Anda di halaman 1dari 11

TUGAS INDIVIDU

“OBAT GANGGUAN PERNAPASAN DAN CERNA”

Di Susun Oleh :

Ni Wayan Meliawati (18101105058)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

2020
SOAL !

Buatlah Rangkuman Mengenai obat-obat yang digunakan pada saluran cerna yaitu :

1. Antasida

2. H2 Bloker

3. PPI

4. Kelator dan senyawa kompleks

5. Analog Prostaglandin

6. Antimotility

7. NK1 Antagonis reseptor

8. 5HT3 Antagonis Reseptor

Jelaskan Mekanisme Kerja obat-obat dari setiap golongan, profil, farmakokinetik dan efek
samping.

JAWABAN

1. ANTASIDA
Antasida (antacid) adalah obat yang digunakan untuk menetralkan kadar asam di
dalam lambung. Pada dasarnya lambung membutuhkan asam yang berperan pada
proses pencernaan serta membunuh bakteri berbahaya yang ada di makanan. Prinsip
kerja dari Antasida yaitu netralisasi. Efektifitas golongan Antasida untuk mengobati
ulkus peptic lebih rendah dibandingkan golongan obat lainnya, tetapi kerjanya yang
cepat dalam menetralkan asam lambung membuat golongan ini tetap dipilih untuk
meringankan gejala peningkatan asam lambung dan dyspepsia. Sediaan antasida
dapat berupa kombinasi dari Natrium bikarbonat, kalsium karbonat, magnesium
hidroksida dan aluminium hidroksida. Kombinasi garam turunan karbonat jarang
dibuat sediaan untuk terapi antasida karena reaksi netralisasi dengan asam lambung
akan melepaskan CO2 yang akan menyebabkan sendawa, buang angin dan perut
kembung. Ion kalsium dari CaCO3 akan mempengaruhi pasien dengan penyakit
kardiovaskuler dan gagal ginjal. Kombinasi garam aluminium dan magnesium lebih
dipilih.
Antasida biasanya diformulasi dengan simeticon untuk mengurangi gas pada
saluran pencernaan dan menurunkan resiko refluks esofageal. Antasida dianjurkan
untuk dikonsumsi 30 menit – 1 jam sebelum makan, atau 2 jam setelah makan.
Dikonsumsi 3-4 kali sehari. Penggunaan antasida yang mengandung garam
Aluminium dapat menyebabkan konstipasi pada beberapa pasien. Jangan berikan
antasida pada anak-anak di bawah 12 tahun tanpa anjuran dokter. Beberapa produk
antasida tidak diperuntukkan bagi anak usia. Hati-hati dalam menggunakan antasida
jika sedang atau pernah menderita tukak lambung, perdarahan, penyakit hati, penyakit
ginjal, atau penyakit jantung. Penggunaan antasida oleh pasien berusia di atas 60
tahun harus dengan anjuran dan pengawasan dokter. Beberapa jenis antasida
mengandung natrium atau sodium (garam) tinggi. Hati-hati jika Anda tengah
menjalankan diet rendah garam, memiliki tekanan darah tinggi, atau
menderita sirosis. Beri tahu dokter jika sedang menggunakan obat-obatan lain,
termasuk suplemen dan produk herbal. Segera temui dokter apabila terjadi reaksi
alergi atau overdosis.
Antasida dapat menimbulkan interaksi jika digunakan bersamaan dengan obat
tertentu, di antaranya : Mengganggu penyerapan tetrasiklin, penisilin, sulfanomida,
digoxin, indometacin, naproxen, phenylbutazone, quinidine, dan vitamin.
Meningkatkan penyerapan vitamin C. Efek samping antasida (antacid) jarang terjadi.
Efek samping penggunaan obat ini dapat berupa : diare, perut kembung, mual dan
muntah, kram perut, dan sembelit.
2. H2 BLOKER
Antagonis reseptor histamin 2 bekerja sebagai antagonis kompetitif histamin
untuk menduduki reseptor H2 pada sel parietal lambung (ireversibel). Contoh obat
antagonis reseptor histamin 2 : simetidin, ranitidine, famotidine dan niztidine.
Sediaan : tablet, injeksi i.v atau i.m. Rantidin, dkk digunakan untuk terapi ulkus
peptic dan ulkus duodenum. Dosis terapi : ranitidine 2 x sehari 150 mg; famotinin 2 x
sehari 20 mg. Untuk pasien dengan GERD, terapi menggunakan Simetidin, dkk
kurang efektif jika dibandingkan dengan terapi menggunakan golongan PPI. Histamin
memiliki beberapa reseptor yang tersebar pada beberapa organ. Reseptor H1 –
terdapat pada sel otot, endotelium dan SSP. Aktivasi reseptor ini menyebabkan :
bronkokonstriksi, vasodilatasi, gatal, rinitis alergi. Reseptor H2 – sel parietal
lambung, memicu pelepasan asam lambung. Reseptor H3 – SSP dan Saraf tepi.
Reseptor H4 – sumsum tulang belakang dan sel darah putih. Memediasi kemotaksis
sel mast.
Antagonis H2 atau histamine 2 blocker adalah golongan obat-obatan yang
digunakan untuk menangani kelebihan asam di lambung. Kelompok obat ini
digunakan untuk meredakan penyakit refluks asam lambung. Penyakit refluks asam
lambung atau disebut gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan kondisi
dengan gejala-gejala utama berupa nyeri pada ulu hati, sensasi panas atau terbakar di
sekitar dada yang biasanya terjadi setelah makan dan bisa makin buruk pada malam
hari. Selain itu, antagonis H2 juga digunakan untuk mengatasi penyakit-penyakit
berikut ini : sakit maag, tukak lambung, ulkus duodenum dan sindom zollinger-
ellison. Obat-obatan antagonis H2 bekerja dengan menghambat senyawa yang disebut
histamin 2. Histamin 2 berperan dalam merangsang dan melepaskan zat asam pada
lambung. Dengan dihambatnya histamine 2, kadar asam di dalam lambung bisa
diturunkan. Contoh obat antagonis H2 adalah : Cimetidine, Famotidine dan
Ranitidine.
Antagonis H2 jarang menimbulkan efek samping. Namun, tidak tertutup
kemungkinan obat ini dapat menimbulkan efek samping, tergantung dari kondisi
kesehatan secara keseluruhan dan respons pasien terhadap obat tersebut.
Konsultasikan kepada dokter jika muncul efek samping setelah menggunakan obat-
obatan antagonis H2, yang dapat berupa : sakit kepala, ruam kulit, lemas, diare,
konstipasi, pilek, mulut atau kulit kering, telinga berdenging, susah tidur, dan sulit
buang air kecil.
3. PPI
Pompa proton atau H+/K+ ATPase merupakan enzim yang berfungsi
mensekresikan proton ke dalam lumen lambung. Pompa proton terletak pada sel
parietal lambung. Penghambat pompa proton (PPI) dapat mengurangi produksi asam
lambung, tidak seperti golongan antasida yang bekerja dengan menetralisir asam
lambung tetapi tidak mengurangi produksi asam lambung. Golongan PPI
menghambat enzim H+/K+ ATPase yang merupakan transporter untuk mengangkut H+
dari sel parietal ke dalam lumen lambung. Penghambatan enzim ini menyebabkan
HCl tidak terbentuk pada lumen lambung. Beberapa contoh obat golongan PPI adalah
: Omeprazole, pantoprazole, rabeprazole dan esomeprazole. Obat golongan PPI
merupakan prodrug, di mana obat ini harus diaktivasi terlebih dahulu dalam
lingkungan asam. Bentuk aktif dari PPI akan berikatan dengan asam amino sistein
dari enzim H+/K+ ATPase menyebabkan inaktivasi enzim.
PPI digunakan untuk terapi ulkus peptic dan GERD. Dosis terapi yang digunakan
tergantung jenis PPI yang diresepkan, misalnya Omeprazole 20 mg – 40 mg sekali
sehari, Lanzoprazole 30 mg sekali sehari. Bentuk sediaan obat golongan PPI : kapsul
yang berisi serbuk/pelet “modified release“dan injeksi.
Penggunaan penghambat pompa proton atau proton pump inhibitor (PPI) dalam
jangka waktu panjang perlu dipertimbangkan efek sampingnya. Dalam beberapa
penelitian, ditemukan konsumsi PPI jangka panjang dapat meningkatkan risiko
kanker lambung, esofagus dan pankreas. PPI adalah obat yang menghambat
pengeluaran asam di dalam lambung. Contoh obat dari PPI adalah omeprazole,
esomeprazole, lansoprazole, dexlansoprazole, pantoprazole dan rabeprazole. PPI
diindikasikan untuk penyembuhan ulkus peptikum dengan atau tanpa perdarahan
saluran cerna, eradikasi Helicobacter pylori, pencegahan ulkus akibat konsumsi obat
anti inflamasi non steroid (OAINS) (seperti ketoprofen, ibuprofen, atau diklofenak),
sindrom Zollinger-Ellison, esofagitis erosif (contoh: akibat gastro-esophageal reflux
syndrome atau GERD), penyakit refluks non-erosif, dan dispepsia fungsional.

4. KELATOR DAN SENYAWA KOMPLEKS


Pada kondisi kelebihan sekresi asam lambung, akan diikuti dengan peningkatan
aktivitas pepsin yang menyebabkan penguraian protein yang menyusun mukosa
lambung. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya mukosa lambung dan asam
lambung akan mengiritasi otot polos dinding lambung. Sucralfate merupakan turunan
polisakarida, mengandung bentuk oktasulfat dari sukrosa dan residu Al (OH)3. Pada
pH asam (<4), sucralfate akan mengalami cross-linking dengan komponen cairan
lambung membentuk polimer viskos dan melekat pada epitelium lambung
melindungi sel dari pengaruh asam. Efek samping konstipasi, diare, mual, gangguan
pencernaan, gangguan lambung, mulut kering, ruam, reaksi hipersensitifitas, nyeri
punggung, pusing, sakit kepala, vertigo, dan mengantuk, pembentukan bezoar (lihat
keterangan di atas).
Trikalium disitratobismutat adalah suatu kelat bismut yang efektif dalam
mengatasi tukak lambung dan duodenum. Peran trikalium disitratobismutat pada
regimen eradikasi Helicobacter pylori pada pasien yang tidak respons terhadap
regimen lini pertama. Ranitidin bismut sitrat digunakan dalam pengobatan tukak
lambung dan duodenum, dan dalam kombinasi dengan dua antibakteri untuk eradikasi
H. pylori. Sukralfat melindungi mukosa dari asam-pepsin pada tukak lambung dan
duodenum. Sukralfat merupakan kompleks aluminium hidroksida dan sukrosa sulfat
yang efeknya sebagai antasida minimal. Obat ini sebaiknya digunakan secara hati-hati
pada pasien yang dirawat secara intensif (Penting: dilaporkan adanya pembentukan
bezoar). Sukralfat tidak dianjurkan digunakan pada anak di bawah usia 15 tahun.
5. PROSTAGLANDIN
Prostaglandin lebih popular sebagai mediator inflamasi dan nyeri, padahal
prostaglandin juga memiliki fungsi untuk fisiologi normal tubuh. Prostaglandin pada
lambung berfungsi untuk mengurangi sekresi asam lambung dan memiliki efek
gastroprotektif dengan cara menstimulasi pembentukan mucosa lambung (PGE2).
Pada ginjal, prostaglandin berfungsi untuk meningkatkan aliran darah renal dengan
cara memvasodilatasi pembuluh darah renal menjaga fungsi ginjal. Fungsi pada organ
lain baca di literature.
Analog prostaglandin memiliki struktur yang menyerupai prostaglandin. Obat
golongan ini dapat menduduki reseptor prostaglandin pada saluran pencernaan
sehingga menimbulkan efek proteksi dan penurunan sekresi asam lambung seperti
efek prostaglandin. Analog prostaglandin yang digunakan untuk terapi ulkus peptic
adalah Misoprostol. Misoprostol digunakan untuk terapi ulkus peptic akibat
penggunaan NSAID. Antiinflamasi Nonsteroid (NSAID menghambat pembentukan
prostaglandin). Dosis misoprostol yang digunakan adalah 100 – 200 µg 4 kali sehari.
Misoprostol, suatu analog prostaglandin sintetik, memiliki sifat antisekresi dan
proteksi, mempercepat penyembuhan tukak lambung dan duodenum. Senyawa ini
dapat mencegah terjadinya tukak karena AINS. Penggunaannya paling cocok bagi
pasien yang lemah atau sangat lansia di mana penggunaan AINS tidak mungkin
dihentikan. Efek samping yaitu : diare (kadang-kadang dapat parah dan obat perlu
dihentikan, dikurangi dengan memberikan dosis tunggal tidak melebihi 200
mikrogram dan dengan menghindari antasida yang mengandung magnesium), juga
dilaporkan nyeri abdomen, dispepsia, kembung, mual dan muntah, perdarahan vagina
yang abnormal (termasuk perdarahaan intermenstrual, menorhagia, dan perdarahaan
pascamenopouse), ruam, pusing.
6. ANTIMITILITY
Antimotilitas dan antisekretori berasal dari obat golongan opioid. Obat golongan
opioid berikatan dengan reseptor µ (miu) yang menyebabkan penurunan motilitas
usus digunakan sebagai antidiare. Selain itu, lopermid juga dapat menghambat sekresi
cairan usus akibat adanya toksin dari bakteri E.coli atau kolera. Contoh obat
antimotilitas dan antisekretori yaitu Loperamid dan Difenoksilat. Loperamid tersedia
dalam bentuk sediaan tablet 2 mg/tablet. Dosis yang diberikan adalah 4 mg di awal,
dilanjutkan 2 mg, maksimal 16 mg/hari. Loperamid tidak dianjurkan diberikan untuk
anak-anak usia kurang dari 2 tahun. Efek samping yang ditimbulkan oleh obat
golongan ini menyerupai ES yang ditimbulkan turunan opioid yaitu analgetik opioid.
Sedasi, depresi pernapasan, retensi urine, konstipasi.
Agen antimotilitas adalah obat yang digunakan untuk meringankan gejala
diare. Ini
termasuk loperamide (Imodium), difenoksilat dengan atropin (Lomotil),dan opiat sep
erti paregoric , tingtur opium , kodein , dan morfin . Pada diare yang disebabkan oleh
patogen invasif seperti Salmonella , Shigella , dan Campylobacter , penggunaan agen
tersebut secara umum sangat tidak dianjurkan, meskipun kurang bukti bahwa mereka
berbahaya bila diberikan dalam kombinasi dengan antibiotik pada kasus Clostridium
difficile. Penggunaan agen antimotilitas pada anak-anak dan orang tua juga tidak
dianjurkan dalam pengobatan EHEC ( Escherichia coli penghasil racun seperti
Shiga ) karena peningkatan tingkat sindrom uremik hemolitik .
7. NK1 ANTAGONIS RESEPTOR
Reseptor terdapat pada system vestibular yang terdapat di telinga. Sistem
vestibular akan mengirim sinyal ke CTZ apabila ada gangguan keseimbangan
menyebabkan mual atau muntah, misalnya pada saat berkendara (motion sickness),
pasien vertigo, dan mual muntah pada ibu hamil, resiko efek samping pada ibu hamil
lebih rendah. Contoh obat dari kelompok ini adalah difenhidramin, meclizine,
dimenhidrinate dan promethazine. Efek samping yang ditimbulkan adalah mirip
dengan efek samping obat antihistamin yaitu menimbulkan sedasi (mengantuk),
mulut kering, konstipasi dan retensi urin. Dosis : contoh dimenhidrinat untuk anak
yang mabuk perjalanan : 12,5 – 2 mg setiap 6 – 8 jam, Dewasa 50 – 100 mg. Dalam
sediaan tablet 50 mg.
Antagonis neurokinin 1 (NK 1) (-pitan) adalah kelas obat baru yang
memiliki antidepresan unik, anxiolytic, dan sifat antiemetik. Antagonis NK-1
meningkatkan kemanjuran antagonis 5-HT3 untuk mencegah mual dan
muntah. Penemuan antagonis reseptor neurokinin 1 ( NK 1 ) merupakan titik balik
dalam pencegahan mual dan muntah yang berhubungan dengan kemoterapi kanker.
Contoh obat dalam golongan ini adalah aprepitant . Emesis yang diinduksi
kemoterapi tampaknya terdiri dari fase akut dan fase tertunda. Sejauh ini, emesis fase
akut merespons antagonis 5HT3 sedangkan fase tertunda tetap sulit
dikendalikan. Penemuan dan pengembangan antagonis reseptor NK1 telah
menimbulkan efek antiemetik pada fase akut dan terutama pada fase emesis yang
tertunda. Casopitant , netupitant dan rolapitant adalah beberapa tambahan baru di
grup ini. Rolapitant memiliki waktu paruh yang jauh lebih lama yaitu 160 jam dan
telah disetujui oleh FDA AS pada tahun 2015.
8. 5HT3 ANTAGONIS RESEPTOR
Reseptor serotonin, terdapat pada beberapa area yang menstimulasi rasa mual dan
muntah, antara lain pada CTZ, pada saluran pencernaan (usus) dan pada pusat muntah
itu sendiri. Antagonis serotonin dapat memblok reseptor-reseptor serotonin pada area-
area tersebut. Antagonis serotonin bekerja pada pusat muntah, chemoreceptor trigger
zone (CTZ) dan reseptor serotonin yang ada pada saluran pencernaan. Obat yang
termasuk kelompok ini adalah ondansetron, granisetron, dolasetron dan palonosteron.
Kelompok obat ini efektif untuk mengobati muntah akibat kemoterapi, mual setelah
pembedahan, hiperemesis pada kehamilan (dengan resep dokter, bukan pilihan
pertama). Antagonis serotonin tidak digunakan untuk terapi motion sickness (mabuk
perjalanan). Antagonis serotonin tersedia dalam bentuk sediaan tablet dan injeksi.
Dosis terapi yang digunakan : mis : Ondansetron tablet 8 mg 3x sehari. Antagonis
serotonin paling banyak digunakan dalam terapi mual muntah pada pasien setelah
kemoterapi. Setelah pemberian agen kemoterapi, radikal bebas akan dilepaskan
memicu pelepasan serotonin, interaksi dengan reseptor di saluran pencernaan kirim
sinyal ke CTZ, dan sinyal ke pusat muntah di brainstem.
Antagonis 5-HT3, secara informal dikenal sebagai "setron", adalah kelas obat
yang beraksi sebagai antagonis reseptor pada reseptor 5-HT3, subtipe dari reseptor
serotonin yang ditemukan di terminal saraf vagus dan di daerah tertentu dari otak.
Dengan pengecualian dari alosetron dan cilansetron yang digunakan dalam
pengobatan sindrom iritasi usus besar, semua antagonis 5-HT3 adalah antimuntah,
digunakan dalam pencegahan dan pengobatan mual dan muntah. Mereka sangat
efektif dalam mengendalikan mual dan muntah yang dihasilkan oleh kemoterapi
kanker dan dianggap sebagai standar emas untuk tujuan ini. Antagonis 5-HT3
menghambat reseptor serotonin pada sistem saraf pusat dan saluran pencernaan. Obat
ini juga dapat digunakan untuk mengobati mual dan muntah akibat pasca-operasi dan
sitotoksik obat.
Antagonis 5-HT3 paling efektif dalam pencegahan dan pengobatan mual akibat
kemoterapi dan muntah (CINV), terutama yang disebabkan oleh obat-obatan yang
sangat emetogenik seperti cisplatin; bila digunakan untuk tujuan ini, mereka dapat
diberikan sendiri atau, lebih sering, dengan glukokortikoid, biasanya deksametason.
Obat biasanya diberikan secara intravena, sesaat sebelum pemberian agen
kemoterapi, meskipun beberapa ahli berpendapat bahwa pemberian oral mungkin
lebih disukai. Pemberian bersamaan dengan antagonis reseptor NK1,
seperti aprepitant, secara signifikan meningkatkan kemanjuran 5-HT3 antagonis
dalam mencegah CINV baik yang akut maupun yang tertunda.
Ondansetron adalah antagonis 5-HT3 yang pertama, yang dikembangkan oleh
Glaxo sekitar tahun 1984. Khasiatnya pertama kali ditentukan pada tahun 1987, pada
model binatang, dan setelah itu dipelajari secara ekstensif selama bertahun-tahun
berikutnya. Ondansetron telah disetujui oleh FDA AS pada tahun 1991, dan sejak itu
menjadi tersedia di beberapa negara lain, termasuk Inggris, Irlandia, Australia,
Kanada, Prancis dan Brasil. Pada 2008, ondansetron dan granisetron adalah hanya
antagonis 5-HT3 tersedia sebagai obat generik di Amerika Serikat. Ondansetron dapat
diberikan beberapa kali sehari, tergantung pada beratnya gejala.
Tropisetron juga pertama kali dideskripsikan pada tahun 1984. Obat tersedia di
beberapa negara seperti Inggris, Australia dan Prancis, tapi tidak di Amerika Serikat.
Efek dari tropisetron bertahan hingga 24 jam, sehingga hanya membutuhkan
pemberian sekali sehari.
Granisetron dikembangkan sekitar tahun 1988. Obat tersedia di AS, Inggris,
Australia dan negara-negara lainnya. Uji klinis menunjukkan bahwa lebih efektif
daripada antagonis 5-HT3 lainnya dalam mencegah CINV tertunda (mual dan muntah
yang terjadi lebih dari 24 jam setelah dosis pertama kemoterapi). Obat diberikan
sekali sehari.
Dolasetron pertama kali disebutkan dalam literatur pada tahun 1989. Obat
adalah prodrug, dan sebagian besar efeknya karena metabolit aktif, hidrodolasetron,
yang dibentuk di hati oleh enzim karbonil reduktase. Dolasetron telah disetujui oleh
FDA pada tahun 1997, dan juga diberikan sekali sehari.
Palonosetron adalah antagonis5-HT3 terbaru yang tersedia di pasar AS. Obat
adalah turunan isokuinolin, dan efektif dalam mencegah CINV tertunda. Palonosetron
telah disetujui oleh FDA pada tahun 2003, awalnya untuk digunakan infus. Formulasi
oral disetujui pada tanggal 22 Agustus 2008 untuk pencegahan CINV akut saja,
sebagai uji klinis besar tidak menunjukkan pemberian oral untuk seefektif
penggunaan IV terhadap CINV tertunda.
Ramosetron hanya tersedia di Jepang dan negara-negara Asia Tenggara tertentu
pada 2008. Obat memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk reseptor 5-HT3 dari
antagonis 5-HT3 yang lebih tua, dan mempertahankan efeknya selama dua hari; oleh
karena itu secara signifikan lebih efektif untuk CINV tertunda.[16] Dalam penelitian
hewan, ramosetron juga efektif terhadap gejala seperti-IBS (sindrom iritasi usus
besar).[17]

Anda mungkin juga menyukai