Anda di halaman 1dari 27

RESUME CR

KASUS 3

NAMA : Dina Mutiara Hani


NPM : 119170041
KELOMPOK : 6A
BLOK : 5.1

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2021
SKENARIO CR 3

Seorang laki-laki usia 48 tahun datang ke dokter umum dengan keluhan badan terasa
lemas dan kepala pusing.

STEP 1

Keluhan utama : badan terasa lemas dan kepala pusing.

STEP 2

BADAN TERASA
KEPALA PUSING
LEMAS
Anemia defisiensi besi Polisitemia
Anemia aplastic
Leukemia granulositik Anemia defisiensi
kronis
asam folat
Leukemia mielositik c Anemia penyakit
akut
kronis
Multiple Myeloma
Thalasemia c
STEP 3

A. Badan Terasa Lemas


1. Leukemia Granulositik Kronis
a. Definisi
Leukemia granulositik kronik (LGK) merupakan penyakit mieloproliferatif yang
ditandai dengan produksi berlebihan seri granulosit.
b. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh adanya translokasi resiprokal antara lengan Panjang
kromososm 9 dengan lengan Panjang kromosom 22. Gabungan antara gen ABL
yang terdapat pada lengan Panjang kromosom 9 dengan gen BCR yang terdapat
pada lengan Panjang kromosom 22 (BCR-ABL) diduga kuat sebagai penyebab
utama terjadinya kelainan proliferasi pada penyakit ini
c. Manifestasi klinis
- Fase kronis: pembesaran limpa/hati, merasa cepat kenyang, nyeri pada perut
kiri atas. Gambaran hipermetabolisme yang terjadi akibat proliferasi sel-sel
leukemia dapat bermanifestasi sebagai rasa cepat Lelah, badan terasa lemas,
demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam dan penurunan berat badan.
Splenomegaly merupakan manifestasi klinis yang paling sering
- Fase akselerasi. Leukositosis yang sulit dikontrol oleh obat-obatan
mielosupresif, myeloblast di perifer berkisar antara 15-30%, promielosit
>30% dan trombosit <100.000/mm3. Secara klinis fase ini dapat diduga
apabila Kembali terjadi pembesaran pada limpa yang tadinya sudah mengecil
dengan pemberian obat-obat mielosupresif, keluhan anemia bertambah berat,
timbul petekie dan ekimosis
- Fase krisis blast. Memiliki manifestasi klinis seperti leukemia akut (infeksi,
perdarahan hebat, leukostasis). Sel blast ≥ 20%. Dapat ditemukan neutrophil
hiposegmentasi (pelger-huet anomali)
d. Penegakkan diagnosis
- Hematologi rutin:
 Leukositosis (umumnya antara 20.000-60.000/mm3)
 Peningkatan persentase eosinophil dan basophil
 Kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun
 Trombosit berkisar 500.000-600.000/mm3, pada beberapa kasus dapat
normal atau trombositopenia
- Apusan darah tepi
 Polikromatofil
 Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit
 Peningkatan persentasi sel mielosit, metamielosit, basophil dan
eosinophil
- Apusan sumsum tulang
 Gambaran hiperselular
 Peningkatan jumlah megakariosit
- Karyotyping : hilangnya Sebagian lengan Panjang kromosom 22 (kromosom
Philadelphia/Ph)
- Sitogenetika FISH : ditemukan translokasi resiprokal antara lengan Panjang
kromosom 22 dengan lengan Panjang kromosom 9.
e. Tatalaksana
- Hydroxyurea, merupakan terapi pilihan untuk induksi remisi hematologi.
Dosis 30 mg/KgBB/hari peroral, diberikan dosis tunggal atau dibagi dalam 2-
3 dosis.
- Busulfan, dosis 4-8 mg/hari peroral, maksimal 12 mg/hari. Terapi harus
dihentikan apabila leukosit berkisar antara 10.000-20.000/mm3 dan dimulai
Kembali serelah leukosit > 50.000/mm3. Busulfan berkontraindikasi dengan
ibu hamil
- Imatinib mesylate, untuk mencapai remisi hematologic, remisi sitogenetik,
dan remisi biologis molecular.
- Interferon alfa, untuk mencapai remisi sitogenetik
- Cangkok sumsum tulang merupakan terapi definitive LGK
2. Leukemia Mielositik Akut
a. Definisi
LMA merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastic dan
gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri myeloid.
b. Etiologi dan factor risiko
Pada Sebagian besar kasus, etiologi LMS tidak diketahui. Namun demikian
terdapat beberapa hal yang diketahui sebagai factor risiko terjadinya LMA
diantaranya yaitu benzene, Riwayat radiasi ionic, Riwayat kemoterapi sitotoksik,
merokok, Riwayat penyakit darah sebelumnya seperti sindrom mielodisplasia.
c. Manifestasi klinis
- Sindrom kegagalan sumsum tulang meliputi rasa Lelah (karena anemia),
perdarahan (karena trombositopenia), dan infeksi (karena leukopenia)
- Perdarahan biasanya ditemukan sebagai petekie atau purpura pada ekstremitas
bawah, epistaksis, perdarahan gusi, dan retina.
- Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah perirectal
- Leukositosis hanya terjadi pada sekitar 50% kasus LMA
- Gumpalan leukosit menyumbat pembuluh darah dapat terjadi pada pasien
dengan leukosit > 100.000/mm3
- Gejala yang sering muncul adalah gangguan kesadaran, sesak napas dan nyeri
dada.
- Infiltrasi sel blast ke kulit akan menimbulkan leukemia kutis berupa benjolan
tidak berpigmen ranpa rasa sakit, ke jaringan lunak akan menyebabkan nodul
dibawah kulit (kloroma), ke tulang akan menyebabkan nyeri tulang dan ke
gusi akan menyebabkan pembengkakan pada gusi
d. Penegakkan diagnosis
- Pemeriksaan morfologi sel dan pewarnaan sitokimia mengklasifikasikan
LMA menjadi 8 subtipe (M0-M7)
- Pewarnaan sitokimia: sudan black B (SBB) dan mieloperoksidase (MPO)
memberikan hasil positif pada LMA tipe M1, M2, M3, M4 dan M6
- Pada pemeriksaan mikroskopik didapatkan adanya Auer rods (kristal granul
yang bersatu)
e. Tatalaksana
Tatalaksana dapat berupa kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok
sumsum tulang serta terapi suportif, seperti pemberian antibiotic dan transfuse
komponen darah, bila diperlukan. Pasien dengan LMA sebaiknya dirujuk ke
poliklinik hemato-onkologi untuk mendapatkan penatalaksanaan lebih
komprehensif.
f. Komplikasi
- Sindrom lisis tumor
- Infeksi sepsis
- Leukostasis
B. Badan Terasa Lemas + Kepala Pusing
1. Anemia Defisiensi Besi (ADB)
a. Definisi
Anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis
akibat cadangan besi kosong  pembentukan hb berkurang
b. Etiologi
- Factor nutrisi : rendahnya masukan besi dari makanan atau kualitas besi
yang tidak baik (makanan banyak serta, rendah vit.c, dan rendah daging)
- Gangguan penyerapan : gastrektomi, atau colitis kronik
- Kehilangan besi akibat perdarahan menahun
- Kebutuhan besi meningkat : prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan
dan kehamilan
c. Factor risiko
- Ibu hamil
- Remaja putri
- Status gizi berkurang
- Factor ekonomi kurang
- Infeksi kronik
- Vegetarian
d. Penegakkan diagnosis
Anamnesis
- 5L : lemah, lesu, letih, Lelah
- Penglihatan berkunang-kunang
- Pusing
- Telinga berdenging
- Penurunan konsentrasi
- Sesak napas
- Perempuan : masa menstruasi
Pemeriksaan fisik
- Konjungtiva anemis
- Mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan dibawah kuku pucat
- Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
- Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
- Stomatitis angularis : peradangan pada sudut mulut  tampak sebagai
bercak berwarna pucat keputihan

- Koilonikia : kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical dan menjadi cekung


(kuku sendok)

Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan darah :
 Hb. Nilai rujukan kadar Hb normal menurut WHO :

Laki – laki >13 g/dL

Perempuan >12 g/dL

Perempuan hamil >11 g/dL

 Ht
 Leukosit
 Trombosit
 Jumlah eritrosit
 Apusan darah tepi : anemia mikrositik hipokrom, anisositosis, dan
poikilositosis, pencil cell (+), ring cell

 MCV (Mean Corpuscular Volume) : < 80 fl 


 MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) : 
 MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) : <31%  pada
defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama
 Feses rutin : untuk mencari telur cacing tambang
 Serum ion :  < 50 mg/dL
 TIBC (Total Iron Binding Capacity) : >350 mg/dL 
 Saturasi transferrin : <15%
 Ferritin serum : <12 mg/l
e. Tatalaksana
Farmakologis
- Sulfas ferrosus : 3x200 mg selama 4 minggu  kenaikan kadar Hb >2 g/dl
- Vit. C : 3x100 mg/hari untuk meningkat absorpsi besi
Non-farmakologis
- Diet makanan bergizi dengan tinggi protein (daging, senyawa sitrat,
fruktosa, asam askorbat). Sebaiknya diberikan saat lambung kosong
2. Anemia Aplastic
a. Etiologi

Toksisitas langsung Penyebab yang diperantai imun

Iatrogenic : radiasi, kemoterapi Iatrogenic : transfussin – associated g


raft – versus – host diasease
Benzene Fasciitis eosinofilik

Metabolit intermediate beberapa jensis obat Penyakit terkait hepatitis

Kehamilan

Metabolit intermediate beberapa jeni


s obat

Anemia aplastic ideopatik

b. Penegakkan diagnosis
Anamnesis
- Kelelahan
- Sesak napas
- Jantung berdebar-debar
- Rentan terhadap infeksi
- Sakit kepala, pusing
- Penglihatan kabur
- Riwayat keluarga sitopenia
- Perdarahan : kulit, gusi, retina, hidung, saluran cerna, vagina
- Badan lemah
- Demam
- Napsu makan berkurang
- Telinga berdengung
Pemeriksaan fisik
- Mudah memar, dan perdarahan mukosa
- Asimptomatik
- Pucat
- Demam
- Hepatomegaly
Pemeriksaan penunjang
- Darah tepi : normokrom normositer
- Pansitopenia disertai hiposelularitas sumsum tulang
- LED :  >100 MM/1 jam pertama
- Faal hemostasis : waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk
karena trombositopenia
- Biopsy sumsum tulang : hiposeluler, banyak terisi lemak

c. Tatalaksana
- Pasien dengan hitung neutrophil yang sangat rendah  transplantasi
sumsum tulang (TST)
- Pasien berusia >20 tahun dengan hitung neutrophil 200-500/mm 3  terapi
imunosupresi : ATGam dosis 20 mg/kgBB/hari selama 4 hari, CsA 12-15
mg/kgBB

3. Anemia Defisiensi Asam Folat


a. Definisi
Merupakan bagian dari anemia megaloblastic, yaitu anemia makrositik ditandai
dengan adanya peningkaran ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh
adanya abnormalitas hematopoiesis akibat gangguan sintesis DNA.
b. Etiologi
- Asupan yang tidak adekuat
- Keperluan yang meningkat, misalnya pada bayi, kehamilan, pasiem
hemodialisis
- Malabsorbsi
- Obat-obatan
c. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis anemia defisiensi asam folat hamper serupa dengan anemia
megaloblastic lainnya, yaitu keluhan anemia umum 5L, nyeri kepala ringan,
pucat; diare, glossitis, dan keilosis. Berbesa dengan defisiensi vitamin B12 pada
anemia defisiensi asam folat tidak ditemukan abnormalitas neurologic
d. Penegakkan diagnosis
Anemia defisiensi asam folat ditegakkan apabila ditemukkan penurunan kadar
Hb dan penurunan kadar folat serum. Profil hematologic pada anemia defisiensi
asam folat adalah sebagai berikut:
- Pada pemeriksaan apusan darah tepi, ditemukan sel-sel darah merah yang
besar (makrositik), MCV>100 fl, dan neutrophil hipersegmentasi
- Kadar asam folat serum < 4 ng/mL secara umum dipertimbangkan untuk
diagnosis defisiensi asam folat
e. Tatalaksana
Suplementasi asam folat 1 mg/hari peroral. Dosis tinggi hingga 5 mg perhari
mungkin diperlukan pada defisiensi asam folat yang disebabkan oleh
malabsorbsi.
f. Komplikasi
- Menyebabkan hiperhomosisteinemia yang berhubungan erat dengan
penyakit aterosklerosis seperti CAD dan stroke
- Pada ibu hamil dapat menyebabkan aborsi spontan
- Malformasi kongenital
- Keterlambatan berbicara pada anak yang dilahirkan

4. Anemia Penyakit Kronis


a. Definisi
Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis
maupun keganasan
b. Etiologi
- TBC
- Abses paru
- Endocarditis bakteri subakut
- Osteomyelitis
- Infeksi jamur kronis
- HIV/AIDS
- Kanker
c. Penegakkan diagnosis
Anamnesis
Karena anemia yang terjadi umumnya ringan dan sedang  gejalanya tertutup
oleh gejala penyakit dasarnya
Pemeriksaan fisik
- Konjungtiva pucat
Pemeriksaan penunjang
- Hb : 7 – 11 g/dL  asimtomatik
- Fe serum :  (hipoferemia)
- Transferrin :   saturasi Fe lebih tinggi daripada anemia defisiensi besi
- TIBC : 
- Ferritin : 
- Apus darah tepi : umumnya normositik normokromik, kasus yang sangat
kronis  mikrositik hipokromik
- MCHC : <31 g/dL
- MCV : 80 fl
- Retikulosit :  sedikit atau normal
- Leukosit dan trombosit : tergantung penyakit dasarnya
d. Tatalaksana
Terapi utama : mengobati penyakit dasarnya
- Transfuse
Jika disertai gangguan hemodinamik. Pada anemia akibat kanker, sebaiknya
kadar Hb dipertahankan 10-11 gr/dL
- Eritropoietin
Mempunyai efek anti inflamasi dengan menekan produksi TNF- dan
interferon-
C. Kepala Pusing
1. Polisitemia
a. Definisi
Polisitemia atau eritrositosis merupakan peningkatan jumlah sel darah merah
dalam sirkulasi. Peningkatan nilai hematokrit tersebut bersifat persisten > 2
bulan.
b. Klasifikasi
c. Penegakkan diagnosis
Pada pasien dengan polisitemia, evaluasi pertama kali adalah dengan
menanyakan riwayat penyakit secara lengkap. Hal penting yang harus diketahui
adalah penyakit penyerta, obat-obat yang rutin digunakan, kebiasaan, dan
riwayat keluarga. Pasien umumnya datang asimptomatik atau dirujuk saat
pemeriksaan kesehatan rutin. Keluhan awal yang dirasakan oleh pasien
umumnya nonspesifik seperti pusing akibat hiperviskositas darah. Pada kondisi
tertentu, pasien dapat mengeluhkan gejala yang mengganggu seperti nyeri dada
atau nyeri perut. Berbagai gejala dan tanda terkait hiperviskositas dapat dilihat
pada Tabel 2. Pasien juga kadang mengeluhkan urtikaria, terutama pada
polisitemia vera. Pada riwayat penyakit juga harus diketahui penyakit jantung
atau paru yang dapat mengakibatkan hipoksemia. Gangguan tidur di malam hari
serta kebiasaan mengorok mengarahkan kepada OSAS (obstructive sleep apnoea
syndrome).
d. Tatalaksana
1. Multiple Myeloma
a. Pendahuluan
Multiple myeloma (MM) merupakan keganasan sel plasma yang ditandai oleh
proliferasi klonal sel plasma ganas di sumsum tulang dengan protein monoklonal
dalam serum dan/atau urin serta disfungsi organ terkait disertai dengan morbiditas dan
mortalitas substansial, berupa end-organ damage: gangguan ginjal, hiperkalsemia, lesi
tulang litik, dan anemia.

b. Etiologi
Penyebab MM tidak diketahui secara pasti. Hubungan antara risiko terjadinya
myeloma dengan faktor lingkungan, seperti radiasi, paparan racun kimia oleh industri
atau pertanian masih belum jelas. Abnormalitas sitogenetik dan onkogen terjadi pada
sebagian besar penderita myeloma, yaitu DNA hiperploidi pada 75% penderita dan
abnormalitas multipel pada setiap kariotipe. Delesi komplit atau delesi parsial pada
kromosom 13 merupakan penanda prognosis yang buruk. Variasi kelainan kromosom
pada pasien MM antara lain: hiperdiploid, delesi 13q14, translokasi t(11;14),
(q13;q32), t(4;14)(p16;q32), dan t(14;16), serta delesi 17p13. Bukti-bukti yang ada
menunjukkan bahwa kesalahan rekombinasi saat mengganti isotipe rantai berat
antibodi, berperan pada proses transformasi tersebut. Frekuensi kejadian MM
meningkat pada orang yang terpapar senjata nuklir pada saat perang dunia II setelah
melalui periode laten selama 20 tahun. MM lebih sering terjadi pada petani, tukang
kayu, pengrajin kulit, dan orang yang terpapar produk petroleum. Sampai saat ini
belum ada jalur biomolekular yang bisa menjelaskan hal tersebut. Penelitian tentang
urutan genom belum berhasil mengidentifikasi adanya mutasi recurrent dengan
frekuensi lebih dari 20%. Mutasi NRAS, KRAS, dan BRAF merupakan mutasi yang
paling sering terjadi. Kombinasi mutasi tersebut jika dikombinasikan mencakup 40%
pasien dari semua pasien MM.
c. Gambaran Klinis
Anamnesis
Multiple Myeloma (MM) secara klinis memiliki gejala yang terangkum dalam
istilah CRAB. CRAB merupakan akronim dari gejala-gejala MM berupa
hypercalcemia, renal failure, anemia, dan lytic bone lession.11 Nyeri tulang adalah
gejala yang paling sering dikeluhkan oleh pasien MM, dan gejala ini dijumpai pada
70% dari seluruh pasien MM. Nyeri pada kasus MM dipresipitasi oleh gerakan. Hal
ini berbeda dengan nyeri pada metastasis karsinoma yang karakteristik nyerinya tidak
dipresipitasi oleh gerakan dan terutama terjadi pada malam hari. Nyeri yang
terlokalisasi dan terjadi secara persisten dapat merupakan pertanda adanya fraktur
patologis.
Manifestasi klinis lain yang sering terjadi pada pasien MM adalah kerentanan
terhadap infeksi bakteri. Infeksi yang paling sering terjadi adalah pneumonia dan
pielonefritis. Patogen yang paling sering menginfeksi pasien MM di paru adalah
Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, dan Klebsiella pneumoniae,
sementara patogen di saluran kemih adalah Escherichia coli dan organisme Gram
negatif lainnya. Infeksi berulang terjadi pada 25% pasien MM dan >75% pasien MM
pernah mengalami infeksi serius sebanyak satu kali selama menderita MM. Terdapat
beberapa faktor penyebab yang berkontribusi pada kerentanan pasien MM pada
infeksi. Pasien dengan MM memiliki hipogamaglobulinemia difus (dihitung tanpa
mengikutsertakan komponen M). Hipogamaglobulinemia yang terjadi disebabkan
oleh menurunnya produksi dan meningkatnya destruksi antibodi normal. Selain itu
pada beberapa pasien juga muncul sel regulator yang mensupresi sintesis antibodi
normal. Komponen M yang berlebihan menyebabkan terjadinya katabolisme antibodi
yang meningkat. Pasien MM sebenarnya memiliki fungsi sel T yang normal, namun
jumlah subset CD4 menurun. Lisozim yang terdapat pada granulosit jumlahnya
menurun dan migrasi granulosit melambat, tidak secepat pada orang normal. Seluruh
faktor tersebut berkontribusi terhadap timbulnya defisiensi imun pada pasien MM. Di
samping hal tersebut, beberapa pasien juga menggunakan agen terapeutik seperti
dexamethasone yang memiliki efek supresi respons imun sehingga turut
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi bakteri dan jamur.
Gejala neurologis relatif hanya terjadi pada sedikit pasien MM. Gejala
neurologis ini memiliki berbagai macam sebab. Hiperkalsemia dapat menyebabkan
letargi, kelemahan tubuh, depresi, dan confusion. Hiperviskositas dapat menyebabkan
sakit kepala, fatigue, sesak napas, eksaserbasi gagal jantung, gangguan visual, ataksia,
vertigo, retinopati, somnolence, dan koma. Kerusakan dan kolaps tulang belakang
dapat menyebabkan kompresi spinal, nyeri radikular, serta hilangnya kontrol
berkemih dan defekasi. Infiltrasi saraf perifer oleh amiloid dapat menyebabkan carpal
tunnel syndrome, mononeuropati, maupun polineuropati sensorimotor lainnya.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien yang diduga menderita MM dilakukan untuk
mencari nyeri tulang dan massa, serta tanda-tanda anemia.

Pemeriksaan Laboratorium
Peningkatan kreatinin serum terjadi pada hampir 50% pasien MM. Lebih dari
20% pasien MM memiliki kreatinin serum >2 mg/dl. Banyak faktor yang
berkontribusi pada kejadian gagal ginjal tersebut. Penyebab tersering gagal ginjal
pada pasien MM adalah myeloma kidney (presipitasi rantai ringan monoklonal pada
tubulus distal dan tubulus kolektikus) dan hiperkalsemia. Penyebab gagal ginjal lain
pada pasien MM antara lain deposit amiloid pada glomerulus, hiperurisemia, infeksi
berulang, penggunaan nonsteroid anti-inflamatory drugs (NSAIDs) yang terlalu sering
untuk mengatasi nyeri, penggunaan kontras untuk pemindai, penggunaan
bisphosphonate, dan terkadang terjadi infiltrasi sel myeloma pada ginjal. Kerusakan
tubular akibat ekskresi light chain hampir selalu terjadi.

d. Diagnosis
Kriteria diagnosis MM dari International Myeloma Working Group (IMWG)
yang telah direvisi, beserta kelainan-kelainan yang berhubungan dengan MM.
Diagnosis MM ditegakkan dengan adanya plasmasitosis (≥10%) pada pemeriksaan
sumsum tulang atau pada plasmasitoma melalui biopsi ditambah bukti adanya satu
atau lebih MDE (myeloma defining event), yaitu CRAB (hypercalcemia, renal failure,
anemia, dan lytic bone lession) yang sudah ditegakkan serta tiga biomarker spesifik:
sel plasma sumsum tulang klonal ≥60%, rasio serum free light chain (FLC) ≥100
(FLC ≥100 mg/l), dan terdapat 1 atau lebih lesi fokal pada MRI (dengan ukuran
minimal 5 mm). Dalam beberapa studi, setiap biomarker baru tersebut berasosiasi
dengan sekitar 80% risiko perkembangan penyakit ke arah kerusakan organ target.
Kriteria yang telah direvisi ini menunjukkan pergeseran paradigma yang
memungkinkan diagnosis lebih dini serta dimulainya terapi sebelum terjadi end-organ
damage.

e. Terapi
Sekitar 10% pasien MM memiliki progresivitas penyakit yang sangat lambat
(disebut smoldering myeloma) dan tidak memerlukan terapi. Terapi baru dimulai
ketika kadar paraprotein meningkat di atas 5 g/dl atau terjadi penyakit tulang
progresif. Pasien dengan MM simtomatik atau progresif memerlukan intervensi
terapeutik. Terapi yang diberikan dapat memperpanjang survival pasien MM secara
signifikan.
Kelangsungan hidup pada MM telah meningkat secara signifikan dalam 15
tahun terakhir. Dampak awal berasal dari diperkenalkanya thalidomide, bortezomib,
dan lenalidomide. Dalam dekade terakhir, pomalidomide, panobinostat, ixazomib,
elotuzumab, daratumumab, isatuximab, dan selinexor telah disetujui oleh Food and
Drug Administration (FDA) untuk pengobatan MM yang kambuh, dan dapat untuk
meningkatkan hasil lebih lanjut. Banyak kombinasi telah dikembangkan dengan
menggunakan obat yang menunjukkan aktivitas pada MM. Obat-obat yang digunakan
dalam tata laksana MM bekerja melalui berbagai mekanisme, beberapa di antaranya
tidak sepenuhnya dipahami. Thalidomide, lenalidomide, dan pomalidomide disebut
agen imunomodulator (IMiDs); mereka berikatan dengan cereblon dan mengaktifkan
aktivitas cereblon E3 ligase. Hal ini menghasilkan ubiquitination proteins Ikaros
(IKZF 1) dan Aiolos (IKZF3). Obat ini dapat menyebabkan sitotoksisitas langsung
dengan menginduksi kerusakan DNA yang dimediasi oleh radikal bebas. Selain itu,
obat ini juga memiliki sifat antiangiogenesis, penghambatan tumor necrosis factor
alpha (TNF-α), dan efek imunomodulator, dan ixazomib adalah golongan proteasome
inhibitor. Elotuzumab adalah terapi tertarget yang bekerja pada SLAMF7;
daratumumab dan isatuximab bekerja pada target CD38; sementara panobinostat
adalah suatu deacetylase inhibitor.
Secara umum, terapi yang digunakan untuk tata laksana MM terbagi menjadi
dua golongan berdasarkan tujuan pemberiannya, yaitu terapi sistemik untuk
mengendalikan progresivitas MM dan terapi suportif simtomatik untuk mencegah
morbiditas dari komplikasi yang ditimbulkan oleh MM.

2. Thalasemia
a. Definisi dan Etiologi
Talasemia merupakan penyakit hemolitik herediter yang disebabkan oleh
gangguan sintesis hemoglobin di dalam sel darah merah. Penyakit ini ditandai
dengan menurunnya atau tidak adanya sintesis salah satu rantai α, β dan atau rantai
globin lain yang membentuk struktur normal molekul hemoglobin utama pada orang
dewasa.
b. Penegakkan Diagnosis

Anamnesis a. The hallmark adalah pucat kronik atau berlangsung


lama; usia awitan terjadinya pucat penting untuk
diagnosis. Umumnya awitan terjadi pada awal usia
pertumbuhan yaitu 6 bulan sampai usia 2 tahunan. Hal ini
sesuai dengan konsep Hemoglobin swithcing yang terjadi
pada awal tahunpertumbuhan, mulai usia 6 bulan.

b) Pada Talasemia mayor dengan tipe mutasi Я yang


moderat atau ringan, pada mutasi Я/HbE, dan campuran
mutasi tipe beratringan, usia awitan pucat umumnya
didapatkan pada usia yang lebih dewasa seperti usia 3-10
tahunan.

c) Riwayat transfusi berulang; anemia yang berulang,


memerlukan transfusi berkala. Fasilitas kesehatan perifer
yang tidak lengkap, terkadang melewatkan diagnosis
utama Talasemia mayor.

d) Riwayat keluarga dengan Talasemia dan transfusi


berulang. Satu saudara lain yang terdiagnosis Talasemia
dapat menjadi catatan penting rekam medis.

e) Perut buncit; perut tampak buncit karena adanya

hepatosplenomegali, terutama pada kasus anemia lama


yang

tidak mendapatkan transfusi.

f) Etnis dan suku tertentu; angka kejadian Talasemia lebih


tinggi pada ras Mediterania, Timur Tengah, India, dan
Asia Tenggara.

g) Gen penyebab Talasemia paling banyak di Indonesia


ditemukan di Palembang 9%, Jawa 6-8%, dan Makasar
8%. Namun dengan perkawinan antar suku dan
pergerakan migrasi penduduk memperluas sebaran kasus.

h) Riwayat tumbuh kembang dan pubertas terlambat. Hal


ini akibadisturbansi hormon-hormon yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan.

Pemeriksaan Fisik a. Pucat; dokter harus memeriksa bagian konjungtiva


bagian bawah.

b) Sklera tampak ikterik kekuningan akibat bilirubin yang

meningkat.

c) facies Cooley seperti dahi menonjol, mata menyipit,


jarak kedua mata melebar, maksila hipertrofi, maloklusi
gigi.

d) hepatosplenomegali, akibat proses eritropoiesis yang


berlebih dan destruksi sel darah merah pada sistem
retikuloendostelial (RES)

e) gagal tumbuh, periksa dengan mengukur TB dan BB


kemudian bandingkan dengan persentil anak normal
lainnya

f) gizi kurang, perawakan pendek,

g) pubertas terlambat akibat gangguan hormon


pertumbuhan karena deposit besi pada jaringan.

h) Hiperpigmentasi kulit, akibat timbunan besi yang


berlebih.

Pemeriksaan Penunjang 1) Darah perifer lengkap (DPL)

a. Anemia atau kadar hemoglobin rendah dijumpai pada


Talasemia mayor cukup berat. dengan kadar hemoglobin
mencapai <7g/dL. Terkadang pada jenis HbE/Talasemia,
Hb dapat mencapai 8 atau 9 g/dL.

b) Hemoglobinopati seperti Hb Constant Spring dapat


memiliki MCV dan MCH yang normal, sehingga nilai
normal belum dapat menyingkirkan kemungkinan
Talasemia trait dan hemoglobinopati.

c) Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang


penting untuk skrining pembawa sifat Talasemia (trait),
Talasemia dЯ, dan High Persisten Fetal Hemoglobine
(HPFH),

d) Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL (mikrositik)


dan mean corpuscular haemoglobin (MCH) < 27 pg
(hipokromik). Talasemia mayor biasanya memiliki MCV
50 – 60 fL dan MCH 12 – 18 pg.

e) Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada


Talasemia, dan juga pada anemia defisiensi besi. MCH
lebih dipercaya karena lebih sedikit dipengaruhi oleh
perubahan cadangan besi (less suscpetible to storage
changes). Oleh karena itu pada MCV dan MCH yang
sedikit lebih rendah dari normal, untuk memastikan
apakah hal tersebut disebabkan oleh Talasemia (minor)
atau defiseiensi besi, maka perlu dilakukan uji
suplementasi besi.

Gambaran darah tepi.

Uji gambaran darah tepi dapat dilakukan untuk


memperkuat diagnosis hematologi rutin. Pada
laboratorium skala Puskesmas teknik ini dapat membantu
klinisi untuk mendiagnosis Talasemia baik minor maupun
mayor.

a) Pada Talasemia mayor hampir dapat ditemukan semua


jenis kelainan eritrosit. Anisositosis dan poikilositosis
yang nyata (termasuk fragmentosit dan tear-drop),
mikrositik hipokrom, basophilic stippling, badan
Pappenheimer, sel target, dan eritrosit berinti
(menunjukan defek hemoglobinisasi dan diseritropoiesis)

b) Total hitung dan neutrofil meningkat. Bila telah terjadi

hipersplenisme dapat ditemukan leukopenia, neutropenia,


dan trombositopenia.

c) Pada Talasemia α terutama pada karier dan badan


inklusi HbH (heinz body) dapat ditemukan pada
pemeriksaan. Badan iklusi ini terjadi akibat gambaran
hemoglobin yang terdenaturasi atau tidak aktif.

d) Red Cell Distribution Width (RDW). RDW


menyatakan variasi ukuran eritrosit dalam darah. RDW
didapatkan pada waktu pemeriksaan hematologi rutin.
Anemia defisiesi besi memiliki RDW yang meningkat
>14,5%, tetapi tidak setinggi seperti pada Talasemia
mayor. Talasemia trait memiliki eritrosit mikrositik yang
uniform sehingga tidak / hanya sedikit ditandai dengan
peningkatan RDW. Talasemia mayor dan intermedia

menunjukkan peningkatan RDW yang tinggi nilainya.

e) Jumlah retikulosit menunjukkan aktivitas sumsum


tulang. Pasien Talasemia memiliki aktivitas sumsum
tulang yang meningkat, sedangkan pada anemia defisiensi
besi akan diperoleh hasil yang rendah.

Diagnosis Banding 1) Anemia defisiensi vitamin B12


2) Anemia aplastik
3) Anemia hemolitik
4) Anemia pada penyakit kronik
c. Tatalaksana
Penderita thalassemia dewasa diawali dengan penentuan kadar hemoglobin
dan adanya pansitopenia (penurunan Hb < 7 g/dl, leukopeni < 3000/ ul
trombositopeni <80.000/ ul) yang menunjukkan adanya hipersplenisme.
Berdasarkan kadar hemoglobin (7-9 gr), ditentukan langkah penataiaksanaan
selanjutnya.
1. Hb < 7 gr/dl Disertai dengan Splenomegali Masif:
Pada kondisi ini splenektomi merupakan pilihan. Imunoprofilaksis pra
splenektomi merupakan keharusan, mencakup:
o vaksinasi anti meningococus
o vaksinasi anti hemophilus influensa
o Pasca splenektomi diberikan antibiotika profilaksis antibiotik (penisilin
oral)
2. Hipersplenisme

Pada keadaan ini splenektomi merupakan pilihan pengobatan.


3. Pasca splenektomi bila Hb < 7 gr %:

Pada keadaan ini penangan komplikasi merupakan keharusan, mencakup:

o batu empedu: kolesistektomi


o infeksi: antibiotika
o hiperurikemia / Gout: allopurinol
o aterogenesis: pemantauan lanjut sesuai
o tatalaksana aterogenesis
o ulkus tungkai: perawayan luka
o diabetes melitus: sesuai dengan tatalaksana diabetes melitus
o hiperkoagulasi dan trombosis: aniagregasi trombosit dan antikoagulan oral
o osteoporosis:bisfosfonat, dll
o kelainan hat: obat antivirus
o iskemia serebral: terapi sesuai dengan tatalaksana baku
o eritropiesis heterotropik:hidroksiurea
ohemokromatosis: terapi kelasi besi
4. Pasca splenektomi bila Hb > 7 gr %

Pada kondisi ini transfusi darah merah pekat.


Hb < 7gr/dl Tanpa Splenomegali
Pemantauan klinis dan hematologi
Transfusi Darah pada Penderita Thalassemia Intermedia
Transfusi darah pada penderita thalassemia intermedia diberikan atas indikasi,
sebagai berikut:
 Gangguan pertumbuhan
 Kondisi stres sementara : kehamilan, infeksi
 Manifestasi klinis anemia
 Gagal jantung kongestif
 Ulkus tungkai
Pemantauan Besi pada Penderita Thalassemia
Intermadia:
• Setiap transfusi: rata rata asupan besi
Setiap 3 bulan: dosis kelasi dan frekuensi, fungsi hati, feritin serial
Setiap 6 bulan (pada anak): pertumbuhan dan perkembangan seksual
• Setiap tahun: muatan besi hati, fungsi jantung (ekokardiografi), MRI jantung T2*,
fungsi hati, ferritin serial

Pengobatan Muatan Berlebih Besi


Ada beberapa pilihan obat yang direkomendasikan untuk terapi kelasi, seperti
tertera pada tabel 1.

Obat Kelasi Besi pada Penderita Thalassemia

Terapi Rekomendasi

Deferasirox Dosis awal 20 mg/kg/hari pada pasien


(Exjade®) yang cukup sering mengalami transfusi.
30 mg/kg/hari pada pasien dengan kadar
kelebihan besi yang tinggi.
10-15 mg/kg/hari pada pasien dengan
kadar kelebihan besi yang rendah.

DFO 20-40 mg/kg (anak-anak), < 50-60


(Desferal®) mg/kg (dewasa)
Pada pasien anak < 3 tahun,
direkomendasikan untuk mengurangi
dosis dan melakukan pemantauan
terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tulang.

Deferiprone 75 mg/kg/hari
(Ferriprox®) Dapat dikombinasikan dengan DFO bila
DFO sebagai tidak efektif

d. Komplikasi
 Kardiomiopati
 Ekstramedullary hematopoiesis
 Kolelitiasis
 Splenomegali
 Hemokromatosis
 Kejadian trombosis (hiperkoagulasi, risiko aterogenesis, lesi iskemik cerebral
asimtomatis)
 Ulkus maleolar
 Deformitas dan kelainan tulang (osteoporosis)

DAFTAR PUSTAKA
1. Siti S, Alwi Idrus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid II. Jakarta : Interna
Publishing ; 2017.
2. Cahyanur R, Rinaldi I. Pendekatan Klinis Polisitemia. Jurnal penyakit Dalam Indonesia.
Vol 6, no 3. Jakarta: 2019
3. Huether SE, McCance KL. Buku ajar Patofisiologi. Edisi 6. Volume 1. Singapore :
Elsevier. 2019.

Anda mungkin juga menyukai