Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PRAKTEK PARAJI (DUKUN BERANAK):


ANTARA AJARAN ISLAM DAN TRADISI

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam
oleh Dosen Dr. Cucu Surahman, S.th.I., M.Ag., MA.

Oleh:
Adnien Naurahufaira Inanda (1806800)
Fani Hatinda (1803868)
Intan Sari Putri (1800596)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang atas rahmat dan karunia-Nya
kita masih diberikan kesehatan serta nikmat berupa kesehatan dan umur sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tak lupa pula shalawat beserta salam kami
panjatkan kepada nabi besar Muhammad SAW.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah umum Seminar
Pendidikan Agama Islam dengan Dosen Dr. Cucu Surahman, S.th.I., M.Ag., MA . Kami
menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah
ini, maka dari itu kami mengharapkan kritik maupun saran dari pembaca demi perbaikan-
perbaikan selanjutnya.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih atas perhatian yang diberikan. Mohon maaf
atas segala kekurangan. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Bandung, 1 Oktober 2020

Penyusun

Page | 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................4


1.1 Latar Belakang ..............................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................5
1.3 Tujuan ...........................................................................................5

BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................6

BAB III PEMBAHASAN ...................................................................8


3.1 Metode Penelitian .........................................................................8
3.2 Hasil Wawancara ..........................................................................8
3.3 Analisis .........................................................................................12

BAB IV PENUTUP ............................................................................15

DAFTAR PUSTAKA

Page | 3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki populasi penduduk tertinggke keempat di dunia. Dalam data yang
dirilis oleh Kementrian Dalam Negeri melalui Direktorat Kependudukan Indonesia atau
Dukcapil, jumlah total penduduk di Indonesia per 30 Juni 2020 ada sebanyak 268.538.016
jiwa. Hal tersrbut selaras dengan angka kelahiran Indonesia yang tinggi. Dilansir dari
data.worldbank.org Pada tahun 2018 Indonesia memiliki angka kelahiran (TFR) sebesar 2.3
persen. Artinya setiap wanita subur di Indonesia memiliki potensi untuk melahirkan lebih
dari dua anak. Banyak wanita memilih bidan dan Paraji (Dukun Bayi) untuk membantu
proses persalinan mereka(Suryawati, 2007). Paraji dan bidan sering dipilih lantaran
pelayanannya yang lengkap, lokasi pemeriksaan yang terjangkau, ada hubungan sosial yang
dekat, dan biaya perawatan yang lebih terjangkau dibanding pelayanan dokter dan rumah
sakit (Suryawati, 2018; Prihatini, Fahrudin, & Nursanti, 2017).
Keberadaan paraji sendiri sudah ada sejak sejak zaman dahulu. Mereka memiliki
julukan yang berbeda-beda di setiap daerahnya. Di kerajaan Bima pada abad ke-17 dukun
beranak disebut dengan Sando. Orang Bima memanggil Sando perempuan dengan sebutan
Ina dan Sando lelaki dengan sebutan ama-ama. Artinya profesi ini terus berkembang
mengikuti budaya masyarakat yang selalu beruba-ubah. Pelayanan yang dilakukan oleh
sorang paraji dalam mengurus ibu hamil, membantu proses persalinan, dan perawatan pasca-
kelahiran tidak lepas dari tuntutan adat dan tradisi sesuai dengan daerahnya. Lantas
bagaimanakah pandangan Islam terhadap hal tersebut? Melalui makalah ini kami mencoba
untuk membandingkan praktik yang dilakukan oleh paraji dengan hukum yang berlaku
dalam agama Islam, berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah.

Page | 4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan alasan tersebut dan untuk memudahkan pelaksanaan riset serta
pembuatan makalah, maka kami membuat perumusan masalah sebagai berikut:
1) Apa defisi dari paraji (dukun beranak)?
2) Apa saja pelayanan yang diberikan oleh paraji ketika mengurus ibu hamil,
membantu proses persalinan, dan memberikan perawatan pasca-melahirkan?
3) Apakah pelayanan yang dilakukan oleh paraji tersebut sesuai dengan kaidah Islam
ataukah hanya semata-mata mengikuti ajaran para leluhur?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah:
1) Untuk memenuhi tugas mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam.
2) Untuk mengetahui profesi seorang paraji dan nilai budaya terkandung di
dalamnya.
3) Untuk membandingkan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh paraji dengan
kaidah Islam dan tradisi yang berlaku.

Page | 5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Bangsa Indonesia memiliki banyak sekali ragam suku, agama, dan budaya.
Tidak menutup kemungkinan bahwa hal-hal tersebut telah bercampur menjadi suatu
tradisi atau kebudayaan dalam masyarakat. Salah satu contoh akulturasi antara
kebudayaan masyarakat dan agama Islam, yaitu adanya dukun beranak atau biasa
disebut “Paraji/Maparaji”.
Paraji merupakan suatu jabatan dalam adat suku Sunda bagi sesepuh
perempuan, utamanya yang sudah cukup tua dan memiliki keahlian dalam
melakukan upacara adat atau sesajen. Umumnya, paraji harus berasal dari keluarga
yang memiliki darah/keturunan yang sama. Paraji biasa bertugas membantu proses
kehamilan dan persalinan di desa-desa. Paraji juga biasanya membantu bidan di desa
ketika proses persalinan akan berlangsung [ CITATION AAb16 \l 1057 ].
Paraji disebut juga dukun bayi/dukun beranak oleh rakyat Indonesia. Meski
hal tersebut terbilang kuno, namun kenyataannya peran paraji di Indonesia masih
sangat lumrah dan banyak dilakukan [ CITATION Rin09 \l 1057 ]. Berdasarkan jurnal
yang ditulis oleh [ CITATION Rin09 \l 1057 ], proses persalinan masih banyak
dilakukan oleh paraji, utamanya di desa-desa. Selain itu, paraji di Indonesia juga
telah berkembang. Jika pada awalnya paraji merupakan wanita, maka kini, lelaki
juga dapat menjadi seorang paraji.Para bidan juga telah terhitung banyak yang
menjalin kerjasama dengan dukun beranak/paraji. Meski demikian, tidak menutup
kemungkinan bahwa di luar sana juga masih banyak terdapat bidan yang tidak
bekerja sama dengan paraji. Dalam menjalankan tugasnya, paraji juga mendapatkan
pelatihan dan pembinaan sebelumnya, sehingga dapat meminimalisir adanya
kesalahan fatal saat membantu proses persalinan [ CITATION Rin09 \l 1057 ].
Paraji merupakan suatu kebudayaan atau tradisi yang masih dipelihara oleh
rakyat Indonesia hingga saat ini. Namun, Islam memiliki pandangan tersendiri
mengenai kehamilan dan proses persalinan bagi Ibu dan anak. Saat sedang
mengandung, Islam menganjurkan para suami untuk berperan ekstra, maksudnya
para suami wajib memberikan perhatian yang lebih pada istrinya, para suami wajib
melindungi dan menjaga istri pada saat mengandung, dan para suami wajib memberi
nafkah yang sesuai dengan kebutuhan gizi ibu dan bayi dalam kandungannya

Page | 6
[ CITATION Nur09 \l 1057 ]. Setelah melahirkan (masa nifas), seorang wanita bebas
dari aktivitas ibadah fisik, wajib menjaga kebersihan dan kesehatan, serta Islam
melarang suami dan istri untuk melakukan hubungan badan selama masa nifas.
Setelah berakhirnya masa nifas, para Ibu/wanita diwajibkan untuk mandi
[ CITATION Nur09 \l 1057 ]

Page | 7
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Metode Penelitian


Metode pengambilan data yang kami gunakan dalam penelitian ini adalah riset
kualitatif, dimana kami secara langsung mewawancarai dua (2) narasumber yang telah
berpengalaman lama di bidangnya sebagai paraji.

3.2 Hasil Wawancara


3.2.1. Narasumber 1: Ibu Cucu (50 tahun) Cisaat, Kab. Sukabumi
Beliau sudah belajar praktek menjadi paraji sejak umur 25 tahun dan
memulai praktek mandiri setelah 10 tahun kemudian. Terhitung dari
tahun tersebut, beliau sudah 15 tahun berprofesi menjadi paraji.
Profesi ini didapatkan turun-temurun dari orangtuanya sejak nenek
moyang.

Dalam ajaran yang dipahami beliau, tidak ada syarat khusus untuk
menjadi paraji. Beliau mulai belajar ketika umurnya dirasa cukup dan
mengatakan akan terus menjadi paraji selama mampu (tidak ada umur
khusus kapan harus memulai dan berhenti). Hanya saja, selama beliau
menjadi paraji ada satu rutinitas yang harus selalu dilakukan, yaitu
puasa wedal selama 3 hari kelahiran berturut-turut dan menghapal
bacaan-bacaan yang akan dipraktekkan pada hari berpuasa tersebut.

Menurut beliau, menjadi paraji dipercaya tabu untuk memasang tarif.


Tujuan praktek harus demi ibadah dan tidak boleh karena materi.
Sebelum kami memulai wawancara, beliau terlebih dahulu
menjelaskan bahwasanya beliau beberapa tahun belakangan praktek
hanya dengan mendampingi bidan (kecuali pada situasi yang amat
genting) dan tidak bisa disebut paraji “murni” lagi dikarenakan adanya
larangan praktek paraji sejak sekitar tahun 2014, karena itu jumlah
paraji saat ini menjadi sangat sedikit.

Page | 8
Setelah berbincang dengan beliau, berikut ringkasan penjelasan
praktek yang biasanya beliau lakukan yang dapat kami paparkan:

a) Ketika Hamil
- Tidak boleh keluar rumah setelah setengah 6 maghrib sampai
pagi.
- Disarankan untuk mengonsumsi dawegan (kelapa muda).
- Disarankan untuk mengadakan syukuran dengan pengajian
setiap 4 dan 7 bulan kehamilan dan wajib menyediakan delima.
(Dapat dilakukan atau tidak tergantung kepada kondisi
finansial pasien)

b) Menjelang Melahirkan
- Tidak mengonsumsi segala jenis daging seperti ayam,
kambing, sapi karena dipercaya akan membuat bayi membesar
di dalam kandungan sehingga akan menimbulkan masalah
dalam proses melahirkan.
- Tidak mengonsumsi makanan yang mengandung banyak
garam seperti ikan asin karena akan menimbulkan darah tinggi.
- Disarankan untuk mengonsumsi dawegan (kelapa muda) dan
telur setiap pagi, siang, dan malam untuk menambah tenaga.

c) Proses Melahirkan
- Menunggui pasien sejak mulai ada tanda-tanda akan.
melahirkan.
- Membantu menekan perut pasien ketika pasiennya mengejan.
- Membaca bacaan:
-) Surat yang terdapat dalam Quran: al-Qadar, al-Kautsar, ar-
Rahman, al-Kahfi, al-Baqarah, al-Mulk, Yusuf, Maryam.
-) Bacaan khusus: jangjowokan, pamecatan.

d) Setelah Melahirkan

Page | 9
- Mengurusi semua hal yang berkaitan dengan pasien sampai
membersihkan kain-kain yang dipakai.
- Ari-ari diazankan dan diiqomatkan bersama si bayi sebelum
dikubur.
- Selama 40 hari setelah melahirkan tidak boleh makan yg anyir-
anyir seperti daging, ikan, dsb.
- Selama 10 hari pasca melahirkan, kaki sang ibu diikat dan
tidak boleh banyak bergerak agar bekas melahirkan cepat
menutup.

3.2.2. Narasumber 2: Ibu Rini Sumiarti (60 Tahun) Jayagiri, Lembang, Kab.
Bandung Barat
Bu Rini atau lebih sering disapa sebagai Mak Ini mendapatkan ilmu paraji
dari mendiang ibunya. Selain itu, Mak Ini juga sempat menempuh pendidikan di
Rumah Sakit Hasan Sadikin selama enam bulan. Beliau berkata bahwa ada dua cara
menjadi paraji. Pertama, melalui keturunan, seperti yang sedang dilakukan oleh
beliau sekarang dengan menurunkan ilmunya ke anaknya dan cucunya. Kedua,
paraji tersebut memberikan ilmunya kepada orang yang sanggup dan pantas
memilikinya. Artinya, ilmu ini tidak dapat diberikan sembarangan. Terlebih lagi,
tidak semua paraji mau membagi ilmunya dengan orang luar.
Mak Ini bercerita bahwa dulu -walaupun beliau tidak mempraktikannya-,
paraji membuka jasa aborsi. Ada juga yang bekerjasama dengan dokter rumah sakit.
Tapi kini praktik tersebut sudah jarang.

a) Ketika hamil
i. Tidak keluar malam hari.
ii. Memakan makanan yang sehat- sehat
iii. Tidak melamun karena ditakutkan ada yang merasuki.
iv. Melaksanakan 4 bulan dengan mengadakan pengajian, karena pada bulan
ke 4 bayi diberi ruh oleh Allah SWT
v. Beliau menyebutkan 7 bulanan sebenarnya hanya tradisi jadi dapat
dilakukan atau tidak. Pada 7 bulanan pasien dimandikan menggunakan 7

Page | 10
bebeutian, juga menyediakan rujak dengan 7 bahan berbeda. Tradisi ini
menyimbolkan proses kehidupan kita.
b) Menjelang Melahirkan
i. Jika bayi susah keluar, sang ibu diberi minum campuran kunyit, kuning
telur, dan minyak kelapa
ii. Tidak disarankan untuk meminum rumput fatima karena dapat
mengeringkan rahim.
iii. Menunggu sampai “Pembukaan” tingkat 8.
iv. Memberikan doa khusus agar bayi cepat keluar.
c) Melahirkan
i. Proses melahirkan hampir sama dengan bidan, hanya saja paraji membantu
proses melahirkan sambil berdoa.
ii. Sang ibu diharuskan untuk mengatur nafasnya.
iii. Beliau jarang menggunting dan menjahit vagina pasien.
iv. Di perkampungan, sebagai pengganti jahitan paraji akan memarut jahe dan
menempelkannya ke vagina pasien yang sudah dibersikan terlebih dahulu.
Setelah itu, pasien diharuskan menggunakan softex. Dengan cara ini pasien
tidak akan sulit BAK dan vagina nya pun tidak akan bengkak

d) Pasca-Melahirkan
Mengandalkan obat tradisional. Dauang sembung jawer kotok di minum. sereuh o
ombehkeun.
i. Beliau mengandalkan obat tradisional seperti Daun Sembung, Jawer Kotok,
dan Sereh untuk merawat tubuh pasien pasca-melahirkan
ii. Beliau juga memijat pasien 1 bulan sekali terutama pada bagian bokong
untuk mengembalikan bentuk tubuh dan pada bagian payudara untuk
melancarkan ASI.
iii. Selama 40 hari pasien dilarang keluar rumah. Pasien juga dilarang untuk
bertemu suami, bahkan untuk sekadar berpegangan tangan. Nanti tangan
tersebut akan diberi doa oleh paraji.
iv. Pasien dianjurkan untuk memakai bebengkung untuk menjaga bentuk tubuh
v. Beliau juga tidak menganjurkan pasien untuk mengonsumsi nasi dingin.

Page | 11
vi. Gula merah, asem jawa, garam, lengkuas, daun salam, dan daun sereh
dimasukan kedalam ari-ari. Kemudian ari-ari tersebut diberi palet supaya
hawa masuk. Namun hawa tersebut jangan sampai keluar, ari-ari harus
dikuburkan dengan rapi. Sambil memasukan bahan-bahan tersebut paraji
membacakan doa.
vii. Ari-ari tersebut harus dijaga karena akan kembali kepada diri kita.
viii. Beliau mengatakan jika ari-ari diambil oleh orang lain nanti anak kita tidak
akan memiliki anak.

3.3 Analisis
Setelah mengumpulkan data hasil riset, kami akan membahas beberapa poin
berdasarkan penjelasan yang diberikan oleh para narasumber.
Yang pertama adalah larangan keluar pada saat malam hari di masa
kehamilan. Kedua paraji percaya bahwa kehamilan membuat sang ibu menjadi amis
daging dan rentan terhadap hal ghaib, yang mana dikhawatirkan akan “mengambil”
bayi yang ada di dalam kandungannya. Hal ini telah dibuktikan adalah mitos, namun
ada baiknya apabila kita menggali lebih dalam tentang mengapa mitos ini dapat
terbentuk.
Baginda Rasulullah Muhammad SAW bersabda: “Apabila hari telah senja,
laranglah anak-anak keluar rumah, karena ketika itu setan berkeliaran. Dan bila
sudah masuk sebagian waktu malam maka biarkanlah mereka. Tutuplah pintu dan
sebut nama Allah, karena setan tak dapat membuka pintu yang tertutup (dengan
menyebut nama Allah). Tutup semua kendi kalian dengan menyebut nama Allah, dan
tutuplah bejana kalian dengan menyebut nama Allah, sekalipun dengan
membentangkan sesuatu di atasnya, dan padamkan lentera kalian (ketika hendak
tidur).” (H.R. Imam Bukhari)
Apabila memperhatikan hadis tersebut, larangan tersebut tidak hanya berlaku
untuk anak-anak yang rentan terkena gangguan gaib. Orang dewasa yang pikirannya
kosong dari bacaan zikir dan menyebut nama Allah SWT pun dapat mendapat
gangguan serupa.
Selain itu, apabila kita memperhatikan dari segi kesehatan, analisis
menunjukkan bahwa waktu antara Maghrib dan Isya erat kaitannya dengan
penurunan kinerja jantung yang berpengaruh terhadap otak, otot, dan tulang. Melihat
poin-poin tersebut, agaknya inilah mengapa mitos ini dapat terbentuk.

Page | 12
Selanjutnya adalah dengan mengadakan syukuran. Kedua paraji sama-sama
menjelaskan bahwa mereka tidak memaksa pasiennya untuk mengadakan syukuran di
bulan keempat maupun ketujuh, terutama dikarenakan mereka lebih
mempertimbangkan keinginan dan kondisi finansial para ibu hamil tersebut. Namun
apabila mereka harus memilih diantara dua bulan tersebut, mereka mengaku melihat
syukuran di bulan ketujuh sebagai sebuah tradisi, dan lebih condong terhadap
syukuran di bulan keempat yang telah dianggap sebagai sunnah.
“Sesungguhnya setiap orang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di
dalam perut ibunya selama empat puluh hari (berupa sperma), kemudian menjadi
segumpal darah dalam waktu empat puluh hari pula, kemudian menjadi segumpal
daging dalam waktu empat puluh hari juga. Kemudian diutuslah seorang malaikat
meniupkan ruh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menuliskan empat hal;
rejekinya, ajalnya, amalnya, dan apakah dia menjadi orang yang celaka atau
bahagia.” (Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahîh Muslim).
Dari hadits tersebut, dapat diketahui bahwa proses penciptaan manusia di
dalam kandungan agaknya memerlukan waktu hingga 4 bulan hingga mencapai
bentuk yang sempurna. Menurut hadits tersebut, di usia kandungan 4 bulan, Allah
juga memerintahkan satu malaikat untuk melakukan dua hal, yakni meniupkan ruh
ke dalam janin serta mencatat empat perkara yang berkaitan dengan rezeki, ajal,
amal, dan bahagia atau celakanya janin ketika ia hidup dan mengakhiri hidupnya di
dunia kelak.
Berdasarkan hadis ini, dapat disimpulkan bahwa agaknya menggelar
pengajian sebagai bukti syukur di usia kandungan 4 bulan sunnah, namun apabila
dilaksanakan dengan ritual yang berlebihan akan berubah maknanya. Sedangkan 7
bulanan, karena tradisi ini tidak ada penjelasannya dalam islam dan biasanya
dilakukan dengan ritual yang berlebihan seperti mandi dengan bunga 7 rupa dan
harus menyediakan rujak dengan delima, dapat dikatakan tidak perlu dilakukan.
Yang terakhir adalah mengenai proses penguburan ari-ari. Terdapat hadis
yang disebutkan dalam Kanzul Ummal no. 18320 dan As-Suyuthi dalam Al-Jami
As-Shagir dari Al-Hakim, dari Aisyah, yang berbunyi, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan untuk mengubur tujuh hal potongan badan manusia; rambut,
kuku, darah, haid, gigi, gumpalan darah, dan ari-ari.”
Namun merujuk kepada perkataan Al-Munawi dalam Syarhnya, para ulama
agaknya menilai hadis tersebut dhaif. Disamping itu, sebagian ulama menganjurkan

Page | 13
bahwa ari-ari ada baiknya dikubur sebagai bentuk memuliakan Bani Adam (bagian
dari memuliakan manusia adalah mengubur bagian tubuh yang terlepas, yang mana
salah satunya adalah ari-ari). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hukum
mengubur ari-ari tersebut adalah sunnah. Namun apabila dikerjakan dengan
kepercayaan lain, hukumnya dapat menjadi haram.

Page | 14
BAB IV
KESIMPULAN

Setelah mengkaji hasil riset dan analisisnya, kami sampai pada suatu kesimpulan
yakni bahwasanya praktek paraji ini adalah perpaduan antara ajaran islam dengan tradisi.
Apabila kita melihat pada latar belakang terbentuknya paraji yang telah ada sejak zaman
hindu-buddha di Indonesia, praktek paraji ini telah mengalami beberapa perubahan dan
akulturasi yang kemudian menciptakan ritual-ritual di dalamnya yang mana masih menjadi
perdebatan antara sah atau tidaknya ritual tersebut menurut agama Islam. Oleh karena itu,
besar kemungkinan bahwa meskipun dasar yang digunakan dalam praktek paraji adalah
ajaran agama Islam, namun dengan tercampurnya praktek tersebut antara ritual-ritual tradisi
yang telah ada sejak zaman dulu dapat menciptakan keyakinan lain yang diragukan
kesahannya dalam Islam.
Dari hasil analisis kami, dapat pula disimpulkan bahwa kebanyakan praktek yang
dilakukan paraji sebenarnya mempunyai dasar keislaman yang kuat. Akan tetapi ketika
praktek tersebut dilakukan ritual-ritual yang berlebihan dan tidak dianjurkan, hukumnya
dapat menjadi haram. Seperti yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud: “Tradisi yang
dianggap baik oleh umat Islam, adalah baik pula menurut Allah. Tradisi yang dianggap
jelek oleh umat Islam, maka jelek pula menurut Allah.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan al-
Hakim).” Ada baiknya ketika kita mempraktekkan hal-hal tersebut hanya dengan berdasar
kepada hal-hal positif yang dianjurkan saja serta menghindari hal-hal yang berlebihan serta
tidak bermanfaat.
Makalah ini diakui masih memiliki banyak kekurangan terkait dengan pembahasan
yang kurang mendalam. Lalu dikarenakan riset yang kami lakukan hanya sebatas
mewawancarai dua orang narasumber, agaknya hasil dari riset kami ini tidak dapat dijadikan
sebagai bahan referensi untuk menggeneralisir paraji-paraji pada umumnya. Kekurangan-
kekurangan penelitian ini dapat menjadi gagasan untuk penelitian selanjutnya.

Page | 15
DAFTAR PUSTAKA

AAbot. (2016, Oktober 25). Paraji. Dipetik Oktober 1, 2020, dari Wikipedia:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Istimewa:History/Paraji

Anggorodi, R. (2009). Dukun bayi dalam persalinan oleh masyarakat Indonesia.


Makara, Kesehatan , 9-14.

Nurdin, M. (2009, Desember 31). Pandangan Islam tentang ibu hamil dan kesehatan
anak-anak. Dipetik Oktober 1, 2020, dari
https://www.google.co.id/amp/s/mulyadinurdin.wordpress.com/2009/12/31/pandangan-
islam-tentang-ibuu-hamil-dan-kesehatan-anak-anak-2/amp/

Fertility rate, total (births per woman). (n.d.). Retrieved October 01, 2020, from
https://data.worldbank.org/indicator/SP.DYN.TFRT.IN?end=2018

Prihatini, F., Fahrudin, A., & Nursanti, I. (2017). Studi Fenomenologi: Pengalaman
Perempuan yang Melahirkan Dibantu oleh Dukun Paraji di Desa Sumber Lor
Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon. Jurnal Persada Husada Indonesia, 4(14), 67-
73.

Suryawati, C. (2007). Faktor Sosial Budaya dalam Praktik Perawatan Kehamilan,


Persalinan, dan Pasca Persalinan (Studi di Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara).
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 2(1), 21-31.

Lismalasari, H. (2019, July 15). Mitos-mitos Kehamilan Menurut Syariah. Retrieved


October 01, 2020, from https://islam-detik.com/mitos-mitos-kehamilan-menurut-
syariah/

KumparanMOM. (2019, August 30). Parenting Islami: Hukum Selamatan 4 Bulan


Kehamilan Dalam Islam. Retrieved October 01, 2020, from

Page | 16
https://kumparan.com/kumparanmom/parenting-islami-hukum-selamatan-4-bulan-
kehamilan-dalam-islam-1rl86Foi6bW/full

Baits, A. N. (2016, April 22). Cara Mengubur Ari-Ari. Retrieved October 01, 2020,
from https://konsultasisyariah.com/11727-ritual-mengubur-ari-ari-bayi.html

Page | 17

Anda mungkin juga menyukai