Oleh:
FENILIA PUTRI
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Transkultural Nursing Sunda” dengan tepat
waktu.
Makalah ini disusun dalam rangka sebagai bahan ajar untuk mengetahui pengertian serta
penjelasan tentang respirasi pada manusia serta mengetahui keseimbangan asam basa yang
terdapat pada tubuh manusia yang beruna bagi pembaca. Makalah ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas bagi pembaca tentang bagaimana
pentingnya menjaga respirasi serta keseimbangan asam basa dalam tubuh kita masing-masing.
Tentunya pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
ingin mengucapkan terimakasih,kepada :
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan. Akhir kata, penulis berharap semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Penulis
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Antropologi Kesehatan pada
Budaya Sunda” dengan lancar dan baik.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas kelompok dari Mata Kuliah Pengembangan
Asuhan Kebidanan Komunitas. Dalam pembuatan makalah ini penulis banyak mendapatkan
tambahan pengetahuan budaya Sunda dan analisis dalam antropologi kesehatan. Untuk itu kami
mengucapkan terimakasih kepada Ibu Kuswandewi Mulyana, dr, M.Sc selaku Dosen Mata Kuliah
Pengembangan Asuhan Kebidanan Komunitas.
Demikianlah, besar harapan kami semoga hasil makalah ini bermanfaat bagi penulis dan
pembaca pada umumnya. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
untuk kesempurnaan selanjutnya.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman budaya. Kebudayaan
merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia.
Kebudayaan merupakan suatu kekayaan yang sangat bernilai, karena selain merupakan ciri khas
dari suatu daerah juga menjadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah.
Sunda merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang memiliki kekayaan budaya
yang beraneka ragam. Adat istiadat yang diwariskan leluhurnya pada masyarakat sunda masih
dipelihara dan dihormati. Tidak terkecuali adat istiadat yang dilakukan berkaitan dalam periode
reproduksi manusia, karena periode ini dianggap sakral dan penting sebagai periode menyambut
generasi penerus keturunan sebuah keluarga dalam masyarakat. Adat istiadat selama periode
reproduksi dikenal memiliki upacara-upacara yang bersifat ritual adat seperti: upacara adat masa
kehamilan, masa kelahiran, masa nifas, masa bayi. Upacara adat tersebut dilakukan sebagai
ungkapan rasa syukur dan mohon kesejahteraan dan keselamatan lahir batin, dunia dan akhirat
kepada Tuhan YME. Disamping upacara adat, banyak juga tabu/larangan dari pendahulu
masyarakat sunda yang diwariskan untuk tidak dilakukann selama masa kehamilan, persalinan dan
nifas. Berbagai upacara adat dan kebiasaan/ritual masyarakat sunda tersebut dapat mempengaruhi
kesehatan ibu dan anak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis merasa
perlu membahas dalam makalah tinjauan aspek antropologi kesehatan dalam budaya sunda yang
berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas serta bayi baru lahir.
B. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah agar menambah pemahaman mengenai aspek
budaya daerah sunda yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan dan nifas serta bayi baru
lahir dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas pelayanan kebidanan komunitas.
BAB II TINJAUAN ADAT ISTIADAT SUNDA
A. Suku Sunda
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia,
dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten,
Jakarta, Lampung dan wilayah barat Jawa Tengah (Banyumasan). Suku Sunda merupakan etnis
kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya 15,2% penduduk Indonesia merupakan orang
Sunda. Jika Suku Banten dikategorikan sebagai sub suku Sunda maka 17,8% penduduk Indonesia
merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam, akan tetapi ada juga sebagian
kecil yang beragama Kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan (Jati Sunda). Agama Sunda Wiwitan
masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan dan masyarakat
suku Baduy di Lebak Banten yang berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.
B. Kebudayaan Sunda
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan tertua di Nusantara dan merupakan
salah satu sumber kekayaan bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu di lestarikan.
Sistem kepercayaan spiritual tradisional Sunda adalah Sunda Wiwitan yang mengajarkan
keselarasan hidup dengan alam. Kini, hampir sebagian besar masyarakat Sunda beragama Islam,
namun ada beberapa yang tidak beragama Islam, walaupun berbeda namun pada dasarnya seluruh
kehidupan di tujukan untuk kebaikan di alam semesta.
Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari kebudayaan–
kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, dikenal sebagai
masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual. Kecenderungan ini tampak sebagaimana
dalam pameo silih asih, silih asah dan silih asuh; saling mengasihi (mengutamakan sifat welas
asih), saling menyempurnakan atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan
saling melindungi (saling menjaga keselamatan). Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah nilai-
nilai lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua, dan
menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan magis di pertahankan
dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan keseimbangan sosial masyarakat Sunda
melakukan gotong-royong untuk mempertahankannya.4
C. Upacara Adat Sunda
1. Upacara Adat Masa Kehamilan
a. Upacara Mengandung Empat Bulan. Dulu Masyarakat Jawa Barat apabila seorang
perempuan baru mengandung 2 atau 3 bulan belum disebut hamil, masih disebut
mengidam. Setelah lewat 3 bulan barulah disebut hamil. Upacara mengandung Tiga Bulan
dan Lima Bulan dilakukan sebagai pemberitahuan kepada tetangga dan kerabat bahwa
perempuan itu sudah betul-betul hamil. Namun sekarang kecenderungan orang-orang
melaksanakan upacara pada saat kehamilan menginjank empat bulan, karena pada usia
kehamilan empat bulan itulah saat ditiupkannya roh pada jabang bayi oleh Allah SWT.
Biasanya pelaksanaan upacara Mengandung empat Bulan ini mengundang pengajian untuk
membacakan do’a selamat, biasanya doa nurbuat dan doa lainnya agar bayinya mulus,
sempurna, sehat, dan selamat.
b. Upacara Mengandung Tujuh Bulan/Tingkeban. Upacara Tingkeban adalah upacara yang
diselenggarakan pada saat seorang ibu mengandung 7 bulan. Hal itu dilaksanakan agar bayi
yang di dalam kandungan dan ibu yang melahirkan akan selamat. Tingkeban berasal dari
kata tingkeb artinya tutup, maksudnya si ibu yang sedang mengandung tujuh bulan tidak
boleh bercampur dengan suaminya sampai empat puluh hari sesudah persalinan, dan
jangan bekerja terlalu berat karena bayi yang dikandung sudah besar, hal ini untuk
menghindari dari sesuatu yang tidak diinginkan. Di dalam upacara ini biasa diadakan
pengajian biasanya membaca ayat-ayat Al-Quran surat Yusuf, surat Lukman dan surat
Maryam. Di samping itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu hamil
dan yang utama adalah rujak kanistren yang terdiri dari 7 macam buah-buahan. Ibu yang
sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 orang keluarga dekat yang dipimpin seorang paraji
secara bergantian dengan menggunakan 7 lembar kain batik yang dipakai bergantian setiap
guyuran dan dimandikan dengan air kembang 7 rupa. Pada guyuran ketujuh dimasukan
belut sampai mengena pada perut si ibu hamil, hal ini dimaksudkan agar bayi yang akan
dilahirkan dapat berjalan lancar (licin seperti belut). Bersamaan dengan jatuhnya belut,
kelapa gading yang telah digambari tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok.
Hal ini dimaksudkan agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir
dan batin, seperti keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah airnya bersih dan
manis. Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang dikandung supaya
mendapatkan keselamatan dunia-akhirat. Sesudah selesai dimandikan biasanya ibu hamil
didandani kemudian di bawa menuju ke tempat rujak kanistren yang sudah dipersiapkan.
Kemudian sang ibu menjual rujak itu kepada anak-anak dan para tamu yang hadir dalam
upacara tersebut, kemudian anak-anak dan tamu yang hadir membelinya dengan
menggunakan talawengkar, yaitu genteng yang sudah dibentuk bundar seperti koin.
Sementara si ibu hamil menjual rujak, suaminya membuang sisa peralatan mandi seperti
air sisa dalam jajambaran, belut, bunga, dan sebagainya. Semuanya itu harus dibuang di
jalan simpang empat atau simpang tiga. Setelah rujak kanistren habis terjual selesailah
serangkaian upacara adat tingkeban.
c. Upacara Mengandung Sembilan Bulan. Upacara sembuilan bulan dilaksanakan setelah
usia kandungan masuk sembilan bulan. Dalam upacara ini diadakan pengajian dengan
maksud agar bayi yang dikandung cepat lahir dengan selamat karena sudah waktunya lahir.
Dalam upacara ini dibuar bubur lolos, sebagai simbol dari upacara ini yaitu supaya
mendapat kemudahan waktu melahirkan. Bubur lolos ini biasanya dibagikan beserta nasi
tumpeng atau makanan lainnya.
d. Upacara Reuneuh Mundingeun. Upacara Reuneuh Mundingeun dilaksanakan apabila
perempuan yang mengandung lebih dari sembilan bulan, bahkan ada yang sampai 12 bulan
tetapi belum melahirkan juga, perempuan yang hamil itu disebut Reuneuh Mundingeun,
seperti munding atau kerbau yang bunting. Upacara ini diselenggarakan agar perempuan
yang hamil tua itu segera melahirkan jangan seperti kerbau, dan agar tidak terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan. Pada pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok dan
dituntun oleh indung beurang/paraji sambil membaca doa kemudian dibawa ke kandang
kerbau. Jika tidak ada kandang kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah sebanyak tujuh
kali. Perempuan yang hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau
sambil dituntun dan diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk. Setelah
mengelilingi kandang kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beurang dimandikan dan
disuruh masuk ke dalam rumah. Di kota pelaksanaan upacara ini sudah jarang
dilaksanakan.
Antara kesehatan dan tradisional tidak dapat dipisahkan, karena masyarakat sudah
memiliki keyakinan terhadap dirinya maupun keluarganya. Namun demikian yang perlu
diperhatikan adalah keselarasan dan keharmonisan di antara kelompok masyarakat yang memiliki
keyakinan budaya tertentu dengan landasan kesehatan yang tidak merugikan atau bahkan
membahayakan kesehatan ibu maupun janinnya.
Bidan sebagai salah satu praktisi kesehatan di masyarakat, harus memiliki kemampuan
mengelola masyarakat, mulai dari mengidentifikasi kondisi masyarakat, menggali potensi dan
sumberdaya yang ada ditengah masyarakat dan lingkungannya, mampu menganalisis kebutuhan
masyarakat dan mampu melakukan edukasi dan tindakan yang akhirnya dapat bermanfaat bagi
masyarakat secara umum dan meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak khususnya.
BAB V DAFTAR PUSTAKA
1. Adriana I. Neloni, mitoni atau tingkeban (perpaduan tradisi jawa dan ritualitas masyarakat
muslim. Karsa. 2011; 19(2):239-47.
2. Kaphle S, Hancock H, Newman LA. Childbirth traditions and cultural perceptions of safety in
Nepal: critical spaces to ensure the survival of mothers and newborns in remote mountain
villages. Midwifery. 2013:1173-81.
3. Agus Y, Horiuchi S, Porter SE. Rural Indonesia women’s traditional beliefs about antenatal
care. Biomedcen. 2012. 5:589
4. Suku Sunda - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm diakses 17 Juni 2015
5. Budaya Sunda - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm diakses 17 Juni 2015
6. Mitos-mitos kelahiran Bayi dalam Budaya Sunda.htm diakses 17 Juni 2015
7. Larangan/Tabu Pada Masa Kehamilan.htm diakses 17 Juni 2015