1. M endefinisikanp erdarahan p as cap ersal i n an s erta meny eb utkan b erbagai kaus alny a.
2. Menjelaskan atonia uteri, robekan jalan labir, retensio plasenw, inr.tersi wteri, dan perdaraban
p a s c ap ers a linan tertwn da.
3. Menyebutkan faktor predisposisi terjadinya PPP untuk setiap kausal.
4. Membwat diagnosis kausal melalui anamnesis, pemeriksaan fisik., hboratorium, dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
5. Menjelaskan tindakan atau manajemen darurat yang barus dilakukan.
6. Mengetahui kapan mekhukan dan persiapan rujukan.
7. Mend.iskwsikan skenario kemungkinan tindakan atau terapi yang akan dikerjakan di rumah
sakit rwjukan mulai dari medikamentosa sampai tindakan operatif.
8. Menjelaskan hal-hal yang terknit dalam rangka pencegahan.
Yang paling dikenal sebagai tiga penyebab klasik kematian ibu di samping infeksi dan
preeklampsia adalah perdarahan. Perdarahan pascapersaiinan (PPP) adalah perdarahan
yang masif yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan
jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping per-
darahan karena hamil ektopik dan abortusl-4. PPP bila tidak mendapat penanganan yang
semestinya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu serta proses penyembuhan
PERDARAHAN PASCAPERSALINAN (PPP) s23
Pada awalnya wanita hamil yang normotensi akan menunjukkan kenaikan tekanan
darah sebagai respons terhadap kehilangan darah yang terjadi dan pada wanita hamil
dengan hipertensi bisa ditemukan normotensi setelah perdarahan. Pada wanita hamil
dengan eklampsia akan sangat peka terhadap PPP, karena sebelumnya telah terjadi defisit
cairan intravaskular dan ada penumpukan cairan ekstravaskular, sehingga perdarahan
yang sedikit saja akan cepat mempengaruhi hemodinamika ibu dan perlu penanganan
segera sebelum terjadinya mnda-tanda syok1,S.
PPP yang dapat menyebabkan kematian ibu 45 'h terjadi pada 24 jam pertama
setelah bayi lahir, 68 - 73 "h dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82 - 88 % dalam
dua minggu setelah bayi lahirs.
Berdasarkan saat terjadinya PPP dapat dibagi menjadi PPP primer, yang terjadi dalam
24 jam pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir
dan sisa sebagian plasenta. Dalam kasus yang jarang, bisa karena inversio uteri. PPP
sekunder yang terjadi setelah 24 jam persalinan, biasanya oleh karena sisa plasenta.
Jumlah perdarahan yang diperkirakan ter;'adi sering hanya 50 "/. dari jumlah darah
yang hilang. Perdarahan yang aktif dan merembes terus dalam waktu lama saat me-
lakukan prosedur tindakan juga bisa menyebabkan PPP. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pemeriksaan Hb dan hematokrit untuk memperkirakan jumlah perdarahan yang terjadi
saat persalinan dibandingkan dengan keadaan prapersalinanl.
Atonia Uteri
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan
uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta
setelah bayi dan plasenta lahir.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif
dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih sednggi pusat
atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia
uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 5OO - 1.000 cc yang
sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus
diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
Tindakan
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa
masih dalam keadaan sadar, sedikir anemis, atau sampai syok berat hipovolemik.
Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya. Secara
lengkap dapat dilihat pada Bwku Acwan Nasional Pelayanan Kesebatan Maternal dan
Neonatal, JNPKKR-POGI Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardj o,2OO2e dan
Bwku Pandwan Prahtis Pelayanan Kesehaun Matemal dan Neonatal,Jakana2OO2l0.
Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai ber-
ikut.1,e-1s
. Sikap Trendelenburg, memasangoenous line, dan memberikan oksigen.
. Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan carai
- Masase fundus uteri dan merangsang puting susu.
- Pemberian oksitosin dan tunrnan ergot melalui suntikan secara i.m., i.v., atau s.c.
- Memberikan derivat prostaglandin F2u (carboprost trometbamine) yang kadang
memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual munrah, febris, dan taki-
kardia.
- Pemberian misoprostol 800 - 1.000 pg per-rektal.
- Kompresi bimanual eksternal dan/atau internal.
- Kompresi aorta abdominalis.
- Pemasangan "tampon kondom", kondom dalam kalum uteri disambung dengan
kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi cairan infus 200 ml yang akan
mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan operarif.
- Catatan: tindakan mefttasang tampon kasa utero-oaginal tidab dianjwrkan dan
hanya bersifat temporer sebelum tindakan bedah ke rumah sakit rwjukan,
526 PERDARAHAN PASCAPERSALINAN (PPP)
o Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operarif
laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau me-
lakukan histerektomi. Alternatifnya berupa:
Retensio p125gn121,9,10,15
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut se-
bagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala
tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenra dan urerus. Disebut sebagai
plasenm akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan Niabuch la.yer, disebut
sebagai plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus miometrium dan disebut
plasenta perkreta bila vili korialis sampai menembus perimetrium.
PERDAMHAN PASCAPERSALINAN (PPP) 527
Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio
sesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian kecil dari plasenta masih
tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan dapat menimbulkan PPP primer atau
(lebih sering) sekunder. Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/separasi
plasenta akan ditandai oleh perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau
plasenta sudah sebagian lepas tempi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze),
sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta
belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah
lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus
diantisipasi dengan segera melakukan phcenu manwal, meskipun kala uri belum lewat
setengah jam.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan
plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat
melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum
pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu,
harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara manual/digital atau kuret dan
pemberian uterotonika. Anemia yang ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberi
transfusi darah sesuai dengan keperluannya.
Inversi {J1gru51,9,10,15
Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan adalah terjadinya
inversi uterus. Inversi uterus adalah keadaan di mana iapisan dalam uterus (endo-
metrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit
sampai komplit.
Faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri, serviks
yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik'fundus ke bawah (misalnya
karena plasenta akreta, inkreta dan perkreta, yang tali pusatnya ditarik keras dari bawah)
atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas (manuver Crede) atau tekanan intra-
abdominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk keras atau bersin).
Tindakan
Secara garis besar tindakan yang dilakukan sebagai berikute,1o.
1. Memanggil banruan anestesi dan memasang infus untuk cairan/darah pengganti dan
pemberian obat.
2. Beberapa senter memberikan tokolitik/MgSOa untuk melemaskan uterus yang ter-
balik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke aras
masuk ke dalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk ke dalam
uterus pada posisi normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu plasenta sudah terlepas
atau tidak.
3. Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil dikeluarkan
dari rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat infus atau i.m. tangan tetap
dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru di-
lepaskan.
4. Pemberian antibiotika dan transfusi darah sesuai dengan keperluannya.
5. Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras menyebabkan
manuver di atas tidak bisa dikerjakan, maka dilakukan laparotomi untuk reposisi
dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi
dan nekrosis.
Pencegahanl'9'10'ts
I(asifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan memudahkan penveleng-
gara pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan
antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan
jenjang rumah sakit rujukan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua kehamilan
mempunyai risiko untuk terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah perdarah-
an pascapersalinan. Antisipasi terhadap hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut.
PERDARAHAN PASCAPERSALINAN (PPP) 529
1,. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap
penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien
tersebut ada dalam keadaan optimal.
2. Mengenal faktor predisposisi PPP seperti multiparitas, anak besar, hamil kembar,
hidramnion, bekas seksio, ada riwayat PPP sebelumnya dan kehamilan risiko tinggi
lainnya yang risikonya akan muncul saat persalinan.
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
4. Kehamilan risiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan.
5. Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan meng-
hindari persalinan dukun.
6. Menguasai langkahJangkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan mengada-
kan rujukan sebagaimana mestinya.
RUTUKAN
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Venstrom KD.(editors). \flilliams
Obstetrics, 22nd ed New York McGraw-Hill, 2OO5; Chapter 35 Obstetrical Hemorrhage: 8i0-48
2. Karkata MK, Mayura M. Kematian ibu bersalin di RSUP Sanglah Denpasar (tinjauan selan-ra tiga tahun
1993-1995). Maj Kedokt Udayana 1996,93:18a-5
3. Simanjuntak T, Kaban RM, Hutabarat H. Kematian maternal di Rumah Sakit Dr Pirngadi Medan
l99A-1994. Buku Abstrak Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Pertemuan Ilmiah Tahunan
IX, Surabaya, 2-5 luli 1995:252
4. Suyanto E, Hakimi M. Kematian maternal di RSUD Purworejo 1990-1995. Mai Obstet Ginekol Indones
2004;21: 3-6
5. Li XF, Fortney JA, Kotelchuck M, Glover LH. The postparrum period: The key to maternal death. Int
J Gynaecol Obstet 1995; 54: 1-10
6. Karkata MK. Pergeseran Kausa Kematian Ibu Bersalin di RSU Sanglah Denpasar, Selama Lima Tahun,
1996-200A. Maj Obstet Ginekol Indones, 2006; 30: 175-8
7. Sanghvi H, \Wikn.iosastro G, Chanpoing G. Prevention of postpartum hemorrhage study: Vest Java,
Indonesia. Baltimore, MD; JHPIEGO; 200a
S.Zeeman GG, Cunningham FG. Blood volume expansion in women with antepartum eclamps.ia. J Soc
Gynecol Investig 9; 112A,2A02
9. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Saifuddin AB (.d).
JNPKKR-POGI, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta,20A2: 173-81
10. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal., Saifuddin AB (ed). Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardio, JNPKKR-POGI, Jakarta 2002: M-25-32
11. Abdel-Aleem H, El Nashar I, Abdel Aleem A. Management of severe postpartum hemorrhage with
misoprostol. Int J Gynaecol Obxet,2001; 72: 75
12. B-Lynch CB, Coker A, Laval AH. The B-Lynch surgical technique for controll of massive postpartum
hemorrhage; An alternative to hysterectomy? Five cases reported. BrJ Obstet Gynaeco.l 1997;1a4:372
13. Goldberg AB, Greenberg MG, Darney PD. Misoprostol and pregnancy. New England J Med, 2001;
344(1): 38-41,
14. O'Brien P, El-Refaey H, Gordon A, Geary M, Rodeck CH. Rectally administered misoprostol for the
treatment of post partum hemorrhage unresponsive to oxytocin and ergometrine: a descriptive study.
Obstet Gynecol, 1998i 92(2)t 212-14
15. \fHO, 2000. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth: A guide for midwives and doctors.
Vaginal bleeding after childbirth: 25-34