SKENARIO 4
STEP 1
STEP 2
1. Bagaimana hubungan keluhan dan hasil pemeriksaan fisik pasien dengan hasil
labolatorium yang didapatkan?
2. Bagaimana interpretasi dari hasil labolatorium?
3. Mengapa bisa didapatkan hasil labolatorium tersebut?
4. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus?
2
STEP 3
b. Pansitopenia
- Gangguan pada stem sell yang disebabkan oleh radiasi kemoterapi,
infeksi virus, HIV dan genetic
- Gangguan lingkungan mikro sumsum tulang
- Gangguan imun yang merangsang sitokin T sehingga merangsang
Limfosit mengeluarkan IL- ɣ dan TNF-alfa sehingga merusak jaringan
yang merangsang terjadinya apoptosis atau mengakibatkan transkripsi
gen sehingga terjadi kegagalan produksi sel darah merah.
4. Penegakan diagnosis pada kasus
a. Anamnesis:
- Ulkus dimulut - pusing
- Lemah, lebit, lesu, lelah dan lunglai - takikardi
- Demam - penurunan nafsu makan
- Pucat
b. Pemeriksaan fisik
- Demam dengan suhu 38,5
- Pucat dengan konjungtiva anemis
- Hepatomegaly dan splenomegaly pada saat palpasi abdomen
c. Pemeriksaan penunjang
- Aspirasi sumsum tulang: dapat dilakukan untuk mendiagnosis anemia
aplastic
- Labolatorium darah lengkap :
MCV : hipokrom / - untuk anemia aplastic, dan keganasan
MCH dan MCHC
Hitung jenis leukosit
LED
Trombosit
Serum Iron, TIBC , dan saturasi transferrin
4
STEP 4
MIND MAP
KLASIFIKASI
PATOFISIOLOGI ANAMNESIS
ANEM IA
PENEGAKAN
PEM. FISIK
DIAGNOSIS
PEM. PENUNJANG
FARMAKOLOGI DAN
PENATALAKSANAAN
NON-FARMAKOLOGI
ETIOLOGI
STEP 5
STEP 6
BELAJAR MANDIRI
STEP 7
7
Darah adalah suatu suspensi partikel dalam suatu larutan koloid cair yang
mengandung elektrolit. Darah mempunyai fungsi penting dalam sirkulasi. Secara
umum fungsi darah adalah sebagai alat transportasi oksigen, karbondioksida, zat gizi,
dan sisa metabolisme, mempertahankan keseimbangan asam basa, mengatur cairan
jaringan dan cairan ekstra sel, mengatur suhu tubuh, dan sebagai pertahanan tubuh
dengan mengedarkan antibodi dan sel darah putih. Sel-sel darah tersebut mempunyai
8
umur tertentu, sehingga dibutuhkan pembentukan sel-sel darah baru yang disebut
hematopoesis.6
Proses ini berlangsung apabila terjadi pendarahan atau penghancuran sel, yang
terjadi pada sumsum tulang, kemudian setelah dewasa bermigrasi ke darah perifer.
Terdapat 2 stem sel yang berperan dalam pembentukan sel darah yaitu stem sel
mieloid dan stem sel limfoid. Stem sel limfoid terkait dengan thymus dimana sel
limfosit dihasilkan. Stem sel mieloid jauh lebih kompleks dari stem sel limfoid. Stem
sel mieloid sedikitnya memiliki enam garis keturunan yang berbeda yaitu garis
keturunan eritrosit, trombosit, neutrofil, eosonofil, basofil, dan monosit/makrofag.
Sel-sel ini terbentuk sebelum menjadi matang (dewasa) terjadi di sumsum tulang.
Tahap akhir garis keturunan mieloid ini terdapat dalam sel darah perifer normal. Stem
sel mieloid jauh lebih kompleks dari stem sel limfoid. Stem sel mieloid sedikitnya
memiliki enam garis keturunan yang berbeda, yaitu garis keturunan (sel darah merah)
eritrosit, trombosit, monosit, eosinofil, basofil, dan neutrofil/makrofag. Proses
terbentuknya eritrosit, trombosit, monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil sebelum
menjadi matur (dewasa) terjadi di dalam sumsum tulang. Tahap akhir dari garis
keturunan mieloid ini terdapat dalam sel darah perifer normal. Sumsum tulang dan
timus merupakan tempat pembentukan sel-sel darah. Apabila kebutuhan sel darah
dalam tubuh berkurang, timus dan sumsum tulang akan memproduksi sel-sel darah
tersebut.6
dilepaskan ke dalam rongga sinus. Proses ini terjadi pada masa prenatal (masih
dalam kandungan) dan post natal (setelah lahir).
Sejak 3 bulan sebelum kelahiran, sumsum tulang menjadi lokasi utama hematopoiesis
dan akan berlanjut sebagai sumber sel darah setelah lahir dan sepanjang kehidupan.
Proses pembentukan darah dapat terjadi di nodus limfatikus, lien, timus, hepar
apabila individu dalam keadaan patologis (sumsum tulang sudah tidak berfungsi atau
kebutuhan meningkat). Pembentukan darah di luar sumsum tulang ini disebut
hematopoiesis ekstra meduler.6
Asal mula dari seluruh sel-sel dalam sirkulasi darah berasal dari sel stem
hematopoietik pluripoten yang mempunyai kemampuan untuk pembaharuan diri dan
mampu berkembang menjadi progenitor multipoten. Selanjutnya, progenitor
multipoten akan berkembang menjadi progenitor oligopoten yakni common lymphoid
progenitor (CLP) dan common myeloid progenitor (CMP). Sel induk yang
mempunyai komitmen untuk berdiferensiasi melalui salah satu garis turunan sel dan
6
membentuk suatu jalur sel khusus disebut sel stem committed.
pertumbuhan yang penting adalah bahwa dua faktor atau lebih dapat bekerja sinergis
dalam merangsang suatu sel tertentu untuk berproliferasi atau berdiferensiasi. Kerja
satu faktor pertumbuhan pada suatu sel dapat merangsang produksi faktor
pertumbuhan lain atau reseptor faktor pertumbuhan. Faktor pertumbuhan dapat
menyebabkan proliferasi sel, tetapi juga dapat menstimulasi diferensiasi, maturasi,
menghambat apoptosis, dan mempengaruhi fungsi sel matur.6
Lahir sampai dengan 20 tahun : sel sel darah → sumsum tulang. Lebih dari 20
tahun : corpus tulang panjang berangsur – angsur diganti oleh jaringan lemak
karena produksi menurun.
Proses Eritropoesis
a) Definisi Eritropoesis
Eritropoiesis adalah proses pembentukan eritrosit yang terjadi di sumsum
tulang hingga terbentuk eritrosit matang dalam darah tepi yang dipengaruhi
dan dirangsang oleh hormon eritropoietin. Eritropoietin adalah hormon
glikoprotein yang terutama dihasilkan oleh sel-sel interstisium peritubulus
ginjal, dalam respon terhadap kekurangan oksigen atas bahan globulin plasma,
untuk digunakan oleh sel-sel induk sumsum tulang. Eritropoietin
mempercepat produksi eritrosit pada semua stadium terutama saat sel induk
membelah diri dan proses pematangan sel menjadi eritrosit. Di samping
mempercepat pembelahan sel, eritropoietin juga memudahkan pengambilan
besi, mempercepat pematangan sel dan memperpendek waktu yang
dibutuhkan oleh sel untuk masuk dalam sirkulasi.7
12
b) Siklus Eritropoesis
a. Proeritroblas
Proeritroblas merupakan sel yang paling awal dikenal dari seri eritrosit.
Proeritroblas adalah sel yang terbesar, dengan diameter sekitar 15-20µm. Inti
mempunyai pola kromatin yang seragam, yang lebih nyata dari pada pola kromatin
hemositoblas, serta satu atau dua anak inti yang mencolok dan sitoplasma bersifat
basofil sedang. Setelah mengalami sejumlah pembelahan mitosis, proeritroblas
menjadi basofilik eritroblas.7
b. Basofilik Eritroblas
e. Retikulosit
Retikulosit adalah sel-sel eritrosit muda yang kehilangan inti selnya, dan
mengandung sisa-sisa asam ribonukleat di dalam sitoplasmanya, serta masih dapat
mensintesis hemoglobin. Retikulosit dianggap kehilangan sumsum retikularnya
sebelum meninggalkan sumsum tulang, karena jumlah retikulosit dalam darah perifer
normal kurang dari satu persen dari jumlah eritrosit.Dalam keadaan normal keempat
tahap pertama sebelum menjadi retikulosit terdapat pada sumsung tulang. Retikulosit
terdapat baik pada sumsum tulang maupun darah tepi. Di dalam sumsum tulang
memerlukan waktu kurang lebih 2 – 3 hari untuk menjadi matang, sesudah itu lepas
ke dalam darah.7
f. Eritrosit
14
2. Seri Leukosit
Myelosit terdiri dari 3 jenis yaitu neutrofil, eosinofil dan basofil yang mengandung
granula spesifik yang khas. Tahapan perkembangan myelosit yaitu :
1) Mieloblas
Mieloblas adalah sel yang paling muda yang dapat dikenali dari seri
granulosit. Diameter berkisar antara 10-15µm. Intinya yang bulat dan besar
memperlihatkan kromatin halus serta satu atau dua anak inti.6
2) Promielosit
Sel ini agak lebih besar dari mielobas. Intinya bulat atau lonjong, serta anak
inti yang tak jelas.6
3) Mielosit
15
4) Metamielosit
1) Limfosit
2) Monosit
jenis , yaitu :
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan
hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks
eritrosit pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %).
Ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam folat),
serta anemia makrositik non-megaloblastik (penyakit hati, dan
myelodisplasia).7
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks
eritrosit : MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %). Penyebab anemia
mikrositik hipokrom:
Thalasemia
Normal
Anemia Sideroblastik
Hipokromik Mikrositer
Besi Serum
MCV ↓ (<80fl)
Anemia Hemolitik
ANEMIA
↑
Perdarahan Akut
Normokromik
Normositer Retikulosit
MCV Normal (80-100)
Anemia Aplastik
jarang dijumpai di Indonesia, tetapi anemia defisiensi asam folat asam folat
merupakan penyebab kedua anemia pada wanita hamil setelah defisiensi besi.1
Etiologi
Anemia megaloblastik disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 atau asam
folat. Pada wanita hamil anemia defisiensi asam folat paling sering
disebabkan karena faktor nutrisi, karena cadangan asam folat tubuh jauh lebih
rendah dibandingkan dengan cadangan vitamin B12.1
Patofisiologi
Penegakan Diagnosis
Diagnosis anemia megaloblastik dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan
klinik di mana terjadi anemia, makrositer pada darah tepi ya disertai sel
megaloblast dalam sumsum tulang. Pada defisiensi vitamin B12 dijumpai
gejala neurologik, sedangkan pada defisiensi asam folat tidak dijumpai gejala
neurologik.1
Uji Schilling untuk anemia defisiensi B12 dilakukan dengan diberikan
vitamin B12 terlabel radioisotope kobalt per-oral. Hasil uji yang normal
menunjukan setidaknya 5% dari vitamin B12 terlabel radioisotope dijumpai
dalam urin selama 24 jam pertama. Pada pasien dengan defisiensi B12 karena
penyerapannya terganggu, vitamin B12 terlabel radioisotop dalam urin
terdeteksi kurang dari 5%.1
Pemeriksaan kadar asam folat intrasel sel darah merah dan serum dapat
dilakukan pada anemia defisiensi asam folat. Rentang normal untuk kadar
folat serum sekitar 2,7-17,0 ng/ml. Jika didapatkan nilai folat serum <1,4
ng/ml biasanya menunjukan asupan folat yang tidak memadai.1
Tatalaksana
Terapi utama anemia defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam folat
adalah terapi ganti dengan vitamin B12 atau asam folat meskipun demikian
terapi kausal dengan perbaikan gizi dan lain-lain tetap harus dilakukan.1
(3) Respons terhadap terapi: Retikulosit mulai naik hari 2-3 dengan puncak
pada hari 7-8. Hb harus naik 2-3 g/dl tiap 2 minggu. Neuropati biasanya
dapat membaik, tetapi kerusakan medulla spinalis biasanya ireversibel.1
B. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia
(AIHA) merupakan salah satu penyakit di bidang hematologi yang terjadi
akibat reaksi autoimun. AIHA termasuk penyakit yang jarang, namun
merupakan penyakit yang sangat penting karena bisa menyebabkan kematian.
Etiologi
a) Faktor Intrinsik :
Yaitu kelainan yang terjadi pada metabolisme dalam eritrosit itu
sendiri sel eritrosit. Kelainan karena faktor ini dibagi menjadi tiga macam
yaitu:
3) Hemoglobinopatia
Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari
hemoglobinnya (95%), kemudian pada perkembangan selanjutnya
konsentrasi HbF akan menurun, sehingga pada umur satu tahun
telah mencapai keadaan yang normal Sebenarnya terdapat 2
golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin ini, yaitu:
Gangguan struktural pembentukan hemoglobin
(hemoglobin abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-lain
Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai globin.
Misal talasemia
b) Faktor.Ekstrinsik.:
Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.
Akibat reaksi non imumitas : karena bahan kimia / obat
Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh
antibodi yang dibentuk oleh tubuh sendiri.
Infeksi, plasmodium, boriella
Patofisiologi
Hemolisis adalah acara terakhir dipicu oleh sejumlah besar diperoleh turun-
temurun dan gangguan. etiologi dari penghancuran eritrosit prematur adalah
beragam dan dapat disebabkan oleh kondisi seperti membran intrinsik cacat,
abnormal hemoglobin, eritrosit enzimatik cacat, kekebalan penghancuran
eritrosit, mekanis cedera, dan hypersplenism. Hemolisis dikaitkan dengan
pelepasan hemoglobin dan asam laktat dehidrogenase (LDH). Peningkatan
bilirubin tidak langsung dan urobilinogen berasal dari hemoglobin
dilepaskan.
Seorang pasien dengan hemolisis ringan mungkin memiliki tingkat
hemoglobin normal jika peningkatan produksi sesuai dengan laju kerusakan
eritrosit. Atau, pasien dengan hemolisis ringan mungkin mengalami anemia
ditandai jika sumsum tulang mereka produksi eritrosit transiently dimatikan
25
oleh virus (Parvovirus B19) atau infeksi lain, mengakibatkan kehancuran yang
tidak dikompensasi eritrosit (aplastic krisis hemolitik, di mana penurunan
eritrosit terjadi di pasien dengan hemolisis berkelanjutan). Kelainan bentuk
tulang tengkorak dan dapat terjadi dengan ditandai kenaikan hematopoiesis,
perluasan tulang pada masa bayi, dan gangguan anak usia dini seperti anemia
sel sabit atau talasemia.
Manifestasi Klinis
Kadang – kadang Hemolisis terjadi secara tiba- tiba dan berat, menyebabkan
krisis hemolotik, yang menyebakan krisis hemolitik yang di tandai dengan:
Demam
Mengigil
Nyeri punggung dan lambung
Perasaan melayang
Penurunan tekana darah yang berarti
Secara mikro dapat menunjukan tanda-tanda yang khas yaitu:
b. Perubahan metabolisme bilirubin dan urobilin yang merupakan hasil
pemecahan eritrosit. Peningkatan zat tersebut akan dapat terlihat pada
hasil ekskresi yaitu urin dan feses.
c. ada karena hemoglobin terikat pada eritrosit. Pemecahan eritrosit yang
berlebihan akan membuat hemoglobin dilepaskan kedalam plasma.
Jumlah hemoglobin yang tidak dapat diakomodasi seluruhnya oleh
sistem keseimbangan darah akan menyebabkan hemoglobinemia.
d. Hemoglobinemia : adanya hemoglobin dalam plasma yang seharusnya
tidak
e. Masa hidup eritrosit memendek karena penghancuran yang berlebih.
f. Retikulositosis : produksi eritrosit yang meningkat sebagai
kompensasi banyaknya eritrosit yang hancur sehingga sel muda seperti
retikulosit banyak ditemukan.
26
Pemeriksaan Diagnostik
a. Gambaran penghancuran eritrosit yang meningkat
Bilirubin serum meningkat
Urobilinogen urin meningkat, urin kuning pekat
Strekobilinogen feses meningkat, pigmen feses menghitam
b. Gambaran peningkatan produksi eritrosit
Retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital
hiperplasia eritropoesis sum-sum tulang
c. Gambaran rusaknya eritrosit:
morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell, hipokrom
mikrositer, target cell, sickle cell, sferosit.
fragilitas osmosis, otohemolisis
umur eritrosit memendek. pemeriksaan terbaik dengan labeling
crom. persentasi aktifikas crom dapat dilihat dan sebanding dengan
umur eritrosit. semakin cepat penurunan aktifikas Cr maka semakin
pendek umur eritrosit.
Penatalaksanaan / Pengobatan
Lebih dari 200 jenis anemia hemolitik ada, dan tiap jenis memerlukan
perawatan khusus. Oleh karena itu, hanya aspek perawatan medis yang
relevan dengan sebagian besar kasus anemia hemolitik yang dibahas di sini.
a. Terapi transfusi
Hindari transfusi kecuali jika benar-benar diperlukan, tetapi
mereka mungkin penting bagi pasien dengan angina atau
cardiopulmonary terancam status.
Administer dikemas sel darah merah perlahan-lahan untuk
menghindari stres jantung.
Pada anemia hemolitik autoimun (AIHA), jenis pencocokan
dan pencocokan silang mungkin sulit. Gunakan paling tidak
kompatibel transfusi darah jika ditandai.. Risiko hemolisis akut
27
Klasifikasi
Patofisiologi
Manifestasi Klinik
Manifestasi Klinik
Gambaran Laboratorium
Terapi
D. Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang
ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang.4 Pada
anemia aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang
sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia,
monositopenia dan trombositopenia.9 Istilah anemia aplastik sering juga
digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh
sebab apapun. Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia
progressif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia
hipoplastik dan anemia paralitik toksik.1
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia.
Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti
penyebabnya tidak diketahui.4,11 Anemia aplastik dapat juga terkait dengan
infeksi virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2).
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
35
Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi
dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA
dimana jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan
hematopoiesis sangat sensitif.4,12 Bila stem sel hematopoiesis yang terkena
maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma
sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis.2
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan
luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi
dapat digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda
kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai
sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh
tubuh efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum
tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau
100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel
pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel
yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien
dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis radiasi 5
sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan
jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia
aplastik.13
Bahan-bahan Kimia
Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat
berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada
seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia
aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan
adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan
sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea.2
Anti mikroba
β-lactam antibiotik
Alkylating Busulfan,
agen cyclophosphamide,
melphalan, nitrogen
mustard
Antibiotik Daunorubisin,
Sitotoksik doxorubisin,
mitoxantrone
metiprilon
Hipoglikemik Klorpropamide,
tolbutamide
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang
disebut resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia
aplastik merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang
merupakan resiko rendah.
Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis,
virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab
yang paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan
setelah terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan
hepatitis akan tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan
dengan anemia aplastik.. Parvovirus B19 dapat menyebabkan krisis aplasia
39
Faktor Genetik
Patogenesis
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat
disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-
agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan
inhibisi sintesis DNA dan RNA. Kehancuran hematopoiesis stem sel yang
dimediasi sistem imun mungkin merupakan mekanisme utama patofisiologi
anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya
T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan
41
Jenis Keluhan %
Pendarahan 83
Lemah badan 80
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
42
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada
tabel 1.6 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti
sedangkan pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien.
Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian
kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun.
Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.2
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan.
Anemia yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai
43
Pemeriksaan Radiologik
Diagnosa
Diagnosa Banding
Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan
pansitopenia perifer.
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis
46
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu
sindrom myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus
sindroma myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri
dapat membedakan anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu
pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal (misalnya
poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Hüet), prekursor
eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran
disformik serta sideroblast yang patologis lebih sering ditemukan pada
myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu, prekursor granulosit
dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat
menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit
unilobuler). Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia
aplastik yaitu dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel
blast atau dengan adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang.
Leukemia akut juga biasanya disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan
hipertrofi gusi. Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia
aplastik. Hairy cell leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan
adanya splenomegali dan sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.14
Penatalaksanaan
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu
transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin
dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid.9 Terapi standar
untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang.
Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling
donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus
dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya
mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD
(Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai
komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat
dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik.15
48
Pengobatan Suportif15
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed
red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan
pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3.
Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit
dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit
donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan
pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor
diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).
Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte
globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A
(CSA). ATG atau ALG diindikasikan pada15 :
Anemia aplastik bukan berat
Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
49
Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat
pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan
granulosit lebih dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin
melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan
stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.15
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi
alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid.15 Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan
menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik. 15 Sebuah
protokol pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 8.11
kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau lebih
mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan bila terdapat
kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati.
Peningkatan neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama.
Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-
satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi
imunosupresif telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus
yang refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan
hitung darah pada beberapa pasien. Steroid anabolik seperti androgen dapat
merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel induk sumsum tulang.
Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk ringan dan pada anemia
aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi
penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.9,15
Prognosis
e. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung
buatan. Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)
kehilangan besi melaui urin rata-rata 1,8 – 7,8 mg/hari.
f. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak bisa diambil darah vena untuk pemeriksaan
laboratorium berisiko untuk menderita ADB.
g. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan
paru yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang
hilang timbul. Keadaan ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun
drastis hingga 1,5 – 3 g/dl dalam 24 jam.
Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang
berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap
akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang. Pada tabel berikut 3 tahap
defisiensi besi, yaitu:
1. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin
dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi
peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan
pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.
2. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau
iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk
menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai
besi serum menurun dan saturasi transferin menurun, sedangkan TIBC
meningkat dan free erythrocyte porphrin (FEP) meningkat.
3. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi
bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran tepi darah didapatkan
58
mikrositosis dan hipokromik yang progesif. Pada tahap ini telah terjadi
perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.
Manifestasi Klinis
Kebanyakan anak-anak dengan defisiensi besi tidak menunjukkan gejala dan baru
terdeteksi dengan skrining laboratorium pada usia 12 bulan.
Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi rapuh dan
bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip dengan sendok.
Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah tampak licin
dan mengkilap yang disebabkan oleh menghilangnya papil lidah
Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak
sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel hipofaring.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada defisiensi besi yang progresif akan terjadi perubahan pada nilai hematologi
dan biokimia. Hal yang pertama terjadi adalah menurunnya simpanan besi pada
jaringan. Penurunan ini akan ditunjukkan melalui menurunnya serum ferritin, sebuah
protein yang mengikat besi dalam tubuh sebagai simpanan. Kemudian jumlah serum
besi akan menurun, kapasitas pengikatan besi dari serum (serum transferrin) akan
meningkat, dan saturasi transferrin akan menurun di bawah normal. Seiring dengan
menunrunnya simpanan, besi dan protoprofirin akan gagal untuk membentuk heme.
Free erythrocyte protoporphyrins (FEP) terakumulasi, dan kemudian sintesis
hemoglobin terganggu. Pada titik ini, defisiensi besi berlanjut menjadi anemia
defisiensi besi. Dengan jumlah hemoglobin yang berkurang pada tiap sel, sel merah
menjadi lebih kecil. Perubahan morfologi ini paling sering tampak beriringan dengan
berkurangnya mean corpuscular volume (MCV) dan mean corpuscular hemoglobin
(MCH). Perubahan variasi ukuran sel darah merah terjadi dengan digantikkannya sel
normositik dengan sel mirkositik, variasi ini ditunjukkan dari peningkatan red blood
cell distribution width (RDW). Jumlah sel darah merah juga akan berkurang. Jumlah
persentase retikulosit akan meningkat sedikit atau dapat normal. Sapuan darah akan
menunjukkan sel darah merah yang hipokrom dan mikrositik dengan variasi sel yang
tetap. Bentuk sel darah elips atau seperti cerutu sering terlihat. Deteksi peningkatan
reseptor transferrin dan berkurangnya konsentrasi hemoglobin retikulosit mendukut
terhadap penegakkan diagnosis.
Diagnosis
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 atau 3 kriteria (ST, feritin serum, dan FEP
harus dipenuhi).
Penatalaksanaan
besi elemental sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan
meninmbulkan efek samping pada saluran pencernaan dan tidak memberikan
efek penyembuhan yang lebih cepat. Absropsi besi yang terbaik adalah pada
saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi dapat
menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut
pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan
meskipun akan mengurangi absropsi obat sekitar 40 – 50%. Obat diberikan
dalam 2 – 3 dosis sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat
diterima tubuh dan akan meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat besi ini
harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi.
Respon terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari
pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada tabel dibawah ini:
3. Transfusi darah
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada
keadaan anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dpaat
mempengaruhi respon terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak
perlu secepatnya, malah akan membahayakan karena dapat menyebabkan
hipervolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan
dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman
sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum, untuk penderita anemia
berat dengan kadar Hb < 4 g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2 – 3
mg/kgBB persatu kali pemberian.
F. Thalassemia
Talasemia adalah kelainan yang diturunkan (diwariskan) karena mutasi yang
menyebabkan penurunan sintesis rantai α atau β-globin. Akibat mutasi ini
terjadi kekurangan Hb dan juga perubahan pada sel darah merah karena
kelebihan rantai globin yang tidak mengalami kelainan. Mutasi yang
menyebabkan talasemia banyak ditemukan di Mediterania, Afrika, dan Asia,
tempat malaria bersifat endemik. Seperti pada HbS dapat diperkirakan bahwa
mutasi globin yang berkaitan dengan talasemia bersifat protektif terhadap
malaria falsiparum. 9
Patofisiologi
Yang mendasari terjadinya talasemia ialah kurangnya α-globin dan β-globin.
Seperti sudah dibahas sebelumnya, hemoglobin dewasa atau HbA adalah
tetramer yang terdiri atas dua rantai-α dan dua rantai-β. Rantai-α disandi oleh
dua gen α-globin yang terletak berpasangan pada kromosom II sedangkan
rantai-β disandi oleh satu gen β-globin tunggal yang terletak pada kromosom
16. Gambaran klinis sangat bervariasi, bergantung pada kombinasi alel yang
bermutasi yang dibawa oleh penderita. 8
Pada sekuensi gen talasemia-β ditemukan lebih dari 100 jenis mutasi yang
bersifat penyebab penyakit dan sebagian besar berupa perubahan pada satu
basa tunggal. Orang yang membawa satu alel abnormal disebut talasemia-β
minor juga disebut sebagai pembawa sifat talasemia-β (β-thalassemia trait)
yang tidak ada gejala penyakit atau gejala penyakitnya ringan. Sebagian besar
individu yang mewarisi dua alel β0 dan β+ adalah penderita talasemia-β
mayor. Terkadang orang mewarisi alel dua β+ dengan gejala sedang disebut
talasemia-β menengah (β-thalassemia intermedia). Sangat berbeda dengan
talasemia α delesi gen jarang terjadi pada talasemia-β. Mutasi yang
menentukan talasemia-β, mengganggu sintesis β globin dengan berbagai cara:
Perjalanan Klinis
Talasemia-β minor dan pembawa sifat talasemia-α (akibat hilangnya 2
gen α-globin) seringkali tidak menunjukkan gejala. Biasanya hanya berupa
anemia mikrositik, hipokromik ringan, dan pada umumnya umur penderita
normal. Anemia defisiensi besi, dengan gambaran sel darah merah yang mirip
harus dibedakan dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat.
Thalasemia-β mayor terlihat setelah lahir berupa penurunan sintesis
HbF. Anak-anak yang terkena menderita pertumbuhan terhambat yang dimulai
pada masa bayi. Mereka dipertahankan hidup dengan transfusi darah berulang,
yang dapat memperbaiki anemia dan mengurangi deformitas tulang yang
berkaitan dengan eritropoiesis yang berlebihan. Dengan transfusi saja mungkin
penderita bisa bertahan hidup sampai dekade kedua atau ketiga, tetapi lambat
laun terjadi kelebihan zat besi akibat penyerapan zat besi dari usus tidak wajar
dan kelebihan zat besi dari sel darah merah yang ditransfusikan. Apabila
penderita tidak diobati secara agresif dengan obat kelasi besi, terjadi kelainan
fungsi jantung akibat hemokromatosis sekunder yang tidak dapat dihindari dan
68
Gambar 1.9 Apusan sel darah tepi pada thalassemia minor, pada gambar menunjukkan
mikrositik (M), sel target (T) dan poikilositosis.
Gambar 2.1 Apusan sel darah tepi pada thalassemia mayor, pada gambar menunjukkan
mikrositosis (M), anisopoikilositosis (P), sel target (T).
Tabel 2.4 Indikasi defisiensi kadar besi Alpha dan Beta Thalassemia.
70
Penatalaksanaan
Hb <7 g/dl disertai dengan splenomegali masif : pada kondisi ini splenektomi
merupakan pilihan. Imunoprofilaksis prasplenektomi merupakan keharusan,
mencakup:
(a) vaksinasi antimeningokokus
(b) vaksinasi antihemophilus influenza
(c) pasca splenektomi diberikan antibiotika profilaksis antibiotik penisilin
oral.
Definisi
Etiologi
Laporan dan data yang didapat dari penyakit tuberculosis, abses paru,
endokarditis bakteri subakut, osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HIV
telah membuktikan bahwa anemia berkaitan dengan hampir semua infeksi
supuratif kronis. Untuk terjadinya anemia, diperlukan waktu sekitar satu
hingga dua bulan setelah infeksi terjadi pada pasien. Derajat anemia yang
diderita sebanding dengan berat ringannya gejala, seperti demam, penurunan
berat badan, dan debilitas umum.
Epidemiologi
Patofisiologi
b) Penghancuran eritrosit
Beberapa penilitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek
pada sekitar 20-30 % pasien. Defek ini terjadi pada ekstrakorpuskuler,
karena bila eritrosit pasien ditransfusikan ke resipien normal, maka dapat
hidup normal. Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan peningkatan
daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter limpa,
menjadi kurang toleran terhadap perubahan/kerusakan minor dari
eritrosit.
c) Produksi eritrosit
74
Diagnosis
Anemia tersebut disebut sebagai anemia pada penyakit kronis hanya apabila
anemia yang terjadi adalah :
1. anemia sedang
2. selularitas sumsum tulang normal
3. kadar besi serum rendah
4. TIBC (Total Iron Binding Capacity) rendah
5. kadar besi dalam makrofag dan sumsum tulang normal ataupun meningkat
6. feritin serum yang meningkat
75
Apabila kriteria tersebut tidak terpenuhi maka anemia tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai anemia pada penyakit kronis, meskipun banyak pasien
dengan infeksi kronis, inflamasi dan keganasan menderita anemia. Karena
anemia yang terjadi umumnya dengan derajat yang ringan dan sedang,
gejalanya seringkali tertutup oleh gejala dari penyakit dasarnya dan kadar Hb
sekitar 7-11 gr/dL juga umumnya asimtomatik. Meskipun demikian, apabila
demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas transport O2
jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan
sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik, biasanya hanya ditemukan konjungtiva
yang pucat tanpa adanya kelainan yang khas dari anemia dan diagnosis
biasanya hanya bergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium.2
Penatalaksanaan
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah dengan mengobati penyakit
dasarnya. Terdapat juga beberapa pilihan untuk menangani anemia pada
penyakit kronis, diantaranya yaitu :
1) Transfusi
Transfusi merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai dengan
dengan gangguan hemodinamik. Beberapa literature menyebutkan bahwa
pasien anemia pada penyakit kronik yang disertai infark miokard, transfusi
dapat mengurangi resiko kematian secara bermakna. Tidak ada batasan yang
pasti pemberian transfusi harus dilakukan pada kadar hemoglobin berapa,
namun sebaiknya kadar hemoglobin pada pasien dipertahankan pada 10-11
gr/dL.
2) Eritropoietin
Selain untuk menghindarkan pasien dari transfusi beserta efek
sampingnya, pemberian eritropoietin juga mempunyai beberapa keuntungan,
yaitu:
a. Mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi dari
TNF-α dan interferon-γ.
76
DAFTAR PUSTAKA
1. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee
GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 9 th ed. Philadelpia-
London: Lee& Febiger, 1993;911-43.
2. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI,
2001;501-8.
3. Bakshi S. Aplastic Anemia. Available in URL: HYPERLINK
http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm
4. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic
Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.
5. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia.
Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp
6. Supandiman I. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik
2003. Jakarta. Q-communication, 1997;6.
7. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-101
8. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia.
Available in URL: HYPERLINK http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
9. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William
Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
10. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow
failure disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al
(eds). Post Graduate Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing,
2005;190-206.
78