Anda di halaman 1dari 100

1

MODUL 3

ASUHAN KEPENATAAN
PRA, INTRA, PASCA ANESTESI

Tim Penyusun : IKATAN PENATA ANESTEI INDONESIA


( Sub Bidang Pendidikan IPAI )
2

DAFTAR ISI

Hal
Pengantar Mata Kuliah:
A Asuhan Kepnataan Anestesi pada Pra Anestesi : ……..
B. Asuhan Kepenataan Anestesi pada Intra Anestesi : ………
C. Asuhan Kepenataan Anestesi pada Pasca Anestesi : ………
Daftar Pustaka
3

PENGANTAR BAHAN AJAR

Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi


khususnya dalam bidang kesehatan, dan semakin meningkatnya kesadaran
masyarakat terhadap mutu dan kwalitas pelayanan kesehatan termasuk pelayanan di
bidang kepenataan anestesi sebagai bagaian integral daripada pelayanan kesehatan
yang meliputi, biomedik, anestesiologi dan instrumentasi anestesi. Hal ini perlu
disikapi secara proaktif dan dukungan para penyelenggaran pendidikan agar para
lulusan yang dihasilkan mampu bekerja secara profesional di bidang kesehatan
khususnya pelayanan kepenataan anestesi.
Dalam rangka pengembangan mutu pelayanan kepenataan anestesi sesuai
dengan harapan dan tuntutan masyarakat harus ditunjang oleh tenaga keperawatan
anestesi yang dapat dibina dan kembangankan secara berkesinambungan
profesionalismenya dalam berbagai cara baik secara formal maupun informal.
Salah satunya melalui pengembangan pendidikan berkelanjutan bagi tenga
kesehatan. Agar mereka dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi keperawatan terkini sehingga mampu menerapkannya dalam memberikan
pelayanan keperawatan secaraa profesional dan berkualitas kepada masyarakat.
Program ini berjalan dengan baik perlu di tunjang dengan adanya bahan ajar
yang memadai, seperti ketersedian modul bagi peserta didik. Salah satu modul
pembelajaran, yang disediakan adalah Modul Asuhan Kepenataan Anestesi
Pra, Intra, Pasca Anestesi.
Ada beberapa manfaat yang akan Anda peroleh setelah mempelajari materi
dalam mata kuliah ini, diantaranya. Anda akan memperoleh wawasan dan
pengetahuan baru berkaitan dengan konsep kepenataan anestesiologi yang nanti
dapat anda gunakan sebagai pedoman kerja ketika anda akan memberikan asuhan
keperawatan anestesi kepada pasien. Selain itu Anda akan dapat menilai tingkat
kemampuan diri sendiri karena anda harus belajar mandiri tanpa harus melakukan
tatap muka langsung dengan tutor atau pembimbing mata kuliah ini. Anda juga dapat
mengetahui pada bagian-bagian modul mana yang masih belum sepenuhnya anda
pahami.

Jakarta, … Juni 2018

Tim Penyusun Bidang Pendidikan


Penata Anestesi
4

ASUHAN KEPENATAAN PRA, INTRA, PASCA ANESTESI

I. DESKRIPSI SINGKAT
Pelayanan kepenataan anestesi merupakan suatu rangkaian kegiatan asuhan
secara komprehensif kepada pasien yang tidak mampu menolong dirinya
sendiri (Self care defisit ) dalam tindakan pelayanan anestesi pada Pre, Intra
intra anestesi yakni bekerja secara independen dan secara teratur dalam
berkolaborasi dengan ahli anestesi, ahli bedah dan tenaga profesioanal nakes
lainnya untuk melayani klien/pasien
Asuhan kepenatan anestesi merupakan suatu rangkaian kegiatan asuhan
secara komprehensif kepada pasien yang tidak mampu menolong dirinya
sendiri (Self care defisit ) dalam tindakan pelayanan anestesi pada Pre, Intra
intra anestesi dengan pendekatan metode asuhan kepenataan anestesi meliputi
pengakajian, analisa dan penetapan masalah, rencana intervensi, implementasi
dan evaluasi

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melakukan pelayanan asuhan
kepenataan pre, ntra dan pasca anestesi secara inedependen atau dengan
pelimpahan wewenang secara mandat oleh dokter spesialis anestesi.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mengikuti materi ini peserta diharapkan mampu :
1. Memberikan asuhan kepenataan pre anestesi
2. Memberikan asuhan kepenataan intra anestesi
3. Memberikan asuhan kepenataan pasca anestesi
4. Melaksanakan standar kompetensi penata anestesi

III. METODE
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
3. Curah pendapat
4. Simulasi
5. Pemutaran Film
5

IV. MEDIA DAN ALAT BANTU


1. Laptop
2. LCD
3. Flipchart
4. White board
5. Spidol (ATK)
6. Bahan tayang
7. Standar Operasional Prosedur (SOP)
8. Panduan simulasi
9. Menequin (alat peraga)
10. Peralatan intubasi
11. Peralatan ekstubasi
12. Film/ Video
13. Stethoscope
14. Laryngoscope
15. Guedel airway
16. Nasopharyangeal airway
17. Endotracheal tube
18. Magill’s forceps
19. Gum-elasticbougie
20. Artery forceps
21. Syringe10, 20ml
22. Xylocain jelly
23. Connector, plester
24. Tabung, regulator, dan selang oksigen
25. Barrier face mask,
26. Pocket mask
27. Bag valve mask (bagging)
28. Sarung tangan unsteril
6

MATERI I
ASUHAN KEPENATAAN PRE ANESTESI

A.KONSEP PRA ANESTESI


1. Pengertian
Asuhan kepenataan anestesi pra anestesi yang merupakan pemberian
asuhan dan/atau berpartisipasi dalam menyiapkan dan menilai fisiologis dan
psikologis pasien, sebagai dasar untuk menentukan perawatan anestesi yang
dibutuhkan selama periode intra anestesi.

2. Tujuan .
a. Mempersiapakan mental dan fisik pasien secara optimal dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan
lain.
b. Pemilihan teknik tindakan dan obat anastesi yang sesuai dengan keadaan
fisik dan kehendak pasien, untuk meminimalkan komplikasi
c. Menentukan klasifikasi pasien menurut ASA sesuai hasil pemeriksaan fisik
untuk mendapatkan gambaran prognosis pasien secara umum.

3. Reaksi fisiologis Sebelum Operasi


Reaksi fisiologis yang sering terjadi sebelum operasi adalah reaksi
terhadap nyeri dan rasa takut terdiri atas bagian yaitu reaksi somatic
(voluntary) dan reaksi simpatetik (involuntary). Efek somatic ini timbul didalam
kecerdasan dan menumbuhkan dorongan untuk bertahan atau menghindari
kejadian tersebut. Kebanyakan pasien akan melakukan modifikasi terhadap
manifestasi efek somatic tersebut dan menerima keadaan yaitu dengan
nampak tenang.

4. Persiapan pre anestesi


a. Ruang di Perawatan
1) Kunjungan Pre Anestesi
Setiap pasien yang akan mengalami anestesi harus dilihat dan
diperiksa dulu oleh dokter ahli anestesi yang didampingi oleh penata
anestesi pada 1 (satu) hari sebelum operasi apabila tindakan
7

pembedahan terencana atau pada waktu dikonsulkan oleh ahli bedah


untuk pembedahan darurat. Kunjungan dan pemeriksaan ini disebut
dengan kunjungan prabedah (pre operatif visit) untuk menghilangkan
efek psikologis pasien karena kecemasan atau ketakutan.
Kunjungan pre anestesi ini dapat menciptakan hubungan emosional
yang baik bagi pasien dengan dokter spesialis anestesi dan penata
anestesi. Saat melakukan kunjungan pre anestesi dapat diberikan
pengertian pada pesien tentang hal-hal yang dialami selama tindakan
anestesi (misalnya harus puasa ± 6 jam, diberikan obat pencahar,
mendapatkan suntikan/obat premedikasi dipasang infus dll) dan
setelah pembedahan mungkin timbul efek anestesi rasa sakit, mungkin
terasa pusing atau mual dsb) yang harus diwaspadai sehingga perlu
diobservasi di ruangan pulih sadar (akan berada di suatu ruangan yang
belum dikenal yaitu ruang pulih sadar).
2) Persiapan Sebelum Pembedahan
Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
a) Pengosongan lambung : dengan cara puasa atau memasang
NGT.
- Lama Puasa:
Jenis Asupan dan Waktu
Usia
Makanan Clear Susu
ASI
Padat Liquids Formula
Neonatus 4 jam 2 jam 4 jam 4 jam
< 6 Bulan 4 jam 2 jam 6 jam 4 jam
6 – 36 bulan 6 jam 3 jam 6 jam 4 jam
> 36 bulan 6 jam 2 jam 6 jam
Dewasa 6 - 8 jam 2 jam 6 jam
Sumber : Permenkes Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif
HK.02.02/MENKES/251/2015

- Pada operasi darurat, pasien tidak puasa, maka dilakukan


pemasangan NGT untuk dekompresi lambung
b) Pengosongan kandung kemih.
c) Pemeriksaan fisik ulang
d) Melepaskan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.
e) Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi
atau secara intravena jika diberikan beberapa menit sebelum
operasi.
3) Persiapan Administrasi
 Informed consent (Surat izin operasi dan anestesi).
4) Persiapan untuk Pencegahan Penyulit yang akan terjadi
a) Penyakit Kardiovaskular
8

 Pertahankan terapi oksigen dan pemantauan EKG sampai


pasca operasi.
 Zat anestesi dapat menyebabkan jantung menjadi sensitive
terhadap kerja katekolamin yang dilepaskan, sehingga dapat
terjadi kemunduran hemodinamik dan dapat terjadi aritmia,
takikardi ventricular sampai fibrilasi ventricular.
 Pada pasien dengan gagal jantung mengakibatkan penurunan
perfusi organ sehingga pengambilan gas dan uap inhalasi dapat
terhalangi.
 Pada pasien hipertensi, maka terapi anti hipertensi diteruskan
sepanjang operasi karena berbahaya hipertensi balik dengan
resiko gangguan kardiovaskular jika setelah penghentian obat
b) Penyakit Pernafasan
 Penyakit saluran nafas dan paru-paru mempengaruhi
oksigenasi dan eliminasi CO2.
 Bronkospasme berat dapat mengancam jiwa, kadang-kadang
timbul pada pasien asma atau pecandu nikotin.
 Penundaan operasi elektif pada pasien yang menderita infeksi
saluran nafas atas karena efek obat sedative dan atropine, dan
penurunan respons imunologi yang terjadi karena anestesi
umum dapat meningkatkan resiko infeksi dada pascaoperasi.
c) Diabetes Mellitus
Obat anestesi bersifat meningkatkan glukosa darah. Penderita
diabetes mellitus yang tidak stabil seharusnya tidak di anestesi
untuk pembedahan elektif, kecuali jika kondisi bedah itu sendiri
merupakan penyebab ketidakstabilan tersebut.
d) Penyakit Hati
 Metabolisme obat-obatan anestesi akan terganggu akibat
adanya gagal hati. Obat-obatan analgetik dan sedasi juga
menjadi memiliki masa kerja yang panjang karena metabolisme
oleh otak juga berubah karena penyakit hati.
 Anestesi pada pasien ikterus mempunyai dua resiko nyata.
Pertama adalah perdarahan akibat kekurangan protrombin.
Resiko yang kedua adalah gagal ginjal akibat bilirubin yang
berakumulasi pada tubulus renalis
5) Menentukan status fisik pasien
Penilaian Tampakan Faring dengan Skor Mallampati
Skor Mallampati/ Mallampati klasifikasi, digunakan untuk
memprediksi kemudahan intubasi. Hal ini ditentukan dengan
melihat anatomi rongga mulut, khusus, itu didasarkan pada
visibilitas dasar uvula, pilar facial yaitu tampakan faring pada saat
mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal
9

Menurut Mallampati dibagi menjadi 4 grade :


 Grade I : Pilar faring, uvula, dan palatum mole terlihat jelas, seluruh
tonsil terlihat jelas
 Grade II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring
tidak terlihat, setengah keatas dari fossa tonsil terlihat
 Grade III : Palatum mole dan durum masih dapat terlihat jelas
 Grade IV : Pilar faring, uvula, dan palatum mole tidak terlihat, tanya
palatum durum yang terlihat.

6) Menentukan status fisik pasien


Penilaian Status Fisik Menurut American Society of
Anesthesiologists (ASA)
Skala yang paling luas adalah digunakan untuk memperkirakan
resiko yaitu klasifikasi status fisik menurut ASA. Tujuannya adalah
suatu sistem untuk menilai kesehatan pasien sebelum operasi.
Pada tahun 1963 Ditetapkan American Society of
Anesthesiologists (ASA), sebagai berikut :
Kelas Status Fisik
Seorang pasien yang normal dan sehat, selain
ASA I
penyakit yang akan dioperasi.
Seorang pasien dengan penyakit sistemik ringan
ASA II
sampai sedang.
Seorang pasien dengan penyakit sistemik berat yang
ASA III
belum mengancam jiwa.
Seorang pasien dengan penyakit sistemik berat yang
ASA IV
mengancam jiwa.
Penderita sekarat yang mungkin tidak bertahan dalam
waktu 24 jam dengan atau tanpa pembedahan,
kategori ini meliputi penderita yang sebelumnya sehat,
ASA V
disertai dengan perdarahan yang tidak terkontrol,
begitu juga penderita usia lanjut dengan penyakit
terminal.
ASA VI Pasien dengan mati batang otak yang akan menjalani
10

donor organ
Lambang E ditambahkan pada setiap kasus operasi
E
emergensi

7) Menentukan tindakan anestesi


Setelah menentukan status fisik pasien maka berkolaboratif bersama
dokter anestesi dapat menyimpulkan untuk menentukan jenis
tindakan anestesi yang akan dilakukan.
a) Jenis Tindakan anestesi, antara lain
(1) Anestesi Regional
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan
menyuntikan obat anestesi lokal ke dalam ruang
subarachnoid dan ekstradural epidural di lakukan suntikan
kedalam ekstradural, untuk mendapatkan analgesi setinggi
dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka.
 Jenis – Jenis Anestesi Regional
(a) Anestesi Spinal
Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh
pembiusan dari kaki sampai tulang dada hanya
dalam beberapa menit. Suntikan hanya diberikan
satu kali.

(b) Epidural Anestesi


Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh
pembiusan dari kaki sampai tulang dada hanya
dalam beberapa menit. suntikan hanya diberikan satu
kali, obat diberikan terus-menerus melalui sebuah
selang kecil selama masih diperlukan.
11

(c) Kombinasi spinal epidural


Penggabungan 2 tekhnik anestesi antara spinal
dan epidural. Keuntungan Anestesia kombinasi
spinal- epidural adalah onset cepat, tinggi blok dapat
ditambahkan, durasi blok dapat diperpanjang, serta
penatalaksanaan nyeri pasca bedah yang baik.
(d) Anestesi Blok
Cara ini dapat digunakan pada tindakan
pembedahan maupun untuk tujuan diagnostik dan
terapi

(2) Anestesi umum (Total)


Anestesi umum merupakan tindakan medis yang
memanfaatkan obat bius untuk menimbulkan analgesia
(menghilangkan perasaan nyeri), hipnosis (hilangnya
kesadaran) dan relaksasi (terjadinya relaksasi otot) kepada
pasien yang akan dilakukan pembedahan
Obat bius yang dimasukkan secara inhalasi atau
parenteral akan membuat aliran listrik yang menuju otak
terhambat sehingga memori tidak akan tersimpan oleh sel otak
dan secara bersamaan otak juga tidak akan mengenali impuls
rasa nyeri sehingga tubuh akan mengalami loss of
consciousness atau kondisi tidak sadar secara total.

 Jenis Anestesi Umum


(a) Anestesi Inhalasi
Anestesi yang diberikan melalui udara pernafasan
dengan menggunakan gas atau cairan anestesi yang
mudah menguap.
Gas anestesi bisa dikombinasikan dengan
nitrogen oksida yang terdapat pada suhu dan
tekanan ruangan secara stabil. Zat cair yang telah
terbukti sangat mudah menguap yakni Halotan,
enfluran, isofluran, desfluran, dan metoksifluran.
12

Kloroform merupakan anestesi inhalasi yang


pemakaiannya telah dibatasi karena bersifat toksik
terhadap fungsi hati. Sedangkan anestesi inhalasi
yang dibatasi selanjutnya yakni eter dan siklopropan
karena mudah terbakar.

(b) Anestesi Parenteral


Anestesi parenteral adalah anestesi umum yang
diberikan secara parenteral baik intravenus maupun
intra musculer, dipergunakan untuk tindakan
pembedahan yang singkat dan teknik induksi
anestesi.
Obat bius atau anestesi yang diberikan secara
intravena bisa dikombinasikan dengan anestesi yang
lain bahkan hanya dengan obat anestesi itu sendiri
secara tunggal. Hal ini bertujuan agar pasien dapat
mencapai stadium anestesi dan rasa tenang dengan
cepat.

8) Mempertimbangkan Efek Samping Anestesi


a) Efek terhadap kardiovaskuler : penurunan tekanan darah akan
melemah katekolamin akan dibebaskan oleh hiperkapnia.
b) Efek terhadap Sistem Pernafasan : voulumetidal akan menurun
sedangkan frekuensi pernafasan akan meningkat.
c) Efek terhadap Otak : Obat bius atau anestesi inhalasi akan
menurunkan laju metabolik otak
d) Efek terhadap Ginjal : autoregulasi aliran darah ginjal akan
terganggu jika aliran darah ginjal menurun

9) Resiko anestesi terhadap pasien Lanjut Usia


Anestesi dan tindakan medis pada pasien lanjut usia memiliki
resiko lebih besar daripada pembiusan yang diberikan pada muda dan
dewasa. Usia diatas 40 tahun terjadi kekakuan otot pernafasan dan
kemampuan kardiovaskuler semakin menurun serta menurunnya
kemampuan bertahan dari kelebihan beban zat terlarut yang
terkandung dalam obat bius. Sehingga meminimalisir bahkan
13

mengantisipasi dampak negatif pembiusan pada pasien lanjut usia


maka dosis obat bius harus dikurangi dan hanya diberikan sesuai
kebutuhan saja.

b. Persiapan Pasien di Poliklinik dan di Rumah


1) Persiapan Psikis :
Berikan penjelasan perihal rencana anastesi dan pembedahan
yang direncanakan sehingga pasien dan keluarganya bisa tenang
2) Persiapan Fisik
a) Berikan informasi agar pasien : menghentikan kebiasaan merokok,
minuman keras, dan obat-obatan “tertentu” minimal 2 minggu
sebelum anastesi atau minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali
dipoliklinik .
b) Melepaskan segala macam protesis (gigi palsu) dan asesoris
c) Tidak menggunakan cat kuku atau cat bibir
d) Puasa dengan aturan sebagai berikut:

Jenis Asupan dan Waktu


Usia
Makanan Clear Susu
ASI
Padat Liquids Formula
Neonatus 4 jam 2 jam 4 jam 4 jam
< 6 Bulan 4 jam 2 jam 6 jam 4 jam
6 – 36 bulan 6 jam 3 jam 6 jam 4 jam
> 36 bulan 7 jam 2 jam 6 jam
Dewasa 6 - 8 jam 2 jam 6 jam
Sumber : Permenkes Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif
HK.02.02/MENKES/251/2015

e) Diharuskan agar salah satu keluarga/orang tuanya/teman


dekatnya untuk menunggu selama mengikuti rangkaian prosedur
pembedahan untuk menjaga kemungkinan penyulit yang tidak
diinginkan.
f) Membuat surat persetujuan tindakan medik dan ada saksi. Jika
pasien dewasa bisa menandatangani sendiri lembar formulir. Pada
pasien bayi,anak, orang tua, pasien tidak sadar yang
menandatangani bisa salah satu keluarganya yang menanggung
g) Mengganti pakaian yang dipakai dari rumah dengan pakaian
khusus kamar operasi.

c. Persiapan di Ruang Persiapan Kamar Operasi


Pasien diterima oleh petugas khusus kamar persiapan
1) Evaluasi ulang status pasien dan catatan medik pasien serta
perlengkapan lainnya
14

2) Konsultasi ditempat apabila diperlukan


3) Ganti pakaian khusus kamar operasi
4) Memberi premedikasi
5) Memasang infus

B.METODE ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI


1) Pengkajian .
Kegiatan yang dilakukan pada pengkajian persiapan pra anestesi :
a) Anamnesis
 riwayat anestesi dan operasi sebelumnya.
 riwayat penyakit sistemik (diabetes melitus, hipertensi,
kardiovaskuler, Tb, asma)
 pemakaian obat tertentu, seperti antidiabetik, antikoagulan,
kortikosteroid, antihipertensi secara teratur. Dua obat terakhir
harus diteruskan selama operasi dan anestesi, sedangkan obat
yang lain harus dimodifikasi.
 riwayat diet (kapan makan atau minum terakhir. jelaskan
perlunya puasa sebelum operasi)
 kebiasaan-kebiasaan pasien (perokok berat, pemakai alkohol
atau obat-obatan)
 Riwayat penyakit keluarga

b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dialkukan dengan cara head to toe, meliputi:
(1) Breathing
Keadaan jalan nafas, bentuk pipi dan dagu, mulut dan gigi,
lidah dan tonsil.
 Apakah jalan nafas mudah tersumbat?
 Apakah intubasi akan sulit?
 Apakah pasien ompong atau menggunakan gigi palsu atau
mempunyai rahang yang kecil yang akan mempersulit
laringoskopi?
 Apakah ada gangguan membuka mulut atau kekakuan
leher?
 Apakah ada pembengkakan abnormal pada leher yang
mendorong saluran nafas bagian atas?
- Kaji frekuensi nafas, tipe napas apakah cuping hidung,
abdominal atau torakal. apakah terdapat nafas dengan
bantuan otot pernapasan (retraksi kosta).
- Kaji keberadaan ronki, wheezing, dan suara nafas
tambahan (stridor).
 Blood
15

Tekanan nadi, pengisian nadi, tekanan darah, perfusi perifer.


Nilai syok atau perdarahan. Lakukan pemeriksaan jantung
 Brain
Analisis GCS ( Glaslow Coma Scale ), adakah kelumpuhan
saraf atau kelainan neurologist dan tanda-tanda TIK.
 Bladder
Produksi urin dan pemeriksaan faal ginjal
 Bowel
Pembesaran hepar bising usus dan peristaltik usus, cairan
bebas dalam perut atau massa abdominal.
 Bone
kaku kuduk atau patah tulang, Periksa bentuk leher dan
tubuh, dan kelainan tulang belakang

c) Menetapkan penilaian penampakan faring.


Menetapkan penilaian penampakan faring menggunakan kriteria
Mallampati

d) Pemeriksaan Laboratorium Dan Radiologi


Berkolaboratif dengan dokter spesialis anestesi untuk mengecek kembali
dan menindaklanjuti pemeiksaan laboratorium dan radiologi, antara lain :
 Pemeriksaan standar yaitu darah rutin (kadar hemoglobin,
leukosit, bleeding time, clothing time atau APTT & PPT)
 Pemeriksaan kadar gula darah puasa
 Liver function test
 Renal function test
 Pemeriksaan foto toraks
 Pemeriksaan pelengkap atas indikasi seperti gula darah 2
jam post prandial, pemeriksaan EKG untuk pasien > 40
tahun
 Pada operasi besar dan mungkin bermasalah periksa pula
kadar albumin, globulin, elektrolit darah, CT scan, faal paru,
dan faal hemostasis.

e) Menetapkan status fisik pasien.


Menetapkan status fisik pasien menggunakan kriteria ASA

2) Masalah Kesehatan Anestesi


Masalah kesehatan Anestesi yang sering muncul
1. Cemas
2. Nyeri akut /kronis
3. Rsiko cedera anestesi
16

3) Intervensi / Implementasi
Secara umum intervensi yang dilakukan pada pasien pre anestesi, antara lain

Masalah : Cemas
a) Kunjungan pra operatif pada 1 hari sebelum tindakan operasi
b) Bantu pasien mengekspresikan perasaan untuk mengatasi
kecemasan
c) Berikan obat anti cemas sesuai program terapi kolaboratif dari
dokter spesialis anestesi, contohnya diazepam.
d) Berikan dukungan pada pasien untuk dapat beradaptasi terhadap
perubahan dan pengertian tentang peran pasien pada post
pembedahan dan anestesi
e) Jelaskan tentang prosedur pembedahan sesuai jenis pembedahan
dan prosedur anestesi
f) Jelaskan tentang latihan aktivitas pasca operatif

Masalah Risiko Cedera Anestesi


a). Persiapan Sebelum Pembedahan
Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
- Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT.
Lama puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-
6 jam, bayi 2 jam (stop ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak
puasa, maka dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi
lambung.
- Pengosongan kandung kemih : pemasangan kateter
- Informed consent (Surat izin operasi dan anestesi).
- Melepaskan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori
lainnya.
- Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi
atau secara intravena jika diberikan beberapa menit sebelum
operasi.
- Status nutrisi
Timbang berat badan : bahwa komplikasi yang paling sering
terjadi adalah infeksi pasca operasi karena dehisiensi
(terlepasnya jahitan sehingga luka tidak bisa menyatu). Pada
kondisi yang serius pasien dapat mengalami sepsis yang bisa
mengakibatkan kematian.
- Keseimbangan cairan dan elektrolit
 Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan
input dan output cairan.
 Pemeriksaan kadar elektrolit serum harus berada dalam
rentang normal. Kadar elektrolit yang biasanya dilakukan
pemeriksaan diantaranya adalah kadar natrium serum
17

(normal : 135 -145 mmol/l), kadar kalium serum (normal :


3,5 – 5 mmol/l) dan kadar kreatinin serum (0,70 – 1,50
mg/dl).
 Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait erat dengan
fungsi ginjal. Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme
asam basa dan ekskresi metabolik obat- obatan anastesi.
Jika fungsi ginjal baik maka tindakan anestesi dapat
dilakukan dengan baik. Namun jika ginjal mengalami
gangguan seperti oliguri/ anuria, insufisiensi renal akut,
nefritis akut maka operasi dan anestesi harus ditunda
menunggu perbaikan fungsi ginjal. Kecuali pada kasus-
kasus yang mengancam jiwa.
- Latihan pra operasi
Sebagai persiapan pasien dalam menghadapi kondisi pasca
operasi, seperti: nyeri daerah operasi, batuk dan banyak lendir
pada tenggorokan.
Latihan- latihan yang diberikan pada pasien sebelum operasi,
antara lain :
 Latihan nafas dalam
Meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi darah setelah
anastesi umum.
 Latihan batuk efektif
Pemasangan alat bantu nafas selama dalam kondisi
teranestesi, sehingga ketika sadar pasien akan mengalami
rasa tidak nyaman pada tenggorokan. terasa banyak lendir
kental di tenggorokan.
 Latihan gerak sendi
Akan merangsang usus (peristaltik usus) sehingga pasien
akan lebih cepat kentut/ flatus, menghindarkan penumpukan
lendir pada saluran pernafasan, memperlancar sirkulasi
untuk mencegah stasis vena dan menunjang fungsi
pernafasan optimal.
b) Pmantauan Penyulit yang akan terjadi
1) Penyakit Kardiovaskular
 Pemantauan tekanan darah, denyut nadi dan pemantauan
EKG : bahwa zat anestesi dapat menyebabkan jantung
menjadi sensitive terhadap kerja katekolamin yang
dilepaskan, sehingga dapat terjadi kemunduran
hemodinamik dan dapat terjadi aritmia, takikardi ventricular
sampai fibrilasi ventricular.
 Pada pasien hipertensi, maka terapi anti hipertensi
diteruskan sepanjang operasi karena bahaya hipertensi
18

dengan resiko gangguan kardiovaskular jika penghentian


obat maka akan mempengaruhi tindakan anestesi
2) Penyakit Pernafasan
 Pertahankan terapi oksigen
- Penyakit saluran nafas dan paru-paru mempengaruhi
oksigenasi dan eliminasi CO2.
- Bronkospasme berat dapat mengancam jiwa, kadang-
kadang timbul pada pasien asma atau pecandu nikotin.
- Penundaan operasi elektif pada pasien yang menderita
infeksi saluran nafas atas karena efek obat sedative dan
atropine, dan penurunan respons imunologi yang terjadi
karena anestesi umum dapat meningkatkan resiko infeksi
dada pascaoperasi.
3) Diabetes Mellitus
 Kolaboratif pemeriksaan gula darah
Obat anestesi bersifat meningkatkan glukosa darah.
Penderita diabetes yang tidak stabil seharusnya tidak di
anestesi untuk pembedahan elektif, kecuali jika kondisi
bedah itu sendiri merupakan penyebab ketidakstabilan
tersebut.
4) Penyakit Hati
 Pantau pemeriksaan fungsi hati.
- Metabolisme obat-obatan anestesi akan terganggu
akibat adanya gagal hati. Masa kerja obat analgetik
dan sedasi juga menjadi panjang karena metabolisme
oleh otak juga berubah karena penyakit hati.
- Anestesi pada pasien ikterus mempunyai dua resiko
nyata. Pertama adalah perdarahan akibat kekurangan
protrombin. Resiko yang kedua adalah gagal ginjal
akibat bilirubin yang berakumulasi pada tubulus
renalis
5) Penyakit giinjal
a) Pantau pemeriksaan fungsi ginjal
Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait erat dengan
fungsi ginjal
6) Suhu tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi
menyebabkan penurunan suhu inti tubuh.
c) Menentukan status fisik pasien
Penilaian Status Fisik Menurut American Society of
Anesthesiologists (ASA)
d) Menetapkan kriteria mallampati
e) Menetapkan penyulit intubasi :
- Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
19

- Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul.


Jarak antara metal symphisis dengan lower alveolar margin
yang melebar memerlukan depresi rahang bawah yang lebih
lebar selama intubasi.
- Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang
tinggi.
- Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
- Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang
menyerang sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
- Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia
karena fleksi kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
- Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang
menyebabkan fleksi leher.
- Fraktur servical
- Rahang bawah kecil
- Osteoarthritis temporo mandibula joint
- Trismus.
- Ada masa di pharing dan laring
f) Menetapkan indikasi dan kontra indikasi pada anestesi spinal
g) Kolaboratif penetapan teknik anestesi

4) Evaluasi.
Evaluasi tindakan asuhan kepenataan anestesi pre anestesi,
mengevaluasi secara mandiri maupun kolaboratif
Masalah Cemas :
- Pasien tampak tenang dan tidak gelisah
- Pasien tampak asertif
- Pasien memahami tentang prosedur pembedahan dan
anestesi

Masalah Risiko cedera :


- Pemeriksaan ulang chek list tentang persiapan operasi saat
tiba di ruengan persiapan anestesi

5) Pendokumentasian
Mendokumentasikan dengan baik dan benar
20

URAIAN KOMPETENSI

1. PERSIAPAN ADMINISTRASI
1) Pengertian
Administrasi merupakan suatu bentuk usaha dan kegiatan yang berkaitan
dengan pengaturan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan (rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh asisten penata anestesi untuk mempersiapkan
tindakan pra anestesi).
2) Tujuan
- Membantu memudahkan pelaksanaan tugas pekerjaan
- Memberikan data/informasi
- Mengambil keputusan dalam pelaksanaan tugas selanjutnya
3) Administrasi yang disiapkan
a. Surat ijin pembedahan/anestesi
Surat ijin pembedahan/anestesi adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarganya atas dasar informasi dan penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien.
b. Tujuan :
- Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan medis
dan tanggung jawab untuk keputusan tindakan medis berada pada
pasien
- Memberi perlindungan hukum kepada tenaga kesehatan terhadap
suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik dapat
menimbulkan suatu risiko
c. Dokumentasi Surat Ijin Operasi
- Garis besar prosedur tindakan medis yang akan dilaksanakan
- Alternatif metode tindakan medis
- Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan
persetujuan.
- Mencantumkan tanggal, dan ditandatangani oleh pasien/ keluarga
dan seorang saksi dari perawat ruangan
d. Format Laporan
1) Laporan pembedahan/operasi
Suatu bentuk penyampaian berita, keterangan, pemberitahuan
ataupun pertanggungjawaban secara tertulis sesuai dengan
hubungan wewenang (authority) dan tanggung jawab (responsibility)
melakukan pembedahan
2) Laporan anestesi
Suatu bentuk penyampaian berita, keterangan, pemberitahuan
ataupun pertanggungjawaban secara tertulis sesuai dengan
hubungan wewenang (authority) dan tanggung jawab (responsibility)
melakukan tindakan anestesi
3) Tujuan Laporan :
21

- Mengatasi suatu masalah, untuk mengambil suatu keputusan yang


lebih efektif,
- Mengetahui kemajuan dan perkembangan suatu masalah
- Menlakukan pengawasan dan perbaikan,

2. Persiapan Alat dan Mesin Anestesi

I. Alat Anestesi

Sebelum melakukan tindakan anestesi kita harus selalu melakukan


persiapan alat, peralatan yang harus disiapkan meliputi STATICS ( Scope,
Tube , Airway, Tape, Introducer, Connector, Suction ) serta alat Monitoring

a. Scope
1) Stetoskop untuk mendengar suara paru dan jantung.

2) Laringo-scope. Pilih bilah atau daun yang sesuai dengan usia pasien.
lampu harus cukup terang.
a) Laringoskop. Ada dua jenis laringoskop yaitu :

 Blade lengkung (Mcintosh), untuk dewasa.

 Blade lurus (Blade Magill), untuk bayi dan anak-anak


22

b. Tubes
1) LMA : Laryngeal Mask Airway

2) Pipa endotrakheal.

Pipa terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu


misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa
ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Pipa
endotrakheal dengan balon, dan usia < 5 tahun pipa endotrakheal
tanpa balon.
Pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya,
untuk mencegah kebocoran jalan nafas. Pipa tanpa balon digunakan
pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah
rawan krikoid, dan pipa dengan balon digunakan pada orang dewasa
karena bagian tersempit adalah trachea.
Ukuran pipa endotrakheal antara lain :
a) Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter
internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 –
23

8,5 mm atau + sebesar kelingking kiri pasien dan panjang pipa


yang masuk 20 – 23 cm.
b) Pada anak-anak dipakai rumus :
 diameter (mm) = 4 + Umur/4 = tube diameter (mm)
 Rumus lain: (umur + 2) /2
 Ukuran panjang ET = 12 + Umur/2 = panjang ET (cm)
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa
0,5 mm lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil
biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari
kelingkingnya. Atau dengan cara lain memilih ukuran yang sesuai: (ID
= Internal Diameter)
a) Dewasa : ID 6,5 – 8,5 mm atau + sebesar kelingking
kiri pasien
b) Anak : ID 4 mm
c) Bayi Prematur : ID 2,5 mm
d) Bayi Aterm : 3 atau 3,5 mm
(Selalu menyiapkan satu ukuran di bawah dan di atas, ET memiliki
cuff (balon) yang dapat dikembangkan dengan spuit)

3) Airway device
Sarana aliran udara : Pipa mulut-faring ( Guedel, orotracheal
airway ) atau pipa hidung-faring ( naso-tracheal airway ). Pipa ini untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah
tidak menyumbat jalan napas. Pipa orofaring atau nasofaring, untuk
mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan faring pada
pasien yang tidak di intubasi.

4) Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut. Plester
untuk memfiksasi pipa endotrakheal setelah tindakan intubasi.
24

5) Introduser
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik ( kabel ) yang mudah
dibengkokan untuk memandu supaya pipa trakheal mudah dimasukan.
Stilet atau forsep intubasi (McGill) untuk mengatur kelengkungan pipa
endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi
digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa
nasogastrik melalui orofaring.

Stilet

Magill Forceps

6) Conector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.

7) Suction
Suction Pump dan Suction Catheter yaitu penyedot lendir, ludah dan
lain-lainya.
25

Suction Pump Suction Catheter

2. Peralatan monitoring
Alat Monitor merupakan alat yang diperlukan untuk memantau
keselamatan pasien dimulai dari premedikasi berlangsung hingga pulih, untuk
memonitor pasien selama operasi antara lain tingkat kedalaman anestesi,
efektivitas kardiovaskuler dan efisiensi perfusi jaringan serta perubahan
respirasi, yang secara praktis yaitu tekanan darah, nadi, dan respirasi pasien

I. Mesin anestesi
1. Pengertian
Mesin anestesi adalah suatu alat yang digunakan untuk menyalurkan gas
atau campuran gas anastetik yang aman ke rangkaian anestesi yang
kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa gas dari pasien. ( Said.A
Latief, dkk, 2001)

2. Syarat- syarat Mesin anestesi


1) Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
2) Ruang rugi ( dead space ) minimal
3) Mengeluarkan CO2 dengan efesien
4) Bertekanan rendah
5) Kelembaban terjaga dengan baik
6) Penggunaannya sangat mudah dan aman
26

3. Komponen Dasar Mesin Anestesi


Secara umum mesin anestesi terdiri dari 3 komponen yang saling
berhubungan, yaitu :
1) Komponen 1
 Sumber gas.
Oksigen biasanya disimpan secara terpusat dalam bentuk
cairan dan disalurkan melalui pipa ke kamar operasi dan tempat-
tempat lainnya melalui jalur pipa. Masing-masing pipa diberi warna
yang berbeda dan dihubungkan dengan mesin dengan suatu
sistem diameter index safety untuk menghindari kesalahan
penyambungan.
 Penunjuk aliran gas.
Berbentuk tabung gelas yang didalamnya terdapat indikator
pengukur yang umumnya berbentuk bola atau rotameter. Skala
yang tertera umumnya dalam L/menit atau mL/menit. Flowmeter
dapat dibuka dengan cara memutar tombol pemutar kearah
berlawanan dengan putaran jarum jam. Bila indikator berbentuk
bola maka angka laju aliran dibaca setinggi bagian tengah bola
dan bila memakai rotameter dibaca setinggi bagian atas rotameter.
Terdapat pula flow meter dengan sistem digital.
 Penguap/ Vaporizer.
Berfungsi untuk menguapkan zat anestesi cair yang mudah
menguap (volatile anesthetic agent) yang biasanya dilengkapi
pemutar untuk mengatur besar kecilnya konsentrasi zat anestesi
yang keluar.

2) Komponen 2
Sirkuit nafas: Aliran gas dari sumber gas berupa campuran
O2 dan gas anestesi akan mengalir melalui vaporizer. Campuran
gas yang lazim disebut aliran gas segar ini selanjutnya akan masuk
ke sirkuit nafas pasien.

Sirkuit nafas pasien tersebut adalah:


a) Sistem lingkar: terjadi rebreathing
b) Sistem Magill dan Mapleson dengan variasi: rebreathing tidak
ada atau minimal sekali.

Sistem Magill (Mapleson A) merupakan sistem penyediaan


gas yang paling sering digunakan di inggris untuk pasien yang
bernafas spontan.
27

Gambar . Sistem pernafasan Magill atau Mapleson A.: F = peralatan


ruang rugi V = katup ekspirasi FG = gas segar B = kantong cadangan
dan lubang kantung AV = penderita membuang nafas gas ruang rugi.

3) Komponen 3
Sungkup muka atau pipa endotrakheal terdapat dalam berbagai
ukuran dan dapat terbuat dari bahan plastik maupun karet.
a) Sungkup muka:
Terdapat beberapa rancangan sungkup muka. Sungkup
muka dengan bahan transparan memungkinkan memantau uap
gas ekspirasi dan dapat mengenali terjadinya muntah dengan
segera. Sungkup muka dari bahan karet hitam dapat
menyesuaikan dengan bentuk wajah yang tidak biasa.
b) Pipa endotrakheal:
Digunakan untuk memberikan gas anestesi langsung ke
trakea dan memungkinkan untuk mengontrol ventilasi dan
oksigenasi. Pipa endotrakheal umumnya dibuat dari bahan polivinil
klorida dengan berbagai ukuran dan dapat dilengkapi dengan
balon atau tidak.
28

b. Persiapan Mesin Anestesi


29

Sebelum melakukan tindakan anestesi kita harus selalu melakukan


pengecekan komponen dan fungsi dari mesin anestesi.
Adapun yang perlu diperhatikan adalah:
1) Tabung sumber gas anestesi dan alat pengukur aliran
Hidupkan aliran gas dari tabung dan periksalah tekanan dan aliran.
Periksalah juga tabung cadangan
2) Reservoir O2
Periksalah penghubung T dan yakinkan tidak ada sumbatan pada jalan
masuk udara
30

3) Vaporizer
Periksa bahwa vaporizer tersebut berisi, periksa juga sambungan-
sambungan yang ada dan putarlah tombol pada angka 0
4) SIB
Periksalah sambungan dan posisi magnet pada pompa
5) System pernafasan dan konector
Periksalah semua system pernafasan dan sambungannya
6) Katup pernafasan
Periksalah dengan melihat langsung pada katup, dimana daun katup
harus bergerak selama pernafasan
7) Periksalah kebocoran sirkuit
Kembangkan kantong pompa, sementara itu tutuplah penghubung
yang berhubungan dengan pasien dengan tangan, beri tekanan pada
bag sebesar 20-30 mmH2O, tidak boleh ada udara yang keluar
8) Periksa canester soda lime terisi penuh dan warna indikator tidak
berubah
9) Yakinkan sudah tersedia:
 Face mask yang sesuai
 Pipa oropharingeal yang sesuai
 Laringoskop berfungsi baik dan cadangannya
 Pipa endotrakheal yang sudah dicek kebocorannya
 Periksa suction
 Meja yang dapat diposisikan pada keadaan darurat
 Obat-obat yang dibutuhkan
 Alat persiapan lainnya

3. PREMEDIKASI
a. Penegertian
Premedikasi adalah pemberian obat - obatan sebelum tindakan anestesi
dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi
yang halus, mengurangi dosis anestetikum, mengurangi atau menghilangkan
efek samping anestetikum.

b. Tujuan Premedikasi
1) Memberikan rasa nyaman kepada pasien: menghilangkan rasa kwatir,
memberikan ketenangan, membuat amnesia, memberikan analgesia dan
mencegah muntah
2) Memudahkan atau memperlancar induksi
3) Mengurangi dosis obat anestesi
4) Menekan refleks yang tidak diharapkan
5) Mengurangi sekresi saluran nafas, saliva
6) Mengurangi risiko aspirasi
7) Menaikan pH cairan lambung
31

8) Mengurangi volume cairan lambung

c. Persiapan Obat Premedikasi


Obat-obat yang diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi
sebagai berikut :
1). Analgetik narkotik
a) Morfin.
Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kgBB) intramuskular
diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien
menjelang operasi, menghindari takipnu dapat pemberian trikloroetilen,
dan agar anestesi berjalan dengan tenang dan dalam.
Kerugiannya adalah terjadi perpanjangan wakti pemulihan, timbul
spasme serta kolik biliaris dan ureter. Kadang-kadang terjadi konstipasi,
retensi urin, hipotensi, dan depresi napas.

b) Petidin
Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1-1,5 mg/kgBB) intravena
diberikan untuk menekan tekanan darah dan pernapasan serta
merangsang otot polos. Dosis induksi 1-2 mg/kgBB intravena.

2). Barbiturat (Pentobarbital dan sekobarbital)


Diberikan untuk menimbulkan sedasi. Dosis dewasa 100-200 mg, pada
anak dan bayi 1 mg/kgBB secara oral atau intramuskular. Keuntungannya
adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan kurang menimbulkan reaksi
yang tidak diinginkan. Yang mudah didapat adalah fenobarbital dengan efek
depresan yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang
menyebabkan mual dan muntah.

3). Antikolinegrik (Atropin)


Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus
selama 90 menit. Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular bekerja setelah 10-15
menit.

4). Obat penenang (transquillizer)


a) Diazepam.
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin.
Pemberian dosis rendah bersifat sediatif sedangkan dosis besar hipnotik.
Dosis premedikasi dewasa 10 mg intramuskular atau 5-10 mg oral (0,2-
0,5 mg/kgBB) dengan dosis maksimal 15 mg. Dosis sedasi pada analgesi
regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB) intravena.
Dosis induksi 0,2-1mg/kgBB intravena.
b) Midazolam.
32

Dibandingkan dengan diazepam, midazolam mempunyai awal dan lama


kerja lebih pendek. Belakangan ini midazolam lebih disukai dibandingkan
dengan diazepam. Dosis 50% dari dosis diazepam.

5).Pemberian obat Premedikasi

Tujuan Premedikasi
Menghilangkan Kegelisahan Diazepam
Memberikan Ketenangan Sedatif
Sebagai Analgetik Narkotika analgetik
Sebagai amnestik Diazepam, Tiosin
Mengurangi sekresi saluran pernafasan Sulfas Atropin, tiosin
Menurunkan pH dan produksi saluran
Antasida, ranitidine
cerna
Mencegah reflek vagal Sulfas atropin
Mencegah reaksi alergi Antihistamin, kortikosteroid
Memudahkan Induksi Pethidin, Morfin
Mengurangi dosis dan hasil ikutan
Narkotik- Hipnotik
anestesi
Metoklopamide,
Mencegah Mual, Muntah
Ondacenteron,dll

1) Waktu pemberian Obat Premedikasi :


a) Intravena ( IV )
Diberikan 5 – 10 menit sebelum anestesi/operasi
b) Intramuskuler ( IM )
Diberikan ½ - 1 jam sebelum anestesi/operasi
c) Peroral
Diberikan pada malam hari sebelum operasi
2) Dalam praktek sehari – hari, sering diberikan kombinasi beberapa obat
untuk mendapatkan hasil yang diinginkan
a) Kombinasi : Narkotik – Benzodiazepin- antikolinergik
b) Kombinasi : Narkotik – butyrophenone – antikolinergik
c) Kombinasi : Narkotik – antihistamin - antikolinergik
3) Faktor – Faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian obat premedikasi,
bergantung pada :
a) Umur pasien
b) Berat badan
c) Status fisik
d) Derajat kecemasan
e) Riwayat hospitalisasi sebelumnya ( terutama pada anak )
33

f) Riwayat reaksi terhadap obat premedikasi sebelumnya ( bila pasien


pernah diberi anestesi sebelumnnya )
g) Riwayat penggunaan obat – obat terrtentu yang kemungkinan dapat
berpengaruh pada jalannya anestesi ( misalnya pada pemberian
kortikosteroid, antibiotika tertentu )
h) Perkiraan lamanya operasi
i) Macam dan jenis operasi.

4) Evaluasi pemberian obat premedikasi dan efeknya


34

MATERI 2
ASUHAN KEPENATAAN INTRA ANESTESI

A.KONSEP INTRA ANESTESI

1. Pengertian
Asuhan kepenataan intra anestesi merupakan suatu rangkaian kegiatan
pemberian asuhan di bawah pengawasan atas pelimpahan wewenang secara
mandat oleh dokter spesialis anestesi selama anestesi yang dimulai sejak
pasien berada diatas meja operasi sampai dengan pasien dipindahkan ke ruang
pulih sadar.
Asuhan ini meliputi melakukan induksi, melakukan intubasi, pemberian
obat anestesi dan ekstubasi.

2. Konsep Anestesiologi
Anestesi artinya adalah pembiusan, berasal dari bahasa Yunani an artinya
“tidak atau tanpa" dan aesthētos, "artinya persepsi atau kemampuan untuk
merasa". Secara umum anestesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi dikemukakan pertama kali oleh O.W.
Holmes yang artinya tidak ada rasa sakit.
Anestesi memenuhi tiga kriteria yang disebut dengan trias anestesi, meliputi
analgesi (hilang nyer)i, hipnotik (hilang kesadaran), berikut relaksasi (muscle
relaxant).
Obat anestesi adalah obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit
dalam bermacam-macam tindakan operasi. Anestesi dibagi menjadi dua
kelompok yaitu anestesia umum dan regional.

a. Jenis Anestesi
1) Anestesi Umum
a) Anestesi umum atau pembiusan artinya hilang rasa sakit di sertai hilang
kesadaran.
b) Anestesi Umum adalah obat yang dapat menimbulkan anestesi yaitu suatu
keadaan depresi umum dari berbagai pusat di sistem saraf pusat yang
bersifat reversibel, dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan
sehingga lebih mirip dengan keadaan pingsan.
1) Anestesi digunakan pada pembedahan dengan maksud mencapai
keadaan pingsan, merintangi rangsangan nyeri (analgesia), memblokir
reaksi refleks terhadap manipulasi pembedahan serta menimbulkan
pelemasan otot (relaksasi).
35

2) Anestesi umum yang kini tersedia tidak dapat memenuhi tujuan ini secara
keseluruhan, maka pada anestesi untuk pembedahan umumnya
digunakan kombinasi hipnotika, analgetika, dan relaksasi otot.

c) Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium
(stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu:
1) Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestesi sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat
dilakukan pada stadium ini.

2) Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
Pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak
menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi,
pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apneu dan hiperventilasi,
tonus otot rangka meningkat, inkontinensia urin dan alvi, muntah,
midriasis, hipertensi serta takikardia. stadium ini harus cepat dilewati
karena dapat menyebabkan kematian.

3) Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan
sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana
yaitu:
Plana 1 :
Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks
cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada
dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot
mulai menurun).
Plana 2 :
Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidal menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah,
pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang,
dan refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3 :
Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan
peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot
semakin menurun).
36

Plana 4 :
Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis
total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingterani
dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus
otot sangat menurun).

4) Stadium lV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini
tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhimya
terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat
diatasi dengan pernapasan buatan.

2) Anestesi Regional
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat
anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid dan ekstradural epidural di
lakukan suntikan kedalam ekstradural, untuk mendapatkan analgesi setinggi
dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka.
a) Jenis Anestesi Regional
1) Anestesi Spinal
Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh pembiusan dari kaki
sampai tulang dada hanya dalam beberapa menit. suntikan hanya
diberikan satu kali,
2) Epidural Anestesi
Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh pembiusan dari kaki
sampai tulang dada hanya dalam beberapa menit. suntikan hanya
diberikan satu kali, obat diberikan terus-menerus melalui sebuah selang
kecil selama masih diperlukan.
3) Kombinasi Spinal Epidural

b) Indikasi Spinal Anestesi


1) Operasi ektrimitas bawah, meliputi jaringan lemak, pembuluh darah dan
tulang.
2) Operasi daerah perineum termasuk anal, rectum bawah dan dindingnya
atau pembedahan saluran kemih.
3) Operasi abdomen bagian bawah dan dindingnya atau operasi peritoneal.
4) Operasi obstetrik vaginal deliveri dan section caesaria.
5) Diagnosa dan terapi

c) Kontra indikasi Spinal Anestesi


1) Absolut
- Pasien menolak
- Infeksi tempat suntikan
- Hipovolemik berat, syok
37

- Gangguan pembekuan darah, mendapat terapi antikoagulan


- Tekanan intracranial yang meninggi
- Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme kompensasi
- Fasilitas resusitasi minimal atau tidak memadai
2) Relatif
- Infeksi sistemik (sepsis atau bakterimia)
- Kelainan neurologis
- Kelainan psikis
- Pembedahan dengan waktu lama
- Penyakit jantung
- Nyeri punggung
- Anak-anak karena kurang kooperatif dan takut rasa baal

b. Jenis Obat Anestesi


1) Obat Anestesi Umum
Anastesi umum adalah obat yang menimbulkan keadaan yang bersifat
reversibel dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan. Obat anestesi
umum dibagi menurut bentuk fisiknya dibagi terdiri dari tiga golongan yaitu obat
anestesi gas (inhalasi), obat anestesi yang menguap dan obat anestesi yang
diberikan secara intravena.

a) Obat Anestesi Gas (Inhalasi)


Umumnya anestesi gas berpotensi rendah, sehingga hanya digunakan
untuk induksi dan operasi ringan. Anestesi gas tidak mudah larut dalam
darah sehingga tekanan parsial dalam darah cepat meningkat. Batas
keamanan antara efek anestesi dan efek letal cukup lebar. Obat anestesi
inhalasi ini dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paru-paru, masuk ke
darah dan sampai di jaringan otak mengakibatkan narkose.
Contoh obat anestesik inhalasi yaitu :
1) Dinitrogen Monoksida (N2O atau gas tertawa)
Dinitrogen Monoksida (N2O )merupakan gas yang tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N 2O biasanya
tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan
penguapan pada suhu kamar ± 50 atmosfir. N 2O mempunyai efek
analgesik yang baik, dengan inhalasi 20% N 2O dalam oksigen efeknya
seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek
analgesik maksimum ± 35% .
Gas ini sering digunakan pada partus yaitu diberikan 100% N2O pada
waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi
kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi untuk mencegah
terjadinya hipoksia.
Anestesi tunggal N2O digunakan secara intermiten untuk mendapatkan
analgesik pada saat proses persalinan dan pencabutan gigi.
2) Siklopropan
38

Siklopropan merupakan anestesi gas yang kuat, berbau spesifik, tidak


berwarna, lebih berat daripada udara dan disimpan dalam bentuk cairan
bertekanan tinggi. Gas ini mudah terbakar dan meledak karena itu hanya
digunakan dengan close method. Siklopropan relatif tidak larut dalam
darah sehingga menginduksi dengan cepat (2-3 menit).
Stadium III plana 1 dapat dicapai dengan kadar 7-10% volume, plana 2
dicapai dengan kadar 10-20% volume, plana 3 dapat dicapai dengan
kadar 20-35%, plana 4 dapat dicapai dengan kadar 35-50% volume.
Sedangkan pemberian dengan 1% volume dapat menimbulkan analgesia
tanpa hilangnya kesadaran. Untuk mencegah delirium yang kadang-
kadang timbul, diberikan pentotal IV sebelum inhalasi siklopropan.
Siklopapan dapat digunakan pada setiap macam operasi. Untuk
mendapatkan efek analgesic digunakan 1,2% siklopropan dengan
oksigen. Untuk mencapi induksi siklopropan digunakan 25-50% dengan
oksigen, sedangkan untuk dosis penunjang digunakan 10-20% oksigen.
Siklopropan tidak menghambat kontraktilitas otot jantung, curah
jantung dan tekanan arteri tetap atau sedikit meningkat sehingga
siklopropan merupakan anestesi terpilih pada pasien syok.
Siklopropan dapat menimbulkan aritmia jantung yaitu fibrilasi atrium,
bradikardi sinus, ekstrasistole atrium, ritme atrioventrikular, ekstrasistole
ventrikel dan ritme bigemini. Aliran darah kulit ditinggikan oleh siklopropan
sehingga mudah terjadi perdarahan waktu operasi. Siklopropan tidak
menimbulkan hambatan terhadap sambungan saraf otot. Setelah waktu
pemulihan sering timbul mual, muntah dan delirium. Absorpsi dan
ekskresi siklopropan melalui paru. Hanya 0,5% dimetabolisme dalam
badan dan diekskresi dalam bentuk CO2 dan air.

b) Obat Anestesi yang Menguap


Anestesi yang menguap (volatile anesthetic) mempunyai 3 sifat dasar
yang sama yaitu berbentuk cairan pada suhu kamar, mempunyai sfat
anestesi kuat pada kadar rendah dan relatif mudah larut dalam lemak, darah
dan jaringan. Kelarutan yang baik dalam darah dan jaringan dapat
memperlambat terjadinya keseimbangan dan terlawatinya induksi, untuk
mengatasi hal ini diberikan kadar lebih tinggi dari kadar yang dibutuhkan.
Bila stadium yang diinginkan sudah tercapai kadar disesuaikan untuk
mempertahankan stadium tersebut. Untuk mempercepat induksi dapat
diberikan zat anestesi lain yang kerjanya cepat kemudian baru diberikan
anestesi yang menguap.
Umumnya anestesi yang menguap dibagi menjadi dua golongan yaitu
golongan eter misalnya eter (dietileter) dan golongan hidrokarbon halogen
misalnya halotan, metoksifluran, etil klorida, dan trikloretilen.
Macam-macam obat anestesik yang menguap yaitu :
1) Eter
39

Eter merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau


mudah terbakar, mengiritasi saluran nafas dan mudah meledak. Sifat
analgesik kuat sekali, dengan kadar dalam darah arteri 10-15 mg %
sudah terjadi analgesik tetapi pasien masih sadar.
Zat ini meningkatkan hambatan neuromuscular oleh antibiotik seperti
neomisin, streptomisin, polimiksin dan kanamisin. Eter dapat merangsang
sekresi kelenjar bronkus. Eter diabsorpsi dan disekresi melalui paru dan
sebagian kecil diekskresi juga melalui urin, air susu, keringat dan difusi
melalui kulit utuh.
2) Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar
dan tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen. Halotan
bereaksi dengan perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium, brom,
karet dan plastik. Karet larut dalam halotan, sedangkan nikel, titanium dan
polietilen tidak sehingga pemberian obat ini harus dengan alat khusus
yang disebut fluotec.
Efek analgesic halotan lemah tetapi relaksasi otot yang ditimbulkannya
baik. Dengan kadar yang aman waktu 10 menit untuk induksi sehingga
mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4 volume %). Kadar minimal
untuk anestesi adalah 0,76% volume.
3) Metoksifluran
Merupakan cairan jernih, tidak berwarna, bau manis seperti buah, tidak
mudah meledak, tidak mudah terbakar di udara atau dalam oksigen. Pada
kadar anestesi, metoksifluran mudah larut dalam darah.
Anestesi yang kuat dengan kadar minimal 0,16 volume % sudah dapat
menyebabkan anestesi dalam tanpa hipoksia. Metoksifluran tidak
menyebabkan iritasi dan stimulasi kelenjar bronkus, tidak menyebabkan
spasme laring dan bronkus sehingga dapat digunakan pada pasien asma.
Metoksifluran menyebabkan sensitisasi jantung terhadap ketokolamin
tetapi tidak sekuat kloroform, siklopropan, halotan atau trikloretilan.
Metoksifluran bersifat hepatoksik sehingga sebaiknya tidak diberikan
pada pasien kelainan hati.
4) Etilklorida
Merupakan cairan tak berwarna, sangat mudah menguap, mudah
terbakar dan mempunyai titik didih 12-13°C. Bila disemprotkan pada kulit
akan segera menguap dan menimbulkan pembekuan sehingga rasa sakit
hilang. Anesthesia dengan etilklorida cepat terjadi tetapi cepat pula
hilangnya. Induksi dicapai dalam 0,5-2 menit dengan waktu pemulihan 2-3
menit sesudah pemberian anesthesia dihentikan. Karena itu etilkloretilen
sudah tidak dianjurkan lagi untuk anestesi umum, tetapi hanya digunakan
untuk induksi dengan memberikan 20-30 tetes pada masker selama 30
detik.
Etilkloroda digunakan juga sebagai anestesi lokal dengan cara
menyemprotkannya pada kulit sampai beku. Kerugiannya, kulit yang beku
40

sukar dipotong dan mudah kena infeksi karena penurunan resistensi sel
dan melambatnya penyembuhan.
5) Trikloretilen
Merupakan cairan jernih tidak berwarna, mudah menguap, berbau khas
seperti kloroform, tidak mudah terbakardan tidak mudah meledak. Induksi
dan waktu pemulihan terjadi lambat karena trikloretilen sangat larut dalam
darah.
Efek analgesic trikloretilen cukup kuat tetapi relaksasi otot rangka yang
ditimbulkannya kurang baik , maka sering digunakan pada operasi ringan
dalam kombinasi dengan N2O. untuk anestesi umum, kadar trikloretilen
tidak boleh lebih dari 1% dalam campuran 2:1 dengan N2O dan oksigen.
Trikloretilen menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin dan
sensitisasi pernafasan pada stretch receptor. Sifat lain trikloretilen tidak
mengiritasi saluran nafas.

c) Obat Anestesi Intravena (Anestesi Parenteral)


Obat ini biasa digunakan sendiri untuk prosedur pembedahan singkat dan
kebanyakan obat anestesi intravena dipergunakan untuk induksi. Kombinasi
beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat
dapat menutupi pengaruh obat yang lain.

Termasuk golongan obat ini adalah :


1) Barbiturat
Barbiturat menghilangkan kesadaran dengan blockade system sirkulasi
(perangsangan) di formasio retikularis. Pada pemberian barbiturate dosis
kecil terjadi penghambatan sistem penghambat ekstra lemnikus, tetapi
bila dosis ditingkatkan sistem perangsang juga dihambat sehingga
respons korteks menurun.
Pada penyuntikan thiopental, Barbiturat menghambat pusat pernafasan
di medulla oblongata. Tidal volume menurun dan kecepatan nafas
meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi dan
kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit menurun.
Barbiturat tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.
2) Natrium thiopental
Dosis yang dibutuhkan untuk induksi dan mempertahankan anestesi
tergantung dari berat badan, keadaan fisik dan penyakit yang diderita.
Untuk induksi pada orang dewasa diberikan 2-4 ml larutan 2,5% secara
intermitten setiap 30-60 detik sampai tercapai efek yang diinginkan.
Untuk anak digunakan larutan pentotal 2% dengan interval 30 detik
dengan dosis 1,5 ml untuk berat badan 15 kg,3 ml untuk berat badan 30
kg, 4 ml untuk berat badan 40 kg dan 5 ml untuk berat badan 50 kg.
Untuk mempertahankan anesthesia pada orang dewasa diberikan
pentotal 0,5-2 ml larutan 2,5%, sedangkan pada anak 2 ml larutan 2%.
41

Untuk anesthesia basal pada anak, biasa digunakan pentotal per rectal
sebagai suspensi 40% dengan dosis 30 mg/kgBB.
3) Natrium tiamilal
Dosis untuk induksi pada orang dewasa adalah 2-4 ml larutan 2,5%,
diberikan intravena secara intermiten setiap 30-60 detik sampai efek yang
diinginkan tercapai, dosis penunjang 0,5-2 ml larutan 2,5% a tau
digunakan larutan 0,3% yang diberikan secara terus menerus (drip).
4) Natrium metoheksital
Dosis induksi pada orang dewasa adalah 5-12 ml larutan 1% diberikan
secara intravena dengan kecepatan 1 ml/5 detik, dosis penunjang 2-4 ml
larutan 1% atau bila akan diberikan secara terus menerus dapat
digunakan larutan larutan 0,2%.
5) Ketamin
a) Merupakan larutan larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu
kamar dan relatif aman.
b) Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestesi dan kataleptik dengan
kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk system somatik,
tetapi lemah untuk sistem visceral. Tidak menyebabkan relaksasi otot
lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi.
c) Ketamin akan meningkatkan tekanan darah, frekuensi nadi dan curah
jantung sampai ± 20%.
d) Ketamin menyebabkan reflek faring dan laring tetap normal.
e) Ketamin sering menimbulkan halusinasi terutama pada orang dewasa.
f) Sebagian besar ketamin mengalami dealkilasi dan dihidrolisis dalam
hati, kemudian diekskresi terutama dalam bentuk utuh.
g) Untuk induksi ketamin secara intravena dengan dosis 2 mm/kgBB
dalam waktu 60 detik, stadium operasi dicapai dalam 5-10 menit.
h) Untuk mempertahankan anestesi dapat diberikan dosis ulangan
setengah dari semula.
i) Ketamin intramuscular untuk induksi diberikan 10 mg/kgBB, stadium
operasi terjadi dalam 12-25 menit.
6) Droperidol dan fentanil
a) Tersedia dalam kombinasi tetap, dan tidak dipergunakan untuk
menimbulkan analgesia neuroleptik.
b) Induksi dengan dosis 1 mm/9-15 kg BB diberikan perlahan-lahan
secara intravena (1 ml setiap 1-2 menit) diikuti pemberian N2O atau O2
bila sudah timbul kantuk.
c) Sebagai dosis penunjang digunakan N2O atau fentanil saja (0,05-0,1
mg tiap 30-60 menit) bila anesthesia kurang dalam.
d) Droperidol dan fentanil dapat diberikan dengan aman pada pasien
yang dengan anestesi umum lainnya mengalami hiperpireksia maligna.
7) Diazepam
a) Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang disertai nistagmus
dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesik. Juga tidak
42

menimbulkan potensiasi terhadap efek penghambat neuromuscular


dan efek analgesik obat narkotik.
b) Diazepam digunakan untuk menimbulkan sedasi basal pada
anesthesia regional, endoskopi dan prosedur dental, juga untuk induksi
anestesia terutama pada pasien dengan penyakit kardiovascular.
Dibandingkan dengan ultra short acting barbiturate, efek anestesi
diazepam kurang memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa
pemulihannya lama.
c) Diazepam juga digunakan untuk medikasi preanestesi dan untuk
mengatasi konvulsi yang disebabkan obat anestesi lokal.
8) Etomidat
a) Merupakan anestesi non barbiturat yang digunakan untuk induksi
anestesi.
b) Obat ini tidak berefek analgesic tetapi dapat digunakan untuk anestesi
dengan teknik infuse terus menerus bersama fentanil atau secara
intermiten.
c) Dosis induksi eto-midat menurunkan curah jantung, isi sekuncup dan
tekanan arteri serta meningkat-kan frekuensi denyut jantung akibat
kompensasi.
d) Etomidat menurunkn aliran darah otak (35-50%), kecepatan
metabolisme otak, dan tekanan intracranial, sehingga anestesi ini
mungkin berguna pada bedah saraf.
e) Etomidat menyebabkan rasa nyeri ditempat nyeri di tempat suntik yang
dapat diatasi dengan menyuntikkan cepat pada vena besar, atau
diberikan bersama medikasi preanestesi seperti meperidin.
9) Propofol
a) Secara kimia tak ada hubungannya dengan anestesi intravena lain.
b) Zat ini berupa minyak pada suhu kamar dan disediakan sebagai emulsi
1%.
c) Efek pemberian anestesi umum intravena propofol (2 mg/kg)
menginduksi secara cepat seperti tiopental.
d) Rasa nyeri kadang terjadi ditempat suntikan, tetapi jarang disertai
dengan thrombosis.
e) Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek
ini lebih disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan
curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi
trakea. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke
otak, metabolisme otak, dan tekanan intracranial akan menurun.
f) Biasanya terdapat kejang.

d) Obat-Obat Anestesi Lokal


Anestesi lokal atau zat penghilang rasa setempat merupakan obat yang
pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls saraf
43

ke sistem saraf pusat dan dengan demikian menghilangkan atau


mengurangi rasa nyeri, gatal - gatal, rasa panas atau dingin.
Anestesi lokal adalah teknik untuk menghilangkan atau mengurangi
sensasi di bagian tubuh tertentu. Ada kalangan medis yang membatasi
istilah anestesi lokal hanya untuk pembiusan di bagian kecil tubuh seperti
gigi atau area kulit. Namun, banyak juga yang menyebut anestesi lokal untuk
anestesi apa pun selain yang menimbulkan ketidaksadaran umum (anestesi
umum).
Secara kimia, anestesi lokal digolongkan sebagai berikut:
1) Senyawa Ester
Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab
pada degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan
dihidrolisis. Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah
mengalami metabolisme dibandingkan golongan amida. Contohnya:
tetrakain, benzokain, kokain, prokain dengan prokain sebagai prototip.
2) Senyawa Amida
Contohnya senyawa amida adalah dibukain, lidokain, mepivakain dan
prilokain.
3) Lainnya
Contohnya fenol, benzilalkohol, etilklorida, cryofluoran. Jenis anestesi
lokal dalam bentuk parenteral yang paling banyak digunakan adalah :
a) Anestesi permukaan
Sebagai suntikan banyak digunakan sebagai penghilang rasa oleh
dokter gigi untuk mencabut geraham atau oleh dokter keluarga untuk
pembedahan kecil seperti menjahit luka di kulit. Sediaan ini aman dan
pada kadar yang tepat tidak akan mengganggu proses penyembuhan
luka.
b) Anestesi Infiltrasi
Tujuannya untuk menimbulkan anestesi ujung saraf melalui injeksi
pada atau sekitar jaringan yang akan dianestesi sehingga
mengakibatkan hilangnya rasa di kulit dan jaringan yang terletak lebih
dalam, misalnya daerah kecil di kulit atau gusi (pada pencabutan gigi).
c) Anestesi Blok
Cara ini dapat digunakan pada tindakan pembedahan maupun untuk
tujuan diagnostik dan terapi.

e) Obat-obat Regional Anestesi


Obat regional anestesi merupakan obat anestesi lokal yang
mempengaruhi spinal anestesi blok adalah barisitas (Barik Grafity) yaitu
rasio densitas obat spinal anestesi yang dibandingkan dengan densitas
cairan spinal pada suhu 370C.
Barisitas dapat menentukan penyebaran obat anestesi lokal dan
ketinggian blok karena grafitasi bumi akan menyebabkan cairan hiperbarik
akan cendrung ke bawah. Densitas dapat diartikan sebagai berat dalam
44

gram dari 1ml cairan (gr/ml) pada suhu tertentu. Densitas berbanding
terbalik dengan suhu.
Obat-obat lokal anestesi/ regional anestesi berdasarkan barisitas dan
densitas dapat di golongkan menjadi tiga golongan yaitu:
1) Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih
besar dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Agar obat anestesi lokal
benar–benar hiperbarik pada semua pasien maka baritas paling rendah
harus 1,0015gr/ml pada suhu 37C. contoh: Bupivakain 0,5% (Gwinnutt,
2011).
2) Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih
rendah dari berat jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan
serebrospinal pada suhu 370C adalah 1,003gr/ml. Perlu diketahui variasi
normal cairan serebrospinal sehingga obat yang sedikit hipobarik belum
tentu menjadi hipobarik bagi pasien yang lainnya. contoh: tetrakain,
dibukain. (Gwinnutt, 2011).
3) Isobarik
Obat anestesi lokal isobarik bila densitasnya sama dengan densitas
cairan serebrospinalis pada suhu 37 0C. Tetapi karena terdapat variasi
densitas cairan serebrospinal, maka obat akan menjadi isobarik untuk
semua pasien jika densitasnya berada pada rentang standar deviasi
0,999-1,001gr/ml. contoh: levobupikain 0,5% .

c. Mekanisme Kerja Obat Anestesi


1. Mekanisme Kerja Anestesi Umum
a. Anestesi Inhalasi
1) Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan membangkitkan
aktivitas neuron berbagai area di dalam otak.
2) Sebagai anestesi inhalasi digunakan gas dan cairan terbang yang
masing-masing sangat berbeda dalam kecepatan induksi, aktivitas, sifat
melemaskan otot maupun menghilangkan rasa sakit.
3) Untuk mendapatkan reaksi yang secepat-cepatnya, obat ini pada
permulaan harus diberikan dalam dosis tinggi, yang kemudian diturunkan
sampai hanya sekadar memelihara keseimbangan antara pemberian dan
pengeluaran.
4) Keuntungan obat anestesi inhalasi dibandingkan dengan anestesi
intravena adalah kemungkinan untuk dapat lebih cepat mengubah
kedalaman anestesi dengan mengurangi konsentrasi dari gas atau uap
yang diinhalasi.
5) Obat anastesi umum tidak di metabolisasikan oleh tubuh, karena tidak
bereaksi secara kimiawi dengan zat-zat faali. Mekanisme kerjanya
45

berdasarkan perkiraan bahwa anastetika umum di bawah pengaruh


protein SSP dapat membentuk hidrat dengan air yang bersifat stabil.

b. Anestesi Intravena
1) Obat-obat intravena seperti thiopental, etomidate, dan propofol
mempunyai mula kerja anestetis yang lebih cepat dibandingkan terhadap
senyawa gas inhalasi yang terbaru, misalnya desflurane dan sevoflurane.
2) Senyawa intravena ini umumnya digunakan untuk induksi anestesi.
Kecepatan pemulihan pada sebagian besar senyawa intravena juga
sangat cepat.
3) Secara umum, mekanisme kerjanya diberikan rumatan dengan anestesi
umum dibawah pengaruh protein SSP dapat membentuk hidrat dengan
air yang bersifat stabil. Hidrat gas ini mungkin dapat merintangi transmisi
rangsangan di sinaps dan dengan demikian mengakibatkan anastesia.

2. Mekanisme Kerja Anestesi Lokal


a. Anestesik lokal bekerja bila disuntikkan kedalam akson saraf. Anestesi lokal
melakukan penetrasi kedalam akson dalam bentuk basa larut lemak.
b. Anestesi lokal bersifat tergantung pemakaian artinya derajat blok porsional
terhadap stimulasi saraf. Hal ini menunjukkan bahwa makin banyak molekul
obat memasuki kanal Na+ ketika kanal-kanal terbuka menyebabkan lebih
banyak inaktivasi.
c. Anestesi lokal menekan jaringan lain seperti miokard bila konsentrasinya
dalam darah cukup tinggi namun efek sistemik utamanya mencakup sistem
saraf pusat.
Adapun mekanisme kerja meliputi :
1) Cegah konduksi dan timbulnya impuls saraf
2) Tempat kerja terutama di membran sel
3) Hambat permeabilitas membran ion Na+ akibat depolarisasi menjadikan
ambang rangsang membran meningkat
4) Eksitabilitas dan kelancaran hambatan terhambat
5) Berikatan dengan reseptor yang terdapat d ion kanal Na, terjadi blokade
sehingga menghambat gerak ion via membran.

d. Kontra Indikasi Obat Anestesi


1. Kontra Indikasi Anastesi Umum
Kontra indikasi anestesi umum tergantung efek farmakologi pada organ yang
mengalami kelainan dan harus hindarkan pemakaian obat pada :
a. Hepar yaitu obat hepatotoksik, dosis dikurangi atau obat yang toksis
terhadap hepar atau dosis obat diturunkan
b. Jantung yaitu obat-obat yang mendespresi miokardium atau menurunkan
aliran darah koroner
c. Ginjal yaitu obat yang diekskresi di ginjal
d. Paru-paru yaitu obat yang merangsang sekresi Paru
46

e. Endokrin yaitu hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah/ hindarkan
pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis pada diabetes
karena bisa menyebabkan peninggian gula darah.

2. Kontra Indikasi Anastesi Lokal


Kontra indikasi anestesi lokal yaitu :
a. Alergi atau hipersensitivitas terhadap obat anestesi lokal yang telah
diketahui. Kejadian ini mungkin disebabkan oleh kelebihan dosis atau
suntikan intravaskular.
b. Kurangnya tenaga terampil yang mampu mengatasi atau mendukung teknik
tertentu.
c. Kurangnya prasarana resusitasi.
d. Tidak tersedianya alat injeksi yang steril.
e. Infeksi lokal atau iskemik pada tempat suntikan.
f. Pembedahan luas yang membutuhkan dosis toksis anestesi lokal.
g. Distorsi anotomik atau pembentukan sikatriks.
h. Risiko hematoma pada tempat-tempat tertentu.
i. Pasien yang sedang menjalani terapi sistemik dengan antikoagulan.
j. Jika dibutuhkan anestesi segera atau tidak cukup waktu bagi anestesi lokal
untuk bekerja dengan sempurna.
k. Kurangnya kerja sama atau tidak adanya persetujuan dari pihak pasien.

e. Obat Pelumpuh Otot (Musle Relaxant)

1. Pengertian
Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot
rangka atau untuk melumpuhkan otot yang dapat digunakan selama intubasi dan
pembedahan untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan memfasilitas
intubasi.

2. Farmakologi Obat Pelumpuh Otot


Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesi umum
inhalasi, blokade saraf regional, dan memberikan pelumpuh otot. Dengan
relakasasi otot ini akan memfasilitasi intubasi trakea, mengontrol ventilasi
mekanik dan mengoptimalkan kondisi pembedahan. Pada prinsipnya, obat ini
menginterupsi transmisi impuls saraf pada neuromuscular junction.
a. Fisiologi Transmisi Saraf Otot
Daerah diantara motor neuron dan sel saraf disebut neuromuscular
junction. membran sel neuron dan serat otot dipisahkan oleh sebuah celah
(20 nm) yang disebut sebagai celah sinaps. Ketika potensial aksi
mendepolarisasi terminal saraf, ion kalsium akan masuk melalui voltage-
gated calcium channels menuju sitoplasma saraf, yang akhirnya vesikel
penyimpanan menyatu dengan membran terminal dan mengeluarkan
asetilkolin. Selanjutnya asetilkolin akan berdifusi melewati celah sinaps dan
47

berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada daerah khusus di


membran otot yaitu motor end plate. Motor end plate merupakan daerah
khusus yang kaya akan reseptor asetilkolin dengan permukaan yang berlipat-
lipat.
Struktur reseptor asetilkolin bervariasi pada jaringan yang berbeda.
Pada neuromuscular junction, reseptor ini terdiridari 5 sub unit protein, yaitu 2
sub unit α, dan 1 sub unit β, δ,dan ε. Hanya kedua sub unit α identik yang
mampu untuk mengikat asetilkolin. Apabila kedua tempat pengikatan
berikatan dengan asetilkolin, maka kanal ion di intireseptor akan terbuka.
Kanal tidak akan terbuka apabila asetilkolin hanya menduduki satu tempat.
Ketika kanal terbuka, natrium dan kalsium akan masuk, sedangkan kalium
akan keluar. Ketika cukup reseptor yang diduduki asetilkolin, potensial motor
end plate akan cukup kuat untuk mendepolarisasi membran perijunctional
yang kaya akan kanal natrium.
Ketika potensial aksi berjalan sepanjang membran otot, kanal natrium
akan terbuka dan kalsium akan dikeluarkan dari reticulum sarkoplasma.
Kalsium intraseluler ini akan memfasilitasi aktin dan myosin untuk berinteraksi
yang membentuk kontraksi otot. Kanal natrium memiliki dua pintu fungsional,
yaitu pintu atas dan bawah. Natrium hanya akan bisa lewat apabila kedua
pintu ini terbuka. Terbukanya pintu bawah tergantung waktu, sedangkan pintu
atas tergantung tegangan. Asetilkolim cepat dihidrolisis oleh
asetilkolinesterase menjadi asetil dan kolin sehingga lorong tertutup kembali
dan terjadilah repolarisasi.
b. Farmakokinetik Pelumpuh Otot
Semua pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi
dengan kurang baik di usus dan onset akan melambat bila di administrasikan
intramuskular. Volume distribusi dan klirens dapat dipengaruhi oleh penyakit
hati, ginjal dan gangguan kardiovaskular. Pada penurunan cardiac output,
distribusi obat akan melemah dan menurun, dengan perpanjangan paruh
waktu, onset yang melambat dan efek yang menguat. Pada hipovolemia,
volume distribusi menurun dan konsentrasi puncak meninggi dengan efek
klinis yang lebih kuat. Pada pasien dengan edema, volume distribusi
meningkat, konsentrasi di plasma menurun dengan efek klinis yang juga
melemah. Banyak obat pelumpuh otot sangat tergantung dengan ekskresi
ginjal untuk eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium dan
cisatracurium yang tidak tergantung dengan fungsi ginjal. Umur juga
mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot. Neonatus dan infant
memiliki plasma klirens yang menurun sehingga eliminasi dan paralisis akan
memanjang. Sedangkan pada orang tua, dimana cairan tubuh sudah
berkurang, terjadi perubahan volume distribusi dan plasma klirens. Biasanya
ditemui sensitivitas yang meningkat dan efek yang memanjang. Fungsi ginjal
yang menurun dan aliran darah renal yang menurun menyebabkan klirens
yang menurun dengan efek pelumpuh otot yang memanjang.
c. Farmakodinamik Pelumpuh Otot
48

Obat pelumpuh otot tidak memiliki sifat anestesi maupun analgesik.


Dosis terapeutik menghasilkan beberapa efek yaitu ptosis,
ketidakseimbangan otot ekstraokular dengan diplopia, relaksasi otot wajah,
rahang, leher dan anggota gerak dan terakhir relaksasi dinding abdomen dan
diafragma.
1) Respirasi
Paralisis dari otot pernapasan menyebabkan apnea. Diafragma adalah
bagian tubuh yang kurang sensitif dibanding otot lain sehingga biasanya
paling terakhir lumpuh.
2) Efek kardiovaskular
Hipotensi biasa ditemukan pada penggunaan D-tubocurarine, sedangkan
hipertensi ditemukan pada penggunaan pancuronium, takikardi pada
penggunaan gallamine, rocuronium, dan pancuronium.
3) Pengeluaran histamin
D-tubocurarine adalah obat yang tersering menyebabkan pengeluaran
histamin sedangkan vecuronium adalah yang paling jarang. Reaksi alergi
biasanya ditemui pada wanita dengan riwayat atopi.

3. Jenis Obat Pelumpuh Otot


Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot
depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif,
takikurare).
a. Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah
sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup
lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi
yang diikuti relaksasi otot lurik.
Obat pelumpuh otot depolarisasi sangat menyerupai asetilkolin,
sehingga bisa berikatan dengan reseptor asetilkolin dan membangkitkan
potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini tidak dimetabolisme oleh
asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya tidak menurun dengan cepat
yang mengakibatkan perpanjangan depolarisasi di motor-end plate.
Perpanjangan depolarisasi ini menyebabkan relaksasi otot karena
pembukaan kanal natrium bawah tergantung waktu, setelah eksitasi awal
dan pembukaan, pintu bawah kanal natrium ini akan tertutup dan tidak bisa
membuka sampai repolarisasi motor-end plate.
Motor end-plate tidak dapat repolarisasi selama obat pelumpuh otot
depolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin; Hal ini disebut dengan
phase I block. Setelah beberapa lama depolarisasi end plate yang
memanjang akan menyebabkan perubahan ionik dan konformasi pada
reseptor asetilkolin yang mengakibatkan phase II block, yang secara klinis
menyerupai obat pelumpuh otot nondepolarisasi.
Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan
dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh
49

kolinesterase plasma, pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin.


Obat anti kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena
menghambat kerja pseudokolinesterase.

1) Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)


Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung.
obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action
yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki
sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase
menjadi suksinilmonokolin.
Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis
yang dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction.
Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau dengan
metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level
pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini
ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa
terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen
pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang
memanjang.
Interaksi obat
a) Kolinesterase inhibitor
Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block pelumpuh otot
depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu dengan menghambat
kolinesterase, maka jumlah asetilkolin akan semakin banyak, maka
depolarisasi akan meningkatkan depolarisasi. Selain itu, juga akan
menghambat pseudokolinesterase.

b. Pelumpuh otot nondepolarisasi


Obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin
akan tetapi tidak mampu untuk menginduksi pembukaan kanal ion. Karena
asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan reseptornya, maka potensial end-
plate tidak terbentuk.
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak dimetabolisme baik oleh
asetilkolinesterase maupun pseudokolinesterase. Pembalikan dari blockade
obat pelumpuh otot nondepolarisasi tergantung pada redistribusinya,
metabolisme, ekskresi oleh tubuh dan agen pembalik lainnya (kolinesterase
inhibitor).
Secara umum, dosis kecil dari pelumpuh otot nondepolarisasi merupakan
antagonis dari fase I bock pelumpuh otot depolarisasi, karena menduduki
reseptor asetilkolin sehingga depolarisasi oleh suksinilkolin sebagian dicegah.
1) Dosis
Karena onsetnya yang cepat dan duration of action yang pendek, banyak
dokter yang percaya bahwa suksinilkolin masih merupakan pilihan yang baik
50

untu intubasi rutin pada dewasa. Dosis yang dapat diberikan adalah 1 mg/kg
IV.
2) Efek samping dan pertimbangan klinis
Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac arrest pada anak
dengan miopati tak terdiagnosis, suksinilkolin masih dikontraindikasikan pada
penanganan rutin anak dan remaja.
Efek samping dari suksinilkolin adalah :
- Nyeri otot pasca pemberian
- Peningkatan tekanan intraokular
- Peningkatan tekakana intrakranial
- Peningkatan tekakanan intragastrik
- Peningkatan kadar kalium plasma
- Aritmia jantung
- Salivasi
- Alergi dan anafilaksis
3) Obat pelumpuh otot nondepolarisasi.
a) Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai kerja
pada menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek
akumulasi pada pemberian berulang sehingga dosis rumatan harus
dikurangi dan selamg waktu diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot
0,08 mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis
awal. Dosis Intubasi trakea 0,15 mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 2
ml berisi 4 mg pavulon.
b) Atracurium
(1) Struktur fisik
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari
tanaman Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah
metabolisme terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada fungsi hati
dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
(2) Dosis
0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative 0,25
mg/kg initial, lalu 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse 5-10
mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus. Lebih cepat durasinya pada
anak dibandingkan dewasa. Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc.
disimpan dalam suhu 2-8OC, potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila
disimpan pada suhu ruangan. Digunakan dalam 14 hari bila terpapar
suhu ruangan.
(3) Efek samping dan pertimbangan klinis
Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg
c) Vekuronium
(1) Struktur fisik
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang
berkekuatan lebih besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik ini
51

tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang dan tidak


menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
(2) Metabolisme dan eksresi
Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka
panjang dapat memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena
akumulasi metabolit 3-hidroksi, perubahan klirens obat atau terjadi
polineuropati.
Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang lama dan
sepsis. Efek pelemas otot memanjang pada pasien AIDS. Toleransi
dengan pelemas otot memperpanjang penggunaan.
(3) Dosis
Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg
setiap 15 – 20 menit. Drip 1 – 2 mcg/kg/menit.
Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada
pasien post partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow.
Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.
d) Rekuronium
(1) Struktur Fisik
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih
cepat. Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal,
sedangkan kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan
efek kerja yang lebih lama.
(2) Metabolisme dan eksresi
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidak
terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan
hepar berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka panjang (di
ICU). Pasien orang tua menunjukan prolong durasi.
(3) Dosis
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45 – 0,9
mg / kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis
kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah intubasi. Im ( 1 mg/kg
untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita suara dan
paralisis diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3 – 6 menit
dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip 5 – 12 mcg/kg/menit. Dapat
memanjang pada pasien orang tua.
(4) Efek samping dan manifestasi klinis
 Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin t
 Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental.
 Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk
prekurasisasi sebelum suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.

4. Pemilihan Obat Pelumpuh Otot


a) Karakteristik pelumpuh otot ideal :
1) Nondepolarisasi
52

2) Onset cepat
3) Duration of action dapat diprediksi, tidak mengakumulasi dan dapat
diantagoniskan dengan obat tertentu
4) Tidak menginduksi pengeluaran histamin
5) Potensi
6) Sifat tidak berubah oleh gangguan ginjal maupun hati dan metabolit tidak
memiliki aksi farmakologi.
b) Durasi pembedahan mempengaruhi pemilihan pelumpuh otot :
1) Ultra-short acting, contoh : suxamethonium
2) Short duration. Contoh: mivacurium
3) Intermediate duration. Contoh: atracurium, vecuronium, rocuronium,
cisatracurium
4) Long duration. Contoh: pancuronium, D-tubocurarine, doxacurium,
pipecuronium.
c) Pelumpuh otot yang disarankan :
1) Untuk induksi yang cepat-suxamethonium, atau apabila
dikontraindikasikan dapat dipakai rocuronium
2) Untuk stabilitas hemodinamika (contoh pada hipovolemia atau
penyakit jantung parah)-vecuronium
3) Pada gagal ginjal dan hati-atracurium, vekuronium, cisatracurium
ataumivacurium
4) Miastenia gravis: jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
5) Kasus obstetric: semua dapat diberkan kecuali gallamin
d) Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot :
1) Cegukan (hiccup)
2) Dinding perut kaku
3) Ada tahanan pada inflasi paru.

5. Penawar Pelumpuh Otot


Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah
neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan
edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk
penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg).
Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga menyebabkan
hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan
pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti atropine
(dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3
mg pada dewasa)
53

B.. METODE ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI

B.1.Asuhan Kepenataan Intra Anestesi Pada General Anestesi


1. Pengkajian
Anestesi memenuhi tiga kriteria yang disebut dengan trias anestesi,
meliputi analgesi (hilang nyer)i, hipnotik (hilang kesadaran), berikut relaksasi
(muscle relaxant).
a. Keadaan umum
b. Tanda vital
c. Status fisik pasien dengan criteria ASA
d. Gambaran hemodinamik
e. Teknik anestesi
f. Jenis obat anestesi
g. Stadium anestesi
Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestesi sampai
hilangnya kesadaran.
Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat
analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti
pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.
Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
Pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak
menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi,
pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apneu dan hiperpneu, tonus
otot rangka meningkat, inkontinensia urin dan alvi, muntah, midriasis,
hipertensi serta takikardia. stadium ini harus cepat dilewati karena
dapat menyebabkan kematian.
Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan
sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana
yaitu:
Plana 1 :
Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks
54

cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada
dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot
mulai menurun).
Plana 2 :
Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah,
pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang,
dan refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3 :
Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan
peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot
semakin menurun).
Plana 4 :
Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis
total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingterani
dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus
otot sangat menurun).
Stadium lV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4.
Pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung
berhenti, dan akhimya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada
stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.

2. Masalah Kesehatan Anestesi


 Risiko cedera trauma pembedahan
 Risiko cedera posisi pembedahan
 PK. Disfungsi Respirasi
 PK Disfungsi Kardiovaskuler
 PK Disfungsi Sirkulasi
 PK Disfungsi termoregulasi
 PK Disfungsi gastrointestinal
55

 PK Disfungsi hepar
 PK Disfungsi ginjal/perkemihan
 PK Ketidakseimbangan elektrolit
 PK Disfungsi metabolic

3. Rencana Inervensi / Implementasi


1) Menyiapkan peralatan dan obat-obatan sesuai dengan perencanaan
teknik anestesi
2) Membantu pelaksanaan anestesi sesuai dengan program kolaboratif
spesialis anestesi
- Pre oksigenasi
- Induksi
- Intubasi
- Rumatan anestesi
3) Membantu pemasangan alat monitoring non invasif
4) membantu dokter melakukan pemasangan alat monitoring invasif
5) Monitoring perianestesi :
- Monitoring kardiovaskuler :
 Non inavasif : nadi dan tekanan darah
 Invasif : Kanulasi arteri, kanulasi vena sentral, kanulasi arteri
pulmonalis ( Swan-Ganz), pada bayi baru lahir digunakan aretri atau
vena umbilikalis
 Perdarahan: dilakukan dengan menimbang kain kasa ( 10 – 15 cc/kain
kasa ), mengukur pada botolpengukur ditambah 10 – 20 % yang tidak
dapat diukur
- Monotoring respirasi :
 Tanpa alat : obsrevasi gerakan dada –perut pada saat bernapas
spontan atau napas kendali, warna mukosa bibir, warna kuku, warna
darah pada luka ( kebiruan atau merah muda)
 Stetoskop : prekordial atau esofagal untuk mendengar suara napas
 Oksimetri denyut ( pulse oximetry) : mengetahui SaO2
 Kapnometri : mengetahui kadar CO2 dalam udara inspirasi dan
ekspirasi
- Monitoring cairan dan elektrolit.
Monitoring terhadap intake dan haluran cairan
Pembedahan akan menyebabkan cairan berpindah ke ruang ketiga, ke
ruang peritoneum, ke luar tubuh.
Pelepasan cairan intra operasi
 Bedah besar : 6 – 8 ml/kgBB
 Bedah sedang : 4 – 6 ml/kgBB
 Bedah kecil : 2 – 4 ml/kgBB
56

- Monitoring suhu badan : oral, aksila, rectal


Dilakukan pada bedah yang lama, anak kecil dan bayi.
Pada bayi mudah sekali kehilangan panas secara radiasi, konveksi,
evaporasi dan konduksi, sehingga menngakibatkan depresi otot jantung,
hipoksia, asidosis, pulih anestesi lambat dan pada neonates dapat terjadi
sirkulasi persisten fetal
- Monitoring ginjal
 Mengetahui sirkulasi ginjal, dengan monitor produksi urine ( normal 0,5
– 1 mg/kgBB/jam)
- Monitoring Blokade Neuromuskuler
Mengetahui relaksasi otot dan stelah anestesi apakah tonus otot sudah
kembali normal
- Monitoring sistem saraf
 Monitoring refleks pupil, respon relaksasi otot cukupatu tidak, respon
motorik terhadap trauma pembedahan.
6) Mengatasi penyulit yang timbul
7) Pemeliharaan jalan napas
8) Pemasangan alat ventilasi mekanik
9) Pemasangan alat nebulisasi
10) Pengakhiran tindakan anestesi : reverse dan ekstub asi

4.Evaluasi
Evaluasi tindakan asuhan kepenataan anestesi intra anestesi,
mengevaluasi secara mandiri maupun kolaboratif
Evaluasi terhadap tanda-tanda hemodinamik, stabil atau tidak

5.Pendokumentasian
Pendokumentasian semua tindakan yang dilakukan agar seluruh
tindakan tercatat baik dan benar

B.2.Asuhan Kepenataan Intra Anestesi Pada Regional Anestesi


I. Pengkajian
1) Keadaan umum
2) Tanda vital
3) Status fisik pasien dengan criteria ASA
4) Gambaran hemodinamik
5) Teknik anestesi
6) Jenis obat anestesi
7) Efek terhadap sistem tubuh :
a) Sistem kardiovakuler .
 Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang
menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena,
makin tinggi blok makin berat hipotensi.
57

 Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return.


 Bradikardia : Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi
akibat blok sampai T-2
b) Sistem respirasi
 Hipoventilasi
 Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
 Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas
c) Sistem Saraf Pusat
 Efek awal adalah pusing
 Paraestesi lidah, pusing, kepala terasa ringan, tinnitus, pandangan
kabur, agitasi, twitching, tidak sadar, konvulsi, koma merupakan tanda
toksisitas
d) Sistem imunitas.
Tanda-tanda alergi
e) Sistem musculoskeletal .
Tanda miotoksik dan dapat regenerasi dalam waktu 3 – 4 minggu.

2. Masalah Kepenataan Anestesi


 Risiko cedera trauma pembedahan
 Risiko cedera posisi pembedahan
 PK. Disfungsi Respirasi
 PK Disfungsi Kardiovaskuler
 PK Disfungsi Sirkulasi
 PK Disfungsi termoregulasi
 PK Disfungsi gastrointestinal
 PK Disfungsi hepar
 PK Disfungsi ginjal/perkemihan
 PK Ketidakseimbangan elektrolit
 PK Disfungsi metabolic

3. Intervensi/Implementasi
1) Menyiapkan peralatan dan obat-obatan sesuai dengan perencanaan
teknik anestesi
2) Membantu pelaksanaan anestesi sesuai denagnprogram kolaboratif
spesialis anestesi
 Rehidrasi : infus cairan elektrolit 1.000 – 1.500 ml atau koloid 500 ml
sebelum tindakan.
 Pre oksigenasi
3) Membantu pemasangan alat monitoring non invasif
58

4) membantu dokter melakukan pemasangan alat monitoring invasif


5) Monitoring perianestesi :
- Monitoring kardiovaskuler :
 Non inavasif : nadi dan tekanan darah
 Invasif : Kanulasi arteri, kanulasi vena sentral, kanulasi arteri
pulmonalis ( Swan-Ganz), pada bayi baru lahir digunakan aretri atau
vena umbilikalis
 Perdarahan: dilakukan dengan menimbang kain kasa ( 10 – 15 cc/kain
kasa), mengukur pada botol pengukur ditambah 10 – 20 % yang tidak
dapat diukur
- Monotoring respirasi :
 Tanpa alat : obsrevasi gerakan dada –perut pada saat bernapas
spontan atau napas kendali, warna mukosa bibir, warna kuku, warna
darah pada luka ( kebiruan atau merah muda)
 Stetoskop : prekordial atau esofagal untuk mendengar suara napas
 Oksimetri denyut ( pulse oximetry) : mengetahui SaO 2
 Kapnometri : mengetahui kadar CO2 dalam udara inspirasi dan
ekspirasi
- Monitoring cairan dan elektrolit.
Monitoring terhadap intake dan haluran cairan
Pembedahan akan menyebabkan cairan berpindah ke ruang ketiga, ke
ruang peritoneum, ke luar tubuh.
Pelepasan cairan intra operasi
 Bedah besar : 6 – 8 ml/kgBB
 Bedah sedang : 4 – 6 ml/kgBB
 Bedah kecil : 2 – 4 ml/kgBB
- Monitoring suhu badan : oral, aksila, rectal
Dilakukan pada bedah yang lama, anak kecil dan bayi.
Pada bayi mudah sekali kehilangan panas secara radiasi, konveksi,
evaporasi dan konduksi, sehingga menngakibatkan depresi otot jantung,
hipoksia, asidosis, pulih anestesi lambat dan pada neonates dapat terjadi
sirkulasi persisten fetal
- Monitoring ginjal
 Mengetahui sirkulasiginjal, dengan monitor produksi urine ( normal 0,5
– 1 mg/kgBB/jam )
- Monitoring Blokade Neuromuskuler
Mengetahui relaksasi otot dan stelah anestesi apakahtonusotot sudah
kembali normal
- Monitoring sistem saraf
 Monitoring refleks pupil, respon relaksasi otot cukup atau tidak, respon
motorik terhadap trauma pembedahan.
6) Mengatasi penyulit yang timbul
7) Pemeliharaan jalan napas
59

8) Pemasangan alat ventilasi mekanik


9) Pemasangan alat nebulisasi
10) Pengakhiran tindakan anestesi

4.Evaluasi
Evaluasi tindakan asuhan kepenataan anestesi intra anestesi,
mengevaluasi secara mandiri maupun kolaboratif
Evaluasi terhadap tanda-tanda hemodinamik,stabil atau tidak

5.Pendokumentasian
Pendokumentasian semua tindakan yang dilakukan agar seluruh tindakan
tercatat baik dan benar.
60

URAIAN KOMPETENSI INTRA ANESTESI

INDUKSI ANESTESI

A. Pengertian
Induksi anestesi adalah suatu rangkaian proses tindakan untuk membuat pasien
dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Berbagai metode induksi dapat diberikan, antara lain : intravena,
intramuscular, inhalasi dan rectal.
Waktu induksi adalah waktu antara obat anestesi dimasukkan ke dalam tubuh
pasien sampai keadaan tidak ada refleks atau sudah tidak merasakan sakit (stadium
operasi). Waktu minimum periode induksi biasanya 10 menit apabila diberikan
secara intramuskular (IM) dan 20 menit apabila diberikan secara subkutan (SC).

B. Tanda Induksi
1. Gerakan tidak terkoordinasi,
2. Gelisah dan diikuti dengan relaksasi yang cepat serta kehilangan kesadaran.

C. Persiapan Sebelum induksi


Untuk persiapan induksi anestesi, perlu diingat kata STATICS :

S: Scope : Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.


Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan
usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tubes : Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan usia > 5 tahun dengan balon (cuffed).

A: Airway : Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) dan pipa hidung-


faring (nasotracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak
menyumbat jalan napas
T : Tape : Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut

I: Introducer : Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
C: Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia

S : Suction : Penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya

D. Oksigenasi Pre Induksi


1. Pengertian
Oksigenasi pre induksi adalah pemberian oksigen untuk mengoptimalkan
oksigenasi jaringan sebelum diberikan obat induksi anestesi.
61

2. Tujuan
a. Mengoptimalkan hemodinamik paru,
b. Mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat sehingga metabolisme
intra sellular berjalan lancar.

3. Persiapan alat :
a. Sumber oksigen (tabung) atau sumber oksigen sentral, siap pakai
b. Tabung pelembab (humidifier)
c. Pengukur aliran oksigen (flow meter)
d. Alat pemberi oksigen tergantung metode yang dipakai.

4. Efek Samping Pemberian Oksigen


b. Terjadinya resiko kebakaran akibat ledakan tangki oksigen.
c. Hipoventilasi, akibat supresi pada hipoxic respiratory drive. pada pasien
dengan hiperkapnia kronik (PaCO2 > 45 mmHg), maka respons terhadap
peningkatan kadar CO2 menjadi berkurang sehingga tidak ada rangsangan
pada pusat nafas.
d. Hipoksia, oksigen diberikan dengan tekanan tinggi secara mendadak.
e. Atelektasis, alveoli paru menjadi kolaps, terjadi oleh karena pengeluaran
nitrogen dari alveoli akibat pemberian oksigen konsentrasi tinggi hampir
100% dalam waktu yang lama (>24 jam) sehingga gas nitrogen biasanya
meregangkan dinding alveoli.
f. Keracunan oksigen : Bisa menyeluruh dan bisa setempat. Pajanan oksigen
bertekanan tinggi pada jaringan paru bisa menyebabkan perubahan
jaringan menjadi patologis. Secara umum, FiO2 > 0,5 menyebabkan
keracunan. Tanda pertama keracunan oksigen adalah akibat efek iritasi
oksigen dan refleks trakeobronkitis akut. Setelah beberapa jam bernapas
dengan oksigen 100%, fungsi mukosiliar akan tertekan dan terjadi
gangguan pembersihan mukus. Dalam 6 jam pemberian oksigen 100%,
bisa terjadi batuk nonproduktif, nyeri substernal, dan hidung tersumbat.
Bisa juga terjadi malaise, mual, anoreksia, dan nyeri kepala.
g. Retrolental fibroplasias, pemberian sejumlah besar oksigen pada bayi
prematur menyebabkan konstriksi pembuluh darah retina yang masih
prematur, kerusakan sel endotel, terlepasnya retina, dan kemungkinan
kebutaan.

E.Pemberian Obat Induksi


1. Pengertian
Pemberian obat induksi anestesi merupakan pemberian obat anestesi
hipnosis secara cepat sehingga mencapai puncak konsentrasi dalam waktu 30
– 60 detik mengakibatkan perubahan tingkat penekanan susunan saraf pusat
dan cepat turun karena proses redistribusi dari obat.
62

2. Metode Induksi Anestesi


a. Induksi intravena
1) Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan.
2) Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan,
lembut, dan terkendali.
3) Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik.
4) Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah
harus diawasi dan selalu diberikan oksigen.
5) Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
6) Anestesi intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk
rumatan anesthesia, tambahan pada analgesia regional atau untuk
membantu prosedur diagnostic.
7) Obat yang biasa digunakan adalah :
a) Tiopental dosis induksi 3-7 mg/kg disuntikan perlahan dihabiskan 30-
60 detik,
b) Propofol dosis bolus induksi 2-2,5 mg/kg,
c) Ketamin untuk induksi intravena 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-
10 mg/kg,
d) Opioid (fentanil) dosis induksi 20-50 mg/kg.

b. Induksi Intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

c. Induksi Inhalasi
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki
sifat-sifat :
1) Tidak berbau menyengat / merangsang
2) Baunya enak
3) Cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat obat tersebut dapat ditemukan pada halotan dan sevofluran.
Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak-anak yang belum terpasang
jalur vena atau pada orang dewasa yang takut dengan jarum suntik. Dosis
awal pemberian halotan dimulai dari 0,5 vol% sampai konsentrasi yang
dibutuhkan. Jika pasien batuk, konsentrasi halotan diturunkan untuk
kemudian dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan jika pasien
sudah tenang.

d. Induksi Per Rectal


Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.
63

3. Cara Menilai Induksi Anestesi .


Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata, jika bulu
mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.

F.Evaluasi Paska Pemberian Obat Induksi


Hasil Evaluasi
1. Tujuan tercapai : jika pasien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan,
2. Tujuan tidak tercapai : jika pasien tidak menunjukkan perubahan dan
kemajuan sama sekali dan bahkan timbul masalah baru,
3. Cara Penilaian Keberhasilan Induksi Anestesi
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata, jika bulu
mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.

TINDAKAN INTUBASI

A. Pengertian
Intubasi endotrakheal adalah tindakan memasukan pipa endotrakheal kedalam
trakhea untuk menjamin pemberian gas anestesi agar dapat dilakukan
pembedahan/tindakan operasi.

B. Tujuan
1. Menjamin ventilasi, oksigenasi dan pemberian gas anestesi untuk menjamin
pasien yang dilakukan pembedahan.
2. Meminimalisasi komplikasi yang timbul akibat intubasi.

C. Jenis Intubasi
1. Intubasi oral : Endo Trakheal Tube (ETT)
a. Keuntungan : lebih mudah dilakukan, bisa dilakukan dengan cepat pada pasien
dalam keadaan darurat, resiko terjadinya trauma jalan nafas lebih kecil
b. Kerugian : tergigit, lebih sulit dilakukan oral hyangiene dan tidak nyaman.
2. Intubasi nasal : Nasal Trakheal Tube (NTT)
a. Keuntungan : pasien merasa lebih enak/ nyaman, lebih mudah dilakukan pada
pasien sadar, tidak akan tergigit
b. Kerugian : pipa endotrakheal yang digunakan lebih kecil, pengisapan sekret
lebih sulit, dapat terjadi kerusakan jaringan dan perdarahan, dan lebih sering
terjadi infeksi (sinusitis)
Kontra Indikasi Intubasi Endotrakheal
1. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan
adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
2. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
64

D. Persiapan Intubasi
1. Persiapan Alat STATICS

S: Scope : Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.


Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T : Tubes : Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Pada orang dewasa dapat
menggunakan ukuran jari kelingking
Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan usia > 5 tahun
dengan balon (cuffed).
A: Airway : Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) dan pipa
hidung-faring (nasotracheal airway). Pipa ini untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga
supaya lidah tidak menyumbat jalan napas
T : Tape : Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau
tercabut
I: Introducer : Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea
mudah dimasukkan dan Magil Forceps untuk mengambil
benda asing di dalam rongga mulut.
C: Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia

S : Suction : Penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya

2. Persiapan Obat emergency


 Sulfas Atropin (SA) dalam spuit = untuk mengatasi bradikardi akibat salah
satu efek samping dari laringoskopi
 Aderenalin Epinefrin dalam spuit = sebagai vasopressor apabila terjadi
Cardiac Arrest akibat tindakan laringoskopi intubasi

3. Pemasangan Pipa Endotrakheal


1) Atur alat-alat:
a. Kiri pasien : laringoskop dalam posisi terbalik
b. Kanan pasien : AMBU Bag, ET (Endotrakheal Tube), OPA
(Oropharyngeal Airway), Spuit, Plester
2) Sebelum melakukan intubasi WAJIB dilakukan Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
O2 100% dengan tujuan untuk mencegah HIPOKSIA, caranya dengan :
a. 2 jari berada di atas sungkup muka, menekan sungkup muka ke bawah
b. 3 jari lain berada di Ramus Mandibula, mengangkat mandibula ke atas
65

c. Dengan gerakan yang lembut, kantung AMBU Bag ditekan sampai dada
terangkat
d. VTP dilakukan sampai pasien TIDAK HIPOKSIA lagi yang bisa dilihat dari
Saturasi O2 yang baik atau tidak ada tanda sianosis di sentral maupun
perifer

e. Apabila dada tidak terangkat maka dilakukan manuver jalan nafas kembali
untuk membuka nafas

3) Gunakan laringoskop intubasi


a. Laringoskop dinyalakan
b. Buka mulut dengan tangan kanan, gerakan jari menyilang (ibu jari
menekan mandibula ke bawah, jari telunjuk menekan maksila ke atas)
66

c. Pegang laringoskop dengan tangan kiri


d. Masukkan mulai dari sisi kanan kemudian menyingkirkan lidah ke kiri
e. Cari epiglotis. Tempatkan ujung bilah laringoskop di valekula (pertemuan

epiglotis dan pangkal lidah)


f. Angkat epiglotis dengan elevasi laringoskop ke atas (jangan
menggunakan gigi seri atas sebagai tumpuan) untuk melihat plica vocalis.
g. Bila tidak terlihat, minta bantuan asisten untuk melakukan BURP Manuver
(Back, Up, Right Pressure) pada cartilago cricoid sampai terlihat plica
vocalis

h. Masukkan ET sampai ujung proksimal cuff ET melewati plica vocalis


i. Kembangkan cuff ET dengan tekanan 20-24 mmhg (sampai tidak ada
kebocoran udara)
67

j. Cek dengan cara memberikan VTP.


Pada pasien cek dengan auskultasi menggunakan stetoskop, bandingkan
suara nafas paru kanan sama dengan paru kiri
k. Jika ada ventilasi ke dua sisi paru tidak sama maka pipa ditarik sedikit
sampai ventilasi kedua paru sama.

l. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah


epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi
(dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin
lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa
dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang
cukup.
m. Setelah pasti diletakkan di trakea, pasang OPA supaya tidak tergigit oleh
pasien.
n. Fiksasi supaya tidak lepas : mulai dari sisi sebelah atas kemudian
memutar dan menyilang ke sebelah bawah.

4) Penyulit Intubasi
a. Leher pendek dengan gigi geligi yang lengkap
b. Fraktur servical
c. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara
mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan
depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
d. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
e. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
f. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang
sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
g. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi
kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
h. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan
fleksi leher.
i. Ada masa di pharing dan laring

5) Komplikasi Intubasi Endotrakheal


Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi
68

a. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi


laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau
mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi
retrofaringeal.
c. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intrakranial
meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.
d. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.

4. Evaluasi Pemasangan Pipa Endotrakheal


Hasil Evaluasi
1) Tujuan tercapai : jika pasien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan
2) Tujuan tidak tercapai : jika pasien tidak menunjukkan perubahan dan
kemajuan sama sekali dan bahkan timbul masalah baru.
3) Cara Penilaian Keberhasilan tindakan intubasi
Cek dengan cara memberikan VTP.
a. Pada pasien cek dengan auskultasi menggunakan stetoskop,
bandingkan suara nafas paru kanan sama dengan paru kiri.
b. Bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau
gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan
stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama
pasien akan nampak semakin membiru.

TINDAKAN EKSTUBASI

A. Pengertian
Ekstubasi adalah mengeluarkan pipa endotrakheal setelah dilakukan
intubasi.

B. Tujuan
Ekstubasi bertujuan untuk menjaga agar pipa endotrakheal tidak
menimbulkan trauma, serta mengurangi reaksi jaringan laringeal dan menurunkan
resiko setelah ekstubasi.

C. Kriteria
Kriteria ekstubasi yang berhasil bila :
1. PaO2 diatas 80 mm Hg
2. Kardiovaskuler dan metabolic stabil
3. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot
4. Reflek jalan napas sudah kembali (batuk, gag) dan pasien sudah sadar penuh.

D. Pelepasan Pipa Endotrakhea (Ekstubasi)


69

1. Ekstubasi Bangun Penuh


a. Posisikan pasien terlentang
b. Dokter anestesi / penata anestesi mematikan seluruh gas anestesi kecuali
oksigen yang tetap mengalir sekitar 6 L / menit.
c. Dokter anestesi / penata anestesi memastikan efek pelumpuh otot sudah
hilang, jika perlu berikan reverse pelumpuh otot
d. Dokter anestesi / penata anestesi memastikan pola nafas sudah reguler
e. Bila tidak ada retraksi dinding dada, SpO2 > 95% dengan udara luar.
f. Dokter anestesi / penata anestesi membangunkan pasien dengan cara
mengikuti perintah sederhana (buka mata, buka mulut atau angkat tangan)
g. Dokter anestesi / penata anestesi mengempiskan balon endotrakheal lalu
tarik pipa endotrakheal
h. Berikan oksigen lewat kanul 3L / menit.

3. Ekstubasi Dalam
a. Mematikan seluruh gas anestesi, kecuali N2O.
b. Memastikan efek pelumpuh otot sudah hilang, jika perlu berikan reverse
pelumpuh otot.
c. Memastikan pola nafas sudah reguler
d. Memastikan kapsitas otot pernafasan adekuat.
e. Melakukan suction untuk membersihkan secret atau darah di rongga mulut.
f. Mematikan seluruh gas,
g. Mengkempiskan balon (cuff) endotrakheal tube dan melakukan ekstubasi
h. Memberikan oksigen 6 - 10 L / menit. melalui sungkup muka hingga pasien
bangun
i. Setelah pasien bisa melakukan perintah sederhana (buka mata dan angkat
tangan) berikan oksigen kanul 3L / menit.

E. Penyulit Ekstubasi
Hal-hal yang dapat terjadi setelah ekstubasi :
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Edema laring akut karena trauma selam ekstubasi

Penyulit lanjut setelah dilakukan ekstubasi :


b. Sakit tenggorokan
c. Stenosis trachea dan trakheomolasia
d. Radang membran laring dan ulserasi
e. Paralisis dan granuloma pita suara
f. Luka pada sarap lidah
70

OKSIGENASI

A. Pengertian
Oksigenasi paska anestesi merupakan pemberian oksigen sebagai suatu
intervensi medis, dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding yang terdapat
dalam udara untuk terapi dan pencegahan terhadap gejala dan menifestasi dari
hipoksia.

B. Tujuan
Untuk mengoptimalkan oksigenasi jaringan dan meminimalkan asidosis
respiratorik.
C. Manfaat
Memperbaiki hemodinamik paru, kapasitas latihan, kor pulmonal, menurunkan
cardiac output, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik,
mengurangi hipertensi pulmonal, dan memperbaiki metabolisme otot.
D. Indikasi Terapi Oksigen
Pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar
membutuhkan oksigen. Gangguan respirasi pada paska anestesi paling sering
ditemukan di PACU, kebanyakan berhubungan dengan sumbatan jalan nafas,
hipoventilasi dan hipoksemia,
E. Sumbatan Jalan Nafas
1. Penyebab :
a. Tersering adalah pada pasien tidak sadar karena lidah jatuh ke belakang ke
pharing posterior.
b. Penyebab lain adalah spasme laring, udema glottis, sekresi, muntahan,
darah di jalan nafas, atau tekanan luar dari trakea (tersering karena
hematoma di leher).
1) Manifestasi klinis :
a) Sumbatan parsial jalan nafas biasanya diketahui dengan adanya
respirasi sonor.
b) Sumbatan total menyebabkan aliran udara terhenti, suara nafas
menghilang, dan ditandai dengan gerakan paradoksal dada (saat
inspirasi dada turun sedang perut naik).
2) Penatalaksanaan :
a) Manuver jaw thrust (mendorong rahang) dan memiringkan kepala akan
menarik lidah ke depan dan membuka jalan nafas.
b) Memasang pipa nasal atau oral
c) Jika manuver diatas gagal dipertimbangkan adanya spasme laring.
Karakteristik dari spasme laring adalah suara tinggi nyaring dan
mungkin juga diam jika glottis tertutup.
d) Suction untuk mengeluarkan sekret atau darah pada jalan nafas
71

e) Spasme laring yang parah harus diterapi agresif.


f) Pemberian dosis kecil suksinilkolin (10-20 mg) dan ventilasi tekanan
positif dengan O2 100% untuk sementara waktu guna mencegah
hipoksia berat atau udema paru tekanan negatif.
g) Intubasi endotrakeal diperlukan untuk menjaga kepatenan jalan nafas.
h) Crico tirotomi atau jet ventilasi transtrakea diindikasikan jika intubasi
tak segera berhasil.
i) Edema glottis akibat suction sekresi pada jalan nafas diberikan
ortikosteroid i.v (dexamethason 0,5 mg/kg) atau aerosol rasemik
epinephrine (0,5 ml larutan 2,25 % dengan 3 ml NS).
j) Luka hematoma post operasi setelah prosedur bedah kepala dan leher,
tiroid, dan carotid dilakukan pembukaan luka tersebut untuk
menghilangkan kompresi trakea.

F. Hipoventilasi
Hipoventilasi adalah PaCO2 > 45 mmHg, sering terjadi setelah anestesi umum
1. Penyebab
a. Karena efek sisa depresi dari agen anestesi terhadap pusat pernapasan.
kejadian hipoventilasi adalah ringan dan pada beberapa kasus dapat
diabaikan.
b. Nyeri sayatan dan disfungsi diafragma setelah pembedahan perut atas atau
dada, perut yang menggelembung, pakaian yang ketat perutnya.
c. Revers tidak adekuat, overdosis, hipotermi, interaksi farmakologi (misalnya
dengan antibiotik "mycin" atau terapi magnesium), perubahan farmakokinetik
(karena hipotermi, perubahan distribusi volume, disfungsi ginjal atau hati)
atau faktor-faktor metabolic (hipokalemia atau asidosis respiratorik) dapat
berespon terhadap sisa-sisa obat pelumpuh otot.
2. Manifestasi secara klinis
a. Tampak bila PaCO2 > 60 mmHg atau pH darah arteri < 7.25.
b. Tanda-tandanya bervariasi antara lain mengantuk yang berlebihan atau
lama, sumbatan jalan nafas, laju nafas pelan, takipnea dengan nafas
dangkal, atau sulit bernafas. Asidosis ringan sampai sedang dapat
menyebabkan takikardi dan hipertensi, jantung iritabel (lewat stimulasi
simpatis), tetapi asidosis yang lebih berat menyebabkan depresi sirkulasi.
Jika curiga hipoventilasi yang bermakna, harus dilakukan analisa gas darah
arteri untuk menilai keparahan dan pemandu tata laksana selanjutnya.
c. Karakteristik depresi nafas karena opioid adalah laju nafas yang lambat,
sering dengan volume tidal yang besar.
d. Gerakan nafas yang tak terkoordinasi dengan volume tidal yang dangkal dan
takipnea biasanya jelas kelihatan.
e. Kenaikan produksi C02 karena menggigil, hipertermi, atau sepsis dapat juga
meningkatkan PaCO2 bahkan pada pasien normal yang pulih dari anestesi
umum. Tanda hipoventilasi dan asidosis respiratorik dapat dilihat jika factor-
72

faktor tersebut tumpang tindih pada seseorang yang cadangan ventilasinya


terganggu karena penyakit pulmoner, neuromuskuler, atau neurology yang
mendasarinya.
3. Penatalaksanaan :
a. Terapi sebaiknya langsung ditujukan pada penyebab yang mendasarinya,
tetapi tanda-tanda hipoventilasi selalu memerlukan ventilasi terkontrol
sampai faktor-faktor yang berperan diidentifikasi dan dikoreksi.
b. Adanya depresi sirkulasi, atau asidosis (pH darah arteri < 7,15) dapat
diindikasikan untuk segera dilakukan intubasi endotrakeal.
c. Antagonis dari opioid penyebab depresi diberikan dengan naloxone untuk
meningkatkan pernafasan, titrasi dengan dosis kecil (0,04 mg pada orang
dewasa)
d. Setelah naloxone sebaiknya pasien dipantau secara cermat akan
kekambuhan dari depresi nafas oleh opioid (renarkotisasi), mengingat
naloxone berdurasi lebih pendek daripada kebanyakan opioid. Sebagai
alternatif doxapram 60-100mg, dilanjutkan dengan 1-2mg/mnt i.v boleh
digunakan, doxapram tak merevers analgesia tetapi dapat menyebabkan
hipertensi dan takikardi. Bila terdapat sisa dari pelumpuh otot dapat
diberikan penghambat kolinesterase. Sisa pelumpuh kendati dalam dosis
penuh penghambat kolinesterase memerlukan kontrol ventilasi sampai
terjadi pemulihan spontan. Kebijaksanaan memilih analgesi opiopid
(intravena atau intraspinal), anestesi epidural, atau blok saraf interkostal
adalah sering menguntungkan dalam mengurangi pembebatan setelah
prosedur bedah perut atas atau dada.

G. Hipoksemia
Hipoksemia ringan adalah biasa terjadi pada pasien-pasien yang pulih dari
anestesi tanpa diberi oksigen selama pemulihan.
1. Penyebab
a. Peningkatan shunting intra pulmoner dari kanan ke kiri atau kedua-duanya
karena penurunan FRC relatif terhadap closing capacity
b. Penurunan FRC terbesar terjadi pada bedah perut atas atau dada.
c. Penurunan cardiac output atau kenaikan konsumsi oksigen
d. Tanda shunting intrapulmoner kanan ke kiri (Qs/Qt>15%)
e. Pemeriksaan radiografi ditemukan seperti atelektasis paru, infiltrat
parenkimal, atau pneumothorak yang luas.
f. Penyebab : karena hipoventilasi intraoperasi yang lama dengan volume
tidal rendah, intubasi endobronkial tak disengaja ke lobaris karena bronkus
tersumbat oleh sekresi atau darah, aspirasi paru, atau udema paru,
tekanan positif.
2. Penatalaksanaan :
- Terapi oksigen dengan atau tanpa tekanan positif jalan nafas
73

- Pemberian rutin 30-60% oksigen untuk mencegah hipoksemia dengan


hipoventilasi sedang dan hiperkapnca.
- Pasien-pasien dengan penyakit.paru atau jantung memerlukan konsentrasi
oksigen yang lebih tinggi.
- Terapi oksigen sebaiknya dipandu dengan Sp02 atau analisa gas darah
arteri. Konsentrasi oksigen harus dikontrol dengan ketat pada pasien
dengan retensi C02 untuk menghindari gagal nafas akut.
- Pasien-pasien dengan hipoksemia berat atau meaetap harus diberi 100%
oksigen lewat NRM atau ETT sampai penyebabnya diketahui dan terapi
lainnya dimulai dengan ventilasi mekanik dikon trol atau dibantu
- Foto dada (terutama tegak lurus) adalah amat berguna dalam menilai
volume paru dan ukuran jantung serta menunjukkan pneumothorak atau
infiltrat paru
- Terapi tambahan sebaiknya langsung pada penyebab dasar.
- Sebaiknya pasang drainage dada pada pneumothoraks
- Spasme bronkus sebaiknya diterapi dengan bronkodilator aerosol
(aminophilin i.v.)
- Diuretik diberikan bila sirkulasi cairan berlebihan.
- Bronkoskopi sering bermanfaat dalam mengembangkan kembali atelektasis
lobaris oleh kotoran bronkus atau partikel aspirasi.

H. Ketentuan Pemberian oksigen


1. Tanpa gangguan nafas oksigen diberikan 2 liter/menit melalui kanul binasal.
2. Dengan gangguan nafas sedang oksigen diberikan 5-6 liter per menit melalui
kanul binasal.
3. Gangguan nafas berat, gagal jantung, henti jantung gunakan sistem yang
dapat memberi oksigen 100 %.
4. Dalam keadaan darurat lakukan bantuan nafas, intubasi beri 100% O2.
I. Persiapan alat :
e. Sumber oksigen (tabung) atau sumber oksigen sentral, siap pakai.
f. Tabung pelembab (humidifier).
g. Pengukur aliran oksigen (flow meter).
h. Alat pemberi oksigen tergantung metode yang dipakai
J. Metode pemberian oksigen :
1. Sistem aliran rendah:
1. Aliran rendah konsentrasi rendah (low flow low concentration)
1) Kateter nasal atau binasal
a) Paling sering digunakan untuk pemberian oksigen, memberikan
konsentrasi udara inspirasi (FiO2) 24-44% dengan kecepatan aliran 1-6
liter/menit.
b) Konsentrasi oksigen yang diberikan tergantung tingginya aliran dan
volume tidal nafas pasien. Konsentrasi bertambah 4% untuk setiap
74

tambahan 1 liter/menit O2, misalnya aliran 1 liter/menit = 24% .2


liter/menit 28% dan seterusnya maksimal 6 liter/menit.
2) Keuntungan :
− Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju nafas teratur,
baik diberikan dalam jangka waktu lama. Pasien dapat bergerak bebas,
Makan minum dan Bicara.
3) Kerugian :
− Dapat menyebabkan iritasi hidung dan bagian belakang telinga tempat
tali binasal. FiO2 akan berkurang bila pasien bernafas dengan mulut.
2. Aliran rendah konsentrasi tinggi (low flow high concentration).
1) Sungkup muka sederhana (simple mask); konsentrasi O2 yang masuk
tergantung pada pola nafas dan kecepatan aliran O2 :
1) Aliran O2 diberikan 6-10 liter/menit dengan konsentrasi O2 mencapai
60%.
2) Merupakan sistem aliran rendah dengan hidung, nasofaring, orofaring
sebagai penyimpanan anatomik.
2) Sungkup muka kantong rebreating; dilengkapi dengan kantong yang
menampung aliran gas dari sumber gas atau udara kamar dan udara nafas
tanpa valve sehingga terjadi rebreathing :
1) Aliran O2 diberikan 6-10 liter/menit dengan konsentrasi O2 dicapai 80%.
2) Udara inspirasi sebagian bercampur dengan udara ekspirasi dimana 1/3
bagian volume udara exhalasi masuk kekantong dan 2/3 nya melalui
lubang-lubang bagian samping.
3) Sungkup muka kantong non rebreating, dilengkapi dengan expiratory valve
(katup ekspirasi), sehinggan tidak rebreathing
1) Aliran O2 diberikan 8-12 liter/menit, dengan konsentrasi O2 mencapai
100%.
2) Udara inspirasi tak bercampur dengan udara ekspirasi (exhalasi) dan
tidak dipengaruhi oleh udara luar.

3. Kerugian pakai sungkup :


b) Mengikat sungkup dengan ketat, terus melekat pada pipi pasien agar tak
terjadi kebocoran.
c) Dapat terjadi aspirasi bila pasien muntah terutama kalau tidak sadar.

4. Sistem aliran tinggi :


a. Aliran tinggi konsentrasi rendah (High flow low concentration)
1) Sungkup venturi
Konsentrasi oksigen berkisar antara 25-40% tergantung kebutuhan
pasien dipakai pada pasien dengan tipe ventilasi tidak teratur, hiperkarbi
dan hipoksemia sedang samapi berat.
Yang penting kita harus mengetahui berapa persen kadar oksigen yang
kita berikan dengan cara apapun dan berapa besar kebutuhan pasien.
2) Aliran tinggi konsentrasi tinggi (High flow high concentration)
75

a) Head box
b) Sungkup CPAP (Continous positive airway pressure)

Tabel. Pemberian oksigen


No Cara Pemberian Aliran Oksigen Konsentrasi O2 (Fi O2 ) %
Liter/menit
1 Nasal kateter/ kanul 1-2 24 – 28
3-4 30 – 35
5-6 38 – 44
2 Simple mask 5–6 40
6–7 50
7–8 60
3 Masker dengan 6 60
kantong simpanan
7 70
8 80
9 – 10 90 – 99
4 Masker Venturi aliran tetap 24 – 35
5 Head box 8 – 10 40
6 ventilator bervariasi 21 – 100
7 Mesin anestesi bervariasi 21 –

K. Komplikasi Terapi Oksigen


Komplikasi yang dapat terjadi pada terapi oksigen
1. Terhadap Respirasi
Narkosis CO2, dapat terjadi pada pasien dengan napas kendali. Pada pasien
tersebut harus segera diatasi dengan ventilasi mekanik.
2. Keracunan O2
Terjadi akibat pemberian oksigen dengan FiO2 > 60% dalam jangka waktu
lama (> 150 jam). Kelainan yang timbul berupa kongesti kapiler, penebalan
membran, edema interstitiel/alveolar, konsolidasi dan atelektasis yang
menyebabkan displasia bronko pulmoner.

MONITORING PERIANESTESI

I. Pendahuluan
Pemantauan atau monitoring berasal dari bahasa latin “monere” yang
artinya memperingatkan atau memberi peringatan. Dalam tindakan anestesi harus
dilakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu reaksi terhadap
pemberian obat anestesi khusus terhadap fungsi pernafasan dan jantung. Hal ini
dapat dilakukan dengan panca indera petugas yaitu dengan meraba, melihat atau
mendengar dan yang lebih penting serta obyektif dengan alat. Morbiditas dan
76

mortalitas pada tindakan anestesi sebagian besar disebabkan oleh kelalaian atau
kurang cermat waktu melakukan pemantauan.
Pemantauan dilakukan dengan baik selain faktor manusia diperlukan juga
alat-alat pantau agar lebih akurat. Alat pantau berfungsi sebagai pengukur,
menayangkan dan mencatat perubahan-perubahan fisiologis pasien. Walaupun
terdapat banyak alat pantau yang canggih tetapi faktor manusia sangat
menentukan sekali karena sampai saat ini belum ada alat pantau yang dapat
menggantikan fungsi manusia untuk memonitor pasien. Alat pantau perlu
dipelihara dengan baik sehingga informasi-informasi yang didapat dari alat pantau
tersebut dapat dipercaya.
Monitoring adalah segala usaha untuk memperhatikan, mengawasi dan
memeriksa pasien dalam anestesi untuk mengetahui keadaan dan reaksi
fisikologis pasien terhadap tindakan anestesi dan pembedahan. Tujuan utama
monitoring anestesi adalah diagnosa adanya permasalahan, perkiraan
kemungkinan terjadinya kegawatan, dan evaluasi hasil suatu tindakan, termasuk
efektivitas dan adanya efek tambahan.

II. Pelaksanaan Monitoring.


Monitoring perianestesi dibagi menjadi tahap yaitu : monitoring sebelum, selama
dan sesudah operasi.

a. Monitoring Pra Anestesi


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun
darurat perlu dipersiapkan. Sedangkan pada bedah emergensi waktu yang
tersedia lebih singkat. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada monitoring
sebelum operasi antara lain :
1. Persiapan mental dan fisik.
a) Anamnesa
Anamnesa untuk mengetahui keadaan pasien, riwayat penyakit,
pengobatan, operasi atau anestesi sebelumnya.
b) Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium
Pemeriksaan fisik meliputi tinggi badan, berat badan, vital sign,
keadaan umum, kondisi psikis, gizi, penyakit kardiovaskuler,
respirasi dan lain-lain. Untuk pemeriksaan laboratorium pasien
seperti Hb, HMT, AL, CT, BT, Ureum, Creatinin dan lain-lain.
2. Perencanaan tehnik dan obat anestesi.
3. Penentuan klasifikasi dan prognosis (sesuai dengan ASA).
Persiapan pra anestesi meliputi :
a) Pengosongan saluran pencernaan (diberi cairan perinfus).
b) Pengosongan kandung kemih.
c) Pembersihan jalan nafas.
d) Asesoris maupun kosmetik sebaiknya tidak dipakai.
e) Informed consent.
f) Pasien sebaiknya memakai pakaian bedah.
77

g) Pemeriksaan fisik yang penting diulangi pada saat pasien diruang


persiapan operasi.

b. Monitoring Intra Anestesi


Monitoring Intra Anestesi yakni tingkat kedalaman anestesi, efektivitas
kardiovaskuler dan efisiensi perfusi jaringan erta perubahan respirasisecara
praktis perlu diperhatikan tekanan darah, nadi, respirasi, suhu warna kulit,
keringat, cairan serta kesadaran pasien.
1) Tingkat kedalaman pasien sesuai dengan tingkat depresi terhadap
susunan saraf pusat yang antara lain dapat dilihat pada perubahan
tekanan darah, nadi, respirasi, pupil, pergerakan bola mata, reflek-reflek
dan kesadaran.
Depresi terhadap sistem saraf pusat dapat dilihat dengan perubahan-
perubahan sebagai berikut :
a) Menurunnya respon kulit/mukosa terhadap alat/obat anestesi yang
berbau tajam.
b) Menurunnya rangsangan susunan saraf simpatis, seperti tidak
keluarnya air mata, tidak terjadi vasokonstriksi dan kulit menjadi
hangat.
c) Berkurangnya rangsangan terhadap pernafasan, seperti tidak
terjadinya takipneu dan nafas menjadi teratur.
d) Berkurangnya rangsangan terhadap kardiovaskuler, misalnya tidak
terjadi takikardi dan hipertensi.
Bila anestesi kurang dalam, nafas akan bertambah dalam dan cepat,
atau sebagian anggota badan bergerak. Pada keadaan tersebut
konsentrasi obat anestesi intravena ditambah. Cara lain yang dapat
membantu menentukan kedalaman anetesi adalah nilai MAC (Minimal
Alveolar Concentration) dan pemeriksaan elektroensefalografi.
2) Kardiovaskuler
Fungsi jantung dapat diperkirakan dari observasi nadi, bunyi jantung,
pemeriksaan EKG, tekanan darah dan produksi urin.
a) Nadi
Monitoring frekuensi dan ritme nadi dapat dilakukan dengan meraba
arteri temporalis, arteri radialis, arteri femoralis, arteri karotis. Anestesi
yang terlalu dalam dapat bermanifestasi dengan nadi yang bertambah
lambat dan melemahkan denyut jantung.
Pemeriksan juga dapat dilakukan dengan monitor nadi yang
bermanfaat pada kasus-kasus anak dan bayi dimana pulsasi nadi
lemah, observasi ritme ektopik selama anestesi, indeks penurunan
tekanan darah selama anestesi halotan, dan selama pernafasan
kontrol dimana monitoring nafas tidak dapat dikerjakan.
Monitoring nadi akan berfungsi baik bila pembuluh darah dalam
keadaan vasodilatasi dan tidak efektif pada keadaan vasokonstriksi.
b) Elektrokardiogram
78

EKG selama anestesi dilakukan untuk memonitor perubahan frekuensi


ritme jantung serta sistim konduksi jantung.
Indikasi monitoring EKG selama anestesi :
- Mendiagnosa adanya cardiac arrest.
- Mencari adanya aritmia.
- Diagnosis isckemik miokard.
- Memberi gambaran perubahan elektrolit.
- Observasi fungsi pacemaker.
c) Tekanan Darah
Dapat diukur secara langsung maupun tak langsung.
- Cara tak langsung bisa dengan palpasi, auskultasi, oscilotonometri,
Doppler Ultrasound.
- Cara langsung atau invasif : pada cara ini kanul dimasukkan
kedalam arteri, misalnya arteri radialis atau brachialis kemudian
dihubungkan dengan manometer melalui transduser.
Cara ini dapat mengukur tekanan darah secara langsung dan terus
menerus. Pengukuran tekanan darah merupakan suatu hal yang
mutlak dilaksanakan pada setiap pasien selama anestesi. Selama
operasi, peningkatan tekanan darah bisa disebabkan karena
overload cairan atau anestesi yang kurang dalam, sebaliknya
tekanan darah dapat turun bila terjadi perdarahan atau anestesi
yang kurang dalam.
d) Produksi Urin
Urin dipengaruhi oleh obat anestesi, tekanan darah, volume darah, dan
faal ginjal.
Jumlah urin normal : 0,5-1 ml/KgBB/jam. Bila urin ditampung dengan
kateter perlu dijaga sterilitas agar tidak terinfeksi.
e) Perdarahan selama pembedahan
Jumlah perdarahan harus dihitung dari botol penghisap. Perdarahan
akut dapat diatasi dengan kristaloid, koloid, plasma ekspander, atau
darah. Selain jumlah perdarahan, perlu diawasi juga warna perdarahan
merah tua atau merah muda.
3) Respirasi
Respirasi harus dimonitor dengan teliti, mulai dengan cara-cara sederhana
sampai monitor yang menggunakan alat-alat. Pernafasan dinilai dari jenis
nafasnya, apakah thorakal atau abdominal, apakah ada nafas paradoksal
retraksi intercostal atau supraclavicula.
Pemantauan terhadap tekanan jalan nafas, tekanan naik bila pipa
endotrakhea tertekuk, sekresi berlebihan, pneumothorak, bronkospasme,
dan obat-obat relaksan habis.
Pemantauan terhadap “Oxygen Delivery” dan end tidal CO2.
- Oxygen Delivery.
Pada mesin anetesi sebaiknya dilengkapi dengan suatu alat pemantau
(oxygen analyzer) sehingga oksigen yang diberikan ke pasien dapat
79

dipantau dengan baik. Bila ada kebocoran pada sirkuit maka alarm
akan berbunyi, sedangkan untuk oksigen jaringan dapat dipantau
dengan alat transkutaneus PO2, pemantauan non invasif dan kontinyu.
Pada bayi korelasi antara PO2 dan PCO2 cukup baik.
- End tidal CO2’
Korelasi antara Pa O2 dan Pa CO2 cukup baik pada pasien dengan
paru normal.
Alat pemantaunya adalah kapnometer yang biasa digunakan untuk
memantau emboli udara pada paru, malignan hiperthermi, pasien
manula, operasi arteri karotis.
Stetoskop esofagus, merupakan alat sederhana, untuk pemantauan
non invasif, dan cukup aman. Dapat secara rutin digunakan untuk
memantau suara nafas dan bunyi jantung.
4) Suhu
Obat anestesi dapat memdepresi pusat pengatur suhu (SSP) sehingga
mudah dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan tehnik anestesi. Monitoring
suhu jarang dilakukan, kecuali pada bayi/anak-anak, pasien demam, dan
tehnik anestesi dengan hipothermi buatan. Pemantauan suhu tubuh
terutama suhu pusat, dan usaha untuk mengurangi penurunan suhu
dengan cara mengatur suhu ruang operasi, meletakkan bantal pemanas,
menghangatkan cairan yang akan diberikan, menghangatkan dan
melembabkan gas-gas anestetika.
5) Cairan
Pemantauan terhadap status cairan dan elektrolit selama operasi dapat
dilakukan dengan menghitung jumlah cairan atau darah yang hilang dan
jumlah cairan atau darah yang diberikan. Pengukuran ini harus benar-
benar cermat terutama pada pasien bayi karena mudah sekali terjadi
proses pelepasan panas melalui evaporasi, konduksi, radiasi.
Kebutuhan cairan selama operasi meliputi kebutuhan standar ditambah
dengan kebutuhan sesuai dengan trauma dan stress akibat operasi.
Kebutuhan standar :
a) Untuk anak
- BB : 0-10 Kg : 1000 ml/KgBB/24 jam
- 10-20 Kg : 1000 ml + 50 ml/KgBB/24 jam tiap Kg diatas 10 Kg.
- >20 Kg : 1500 ml + 20 ml/KgBB/24 jam tiap Kg diatas 20 Kg.
b) Untuk dewasa
- 40-50 ml/KgBB/24 jam
Kebutuhan karena trauma/stress operasi:
Pelepasan cairan intar operasi:
 Bedah besar : 6 – 8 ml/kgBB
 Bedah sedang : 4 – 6 ml/kgBB
 Bedah kecil : 2 – 4 ml/kgBB
80

Bila terjadi perdarahan dapat diganti dengan cairan kristaloid (3 x


jumlah perdarahan), koloid (1 x jumlah perdarahan), dan darah (1 x
jumlah perdarahan).
6) Analisa Gas Darah
Pemantauan oxygen delivery ke jaringan dan eliminasi CO2 dapat
dipantau dengan memeriksa analisa gas darah.
Indikasi pemeriksaan analisa gas darah antara lain: operasi besar
vaskular, operasi lung anestesi, anestesi dengan hipotensi kendali,
operasi otak.

c. Monitoring Pasca Anestesi


Monitoring pasca anestesi perlu dilakukan setelah pasien menjalani
pembedahan. Pada saat penderita berada diruang pemulihan perlu dicegah
dan ditanggulangi keadaan-keadaan yang ada sehubungan dengan tindakan
anestesi, antara lain :
1) Hipoksia
Disebabkan tersumbatnya jalan nafas.
Penatalaksanaan : dengan O2 3-4 L/menit, bebaskan jalan nafas, bila
perlu pernafasan buatan.
2) Irama jantung dan nadi cepat, hipertensi
Sering disebabkan karena kesakitan, permulaan hipoksia atau penyakit
dasarnya.
Penatalaksanaan: dengan O2, analgetik, posisi fowler.
3) Hipotensi
Karena perdarahan, kurang cairan, spesial anestesi.
Penatalaksanaan : dengan posisi datar, infus RL dipercepat sampai tensi
normal.
4) Gaduh gelisah
Karena kesakitan atau sehabis pembiusan dengan ketamin, pasien telah
sadar tapi masih terpasang ganjal lidah/airway.
Penatalaksanaan dengan O2, analgetik, ganjal dilepas, atau kadang perlu
bantal.
5) Muntah
Dapat menyebabkan aspirasi paru.
Penatalaksanaan dengan miringkan kepala dan badan sampai setengah
tengkurap, posisi trendelenberg, suctioning muntah sampai bersih.
6) Menggigil
Karena kedinginan, kesakitan atau alergi.
Penatalaksanaan dengan oksigenasi, selimuti, bila perlu beri analgetika.
7) Hipersensitivita/Alergi sampai syok
Oleh karena kesalahan tranfusi atau obat-obatan.
Penatalaksanaan: stop tranfusi, ganti Na Cl.
81

III. Perhatian.
Perawatan diruang pemulihan tidak kalah penting dibandingkan dengan
pengelolaan anestesi dikamar operasi, karena hampir semua dari penyakit serta
kematian dapat terjadi pasca bedah dan anestesi.
Hal-hal yang perlu dilakukan antara lain :
1. Posisi penderita disesuaikan dengan jenis operasi, misal : abduksi untuk post
injection Moore prothese, fleksi untuk post supracondiler humeri.
2. Pengawasan bagian yang telah dioperasi, meliputi tekanan gips, balutan,
drainase, sirkulasi dan perdarahan.
3. Observasi adanya perdarahan, dapat diketahui dari perembesan, produksi drain,
hematom,cek Hb bila turun usahakan tranfusi, Laboratorium dan Rontgen foto.
4. Pengobatan luka atau medikasi, bisanya dikerjakan sehari setelah operasi
kecuali ada pesan khusus dari operator, misal pada operasi skin graft.
82

MATERI 3
ASUHAN KEPENATAAN PASCA ANESTESI

A. KONSEP PASCA ANESTESI


1. Pengertian
Asuhan kepenataan pasca anestesi adalah tindakan yang dilakukan pada
masa pemulihan paska anestesi dilakukan di ruang pulih sadar (recovery
room) dan dalam kondisi tertentu dilanjutkan di ruang unit intensif.
Kamar pulih sadar merupakan perluasan kamar operasi, untuk merawat
pasien paska anestesi yang merupakan masa transisi karena kesadaran
penderita belum pulih secara sempurna akibat pengaruh obat anestesi
sehingga kecenderungan terjadi sumbatan jalan nafas akibat refleks
perlindungan seperti reflek batuk, muntah maupun menelan belum baik
sehingga kemungkinan terjadi aspirasi dan juga mengakibatkan gangguan
kardiovaskular penderita.

2. Tujuan
Mencegah berkembangnya penyulit yang tidak diinginkan yang dapat
mengakibatkan kematian atau perluasan penyakit yang sudah ada.

3. Tahapan Asuhan Kepenataan Pasca Anestesi


Asuhan kepenataan pasca anestesi meliputi beberapa tahapan, antara lain :
1) Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan paska
anastesi (PACU/ Recovery Room).
Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan atau unit
perawatan paska anastesi (PACU: post anasthesia care unit)
memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus, antara lain letak incisi
bedah, perubahan vaskuler dan pemajanan.
Letak incisi bedah harus selalu dipertimbangkan karena luka ditutup
dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk
83

mencegah regangan jahitan lebih lanjut maka diatur posisi pasien yang
tidak menyumbat drain dan selang drainase.
Dapat terjadi hipotensi arteri ketika pasien digerakkan dari satu posisi
ke posisi lainnya, maka pasien harus dipindahkan secara perlahan dan
cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke barankard atau tempat
tidur, gaun pasien yang basah (karena darah atau cairan lainnnya) harus
segera diganti dengan gaun yang kering untuk menghindari kontaminasi.
Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan diberikan
pengikatan diatas lutut dan siku serta side rail harus dipasang untuk
mencegah terjadi resiko injury.
Selain hal tersebut diatas untuk mempertahankan keamanan dan
kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani
dengan cermat agar dapat berfungsi dengan optimal.
2) Perawatan Post Anastesi Di Ruang Pemulihan (Recovery Room)
Setelah selesai tindakan pembedahan, paseien harus dirawat
sementara di ruang pulih sadar (recovery room : RR) sampai kondisi
pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat
untuk dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan).
a. PACU atau RR biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi,
b. Tersedia alat monitoring digunakan untuk memberikan penilaian
terhadap kondisi pasien. Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah
alat bantu pernafasan : oksigen, laringoskop, set trakheostomi,
peralatan bronkhial, kateter nasal, ventilator mekanik dan peralatan
suction.
c. Terdapat alat yang digunakan untuk memantau status hemodinamika
dan alat-alat untuk mengatasi permasalahan hemodinamika, seperti :
apparatus tekanan darah, peralatan parenteral, plasma ekspander,
set intravena, set pembuka jahitan, defibrilator, kateter vena,
torniquet. Bahan-bahan balutan bedah, narkotika dan medikasi
kegawatdaruratan, set kateterisasi dan peralatan drainase.
d. Tersedia tempat tidur khusus yang nyaman dan aman serta
memudahkan akses bagi pasien, seperti : pemindahan darurat. Dan
dilengkapi dengan kelengkapan yang digunakan untuk
84

mempermudah perawatan. Seperti tiang infus, side rail, tempat tidur


beroda, dan rak penyimpanan catatan medis dan perawatan.
e. Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien
untuk dikeluarkan dari PACU adalah :
- Fungsi pulmonal yang tidak terganggu
- Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
- Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
- Orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang
- Pengeluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam
- Mual dan muntah dalam control
- Nyeri minimal

C.2.METODE ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI


I. Pengkajian
1. Skoring (Nagelhout J, Plaus K, 2014).
Area pengkajian Score Saat penerimaan Setelah 1 jam – 2 jam – 3 jam.

Pengkajian Post anstesi, antara lain :


a) Aldrete Score (dewasa
Warna
 Merah muda : 2
 Pucat : 1
 Sianosis : 0
Pernapasan
 Dapat bernapas dalam dan batuk : 2
 Dangkal namun pertukaran udara adekuat : 1
 Apnoea atau obstruksi : 0
Sirkulasi
 Tekanan darah menyimpang <20% dari normal : 2
 Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal : 1
 Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, : 0
Kesadaran
 Sadar, siaga dan orientasi : 2
 Bangun namun cepat kembali tertidur : 1
 Tidak berespons : 0
Aktivitas
 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan : 2
 Dua ekstremitas dapat digerakkan : 1
 Tidak bergerak : 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
85

b) Steward Score (anak-anak)


Pergerakan
 Gerak bertujuan : 2
 Gerak tak bertujuan : 1
 Tidak bergerak : 0
Pernafasan
 Batuk, menangis : 2
 Pertahankan jalan nafas : 1
 Perlu bantuan : 0
Kesadaran
 Menangis : 2
 Bereaksi terhadap rangsangan : 1
 Tidak bereaksi : 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

c) Bromage Score (spinal anestesi)


a) Gerakan penuh dari tungkai : 0
b) Tak mampu ekstensi tungkai : 1
c) Tak mampu fleksi lutut : 2
d) Tak mampu fleksi pergelangan kaki : 3
Jika Bromage Score 2 dapat pindah ke ruangan.

2. Efek Anestesi :
a. Efek anestesi Umum
1) Efek terhadap kardivaskular
obat anestetik inhalasi cenderung meningkatkan tekanan atrium kanan
yang bergantung pada dosis dan sekaligus menggambarkan depresi
fungsi miokardium
 Penurunan tekanan arteri
 Penurunan curah jantung
 Bradikardi mungkin terlihat pada halotan yang mungkin akibat depresi
langsung atas kecepatan atrium.
2) Efek terhadap sistem pernafasan
obat anestesi akan menurunkan fungsi pernafasan, meningkatkan
ambang apnoe (kadar PaCO2 turun dimana apnoe terjadi melalui tidak
adanya rangsangan pernapasan yang digerakkan oleh CO 2) dan
menurunkan respon ventilasi terhadap hipoksia.
 Penurunan volume tidal
 Peningkatan frekuensi pernafasan. .
3) Efek terhadap otak
Obat anestetik inhalasi menurunkan laju metabolic otot sehingga
meningkatkan aliran darah serebrum karena penurunan tahanan vaskuler
serebrum, yang kemudian akan meningkatkan volume darah otak yang
mengakibatkan meningkatkan tekanan intracranial.
 Pusing
86

 Kesadaran menurun
4) Efek terhadap ginjal
Obat anestetik menyebabkan penurunan filtrasi glomerulus dan aliran
plasma ginjal, serta meningkatkan fraksi filtrasi. Semua obat anestetik
cenderung meningkatkan tahanan vascular ginjal. Penurunan aliran darah
ginjal selama anestesi umum akan mengganggu autoregulasi aliran darah
ginjal.
 Dapat terjadi penurunan produksi urine
5) Efek terhadap hati
Obat anestetik inhalasi akan menurunkan aliran darah ke hati dan pada
umumnya berkisar antara 15 sampai 45 persen dari aliran darah sebelum
anestesi dilakukan.
6) Efek terhadap otot polos uterus
Obat Nitrogen oksida mempunyai efek yang kecil terhadap otot polos
uterus. Akan tetapi isofluran, enfluran, dan halotan relaksan otot uterus
yang kuat. Efek farmakologi ini akan menguntungkan bila diperlukan
relaksasi otot uterus yang kuat untuk memanipulasi janin intrauterine
selama persalinan. Sebaliknya, selama dilatasi dan kuretase pada abortus
teurapetik, obat anestetik tersebut mungkin dapat meningkatkan
pedarahan.
7) Efek terhadap gastrointestinal
Obat anestesi menyebeabkan penurunan motilitas usus sehingga dapat
rjadi mual dan muntah
8) Perdarahan
Inspeksi luka bedah terhadap perdarahan. Manifestasi klinis meliputi
gelisah, bergerak aktif, merasa haus, kulit dingin-basah-pucat, nadi
meningkat, suhu turun, pernafasan cepat dan dalam, bibir dan konjungtiva
pucat dan pasien melemah. Penatalaksanaan pasien dibaringkan seperti
pada posisi pasien syok.
9) Kenaikan Suhu
Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas 38 0 C yang diakibatkan
oleh:
a) Puasa terlalu lama
b) Suhu kamar operasi terlalu panas (suhu ideal 23-24 derajat Celcius)
c) Penutup kain operasi yang terlalu tebal
d) Dosis premedikasi sulfas atropin terlalu besar
e) Infeksi
f) Kelainan herediter (kelainan ini biasanya menjurus pada komplikasi
hipertermia maligna)
10) Hipertermia maligna
Hipertermi maligna sering kali terjadi pada pasien yang dioperasi
akibat gangguan otot yang disebabkan oleh agen anastetik. Selama
87

anestesi, agen anestesi inhalasi (halotan, enfluran) dan relaksan otot


(suksinilkolin) dapat memicu terjadinya hipertermi malignan.
11) Hipotermia
Mengigil dapat terjadi akibat obat anestesi tiopental, halotan atau enfluran
atau anestesi spinal karena efek obat anestesi yang menurunkan ambang
dingin dan mempercepat pelepasan panas dengan vasodilatasi.

b. Efek Spinal Anestesi


1) Hipotensi
 Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang
menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena,
2) Bradikardia :
Bradikardia karena aliran darah balik berkurang atau karena blok
simpatis T-2
3) Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4) Mual Muntah
 Bila terjadi mual muntah karena hipotensi, disamping itu juga
adanya aktifitas parasimpatik yang menyebabkan peningkatan
peristaltik usus, juga karena tarikan nervus dan pleksus khususnya
N. Vagus, adanya empedu dalam lambung oleh karena relaksasi
pilorus dan sphincter duktus biliverus, faktor psikologis dan hipoksia.
5) Penurunan Panas Tubuh (Shivering)
 Sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi panas oleh
metabolisme berkurang
 Vasodilatasi pada anggota tubuh bawah dapat menyebabkan
hipotermi
6) Nyeri punggung
Nyeri punggung akibat dari tusukan jarum yang menyebabkan trauma
pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan atau tanpa
hematoma intraligamentous. Komplikasi neurologik
7) Retentio urine / Disfungsi kandung kemih
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi karena blokade simpatik eferen
(T5-L1) menyebabkan kenaikan tonus sfinkter yang mengakibatkan
retensi urine

4. Pengkajian Fisik
Pada saat melakukan pengkajian di ruang pulih, agar lebih sistematis
dan lebih mudah dapat dilakukan monitoring B6 yaitu :
a. Breath (nafas) : sistem respirasi
Pasien yang belum sadar dilakukan evaluasi seperti pola nafas, tanda-
tanda obstruksi, pernafasan cuping hidung, frekuensi nafas, pergerakan
rongga dada : apakah simetris atau tidak, suara nafas tambahan :
88

apakah tidak ada obstruksi total, udara nafas yang keluar dari hidung,
sianosis pada ekstremitas, auskultasi : adanya wheezing atau ronki, saat
pasien sadar : tanyakan adakah keluhan pernafasan, jika tidak ada
keluhan : cukup diberikan O2, jika terdapat tanda-tanda obstruksi : diberikan
terapi sesuai kondisi (aminofilin, kortikosteroid, tindakan triple manuver
airway).
b. Blood (darah) : sistem kardiovaskuler
Pada sistem kardiovaskuler dinilai tekanan darah, nadi, perfusi perifer,
status hidrasi (hipotermi ± syok) dan kadar Hb.
c. Brain (otak) : sistem SSP
Penilaian kesadaran pasien dengan aldrete score pada orang dewasa dan
steward score pada anak
d. Bladder (kandung kemih) : sistem urogenitalis
Pada sistem urogenitalis diperiksa kualitas, kuantitas, warna, kepekatan
urine, untuk menilai: apakah pasien masih dehidrasi, apakah ada
kerusakan ginjal saat operasi, gagal ginjal akut (GGA).
e. Bowel (usus) : sistem gastrointestinalis
Pada sistem gastrointestinal diperiksa: adanya dilatasi lambung, tanda-
tanda cairan bebas, distensi abdomen, perdarahan lambung pasca-
operasi, obstruksi atau hipoperistaltik, gangguan organ lain, misalnya :
hepar, lien, pancreas, dilatasi usus halus. Pada pasien operasi mayor
sering mengalami kembung yang mengganggu pernafasan, karena pasien
bernafas dengan diafragma.
f. Bone (tulang) : sistem musculo skeletal
Pada sistem musculoskletal dinilai adanya tanda-tanda sianosis, warna
kuku, perdarahan post-operasi, gangguan neurologis : gerakan
ekstremitas.

2. Masalah Kesehatan Anestesi


Masalah kesehatan yang sering muncul pada pasien paska anestesi meliputi :
 Risiko cedera ( gangguan fungsi respirasi, sirkulasi, cairan dan elektrolit,
neurologi, gastrointestinal, ginjal/perkemihan, muskuloskletal, uterus)
 Risiko alergi
 Risiko jatuh
 Nyeri Pasca Operasi

3. Rencana Intervensi/Implementasi
1. Mempertahankan jalan nafas
Mengatur posisi, suctioning dan pemasangan mayo/gudel
2. Mempertahankan ventilasi/oksigenasi
Ventilasi dan oksigenasi dapat dipertahankan bantuan nafas melalui
ventilator mekanik atau nasal kanul, tensi, nadi, dan respirasi diukur secara
89

rutin setiap 5 menit selama 15 menit atau sampai stabil dan setelah itu setiap
15 menit, Pasang oksimetri nadi sampai sadar penuh
3. Mempertahankan sirkulasi darah
Pemantauan akan balance cairan, pemantauan tekanan darah dan denyut
nadi, pemberian cairan plasma ekspander, tensi, nadi, dan respirasi diukur
secara rutin setiap 5 menit selama 15 menit atau sampai stabil dan setelah
itu setiap 15 menit
4) Pantau Jumlah perdarahan
Amati kondisi luka dan jahitannya, pastikan luka tidak mengalami
perdarahan abnormal, Amati jumlah perdarahan yang terjadi akan
menentukan transfusi yang diberikan.
5) Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase
Keadaan umum dari pasien harus diobsevasi untuk mengetahui keadaan
pasien
6) Mempertahankan kestabilan termoregulasi
Pantau suhu, suhu lingkungan yang stabil, tubuh dikompres es atau
alkohol, dan berikan selimut ekstra
7) Mempertahankan toleransi nyeri
Kolaborasi dengan medis terkait dengan agen pemblok nyerinya
8) Mencegah resiko jatuh
Pasien post anastesi mengalami disorientasi dan beresiko besar untuk
jatuh, maka tempatkan pasien pada tempat tidur yang nyaman dan pasang
side rail.

4. Evaluasi
Mengevaluasi akan masalah yang telah diatasi antara lain :
 Patensi jalan nafas tidak efektif
 Ventilasi spontan
 Tidak terjadi aspirasi
 Sirkulasi spontan
 Termoregulasi efektif
 Hidrasi cairan terpenuhi
 Tidak terjadi perdarahan
 Nyeri ditoleransi
 Tidak terjadi alergi
 Tidak terjadinya bahaya jatuh

5. Pendokumentasian
1) Skoring
2) Sistem respirasi
3) Sistem kardiovaskuler/sirkulasi
4) Keseimbangann cairan
5) Termopregulasi
90

6) Sistem gastrointestinal
7) Sistem perkemihan
8) Nyeri
9) Pemakaian obat-obatan dan alat kesehatan yang dipakai.
91

URAIAN KOMPETENSI

VENTILASI MEKANIK

1) Pengertian .
Ventilasi mekanik adalah ventilasi yang sebagian atau seluruhnya dilaksanakan
dengan bantuan mekanis.

2) Tujuan
a. Memperbaiki pertukaran gas (Mengatasi hipoksemia, Menurunkan
hiperkarbia, Memperbaiki asidosis respiratorik akut)
b. Mengatasi distress nafas (Menurunkan konsumsi oksigen, Menurunkan
beban kerja otot nafas)
c. Memperbaiki ketidakseimbangan (Membuka atelektase, Memperbaiki
compliance, Mencegah cedera paru lebih lanjut)
d. Kontrol eliminasi CO2 (Penderita dengan TIK meningkat)
e. Menurunkan kerja jantung (Gagal jantung)
f. Profilaksis (Pasca operasi bedah besar)

3) Indikasi Ventilasi Mekanik


1. Pasien dengan gagal nafas.
Pasien dengan distres pernafasan gagal nafas, henti nafas (apnu) maupun
hipoksemia yang tidak teratasi dengan pemberian oksigen merupakan
indikasi ventilasi mekanik.
Idealnya pasien telah mendapat intubasi dan pemasangan ventilasi mekanik
sebelum terjadi gagal nafas yang sebenarnya.
Distres pernafasan disebabkan ketidakadekuatan ventilasi dan atau
oksigenasi. Prosesnya dapat berupa kerusakan paru (seperti pada
pneumonia) maupun karena kelemahan otot pernafasan dada (kegagalan
memompa udara karena distrofi otot).
2. Insufisiensi jantung.
Pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, peningkatan kebutuhan aliran
darah pada sistem pernafasan (sebagai akibat peningkatan kerja nafas dan
konsumsi oksigen) dapat mengakibatkan jantung kolaps. Pemberian ventilasi
mekanik untuk mengurangi beban kerja sistem pernafasan sehingga beban
kerja jantung juga berkurang.
3. Disfungsi neurologist
Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalami apnu berulang
juga mendapatkan ventilasi mekanik. Selain itu ventilasi mekanik juga
berfungsi untuk menjaga jalan nafas pasien serta memungkinkan pemberian
hiperventilasi pada klien dengan peningkatan tekanan intra cranial.
4. Tindakan operasi
92

Tindakan operasi yang membutuhkan penggunaan anestesi dan sedative


sehingga resiko terjadinya gagal napas selama operasi akibat pengaruh obat
sedative dapat tertangani dengan ventilasi mekanik.

4. Klasifikasi
a. Ventilasi mekanik diklasifikasikan berdasarkan cara alat tersebut mendukung
ventilasi, dua kategori umum adalah ventilator tekanan negatif dan tekanan
positif.
1) Ventilator Tekanan Negatif
Ventilator tekanan negatif mengeluarkan tekanan negatif pada dada
eksternal. Dengan mengurangi tekanan intratoraks selama inspirasi
memungkinkan udara mengalir ke dalam paru-paru sehingga memenuhi
volumenya.
Ventilator jenis ini digunakan terutama pada gagal nafas kronik yang
berhubungn dengan kondisi neurovaskular seperti poliomyelitis, distrofi
muscular, sklerosisi lateral amiotrifik dan miastenia gravis. Saat ini sudah
jarang di pergunakan lagi karena tidak bias melawan resistensi dan
conplience paru, disamping itu ventlator tekanan negative ini digunakan pada
awal – awal penggunaan ventilator.
2) Ventilator Tekanan Positif
Ventilator tekanan positif menggembungkan paru-paru dengan
mengeluarkan tekanan positif pada jalan nafas dengan demikian mendorong
alveoli untuk mengembang selama inspirasi.
Ventilator jenis ini diperlukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi.
Ventilator ini secara luas digunakan pada klien dengan penyakit paru primer.
Terdapat tiga jenis ventilator tekanan positif yaitu tekanan bersiklus, waktu
bersiklus dan volume bersiklus.

b. Berdasarkan mekanisme kerjanya ventilator mekanik tekanan positif dapat dibagi


menjadi empat jenis yaitu : Volume Cycled, Pressure Cycled, Time Cycled,
Flow Cycle.
1) Volume Cycled Ventilator.
Volume cycled merupakan jenis ventilator yang paling sering
digunakan di ruangan unit perawatan kritis. Prinsip dasar ventilator ini adalah
cyclusnya berdasarkan volume.
Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai
volume yang ditentukan.
Keuntungan volume cycled ventilator adalah perubahan pada komplain paru
pasien tetap memberikan volume tidal yang konsisten.
Jenis ventilator ini banyak digunakan bagi pasien dewasa dengan
gangguan paru secara umum. Akan tetapi jenis ini tidak dianjurkan bagi
pasien dengan gangguan pernapasan yang diakibatkan penyempitan lapang
paru (atelektasis, edema paru). Hal ini dikarenakan pada volume cycled
pemberian tekanan pada paru-paru tidak terkontrol, sehingga dikhawatirkan
93

jika tekanannya berlebih maka akan terjadi volutrauma. Sedangkan


penggunaan pada bayi tidak dianjurkan, karena alveoli bayi masih sangat
rentan terhadap tekanan, sehingga memiliki resiko tinggi untuk terjadinya
volutrauma.
2) Pressure Cycled Ventilator
Prinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan
tekanan. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai
tekanan yang telah ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup
dan ekspirasi terjadi dengan pasif.
Kerugian pada type ini bila ada perubahan komplain paru, maka
volume udara yang diberikan juga berubah. Sehingga pada pasien yang
status parunya tidak stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak dianjurkan,
sedangkan pada pasien anak-anak atau dewasa mengalami gangguan pada
luas lapang paru (atelektasis, edema paru) jenis ini sangat dianjurkan.
3) Time Cycled Ventilator
Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan
waktu ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi
ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit).
Normal ratio I : E (inspirasi : ekspirasi ) 1 : 2.
4) Berbasis aliran (Flow Cycle)
Memberikan napas/ menghantarkan oksigen berdasarkan kecepatan
aliran yang sudah diset.

5. Kriteria Pemasangan Ventilasi Mekanik


Menurut Pontopidan (2003), seseorang perlu mendapat bantuan ventilasi
mekanik (ventilator) bila :
a) Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit.
b) Hasil analisa gas darah dengan O2 masker PaO2 kurang dari 70 mmHg.
c) PaCO2 lebih dari 60 mmHg
d) AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg.
e) Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB.

6. Modus operasional ventilasi mekanik


Modus operasional ventilasi mekanik terdiri dari :
a. Controlled Ventilation
Ventilator mengontrol volume dan frekuensi pernafasan. Pemberian
volume dan frekuensi pernapasan diambil alih oleh ventilator. Ventilator
tipe ini meningkatkan kerja pernafasan klien.
b. Assist/Control
Ventilator jenis ini dapat mengontrol ventilasi, volume tidal dan kecepatan.
Bila klien gagal untuk ventilasi, maka ventilator secara otomatis. Ventilator
ini diatur berdasarkan atas frekuensi pernafasan yang spontan dari klien,
biasanya digunakan pada tahap pertama pemakaian ventilator.
c. Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV)
94

SIMV dapat digunakan untuk ventilasi dengan tekanan udara rendah, otot
tidak begitu lelah dan efek barotrauma minimal. Pemberian gas melalui
nafas spontan biasanya tergantung pada aktivasi klien. Indikasi pada
pernafasan spontan tapi tidal volume dan/atau frekuensi nafas kurang
adekuat.
d. Continious Positive Airway Pressure. (CPAP)
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan
pada pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat. Tujuan
pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih otot-
otot pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.

7. Setting ventilator
Untuk menentukan modus operasional ventilator terdapat beberapa parameter yang
diperlukan untuk pengaturan pada penggunaan volume cycle ventilator, yaitu :
a. Frekuensi pernafasan permenit
Frekwensi napas adalah jumlah pernapasan yang dilakukan ventilator dalam satu
menit. Setting normal pada pasien dewasa adalah 10-20 x/mnt. Parameter alarm
RR diseting diatas dan dibawah nilai RR yang diset. Misalnya set RR sebesar
10x/menit, maka setingan alarm sebaliknya diatas 12x/menit dan dibawah
8x/menit. Sehingga cepat mendeteksi terjadinya hiperventilasi atau hipoventilasi.
b. Tidal volume
Volume tidal merupakan jumlah gas yang dihantarkan oleh ventilator ke pasien
setiap kali bernapas. Umumnya disetting antara 8 - 10 cc/kgBB, tergantung dari
compliance, resistance, dan jenis kelainan paru. Pasien dengan paru normal
mampu mentolerir volume tidal 10-15 cc/kgBB, sedangkan untuk pasien PPOK
cukup dengan 5-8 cc/kgBB. Parameter alarm tidal volume diseting diatas dan
dibawah nilai yang kita seting. Monitoring volume tidal sangat perlu jika pasien
menggunakan time cycled.
c. Konsentrasi oksigen (FiO2)
FiO2 adalah jumlah kandungan oksigen dalam udara inspirasi yang diberikan
oleh ventilator ke pasien. Konsentrasinya berkisar 21-100%. Settingan FiO2 pada
awal pemasangan ventilator direkomendasikan sebesar 100%. Untuk memenuhi
kebutuhan FiO2 yang sebenarnya, 15 menit pertama setelah pemasangan
ventilator dilakukan pemeriksaan analisa gas darah. Berdasarkan pemeriksaan
AGD tersebut maka dapat dilakukan penghitungan FiO2 yang tepat bagi pasien.
d. Rasio inspirasi : ekspirasi
Rumus Rasio inspirasi : Ekspirasi
Waktu inspirasi + waktu istirahat
Waktu ekspirasi
Keterangan :
1) Waktu inspirasi merupakan waktu yang diperlukan untuk memberikan
volume tidal atau mempertahankan tekanan.
2) Waktu istirahat merupakan periode diantara waktu inspirasi dengan
ekspirasi
95

3) Waktu ekspirasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan


udara pernapasan
4) Rasio inspirasi : ekspirasi biasanya disetiing 1:2 yang merupakan nilai
normal fisiologis inspirasi dan ekspirasi. Akan tetapi terkadang diperlukan
fase inspirasi yang sama atau lebih lama dibandingkan ekspirasi untuk
menaikan PaO2.
5) Limit pressure / inspiration pressure
Pressure limit berfungsi untuk mengatur jumlah tekanan dari ventilator
volume cycled. Tekanan terlalu tinggi dapat menyebabkan barotrauma.
6) Flow rate/peak flow
Flow rate merupakan kecepatan ventilator dalam memberikan volume tidal
pernapasan yang telah disetting permenitnya.
7) Sensitifity/trigger
Sensitifity berfungsi untuk menentukan seberapa besar usaha yang
diperlukan pasien dalam memulai inspirasi dai ventilator. Pressure
sensitivity memiliki nilai sensivitas antara 2 sampai -20 cmH2O,
sedangkan untuk flow sensitivity adalah antara 2-20 L/menit. Semakin
tinggi nilai pressure sentivity maka semakin mudah seseorang melakukan
pernapasan. Kondisi ini biasanya digunakan pada pasien yang diharapkan
untuk memulai bernapas spontan, dimana sensitivitas ventilator disetting -
2 cmH2O. Sebaliknya semakin rendah pressure sensitivity maka semakin
susah atau berat pasien untuk bernapas spontan. Settingan ini biasanya
diterapkan pada pasien yang tidak diharapkan untuk bernaps spontan.
8) Alarm
Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm menandai
adnya masalah. Alarm tekanan rendah menandakan adanya pemutusan
dari pasien (ventilator terlepas dari pasien), sedangkan alarm tekanan
tinggi menandakan adanya peningkatan tekanan, misalnya pasien batuk,
cubing tertekuk, terjadi fighting, dan lain-lain. Alarm volume rendah
menandakan kebocoran.
9) Positive end respiratory pressure (PEEP)
PEEP bekerja dengan cara mempertahankan tekanan positif pada alveoli
diakhir ekspirasi. PEEP mampu meningkatkan kapasitas residu fungsional
paru dan sangat penting untuk meningkatkan penyerapan O2 oleh kapiler
paru.

8. Komplikasi
Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan pasien, tapi bila
perawatannya tidak tepat bisa, menimbulkan komplikasi seperti:
a. Pada paru
1) Baro trauma: tension pneumothorax, empisema sub cutis, emboli udara
vaskuler.
2) Atelektasis/kolaps alveoli diffuse
3) Infeksi paru
96

4) Keracunan oksigen
5) Jalan nafas buatan: king-king (tertekuk), terekstubasi, tersumbat.
6) Aspirasi cairan lambung
7) Tidak berfungsinya penggunaan ventilator
8) Kerusakan jalan nafas bagian atas
b. Pada sistem kardiovaskuler
Hipotensi, menurunya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran balik vena
akibat meningkatnya tekanan intra thorax pada pemberian ventilasi mekanik
dengan tekanan tinggi.
c. Pada sistem saraf pusat
1) Vasokonstriksi cerebral
Terjadi karena penurunan tekanan CO2 arteri (PaCO2) dibawah normal
akibat dari hiperventilasi.
2) Oedema cerebral
Terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri diatas normal akibat dari
hipoventilasi.
3) Peningkatan tekanan intra kranial
4) Gangguan kesadaran
5) Gangguan tidur.
d. Pada sistem gastrointestinal
1) Distensi lambung, illeus
2) Perdarahan lambung
e. Gangguan lainnya
1) Obstruksi jalan nafas
2) Hipertensi
3) Tension pneumotoraks
4) Atelektase
5) Infeksi pulmonal
6) Kelainan fungsi gastrointestinal ; dilatasi lambung, perdarahan
7) Gastrointestinal.
8) Kelainan fungsi ginjal
9) Kelainan fungsi susunan saraf pusat

SUCTIONING

A. Pengertian
Suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan
jalan nafas sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang
adekuat dengan cara mengeluarkan secret pada klien yang tidak mampu
mengeluarkannya sendiri.
Sebagian pasien mempunyai permasalahan di pernafasan yang memerlukan
bantuan ventilator mekanik dan pemasangan ETT (Endo Trakeal Tube), dimana
97

pemasangan ETT (Endo Trakeal Tube) masuk sampai percabangan bronkus


pada saluran nafas. Pasien yang terpasang ETT (Endo Trakeal Tube) dan
ventilator maka respon tubuh pasien untuk mengeluarkan benda asing adalah
mengeluarkan sekret yang mana perlu dilakukan tindakan suction
Suction adalah suatu tindakan untuk membersihkan jalan nafas dengan
memakai kateter penghisap melalui nasotrakeal tube (NTT), orotraceal tube
(OTT), traceostomy tube (TT) pada saluran pernafasan bagian atas.

B. Tujuan
Untuk membebaskan jalan nafas, mengurangi retensi sputum, merangsang
batuk, mencegah terjadinya infeksi paru..

C. Indikasi
1) Menjaga jalan napas tetap bersih (airway maintenence)
- Pasien tidak mampu batuk efektif
- Di duga ada aspirasi.
2) Membersihkan jalan napas (branchial toilet) bila ditemukan :
- Pada auskultasi terdapat suara napas yang kasar, atau ada suara napas
tambahan.
- Di duga ada sekresi mukus di dalam sal napas.
- Klinis menunjukkan adanya peningkatan beban kerja sistem pernapasan.
3) Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium.
4) Sebelum dilakukan tindakan radiologis ulang untuk evaluasi.
5) Mengetahui kepatenan dari pipa endotrakeal.

4. Kontra Indikasi
- Pasien yang mengalami kelainan yang dapat menimbulkan spasme laring
terutama sebagai akibat penghisapan melalui trakea
- Gangguan perdarahan
- Edema laring
- Varises esophagus
- Perdarahan gaster
- Infark miokard

E. Perispan Alat
1. Set penghisap sekresi atau suction portable lengkap dan siap pakai.
2. Kateter penghisap steril dengan ukuran untuk dewasa, anak, bayi, neonatus
3. Pinset steril atau sarung tangan steril.
4. Cuff inflator atau spuit 10 cc.
5. Arteri klem.
6. Kom berisi cairan desinfektan untuk merendam pinset.
7. Kom berisi cairan desinfektan untuk membilas kateter.
8. Cairan desinfektan dalam tempatnya untuk merendam kateter yang sudah
dipakai.
98

9. Ambubag / air viva dan selang O2.


10. Pelicin / jely
11. Nacl 0,9 %
12. Spuit 5 cc.

F. Prosedur.
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
2. Sebelum dilakukan penghisapan sekresi :
a. Memutar tombol oksigen menjadi 100 %
b. Menggunakan air viva dengan memompa 4–5 kali dengan kosentrasi
oksigen 15 liter.
c. Melepaskan hubungan ventilator dengan ETT.
3. Menghidupkan mesin penghisap sekresi.
4. Menyambung selang suction dengan kateter steril kemudian perlahan- lahan
dimasukakan ke dalam selang pernafasan melalui ETT.
5. Membuka lubang pada pangkal kateter penghisap pada saat kateter
dimasukkan ke ETT.
6. Menarik kateter penghisap kira–kira 2 cm pada saat ada rangsangan batuk
untuk mencegah trauma pada carina
7. Menutup lubang melipat pangkal, kateter penghisap kemudian suction kateter
ditarik dengan gerakan memutar.
8. Mengobservasi hemodinamik pasien.
9. Memberikan oksigen setelah satu kali penghisapan dengan cara baging.
10. Bila melakukan suction lagi beri kesempatan klien untuk bernafas 3-7 kali.
11. Masukkan Nacl 0,9 % sebanyak 3-5 cc untuk mengencerkan sekresi.
12. Melakukan baging.
13. Mengempiskan cuff pada penghisapan sekresi terahir saat kateter berada
dalam ETT, sehingga sekresi yang lengket disekitar cufft dapat terhisap.
14. Mengisi kembali cuff dengan udara menggunakan cuff infaltor setelah
ventilator dipasang kembali.
15. Membilas kateter penghisap sampai bersih kemudian rendam dengan cairan
desinfektan dalam tempat yang sudah disediakan.
16. Mengobservasi dan mencatat
a. Tensi, nadi, dan pernafasan.
b. Hipoksia.
c. Tanda perdarahan, warna, bau, konsentrasi.
d. Disritmia.

G. Komplikasi
1. Hipoksia / Hipoksemia
2. Kerusakan mukosa bronkial atau trakeal
3. Cardiac arest
4. Arithmia
5. Atelektasis
99

6. Bronkokonstriksi / bronkospasme
7. Infeksi nosokomial (pasien / petugas)
8. Pendarahan dari paru
9. Peningkatan tekanan intra kranial
10. Hipotensi
11. Hipertensi

H. Evaluasi :
1. Meningkatnya suara napas
2. Menurunnya Peak Inspiratory Pressure, menurunnya ketegangan saluran
pernapasan, meningkatnya dinamik campliance paru, meningkatnya tidal
volume.
3. Adanya peningkatan dari nilai arterial blood gas, atau saturasi oksigen yang
bisa dipantau dengan pulse oxymeter
4. Hilangnya sekresi pulmonal.
100

DAFTAR PUSTAKA

 Ayem E, Bewes PC, Bion JF et al. Primary Anesthesia. Oxford: Oxford University
Press, 1986.
 American Association of Nurse Anesthetists (AANA) .2016. Standards for Nurse
Anesthesia Practice
 Dobson M.B, Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Jakarta. 1994
 Daphne Stannard, Dina Krensichek. 2012. Perianestesi Nursing care : A Bedside
for Safety Recavery. St. Louis, Missouri
 Ganiswara SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyaatuti, editor. Farmakologi
dan terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Iniversitas
Indonesia, 1995.
 International Federation of Nurse Anesthetists (IFNA) . 2016 Standards for Nurse
Anesthesia Practice
 Ikatan Penata Anestesi Indonesia ( IPAI ) 2016. Standar Praktik Penata Anestesi.
 Jan Odom – Forren. 2009. Drain”s Perianestesi Nursing. Ed 6th . St. Louis,
Missouri
 John J. Nagelhout, Karen L. Plaus. 2014. Nurse Anesthesia. Ed 5th . St. Louis,
Missouri
 Latif, S. A, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi Kedua. Jakarta. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007
 Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. Ed 5th Stamford:Appleton dan
Lange, 2013.
 Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R, editor. Anestesiologi. Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakuktas Kedokteran Universitas
Indonesia, 1989
 Permenpan RB No 11 Tahun 2017 tentang Jabatan Fungsional Penata Anestesi
 Permenkes No 519 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelayanan Anestesi dan
Terapi Intensif di Rumah Sakit
 Permenkes No 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan
 Permenkes No 18 Tahun 2016 tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktik Penata
Anestesi

Anda mungkin juga menyukai