Deppresii
Deppresii
PENDAHULUAN
1
2008). Jika kondisi ini tidak ditangani dengan baik, maka dapat berkembang
menjadi psikosis postpartum dengan prevalensi 0.1-0.2% (Joy, 2010).
Pada suatu penelitian yang dilakukan di Osaka, Jepang, pada tahun 2010
dengan jumlah responden sebanyak 771 orang yang menghubungkan pekerjaan,
penghasilan, dan pendidikan dengan kejadian depresi postpartum mendapat hasil
prevalensi postpartum sebanyak 13.8% (Miyake, dkk, 2010). Suatu penelitian
tentang perbedaan risiko depresi postpartum antara ibu primipara dengan
multipara yang dilakukan di RSIA ‘Aisyiyah Klaten tahun 2010, dengan jumlah
responden sebanyak 44 orang didapati hasil angka kejadian risiko depresi
postpartum ibu primipara dan multipara berbeda berdasarkan usia. Ibu primipara
rentan dengan risiko depresi postpartum pada usia yang lebih muda dibandingkan
ibu multipara (Sari, 2010).
Penelitian yang dilakukan di Boyolali pada tahun 2008 dengan mengambil
sampel sebanyak 30 responden tentang dukungan sosial dengan kejadian depresi
postpartum didapatkan hasil bahwa semakin tinggi dukungan sosial yang diterima
ibu maka semakin menurun tingkat depresi (Dewi, 2008). Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan tahun 2009 pada 50 orang ibu postpartum spontan di
bangsal rawat inap RSUP. Haji Adam Malik Medan didapatkan hasil wanita
postpartum yang mendapatkan sindrom depresi postpartum sebanyak 16% dan
yang tidak mengalami depresi postpartum sebanyak 84% (Sari, 2009).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEPRESI
2.1.1. Definisi dan Epidemiologi
Depresi merupakan suatu perasaan sedih tertekan (Baihaqi, dkk, 2007).
Depresi termasuk dalam gangguan mood yang utama. Pada pasien depresi akan
merasakan hilangnya energi dan minat, perasaan bersalah, kesulitan konsentrasi,
hilangnya nafsu makan dan berpikir tentang kematian atau bunuh diri (Kaplan,
2010).
Gangguan depresi berat adalah suatu gangguan yang sering ditemukan,
dengan prevalensi seumur hidup kira-kira 15%, kemungkinan setinggi 25% pada
wanita. Prevalensi berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa depresi pada
wanita dua kali lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan usia rata-
rata onset untuk gangguan depresi berat sekitar 40 tahun, 50% dari pasien
memiliki onset antara usia 20-50 tahun. Prevalensi gangguan mood tidak berbeda
dari satu ras dengan ras yang lain. Pada umumnya, depresi paling sering terjadi
pada orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau yang
bercerai (Kaplan, 2010).
2.1.2. Etiologi
Dasar umum pada gangguan depresi berat tidak diketahui. Faktor
penyebab dapat dibagi sebagai berikut (Kaplan, 2010):
1. Faktor Biologis
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan adanya berbagai kelainan di
dalam metabolit amin biogenik. Dari amin biogenik, norepinefrin dan serotonin
merupakan dua neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi
gangguan mood.
2. Faktor Genetika
3
Data genetik dengan kuat menyatakan genetika merupakan suatu faktor
penting di dalam perkembangan gangguan mood. Pola penurunan genetika
melalui suatu mekanisme penurunan yang kompleks, bukan tidak mungkin untuk
menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor nongenetik kemungkinan memiliki
peranan kausatif yang berperan dalam gangguan mood pada beberapa orang.
3. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan merupakan peranan primer
dalam terjadinya depresi. Data yang paling mendukung menyatakan bahwa
peristiwa kehidupan paling berhubungan dengan perkembangan depresi adalah
kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun. Stresor lingkungan yang paling
berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan.
2.2. POSTPARTUM
2.2.1 Definisi
Dalam bahasa Latin, waktu tertentu setelah melahirkan anak disebut
puerperium, yaitu dari kata puer yang berarti bayi dan parous yang artinya
melahirkan. Puerperium berarti masa setelah melahirkan bayi (Bahiyatun, 2009).
Masa nifas (puerperium) menurut Sarwono Prawirohardjo dimulai setelah
plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti ketika
sebelum hamil, berlangsung kira-kira enam minggu (Syafrudin dan Hamidah,
2009).
4
2.2.2. Periode
Nifas (pueperium) dibagi dalam tiga periode, yaitu (Bahiyatun, 2009):
1. Pueperium dini, adalah kepulihan ketika ibu diperbolehkan berdiri dan
berjalan.
2. Pueperium intermedial, adalah kepulihan menyeluruh alat-alat genital.
3. Remote pueperium, adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna, terutama bila masa hamil dan melahirkan terdapat komplikasi.
A. Uterus
Setelah persalinan, kaliber pembuluh ekstrauterus berkurang hingga
hampir mencapai keadaan sebelum hamil. Lubang serviks berkontraksi secara
perlahan, dan selama beberapa hari setelah persalinan lubang ini massih mudah
dimasuki dengan dua jari. Pada akhir minggu pertama, serviks menebal dan
kanalis terbentuk kembali. Os eksternus tidak pulih secara total ke bentuk
pragravidanya. Os eksternus tetap melebar dan cekungan bilateral di tempat
laserasi menetap hingga menjadi tanda serviks para. Setelah dua hari pertama,
uterus mulai menciut, dalam dua minggu uterus telah turun ke dalam rongga
panggul sejati. Ukuran uterus kembali seperti pada keadaan prahamil dalam waktu
sekitar empat minggu.
Tabel 2.1. Tinggi Fundus Uterus dan Berat Uterus Menurut Masa Involusi
Involusi Tinggi fundus Berat uterus
uterus
Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gram
Uri lahir 2 jari di bawah pusat 750 gram
1 minggu Pertengahan pusat 500 gram
simfisis
2 minggu Tidak teraba di atas 350 gram
simfisis
6 minggu Bertambah kecil 50 gram
5
8 minggu Sebesar normal 30 gram
Afterpains
Pada multipara, uterus sering berkontraksi dengan kuat pada interval-
interval tertentu dan menimbulkan afterpains. Afterpains terutama dirasakan jika
bayi menyusui karena adanya pelepasan oksitosin, kadang, nyeri ini terasa sangat
hebat hingga pasien memerlukan analgesik, tetapi pada umumnya nyeri akan
berkurang pada hari ketiga postpartum.
Lokia
Pada awal masa nifas, peluruhan jaringan desidua menyebabkan
pengeluaran rabas vagina dengan jumlah bervariasi, rabas ini disebut dengan
lokia. Selama beberapa hari setelah persalinan, lokia mengandung cukup banyak
darah sehingga berwarna merah (lokia rubra). Setelah tiga atau empat hari, lokia
menjadi pucat (lokia serosa). Setelah sekitar hari ke-10 karena adanya leukosit
dan penurunan kandungan air, lokia berwarna putih atau putih kekuningan (lokia
alba). Lokia dapat menetap hingga empat minggu.
Subinvolusi
Kata ini menerangkan penghentian atau retardasi involusi, proses saat
uterus secara normal pulih ke ukuran semula pada masa nifas. Hal ini disertai oleh
perdarahan uterus yang ireguler atau berlebihan. Kausa subinvolusi diantaranya
adalah retensi potongan plasenta dan endometritis.
B. Saluran kemih
Kehamilan normal berkaitan dengan peningkatan bermakna air ekstrasel
dan diuresis setelah kehamilan merupakan proses fisiologis untuk membalikkan
keadaan tersebut. Diuresis biasa terjadi antara hari kedua dan kelima postpartum.
C. Vagina
6
Sama seperti seviks, vagina dan pintu keuar vagina jarang pulih ke
dimensi nulipara. Selain itu, perubahan pada penyangga panggul selama
persalinan mungkin mempermudah timbulnya prolaps uterus dan inkontinensia
urin.
E. Darah
Selama beberapa hari pertama postpartum, konsentrasi hemoglobin dan
hematokrit berfluktuasi dalam tingkat sedang. Pada waktu satu minggu setelah
melahirkan, volume darah hampir kembali ke tingkat nonhamil. Leukositosis dan
trombositosis yang mencolok terjadi selama dan setelah melahirkan. Kadang-
kadang hitung leukosit mencapai 30.000/l.
G. Payudara
Pada waktu 24 jam pertama setelah melahirkan terjadi sekresi lakteal,
payudara mengalami distensi, menjadi padat, dan nodular.
7
2.3.1. Definisi dan Epidemiologi
Depresi postpartum adalah depresi berat yang biasa timbul mulai 1-2 dan 4
minggu setelah melahirkan. Depresi postpartum sangat umum terjadi pada ibu
yang baru melahirkan, khususnya melahirkan anak pertama (Minirth dan Meier,
2001). Namun dapat terjadi pada anak kedua dan ketiga. Wanita yang mengalami
depresi postpartum memiliki risiko untuk mendapatkan episode berulang pada
persalinan selanjutnya (Tomb, 2004).
Depresi postpartum serupa dengan depresi mayor atau minor lainnya yang
dapat timbul kapan saja. Dianggap depresi postpartum jika mulai dalam tiga
sampai enam bulan setelah melahirkan (Lenovo et al, 2009).
Insiden depresi postpartum sedang atau berat atau gangguan bipolar
postpartum berkisar dari 30-200 per 1000 kelahiran hidup (Strigtht, 2005).
Depresi postpartum mengenai sekitar 10% dari semua ibu baru (Curtis, 2000).
Beberapa kelompok wanita memiliki kemungkinan yang jauh lebih besar
mengalami depresi selama masa nifas. Remaja dan wanita yang memiliki riwayat
penyakit depresif memiliki risiko depresi postpartum sekitar 30%. Hampir 70%
wanita yang memiliki riwayat depresi postpartum akan kembali mengalami
gangguan ini. Jika seorang wanita memiliki riwayat depresi postpartum dan saat
ini mengalami blues, kemungkinan wanita tersebut menderita depresi mayor akan
meningkat menjadi 85% (Leveno et al, 2009).
2.3.2. Etiologi
Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya depresi postpartum adalah
sebagai berikut:
1. Faktor-faktor predisposisi meliputi riwayat psikosis puerperium, gangguan
bipolar (sebelumnya disebut sebagai manik-depresif), delirium dan
halusinasi, perubahan suasana hati yang cepat agitasi atau bingung dan
potensial bunuh diri atau membunuh anaknya.
2. Depresi postpartum dengan atau tanpa psikosis dilihat dari tiga perspektif,
yaitu:
• Teori biologis, meliputi perubahan fungsi hipotalamus, kemungkinan
berhubungan dengan pengaruh hormonal yang berubah.
8
• Teori psikologis, meliputi sistem pendukung yang buruk, stres
psikologis atau memiliki hubungan yang kurang baik dengan
pasangannya.
• Teori sosiokultural, meliputi tingkat kepuasan sosial yang rendah,
dukungan, dan kontrol baik di rumah maupun peran sebagai sebagai
orang tua (Strigtht, 2005).
3. Sensitivitas individual ibu terhadap perubahan hormon juga dapat menjadi
faktor penyebab. Penyebab lain yang mungkin adalah adanya riwayat
keluarga tentang depresi, kurang dukungan keluarga setelah melahirkan,
isolasi dan keletihan kronis (Curtis, 2000).
4. Faktor demografi yaitu umur ibu saat kehamilan dan melahirkan yang
sering dikaitkan dengan kesiapan mental untuk menjadi seorang ibu.
5. Faktor pengalaman, depresi postpartum lebih sering ditemukan pada
perempuan yang baru pertama kali melahirkan (primipara)
6. Faktor pendidikan, perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi
tekanan sosial dan konflik peran antara dorongan untuk bekerja dengan
peran sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus anak-anak
(Kruckman, 2001 dalam Soep, 2009)
• Suasana hati yang tertekan atau kehilangan minat hampir sepanjang hari
9
• Merasa tidak berharga atau merasa bersalah
• Memiliki keluarga yang tidak stabil atau kasar di masa anak-anak atau
remaja.
10
• Terputus dari saudara dekat atau teman yang dapat merawat bayi dari
waktu ke waktu.
2.3.6 Penatalaksanaan
11
Secara umum ada dua jenis pengobatan untuk depresi (Joy, Saju. 2010):
Talk Therapy
Melibatkan pembicaraan dengan seorang psikolog, terapis, atau pekerja
sosial untuk belajar mengubah cara pasien depresi dalam berpikir, merasa, dan
bertindak.
Terapi Medis
Dokter akan memberikan resep obat antidepresan. Obat-obatan ini dapat
membantu meredakan gejala depresi. Pemberian obat antidepresan juga terbukti
bekerja untuk pengobatan depresi postpartum, tetapi penting untuk dicatat bahwa
obat ini akan mempengaruhi ASI yang dikonsumsumsi oleh si bayi. Ada beberapa
antidepresan yang tersedia saat ini dengan efek samping minimal pada bayi.
Metode-metode pengobatan dapat digunakan sendiri atau secara
bersamaan. Jika ibu mengalami depresi, maka akan sangat memengaruhi bayinya.
Pengobatan yang ditangani dengan segera sangat penting bagi ibu maupun bayi.
Menyembuhkan ibu hamil dari depresi pasca melahirkan, bukan saja
memerlukan terapi kelompok dengan panduan psikiater yang benar. Tapi juga
membutuhkan asupan nutrisi yang dapat membuat pemulihan tubuh ibu
berlangsung lebih cepat dan tepat. Menurut Jill Mallory, ibu hamil di Amerika
kekurangan lemak omega-3. Asam lemak omega-3 adalah DHA atau
docosahexaenoic acid yang dapat ditemukan umumnya pada ikan tuna dan
salmon, maupun ganggang laut.
Dalam penelitian lain yang jauh sebelumnya dilakukan, plasenta terbukti
mendorong perpindahan DHA dari ibu pada bayi. Menurut Mallory, hal ini terjadi
karena lemak tersebut diserap bayi untuk pertumbuhan otak dan mata, sehingga
pada wanita pasca melahirkan perlu mengembalikan kadar tersebut dalam tubuh.
Hal ini mejeleaskan bagaimana penurunan depresi dapat dilakukan dengan
menaikkan asupan DHA pada ibu, dan jumlah DHA dalam ASI berhubungan
dengan depresi postpartum dan terutama mengkonsumsi ikan yang bermanfaat
(Joy, Saju. 2010).
12
Ketika hamil, atau setelah melahirkan, mungkin saja ibu merasa depresi
tapi tidak menyadarinya. Beberapa perubahan normal selama dan setelah
melahirkan dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan depresi. Namun jika ibu
mengalami gejala berikut lebih dari 2 minggu, maka harus dihubungi dokter untuk
penanganan segera.
Beberapa wanita tidak memberitahu siapa pun tentang gejala-gejala
mereka. Mereka merasa malu atau bersalah karena merasa tertekan ketika mereka
seharusnya bahagia. Mereka khawatir akan dipandang sebagai orang tua tidak
layak (Joy, Saju. 2010).
BAB III
13
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
14
Bahiyatun., 2009. Buku Ajar Kebidanan Asuhan Nifas Normal. Jakarta: EGC.
Cox, J.L., Holden, J.M., & Sagovsky, R., 1987. British Journal of Psychiatry:
Detection of Postnatal Depression. Development of the 10-item
Edinburgh Postnatal Depression Scale. Volume 150: 782-786.
Curtis, Glade B., 2000. Kehamilan di Atas Usia 30. Jakarta: Arcan.
Dewi EP. 2008. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Kejadian Depresi
Pada Ibu Postpartum Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali.
Available from: http://etd.eprints.ums.ac.id/438/ [Accesed April 2013].
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., & Grebb, J.A., 2010. Sinopsis Psikiatri. Tangerang:
Binarupa Aksara Publisher.
Miyake, Yoshihiro., Tanaka, Keiko., Sasaki, Satosi & Hirota, Yoshio. 2010.
Employment, income, and education and risk of postpartum depression:
The Osaka Maternal and Child Health Study. Journal of Affective
Disorder. Volume: 130 h-133-137.
Nielsen, D., Videbech, P., Hedegaard, M., Dalby, J. & Secher, N.J., 2000.
Postpartum depression: identification of women at risk. BJOG: An
International Journal of Obstetrics & Gynaecology, 107: 1210–1217.
15
Sari, Laila Sylvia., 2009. Sindroma Depresi Pasca Melahirkan Di Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Available from:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6370 [Accesed April 2013].
Sari, Maya Eka., 2010. Perbedaan Risiko Depresi Postpartum Antara Ibu
Primipara Dengan Multipara Di RSIA ‘Aisyiyah Klaten. Available from:
http://etd.eprints.ums.ac.id/9449/ [Accesed Maret 2013].
Wisner, K.L., Parry, B.L., & Piontek, C.M., 2002. New England Journal of
Medicine: Postpartum Depression.Volume 347:194-199.
16