tanpa pemeriksaan laboratorium.

Sebutkan cara penularan kusta (IKM)

Meskipun mode transmisi yang tepat tidak ditetapkan dengan jelas, rumah tangga dan kontak dekat
yang lama tampaknya penting. Jutaan basil dibebaskan setiap hari dalam nasal discharge pasien
lepromatous yang tidak diobati, dan basil telah terbukti tetap dapat hidup setidaknya selama 7 hari
dalam sekresi nasal kering. Ulkus kulit pada pasien lepromatosa juga dapat mengeluarkan basil dalam
jumlah besar. Organisme mungkin masuk melalui saluran pernapasan bagian atas dan mungkin melalui
kulit yang rusak. Dalam kasus pada anak di bawah usia 1 tahun, penularan dianggap transplasental.

Jelaskan periode penularan kusta

Bukti klinis dan laboratorium menunjukkan bahwa penularan hilang dalam banyak kasus dalam 3 bulan
pengobatan berkelanjutan dan teratur dengan dapson (DDS) atau clofazimine, atau dalam 3 hari
pengobatan dengan rifampisin.

Jelaskan metode dari kontrol kusta

Ketersediaan obat yang efektif dalam pengobatan dan dalam rapid eliminasi infeksi, seperti rifampisin,
telah mengubah tatalaksana penderita kusta, isolasi masyarakat dengan keputusasaan petugas menjadi
salah satu pengobatan rawat jalan. Rawat inap hanya untuk menangani reaksi, koreksi bedah kelainan
bentuk dan pengobatan ulkus akibat anestesi pada ekstremitas.

A.Tindakan pencegahan:
1. Pendidikan kesehatan harus menekankan ketersediaan terapi multidrug yang efektif, tidak adanya
infektivitas pasien dalam perawatan berkelanjutan dan pencegahan disabilitas fisik dan sosial.

2. Deteksi kasus, terutama kasus multibasiler menular, sejak dini dan diberikan terapi multidrug secara
rawat jalan secara teratur bila memungkinkan.

3. Dalam uji coba lapangan di Uganda, India, Malawi, Myanmar dan Papua Nugini,
propilaksis Bacillus Calmette Guerin ( BCG) tampaknya mempengaruhi penurunan yang cukup besar
dalam kejadian kusta tuberkuloid di antara kontak. Sebuah penelitian di India menunjukkan
perlindungan yang signifikan terhadap kusta tetapi tidak terhadap tuberkulosis; studi di Myanmar dan
India menunjukkan perlindungan yang lebih rendah dibandingkan Uganda. Studi kemoprofilaksis
menyarankan bahwa sekitar 50% perlindungan terhadap penyakit dapat dicapai dengan dapson atau
acedapson, tetapi ini tidak disarankan kecuali diawasi dengan ketat. Penambahan korban meinggal
akibat M. Leprae tampaknya tidak meningkatkan perlindungan yang dicapai oleh imunisasi BCG.

B.Pengendalian pasien, kontak dan lingkungan terdekat:


1. Laporkan ke otoritas kesehatan setempat

2. Isolasi: Tidak ada untuk kasus kusta tuberkuloid; isolasi kontak untuk kasus
kusta lepromatosa sampai terapi multidrug dilakukan. Rawat inap sering diindikasikan selama
pengobatan reaksi. Tidak ada prosedur khusus yang diperlukan saat kasus dirawat di rumah sakit, tetapi
di rumah sakit umum, ruang terpisah mungkin diperlukan untuk alasan estetika atau sosial. Tidak ada
batasan dalam pekerjaan atau kehadiran di sekolah yang diindikasikan untuk pasien yang penyakitnya
dianggap tidak menular.
3. Desinfeksi serentak: dari sekret hidung pasien infeksi. Terminal cleaning.
4. Karantina: tidak ada.

5. Imunisasi kontak: tidak dilakukan secara rutin

6. Investigasi kontak dan sumber infeksi: pemeriksaan awal lebih produktif, tetapi pemeriksaan berkala
terhadap rumah tangga dan kontak dekat lainnya dianjurkan dengan interval 12 bulan setidaknya
selama 5 tahun setelah kontak terakhir dengan kasus infeksi.

7. Pengobatan spesifik: dengan prevalensi resisten dapson yang meluas dan munculnya resisten
terhadap rifampisin, regimen kemoterapi kombinasi sangat penting. Regimen minimal yang
direkomendasikan WHO untuk kusta multibasiler adalah rifampisin, 600 mg sekali sebulan; dapson
(DDS), 100 mg / hari; dan clofazimine, 300 mg sekali sebulan dan 50 mg / hari. Rifampisin dan
clofazimine bulanan diberikan di bawah pengawasan. Komite ahli kusta WHO telah menetapkan bahwa
durasi minimum terapi untuk multibasiler dapat dipersingkat menjadi 12 bulan dari yang
direkomendasikan sebelumnya 24 bulan. Perawatan harus dilanjutkan lebih lama, jika perlu, sampai
smear kulit negatif. Untuk kusta paucibacillary (tuberculoid) awal, atau pasien dengan lesi kulit tunggal,
terapi multidrug dosis tunggal (600 mg rifampisin, 400 mg ofloxacin dan 100 mg minocyclone) sudah
cukup. Pada penderita kusta paucibacillary dengan lebih dari satu lesi kulit, regimen yang dianjurkan
(600 mg rifampisin sebulan sekali (diawasi) dan 100 mg dapson setiap hari) harus diberikan selama 6
bulan. Pasien dalam pengobatan harus dipantau untuk efek samping obat, untuk reaksi kusta dan
perkembangan ulkus tropik. Beberapa komplikasi mungkin perlu dirawat di pusat rujukan.

C. Tindakan epidemi: tak dapat diterapkan

D. Implikasi bencana: gangguan apapun dari jadwal perawatan adalah serius. Selama terjadinya
penyakit, diagnosis dan pengobatan penderita kusta seringkali diabaikan.

Berapa banyak obat yang dapat Anda berikan dalam kasus ini? (Farmakologi)
Kita memberikan 3 obat untuk kasus ini:

Dapson (diaminodiphenylsulfone)

Rifampisin

Clofazimine

Mengapa kita harus mengkombinasikan 3 obat tersebut dalam menangani kusta?

Untuk hindari munculnya bakteri resistane melawan setiap obat.

Bisakah Anda menjelaskan sifat farmakologi dapson? ( Farmakologi)


Mekanisme aksi: Menghambat sintesis folat.

Farmakokinetik: Terserap dengan baik dari usus dan didistribusikan secara luas ke seluruh cairan dan
jaringan tubuh. Waktu paruhnya adalah 1-2 hari dan obat-obatan cenderung disimpan di kulit, hati dan
ginjal. Kulit yang terinfeksi berat M. leprae mungkin mengandung obat beberapa kali lebih banyak dari
kulit normal. Diekskresikan ke empedu dan diserap kembali di usus. Ekskresi ke dalam urin bervariasi,
dan sebagian besar obat yang diekskresikan adalah diasetilasi.

Adverse drug reactions: Dapson biasanya dapat ditoleransi dengan baik. Beberapa pasien mengalami
hemolisis, terutama jika mereka mengalami defisiensi G6PD. Terjadi intoleransi GI, demam, pruritus, dan
berbagai ruam. Eritema nodosum sering berkembang selama terapi dapson kusta lepromatosa dan
dapat ditekan dengan kortikosteroid atau thalidomide.

Bisakah Anda menjelaskan sifat farmakologi rifampisin? (Farmakologi)


Mekanisme aksi: Mengikat subunit beta dari RNA polimerase yang bergantung pada DNA bakteri dan
dengan demikian menghambat sintesis RNA.

Farmakokinetik: Terserap dengan baik setelah pemberian oral dan diekskresikan terutama melalui hati
kedalam empedu. Ia kemudian mengalami resirkulasi enterohepatik, dengan sebagian besar
diekskresikan sebagai deacylated. Metabolit dalam feses dan sejumlah kecil di urine. Rifampisin
didistribusikan secara luas dalam cairan dan jaringan tubuh. Di liver, rifampisin bekerja sebagai
penginduksi enzim.

Bisakah Anda menjelaskan properti farmakologi clofazimine? (Farmakologi)


Mekanisme aksi: Tidak diketahui tapi mungkin melibatkan pengikatan DNA (DNA binding).

Farmakokinetik: Absorbsi klofazimin dari usus bervariasi dan sebagian besar obat diekskresikan dalam
feses. Clofazimine disimpan secara luas di jaringan dan kulit retikuloendotelial, dan kristal dapat dilihat
di dalam sel retikuloendotelial fagositik. Ini perlahan dilepaskan dari deposit ini, sehingga waktu paruh
serum mungkin dua bulan. Adverse drug reactions: Efek tidak diinginkan yang paling menonjol adalah
perubahan warna kulit mulai dari merah kecokelatan hingga hampir hitam. Intoleransi GI kadang-kadang
terjadi.

Jelaskan Status Reaksional Kusta dan penatalaksanaannya

Reaksi adalah karakteristik dan aspek klinis penting dari Kusta. Lima puluh persen pasien akan
mengalami reaksi setelah menjalani terapi multidrug. Selain terapi antibiotik, infeksi yang menyertai,
vaksinasi, kehamilan, vitamin A, iodida, dan bromida dapat memicu reaksi. Reaksi dapat menjadi parah
dan merupakan penyebab
penting kerusakan saraf permanen pada pasien yang berada di ambang batas.

Keadaan reaksi dibagi menjadi dua bentuk:

Reaksi Tipe 1 (Downgrading/reversal reactions)

Mewakili sebuah meningkatkan respon imun yang dimediasi sel terhadap M. Leprae. Terjadi pada
borderline disease. Lesi kulit menjadi meradang akut, berhubungan dengan edema dan nyeri; bisa
menjadi ulcer; edema paling parah di wajah, tangan, dan kaki.

Reaksi Lepra Tipe 2 (Erythema Nodosum Leprosum / ENL): Terjadi di dekat LL. 90% kasus terjadi setelah
memulai terapi. ENL adalah penyakit yang dimediasi kompleks imun yang bersirkulasi.
Management → untuk mencegah kerusakan saraf

Meskipun reaksi dapat muncul setelah pengobatan dilakukan, tidak disarankan untuk menghentikan
atau mengurangi pengobatan anti kusta karena hal ini.

Pada reaksi ringan - yang tanpa komplikasi neurologis atau gejala maupun temuan sistemik yang parah -
pengobatan mungkin mendukung. Bed rest dan pemberian aspirin atau agen anti inflamasi nonsteroid
dapat digunakan.

Reaksi tipe I biasanya dikelola dengan kortikosteroid sistemik. Prednison diberikan secara oral, mulai
dengan dosis 40 sampai 60 mg / hari. Neuritis dan lesi mata merupakan indikasi terapi kortikosteroid
sistemik. Dosis kortikosteroid dan durasi ditentukan oleh perjalanan klinis dari reaksi.

Kortikosteroid sistemik juga efektif untuk reaksi tipe II. Clofazimine dalam dosis yang lebih tinggi efektif
dalam ENL, dan dapat digunakan sendiri atau untuk mengurangi dosis kortikosteroid.
Tulis resep untuk kasus ini

Dapson (100 mg / hari) plus clofazimine (50 mg / hari, tidak diawasi); dan rifampisin (600 mg) plus
clofazimine (300 mg) bulanan (diawasi)
PUSKESMAS KOKOP

Desa Dupok Kecamatan Kokop Kabupaten Bangkalan

-----------------------------------------------------------------------------

Dokter: dr. ABC (SIP No. XXX)

Bangkalan, 14 September 2020

R/ Rifampicin 600 mg No. I

S imm

-//-

R/ Clofazimine 50 mg No. VI

S imm

-//-

R/ Clofazimine 50 mg No. XXVIII

S 1 dd tb I

-//-

R/ Dapsone 100 mg No. XXVIII

S 1 dd tb I

-//-

Pro : Tuan Agus

Umur : 40 tahun

Alamat : Dusun Pesantren RT 5 RW 3 Dupok Kokop Bangkalan


DHF

Judul Kasus: Miss Deti

Nona Deti, seorang wanita berusia 18 tahun, pergi ke dokter umum dengan keluhan utama demam
secara tiba-tiba. Demam dimulai tiga hari lalu.

Informasi lebih lanjut apa yang Anda butuhkan?

Halaman 2 sesi 1

Riwayat Penyakit Sekarang

Demam disertai dengan menggigil dan gejala konstitusional seperti sakit kepala, nyeri epigastrium,
anoreksia, dan mual. Dokter memberi Miss Deti tiga jenis obat yang diresepkan.

Halaman 3 sesi 1

Suatu hari kemudian, kondisi Miss Deti tidak kunjung membaik, dan ia mengeluh muntah- muntah dan
lesu. Jadi, Miss Deti dibawa ke unit gawat darurat RS Angkatan Laut Dr. Ramelan.

Halaman 4 sesi 1

Riwayat Penyakit Dahulu :

Miss Deti tidak mengalami batuk, tidak ada kesulitan bernapas, tidak ada kulit atau konjungtiva
kekuningan, tidak ada pusing, tidak ada kejang, tidak ada nyeri saat makan atau minum, dan tidak ada
sakit gigi. Dia tidak memiliki riwayat alergi dan tidak memiliki riwayat bepergian ke daerah endemis
malaria. Ia dapat buang air kecil secara teratur dengan warna normal dan memiliki kebiasaan buang air
besar yang normal.

Halaman 5 sesi 1 Pemeriksaan fisik :

Tanda vital: Tekanan Darah = 120/80 mmHg, Pulse = 112 bpm, reguler
Suhu = 38,2 ° C (rektal) RR = 24 / menit

Rumple leede: petechiae (+)

- Jantung

Ispeksi : ictus cordis normal, pulsasi interkostal (-), pulsasi epigastrium (-)

Palpasi : ictus cordid tidak melebar, pulsasi parasternal (-), pulsasi epigastrium (-), sternal lift (-), thrill
(-)

Perkusi : Konfigurasi cor dalam batas normal

Auskultasi : cor pulsation 112 bpm, reguler, gallop (-), murmur (-)

- Pulmo:

Inspeksi: Simetris, statis, dinamis Palpasi : Strem fremitus kanan = kiri, Perkusi : sonor

Auskultasi : vesikuler; mengi (-), rales (-), eksperium berkepanjangan (-)


Abdomen: nyeri epigastrik kusam (+), hepatomegali (-) Organ dan sistem lain berada dalam
batas normal

Halaman 6 sesi 1 Temuan laboratorium :

Hb = 16,8 mg/dl, HCt (PCV) = 51,2, Leukosit = 2500/mm3, Trombosit = 95.000/mm3

Urine: pH = 6,8; warna = kuning; reduksi (-), protein (-);

Sedimen = eritrosit (0 - 1); leukosit (2 - 3)

Widal: titer O (-), titer H (1/80), paratyphi A (-), paratyphi B (-)

Permeriksaan fisik dan lab finding apa yang bisa menyingkirkan DD?

Demam tifoid: widal (+), Leucopenia (-), kultur positif (darah, urine, feses, sumsum tulang),

DHF : trombositopenia, hemokonsentrasi (+)

DF : trombositopenia, tidak ada hemokonsentrasi

Hepatitis : ikterik (-)

Chikungunya : arhralgia berat (-), tidak ada hemokonsentrasi

Malaria : riwayat riwayat penyakit endemis malaria (-)

Tes Widal pada pasien ini menunjukkan H (1/80). Bisakah Anda menjelaskan tentang positif palsu dan
negatif dari tes Widal?

Positif palsu:

Daerah endemis tifoid Pasca vaksinasi

Riwayat: Penyakit demam tifoid

Negatif palsu:

Pemeriksaan Widal test minggu pertama Malnutrisi

Pengobatan Antibiotik
Jelaskan tentang Rumple leed Test

Diagnosis klinis dengue cukup menantang karena gejalanya tidak spesifik dan umum terjadi pada
banyak infeksi lain, terutama malaria dan infeksi arboviral lainnya. Untuk membantu diagnosis,
khususnya selama fase awal, akut, demam yang dapat berlangsung 2-7 hari setelah timbulnya demam,
WHO merekomendasikan penggunaan Tes Tourniquet (TT, juga dikenal sebagai tes Rumpel-Leede atau
Hess) untuk mendukung pengambilan keputusan diagnostik.
Sebagai prosedur yang murah, cepat dan mudah dilakukan, penggunaan TT telah tersebar luas dalam
praktik klinis secara global. TT adalah penanda kerapuhan kapiler/fragilitas kapiler dan dapat dilakukan
dengan menggembungkan manset tekanan darah di sekitar lengan atas ke titik tengah antara tekanan
darah sistolik dan diastolik individu dan membiarkannya menggembung selama 5 menit. Manset
kemudian dilepaskan dan setelah dua menit jumlah petekie di bawah fossa antekubiti dihitung. Tesnya
positif jika lebih dari 10 petechiae hadir dalam satu inci persegi kulit lengan.

Bagaimana hasil lab yang ditemukan pada DHF

Di daerah endemis dengue, tes tourniquet positif dan leukopenia (WBC ≤ 55000 sel/mm3) membantu
dalam membuat diagnosis dini infeksi dengue dengan nilai prediksi positif 70% - 80%.

Temuan laboratorium selama episode penyakit DF akut adalah sebagai berikut:

WBC total biasanya normal pada permulaan demam; kemudian leukopenia berkembang
dengan penurunan neutrofil dan berlangsung selama periode demam.

Jumlah trombosit biasanya normal, seperti juga komponen lain dari mekanisme pembekuan
darah. Trombositopenia ringan (100.000 hingga 150.000 sel/mm) sering terjadi dan sekitar
setengah dari semua pasien DF memiliki jumlah trombosit di bawah 100.000 sel/mm3; tetapi
trombositopenia berat (<50.000 sel/mm3) jarang terjadi.

Peningkatan hematokrit ringan (≈10%) dapat ditemukan sebagai konsekuensi dehidrasi yang
berhubungan dengan demam tinggi, muntah, anoreksia, dan asupan oral yang buruk.

Biokimia serum biasanya normal tetapi kadar enzim hati dan aspartat amino transferase (AST)
mungkin meningkat.

Perlu diperhatikan bahwa penggunaan obat-obatan seperti analgesik, antipiretik, antiemetik


dan antibiotik dapat mengganggu fungsi hati dan pembekuan darah.

Hasil tes laboratorium apa yang dapat digunakan untuk mendiagnosis DHF?

Tes laboratorium berikut tersedia untuk mendiagnosis DF dan DHF:

Isolasi virus: untuk karakterisasi serotipe / genotipe

Deteksi asam nukleat virus

Deteksi antigen virus (NS1 Antigen)

Tes berdasarkan respons imunologis

Tes antibodi IgM dan IgG

Analisis parameter hematologi


Apa tes imunologi untuk DHF?

Dengue viraemia pada pasien pendek, biasanya terjadi 2-3 hari sebelum timbulnya demam dan
berlangsung selama empat sampai tujuh hari sejak sakit. Selama periode ini virus dengue, asam nukleat
dan antigen virus yang bersirkulasi dapat dideteksi. Respon antibodi terhadap infeksi terdiri dari
munculnya berbagai jenis imunoglobulin; dan imunoglobulin isotipe IgM dan IgG memiliki nilai
diagnostik pada dengue. Antibodi IgM dapat dideteksi dalam 3-5 hari setelah timbulnya penyakit,
meningkat dengan cepat sekitar dua minggu dan menurun ke tingkat yang tidak terdeteksi setelah 2-3
bulan. Antibodi IgG terdeteksi pada tingkat rendah pada akhir minggu pertama, meningkat kemudian
dan bertahan untuk periode yang lebih lama (selama bertahun-tahun). Karena antibodi IgM terlambat
muncul, yaitu setelah lima hari timbulnya demam, tes serologis berdasarkan antibodi ini yang dilakukan
selama lima hari pertama penyakit klinis biasanya negatif. Selama infeksi dengue sekunder (ketika host
sebelumnya telah terinfeksi virus dengue), titer antibodi meningkat dengan cepat. Antibodi IgG dapat
dideteksi pada tingkat tinggi, bahkan pada fase awal, dan bertahan dari beberapa bulan hingga seumur
hidup. Tingkat antibodi IgM secara signifikan lebih rendah pada kasus infeksi sekunder. Oleh karena itu,
rasio IgM / IgG biasanya digunakan untuk membedakan antara infeksi dengue primer dan sekunder.
Trombositopenia biasanya diamati antara hari ketiga dan kedelapan penyakit diikuti oleh perubahan
hematokrit lainnya.

Bagaimana deteksi antigen virus

Produk gen NS1 adalah glikoprotein yang diproduksi oleh semua flavivirus dan penting untuk replikasi
dan kelangsungan hidup virus. Protein disekresikan oleh sel mamalia tetapi tidak oleh sel serangga.
Antigen NS1 muncul sedini hari ke-1 setelah timbulnya demam dan menurun ke tingkat yang tidak
terdeteksi dalam 5-6 hari. Oleh karena itu, tes berdasarkan antigen ini dapat digunakan untuk diagnosis
dini. Tes ELISA dan dot blot yang diarahkan ke antigen envelop/membrane (EM) dan nonstruktural
protein 1 (NS1) menunjukkan bahwa antigen ini
terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam serum pasien yang terinfeksi virus dengue selama fase klinis
awal penyakit dan dapat dideteksi pada pasien dengan infeksi dengue primer dan sekunder hingga
enam hari setelah timbulnya penyakit. Kit komersial untuk mendeteksi antigen NS1 sekarang tersedia;
akan tetapi, kit ini tidak membedakan antara serotipe. Selain memberikan penanda diagnostik awal
untuk manajemen klinis, ini juga dapat memfasilitasi perbaikan survei epidemiologi infeksi dengue.

Apa respon imunologi dan tes serologi untuk DHF?

Lima tes serologis dasar digunakan untuk diagnosis infeksi dengue, yaitu: haemagglutination inhibition
(HI), komplemen fiksasi (CF), neutralization test (NF), IgM capture enzyme-linked immunosorbent assay
(MAC-ELISA), dan indirect IgG ELISA. Untuk tes yang dapat mendeteksi IgM, konfirmasi serologis yang
memberikan dukungan pada peningkatan yang signifikan (empat kali lipat atau lebih) dalam spesifik
antibodi antara sampel serum fase akut dan fase pemulihan. Baterai antigen untuk sebagian besar tes
serologi ini harus mencakup keempat serotipe dengue, flavivirus lain, seperti Japan ensefalitis, non-
flavivirus seperti chikungunya, dan jaringan yang tidak terinfeksi sebagai antigen kontrol, jika
mendukung.

Apakah ada hemokonsentrasi dalam kasus ini? Jelaskan alasan Anda

Ya ada. Hemokonsentrasi hematokrit lebih dari 20% lebih tinggi dari yang diperkirakan dan merupakan
tanda kebocoran pembuluh darah

Apa diagnosis kerja untuk pasien ini?

Dengue Hemmorhagic Fever

Dapatkah adan menjelaskan etiologi DHF?


Flavivirus

Dapatkah anda menjelaskan tentang klasifikasi arbovirus family?


Dapatkah anda menjelaskan tentang klasifikasi dari major zoonotic virus
family?
Arenaviridae : old world complex and new world (tacaribe) complex Bunyaviridae : bunyaviridae,
phlebovirus, nairovirus, hantavirus Filoviridae : -

Flaviviridae : flavivirus (mosquito borne) ex : dengue virus

Reoviridae : coltivirus, orbivirus Rhabdoviridae : vesiculovirus

Togaviridae : Alphavirus, ex : chikungunya

Dapatkah anda menjelaskan tentang klasifikasi karakteristik klinis (syndrome) dari zoonotic virus?

Demam dan mialgia : Virus dengue, virus vesikuler stomatitis, sandfly fever

Dengue Fever : Virus dengue, virus Hanta, virus yellow fever

Ensefalitis : Japan virus, virus ensefalitis Murray-Valley

Arthritis dan Ruam : Chikungunya, Mangaro, Sindbis

Dapatkah anda menjelaskan struktur dari Flavivirus?

Keluarga Flaviviridae terdiri dari sekitar 70 virus berdiameter 40-60 nm yang memiliki genom RNA
sense positif beruntai tunggal. Awalnya, flavivirus termasuk dalam keluarga togavirus sebagai
"arbovirus grup B" tetapi dipindahkan ke keluarga terpisah karena perbedaan dalam organisasi genom
virus. Envelope virus mengandung dua glikoprotein. Beberapa flavivirus ditularkan di antara
vertebrata oleh nyamuk dan kutu, tetapi yang lain ditularkan di antara hewan pengerat atau kelelawar
tanpa vektor serangga yang diketahui. Banyak distribusi di seluruh dunia. Semua flavivirus
berhubungan secara antigen.

Dapatkah anda menjelaskan bagaimana replikasi flavivirus?

Genom RNA flavivirus juga memiliki untaii positif. Protein prekursor yang besar diproduksi dari mRNA
dengan panjang genom selama replikasi virus; itu dibelah oleh protease virus dan host untuk
menghasilkan semua protein virus, baik struktural maupun nonstruktural.

Flavivirus bereplikasi di sitoplasma, dan perakitan partikel terjadi di vesikula intraseluler


Dapatkah anda menjelaskan siklus transmisi virus oleh nyamuk Aedes aegypti?

Siklus hidup arbovirus didasarkan pada kemampuan virus ini untuk berkembang biak pada vertebrata
host dan vektor penghisap darah. Agar penularan efektif terjadi, virus harus ada dalam aliran darah
host vertebrata (viremia) dalam titer yang cukup tinggi untuk diambil dalam volume kecil darah yang
tertelan selama gigitan serangga.

Setelah tertelan, virus bereplikasi di usus arthropoda dan kemudian menyebar ke organ lain,
termasuk kelenjar saliva. Hanya yang betina dari spesies yang berperan sebagai vektor virus,
karena hanya betina yang membutuhkan makanan darah untuk menghasilkan keturunan.

Jangka waktu wajib, yang disebut masa inkubasi ekstrinsik, harus berlalu sebelum virus
bereplikasi secara memadai agar air liur vektor mengandung cukup virus untuk menularkan
dosis infeksius. Untuk sebagian besar virus, masa inkubasi ekstrinsik berkisar antara 7 hingga
14 hari.

Selain penularan melalui vertebrata, beberapa arbovirus ditularkan melalui jalur


"transovarian" vertikal dari kutu ibu ke keturunannya. Transmisi vertikal memiliki nilai
kelangsungan hidup yang penting untuk virus jika vertebrata host tidak tersedia.

Manusia terlibat dalam siklus penularan arbovirus dengan dua cara berbeda. Biasanya,
manusia adalah dead-end host, karena konsentrasi virus dalam darah manusia terlalu rendah
dan durasi viremia terlalu singkat untuk gigitan berikutnya untuk menularkan virus.
Dapatkah anda menjelaskan patogenesis dari infeksi flavivirus?

Pada vertebrata host yang rentan, multifkasi virus primer terjadi baik pada sel mieloid dan
limfoid atau pada endotel vaskular. Multifikasi dalam sistem saraf pusat tergantung pada
kemampuan virus untuk melewati blood-brain-barrier dan menginfeksi sel-sel saraf. Pada
infeksi alami burung dan mamalia, infeksi tak terlihat biasa terjadi. Selama beberapa hari
terjadi viremia, dan vektor arthropoda memperoleh virus dengan menghisap darah selama
periode ini --- langkah pertama dalam penyebarannya ke host lain.

Penyakit pada hewan percobaan memberikan wawasan tentang penyakit manusia. Tikus telah
digunakan untuk mempelajari patogenesis ensefalitis. Setelah inokulasi subkutan, replikasi
virus terjadi di jaringan lokal dan kelenjar getah bening regional.

Virus kemudian memasuki aliran darah dan menyebar. Tergantung pada agen spesifiknya, jaringan
yang berbeda mendukung replikasi virus lebih lanjut, termasuk makrofag monosit, sel endotel, paru,
hati, dan otot. Virus melintasi blood-brain-barrier melalui mekanisme yang tidak diketahui, mungkin
melibatkan neuron olfaktori atau sel pembuluh darah otak, dan menyebar. Degenerasi saraf yang
meluas terjadi pada semua ensefalitis yang diinduksi arbovirus.

Pada sebagian besar infeksi, virus dikendalikan sebelum neuroinvasi terjadi. Invasi bergantung
pada banyak faktor, termasuk tingkat viremia, latar belakang genetik host, respons imun
bawaan dan adaptif host, dan virulensi strain virus. Manusia menunjukkan kerentanan yang
bergantung pada usia terhadap infeksi sistem saraf pusat, dengan bayi dan orang dewasa
lanjut usia yang paling rentan.
Dapatkah anda menjelaskan patogenesis dengue shock syndrome ketika infeksi sekunder dari virus
dengue?

Sindrom syok hemoragik disebabkan oleh produksi antibodi reaksi silang dalam jumlah besar pada saat
infeksi dengue kedua. Patogenesisnya adalah sebagai berikut: Pasien sembuh dari demam berdarah
klasik yang disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe, dan antibodi yang melawan serotipe
tersebut diproduksi. Ketika pasien terinfeksi dengan serotipe lain dari virus dengue, respon anamnestik
heterotipik terjadi, dan sejumlah besar antibodi reaksi silang serotipe pertama diproduksi. Ada dua
hipotesis tentang apa yang terjadi selanjutnya. Salah satunya adalah pembentukan kompleks imun
yang terdiri dari virus dan antibodi yang mengaktifkan komplemen, menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular dan trombositopenia. Yang lain adalah bahwa antibodi meningkatkan masuknya
virus ke dalam monosit dan makrofag, dengan konsekuensi pembebasan sejumlah besar sitokin.
Kemudian menyebabkan syok dan perdarahan.

JUDUL KASUS: Miss Deti

Miss Deti pergi ke rumah sakit Angkatan Laut Dr Ramelan untuk pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan
fisik: Tanda vital → T = 110/80 mmHg, HR = 84 bpm, RR = 20 / menit Suhu = 36.8 C

Temuan laboratorium :Trombosit = 155000, Ht = 42; leukosit = 6500 / mm3

Dapatkah anda menjelaskan definisi Dengue Hemorrhagic Fever?

Dengue Hemorrhagic Fever adalah infeksi yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor
utamanya.

Demam Hemorragik virus (HF) adalah konstelasi temuan berdasarkan ketidakstabilan vaskular
dan penurunan integritas vaskular

Apa temuan klinis dari riwayat dan pemeriksaan fisik?

Masa inkubasi: 2 - 3 hari (Demam berdarah 2-7 hari)

Semua sindrom demam hemoragik dimulai dengan demam dan mialgia biasanya timbul
mendadak

Gejala lain: sakit kepala berat, pusing, fotofobia, hiperestesi, anoreksia, mual atau muntah,
nyeri perut atau dada, dan gangguan saluran cerna lainnya.

Tanda: ruam makulopapular mulai di batang tubuh dan menyebar ke ekstremitas dan wajah,
petechiae kadang-kadang terlihat, dan epistaksis.

Tanda lainnya : Sufusi konjungtiva. Nyeri saat palpasi otot atau perut, borderline (postural)
hypotension = pra syok, takikardia
Gejala Parah: syok, perdarahan multifokal (perdarahan abdomen), keterlibatan SSP
(enchepalopathy, koma, kejang).

Bagaimana gambaran karakteristik laboratorium pada DHF?

Karakteristik kelainan hematologi adalah:

Leukopenia (2.000-5.000 / mm3) Dengan granulasi toksik, neutropenia, mungkin memiliki


limfosit atipikal

Trombositopenia ringan (75.000 -150.000 / mm3)

Hemokonsentrasi dari kebocoran vaskular

Elevated aspartate transaminases (AST)

Peningkatan C- protein reaktif

Nyeri pada persendian menetap: HLA - B27 (+)

Bagaimana epidemiologi dari DHF?

Demam berdarah terlihat di wilayah Karibia, termasuk Puerto Rico

Asia Tenggara: Indonesia (pulau Jawa), Thailand, Vietnam, Malaysia, dll

Asia barat daya: India, Bangladesh

Afrika
Penularan demam berdarah di air yang disimpan dalam wadah. Nyamuk (A. Aegypti)
berkembang biak di dekat pemukiman manusia, menggunakan air yang relatif segar dari
sumber seperti water jars, vas, wadah bekas, sabut kelapa, dan ban bekas.

Bagaimana patogenesis dari Hemorrhagic Fever?

Patogenesis Demam Berdarah kurang dipahami dan bervariasi di antara virus yang secara
teratur terlibat dalam sindrom ini. Hipotesis: Infeksi heterolog sekunder
Apa komplikasi dari DHF?

Meningitis

Encephalitis

Dengue Shock Syndrome

DIC
TROPICAL INFECTION BLOCK DENGUE HEMORRHAGIC FEVER

Bagaimana management DHF?


Principal Therapy: Terapi Suportif
Dimanakah Aedes aegypti menghabiskan masa hidupnya?

Nyamuk Ae. aegypti lebih suka tinggal di dekat orang dan menggigit orang. Nyamuk Ae.aegypti hidup di
dalam dan di luar ruangan. Studi menunjukkan bahwa kebanyakan nyamuk betina.

Apa spesies nyamuk Aedes aegypti? Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor utama penular virus
penyebab DHF. Virus ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes betina yang infektif, yang
terutama tertular virus saat memakan darah orang yang terinfeksi.

Bagaimana Dengue dapat ditransmisikan oleh vektor?

Nyamuk menjadi terinfeksi ketika menggigit orang yang terinfeksi virus. Nyamuk yang terinfeksi
kemudian dapat menyebarkan virus ke orang lain melalui gigitan. Di dalam tubuh nyamuk, virus
menginfeksi bagian tengah usus nyamuk dan kemudian menyebar ke kelenjar saliva selama 8-12 hari.
Setelah masa inkubasi ini, virus dapat ditularkan ke manusia selama probing atau makan berikutnya

Ae. aegypti mungkin menghabiskan masa hidupnya di dalam atau di sekitar rumah tempat mereka
muncul sebagai dewasa dan mereka biasanya terbang dengan jarak rata-rata 400 meter. Ini berarti
bahwa manusia, daripada nyamuk, dengan cepat memindahkan virus di dalam dan
di antara komunitas serta tempat. Habitat dalam ruangan kurang rentan terhadap variasi iklim dan
meningkatkan umur nyamuk.

Bagaimana siklus hidup Aedes aegypty?

Mengapa nyamuk menggigit manusia dan atau hewan?


Nyamuk betina dewasa menggigit manusia dan hewan. Nyamuk membutuhkan darah untuk
menghasilkan telur. Usai mencari makan, nyamuk betina mencari sumber air untuk bertelur.

Kapan Aedes aegypti memilih menggigit manusia dan atau hewan?

Ae. Aegypti berkembang biak di dalam ruangan dan mampu menggigit siapa pun sepanjang hari.

Bagaimana clinical stage dari DHF?

DHF diklasifikasikan menjadi empat tingkat keparahan, di mana tingkat III dan IV dianggap
sebagai DSS (Dengue Shock Syndrome). Adanya trombositopenia dengan hemokonsentrasi
bersamaan membedakan DHF derajat I dan II dari DF.

GRADE 1 : Demam disertai gejala konstitusional non spesifik; satu-satunya manifestasi


hemoragik adalah tes torniket positif
GRADE 2 : Perdarahan spontan. Dari kulit atau hemoragik lainnya
GRADE 3 :Kegagalan peredaran darah dengan cepat: nadi lemah, tekanan nadi menyempit,
hipotensi yang disertai Cold (pra-syok) dan gelisah

GRADE 4 : Syok Berat dengan tekanan darah atau denyut nadi tidak terdeteksi Berapa derajat
DHF untuk kasus ini? Pada kasus ini Grade 1

Bagaimana prognosis dari DHF?

DHF ini merupakan self Limited, tetapi prognosisnya Dipengaruhi umur dan keparahan (Stage)

Permeabilitas vaskular dan syok bergantung pada beberapa faktor:

Adanya peningkatan antibodi dan non-netralisasi

Umur: <12 tahun

Jenis Kelamin: Wanita

Ras: Kaukasia

Status nutrisi

Urutan infeksi serotipe 1 diikuti serotipe 2 lebih berbahaya daripada serotipe 4 diikuti serotipe
2

Serotipe penginfeksi: Tipe 2 lebih berbahaya dari serotipe lain

Bagaimana prevensi dan kontrol dari DHF?

Vaksin untuk mencegah dengue memiliki izin dan tersedia di beberapa negara untuk usia 9- 45
tahun. WHO merekomendasikan agar vaksin hanya diberikan kepada orang dengan infeksi
virus dengue sebelumnya yang telah dikonfirmasi.

Dengue Fever/Pengendalian DHF terutama bergantung pada pengendalian Ae. Aegypti.


Pengendalian terdiri dari pengelolaan lingkungan, pengendalian biologis, dan pengendalian
kimiawi.

Pengelolaan Lingkungan (WHO, 2011, hlm.76 box 21)

Modifikasi lingkungan: Ini termasuk transformasi fisik tanah, air dan vegetasi jangka panjang
yang bertujuan untuk mengurangi habitat vektor tanpa menyebabkan efek yang merugikan
secara berlebihan pada kualitas lingkungan manusia.

Manipulasi lingkungan: Ini termasuk kegiatan berulang yang direncanakan yang bertujuan
untuk menghasilkan perubahan sementara pada habitat vektor yang melibatkan pengelolaan
wadah, dan pengelolaan atau pemindahan lokasi perkembangbiakan alami.
Perubahan pada tempat tinggal atau perilaku manusia: Ini menampilkan upaya yang dilakukan
untuk mengurangi kontak manusia-vektor-virus.

Di Indonesia, metode lingkungan termasuk 3M (menutup, menguras, mendaur ulang).

Pengendalian Biologis (WHO, 2011, hlm. 80-82)


Penerapan agen pengendali hayati yang diarahkan terhadap stadium larva vektor DHF meliputi ikan (misalnya
Gambusia affinis), bakteri (misalnya Bacillus thuringiensis), siklopoda, dan ovitraps autosidal.

Pengendalian kimiawi (WHO, 2011, hlm. 85)

Pengendalian kimiawi dapat mencakup larvasida kimiawi (mis. Temephos 1% butiran pasir), pengatur tumbuh
serangga (mis. Pyriproxyfen), semprotan ruang (mis. Insektisida organofosfat seperti malathion).

Dapatkah anda menuliskan resep untuk pasien ini?

Dokter .......................

SIP ...........................

Alamat .................................

Surabaya, .................

R/ Ringer Acetat F1 No III

S imm

R/ Infus set No I

S imm

R/ IV cath 18 No I

S imm

R/ Disposable Syringe 5 cc No III

S imm

R/ Alcohol swab No V

S. imm
Pro : Nn. Deti Umur : 18 th Alamat : Sidosermo

Measles/Campak
Definisi Hipotesis

Rubella : adalah penyakit infeksius yang dikarakteristikan dengan gejala prodromal yang minimal atau bisa absen, rash
selama 3 hari, dan pembesaran limfe nodi menyeluruh, sebagaian pada postauricular, suboccipital, dan limfe nodi
cervical.

Varicella (Chicken Pox) : adalah penyakit menular yang sering, biasa ditemui pada anak-anak dan merupakan akibat
infeksi primer Varicella-Zoster Virus (VZV), dikarakteristikan dengan periode prodromal yang pendek atau bisa absen,
dan dengan rash pruritis berisi potongan papul, vesikel, pustule, dan crusta.

Hand Mouth Foot Disease : adalah penyakit virus menular yang ringan, dan banyak dijumpai pada anak-anak,
dikarakteristikan dengan koreng pada mulut dan rash pada tangan dan kaki. Paling sering disebabkan oleh
coxsackievirus.

Dermatitis Atopik : penyakit kulit yang kronis, relapse, dan penyakit inflamasi kulit yang banyak mengenai anak-anak.

Kawasaki Syndrome : atau limfenodi mucocutaneous syndrome adalah vaskulitis akut pada anak-anak akibat dari
aneurisma formasi arteri coroner ada 20% pasien yang tidak diobati; kematian mendadak bisa terjadi akibat infark
myocardial, myocarditis, dan ruptur aneurisma. DHF (Dengue High Fever) : DHF didefinisikan mengikuti 4 kriteria
dari WHO yaitu; riwayat demam atau demam yang bertahan 2-7 hari, manifestasi hemoragik, trombositopenia (platelet
count <100.000/mm3), kejadian peningkatan permeabilitas vaskuler.

URTI (Upper Respiratory Tract Infection) : didefinisikan sebaga iritasi self-limited dan pembengkakan dari saluran nafas
bagian atas yang berhubungan dengan batuk tanpa tanda pneumonia, tanpa riwayat COPD / emfisema / bronchitis
kronis.

Pneumonia : infeksi yang menyebabkan inflamasi pada saccus udara di satu atau kedua paru, menyebabkan batuk
dengan phlegm atau pus, demam, menggigil, dan sesak nafas.

Definisi Campak

Campak adalah penyakit virus yang sangat menular yang dikarakteristikan dengan demam, coryza, konjungtivitis, batuk,
dan enanthem spesifik (koplik spot) diikuti oleh erupsi makulopapular menyeluruh, yang biasanya muncul pada hari
keempat perkembangan penyakit.

Etiologi

Virus campak/measles adalah virus RNA single-stranded yang diselimuti lipid dalam famili Paramyxoviridae dan genus
Morbillivirus. Anggota lain dari genus Morbillivirus menyerang berbagai mamalia, seperti virus rinderpest pada sapi dan
virus distemper pada anjing, tetapi manusia adalah satu-satunya inang virus campak.
Dari 6 protein struktural utama virus measles, 2 yang terpenting dalam hal induksi imunitas adalah protein
hemagglutinin (H) dan protein fusi (F). Antibodi penetral diarahkan melawan protein H, dan antibodi terhadap protein F
membatasi proliferasi virus selama infeksi.

Variasi kecil dalam komposisi genetik juga telah diidentifikasi, yang tidak berdampak pada kekebalan pelindung, tetapi
memberikan penanda molekuler yang dapat membedakan antara jenis virus. Penanda ini berguna dalam evaluasi
penyebaran endemik campak.

Karakteristik

Measles Virus (MV) termasuk genus Morbillivirus, family Paramyxoviridae.

Measles virions berbentuk spherical, pleomorfik, lipid-enveloped particles, diameter berkisar antara 100-250 nm,
dengan nucleocapsid berbentuk spiral. Secara morfologi identik dengan paramyxoviruses lainnya. Memiliki 2
glikoprotein transmembran, yaitu hemaglutinin (H) dan fusion (F) yang terdapat di permukaan selubung virus, lapisan
ganda lipid yang berasal dari membran plasma sel yang terinfeksi. Protein matrix (M) merupakan lapisan dalam
membran. Nukleokapsid spiral didalam selubung contains nucleoprotein (N) yang berikatan dengan genom RNA,
bersama dengan phosphoprotein (P) dan large polymerase protein (L). Genomnya linear, single stranded, negative
polarity, nonsegmented, dan memiliki kira kira

16.000 nucleotids.
Measles virus sensitif akan temperatur tinggi dan juga inaktif oleh sinar UV, ether, trypsin, dan β-propiolactone.

Genom RNA dan nukleokapsid dari virus measles identic dengan paramyxovirus lainnya. Virionnya memiliki 2 spikes
protein di selubungnya, protein H dengan aktivitas hemaglutinin dan protein F yang membantu fusi sel dan aktivitas
hemolitik (tabel 39-4). Memiliki serotype tunggal, RNA genom dan nukleokapsid virus campak adalah jenis
paramyxovirus yang khas. Virion memiliki dua jenis envelope spikes, satu dengan aktivitas hemagglutinin dan yang
lainnya dengan aktivitas peleburan sel dan hemolitik. Memiliki serotype single, dan hemaglutinin adalah antigen yang
menyerang antibodi manusia yang merupakan natural host nya.

Replikasi Virus

Setelah virus adsorpsi ke permukaan sel melalui hemaglutinin, virus akan penetrasi kemudian uncoating dan
melepaskan virion RNA nya. Virion RNA-polymerase akan transcribe the negative-strand genome into mRNA. Multiple
mRNA terbentuk, masing-masing akan di terjemahkan menjadi spesifik viral protein. Nukleokapsid spiral akan terbentuk,
the matrix protein memisahkan dengan selubung, dan virus siap di keluarkan dari sel melalui proses budding dari
membrane sel.
Epidemiologi

Vaksin campak telah mengubah epidemiologi campak secara dramatis. Setelah penyebarannya di seluruh dunia,
penularan endemik campak telah dihentikan di banyak negara di mana terdapat cakupan vaksin yang luas. Secara
historis, campak menyebabkan infeksi universal pada masa kanak-kanak di Amerika Serikat, dengan 90% anak tertular
infeksi sebelum usia 15 tahun. Morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan campak menurun sebelum pengenalan
vaksin sebagai hasil dari perbaikan dalam perawatan kesehatan dan nutrisi. Namun, kejadiannya menurun drastis
setelah diperkenalkannya vaksin campak pada tahun 1963. Tingkat serangan turun dari 313 kasus per 100.000 penduduk
pada tahun 1956–1960 menjadi 1,3 kasus per 100.000 pada tahun 1982–1988. Wabah campak nasional secara nasional
terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1989-1991, mengakibatkan lebih dari

55.000 kasus, 11.000 rawat inap, dan 123 kematian, yang menunjukkan bahwa infeksi belum terkontrol. Kebangkitan ini
dikaitkan dengan kegagalan vaksin pada sejumlah kecil anak usia sekolah, rendahnya cakupan anak usia prasekolah, dan
penurunan antibodi ibu yang lebih cepat pada bayi yang lahir dari ibu yang belum pernah mengalami infeksi campak tipe
liar. Penerapan kebijakan vaksin 2 dosis dan strategi imunisasi yang lebih intensif mengakibatkan terhentinya penularan
endemik dan pada 2.000 campak dinyatakan diberantas dari Amerika Serikat. Tingkat saat ini adalah 90% kekebalan
melalui vaksinasi diperlukan untuk mencegah terjadinya wabah yang meluas (lihat Gambar 273.1). Pada tahun 2014,
Amerika Serikat mengalami rekor jumlah kasus sejak eliminasi pada tahun 2000, dengan 667 kasus campak dilaporkan
ke Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS. Ada 23 wabah yang dilaporkan dibandingkan dengan median
4 wabah yang dilaporkan setiap tahun selama 2001- 2010. Mayoritas kasus terkait dengan impor dari negara lain
(wisatawan yang kembali, adopsi, pengungsi), terutama dari Filipina, dengan epidemi tahun sebelumnya yang terkait
dengan epidemi di Wilayah Eropa Organisasi Kesehatan Dunia. Kasus campak sebagian besar terbatas pada individu
yang tidak divaksinasi. Sejak 2014, kasus terus terjadi akibat impor yang menyebabkan wabah multistate, namun karena
peningkatan kesadaran dan upaya vaksinasi, kasus tetap 90% cakupan 1 dosis pada 12-15 bulan dan> 95% cakupan 2
dosis pada anak usia sekolah). Meskipun cakupan campak-gondok-rubella tetap tinggi (90–91,5% pada
anak-anak 19-35 bulan selama 2000–2015), tingkat cakupan yang lebih rendah ada karena keengganan orang tua untuk
memvaksinasi anak-anak mereka. Variabilitas vaksinasi ini telah berkontribusi pada wabah di antara anak-anak usia
sekolah dalam beberapa tahun terakhir.

Patogenesis

Lesi utama ditemukan di kulit, konjungtiva, dan membran mukosa nasofaring, bronki, dan saluran pencernaan

Eksudat serous disertai proliferasi sel mononuklear dan beberapa sel polimorfonuklear di sekitar kapiler

Umumnya terjadi hiperplasia jaringan limfoid terutama di appendix, di mana dapat ditemukan multinucleated giant cells
dengan diameter mencapai 100μm (Warthin-Finkeldey reticuloendothelial giant cells)

Reaksi pada kulit berada di glandula sebacea dan folikel rambut

Koplik spot terdiri dari eksudat serous dan proliferasi sel endotel yang mirip seperti pada lesi kulit

Reaksi inflamasi umum pada buccal dan mukosa faring dapat menyebar ke jaringan limfoid dan membran mukosa
trakeobronkial

Pneumonitis interstisial terjadi karena virus measles membentuk Hecht giant cell pneumonia

Bronkopneumonia dapat terjadi dari infeksi bakteri sekunder

Pada kasus parah encephalomyelitis dapat terjadi demyelinasi perivaskuler pada area-area otak dan medulla spinalis

Pada subacute sclerosing panencephalitis (SSPE) mungkin dapat terjadi degenerasi korteks dan substansia alba otak
disertai badan inklusi intranuklear dan intrasitoplasmik

Transmisi

Measles sangat menular, diperkirakan 90% orang rentan yang kontak erat (satu rumah) bisa tertular.

Penularan secara maksimal terjadi dengan droplet selama periode prodromal (Catarhal stage).

Penularan pada orang rentan sering terjadi sebelum didiagnosis kasus index.

Bayi memperoleh kekebalan transplasenta dari ibu yang pernah mendapat imunisasi campak atau mengalami campak.

Kekebalan ini biasanya lengkap selama 4-6 bulan pertama kehidupan dan berkurang dengan kecepatan yang bervariasi.
Meskipun kadar antibodi matemal umumnya tidak terdeteksi pada bayi setelah usia 9 bulan dengan tes antibodi yang
biasa dilakukan, beberapa perlindungan tetap ada yang dapat mengganggu imunisasi yang diberikan sebelum usia 12
bulan.

Sebagian besar wanita usia subur di Amerika Serikat sekarang memiliki kekebalan campak melalui imunisasi daripada
pernah mengalami campak, dan penelitian menunjukkan bahwa bayi dari ibu dengan imunitas yang disebabkan oleh
vaksin campak kehilangan antibodi pasif pada usia yang lebih muda daripada bayi dari ibu yang mengalami infeksi
campak. Bayi dari ibu yang rentan terhadap campak mengalami campak.
Sign and Symptoms

Measles adalah infeksi serius yang ditandai dengan demam tinggi, enanthem, batuk, coryza, konjungtivitis, dan
eksantema yang menonjol (Gbr. 273.2). Setelah masa inkubasi 8-

12 hari, fase prodromal dimulai dengan demam ringan diikuti dengan timbulnya konjungtivitis disertai fotofobia, coryza,
batuk yang menonjol, dan demam yang meningkat. Bintik koplik mewakili enanthem dan merupakan tanda
patognomonik measles, muncul 1-4 hari sebelum timbulnya ruam (Gbr. 273.3). Mereka pertama kali muncul sebagai lesi
merah diskrit dengan bintik-bintik putih kebiruan di tengah pada bagian dalam pipi setinggi gigi premolar. Mereka
mungkin menyebar ke bibir, langit-langit keras, dan gingiva. Mereka juga dapat terjadi pada lipatan konjungtiva dan
pada mukosa vagina. Bercak koplik telah dilaporkan pada 50-70% kasus measles tetapi mungkin
terjadi.

Gejala meningkat intensitasnya selama 2-4 hari sampai hari pertama timbulnya ruam. Ruam dimulai di dahi (sekitar garis
rambut), di belakang telinga, dan di leher atas sebagai erupsi makulopapular merah. Kemudian menyebar ke bawah ke
batang tubuh dan ekstremitas, mencapai telapak tangan dan telapak kaki hingga 50% kasus. Eksantema sering menjadi
pertemuan di wajah dan batang atas (Gbr. 273.4).

Dengan timbulnya ruam, gejala mulai mereda. Ruam menghilang dalam sekitar 7 hari, dengan urutan yg sama dengan
munculnya, seringkali meninggalkan deskuamasi halus pada kulit setelahnya. Dari gejala utama measles, batuk
berlangsung paling lama, seringkali hingga
10 hari. Dalam kasus yang lebih parah, limfadenopati umum dapat ditemukan, dengan kelenjar getah bening serviks dan
oksipital sangat menonjol

Secara singkat, seluruh tanda & gejala yang muncul pada penyakit Rubeola adalah:

Demam

Coryza (inflamasi akut pada mukosa hidung dan sinus)

Batuk

Konjungtivitis & Keratitis

Koplik’s Spots

Ruam

Anorexia

Malaise

Gastroenteritis: pada pasien anak-anak malnutrisi, seringkali disertai stomatitis (inflamasi bibir dan mulut)

Lymphadenopathy

Pembesaran kelenjar getah bening postaurikuler, cervix, axilla, inguinal, dan occipital 12.Laryngotracheitis

Bronchitis 14.Bronchiolitis 15.Pneumoitis

Demam

Demam pada penyakit ini mengalami peningkatan bertahap hingga hari ke-5 atau 6 onset penyakit pada puncak
erupsinya.
Kurva peningkatan suhu tubuh bisa bermacam-macam:

Pada suatu kasus, suhu tubuh meningkat pada 24-48 jam pertama onset penyakit, kemudian suhu tubuh menjadi stabil
selama 1 hari. Kemudian, ketika ruam semakin luas, suhu tubuh mengalami peningkatan drastis.

Kasus lain menunjukkan bahwa terjadi peningkatan suhu tubuh yang drastis pada akhir hari 1 onset penyakit,
dan suhu tubuh akan konstan pada 39,4 o-40,6oC (103o- 105oF)

Pada kasus rubeola tanpa komplikasi, suhu tubuh akan turun dengan cepat pada 2-3 hari setelah onset exanthema
(ruam yang disertai demam).

Coryza

Coryza pada measles sulit dibedakan dengan flu biasa yang parah. Pada awalnya, terjadi bersin-bersin, disertai kongesti
hidung, dan discharge mukopurulen yang semakin banyak pada puncak erupsi measles. Gejala hilang dengan cepat
ketika pasien sudah tidak demam.

Konjungtivitis & keratitis

Pada periode awal infeksi, terdapat injeksi pada konjungtiva berupa garis marginal melintang di sepanjang
palpebra.

Pada fase lebih lanjut, garis tersebut dapat terselubungi oleh inflamasi konjungtiva yang luas, disertai dengan edema
palpebra dan caruncle. Lakrimasi ↑, photophobia (+).

Koplik’s spots (+) pada caruncle (kasus yang parah). Gejala berkurang ketika demam hilang.

Pada anak-anak penderita malnutrisi disertai defisiensi vitamin A, dapat mengalami konjungtivitis yang parah, disertai
keratitis dan ulserasi pada kornea, yang dapat menyebabkan kebutaan permanen.

Batuk

Gejala batuk mengalami peningkatan intensitas & frekuensi seiring berjalannya penyakit, dan mencapai klimaksnya pada
puncak erupsi.

Gejala ini tetap ada dalam jangka waktu yang lebih lama, dan akan berkurang secara bertahap dalam hitungan minggu.

Koplik’s spots

Koplik’s Spots: bercak-bercak kecil khas, tidak beraturan berwarna merah cerah, dengan bintik-bintik berwarna putih-
kebiruan. Muncul kira-kira 2 hari sebelum munculnya ruam.

Terkadang, bintik-bintik ini akan memperlihat kekhasannya jika disorot senter atau sinar matahari.

Bintik-bintik ini dapat meluas dalam satu hari saja, melibatkan mukosa bibir dan buccal. Bercak merah cerah tersebut
menyatu, membentuk latar belakang eritematosa yang luas, yang diatasnya banyak elevasi berwarna biru-putih. Pada
tahap ini, bintik Koplik menyerupai butiran garam yang ditaburkan pada latar belakang berwarna merah cerah. Pada
akhir hari kedua sejak onset ruam, bintik-bintik tersebut mulai mengelupas, dan pada hari ketiga sejak onset ruam,
membrane mukosa akan terlihat normal kembali.

Ruam (exanthema)

Muncul pada hari 3 atau 4 sejak munculnya gejala gejala yang lain, dengan fase prodromal 1- 7 hari.

Diawali dengan erupsi makulopapular disertai eritema, muncul di rambut, melibatkan dahi, daerah belakang daun
telinga, dan bagian atas leher. Selanjutnya, menyebar ke bawah, yaitu muka, leher, tubuh, ekstremitas atas, hingga
ekstremitas bawah.

Lesi paling banyak ditemukan pada tempat awal mula munculnya ruam.

Lesi pada leher dan muka cenderung untuk menyatu, sedangkan lesi pada tempat lain cenderung terpisah.

Lesi yang baru muncul akan memucat jika ditekan.

Ruam mulai menghilang setelah hari ke 3, sesuai urutan munculnya. Walaupun ruam pada wajah dan tubuh bagian
atas mulai menghilang pada hari ke-4, mungkin masih dapat ditemukan erupsi pada ekstremitas bawah.

Setelah hari ke 3-4, ruam akan berubah warna menjadi coklat (mungkin karena terjadinya pendarahan pada kapiler)
yang tidak hilang jika ditekan.

Dengan hilangnya ruam, branny desquamation dapat terlihat di tempat-tempat yang terlibat paling parah. Berbeda
dengan pengelupasan luas yang terlihat pada demam berdarah, kulit tangan dan kaki tidak mengelupas.

Branny desquamation: pengelupasan kulit dalam bentuk sisik-sisik kasar.

Fase penyembuhan

Measles mencapai klimaks pada hari ke 2-3 sejak onset ruam.


Suhu tubuh berada di puncaknya, dan Koplik’s spots sudah memenuhi mukosa pipi, dan mulai mengelupas, mata
bengkak dan merah, gejala coryza dan batuk sangat parah.

Anak mungkin terlihat tersiksa.

Dalam 24-36 jam berikutnya, suhu tubuh turun drastis, coryza dan konjungtivitis hilang, dan batuk berkurang. Dalam
beberapa hari, anak merasa normal. Demam yang menetap melebihi hari ketiga sejak onset ruam biasanya disebabkan
oleh komplikasi. Masa penyembuhan measles berlangsung singkat, meskipun gejala batuk seringkali dapat berlangsung
selama berminggu-minggu.

Konfirmasi Faktor Klinis

Diagnosis secara klinisnya dapat berkembang dari adanya erupsi makulopapular secara menyeluruh, yang sebelumnya
didahului dengan periode 3 sampai 4 hari dengan demam, batuk, coryza, konjungtivitis disertai koplik’s spot yang
merupakan tanda patognomonik dari measles(campak).

Selama era pre-vaksin / sebelum dilakukannya vaksin, konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium biasanya tidak
diperlukan, dan biasanya orang tua dan tenaga kesehatan dapat membuat diagnosis campak ini dengan mudah.

Diagnosis Laboratorium

Campak tipikal didiagnosis atas dasar klinis; diagnosis laboratorium mungkin diperlukan dalam kasus campak yang
modifikasi atau atipikal

Deteksi Antigen dan Asam Nukleat

Antigen campak dapat dideteksi secara langsung di sel epitel dari sekret pernafasan, nasofaring, konjungtiva, dan urin.
Antibodi terhadap nukleoprotein berguna karena itulah protein virus yang paling melimpah di sel yang terinfeksi.

Deteksi RNA virus dengan RT-PCR (Reverse transcription polymerase chain reaction) adalah metode sensitif yang dapat
diterapkan pada berbagai sampel klinis untuk diagnosis measles.

Isolasi dan Identifikasi Virus

Swab Nasofaring dan konjungtiva, sampel darah, sekresi pernapasan, dan urin yang dikumpulkan dari pasien selama
periode demam merupakan sumber yang tepat untuk isolasi virus. Monyet atau sel ginjal manusia atau limfoblastoid
cell line (B95-a) optimal untuk upaya isolasi. Virus measles tumbuh lambat; efek sitopatik tipikal (sel raksasa/giant cell
berinti banyak yang mengandung badan inklusi intranuklear dan intrasitoplasma) membutuhkan waktu 7-10 hari untuk
berkembang. Tes kultur cangkang dapat diselesaikan dalam 2-3 hari menggunakan pewarnaan antibodi fluoresen untuk
mendeteksi antigen campak dalam kultur yang diinokulasi. Namun, isolasi virus secara teknis sulit.
GAMBAR 1 Virus Measles di organ ginjal 40x

GAMBAR 2 Multinecleated giant cell (panah vertical) dan inklusi sitoplasma (panah horizontal

Serologi

Konfirmasi serologis dari infeksi measles tergantung pada peningkatan empat kali lipat titer antibodi antara fase akut
dan fase pemulihan atau pada demonstrasi antibodi IgM spesifik tertentu dalam spesimen serum tunggal yang diambil
antara 1 dan 2 minggu setelah onset ruam. ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay), HI (Haemagglutination
inhibition), dan tes netralisasi semuanya dapat digunakan untuk mengukur antibodi measles, meskipun ELISA adalah
metode yang paling praktis.
Swab darah dan cairan oral yang kering tampaknya menjadi alternatif yang berguna untuk serum untuk mendeteksi
antibodi measles di area di mana sampel serum sulit untuk dikumpulkan dan dikerjakan.

Bagian utama dari respon imun ditujukan untuk melawan nukleoprotein virus. Pasien dengan SSPE (Subacute Sclerosing
Panencephalitis) menunjukkan respons antibodi yang berlebihan, dengan titer 10 hingga 100 kali lipat lebih tinggi
daripada yang terlihat pada serum.

Diagnosis Banding Measles

Tanda khas measles yakni koplik spot

Measles stadium lanjut, termodifikasi, dan infeksi atipikal sering dibingungkan dengan penyakit exantem yang dimediasi
oleh imun seperti rubella, adenovirus infection, enterovirus infection, and Epstein-Barr virus infection

Exanthema subitum (pada infant), erytema infeksiosum (pada anak lebih dewasa), Mycoplasma pneumoniae, dan
streptococcus grup A juga bisa menghasilkan ruam yang sama seperti measles

Sindrom Kawasaki memiliki temuan klinis yang hampir sama seperti measles akan tetapi tanda koplik spot dan gejala
batuk parah prodromal tidak ditemukan pada Kawasaki

Sindrom Kawasaki memiliki peningkatan neutrofil dan reaktan fase akut + trombositosis

Erupsi Obat juga sering dibingungkan dengan gambaran klinis measles

Manajemen

Campak adalah self-limited disease. Tidak ada agen antiviral yang spesifik, dan pemberian antibiotik tidak memberi
dampak pada infeksi yang tidak kompleks. Terapi bersifat suportif. Studi di Afrika oleh Barclay dkk pada 1987 dan oleh
Hussey dan Klein pada 1990 menunjukkan manfaat yang sangat menguntungkan dari pemberian vitamin A pada anak
dengan gizi buruk yang menderita campak parah. Pada randomized, double blind trial yang dilakukan pada anak-anak
yang dirawat di rumah sakit dengan usia median 10 bulan, ditemukan bahwa mereka yang diberikan 400 ribu IU vitamin
A 5 hari sejak munculnya ruam memiliki lebih sedikit croup,diare dan pneumonianya sembuh lebih cepat, waktu rawat
inapnya lebih singkat, dan angka kematiannya lebih rendah dari pada mereka yang hanya diberi placebo. Angka
kematian pasien yang diberi vitamin A adalah 2 dari 92 pasien, sedangkan angka kematian pasien yang diberi placebo
adalah 10 dari 97. WHO merekomendasikan pemberian suplemen vitamin A kepada semua anak di daerah yang di
dapati adanya defisiensi vitamin A dan angka kematian akibat campak ≥ 1%. Pemberian vitamin A juga disarankan pada
periode 9 bulan kunjungan kesehatan saat pemberian vaksin campak pada EPI (Extended Programme on Immunization).

Terapi Supportif

Bed rest disarankan pada waktu demam, dan makanannya disarankan untuk mengonsumsi makanan cair atau makanan
yang dilembutkan selembut mungkin. Aktivitas dan diet normal dapat dilanjutkan setelah demamnya hilang dan nafsu
makannya kembali normal.
Batuk campak sulit dikendalikan, namun pemberian suppressants dapat membantu. Coryza tidak terpengaruh dengan
treatment, dan memiliki jalur self-limitednya sendiri. Kulit disekitar hidung dapat dilindungi dengan pemberian
petrolatum.

Konjungtivitis biasanya tidak memerlukan pengobatan. Kelopak mata harus dibersihkan dengan air hangat untuk
membersihkan sekresi dan kerak. Kornea harus diperiksakan karena mungkin terjadi ulcerasi. Bila ada komplikasi pada
kornea, harus di tangani dokter spesialis mata. Jika ada photophobia, hindarkan dari sinar yang terlalu terang.

Bayi dengan panas tinggi atau anak-anak dengan sakit kepala diberikan antyperitic dengan dosis optimal.

Komplikasi

Virus campak bertanggung jawab atas reaksi peradangan yang meluas dari nasofaring ke saluran pernapasan hingga
bronkus. Oleh karena itu, nasofaringitis dan trakeobronkitis dengan batuk merupakan manifestasi dari penyakit alami.
Komplikasi yang lebih umum biasanya disebabkan oleh (1) perluasan peradangan yang disebabkan oleh virus, (2) invasi
bakteri ke jaringan yang rusak, atau (3) kombinasi keduanya. Situs keterlibatan komplikasi campak termasuk telinga
tengah, saluran pernapasan, saluran pencernaan, SSP, mata, dan kulit.

Otitis Media

Infeksi telinga tengah adalah salah satu komplikasi campak yang paling umum. Pada awal perjalanan penyakit, membran
timpani mungkin 359 Gambar 20-4 Respon antibodi dan persistensi hemagglutination-inhibition (HI) campak. Lima belas
tahun tindak lanjut. (Dari Krugman S: J Pediatr 1977; 90: 1.) Pada pemeriksaan mengungkapkan kemerahan,
menggembung, dan lenyapnya refleks cahaya dan landmark. Khususnya pada bayi, tanda pertama otitis media mungkin
berupa keluarnya cairan bernanah dari membran timpani yang berlubang. Otitis media yang rumit biasanya
menyebabkan demam yang menetap di luar perjalanan normal. Kejadian otitis media sebagai komplikasi campak
dipengaruhi oleh faktor- faktor yang berhubungan dengan penyakit, inang, dan lingkungan. Campak parah lebih
mungkin menjadi rumit daripada bentuk ringan. Kerentanan meningkat pada bayi dibandingkan dengan anak yang lebih
tua dan pada pasien dari segala usia dengan riwayat infeksi telinga sebelumnya. Pada wabah A.S. 1990, hampir 7% dari
kasus campak yang dilaporkan dipersulit oleh otitis media (Pusat Pengendalian Penyakit, 1991).

Mastoiditis

Mastoiditis sebelumnya adalah gejala sisa umum dari otitis media. Terapi antibakteri yang tepat hampir dapat
menghilangkan komplikasi ini.

Pneumonia

Komplikasi paru sama seringnya dengan otitis media tetapi lebih parah. Pneumonia dapat terjadi akibat (1) perluasan
infeksi virus, (2) infeksi bakteri yang ditumpangkan, atau (3) kombinasi keduanya. Secara klinis termanifestasi sebagai
bronkiolitis (pada bayi), bronkopneumonia, atau pneumonia lobar. Adanya komplikasi pneumonia harus dicurigai jika
setiap anak dengan campak mengalami gangguan pernapasan yang berhubungan dengan demam yang menetap atau
muncul kembali. Pemeriksaan dada dapat mengungkapkan kusam pada perkusi, penekanan bunyi napas, pernapasan
bronkial, dan rongga lokal atau umum. Rontgen dada harus mengklarifikasi diagnosis. Pada beberapa orang dewasa dan
terutama pada individu dengan immunocompromised dari segala usia yang tidak memiliki fungsi kekebalan seluler
normal, pneumonia sel raksasa yang menetap dapat terjadi sebagai akibat dari replikasi kronis virus campak di bronkus
dan paru-paru. Ini biasanya merupakan komplikasi yang fatal, terkadang terjadi tanpa ruam campak (Enders et al.,
1959).

Laringitis obstruktif dan Laringotrakheitis

Laringitis ringan sementara dan trakeitis adalah bagian dari perjalanan normal campak. Kadang-kadang, bagaimanapun,
proses inflamasi berkembang dan menyebabkan obstruksi jalan napas. Suara serak yang meningkat, batuk
menggonggong, dan stridor inspirasi yang terkait dengan retraksi suprasternal menunjukkan perkembangan komplikasi
ini. Gejala ini biasanya mereda saat ruam mulai memudar. Peningkatan kegelisahan, dispnea, dan takikardia

menunjukkan peningkatan obstruksi, yang mungkin memerlukan intubasi dan pemeliharaan dukungan jalan napas
sampai radang akut mereda.

Gastroenteritis

Virus campak berkembang biak di saluran pencernaan dan sering menyebabkan diare yang mungkin parah. Dengan
glositis yang menyakitkan, terlihat paling sering di antara anak-anak malnutrisi dengan campak 360, kombinasi dari
asupan oral yang berkurang dan peningkatan kehilangan cairan usus menyebabkan dehidrasi. Gastroenteritis adalah
penyebab kematian kedua setelah pneumonia yang berhubungan dengan komplikasi campak.

Cervical Adenitis

Limfadenopati umum dikaitkan dengan sebagian besar kasus campak dan mewakili hiperplasia limfoid yang disebabkan
oleh virus. Adenitis serviks akibat bakteri dapat terjadi sebagai perpanjangan faringitis akibat flora saluran pernapasan
atas.

Ensefalomielitis Akut

Ensefalomielitis akut adalah komplikasi serius, berpotensi melumpuhkan atau fatal yang terjadi pada sekitar 0,1% kasus
campak. Ini dimulai paling sering antara hari kedua dan keenam setelah timbulnya ruam. Namun, jarang berkembang
selama periode preeruptif. Demam, sakit kepala, muntah, mengantuk, kejang, koma, atau perubahan kepribadian dapat
menyebabkan komplikasi ini. Seringkali, terdapat tanda-tanda iritasi meningeal, seperti leher kaku dan tanda Brudzinski
dan Kernig. Cairan serebrospinal (CSF) menunjukkan pleositosis sedang dengan dominasi limfosit. Tingkat protein
umumnya meningkat; kadar glukosa normal atau meningkat. Dalam kasus yang jarang terjadi, CSF mungkin normal.
Perjalanan ensefalomielitis cukup bervariasi. Ini mungkin sangat ringan, hilang sepenuhnya dalam beberapa hari, atau
mungkin berkembang pesat dan marah, berakhir fatal dalam waktu 24 jam. Di antara kedua ekstrem ini ada banyak
variasi. Secara umum, sekitar 60% pasien sembuh total; 15% meninggal; dan 25% kemudian menunjukkan manifestasi
kerusakan otak seperti keterbelakangan mental, kejang berulang, gangguan perilaku parah, tuli saraf, hemiplegia, dan
paraplegia. Kursus tidak dapat diprediksi. Tidak jarang seorang anak mengalami koma selama beberapa minggu dan
kemudian sembuh total tanpa gejala sisa. Komplikasi CNS lain dari campak termasuk ataksia serebelar, neuritis
retrobulbar, dan hemiplegia yang disebabkan oleh infark pada distribusi arteri utama (Tyler, 1957). Meskipun
patogenesis ensefalomielitis campak masih belum pasti, tampaknya tidak melibatkan replikasi virus di SSP; sebaliknya,
ini lebih mirip dengan temuan neuropatologi dari ensefalomielitis alergi eksperimental, menunjukkan proses yang
dimediasi autoimun.

Subacute Sclerosing Panencephalitis

Merupakan komplikasi lanjut dari campak, dengan onset 5 sampai 10 tahun kemudian dan dengan kejadian sekitar 1 per
100.000 kasus,”slow virus infection”, 50% pada usia <2thn , 75% sblm 4 thn, pria 2:1 wanita.

Subacute Measles Encephalitis

SME terjadi terutama pada pasien yang mengalami imunodefisiensi, paling sering pada anak- anak yang menjalani
pengobatan untuk leukemia akut, tetapi juga, baru-baru ini, pasien HIV. SME biasanya terjadi pada pasien terkena
campak selama 6 bulan, (nelson: 1-10 bulan setelah measles pada imunokompromi). Angka kematian adalah 85%,
dengan kematian terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah onset.

Komplikasi lainnya yang jarang

Purpura, thrombocytopenic dan nonthrombocytopeni

Pneumomediastinal and subcutaneous emphysema

Ulserasi kornea

Anak-anak dg defisiensi nutrisi terutama vitamin A dapat mengalami kebutaan

Appendicitis dapat berkembang sebagai akibat dari hyperplasia limfoid pada appendix

Myocarditis

Prevensi

Imunisasi campak pertama, biasanya vaksin measles-mumps-rubella (MMR), direkomendasikan pada usia 12-15 bulan
namun bisa juga diberikan sebagai profilaksis post- exposure dan outbreak campak paling dini usia 6 bulan. Imunisasi
kedua, juga MMR, direkomendasikan secara rutin pada usia 4-6 tahun namun dapat diadministrasikan kapanpun pada
masa kanak-kanak setidaknya 4 minggu setelah pemberian dosis pertama. Anak-anak yang belum mendapatkan dosis
kedua harus diimunisasi pada usia 11-12 tahun. Remaja yang memasuki universitas atau tempat kerja juga harus
mendapatkan imunisasi campak kedua.

Respon terhadap vaksin campak hidup dapat dibatalkan (tidak efektif) jika immunoglobulin juga baru saja
diadministrasikan. Anergy terhadap tes kulit tuberkulin dapat berkembang dan menetap selama lebih dari 1 bulan
setelah vaksinasi campak. Anak-anak dengan infeksi tuberkulosis aktif harus mendapatkan perawatan antituberkulosis
ketika vaksin campak diadministrasikan. Tes tuberkulin yang dilakukan sebelumnya atau bersamaan dengan imunisasi
aktif virus campak bisa dilakukan selama tuberkulosis dalam pertimbangan (perawatan).

Vaksin campak tidak direkomendasikan pada wanita hamil; anak-anak dengan immunodefisiensi primer, tuberkulosis
yang tidak dirawat, kanker, atau transplantasi organ; anak-anak yang mendapatkan terapi immunosupresif jangka
panjang; atau anak-anak terinfeksi HIV dengan immunocompromised berat. Anak-anak terinfeksi HIV tanpa
immunosupresi berat dan tanpa tanda-tanda imunitas campak dapat menerima vaksin campak.

Vaksinasi

Vaksin Measles Rubella (MR) adalah vaksin hidup yang dilemahkan (live attenuated) berupa serbuk kering dengan
pelarut. Kemasan vaksin adalah 10 dosis per vial. Setiap dosis vaksin MR mengandung:

1000 CCID50 virus campak 1000 CCID50 virus rubella

Manfaat Pemberian Vaksin MR

Dengan pemberian imunisasi campak dan rubella dapat melindungi anak dari kecacatan dan kematian akibat
pneumonia, diare, kerusakan otak, ketulian, kebutaan dan penyakit jantung bawaan

Status vaksinasi MR pada wanita usia subur/ yang hendak merencanakan kehamilan penting untuk diperiksa.

Pemberian Vaksin MR

Vaksin MR diberikan secara subkutan dengan dosis 0,5 ml. Vaksin hanya boleh dilarutkan dengan pelarut yang
disediakan dari produsen yang sama. Vaksin yang telah dilarutkan harus segera digunakan paling lambat sampai 6 jam
setelah dilarutkan.

Pada tutup vial vaksin terdapat indikator paparan suhu panas berupa Vaccine Vial Monitor (VVM). Vaksin yang boleh
digunakan hanyalah vaksin dengan kondisi VVM A atau B.

Kontraindikasi

Individu yang sedang dalam terapi kortikosteroid, imunosupresan dan radioterapi.

Wanita hamil

Leukemia, anemia berat dan kelainan darah lainnya

Kelainan fungsi ginjal berat

Decompression cordis

Setelah pemberian gamma globulin atau transfusi darah


Riwayat alergi terhadap komponen vaksin (neomycin)

Vitamin A

Jakarta - Bulan Februari dan Agustus adalah bulan vitamin A. Pada kedua bulan ini dilakukan pembagian suplementasi
vitamin A Kapsul biru (dosis 100.000 IU) untuk bayi umur 6-11 bulan dan kapsul merah (dosis 200.000 IU) untuk anak
umur 12-59 bulan. Vitamin A kapsul merah juga diberikan kepada ibu yang dalam masa nifas.

Manfaat Pemberian Vit A pada Anak

Vitamin A/retinol terlibat dalam pembentukan, produksi, dan pertumbuhan sel darah merah, sel limfosit, antibodi juga
integritas sel epitel pelapis tubuh.

Adapun vitamin A juga bisa mencegah rabun senja, xeroftalmia, kerusakan kornea dan kebutaan serta mencegah anemia
pada ibu nifas. Sedangkan apabila anak kekurangan vitamin A maka anak bisa menjadi rentan terserang penyakit infeksi
seperti infeksi saluran pernafasan atas, campak, dan diare.

Cara Mendapatkan Vit A

Kapsul vitamin A ini bisa didapatkan di fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Pustu, Poskesdes/Polindes,
Balai Pengobatan, Praktek Dokter, Bidan Praktek Swasta atau Posyandu dengan GRATIS.
Peraturan Pemerintah Terkait Vit A

Vitamin A untuk Campak

Vitamin A merupakan mikronutrien penting yang diperlukan untuk fungsi kekebalan tubuh spesifik
maupun non spesifik. Defisiensi vitamin A dilaporkan dapat menyebabkan gangguan kekebalan
humoral serta selular. Efek antioksidan dari karotenoid ini secara tidak langsung dapat meningkatkan
fungsi kekebalan tubuh dengan jalan menurunkan konsentrasi partikel bebas beserta produknya yang
bersifat imunosupresif. Mencegah oksidasi leukosit sehingga dapat menurunkan kadar prostaglandin
yang bersifat imunosupresif

Vitamin A dapat menghambat infeksi baik virus tipe ganas atau virus vaksin yang dilemahkan. Pada
anak yang mendapat vitamin A lebih sedikit timbul gejala ruam stelah imunisasi. Hal ini menunjukkan
bahwa vitamin A dapat menghambat replikasi virus vaksin

Vitamin A dapat menghambat replikasi virus vaksin campak dengan peningkatan respons imun.
Ternyata suplementasi vitamin A dosis tinggi juga bermanfaat pada pasien campak

Pengobatan dengan suplementasi vitamin A dosis tinggi dapat mengurangi angka morbiditas dan
mortalitas dan dianjurkan untuk memberikan suplementasi vitamin A pada semua pasien campak baik
pada anak dengan gizi baik maupun malnutrisi.

Vitamin A dapat menghambat replikasi virus vaksin campak maka pada pasien campak sangat
dianjurkan untuk memberikan suplementasi vitamin A dosis tinggi yaitu sampai

400.000 IU pada saat terjadi ruam dalam 2 hari berturut-turut dan pada anak di bawah usia 1 tahun
dapat diberikan dosis sampai 100.000 IU tanpa efek samping yang berarti seperti yang telah dilaporkan
pada hasil penelitian di atas. Selain pemberian suplementasi vitamin A terapi penunjang lain yang
memadai tetap diberikan

Prognosis

Infeksi tuberculosis yang sudah ada sebelumnya dapat diperburuk. Mayoritas kematian terjadi akibat
bronkopneumonia atau ensefalitis yang parah. Pada tahun 1989 dan 1990 dalam wabah di Amerika
Serikat tingkat kematian kasus yang dilaporkan adalah dari 3 menjadi 4 per 1.000 (Pusat Pengendalian
Penyakit, 1991). Campak yang dimodifikasi yang sangat jarang terjadi komplikasi memiliki prognosis
yang sangat baik. Prognosis untuk pasien dengan campak meningkat secara signifikan dalam 3 dekade
terakhir. Banyak komplikasi bakteri serius yang berhasil diobati dengan terapi antrimikrobial. Secara
umum, prognosis lebih baik pada anak yang lebih tua dibandingkan pada bayi.

Imunitas

Kekebalan seumur hidup terjadi pada individu yang pernah menderita penyakit tersebut. Meskipun
antibodi IgG mungkin berperan dalam menetralkan virus selama tahap viremik, imunitas yang
diperantarai sel lebih penting.

Pentingnya imunitas yang diperantarai sel diilustrasikan oleh fakta bahwa anak-anak
agammaglobulinemia memiliki perjalanan penyakit normal, kemudian kebal, dan dilindungi oleh
imunisasi. Antibodi ibu melewati plasenta, dan bayi terlindungi selama 6 bulan pertama kehidupan.

Infeksi virus campak untuk sementara dapat menekan imunitas yang dimediasi sel terhadap
mikroorganisme intraseluler lainnya, seperti Mycobacterium tuberculosis, yang menyebabkan
hilangnya reaktivitas tes kulit purified protein derivative (PPD), reaktivasi organisme yang tidak aktif,
dan penyakit klinis. Mekanisme yang diusulkan untuk temuan yang tidak biasa ini adalah bahwa ketika
virus campak berikatan dengan reseptornya (disebut CD46) di permukaan makrofag manusia, produksi
interleukin-12 (IL12), yang diperlukan untuk terjadinya imunitas yang dimediasi sel,
ditekan.

Anda mungkin juga menyukai