Anda di halaman 1dari 16

“TRANSKULTURAL NURSING SUNDA”

TINGKAT I SEMESTER I KELAS B

Oleh:

FENILIA PUTRI

KADEK MITHA FARISHTA

KADEK AYU SAI DEWI

PANDE PUTU KARINA PUTRI

MADE NGURAH BAYU PRAMANA PUTRA

NUR MUTIATA DUNGGIO

PRODI DIV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI

TAHUN AJARAN 2019 / 2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Transkultural Nursing Sunda” dengan tepat
waktu.

Makalah ini disusun dalam rangka sebagai bahan ajar untuk mengetahui pengertian serta
penjelasan tentang respirasi pada manusia serta mengetahui keseimbangan asam basa yang
terdapat pada tubuh manusia yang beruna bagi pembaca. Makalah ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas bagi pembaca tentang bagaimana
pentingnya menjaga respirasi serta keseimbangan asam basa dalam tubuh kita masing-masing.
Tentunya pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
ingin mengucapkan terimakasih,kepada :

1. Kepada orang tua yang telah memberikan izin kepada kami.


2. Kepada para sahabat/teman yang memberikan semangat untuk penulis.
3. Serta kepada media yang telah memberikan kami informasi seputar dunia keperawatan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan. Akhir kata, penulis berharap semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Denpasar,12 September 2019

Penulis
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Antropologi Kesehatan pada
Budaya Sunda” dengan lancar dan baik.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas kelompok dari Mata Kuliah Pengembangan
Asuhan Kebidanan Komunitas. Dalam pembuatan makalah ini penulis banyak mendapatkan
tambahan pengetahuan budaya Sunda dan analisis dalam antropologi kesehatan. Untuk itu kami
mengucapkan terimakasih kepada Ibu Kuswandewi Mulyana, dr, M.Sc selaku Dosen Mata Kuliah
Pengembangan Asuhan Kebidanan Komunitas.
Demikianlah, besar harapan kami semoga hasil makalah ini bermanfaat bagi penulis dan
pembaca pada umumnya. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
untuk kesempurnaan selanjutnya.

Bandung, Juli 2015


Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... iii


DAFTAR ISI................................................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 5
A. Latar Belakang............................................................................................................... 5
B. Tujuan ........................................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN ADAT ISTIADAT SUNDA ................................................................................. 6
A. Suku Sunda ....................................................................................................................... 6
B. Kebudayaan Sunda ........................................................................................................... 6
C. Upacara Adat Sunda ......................................................................................................... 7
D. Tabu Selama Kehamilan, Persalinan dan Nifas............................................................... 11
BAB III PEMBAHASAN............................................................................................................. 13
BAB IV PENUTUP .................................................................................................................... 15
BAB V DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 16
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman budaya. Kebudayaan
merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia.
Kebudayaan merupakan suatu kekayaan yang sangat bernilai, karena selain merupakan ciri khas
dari suatu daerah juga menjadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah.
Sunda merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang memiliki kekayaan budaya
yang beraneka ragam. Adat istiadat yang diwariskan leluhurnya pada masyarakat sunda masih
dipelihara dan dihormati. Tidak terkecuali adat istiadat yang dilakukan berkaitan dalam periode
reproduksi manusia, karena periode ini dianggap sakral dan penting sebagai periode menyambut
generasi penerus keturunan sebuah keluarga dalam masyarakat. Adat istiadat selama periode
reproduksi dikenal memiliki upacara-upacara yang bersifat ritual adat seperti: upacara adat masa
kehamilan, masa kelahiran, masa nifas, masa bayi. Upacara adat tersebut dilakukan sebagai
ungkapan rasa syukur dan mohon kesejahteraan dan keselamatan lahir batin, dunia dan akhirat
kepada Tuhan YME. Disamping upacara adat, banyak juga tabu/larangan dari pendahulu
masyarakat sunda yang diwariskan untuk tidak dilakukann selama masa kehamilan, persalinan dan
nifas. Berbagai upacara adat dan kebiasaan/ritual masyarakat sunda tersebut dapat mempengaruhi
kesehatan ibu dan anak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis merasa
perlu membahas dalam makalah tinjauan aspek antropologi kesehatan dalam budaya sunda yang
berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas serta bayi baru lahir.

B. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah agar menambah pemahaman mengenai aspek
budaya daerah sunda yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan dan nifas serta bayi baru
lahir dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas pelayanan kebidanan komunitas.
BAB II TINJAUAN ADAT ISTIADAT SUNDA

A. Suku Sunda
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia,
dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten,
Jakarta, Lampung dan wilayah barat Jawa Tengah (Banyumasan). Suku Sunda merupakan etnis
kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya 15,2% penduduk Indonesia merupakan orang
Sunda. Jika Suku Banten dikategorikan sebagai sub suku Sunda maka 17,8% penduduk Indonesia
merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam, akan tetapi ada juga sebagian
kecil yang beragama Kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan (Jati Sunda). Agama Sunda Wiwitan
masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan dan masyarakat
suku Baduy di Lebak Banten yang berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.

B. Kebudayaan Sunda
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan tertua di Nusantara dan merupakan
salah satu sumber kekayaan bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu di lestarikan.
Sistem kepercayaan spiritual tradisional Sunda adalah Sunda Wiwitan yang mengajarkan
keselarasan hidup dengan alam. Kini, hampir sebagian besar masyarakat Sunda beragama Islam,
namun ada beberapa yang tidak beragama Islam, walaupun berbeda namun pada dasarnya seluruh
kehidupan di tujukan untuk kebaikan di alam semesta.
Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari kebudayaan–
kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, dikenal sebagai
masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual. Kecenderungan ini tampak sebagaimana
dalam pameo silih asih, silih asah dan silih asuh; saling mengasihi (mengutamakan sifat welas
asih), saling menyempurnakan atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan
saling melindungi (saling menjaga keselamatan). Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah nilai-
nilai lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua, dan
menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan magis di pertahankan
dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan keseimbangan sosial masyarakat Sunda
melakukan gotong-royong untuk mempertahankannya.4
C. Upacara Adat Sunda
1. Upacara Adat Masa Kehamilan
a. Upacara Mengandung Empat Bulan. Dulu Masyarakat Jawa Barat apabila seorang
perempuan baru mengandung 2 atau 3 bulan belum disebut hamil, masih disebut
mengidam. Setelah lewat 3 bulan barulah disebut hamil. Upacara mengandung Tiga Bulan
dan Lima Bulan dilakukan sebagai pemberitahuan kepada tetangga dan kerabat bahwa
perempuan itu sudah betul-betul hamil. Namun sekarang kecenderungan orang-orang
melaksanakan upacara pada saat kehamilan menginjank empat bulan, karena pada usia
kehamilan empat bulan itulah saat ditiupkannya roh pada jabang bayi oleh Allah SWT.
Biasanya pelaksanaan upacara Mengandung empat Bulan ini mengundang pengajian untuk
membacakan do’a selamat, biasanya doa nurbuat dan doa lainnya agar bayinya mulus,
sempurna, sehat, dan selamat.
b. Upacara Mengandung Tujuh Bulan/Tingkeban. Upacara Tingkeban adalah upacara yang
diselenggarakan pada saat seorang ibu mengandung 7 bulan. Hal itu dilaksanakan agar bayi
yang di dalam kandungan dan ibu yang melahirkan akan selamat. Tingkeban berasal dari
kata tingkeb artinya tutup, maksudnya si ibu yang sedang mengandung tujuh bulan tidak
boleh bercampur dengan suaminya sampai empat puluh hari sesudah persalinan, dan
jangan bekerja terlalu berat karena bayi yang dikandung sudah besar, hal ini untuk
menghindari dari sesuatu yang tidak diinginkan. Di dalam upacara ini biasa diadakan
pengajian biasanya membaca ayat-ayat Al-Quran surat Yusuf, surat Lukman dan surat
Maryam. Di samping itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu hamil
dan yang utama adalah rujak kanistren yang terdiri dari 7 macam buah-buahan. Ibu yang
sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 orang keluarga dekat yang dipimpin seorang paraji
secara bergantian dengan menggunakan 7 lembar kain batik yang dipakai bergantian setiap
guyuran dan dimandikan dengan air kembang 7 rupa. Pada guyuran ketujuh dimasukan
belut sampai mengena pada perut si ibu hamil, hal ini dimaksudkan agar bayi yang akan
dilahirkan dapat berjalan lancar (licin seperti belut). Bersamaan dengan jatuhnya belut,
kelapa gading yang telah digambari tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok.
Hal ini dimaksudkan agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir
dan batin, seperti keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah airnya bersih dan
manis. Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang dikandung supaya
mendapatkan keselamatan dunia-akhirat. Sesudah selesai dimandikan biasanya ibu hamil
didandani kemudian di bawa menuju ke tempat rujak kanistren yang sudah dipersiapkan.
Kemudian sang ibu menjual rujak itu kepada anak-anak dan para tamu yang hadir dalam
upacara tersebut, kemudian anak-anak dan tamu yang hadir membelinya dengan
menggunakan talawengkar, yaitu genteng yang sudah dibentuk bundar seperti koin.
Sementara si ibu hamil menjual rujak, suaminya membuang sisa peralatan mandi seperti
air sisa dalam jajambaran, belut, bunga, dan sebagainya. Semuanya itu harus dibuang di
jalan simpang empat atau simpang tiga. Setelah rujak kanistren habis terjual selesailah
serangkaian upacara adat tingkeban.
c. Upacara Mengandung Sembilan Bulan. Upacara sembuilan bulan dilaksanakan setelah
usia kandungan masuk sembilan bulan. Dalam upacara ini diadakan pengajian dengan
maksud agar bayi yang dikandung cepat lahir dengan selamat karena sudah waktunya lahir.
Dalam upacara ini dibuar bubur lolos, sebagai simbol dari upacara ini yaitu supaya
mendapat kemudahan waktu melahirkan. Bubur lolos ini biasanya dibagikan beserta nasi
tumpeng atau makanan lainnya.
d. Upacara Reuneuh Mundingeun. Upacara Reuneuh Mundingeun dilaksanakan apabila
perempuan yang mengandung lebih dari sembilan bulan, bahkan ada yang sampai 12 bulan
tetapi belum melahirkan juga, perempuan yang hamil itu disebut Reuneuh Mundingeun,
seperti munding atau kerbau yang bunting. Upacara ini diselenggarakan agar perempuan
yang hamil tua itu segera melahirkan jangan seperti kerbau, dan agar tidak terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan. Pada pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok dan
dituntun oleh indung beurang/paraji sambil membaca doa kemudian dibawa ke kandang
kerbau. Jika tidak ada kandang kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah sebanyak tujuh
kali. Perempuan yang hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau
sambil dituntun dan diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk. Setelah
mengelilingi kandang kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beurang dimandikan dan
disuruh masuk ke dalam rumah. Di kota pelaksanaan upacara ini sudah jarang
dilaksanakan.

2. Upacara Kelahiran dan Masa Bayi


a. Upacara Memelihara Tembuni. Tembuni/placenta dipandang sebagai saudara bayi karena
itu tidak boleh dibuang sembarangan, tetapi harus diadakan upacara waktu menguburnya
atau menghanyutkannya ke sungai.
Bersamaan dengan bayi dilahirkan, tembuni (placenta) yang keluar biasanya dirawat
dibersihkan dan dimasukan ke dalam pendil dicampuri bumbu-bumbu garam, asam dan
gula merah lalu ditutup memakai kain putih yang telah diberi udara melalui bambu kecil
(elekan). Pendil diemban dengan kain panjang dan dipayungi, biasanya oleh seorang paraji
untuk dikuburkan di halaman rumah atau dekat rumah. Ada juga yang dihanyutkan ke
sungai secara adat. Upacara penguburan tembuni disertai pembacaan doa selamat dan
menyampaikan hadiah atau tawasulan kepada Syeh Abdulkadir Jaelani dan ahli kubur. Di
dekat kuburan tembuni itu dinyalakan cempor/pelita sampai tali pusat bayi lepas dari
perutnya. Upacara pemeliharaan tembuni dimaksudkan agar bayi itu selamat dan kelak
menjadi orang yang berbahagia.
b. Upacara Nenjrag Bumi. Upacara Nenjrag Bumi ialah upacara memukulkan alu ke bumi
sebanyak tujuh kali di dekat bayi, atau cara lain yaitu bayi dibaringkan di atas pelupuh
(lantai dari bambu yang dibelah-belah), kemudian indung beurang/paraji menghentakkan
kakinya ke pelupuh di dekat bayi. Maksud dan tujuan dari upacara ini ialah agar bayi kelak
menjadi anak yang tidak lekas terkejut atau takut jika mendengar bunyi yang tiba-tiba dan
menakutkan.
c. Upacara Puput Puseur. Setelah bayi terlepas tali pusatnya, biasanya diadakan selamatan.
Tali pusat yang sudah lepas itu oleh indung beurang/paraji dimasukkan ke dalam kanjut
kundang (tempat tali pusat kering yang terbuat dari kain). Seterusnya pusar bayi ditutup
dengan uang logam/benggol yang telah dibungkus kasa atau kapas dan diikatkan pada perut
bayi, maksudnya agar pusat bayi tidak dosol/menonjol ke luar. Ada juga pada saat upacara
ini dilaksanakan sekaligus dengan pemberian nama bayi. Pada upacara ini dibacakan doa
selamat, dan disediakan bubur merah bubur putih. Ada kepercayaan bahwa tali pusat (tali
ari-ari) termasuk saudara bayi juga yang harus dipelihara dengan sungguh-sungguh.
Adapun saudara bayi yang tiga lagi ialah tembuni, pembungkus, dan kakawah. Tali ari,
tembuni, pembungkus, dan kakawah biasa disebut dulur opat kalima pancer, yaitu empat
bersaudara dan kelimanya sebagai pusatnya ialah bayi itu. Kesemuanya itu harus dipelihara
dengan baik agar bayi itu kelak setelah dewasa dapat hidup rukun dengan saudara-
saudaranya (kakak dan adiknya) sehingga tercapailah kebahagiaan.
d. Upacara Ekah. Sebetulnya kata ekah berasal dari bahasa Arab, dari kata aqiqatun “anak
kandung”. Upacara Ekah ialah upacara menebus jiwa anak sebagai pemberian Tuhan, atau
ungkapan rasa syukur telah dikaruniai anak oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dan
mengharapkan anak itu kelak menjadi orang yang saleh yang dapat menolong kedua orang
tuanya nanti di alam akhirat. Pada pelaksanaan upacara ini biasanya diselenggarakan
setelah bayi berusia 7 hari, atau 14 hari, dan boleh juga setelah 21 hari. Perlengkapan yang
harus disediakan adalah domba atau kambing untuk disembelih, jika anak laki-laki
dombanya harus dua (kecuali bagi yang tidak mampu cukup seekor), dan jika anak
perempuan hanya seekor saja. Domba yang akan disembelih untuk upacara Ekah itu harus
yang baik, yang memenuhi syarat untuk kurban. Selanjutnya domba itu disembelih oleh
ahlinya atau Ajengan dengan pembacaan doa selamat, setelah itu dimasak dan dibagikan
kepada saudara dan tetangga.
e. Upacara Nurunkeun. Upacara Nurunkeun ialah upacara pertama kali bayi dibawa ke
halaman rumah, maksudnya mengenal lingkungan dan sebagai pemberitahuan kepada
tetangga bahwa bayi itu sudah dapat di gendong, di bawa berjalan-jalan di halaman rumah.
Upacara Nurunkeun dilaksanakan setelah tujuh hari upacara puput puseur. Pada
pelaksanaannya biasa diadakan pengajian untuk keselamatan dan sebagai hiburannya
diadakan pohon tebu atau pohon pisang yang digantungi aneka makanan, permainan anak-
anak yang diletakan di ruang tamu untuk diperebutkan oleh para tamu terutama oleh anak-
anak.
f. Upacara Cukuran/Marhaban. Upacara cukuran dimaksudkan untuk membersihkan atau
menyucikan rambut bayi dari segala macam najis. Upacara cukuran atau marhabaan juga
merupakan ungkapan syukuran atau terima kasih kepada Tuhan YME yang telah
mengkaruniakan seorang anak yang telah lahir dengan selamat. Upacara cukuran
dilaksanakan pada saat bayi berumur 40 hari. Pada pelaksanaannya bayi dibaringkan di
tengah-tengah para undangan disertai perlengkapan bokor yang diisi air kembang 7 rupa
dan gunting yang digantungi perhiasan emas berupa kalung, cincin atau gelang untuk
mencukur rambut bayi. Pada saat itu mulailah para undangan berdo’a dan berjanji atau
disebut marhaban atau pupujian, yaitu memuji sifat-sifat nabi Muhammad saw. dan
membacakan doa yang mempunyai makna selamat lahir bathin dunia akhirat. Pada saat
marhaban itulah rambut bayi digunting sedikit oleh beberapa orang yang berdoa pada saat
itu.
g. Upacara Turun Taneuh. Upacara Turun Taneuh ialah upacara pertama kali bayi
menjejakkan kakinya ke tanah, diselenggarakan setelah bayi itu agak besar, setelah dapat
merangkak atau melangkah sedikit-sedikit. Upacara ini dimaksudkan agar si anak
mengetahui keduniawian dan untuk mengetahui akan menjadi apakah anak itu kelak,
apakah akan menjadi petani, pedagang, atau akan menjadi orang yang berpangkat.
Perlengkapan yang disediakan harus lebih lengkap dari upacara Nurunkeun, selain aneka
makanan juga disediakan kain panjang untuk menggendong, tikar atau taplak putih, padi
segenggam, perhiasan emas (kalung, gelang, cincin), uang yang terdiri dari uang lembaran
ratusan, rebuan, dan puluh ribuan. Jalannya upacara, apabila para undangan telah
berkumpul diadakan doa selamat, setelah itu bayi digendong dan dibawa ke luar rumah. Di
halaman rumah telah dipersiapkan aneka makanan, perhiasan dan uang yang disimpan di
atas kain putih, selanjutnya kaki si anak diinjakan pada padi/ makanan, emas, dan uang,
hal ini dimaksudkan agar si anak kelak pintar mencari nafkah. Kemudian anak itu
dilepaskan di atas barang-barang tadi dan dibiarkan merangkak sendiri, para undangan
memperhatikan barang apa yang pertama kali dipegangnya. Jika anak itu memegang padi,
hal itu menandakan anak itu kelak menjadi petani. Jika yang dipegang itu uang,
menandakan anak itu kelak menjadi saudagar/pengusaha. Demikian pula apabila yang
dipegangnya emas, menandakan anak itu kelak akan menjadi orang yang berpangkat atau
mempunyai kedudukan yang terhormat.

D. Tabu Selama Kehamilan, Persalinan dan Nifas


Tabu yang diberlakukan bagi wanita yang sedang hamil antara lain :
a. Tidak boleh tidur sembarangan serta tidak boleh memakai bantal sebab akan
mengakibatkan kesulitan saat melahirkan
b. Tidak boleh duduk nangunjar (memanjangkan kedua kaki ketika duduk) agar saat
melahirkan tidak kakinya terlebih dahulu
c. Tidak boleh tidur terlentang sebab akan mengakibatkan melahirkan dengan keadaan
terlentang
d. Tidak boleh tidur di siang hari sebab akan mengakibatkan melahirkan dalam keadaan
kotor.
e. Tidak boleh duduk di depan pintu agar tidak susah saat melahirkan
f. Tidak boleh duduk di atas kulit domba, sapi, kerbau atau duduk diatas tanah tanpa
memakai tikar sebab bisa mengeluarkan darah saat melahirkan
g. Tidak boleh mandi memakai pakaian basah sebab bisa mendatangkan penyakit yang
mengeluarkan air saat melahirkan.
h. Tidak boleh memakan telur rebus agar anak yang dilahirkan tidak bisul di kepalanya
i. Tidak boleh memakan buah nanas sebab akan mendatangkan penyakit gatal di pipinya
j. Tidak boleh memakan buah salak sebab bisa mendatangkan penyakit koreng di kepalanya
k. Tidak boleh mencoba sayuran dengan sendok sebab akan mengakibatkan anaknya buruk
rupa
l. Tidak boleh memakan buah waluh (labu) agar perutnya tidak gendut.
m. Tidak boleh memakan belut sebab akan mengakibatkan anaknya suka bermain
n. Tidak boleh memakan tutut (siput) agar tidak mengantuk saat melahirkan
o. Tidak boleh memakan kepiting dan lele karena akan mengakibatkan anak yang dilahirkan
bertabiat galak, suka mengganggu temannya.
p. Tidak boleh memakan udang sebab akan mengakibatkan kesulitan saat melahirkan.
q. Tidak boleh makan yang pedas - pedas sebab akan mengakibatkan penyakit susah
membuang kotoran.
r. Tidak boleh menyimpan gulungan tikar sebab akan didekati kuntilanak,
s. Tidak boleh membawa botol dengan cara di jinjing sebab akan mengakibatkan kepala sang
bayi kecil saat dilahirkan.
t. Tidak boleh melihat orang yang meninggal sebab akan mengakibatkan anak yang
dilahirkan mempunyai rupa yang pucat seperti bangkai.
u. Tidak boleh membawa bayi keluar rumah setelah magrib karena bayi yang baru lahir masih
sangat berbau darah sehingga dapat menarik perhatian kuntilanak untuk mencolek si bayi
yang dapat mengakibatkan bayi rewel dan sakit-sakitan.
v. Bayi jangan pernah ditinggal atau tidur sendirian karena bayi dapat diajak bermain oleh
roh-roh jahat. Bahkan, di sebagian tempat banyak orang sengaja menunggui bayi dan
ibunya. Jika ada yang mendengar suara manuk koreak, bayi harus segera digendong.
Burung koreak dipercaya sebagai representasi hantu yang hendak menculik atau
mengganggu bayi. Tidak hanya bayi yang diperlakukan khusus, pakaiannya pun
diperlakukan khusus, yaitu jangan menyimpan cucian baju bayi di kamar mandi atau tidak
boleh menyimpan pakaian bayi di luar rumah selepas magrib. Jika hal ini dilakukan maka
bayi akan sering mengamuk. Kemudian, ibu-ibu yang ingin anaknya amis budi atau murah
senyum biasanya mengusapkan cincin emasnya ke mulut bayi.
w. Ibu yang baru melahirkan dianjurkan juga melakukan beberapa hal di antaranya agar
tubuhnya segera pulih kembali seperti sedia kala dan agar peranakannya cepat kering. Ibu
bayi dianjurkan memotong ayam. Darah ayam yang baru dipotong dicoretkan di jidat si
ibu dan bayinya. Hal ini dipercaya dapat mengganti darah yang dikorbankan selama proses
melahirkan sehingga sang ibu bugar kembali dan si bayi pun dapat cepat menjadi bayi yang
kuat. Memakan cabe rawit (cengek) dan memakan nasi kuning dipercaya pula dapat
memulihkan tenaga, menguatkan lambung, dan memulihkan usus atau menurut istilah
paraji “ngolotkeun peujit”. Untuk mengeringkan peranakan ibu yang baru melahirkan
dianjurkan memakan bawang putih yang sudah direbus. Bawang putih yang direbus pun
dipercaya dapat menjarangkan kelahiran. Supaya teu tarorek atau khawatir terhadap cerita-
cerita negatif tetangga sekitar, ibu yang baru melahirkan dianjurkan memakan biji-bijian
yang sudah digarang api.
BAB III PEMBAHASAN

Latar belakang tradisional masyarakat kadang-kadang mempengaruhi perilaku wanita


selama masa kehamilan, persalinan dan nifas. Di beberapa daerah di Indonesia, khususnya Jawa
Barat proses kehamilan mendapat perhatian tersendiri bagi masyarakat setempat. Harapan-harapan
muncul terhadap bayi dalam kandungan, agar mampu menjadi generasi yang handal dikemudian
hari, disamping mereka juga mengharapkan keselamatan terhadap ibu dan janin yang
dikandungnya dan kelancaran saat persalinannya. Untuk itu, dilaksanakan beberapa tradisi yang
dirasa mampu mewujudkan keinginan mereka terhadap anak tersebut.1
Disamping melakukan upacara keselamatan, terdapat pula pantangan/tabu/mitos yang
diyakini jika dilanggar maka dapat menimbulkan kebahayaan atau masalah pada kehamilan,
pertumbuhan bayi atau kesukaran pada saat persalinan, bahkan terjadi gangguan makhluk halus
pada bayi atau ibu pascapersalinan. Selama masa kehamilan dan persalinan, banyak wanita yang
mengalami perubahan kesehatan-dihubungkan dengan perilaku termasuk jenis makanan yang
dikonsumsi seorang wanita dan aktivitas mereka. Ada kebudayaan khusus bagi wanita hamil dan
bersalin yang melarang wanita tersebut mengkonsumsi makanan tertentu, meskipun tidak semua
wanita mengadopsinya. Mereka yakin bahwa agar selama menjalani kehamilan dan persalinannya
sehat, mereka membutuhkan yang terbaik bagi mereka dan bayinya, sebagaimana mereka
meyakini mengikuti kepercayaan tradisional dan berdoa pada Tuhan membuat mereka merasa
aman dan terlindungi.3
Mitos-mitos/tabu yang dipaparkan sebagian sudah ditinggalkan. Sebagian lagi masih
dipertahankan. Mitos-mitos tersebut ada yang masih dipertahankan bukan semata-mata nilai
kebenaran empirisnya tetapi mitos-mitos tersebut dianggap mengandung siloka atau pepatah para
leluhur yang disampaikan secara tidak langsung. Perlu tidaknya mitos-mitos tersebut
dipertahankan atau sebaliknya ditinggalkan bergantung kepada orang sunda itu sendiri. Dengan
menggunakan parameter teori nilai guna, secara alamiah sebuah tradisi akan terus dipertahankan
jika dianggap memiliki nilai guna. Jika sebuah mitos sudah dianggap tidak lagi memiliki nilai
guna, mitos tersebut dengan sendirinya ditinggalkan.
Demikian juga dalam aspek kesehatan, perilaku maupun mitos/tabu/pantangan yang
dikerjakan harus diperhatikan agar tidak membahayakan atau mengganggu kesehatan ibu dan
janinnya atau bayi yang akan dilahirkannya. Bidan sebagai seorang care provider di masyarakat,
harus mampu membangun kepercayaan yang positif terhadap kesehatan khususnya ibu dan bayi.
Membangun kekuatan wanita agar mampu mandiri dan paham adalah kunci penting dalam
menguatkan kemampuan wanita terhadap kemampuan mereka membuat keputusan untuk dirinya
sendiri maupun keluarganya. Seorang wanita yang memiliki kesempatan membuat keputusan
tentang pilihan kesehatan bagi mereka, merasakan dirinya memiliki kemampuan pengetahuan
yang lebih dan mampu membuat keputusan kesehatan yang baik dan logis.3 Dialog untuk bertukar
informasi antara wanita dan bidan merupakan salah satu strategi yang dapat dikembangkan untuk
memahami apa yang wanita yakini dan dapat menjadi peluang bagi bidan untuk memberi informasi
kesehatan yang baik dilakukan untuk kesehatan dirinya maupun keluarganya.3
Bidan desa penting mempertimbangkan pemahaman tradisional dan keyakinan ditengah
masyarakat dan menemukan cara agar dapat diterima lebih baik dan mampu membangun
hubungan saling percaya ditengah masyarakat. Kepercayaan merupakan faktor yang penting
diperhatikan untuk meningkatkan penggunaan tenaga kesehatan oleh masyarakat. Dengan
meningkatkan kepercayaan masyarakat, seorang bidan akan mampu melakukan pendidikan
kesehatan lebih efektif kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi lebih sehat dan sejahtera
dengan tetap menjaga kelestarian budaya yang positif dan tidak merugikan bagi kesehatan
khususnya ibu dan bayinya.3
BAB IV PENUTUP

Antara kesehatan dan tradisional tidak dapat dipisahkan, karena masyarakat sudah
memiliki keyakinan terhadap dirinya maupun keluarganya. Namun demikian yang perlu
diperhatikan adalah keselarasan dan keharmonisan di antara kelompok masyarakat yang memiliki
keyakinan budaya tertentu dengan landasan kesehatan yang tidak merugikan atau bahkan
membahayakan kesehatan ibu maupun janinnya.
Bidan sebagai salah satu praktisi kesehatan di masyarakat, harus memiliki kemampuan
mengelola masyarakat, mulai dari mengidentifikasi kondisi masyarakat, menggali potensi dan
sumberdaya yang ada ditengah masyarakat dan lingkungannya, mampu menganalisis kebutuhan
masyarakat dan mampu melakukan edukasi dan tindakan yang akhirnya dapat bermanfaat bagi
masyarakat secara umum dan meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak khususnya.
BAB V DAFTAR PUSTAKA

1. Adriana I. Neloni, mitoni atau tingkeban (perpaduan tradisi jawa dan ritualitas masyarakat
muslim. Karsa. 2011; 19(2):239-47.
2. Kaphle S, Hancock H, Newman LA. Childbirth traditions and cultural perceptions of safety in
Nepal: critical spaces to ensure the survival of mothers and newborns in remote mountain
villages. Midwifery. 2013:1173-81.
3. Agus Y, Horiuchi S, Porter SE. Rural Indonesia women’s traditional beliefs about antenatal
care. Biomedcen. 2012. 5:589
4. Suku Sunda - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm diakses 17 Juni 2015
5. Budaya Sunda - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm diakses 17 Juni 2015
6. Mitos-mitos kelahiran Bayi dalam Budaya Sunda.htm diakses 17 Juni 2015
7. Larangan/Tabu Pada Masa Kehamilan.htm diakses 17 Juni 2015

Anda mungkin juga menyukai