Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. BISITOPENIA
PENGERTIAN
Bisitopenia merupakan keadaan menurunnya 2 dari tiga komponen darah
(eritrosit, trombosit, leukosit). Dua dari tiga komponen tersebut dapat
mengalami penurunan jumlah jika terjadi suatu kelainan hematologi
maupun kelainan organ yang berhubungan dengan sel darah. Penurunan
dapat terjadi pada jumlah eritrosit dan jumlah trombosit dengan jumlah
leukosit yang normal atau meningkat, penurunan jumlah eritrosit dan
leukosit dengan angka trombosit normal. Bisitopenia dapat
menggambarkan suatu proses yang dilalui sebelum terjadinya
pansitopenia. Pansitopenia, yaitu penurunan jumlah ketiga komponen sel
darah. Jadi, bisitopenia dapat berkembang menjadi pansitopenia.
Pansitopenia, yaitu penurunan jumlah ketiga komponen sel darah. Jadi,
bisitopenia dapat berkembang menjadi pansitopenia. Gejala bisitopenia
dapat beragam misalnya berupa gejala anemia seperti lemas, pucat,
berdebar-debar atau gejala trombositopenia dan leukopenia seperti
perdarahan sulit berhenti, mudah memar dan mudah terkena infeksi.
Eritrosit merupakan sel darah tidak berinti. Bentuknya bulat bila dilihat
dari atas dan bikonkaf bila dilihat dari samping. Di sentralnya terdapat
cekungan yang disebut central pallor. Pada keadaan anemia defisiensi besi
central pallor dapat menjadi besar. Kadar normal eritrosit dalam darah 4,5
– 6,5 juta/mm3 untuk laki – laki dan 3,8 – 5,8 juta/mm3 untuk wanita.
Turunnya eritrosit sering berkaitan dengan anemia. Leukosit (sel darah
putih) secara umum dibagi ke dalam seri granulosit dan seri agranulosit.
Eosinofil, neutrofil dan basofil termasuk ke dalam seri granulosit,
sedangkan limfosit dan monosit termasuk ke dalam seri agranuler. Harga
normal untuk leukosit berkisar antara 4.000 – 11.000 /mm3. Penurunan
kadar leukosit (leucopenia) dapat disebabkan oleh obat-obatan terutama
sitostatika, depresi sumsum tulang, radiasi, infeksi baik bakteri, virus,
riketsia, maupun protozoa. Meningkatnya kadar leukosit seringkali
berhubungan dengan terjadinya infeksi, trauma, penyakit keganasan,
maupun penyakit – penyakit kolagen. Trombosit berfungsi sebagai faktor
pembekuan darah. Jumlah normal trombosit dalam darah 150.000–
400.000/mm3 (Bagian Patologi Klinik FK UNDIP, 2011).

Trombositopenia dapat terjadi akibat sumsum tulang menghasilkan sedikit


trombosit. Kelainan seperti ini biasa terjadi pada penderita leukemia,
anemia aplastik, hemoglubinuria nokturnal paroksisimal, pemakaian
alkohol yang berlebihan, anemia megaloblastik dan kelainan sumsum
tulang. Trombositopenia juga dapat terjadi akibat trombosit terperangkap
di dalam limpa yang membesar, sering terjadi pada penderita sirosis
disertai splenomegali kongestif, mielofibrosis dan penyakit Gaucher.
Trombosit juga dapat terlarut pada keadaan penggantian darah yang masif
atau transfusi ganti (karena platelet tidak dapat bertahan di dalam darah
yang ditransfusikan) dan pembedahan bypass kardiopulmoner. Penyebab
lain yakni meningkatnya penggunaan atau penghancuran trombosit, seperti
pada pasien dengan Purpura Trombositopenik Idiopatik (ITP), infeksi
HIV, purpura setelah transfusi darah, akibat obat-obatan (heparin,
kuinidin, kuinin, antibiotik yang mengandung sulfa, beberapa obat
diabetes per-oral, garam emas, rifampin), leukemia kronik pada bayi baru
lahir, limfoma, lupus eritematosus sistemik, keadaan-keadaan yang
melibatkan pembekuan dalam pembuluh darah (komplikasi kebidanan,
kanker, keracunan darah (septikemia) akibat bakteri gram negatif,
kerusakan otak traumatik), purpura trombositopenik trombotik, sindroma
hemolitik-uremik, sindroma gawat pernafasan dewasa dan infeksi berat
disertai septikemia (Laine, 2005 dalam Patinggi, 2014).

PATOGENESIS
Etiologi bisitopenia sangat bervariasi pada anak-anak, mulai dari supresi
sumsum tulang oleh virus, infiltrasi sumsum tulang oleh keganasan,
didapat secara iatrogenik, dari obat-obatan tertentu, kemoterapi ataupun
radioterapi. Bisitopenia karena keganasan ditemukan pada pasien akut
leukemia, juvenile mielomonositik leukemia, mielodiplastik sindrom dan
infiltrasi oleh limfoma non-hodgkins dan neuroblastoma. Bisitopenia
bukan karena keganasan ditemukan pada pasien anemia megaloblastik,
imun trombositopenia purpura, alcoholic liver disease. Bisitopenia karena
infeksi kebanyakan pada pasien dengue.

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dari bisitopenia, yaitu (Bagian Patologi Klinik FK
UNDIP, 2011):
a. Penurunan Kadar Eritrosit
- Kelelahan
- Kelemahan
- Pusing
- Penurunan kinerja fisik

b. Penurunan Kadar Leukosit


- Rentan mengalami infeksi

c. Penurunan Kadar Trombosit


- Risiko perdarahan

Gejala: keletihan, kelemahan, malaise umum, kehilangan produktivitas;


penurunan semangat untuk bekerja, toleransi terhadap latihan rendah.
- Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.
- Tanda: takikardia/takipneu; dispnea pada waktu bekerja atau istirahat.
- Kelemahan otot, dan penurunan kekuatan.

ANAMNESIS
Bisitopenia adalah penurunan jumlah pada dua jenis komponen sel darah.
Gejala bisitopenia dapat beragam misalnya berupa gejala anemia seperti
lemas, pucat, berdebar-debar atau gejala trombositopenia dan leukopenia
seperti perdarahan sulit berhenti, mudah memar dan mudah terkena
infeksi.

Anamnesis pasien dengan gejala bisitopenia adalah sebagai berikut.


a. Identitas meliputi nama, umur, dan jenis kelamin
b. Keluhan utama
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat kehilangan darah kronik, misalnya perdarahan GI kronis,
menstruasi berat (DB), angina, CHF (akibat kerja jantung berlebihan),
dan riwayat endokarditis infektif kronis.
e. Aktivitas/istirahat
Gejala dapat berupa keletihan, kelemahan, malaise umum, kehilangan
produktivitas; penurunan semangat untuk bekerja, toleransi terhadap
latihan rendah.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pasien dengan gejala bisitopenia akan menemukan
takikardia/takipneu, dispnea pada waktu bekerja atau istirahat, kelemahan
otot, dan penurunan kekuatan. Selain itu dapat ditemukan adanya
peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi melebar,
hipotensi postural. Disritmia: abnormalitas EKG, depresi segmen ST dan
pendataran atau depresi gelombang T; takikardia serta terdapat bunyi
jantung berupa murmur sistolik.

Pada ekstremitas terlihat pucat pada kulit dan membrane mukosa


(konjungtiva, mulut, faring, bibir) dan dasar kuku dengan catatan pada
pasien kulit hitam, pucat dapat tampak sebagai keabu-abuan. Pengisian
kapiler melambat (penurunan aliran darah ke kapiler dan vasokontriksi
kompensasi) dan kuku: mudah patah, berbentuk seperti sendok
(koilonikia).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Zahide yalaki et al, mempelajari pasien anak dengan bisitopenia dan
melaporkan bahwa 85,7% pasien memiliki neutropenia, 57,1% pasien
mengalami anemia dan 71,4% trombositopenia.

Shano naseem et al dari India, dalam sebuah penelitian pada pasien anak
dengan bisitopenia, melaporkan bahwa trombositopenia dan anemia
(77,5%) adalah bentuk paling umum dari bisitopenia, diikuti oleh anemia
dan leukopenia pada 17,3% dan trombositopenia dan leukopenia pada
5,5% kasus.

Beberapa pemeriksaan penunjang untuk mendeteksi bisitopenia pada anak


adalah sebagai berikut.

1. Hitung darah lengkap (Hb, TC, DC, Platelet, PCV, MCV, MCH,
MCHC, RDW, MPV, RBC COUNT & ESR)

2. Pemeriksaan apusan darah perifer dengan jumlah retikulosit

3. Bone marrow aspiration/biopsy

4. Urin rutin

5. Blood urea, S. creatinine

6. Tes fungsi hati SGOT, SGPT, Bilirubin (total, direct, indirect)

7. Prothrombin time, APTT

8. Kultur enterik, kultur non-enterik, kultur urin dan sensitivitas

9. Apusan untuk parasit malaria

10. Sputum AFB, Gene Xpert for M. tuberculosis


11. Widal test

12. NS1 Ag test, IgM Elisa untuk demam dengue

13. Flow cytometry

14. Vitamin B12, kadar folat dalam darah

15. USG Abdomen

16. Chest X ray (jika diperlukan)

17. Coombs test

18. S. electrolytes

19. Serologic testing/PCR Hepatitis, EBV, HIV, dan virus lainnya

PENATALAKSANAAN
Usaha untuk mengatasi anemia yaitu dengan memberikan transfuse
packed red cell (PRC) jika hemoglobin < 7 g/dl atau ada tanda-tanda
payah jantung atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi HB 9-10 %
tidak perlu sampai Hb normal karena akan menekan eritropoiesis internal.
Pada penderita yang akan dipersiapkan untuk tranplantasi sumsum tulang,
pemberiana tranfusi harus hati-hati.

Usaha untuk mengatasi perndarahan yaitu dengan memberikan tranfusi


konsentrat trombosit jika terapat perdarahan mayor atau trombosit <
20.000/mm^3. Pemberian trombosit berulang dapat menurunkaan
efektivitas trombosit karena munculnya antiodi antitrombosit.
Kortikosteroid dapat mengurangi perdarahan kulit.

Transplantasi sumsum tulang merupakan terapi definitive yang


memberikan harapan kesembuhan tetapi biaya sangat mahal dan
memerlukan peralatan canggih serta adanya kesulitan dalam mencari
donor yang kompatibel. Transplantasi sumsum tulang yaitu:
a. Merupakan pilihan untuk kasus berumur dibawah 40 tahun.
b. Diberikan siklosporin A untuk emngatasi GvHD (Graft versus Host
Disease).
c. Transplantasi sumsum tulang memberikan harapan kesembuhan
jangka panjang pada 60-70% kasus dengan kesembuhan komplit.

2.2. Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL)


PENGERTIAN
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari
sumsum tulang, dimana terjadi transformasi maligna dari suatu
progenitor/prekursor sel darah yang membentuk klon sel ganas, ditandai
oleh proliferasi tidak terkendali yang menyebabkan pendesakan sehingga
terjadi kegagalan sumsum tulang dan infiltrasi ke jaringan lain. Leukemia
akut dibagi menjadi Acute lymphoblastic leukemia (ALL) dan Leukemia
Mieloblastik Akut (LMA) (Permono dan Ugrasena, 2012).

Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah kanker paling banyak pada


anak-anak dan remaja dengan lebih dari 3.000 kasus baru setiap tahun
(Ward et al., 2014). The American Cancer Society (2017), memperkirakan
terdapat 5.970 kasus baru LLA pada orang dewasa dan anak-anak yang
terdiri dari 3.350 laki-laki dan 2.620 perempuan. Diperkirakan sekitar
1.440 kematian dari penyakit ini (800 pada laki-laki dan 640 pada
perempuan). National Cancer Institute memperkirakan pada tahun 2018
sebanyak 60.300 orang hidup dengan LLA. Insiden LLA tertinggi yaitu
pada anak berusia 2-5 tahun dengan insiden rata-rata 4-4,5
kasus/tahun/100.000 anak di bawah umur 15 tahun (Widiaskara et al,
2010).

Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama di tingkat


global, termasuk leukemia. Jenis kanker yang paling banyak diderita oleh
anak-anak adalah leukemia akut, mencapai 97% dari semua jenis leukemia
(Permono dan Ugrasena, 2012). Prevalensi kanker pada anak umur 0-14
tahun berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
sebesar 16291 kasus. Leukemia merupakan jenis kanker yang paling
banyak diderita oleh anak-anak di Indonesia (Kemenkes, 2016).

Acute lymphoblastic  leukemia (ALL) merupakan salah satu keganasan


hematologi yang paling sering ditemui pada anak, dengan insiden tiap
tahun yang cenderung meningkat. Data Facts 2016-2017 oleh Leukemia
and Lymphoma Society (LLS) menunjukkan bahwa pada tahun 2009
hingga 2013, ALL menyumbang 74,5% insiden leukemia pada anak-anak
yang berumur kurang dari 20 tahun (LLS, 2018).

ALL adalah kanker yang paling banyak ditemukan pada anak, berkisar 30-
40%. Insiden rata-rata 4-4.5 kasus/tahun/10.000 anak dibawah 15 tahun.
Setiap tahun diperkirakan terdapat 30-40 juta kasus baru di seluruh dunia.
Di Amerika Serikat, setiap tahun diperkirakan 2000 anak dan remaja muda
umur kurang dari 20 tahun didiagnosis dengan ALL dan insidennya
meningkat dalam 25 tahun terakhir (Pui dan Evans, 2004; Pui dan Crist
WM, 1993 dalam Elisafitri et al., 2018). Di Jepang mencapai 4/100.000
anak dan diperkirakan tiap tahun terjadi 1000 kasus baru. ALL paling
banyak ditemukan pada anak umur 2-5 tahun (>80 per seribu anak), lebih
sering pada anak laki-laki dibanding perempuan (Permono dan Ugrasena,
2012). Di negara berkembang, penderita leukemia 82% diantaranya adalah
ALL dan 17% leukemia mieloblastik akut (LMA). Di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), jumlah pasien baru ALL
mencapai 60-70 pasien per tahunnya. Di RSU Sardjito, kasus ALL
mencapai 79% dari kasus keganasan anak. Pada tahun 2002, di RS Dr.
Soetomo Surabaya, kasus ALL mencapai 88% dari keganasan anak dan 7
paling sering menyerang anak-anak di bawah umur 15 tahun (Permatasari
dkk, 2009 dalam Jamaluddin, 2017).
MANIFESTASI KLINIS
Gejala ALL dapat digolongkan dalam tiga bagian, yakni (Jamaluddin,
2017):
1. Gejala kegagalan sumsum tulang
a. Anemia menimbulkan gejala pucat dan lemah. Ini disebabkan
karena produksi sel darah merah (SDM) kurang akibat kegagalan
sumsum tulang memproduksi SDM, ditandai dengan berkurangnya
kadar hemoglobin, turunnya hematokrit, dan jumlah sel darah
merah kurang.
b. Netropenia menimbulkan infeksi yang ditandai demam, malaise,
infeksi rongga mulut, tenggorokan, kulit, saluran napas, sepsis
sampai syok septik.
c. Trombositopenia menimbulkan perdarahan kulit, perdarahan
mukosa seperti perdarahan gusi, hidung, saluran cerna, bahkan
perdarahan intrakranial.
2. Infiltrasi ke dalam organ menimbulkan organomegali, seperti
limfadenopati superfisial, splenomegali atau hepatomegali, hipertrofi
gusi, sindrom meningeal (sakit kepala, mual, muntah, penglihatan
kabur, kaku kuduk). Manifestasi infiltrasi organ lain yang dapat
ditemukan antara lain pembengkakan testis atau tanda penekanan
mediastinum.

DIAGNOSIS
Pasien dengan ALL pada umumnya menunjukkan gejala klinis kegagalan
sumsum tulang atau keterlibatan ekstramedular (seperti di sistem saraf
pusat (SSP) dan testikel) oleh sel leukemia. Akumulasi sel limfoblas di
sumsum tulang menyebabkan kurangnya sel normal di darah perifer dan
terkait dengan gejala anemia, infeksi dan perdarahan. Gejala-gejala ini
mungkin termasuk lelah atau lesu, gejala konstitusional (misalnya, demam,
keringat malam, penurunan berat badan), dispnea, pusing, infeksi, dan
mudah memar atau berdarah (Brown, 2020).
Mati rasa pada dagu atau kelumpuhan wajah dapat terjadi akibat
keterlibatan saraf kranial atau SSP. Di antara anak-anak, nyeri pada
ekstremitas atau sendi mungkin satu-satunya gejala yang muncul. Adanya
limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan pada sekitar 20% pasien. Massa pada perut dari
keterlibatan gastrointestinal lebih menunjukkan adanya ALL sel B matur
(limfoma Burkitt). Diagnosis ALL umumnya ditentukan dengan
ditemukannya limfoblast >=20% pada sumsum tulang dari tinjauan
hematopatologi aspirasi sumsum tulang dan bahan biopsy. Secara umum,
presentasi ALL dengan jumlah sell blast rendah jarang terjadi, dan
diagnosis ALL harus dihindari jika terdapat nilai sell blast <20% (Brown,
2020).

Diagnosis dan klasifikasi ALL dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan


klinis dan laboratorium. Data penunjang diagnosis dapat diperoleh dari
pemeriksaan apusan darah tepi atau aspirasi sumsum tulang. Tanda awal
ALL dapat diamati dari pemeriksaan darah abnormal, yaitu anemia,
trombositopenia, dan leukositosis. Sel blast biasanya ditemukan pada
apusan darah tepi. Aspirasi sumsum tulang bertindak sebagai standar emas
dalam mendiagnosis ALL. Bila hasil aspirasi sumsum tulang menunjukkan
lebih dari 5% jumlah sel blas, maka pasien dapat diduga menderita
leukemia; sedangkan untuk diagnosis pasti ALL diperlukan lebih dari 20%
jumlah sel blas. Diferensiasi ALL dan AML akan ditentukan oleh
morfologi sel yang diperoleh dari aspirasi sumsum tulang yang
diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi French American British (FAB).
Klasifikasi ini bergantung pada ukuran sel, kromatin, nukleolus, dan
sitoplasma.Klasifikasi berdasarkan World Health Organization (WHO)
dapat dilakukan jika sampel diperiksa menggunakan metode molekuler
kemudian flow cytometri (Angkasa et al., 2019).
Sel darah merah mendistribusikan oksigen ke seluruh sel tubuh.
Kekurangan sel darah merah dapat menyebabkan gejala seperti lelah
(fatigue), lemah, kedinginan, pusing, sesak napas, dan kulit pucat. Anak-
anak dengan leukemia sering memiliki jumlah sel darah putih yang tinggi,
tetapi sebagian besar adalah sel-sel leukemia yang tidak melindungi
terhadap infeksi, dan tidak ada cukup sel darah putih normal. Hal ini dapat
menyebabkan infeksi, demam, yang sering menjadi tanda utama infeksi.
Tetapi beberapa anak mungkin mengalami demam tanpa infeksi.

Kekurangan trombosit dapat menyebabkan mudah memar dan berdarah,


mimisan dan gusi berdarah. Nyeri tulang atau sendi disebabkan oleh
adanya sel leukemia dalam tulang atau di dalam sendi. Sel-sel leukemia
dapat berkumpul di hati dan limpa, membuat organ-organ ini lebih besar.
Hal ini menyebabkan perut penuh atau bengkak.

Kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan disebabkan oleh


apabila limpa dan/atau hati menjadi mengalami pembesaran, hal tersebut
dapat menekan organ lain seperti perut. Hal ini dapat membuat anak
merasa kenyang, yang menyebabkan hilangnya nafsu makan dan
penurunan berat badan dari waktu ke waktu.

Beberapa leukemia menyebar ke kelenjar getah bening. Pembengkakan


kelenjar getah bening dapat terlihat atau dirasakan sebagai benjolan di
bawah kulit di bagian tubuh tertentu (seperti di sisi leher, di daerah ketiak,
atau di selangkangan). Kelenjar getah bening di dalam dada atau abdomen
juga bisa membengkak, tetapi ini hanya dapat dilihat pada tes pencitraan,
seperti CT atau MRI scan. Pada bayi dan anak-anak, kelenjar getah bening
sering membesar saat melawan infeksi. Pembesaran kelenjar getah bening
pada anak jauh lebih sering merupakan tanda infeksi daripada leukemia.

Beberapa jenis leukemia dapat mempengaruhi struktur di tengah dada,


seperti kelenjar getah bening atau timus. Timus atau kelenjar getah bening
yang membesar di dada dapat menekan trakea, menyebabkan batuk atau
kesulitan bernapas. Dalam beberapa kasus di mana jumlah sel darah putih
sangat tinggi, sel-sel leukemia dapat menumpuk di pembuluh darah kecil
paru-paru, yang juga dapat menyebabkan kesulitan bernapas.

Timus yang membesar mungkin menekan vena cava superior (SVC), yang
merupakan vena besar yang membawa darah dari kepala dan lengan
kembali ke jantung. Ini dapat menyebabkan sindrom SVC, mengakibatkan
pembengkakan di wajah, leher, lengan, dan dada bagian atas (terkadang
dengan warna kulit merah kebiruan). Gejalanya juga bisa termasuk sakit
kepala, pusing, dan perubahan kesadaran jika mempengaruhi otak.
Sindrom SVC dapat mengancam jiwa, sehingga perlu segera diobati.

Sejumlah kecil anak menderita leukemia yang telah menyebar ke otak dan
sumsum tulang belakang saat pertama kali ditemukan. Hal ini dapat
menyebabkan gejala seperti sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi,
kelemahan, kejang, muntah, masalah dengan keseimbangan, dan
penglihatan kabur.
STAGING
Upaya pertama untuk mengklasifikasikan ALL adalah kriteria morfologi French
American British (FAB) yang membagi ALL menjadi 3 subtipe (L1, L2 dan L3)
berdasarkan ukuran sel, sitoplasma, nukleolus, vakuolasi dan basofilia (Yenni,
2014).

Penggolongan ALL berdasarkan FAB adalah sebagai berikut.


Gambaran L1 L2 L3

Ukuran sel Kecil, regular Besar, ukuran Besar


beragam

Kromatin inti Halus atau padat Halus atau padat Halus

Bentuk inti Reguler, Irreguler, sering Regular, bulat,


mungkin terdapat celah oval
terdapat celah atau indentasi
atau identasi

Anak inti Indistinct 1 sampai2 jelas 1 sampai 2


jenis

Sitoplasma Scant Beragam, Sangat


seringkali cukup basofilik,
banyak bervakuol

WHO mengembangkan klasifikasi ALL berdasarkan sitogenik dan


karakteristik molekular. ALL terbagi atas 2 kelompok besar yaitu B
lymphoblastic leukemia/lymphoma (LLA-B) dan T lymphoblastic
leukemia/lymphoma (LLA- T). B lymphoblastic leukemia/lymphoma terdiri
atas dua tipe, yaitu B lymphoblastic
leukemia/lymphomanototherwisespecified (NOS) dan B lymphoblastic
leukemia/ lymphoma with reccurent genetic abnormalities, yang terdiri
dari 7 subtipe (Lanzkowsky, 2011).

ANAMNESIS

Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk


menegakkan diagnosis leukemia. Namun untuk memastikannya harus
dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, dan dilengkapi dengan
pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa
pemeriksaan penunjang yang lain. Pada pemeriksaan darah lengkap
didapatkan anemia, kelainan jumlah hitung jenis leukosit dan
trombositopenia. Bisa terdapat eosinofilia reaktif, pada pemeriksaan
preparat apus darah tepi didapatkan sel-sel blas.

Pada penyakit Leukemia Limfoblastik Akut (LLA), hasil anamnesis yang


didapatkan adalah berupa gejala sebagai berikut.

 Pucat mendadak, demam, perdarahan kulit berupa bercak kebiruan,


perdarahan dari organ tubuh lainnya, misalnya epistaksis, perdarahan
gusi, hematuria, dan melena.
 Bisa timbul mual, muntah, pusing, dan nyeri pada sendi
 Sering demam dengan sebab yang tidak jelas.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening (KGB)
KGB dan daerah sekitarnya harus diperhatikan. Kelenjar getah bening
harus diukur untuk perbandingan berikutnya. Harus dicatat ada tidaknya
nyeri tekan, kemerahan, hangat pada perbaan, dapat bebas digerakkan
atau tidak dapat digerakkan, apakah ada fluktuasi, konsistensi apakah
keras atau kenyal. Ukuran normal bila diameter < 1 cm (pada
epitroclear > 0,5 cm dan lipat paha > 1,5 cm dikatakan abnormal.
 
2. Pemeriksaan Hepar
Palpasi hepar dengan meletakkan tangan kiri di belakang pinggang
menyangga kosta ke 11 dan 12 dengan posisi sejajar dengan kosta,
ajurkan pasien untuk rileks, tangan kanan mendorong hepar ke atas dan
kedalam dengan lembut. Anjurkan pasien inspirasi dalam dan rasakan
sentuhan hepar saat inspirasi, jika teraba sedikir kendorkan jari dan raba
permukaan anterior hepar. Normal hepar: jika lunak tegas, tidak
berbenjol-benjol. Perkusi hepar, digunakan patokan 2 garis, yaitu garis
yang menghubungkan pusar dengan titik potong garis mid clavicula
kanan dengan arcus aorta dan garis yang menghubungkan pusar dengan
processus kifoideus. Pembesaran hati diproyeksikan pada kedua garis
ini dinyatakan dengan beberapa bagian dari kedua garis tersebut. Harus
pula dicatat yaitu konsistensi, tepi, permukaan, dan terdapatnya nyeri
tekan.

3. Pemeriksaan Limpa
Pada neonates, normal masih teraba sampai 1-2 cm. Dibedakan dengan
hati yaitu dengan.
a. Limpa seperti lidah menggantung ke bawah
b. Ikut bergerak pada pernapasan
Mempunyai incisura linealis, serta dapat didorong kea rah medial,
lateral, dan atas. Besarnya limpa diukur menurut Schuffner, yaitu garis
yang menghubungkan titik pada arkus kosta kiri dengan umbilicus
(dibagi 4) dan garis ini diteruskan sampai SIAS kanan yang merupakan
titik VIII. Garis ini digunakan untuk menyatakan pembesaran limpa.
Garis ini diteruskan ke bawah sehingga memotong lipat paha. Garis dari
pusat ke lipat paha pun dibagi 4 bagian yang sama. Limpa yang
membesar sampai pusar dinyatakan sebagai S. IV sampai lipat paha S.
VIII.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hitung Darah Lengkap
Hitung darah lengkap akan menunjukkan apakah sel leukemia ada di
dalam darah dan apakah kadar sel darah berbeda dengan yang
diharapkan pada orang sehat.

2. Bone Marrow Tests


Jika tes hitung darah lengkap menunjukkan kelainan pada jumlah atau
penampakan sel darah putih maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan
sampel sumsum tulang untuk memeriksa tanda-tanda leukemia.

3. Immunophenotyping
Uji ini mencari penanda atau sinyal yang disebut antigen yang
ditemukan pada permukaan sel untuk menentukan apakah menderita
ALL atau AML, jenis subtipe, dan jenis sel limfosit (sel B atau sel T)
yang terpengaruh.

4. Genetic Tests (cytogenetics and molecular tests)


Tes genetik yang disebut FISH (fluorescence in situ hybridisation)
dapat mencari kromosom abnormal (termasuk kromosom Philadelphia).
Sebuah tes yang disebut PCR (polymerase chain reaction) mencari
perubahan gen umum lainnya di kasus dengan ALL.

Sebagian besar sel dalam tubuh manusia memiliki 23 pasang


kromosom. Kromosom adalah struktur seperti benang yang berisi set
instruksi yang dikenal sebagai gen. Kromosom 22 abnormal pada
sekitar satu dari empat orang dewasa dengan ALL. Ini dikenal sebagai
kromosom Philadelphia.

Kromosom Philadelphia tidak diwariskan dan hal ini adalah perubahan


genetik yang terjadi pada beberapa orang selama hidup mereka.
Kromosom ini mengandung gen BCR-ABL yang dianggap sebagai gen
kanker karena hanya ada pada sel kanker yang sedang berkembang.
Gen ini menstimulasi tubuh untuk memproduksi jenis protein abnormal
yang disebut tirosin kinase, yang memberitahu sel-sel leukemia untuk
tumbuh dan berkembang biak. Obat-obatan terkadang digunakan untuk
memblokir tirosin kinase.

5. Rontgen Dada
Rontgen dada dilakukan untuk memeriksa jantung dan paru-paru, dan
untuk melihat apakah ada pembesaran kelenjar getah bening di dada.
Pembesaran kelenjar getah bening terkadang terlihat pada orang dengan
ALL.
6. Pungsi Lumbal
Tes ini menunjukkan jika ada sel leukemia yang telah menyebar ke
cairan di sekitar tulang belakang yang disebut cairan serebrospinal
(CSF).

Sampel CSF dikeluarkan dengan jarum tipis dari ruang antara dua
tulang di punggung bawah. Prosedur ini hanya memakan waktu
beberapa menit, tetapi karena dapat membuat tidak nyaman maka perlu
menggunakan anestesi lokal untuk mematikan rasa di area tersebut.
7. PET-CT scan
Untuk beberapa jenis ALL, pemindaian positron emission tomography
(PET) yang dikombinasikan dengan CT scan dapat diperlukan. Sebelum
pemindaian, dilakukan penyuntikan dengan sejumlah kecil larutan
glukosa radioaktif. Sel-sel kanker tampak lebih cerah pada pemindaian
karena sel tersebut mengambil lebih banyak glukosa daripada sel-sel
normal.

Perbandingan karakteristik morfologi sel blast pada Acute Lymphoblastic


Leukemia (ALL) dan Acute Myeloid Leukemia (AML) disajikan pada tabel
di bawah ini.
Limfoblas Mieloblas
Karakteristik Populasi sel blast Populasi sel blast cenderung
Umum cenderung homogen heterogen, kecuali bentuk
yang tidak berdiferensiasi
Ukuran Bervariasi, dominan Bervariasi, dominan
berukuran kecil berukuran besar
Nukleus  Tengah, terutama  Cenderung eksentrik,
bulat; terkadang bulat, oval atau bersudut;
menjorok, terutama terkadang berbelit-belit,
dalam bentuk pada terutama dalam bentuk
orang dewasa dengan komponen
monositik
 Rasio
nukleositoplasma  Rasio nukleositoplasma
sangat tinggi dalam tinggi pada sel blast yang
bentuk yang terjadi tidak berdiferensiasi dan
pada anak-anak pada beberapa
 Rasio megakarioblas
nukleositoplasma  Rasio nukleositoplasma
lebih rendah dalam terutama rendah dalam
bentuk yang terjadi bentuk dengan
pada orang dewasa diferensiasi
Kromatin  Halus, dengan Halus, granular, tersebar
kondensasi tersebar dengan halus
 Sangat padat dalam
limfoblas kecil
Nukleolus  Tidak ada dalam Hampir selalu ada,
limfoblas kecil seringkali besar dan
 Terkadang tidak jelas menonjol.
Sitoplasma  Sedikit, basofilik  Variabel
 Terkadang dengan
 Berlimpah dalam
satu proyeksi panjang
monoblas
('hand-mirror cell')
 Dengan tonjolan di
eritroblas dan
megakarioblas
Granular Jarang ada, azurofilik dan Terlihat dalam bentuk
selalu negatif untuk dengan diferensiasi dan
peroksidase, esterase dan positif dengan pewarnaan
toluidine blue sitokimia, yaitu

 Peroksidase dalam
lineage neutrofil dan
esoinofil

 Esterase nonspesifik
dalam lineage monosit

 toluidin biru dalam


lineage basofil

Auer rods Selalu tidak ada  Bisa terlihat


 Biasanya terlihat dalam
bentuk promyelocytic
hipergranular
Vakuola Bisa terlihat  Bisa terlihat
 Hampir selalu terlihat
dalam bentuk dengan
komponen monositik

PENATALAKSANAAN
Pasien dengan ALL umumnya mendapatkan kemotetrapi induksi dengan
tiga atau empat agen kemoterapi berdasarkan risiko awal mereka.

1. Resiko rendah dan standar mendapatkan vinkristin, prednisone, dan L-


asparaginase selama 4 minggu
2. Pasien resiko tinggi mendapatkan vinkristin, prednisone, dan L-
asparaginase dan juga antrasiklin (daunorubisin atau doksorubisin)

Selama induksi pemberian kombinasi metotreksat, sitarabin, dan


hidrokortison secara intratekal diberikan untuk mengobat leukemia SSP
yang sudah terjadi atau mencegah terjadinya keterlibatan SSP.

Setelah induksi, remisi akan tercapai dan akan dilanjutkan dengan fase
konsolidasi dengan terapi CNS-directed. Untuk pasien dengan penyakit
SSP yang terdeteksi saat diagnosis dan mereka adalah ALL sel T, terapi
radiasi kranial akan diberikan. Setelah itu pasien akan masuk ke terapi fase
pemeliharaan berkelanjutin, dengan total durasi terapi 2-3 tahun. Terapi
pemeliharaan umunya meliputi vinkristin bulanan, dan terapi
kortikosteroid oral jangka pendek (5-7 hari) ditambah 6-merkaptopurin
oral harian dan metotreksat mingguan (secara oral atau intramuskuler.
Pada sebagian besar protocol, kemoterapi intratekal) diberikan lebih
kurang setiap 3 bulan masa pemeliharaan.

Kemoterapi untuk ALL paking mendqsar terdiri dari panduan obat


(regimen) yaitu terdiri atas:

1. Vinkristin (VCR) : 1,5 mg/m2/minggu iv


2. prednison (pred); 6mg/m2/ari, oral
3. L asparaginase (L-asp): 10.000/U/ M2
4. Daunoruvicin (DNR): 25 mg/m2/4 minggu
Regimen yang dipakai untuk ALL resiko standar terdiri atas:

1. Pred+VCR
2. Pred+VCR+ L asp

Regimen untuk resiko tinggi terdiri atas:

1. Pred+VCR+DNR dengan atau tanpa L asp

Terapi post remisi terdiri atas:

1. Terapi untuk sanctuary phase (membasmi sel leukemia yang


bersembunyi di SSP dan testis)
 Triple IT yang terdiri atas : intratechal methotrexate (MTX), Ara
C (cytosine arabinoside), dan dexamethasone
 Cranial radiotherapy (CRT)
2. Terapi intensifikasi/konsolidasi: pemberian regime noncross-resistant
terhadap regimen induksi remisi.
3. Terapi pemeliharaan: dipakai 6 mercaptopurine (6 MP) per oral dan
MTX tiap minggu. Diberikan selama 2-3 tahun dengan diselingi terapi
konsolidasi atau intensifikasi.

Terapi suportif juga dapat dilakukan untuk menunjang keberhasilan


kemoterapi. Terapi uporitf berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh penyakit leukemia itu sendiri dan efek samping obat.
Terapi suportif yang diberikan adalah sebagai berikut.

1. Terapi untuk mengatasi anemia: transfuse PRC untuk


mempertahankan hemoglobin sekitar 9-10 g/dl. Untuk calon
transplantasi sumsum tulang, transfuse darah sebaiknya dihindari
2. Terapi untuk mengatasi infeksi yang terdiri atas:
 Antibiotika adekuat
 Transfuse konsentrat granulosit
 Perawatan khusus (isolasi)
 Hemopoietic growth factor (G-CSF atau GM-CSF)
3. Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas
 Transfuse konsenstrat trombosit untuk mempertahankan
trombosit minimal 10x10^6/ml idelanya 20x10^6/ml
 Pada M3 diberikan heparin untuk mengatasi DIC
4. Pengelolaan leukostasis denga hidrasi intravena dan leukopheresis
5. Pengelolaan sindrom lisis tumor dengan hidrasi yang cukup,
pemberian allopurinol dan alkalinisasi urine.

Anda mungkin juga menyukai