Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KEGIATAN

PROGRAM PROFESI PROFESI DOKTER HEWAN

LABORATORIUM REPRODUKSI VETERINER

GELOMBANG XII KELOMPOK E

Oleh:

Steven Dwi Purbantoro, S.KH 1709612006

Mia Karlina Hariati, S.KH 1709612014

Ni Ketut Juni Puspaeni, S.KH 1709612021

Ni Ketut Ayu Mega Sukma, S.KH 1709612022

I Komang Ragem Santika Yasa, S.KH 1709612028

Lois Sendana, S.KH 1809611034

Nurul Fadillah Sultan, S.KH 1809611036

LABORATORIUM REPRODUKSI VETERINER

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR
2019
2.1.1 Koleksi Oosit Sapi, Babi, dan Mencit
A. Materi
Bahan:
 Ovarium sapi, babi, dan organ reproduksi (ovarium, dan
tuba fallopii) mencit
 NaCl fisiologis
Alat:
 Mikroskop
stereo
 Mikroskop fase
kontras
binokuler
 Spuit 1 cc dan 3 cc
 Cawan petri
 Pinset
 Silet
 Kamera
B. Metode
a. Aspirasi pada ovarium sapi dan babi
1. Menyiapkan ovarium sapi dan babi yang direndam NaCl fisiologis
supaya tidak autolisis pada masing-masing wadah berbeda.
2. Menyiapkan spuit 3 cc yang berisi NaCl fisiologis sampai skala 1-1,5
cc.
3. Melakukan penyedotan cairan folikel dengan cara menusukkan spuit
yang berisi NaCl fisiologis ke bagian folikel.
4. Setelah memperoleh cairan folikel, memindahkan ke cawan petri
berbeda antara sapi dan babi untuk diamati di mikroskop fase kontras
binokuler.
5. Mendokumentasikan hasil yang diperoleh dengan kamera.

a. Slashing ovarium sapi dan babi


1. Menyiapkan ovarium sapi dan babi yang terendam NaCl fisiologis
supaya tidak autolisis.
2. Menyiapkan spuit 3 cc yang sebelumnya diisi NaCl fisiologis sampai
penuh.
3. Menempatkan ovarium yang akan dislashing di cawan petri.
4. Meginsisi di bagian folikel dari ovarium menggunakan silet sekaligus
disemprotkan NaCl fisiologis secara perlahan tepat difolikel yang
terinsisi.
5. Mengamati cairan yang diperoleh menggunakan mikroskop fase kontras
binokuler.
6. Mendokumentasikan hasil yang diperoleh dengan kamera.

a. Slicing ovarium dan tuba Fallopii mencit


1. Mencit di-eutanasi dengan metode dislokasi os vertebrae cervicalis.
2. Melakukan laparotomi pada mencit dengan menginsisi bagian median
abdomen dan memisahkan organ reproduksinya.
3. Dibawah mikroskop stereo, membersihkan organ reproduksi dari lemak,
memisahkan bagian ovarium dan tuba fallopii untuk dipindahkan pada
cawan petri yang berbeda berisi NaCl fisiologis.
4. Melakukan slicing menggunakan dua spuit 1 cc hingga tercacah dengan
baik dan mengamatinya di mikroskop fase kontras binokuler.
5. Mendokumentasikan hasil yang diperoleh dengan kamera.

2.1.2 Koleksi Embiro Pembelahan Dua dan Morulla pada Mencit


A. Materi
Bahan:
 Mencit betina telah kawin,
 NaCl fisiologis, dan
 Tisu.
Alat:
 Silet,  Mikroskop stereo,
 Gunting,  Mikroskop fase
 Pinset, kontras, dan
 Cawan petri,  Kamera
 Spuit 1 cc dan 3 cc, handphone.
B. Metode
Slicing pada ovarium dan tuba Fallopii mencit:
1. Mencit yang telah kawin di-eutanasi dengan metode dislokasi os vertebrae
cervicalis,
2. Kemudian dilakukan laparotomi mencit pada bagian median abdomen,
3. Organ reproduksi utuh diambil dan dipisahkan,
4. Organ reproduksi diletakkan pada cawan petri yang berisi media NaCl
fisiologis,
5. Dibawah mikroskop stereo organ reproduksi dibersihkan dari lemak dan
dipisahkan bagian ovarium dan tuba Fallopii-nya,
6. Setelah itu, ovarium dan tuba Fallopii dipindahkan pada cawan petri yang
berbeda berisi media NaCl fisiologis,
7. Dilanjutkan slicing menggunakan spuit 1 cc hingga lembut dan diamati
menggunakan mikroskop fase kontras binokuler, dan
8. Hasil yang diperoleh didokumentasikan.
3.1.1 Koleksi Oosit Sapi, Babi, dan Mencit
A. Hasil
Tabel 7. Hasil Koleksi Oosit Sapi
Metode Gambar Keterangan
Organ Ovarium Sapi
a. Folikel
a

Aspirasi Morfologi : Expanded


a. Ooplasma

c b. Zona pelucida
a c. Cumulus
b

Morfologi : Cumulus
Oocyt Complexe
a. Ooplasma
b. Zona pelucida
a c. Cumulus
b
c

Slashing Morfologi : Expanded


a. Ooplasma
b. Zona pelucida
a
b c. Cumulus
c
Morfologi : Expanded
a. Ooplasma
a
b. Zona pelucida
b
c c. Cumulus

Tabel 8. Hasil Koleksi Oosit Babi


Metode Gambar Keterangan
Organ Ovarium Babi
a. Folikel

Aspirasi Morfologi : Expanded


a. Ooplasma
b. Zona pelucida
a c. Cumulus
b

c
Morfologi : Expanded
a. Ooplasma
b. Zona pelucida
c. Cumulus

a b

Morfologi : Partial
a. Ooplasma
b. Zona pelucida
c. Cumulus
a
b
c

Morfologi : Nude
a. Ooplasma
b. Zona pelucida
c. Cumulus
a

b
c
Slashing Morfologi : Complete
a. Ooplasma
b. Zona pelucida

a c. Cumulus

b
c

Morfologi : Partial
a. Ooplasma
a b. Zona pelucida
b c. Cumulus
c

Tabel 9. Hasil Koleksi Oosit Mencit


Metode Gambar Keterangan
Organ Ovarium Mencit
a. Folikel

Slicing Morfologi : Nude


Fase : Germinal Vesicle
a
b Break Down (GVBD)
c a. Ooplasma
b. Zona Pelucida
c. Cumulus
Morfologi : Nude
Fase : Germinal Vesicle
a. Nucleus

a b. Zona Pelucida
b c. Ooplasma
c

Morfologi : Nude
Fase : Germinal Vesicle

a Break Down (GVBD)


a. Ooplasma
b
b. Zona pelucida
c
c. Cumulus

B. Pembahasan
Ovarium adalah organ reproduksi primer pada hewan betina yang berfungsi
sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur atau ovum dan sebagai organ
endokrin yang mensekresikan hormon kelamin betina estrogen dan progesteron
(Santoso, 2009). Bentuk dan ukuran ovarium setiap spesies berbeda-beda, pada sapi
berbentuk oval, babi berbentuk setangkai anggur, dan mencit berbentuk bulat kecil
(Toelihere, 1979). Ovarium terdiri dari cortex pada bagian luar dan bagian dalam
berupa medulla, pada bagian cortex mengandung folikel-folikel ovarii dan corpus
luteum. Pada cortex dilapisi oleh epitel kubus (epitelium germinalis), sedangkan pada
bagian medulla mengandung saraf, dan jaringan ikat longgar (Puja et al., 2010).
Ovarium tersusun oleh bagian-bagian medula yang terletak di dalam dan korteks yang
terletak diluamya. Komposisi bagian medula yaitu jaringan ikat fibroelastik, jaringan
syaraf, pembuluh darah, dan pembuluh limfe,. Bagian korteks berisi folikel-
folikel, corpus luteum, stroma, dan serabut otot polos. Di bagian paling luar, ovarium
dikelilingi oleh epitel germinal dan terbungkus oleh tunica albuginea (Yatim, 2004).
Perkembangan oosit pada ovarium dipengaruhi oleh beberapa aktifitas sel lain yang
berada disekitarnya yakni sel folikel, sel granulose dan zona pelusida (Byskov dan
Hoyer, 1988).
Dalam pelaksanaan koleksi oosit yang telah kami laksanakan, ovarium sapi dan
babi diperoleh dari RPH (Rumah Potong Hewan) Pesanggaran-Sesetan. Ovarium
yang diambil, langsung dilakukan perendaman menggunakan NaCl fisiologis sebagai
media, garam-garam NaCl fisiologis hanya dimanfaatkan sel sebagai buffer untuk
mempertahankan keadaan fisiologis tanpa mendapatkan nutrisi maupun antioksidan,
untuk itu penyimpanan yang terlalu lama dengan menggunakan NaCl fisiologis tetap
akan menyebabkan kerusakan sel (Widyastuti dan Rasad. 2015).
Metode-metode yang dapat dilakukan untuk koleksi oosit pada ovarium sapi dan
babi yaitu dengan menggunakan metode aspirasi dan slashing. Metode aspirasi
dilakukan dengan mengambil cairan folikel yang terdapat pada folikel-folikel ovarium
menggunakan spuit 3 cc yang sebelumnya diisi NaCl fisiologis sebanyak 1 cc, cairan
yang diperoleh dipindahkan ke cawan petri untuk diamati dan diidentifikasi
menggunakan mikroskop fase kontras binokuler. Metode slashing, pelaksanaannya
diatas cawan petri kosong untuk menampung cairan folikel. Cara kerjanya yaitu
dengan menoreh folikel pada ovarium menggunakan silet dan bekas torehan ditetesi
dengan NaCl fisiologis, cairan yang diperoleh diamati dan diidentifikasi
menggunakan mikroskop fase kontras binokuler. Sedangkan koleksi oosit mencit
dilakukan dengan metode slicing (mencacah), mencit dibunuh dan dinekropsi untuk
diambil organ reproduksi yang meliputi ovarium, tuba fallopii, dan uterus. Organ
reproduksi yang diperoleh segera direndam menggunakan NaCl fisiologis. Dibawah
mikroskop stereo bagian-bagian organ reproduksi tersebut dipisahkan dan dibersihkan
dari lemak, selanjutnya dipindahkan pada cawan petri berisi NaCl fisiologis yang
berbeda untuk dilakukan slicing dengan menggunakan sepasang spuit 1 cc. Setelah
organ halus, dilakukan pengamatan dan identifikasi menggunakan mikroskop fase
kontras binokuler.

Yatim (1994), mengklasifikasikan morfologi oosit sebagai berikut:


1. Complete, terdapat sel-sel cumulus oophorus, terdapat lebih dari 3 lapisan tebal (5
lapisan tebal), oosit kelihatan kompak.
2. Partial, terdapat sel-sel cumulus oophorus, terdiri dari 3 lapisan tebal, oosit kelihatan
kompak.
3. Expanded, terdapat sel-sel cumulus oophorus, sel-sel cumulus meunjukan ekspansi
(meluas), sel-sel cumulus kelihatan dalam bentuk kumpulan hitam terpencar-pencar
4. Nude, tidak ada kumpulan sel-sel yang mengelilingi oosit, oosit hanya dikelilingi
zona pelucida secara merata.
Klasifikasi terhadap morfologi oosit berdasarkan warna dan bentuk.
Klasifikasi oosit menurut warna yaitu warna terang untuk kriteria A (baik), warna
agak gelap untuk kriteria B (cukup baik), warna gelap untuk kriteria C dan D.
Klasifikasi oosit menurut bentuk yaitu kriteria A dan B memiliki bentuk bulat,
penampilan cumulus oocyte complexdan sel granulosa yang utuh, kriteria C dan D
bentuknya tidak begitu jelas dan penampilan cumulus oocyte complex dan sel
granulosa tidak teratur (Blondin, 1995)
Gordon (2003) menyatakan berdasarkan kronologis perubahan status inti oosit
tingkat maturasi inti dikelompokkan menjadi beberapa tahap:
1. GV (Germinal Vesicle), membran inti dan nukleus masih terlihat.
2. GVBD (Germinal Vesicle Break Down), membran inti pecah, nukleus tidak
terlihat, kromosom mulai terkondensasi.
3. MI (Metafase I), kromosom terkondensasi dan tersusun pada spindel metafase;
anafase – telofase I (A – TI) ditandai dengan kromosom homolog mulai terpisah.
4. MII (Metafase II), hadirnya kromosom homolog dan kutub pertama terlihat.
Oosit yang diperoleh dari folikel ovarium merupakan oosit yang belum matur, artinya
belum mencapai tingkat maturasi sitoplasma yang siap dibuahi atau difertilisasi. Oosit
matur merupakan produk dari pembelahan meiosis pertama yaitu oosit sekunder dan
first polar body (PB I), yang terletak diantara membran vitelina (membran plasma)
dan zona pelusida di ruang perivitelin. Jumlah kromosom oosit berubah dari
status diploid (2n) ke haploid (n). Pembelahan meiosis pertama sempurna sesaat
sebelum ovulasi pada sapi, babi, serta domba betina, dan segera setelah ovulasi pada
kuda betina. Maturasi oosit dipengaruhi oleh maturasi nukleus dan kualitas fisiologis
dari nukleus, sitoplasma, dan zona pelusida yang transparan. Beberapa komponen
penting pada maturasi nukleus dan sitoplasma yaitu terputusnya membran nukleus
yang disebut germinal vesicle break down (GVBD), ekstrusi polar body pertama (PB
I), dan ekspansi sel-sel cumulus (Gordon, 1994). Sel-sel kumulus merupakan bagian
dari folikel, pada saat ovulasi sel ini selalu terbawa oleh oosit dan menempel pada
oosit (Cole et al., 1997). Fungsi sel kumulus adalah sebagai agen komunikasi antar
sel dan penghubung mekanisme hormonal menuju oosit, karena pada sel-sel kumulus
terdapat banyak reseptor FSH dan LH, yang juga berfungsi sebagai reseptor PMSG
dan HCG. Sel kumulus juga berperan sebagai pemasok nutrisi untuk oosit.
Selain itu, sel kumulus mengalami ekspansi atau mengembang jika terstimulasi
oleh adanya peningkatan aktifitas peran hormon gonadotropin dan metabolisme
seluler (Gibbons et al., 1994).
3.1.2 Koleksi Embiro Pembelahan Dua dan Morulla pada Mencit
A. Hasil
Tabel 10. Hasil pengamatan vaginal plug, organ reproduksi, dan koleksi embrio
No Gambar Keterangan
1 Vaginal plug

Keterangan :
1. Vaginal plug

2. Organ reproduksi

Keterangan :
1. Ovarium
2 2. Corpus luteum
3. Tuba fallopii
1 4. Cornua uteri

3
4
50 µm

3. Pembelahan dua sel

Keterangan :
1. Zona pelusida
2. Polar body
3. 2 Blastomer
4. Ruang perivitelin
2

1
3

50 µm
4

4. Fase Morula

Keterangan :
1. Zona pelusida
2 2. Ruang perivitelin
1 3. Blastomer
4. Inner Cell Mass

4
50 µm

B. Pembahasan
Sebelum pengamatan dilakukan, pada tanggal 1 Januari 2019 dua mencit betina
dan satu mencit jantan yang sudah dewasa kelamin ditempatkan pada kandang yang
sama untuk tujuan fertilisasi. Mencit betina hanya akan berkopulasi dengan mencit
jantan selama fase estrus, yaitu ketika sel telurnya telah siap untuk dibuahi. Kopulasi
dapat terjadi pada waktu antara 5 jam sebelum ovulasi sampai 8 jam setelah ovulasi
(Adnan, 2015). Fase estrus pada mencit berlangsung selama 12 jam. Kopulasi pada
tikus berlangsung mulai tahap proestrus akhir (Akbar, 2010). Menurut Kurniawati
(2006), mencit betina yang telah kawin ditandai dengan terbentuknya sumbat vagina
(vaginal plug). Sumbat vagina terjadi karena adanya cairan seminal (semen) yang
mengental yang dapat bertahan selama 16 – 48 jam. Hari dimana vaginal plug
ditemukan diasumsikan sebagai hari pertama (Adnan, 2015).
Pada pengamatan ini, sumbat vagina mencit A terlihat pada tanggal 2 Januari
2019 pukul 17.00 WITA. Sehingga untuk mengamati embrio pembelahan dua,
pengamatan embrio dilakukan pada tanggal 3 Januari 2019 pukul 17.00 WITA.
Sedangkan sumbat vagina mencit B terlihat pada tanggal 5 Januari 2019 pukul 17.00
WITA. Sehingga untuk mengamati fase morula, pengamatan dilakukan pada tanggal 8
Januari 2019 pukul 17.00 WITA. Koleksi embrio dilaksanakan di Laboratorium
Teknologi Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, mencit di-
eutanasia dengan cara dislokasi os vertebrae cervicalis, kemudian dilakukan
pembedahan untuk mendapatkan saluran reproduksinya. Koleksi embrio dilakukan
dengan metode slicing. Saluran reproduksi yang didapat selanjutnya dipisahkan
dengan lemak yang menempel dan dilakukan pengamatan terhadap jumlah corpus
luteum pada masing-masing ovarium di bawah mikroskop stereo dengan pembesarab
4x, 10x, dan 20x.
Fertilisasi merupakan proses penyatuan atau peleburan inti sel telur (ovum) dari
gamet betina dengan inti sel spermatozoa dari gamet jantan untuk membentuk sel
tunggal (zigot) (Puja et al., 2010). Sel telur diaktivasi untuk memulai
perkembangannya dan inti sel dari dua gamet akan bersatu untuk menyempurnakan
proses reproduksi seksual. Penetrasi spermatozoa ke dalam membran vitelin
mengaktivasi sel telur untuk melengkapi proses meiosisnya dan mengeluarkan badan
polar kedua. Kromosom yang terkandung dalam pronukleus jantan haploid bersatu
dengan kromosom dalam pronukleus betina. Proses penyatuan kedua kromosom
tersebut disebut dengan singami. Sebagai konsekuensi dari fertilisasi, jumlah
kromosom kembali menjadi diploid, jenis kelamin suatu individu ditentukan, dan
variasi biologis dihasilkan dari integrasi karakteristik herediter paternal dan maternal
(Mc Geady et al., 2006).
Ovum yang telah dibuahi mengalami pembelahan pertama membentuk embrio
dua sel. Embrio dua sel segera membelah lagi menjadi embrio empat sel. Pembelahan
terus berlanjut hingga embrio menjadi 8 sel, 16 sel, 32 sel. Pada tingkatan embrio 16
sampai 32 sel, sel-sel berkumpul menjadi satu kelompok di dalam zona pelusida. Isi
sel di dalam zona pelusida berbentuk seperti bola yang padat (Toelihere, 1979).
Menurut Hafez (1970) dan Theiler (1989) menyebutkan bahwa 24 hingga 38 jam
setelah ovulasi sel tunggal akan membagi diri hingga berada pada tahap 2 sel, 4 sel
pada 48 jam, 8 sel pada 52 jam setelah ovulasi, dan akan menjadi morula pada 68
hingga 80 jam setelah ovulasi. Sedangkan blastosis pada 96 jam dan blastosis hatched
hingga implantasi pada 120 jam setelah ovulasi.
Proses perkembangan embrional pada mamalia diawali dengan terjadinya
pembuahan sel telur oleh sperma sehingga terbentuk zigot. Zigot merupakan bentuk
paling awal dari perkembangan hewan dan sering disebut juga sebagai sel telur yang
terbuahi. Zigot akan mengalami proses pembelahan secara mitosis yang disebut
dengan istilah cleavage. Pembelahan pertama dari satu sel menjadi dua sel, masing
masing anak hasil pembelahan disebut blastomer (Fahrudin et al., 2008). Blastomer
berada di dalam zona pellucida. Sel telur yang telah diovulasi akan mengalami
beberapa tahapan setelah diaktivasi maupun difertilisasi oleh sel sperma. Sel telur akan
berkembang menjadi zigot kemudian melakukan pembelahan awal menjadi 2 sel, 4 sel,
8 sel, hingga mengalami kompaksi dan disebut dengan morula. Embrio yang telah
membentuk lebih dari 16 blastomer disebut sebagai morula, karena kemiripannya
dengan murbei. Kemudian morula berkembang menjadi blastosis yang memiliki
struktur terdiri atas blastosul, Inner Cell Mass (ICM), tropoblast, dan zona pelusida.
Selanjutnya balstosis akan keluar dari zona pelusida (hatching) untuk kemudian
berimplantasi pada dinding uterus (Hogan, 1994; Hafez, 2000). Pada mencit dan
mamalia lainnya kecepatan pembelahan tergantung dari strainnya, namun secara
umum akan menghabiskan waktu 3.5 hari untuk perkembangan dari mulai tahap
pembelahan sel (cleavage) sampai dengan tahap blastosis (Kispert dan Gossler, 2004).
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Koleksi oosit sapi, babi, dan mencit dengan metode aspirasi, slashing,dan slicing
diperoleh morfologi oosit nude, expanded, partial, cumulus oocyte complex’s (COC) dan
maturasi inti Germinal Vesicle (GV) dan Germinal Vesicle Break Down (GVBD).
Koleksi embrio pembelahan dua sel pada mencit dapat dilakukan 24 jam setelah mencit
menunjukkan adanya sumbat vagina. Fase morula mencit dapat ditemukan pada 3 hari
setelah sumbat vagina muncul.

4.2 Saran
Koleksi oosit baik pada sapi, babi, maupun mencit perlu dilakukan dengan organ yang
masih baik, sehingga preservasi organ perlu dipertimbangkan.
Koleksi embrio perlu dilakukan dengan kalkulasi waktu kopulasi dan ketika sumbat
vagina muncul. Adanya kalkulasi yang salah akan mendapatkan fase embrio yang tidak
diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA

Adnan. 2015. Penuntun Praktikum Perkembangan Hewan. Makassar: UNM Press.


Affandy L, Wulan CP, Dian R. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan Reproduksi Sapi
Potong. Pusat Peneltian dan Pengembangan Peternakan. Pasuruan. Hlm 18-19.
Akbar B. 2010. Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi Sebagai Bahan
Antifertilitas. Jakarta: Adabia Press UIN.
Arifiantini I. 2012. Teknis Koleksi dan Evaluasi Semen pada Hewan. IPB Press, Bogor.
Arrington LR. 1972. Introductory Laboratory Animal Science, the Breeding, Care and
Management of Experimental Animal. Denville: The Interstate Printers and
Publishers, Inc.
Badungkab. 2017. Badung Tenderkan Pakan Ternak Sapi Rp 31 Miliar.
https://badungkab.go.id/instansi/diperpa/baca-berita/122/Badung-Tenderkan-Pakan-
Ternak-Sapi-Rp-31-Miliar.html. Diakses 15 Januari 2019.
Baracaldo, MI, Barth AD, dan Bertrand W. (2007). International Veterinary Information
Service, Ithaca NY. IVIS Reviews in Veterinary Medicine IVIS. Ed 1–11.
Bebas W, Laksmi DNDI. 2013. Konsentrasi Spermatozoa dan Motilitas Spermatozoa Ayam
Hutan Hijau (Gallus varius). Buletin Veteriner Udayana 5(1): 57-62.
Blondin P, Sirard MA. 1995. Oocyte and Follicular Morphology as Determing Characteristic
for Developmental Competence in Bovine Oocyte. Mol. Reprod Dev 1: 54-62.
Byskov AG, Hoyer PE. 1988. Embryology of Mammalian Gonads and Ducts. Dalam editor
Knobil E dan Neill J. The Physiology of Reproduction. New York: Reven Press, Ltd.
Pp. 265-302.
Cole HH, Cupps PT. 1997. Reproduction in Domestic Animals. 3rd Edition. London: Academic
Press Inc.
Djaga IB. 2009. Diktat Ilmu Tilik Sapi Potong. Denpasar: Fakultas Peternakan Udayana.
Fahrudin M, Prasetyaningtyas WE, Mohamad K, Boediono A, Djuwita I. 2008. Bahan Ajar
Mandiri Praktikum Embriologi & Genetika Perkembangan. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Feradis. 2010. Bioteknologi Reproduksi pada Ternak. Alfabeta: Bandung.
Gadea J. 2003. Semen extenders used in the artificial insemination of swine. Spanish J of Agri
Research. 1(2): 17-27.
Garner DL, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th Ed. Philadelphia: Lea &
Febriger.
Gibbons JR, Beal WE, Krisher RL, Faber EG, Pearson RE, Gwazdauskas FC. 1994. Effects of
once-versus twice weekly transvaginal follicular aspiration of bovine oocyte recovery
and embryo development. Theriogenology 42: 405-419.
Gordon I. 1994. Laboratory Production of Cattle Embryos. Department of Animal Science and
Production. Dublin, Ireland: University College.
Gordon I. 2003. Laboratory of Production Cattle Embryo. 2nd Edition. Trowbridge: Cromwell
Press.
Hafez. 1970. Reproduction and Breeding Techniques for Laboratory Animals. Philadelphia:
Lea and Febiger.
Hafez B. 2000. Reproduction in farm animals 7th Edition. United State of America: Lippincott.
Hastuti D. 2008. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan Sapi Potong Di Tinjau Dari Angka
Konsepsi Dan Service Per Conception. Mediagro 4(1): 12- 20.
Hogan B, Beddington R, Costantini F, Lacy E. 1994. Manipulating the Mouse Embryo A
Laboratory Manual. United State of America: Cold Spring Harbor Laboratory Press.
Indira PN, Kustono, Ismaya. 2014. The Profile Of Vaginal Temperature And Cytology Of
Vaginal Smear In Bali Cattle During Estrus Cycle Phase. J. Indonesian Trop. Anim.
Agric. 39(3): 175-179.
Johari S, Ondho YS, Wuwuh S, Henry YB, Ratnaningrum. 2009. Karakteristik dan Kualitas
Semen Berbagai Galur Ayam Kedu. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan.
Semarang 20 Mei 2009. Pp. 617-632.
Johnson LA, Weitze KF, Fiser P, Maxwell WMC. 2000. Storage of boar semen. J Anim Reprod
Sci. 62:143-172.
Kharayat NS, Chaudhary GR, Katiyar R, Balmurugan B, Patel M, Uniyal S, Raza M, Mishra
GK. 2016. Significance of Artificial Insemination in Poultry. Journal of Veterinary
Science and Technology 5(1): 1-5.
Kispert A, Gossler A. 2004. Introduction to Early Mouse Development. Di dalam: Hedrich HJ
dan Bullock G, editor. The Laboratory Mouse. United State of America: Elsevier.
Kommisrud E, Paulenz H, Sehested E, Grevle IS. 2002. Influence of boar and semen parameter
on motility and acrosome integrity in liquid boar semen stored for five days. Acta Vet
Scand. 43(1): 49-55.
Kurniawati D. 2006. Perbandingan Tingkat Keberhasilan Perkembangan Embrio Hasil
Fertilisasi In Vitro Pada Oosit Mencit (Musmusculus L.) Strain Swiss Webster
Dengan Menggunakan Spermatozoa Epididimis dan Spermatozoa Hasil
Kriopreservasi [Skripsi]. Surabaya: Jurusan Biologi Universitas Sebelas Maret.
Mc Geady TA, Quinn PJ, Fitz Patrick ES, Ryan MT. 2006. Veterinary Embryology. Oxford:
Blackwell Publishing Ltd.
Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Terjemahan:
Srigandono B dan Praseno. Jakarta: Universitas Indonesia.
Nessan GK, King GJ. 1981. Sexual behavior in ovariectomized cows treated with oestradion
benzoat and testosterone propionate. J. Reprod. 61 :171-178.
Nursyam. 2007. Perkembangan Iptek Bidang Reproduksi Ternak untuk Meningkatkan
Produktivitas Ternak. JITV 21(4): 145-152.
O’Toole MT. 2013. Mosby’s Medical Dictionary. 9th Ed. St. Louis-Missouri: Elsevier.
Puja IK, Suatha IK, Heryani LGSS, Susari NW, Setiasih NLE. 2010. Embriologi Modern. Bali:
Udayana University Press.
Purohit G. 2010. Methods of Pregnancy Diagnosis in Domestic Animal. The current status,
Webmedcentral.
Prasetya H. 2012. Prospek Cerah Beternak Sapi Perah (Pembibitan, Pemeliharaan,
Manajemen Kesehatan dan Pengolahan Susu). Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Rackis JJ. 1978. Biochemical Changes in Soybeans: Maturation, Postharvest Storage and
Processing and Germination. Dalam: Hultin, HO dan Milner M. Westport: Post-
Harvest Biology and Technology Food Nutrition.
Rouge M, Bowen R. 2002. Collection and Evaluation of Semen. Diperoleh di:
http://www.vivo.colostate.edu/hbooks/pathphys/reprod/semeneval/index.html.
Diakses pada 26 Desember 2018.
Sarastina T, Susilawati G, Ciptadi. 2006. Analisa Beberapa Parameter Motilitas Spermatozoa
pada Berbagai Bangsa Sapi Menggunakan Computer assisted Semen Analysis (casa).
Ternak Tropika 6(2): 1-12.
Santiago-Moreno J, Esteso MC, Villaverde-Morcillo S, Toledano-Diaz A, Castano C,
Velazquez R, Lopez-Sebastian A, Goya AL, Martinez JG. 2016. Recent advances in
bird sperm morphometric analysis and its role in male gamete characterization and
reproduction technologies. Asian Journal of Andrology 18: 882-888.
Santoso H. 2009. Mengelola Peternakan Sapi secara Profesional. Jakarta: Swadaya.
Sundari TW, Tagama TR dan Maidaswar. 2013. Korelasi Kadar pH Semen Segar dengan
Kualitas Semen Sapi Limousin di Balai Inseminasi Buatan. Jurnal Ilmu Peternakan
1(3):1043-1049.
Suyadi A, Rachmawati, Iswanto N. 2012. Pengaruh Α-Tocopherol yang Berbeda dalam
Pengencer Dasar Tris Aminimethane-Kuning Telur terhadap Kualitas Semen
Kambing Boer yang disimpan pada Suhu 5 0C. Jurnal Ilmi-ilmu Peternakan 22(3): 1-
8.
Suyadnya IP. 2005. Inseminasi buatan pada ternak babi. Makalah pelatihan Inseminasi
Buatan. Fapet Unud: Denpasar.
Tagama TR. 1995. Pengaruh Hormon Estrogen, Progesteron dan Prostaglandin F2α terhadap
Aktivitas Birahi Sapi PO Dara. Purwakarta: Fakutlas Peternakan Universitas Jendral
Soedirman.
Theiler K. 1989. The House Mouse: Atlas of Embryonic Development. Heidelberg: Sringer
Verlag.
Toelihere MR. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Angkasa.
Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Angkasa.
Wahyuningsih A, Saleh DM dan Sugiyatno. 2013. Pengaruh Umur Pejantan dan Frekuensi
Penampungan Terhadap Volume dan Motilitas Semen Segar Sapi Simmental Di Balai
Inseminasi Buatan Ungaran. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 947-953.
Widyastuti R, Rasad SD. 2015. Tingkat kematangan inti oosit sapi setelah penyimpanan 24
jam perservasi ovarium. Agripet 15(2): 72-77.
Yatim W. 2004. Reproduksi dan Embriologi. Bandung: Penerbit Tarsito.

Anda mungkin juga menyukai