Anda di halaman 1dari 17

ASPEK LAHIR DAN ASPEK BATIN DALAM IBADAH

Dosen pengampu ; Agus Ali Dzawafi.Mfil.I


(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih)

Disusun oleh :
Kelompok 1
Nasya Aulia (201360036)
El Fatah Riayadul Falah (201360037)
Lutfi Mubarok (201360038)

Email : nasyaauliazarayoesa13@gmail.com

SEMESTER 1
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDDIN
FAKULTAS USULUDDIN DAN ADAB
PRODI BAHASA DAN SASTRA ARAB
2020/2021

Uin Smh Banten


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul’’Aspek lahir dan Aspek batin dalam ibadah’’ dengan lancar.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh
dosen mata kuliah Fiqih, Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari anggota kelompok sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam perbuatan makalah ini.
Kenyataan bahwa semua itu, kami menyadari bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat atau tata bahasanya. Oleh karena itu dengan senang hati kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang pancasila dalam konteks
ketetatanegaraan republik indonesia ini dapat memberikan manfaat serta memberi informasi
kepada pembaca.

Banten, 25 Oktober 2020

Penulis

Uin Smh Banten


DAFTAR ISI

JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakanng 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Pembahasan 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ibadah 3
B. Taharah Secara Lahir dan Batin 5
C. Salat Secara Lahir dan Batin 7
D. Puasa Secara Lahir dan Batin 9
E. Zakat Secara Lahir dan Batin 10
F. Haji Secara Lahir dan Batin 11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan 12
B. Saran 13

DAFTAR PUSAKA 14

Uin Smh Banten


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ibadah merupakan rangkaian ritual yang dilakukan manusia dalam rangka pengabdian
atau kepatuhan kepada sang Pencipta. Ibadah dalam Islam tidak hanya terbatas pada
hubungan manusia dengan Allah semata, melainkan juga terdapat hubungan antara manusia
dengan manusia lainnya serta antara manusia dengan alam (Razak, 1993: 18).
Ada dua pembagian ibadah dalam Islam, yaitu ibadah mahdlah dan ghairu mahdhah.
Ibadah mahdlah, yaitu ibadah yang berhubungan dengan penjalanan syariat Islam yang
terkandung dalam rukun Islam. Contoh ibadah mahdhah antara lain sholat, zakat, puasa dan
haji. Sementara ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang dilaksanakan umat Islam dalam
hubungannya dengan sesama manusia dan lingkungannya. Ibadah ghairu mahdhah dikenal
dengan ibadah muamalah (Nata, 2002: 55).
Dari dua pembagian ibadah ini, secara implisit maupun eksplisit ibadah tidak hanya
berupa rangkaian ucapan dan gerakan semata. Lebih dari itu dibalik ibadah terdapat nilai-
nilai luhur yang mengatur hubungan antar sesama. Nilai-nilai luhur ini biasa dikenal sebagai
etika atau akhlak. Hal ini yang kemudian dijadikan sebagai pijakan bagi umat Islam untuk
dapat menjadikan kehidupannya menjadi baik dan selalu bermanfaat bagi diri dan
lingkungannya. Terkait manifestasi etika atau akhlak tersebut, di dalam Islam keberadaannya
perlu diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun wujudnya adalah
1). Akhlak kepada Allah SWT,
2) Akhlak terhadap diri sendiri dan
3). Akhlak terhadap orang lain (Zain dkk, 2005: xvii).
Pembagian akhlak ini yang kemudian disebut sebagai nilai-nilai luhur yang penting
untuk dikembangkan bagi setiap muslim. Berangkat dari ilustrasi ini jelas bahwa ibadah
mempunyai nilai bagi yang menjalankannya. Selain nilai dari sebuah ibadah, keberadaannya
juga mempunyai tujuan yang telah ditetapkan.

Uin Smh Banten


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan ibadah?
2. Apa yang dimaksud aspek lahir dan batin dalam ibadah?
3. Apa yang dimaksud taharah secara lahir dan batin ?
4. Apa yang dimaksud shalat secara lahir dan batin ?
5. Apa yang dimaksud puasa secara lahir dan batin ?
6. Apa yang dimaksud zakat secara lahir dan batin ?
7. Apa yang dimaksud haji secara lahir dan batin ?

C. Tujuan Pembahasan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen kami Bapak
Agus Ali Dzawafi.Mfil.I. serta menyusun dan menjelaskan materi sesuai dengan rumusan
masalah diatas, tujuanya yaitu;
1. Mengetahui pengertian ibadah
2. Mengetahui pengertian aspek lahir dan batin dalam ibadah
3. Mengetahui pengertian taharah secara lahir dan batin
4. Mengetahui pengertian shalat secara lahir dan batin
5. Mengetahui pengertian puasa secara lahir dan batin
6. Mengetahui pengertian zakat secara lahir dan batin
7. Mengetahui pengertian haji secara lahir dan batin

Uin Smh Banten


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ibadah
Definisi ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk.
Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna
dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para
Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang
paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza
wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. (Al-Ustadz
Yazid bin Abdul Qadir Jawas).
Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap. Ibadah terbagi menjadi ibadah
hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta),
tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah
(yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan
dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). (Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas).
Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan
hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati,
lisan dan badan. Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia (Al-Ustadz Yazid bin
Abdul Qadir Jawas).Allah berfirman:

ُ ُ
ُ ‫نس ْال ِجنَّ َخلَ ْق‬
‫ت َو َما‬ َ ِ ‫ون إِاَّل َواإْل‬ ِ ‫اق ه َُو هَّللا َ إِنَّ ي ُْط ِعم‬
ِ ‫ُون أَن أ ِري ُد َو َما رِّ ْز ٍق مِّن ِم ْنهُم أ ِري ُد َما لِ َيعْ ُب ُد‬ ُ ‫ْال َمتِينُ ْالقُ َّو ِة ُذو الرَّ َّز‬

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha
Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

Uin Smh Banten


B. Aspek Lahir dan Batin dalam Ibadah
Para ulama membagi dua jenis ibadah badan atau ibadah ragawi.Sekolompok ibadah
masuk ke dalam rumpun ibadah badan atau ibadah ragawi yang bersifat lahiriah. Sedangkan
sekolompok ibadah lainnya masuk ke dalam rumpun ibadah badan atau ibadah ragawi yang
bersifat batiniah. Para ulama memasukkan ibadah seperti shalat dan rukun Islam lainnya ke
dalam rumpun ibadah badan lahiriah. Meski demikian, ibadah shalat menempati keutamaan
teratas. Oleh karena itu, dalam situasi apa pun selagi masih sadar, seseorang tidak memiliki
alasan syar‘i untuk meninggalkan ibadah shalat shalat seperti keterangan Syekh M Nawawi
Banten berikut ini:
Artinya, “Kedua dari rukun Islam adalah (mendirikan shalat). Shalat adalah ibadah
badan lahiriah yang paling utama. Di bawahnya adalah ibadah puasa, kemudian haji, lalu
zakat. Keutamaan ibadah shalat wajib melebihi keutamaan ibadah wajib lainnya.
Keutamaan shalat sunnah melebihi keutamaan ibadah sunnah lainnya. Selagi masih
memiliki kesadaran, seseorang tidak ada pembenaran syar‘i untuk meninggalkan shalat,”
(Lihat Syekh M Nawawi Banten, Kasyifatus Saja, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil
Arabiyyah], halaman 5).
Sementara di sisi lain, para ulama memasukkan ibadah seperti keimanan, makrifat,
tafakur, tawakal, sabar, syukur, harap dan takut (kepada Allah), rela atas qadha dan qadar,
cinta kepada Allah, tobat, dan lainnya ke dalam rumpun ibadah badan batiniah.
Artinya, “Adapun ibadah badan batiniah adalah keimanan, makrifat, tafakur,
tawakal, sabar, harap (kepada Allah), rela atas qadha dan qadar, cinta kepada Allah, tobat,
dan bersuci dari sifat tercela yaitu tamak dan semacamnya,” (Lihat Syekh M Nawawi
Banten, Kasyifatus Saja, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah], halaman 5-6).
Secara umum, para ulama menempatkan ibadah badan batiniah lebih utama daripada
ibadah badan lahiriah sebagai keterangan Syekh M Nawawi Banten berikut ini.Artinya,
“Ibadah badan batiniah lebih utama dibandingkan dengan ibadah badan lahiriah, bahkan
dibandingkan dengan shalat sekali pun. Sebuah hadits menyebutkan, ‘Tafakur sejenak lebih
utama daripada ibadah selama enam puluh (60) tahun.’ Tetapi yang paling utama dari
semua ibadah badan batiniah itu adalah keimanan,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten,
Kasyifatus Saja, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah], halaman 6)
Tetapi puncak keutamaan ibadah badan batiniah itu jatuh pada keimanan. Tiada
keutamaan ibadah badan batiniah apa pun melebihi ibadah keimanan. Hanya saja yang perlu
menjadi catatan adalah bahwa penilaian keutamaan ini bukan alasan bagi kita untuk
meninggalkan atau mengecilkan ibadah badan lahiriah dan batiniah mana pun.Wallahu a‘lam.

Uin Smh Banten


C. Toharoh Secara Lahir dan Batin
Thaharah itu berarti kesucian atau kebersihan. Mengenai maksudnya itu para ulama
berbeda pendapat. Akan tetapi yang lebih populer Thaharah itu terbagi ke dalam dua bagian,
yaitu Lahir dan Batin sebagaimana disebutkan dalam Minhajul Muslim.
a. Thaharah batin ialah membersihkan jiwa dari pengaruh-pengaruh dosa, dan maksiat
dengan bertaubat secara benar dari semua dosa dan maksiat, dan membersihkan hati dari
semua kotoran syirik, ragu-ragu, dengki, iri, menipu, sombong, ujub, riya', dan sum'ah
dengan ikhlas, keyakinan, cinta kebaikan, lemah-lembut, benar dalam segala hal, tawadhu,
dan menginginkan keridhaan Allah Ta'ala dengan semua niat dan amal shalih.
b. Adapun thaharah lahir ialah thaharah dari najis dan hadast (kotoran yang hanya dapat
dihilangkan dengan wudlu, mandi, atau tayammum).
Ada tiga istilah yang sering digunakan untuk membicarakan pembersihan atau
penyucian, yaitu nadhafah (pembersihan lahir), tazkiyah (pembersihan batin), dan thaharah
(pembersihan lahir batin). Jika pembersihan lebih ditekankan kepada fisik material disebut
nadhafah, seperti istilah yang digunakan dalam hadis, al-Nadhafah min al-iman (kebersihan
[fisik] merupakan bagian dari iman).
Penyucian yang lebih ditekankan kepada nonfisik disebut tazkiyah, seperti dikenal
dengan istilah tazkiyah al-nafs, sebagaimana digunakan dalam QS al-Syams/91: 9, qad aflaha
man zakkaha (sesungguhnya beruntunglah orang yang me nyucikan jiwa itu), atau dalam QS
at-Taubah/9: 103, khudz min amlihim shadaqah tuthahhirhum wa tuzakkihim biha (ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan
mereka).
Konsep tha harah dalam literatur umum Islam lebih sering digunakan karena
mencakup pembersihan semua aspek, baik aspek fikih, tarekat maupun hakikat. Yang paling
umum digunakan ialah thaharah yang dalam kitab-kitab fikih diartikan dengan pembersihan
atau penyucian diri dari hadas kecil dan hadas besar.
Hadas kecil ialah suatu keadaan yang mengharuskan kita untuk berwudhu sebelum
men jalankan ibadah shalat, menyentuh mushaf Alquran, dan ibadah-ibadah lainnya.
Sedangkan, hadas besar ialah suatu keadaan yang mengharuskan seseorang untuk mandi
junub, yaitu mandi keramas dengan sekujur tubuh seusai melakukan hubungan suami istri,
seusai menjalani menstruasi dan darah nifas, dan orang yang baru masuk Islam.
Allah SWT sejak awal menekankan pentingnya pembersihan diri sebagaimana
ditegaskan dalam ayat, wa tsiyabaka fathahhir war rujza fakhjur (bersihkanlah pakaianmu dan
tinggalkanlah perbuatan dosa/QS al-Muddatsir/74: 9-10).

Uin Smh Banten


Kalangan sufi memahami kata al-tsiyab (pakaian) di dalam ayat ini bukan hanya
pakaian luar yang melekat di badan, tetapi badan itu sendiri adalah pakaian, yakni pakaiannya
jiwa, kalbu, pikiran, dan roh. Bukankah badan atau jasad itu ju ga berarti pembungkus, yakni
organ fisik yang menghimpun dan menyatukan organ spiritual yang ada di dalamnya.
Badan juga dipahami oleh mereka sebagai tempat sujud (masjid) untuk organ spiritual
ma nusia. Bahkan, ada ulama yang mengatakan badan itu adalah rumahnya roh, sementara
roh itu disebut juga di dalam ilmu tarekat dengan unsur Lahut yang di-install Tuhan ke dalam
diri manusia, sebagaimana dijelaskan di dalam ayat, fa idza saw waituhu wa nafakhtu fihi
min ruhi (maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke
dalamnya roh-Ku maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.) (QS al-Hujurat/15:
29).Jika roh-Nya berada di dalam badan manusia, bisa diartikan badan adalah "Baitullah" dan
lebih jauh bisa dipahami sebagai "kiblat". Dengan demi kian, wajar jika pembersihan
"pakaian" di sini dihubungkan dengan potongan ayat berikutnya, war rujza fakhjur (dan
tinggalkanlah perbuatan dosa) karena hal itu pasti mengotori "pakaian" tadi.
Jika badan adalah "masjid", apalagi sebagai "Baitullah" atau "kiblat" maka dengan
sendirinya badan harus selalu dipelihara kebersihan dan kesuciannya. Badan yang
terkontaminasi dengan kotoran lahir dan batin wajar disebut najasah yang membutuhkan
pembersihan dan penyucian, yang kemudian disebut dengan thaharah. Dalam perspektif
tasawuf, cakupan thaharah bukan hanya kebersihan fisik (nadhafah), melainkan juga, bahkan
lebih utama, ialah kebersihan batin.
Kita sering menjumpai potongan ayat dalam mushaf Alquran, la yamassuhu illa al-
muthahharun (tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.(QS al-
Waqi’ah/56: 78). Alat dan cara penyucian badan yang terkontaminasi dengan kotoran dan
dosa diatur secara perinci, bahkan lebih perinci dari cara pelaksanaan shalat itu sendiri. –
Bersambung

Uin Smh Banten


D. Shalat Secara Lahir dan Batin
a. Pengertian Shalat
Shalat dari bahasa Arab As-sholah, sholat menurut Bahasa / Etimologi berarti Do‟a
dan secara terminology/istilah, para ahli fiqh mengartikan secara lahir dan hakiki.
Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan
takbir dan diakhiri dengan salam., yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut
syarat-syarat yang telah ditentukan.
Adapun secara hakikinya ialah berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, secara yang
mendatangkan takut kepadaNya serta menumbuhkan didalam jiwa rasa kebesaranNya atau
mendhohirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan
pekerjaan atau keduaduanya.6 Sebagaimana perintah-Nya dalam surah al-Ankabut ayat 45:

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan
Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat
yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dari beberapa pengertaian diatas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah merupakan
ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara‟.
b. Tujuan shalat
Shalat dalam agama Islam menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh
ibadah manapun juga, ia merupakan tiang agama dimana ia tak dapat tegak kecuali dengan
shalat.
Adapuntujuan didirikan shalat menurut al- Qur‟an dalam surah al- Ankabut ayat 45:

Artinya:… “dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan mungkar.....”

Uin Smh Banten


Dari unsur kata – kata melaksanakan itu tidak mengandung unsur batiniah sehingga
banyak mereka yang Islam dan melaksanakan shalat tetapi mereka masih berbuat keji dan
munkar. Sementara kata mendirikan selain mengandung unsur lahir juga mengandung unsur
batiniah sehingga apabila shalat telah mereka dirikan , maka mereka tidak akan berbuat jahat.

E. Puasa Secara Lahir dan Batin


a. Pengertian Puasa
Puasa dalam Bahasa Arab yaitu”As-Siyaam” yang artinya menahan diri dari sesuatu
yang membatalkan puasa. Sedangkan menurut istilah, puasa adalah menahan diri dari makan,
minum, hubungan seksual suami istri dan segala yang membatalkan sejak dari terbit fajar
hingga terbenam matahari dengan niat karena Allah SWT.
Selama ini berkembang pandangan bahwa puasa lahir bathin itu terbagi dua, yakni
puasa yang bersifat thzohiriyah dan puasa bathiniah. Keduanya kemudian dipisahkan sebagai
kegiatan puasa yang bersifat fisik dan psikis.Puasa memiliki dua dimensi: lahir dan batin.
Puasa lahir adalah puasa dengan standar ilmu fikih (ilmu hukum Islam) bagi orang
awam, sedangkan puasa batin adalah puasa dengan standar ilmu tasawuf (ilmu rohani Islam)
bagi orang khusus. Di kitab Ihyâ 'Ulûmiddîn, bab Rahasia Puasa, Abu Hamid Al-Ghazali
menyatakan ada enam syarat untuk menjalani puasa Ramadan secara lahir, dan enam syarat
pula untuk menjalani puasa Ramadan secara batin.
Pemahaman ini mungkin diambil dari pemikiran Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab
Ihyaa 'Uluumiddiin, pada bab Rahasia Puasa. Beliau menetapkan enam syarat puasa secara
lahir, dan enam syarat puasa secara bathin.
Enam syarat puasa secara lahir, meliputi: mengetahui awal bulan Ramadhan, niat
puasa, menahan diri memasukkan sesuatu ke lubang tubuh dengan sengaja, tidak bersetubuh,
tidak onani, tidak sengaja muntah, sejak azan subuh hingga magrib.Sedangkan enam syarat
puasa secara batin adalah mengendalikan mata, menjaga mulut, menjaga telinga, mencegah
anggota tubuh melakukan dosa, dan tidak banyak makan, serta hati senantiasa berharap agar
puasanya diterima Allah SWT.Sayangnya syarat tentang puasa itu disimpulkan dengan sangat
sederhana sebagai puasa lahir dan puasa bathin. Kesimpulan ini semakin bias karena puasa
lahir dimaknai menjadi standar ilmu fikih bagi orang awam. Sedangkan puasa bathin adalah
puasa dengan standar ilmu tasawuf, yang berlaku bagi orang-orang khusus, sufi.
Pandangan yang berkembang luas ini tidak sepenuhnya salah, tetapi perlu didudukkan
secara proporsional. Karena menurut hemat penulis, syarat puasa lahir dan bathin yang
disampaikan oleh Imam Ghazali itu berlaku secara komprehensif.

Uin Smh Banten


F. Zakat Secara Lahir dan Batin
a. Pengertian Zakat
Zakat adalah satu rukun yang bercorak sosial ekonomi dari ilmu rukun Islam. Di
samping ikrar tauhid (syahadat) dan shalat, seseorang barulah sah masuk ke dalam barisan
umat Islam dan diakui keIslamannya.
Zakat menurut bahasa adalah nama’ yang berarti : kesuburan, taharah, kesucian,
barakah, keberkatan, dan berarti juga tazkiyah/ tathir, mensucikan. Dalam eksiklopedi Islam
Indonesia zakat menurut bahasa berarti tumbuh berkembang, bersih atau baik dan terpuji.
Menurut istilah fiqih zakat adalah kadar harta tertentu yang diberikan kepada
kelompok tertentu dengan berbagai syarat tertentu. Munawir Syadzali mengutip pendapat
Achmad Tirtosudiro, bahwa zakat adalah pengambilan sebagian harta dari orang muslim
untuk kesejahteraan orang muslim dan oleh orang muslim.3 Dalam UU RI No. 38 Tahun
1999 tentang pengelolaan zakat, dijelaskan bahwa zakat adalah harta yang wajib disisihkan
oleh seorang muslim.
Penamaan zakat bukanlah karena menghasilkan kesuburan bagi harta, tetapi karena
mensucikan masyarakat dan menyuburkannya. Zakat merupakan manifestasi dari gotong
royong antara para hartawan dengan para fakir miskin, pengeluaran zakat merupakan
perlindungan bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan yaitu kemiskinan, kelemahan
baik fisik maupun mental, masyarakat yang terpelihara dari bencana-bencana tersebut
menjadi masyarakat yang hidup, subur dan berkembang keutamaan di dalamnya.
Firman Allah SWT:

Artinya:
”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.(QS, At-
Taubah :103)

b. Dasar Hukum Zakat


Merupakan salah satu rukun Islam, zakat diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal
tahun kedua Hijriyah, perwajiban terjadi setelah perwajiban puasa Ramadhan dan zakat

Uin Smh Banten


fitrah. Dalam Al-Qur’an zakat digandengkan dengan kata shalat sebanyak delapan puluh dua
tempat. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Selain
itu zakat juga menjadi salah satu diantara panji-panji Islam yang tidak boleh diabaikan oleh
siapa pun juga. Oleh karena itu, orang yang enggan membayar zakat boleh diperangi dan
orang yang menolak kewajiban zakat dianggap kafir. Karena dalam penunaian zakat itu
memiliki arti yang sangat penting. Adapun hukumnya zakat adalah aini dalam arti kewajiban
yang ditetapkan untuk diri pribadi dan tidak mungkin dibebankan pada orang lain.

G. Haji Secara Lahir dan Batin


a. Pengertian.
Ibadah haji merupakan salah satu sarana melakukan komunikasi antara seorang
hamba dengan Khalik-nya. Ibadah ini pertama kali disyari’atkan pada tahun keenam Hijrah,
sebagaimana Firman Allah swt. dalam QS Ali ’Imran/3:96-97. Kata al-Hajj menurut bahasa
berarti menyengaja. Karena itu menurut istilah syari’at Islam, ia berarti menyengaja
mengunjungi Ka’bah di Mekah untuk melakukan beberapa rangkaian amal ibadah menurut
rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syara’. Haji merupakan rukun Islam yang
kelima dan pokok ibadah yang keempat, yang diperintahkan setelah disyari’atkan ketiga
pokok ibadah sebelumnya, yakni: ibadah salat, ibadah puasa Ramadhan, dan ibadah zakat.

b. Hikmah di Balik Sejarah Pelaksanaan Ibadah Haji.


Ibadah haji mengandung nilai-nilai historis. Dari sejak mengenakan pakaian ihram
yang melambangkan kezuhudan manusia sebagai latihan untuk kembali kepada fitrahnya
yang asli, yaitu sehat dan suci-bersih. Dengan pakaian seragam putih, mereka berkumpul
melakukan Ukuf di ‘Arafah. Kata ukuf berarti berhenti, sedang kata ‘arafah berarti naik-
mengenali. Dari makna bahasa ini dapat diperoleh suatu hikmah, bahwa Ukuf di ‘Arafah,
pada hakekatnya, adalah suatu usaha di mana secara fisik, tubuh kita berhenti di Padan
‘Arafah, lalu jiwa-spiritual kita naik menemui Allah swt. Ukuf di ‘Arafah ini memberikan
rasa keharuan dan menyadarkan mereka akan yaumul mahsyar, yang ketika itu, manusia
diminta untuk mempertanggung jawabkan atas segala yang telah dikerjakannya selama di
dunia. Di Padan ‘Arafah itu, manusia insaf dengan sesungguhnya akan betapa kecilnya dia
dan betapa agungnya Allah, serta dirasakannya bahwa semua manusia sama dan sederajat di
sisi Allah, sama-sama berpakaian putih-putih, memuji, berdoa, sambil mendekatkan diri
kepada Allah, Tuhan semesta alam.

Uin Smh Banten


Ibadah thawwaf dan sa’i yang dilakukan secara serempak dalam suasana khusyu’
mengesankan keagungan Allah. Bacaan-bacaan yang dikumandangkan mensucikan dan
mentauhidkan Allah memberi makna bahwa kaum muslim harus hidup dinamis, senantiasa
penuh gerak dan perjuangan, bahkan pengorbanan demi untuk menggapai keridhaan Allah
swt. Peristiwa sa’i mengingatkan manusia akan perlunya hidup sehat disertai usaha sungguh-
sungguh dan perjuangan habis-habisan dalam meraih kesehatan, kesejahteraan, dan
kebahagiaan paripurna.
Pada bulan haji, umat Islam se dunia mengadakan pertemuan tahunan secara besar-
besaran, yang pesertanya berdatangan dari seluruh penjuru dunia, yang terdiri atas berbagai
bangsa. Mereka semua dipersatukan di bawa lindungan Ka’bah. Ka’bah-lah yang menjadi
lambang persatuan dan kesatuan umat. Pertemuan seperti inilah yang perlu dimanfaatkan oleh
umat Islam dalam rangka pembinaan dan pembangunan masyarakat Islam baik nasional
maupun internasional.
Dengan menunaikan ibadah haji, umat Islam didorong untuk menjadi manusia yang
luas gerak dan pandangan hidupnya, yang dapat menambah ilmu dan pengalaman dengan
berbagai bahasa. Melalui perkenalan itu lahir saling pengertian yang lebih baik, rasa hormat,
dan saling harga-menghargai di antara sesama umat Islam dari berbagai penjuru dunia. Syarat
”mampu dan kuasa”, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS Ali ’Imran/3:97, telah
ditetapkan oleh Allah untuk menunaikan ibadah haji, mendidik setiap umat Islam agar
mereka menjadi kuat dan sehat dalam bidang harta benda, fisik, dan rohani untuk dapat
melakukan ibadah haji, yang sifatnya wajib hanya sekali seumur hidup. Karena itu, syarat ini
pula mengisyaratkan bahwa haji merupakan ibadah fisik, ibadah rohani, dan ibadah dana.

Uin Smh Banten


BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam bukanlah agama yang hanya mementingkan aspek batin atau hakikat tanpa
memerdulikan aspek lahir (dhahir) atau syari’at sama sekali. Sebaliknya, Islam juga bukan
agama yang hanya memprioritaskan aspek lahir atau syari’at tanpa memperhitungkan aspek
batin atau hakikat.
Dalam Islam, setiap ibadah memiliki kedua aspek tersebut. Demikian disampaikan
Imam Mukhsin, salah satu ketua majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) di Kota
Yogyakarta. “Apapun bentuk ibadahnya, kita usahakan untuk melaksanakan kedua aspek
ini. Tidak bisa lahiriyah saja, atau batiniyah saja,” Terkait dengan hal itu, pihaknya menyitir
kisah Hatim Al-A’sham, seorang sufi yang ditanya oleh salah satu muridnya, Ashim bin
Yusuf.
Semua kegiatan ibadah yang ditetapkan syariat sesungguhnya memiliki sisi batin. Ibn
Arabi mengatakan, “Ketahuilah bahwa Allah berfirman kepada manusia dan keseluruhannya,
dan tidaklah Dia melebih-lebihkan sisi lahir ucapan-Nya atas sisi batinnya atau sebaliknya.
Kebanyakan orang yang menyeru kepada agama hanya memperhatikan sisi lahiriah
pengetahuan hukum-hukum syariat, tapi lalai terhadap sisi batin hukum-hukum tersebut,
kecuali segolongan kecil dari mereka yang berada di jalan Allah, yakni mereka yang menilik
lahir-batin semua hukum.
Tidak ada hukum lahiriah yang mereka tetapkan dalam syariat kecuali mereka
temukan hubungannya dengan sisi batin manusia. Dengan demikian, mereka menangkap
keseluruhan hukum agama yang disyariatkan. . Mereka beribadah kepada Allah dengan
melaksanakan apa yang telah disyariatkan Allah bagi mereka secara lahir dan batin, sehingga
mereka jaya dan beruntung di saat kebanyakan orang gagal dan merugi.
Soalnya kemudian adalah bagaimana cara manusia hidup di alam lahir berhubungan
dengan alam batin. Menurut Ibn Arabi, untuk masuk ke wilayah batin, seseorang harus
“menyeberang dan melintas”. Dalam bahasa Arab, “menyeberang disebut ‘abara”. Berbagai
derivat kata itu berkali-kali digunakan Al-Qur’an untuk konteks yang beraneka ragam. Dalam
surah Yusuf ayat 43, Al-Qur’an menggunakannya untuk kemampuan takwil atau takbir
mimpi. Dan mimpi adalah peristiwa yang berlangsung secara langsung di alam batin.

Uin Smh Banten


Dalam surah al-Hasyr ayat 2, Al-Qur’an menggunakannya dalam konteks mengambil
pelajaran dari kengerian yang menimpa orang-orang kafir. Seperti terungkap dalam ayat itu,
mengambil pelajaran itu merupakan kegiatan batin yang hanya bisa dilakukan oleh uli al-
abshar (orang-orang yang bermata budi).

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini dimohon kepada pembaca untuk giat belajar dan
berusah, semoga dengan di buatkannya makalah ini mempermudah penulis khususnya
pembaca dalam proses pembelajaran.

Uin Smh Banten


DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun, islam ditinjau dari berbagai aspeknya jilid 1,(Jakarta: UI Press, 1979).
Daradjat Zakiyah, dkk, dasar dasar agama islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
Mahmud H., studi islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015)
https://almanhaj.or.id/2267-pengertian-ibadah-dalam-islam.html
http://eprints.walisongo.ac.id/6705/3/BAB%20II.pdf
https://islam.nu.or.id/post/read/96516/ini-ibadah-lahir-dan-batin-yang-utama-dalam-islam
http://fiqhul-islam.blogspot.com/2012/06/pengertian-thaharah-lahir-batin.html?m=1
https://islam.nu.or.id/post/read/100468/memahami-shalat-lahir-dan-batin
https://id.wikishia.net/view/Haji
https://www.nu.or.id/post/read/46057/setiap-ibadah-ada-dimensi-lahir-dan-batinnya
https://islamindonesia.id/tasawwuf/tasawuf-lahir-dan-batin-selesai.htm

Uin Smh Banten

Anda mungkin juga menyukai