Anda di halaman 1dari 148

BUKU RANCANGAN PENGAJARAN (BRP)

MATA KULIAH
MPK AGAMA ISLAM

VERSI PEMBELAJARAN JARAK JAUH (PJJ)

Oleh:

Drs. Mujilan, M.Ag. dkk.

UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2020

PENDAHULUAN
0
Universitas Indonesia sebagai salah satu Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia memiliki
tanggung jawab dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, pelaksanaan
program akademik berorientasi pada tercapainya sasaran pembelajaran yang berkualitas.
Dengan program itu diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kualitas
intelektual, spiritual, dan kehandalan profesional, memiliki komitmen moral dan kepedulian
sosial. Universitas Indonesia membekali mahasiswanya agar berpikir kritis, kreatif, dan
inovatif. Oleh karena itu, sejak awal proses pembelajarannya diterapkan suatu kegiatan yang
disebut Pengelolaan Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Tinggi (PKPKPT).
Pengelolaan Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Tinggi (PKPKPT) Universitas
Indonesia bertujuan membimbing mahasiswa mengembangkan kepribadiannya agar memiliki
kepedulian terhadap masalah-masalah masyarakat, bangsa, dan negara yang dilandasi oleh
iman, takwa, ilmu, dan etika akademik melalui keterampilan intelektual. Program ini
diberikan kepada mahasiswa pada tahun pertama, sehingga mereka mampu memahami,
menginternalisasikan, dan mengamalkan nilai-nilai agama Islam yang dianutnya. Mereka juga
diharapkan mampu menganalisis dan memberi solusi terhadap berbagai masalah yang ada di
sekelilingnya. Dalam rangka memenuhi program tersebut, disusunlah Buku Rancangan
Pengajaran (BRP) Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Agama Islam dengan
bobot 2 SKS.
Buku Rancangan Pengajaran (BRP) MPK Agama Islam disusun berdasarkan pemikiran
bahwa:
1. Agama Islam merupakan realita sejarah yang berkembang dari masa kemasa. Oleh
karena itu, tahap pertama dalam proses pembelajaran MPK Agama Islam melakukan
kajian sejarah dan perkembangan agama Islam, makna agama Islam bagi kehidupan,
dan manusia beragama Islam.
2. Agama Islam memiliki pokok-pokok ajaran yang mendasari sikap dan perilaku
penganutnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian tentang pokok-pokok ajaran
agama Islam.
3. Agama Islam berkaitan dengan dimensi budaya. Oleh karena itu, perlu kajian tentang
agama Islam dan budaya.
4. Agama Islam berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, agama
Islam berkontribusi dalam memecahkan berbagai permasalahan kehidupan yang terjadi
di masyarakat.

1
Proses pembelajaran dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahapan perolehan pengetahuan,
tahapan latihan dan tahapan umpan balik. Mahasiswa melakukan tugas pembelajaran secara
berkelompok dan kegiatan mandiri. Kemampuan mahasiswa melakukan tugas membahas
pokok bahasan tertentu merupakan komponen keberhasilan yang diharapkan pada saat
membahas masalah tersebut mereka mengacu pada nilai-nilai ajaran agama Islam dan
akademik. Pada setiap pokok bahasan mahasiswa ditugaskan untuk membuat Latihan Tugas
Mandiri (LTM) yang kemudian didiskusikan bersama teman dalam kelompoknya agar terjadi
proses pembelajaran yang mendalam tentang pokok bahasan itu. Hasil belajar mahasiswa
dituangkan dalam bentuk makalah kelompok. Di akhir kegiatan mahasiswa menyampaikan
presentasi sebagi hasil belajar mandiri dan kelompoknya. Sampai akhir kegiatan masing-
masing mahasiswa memperoleh kesempatan melakukan presentasi sebanyak satu kali.
Dengan presentasi mahasiswa diharapkan lebih mampu menyampaikan ide-ide dengan sikap
dan bobot ilmiah.
Untuk mendukung tercapainya pengembangan kemampuan intelektual mahasiswa,
pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah active learning dengan menggunakan
metode Collaborative Learning (CL) dan Problem Based Learning (PBL). Melalui metode
tersebut kemampuan yang diharapkan dapat dicapai mahasiswa adalah kemampuan
berkomunikasi dan bekerjasama dalam kelompok, mengelola informasi secara efektif,
berpikir kritis dan analitis, bersikap rasional dan mandiri, bertanggung jawab meningkatkan
iman, takwa dan akhlak mulia, serta menerapkan langkah-langkah solusi masalah secara
ilmiah dan didasari ajaran agama Islam yang dianutnya.
Proses pembelajaran mahasiswa juga dimonitor, diberikan arahan dan penilaian, serta
hasilnya segera disampaikan oleh pengajar kepada mahasiswa. Mahasiswa juga memberikan
penilaian secara konstruktif terhadap aktivitas mahasiswa lainnya dalam proses-proses
pembelajaran yang mereka lakukan. Dengan demikian, dihararapkan mahasiswa dapat
memahami perilaku dalam belajar dan dapat memperbaiki diri apabila ada kekurangan.
Disamping itu juga sebagai masukan bagi pengajar dalam menuntun proses pembelajaran,
sehingga mahasiswa dapat mengembangkan kepribadiannya secara efektif dan efisien.
Buku Rancangan Pembelajaran (BRP) MPK Agama Islam ini disusun oleh Tim Pengembang
MPK Agama Islam Universitas Indonesia dalam Workshop Tim Pengembang Materi Ajar
PKPKPT di Sentul-Bogor pada tanggal 24-26 April 2019. Dalam pelaksanaannya akan selalu
dievaluasi dan menerima masukan yang konstruktif dan inovatif.

2
Depok, Agustus 2020

Drs. Mujilan, M. Ag.


Koordinator Pengajar MPK Agama UI

I. Informasi Umum

1. Nama Program Studi/Jenjang Studi : PKPKPT/ S1/Vokasi


2. Nama mata kuliah : MPK Agama Islam
3. Kode mata kuliah : UIGE600011

3
4. Semester ke- : Gasal
5. Jumlah SKS : 2 (dua)
6. Metode pembelajaran : CL dan PBL
7. Mata kuliah yang menjadi prasyarat : -
8. Menjadi prasyarat untuk mata kuliah : --
9. Integrasi antara mata kuliah : --
10. Dosen Pengampu : Tim Dosen MPK Agama Islam
11. Deskripsi mata kuliah : Setelah selesai mengikuti perkuliahan
MPK Agama Islam, mahasiswa mampu menganalisis dan merefleksikan berbagai
permasalahan yang terjadi di masyarakat berdasarkan ajaran agama Islam. Mata kuliah
ini disajikan melalui pendekatan Active Learning dengan materi pembelajarannya
meliputi sejarah dan makna agama Islam, pokok-pokok ajaran agama Islam, agama
Islam dan budaya, serta analisis kasus-kasus nyata yang terjadi di masyarakat da
memberikan alternative solusinya. Proses pembelajaran dilakukan dengan menggunakan
bahasa Indonesia.

II. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah/Corse Learning Outcome (CPMK/CLO) dan


Kemampuan pada Akhir Tahap Pembelajaran (Sub-CPMK/Sub-CLO)

A. CPMK/CLO:
Setelah menyelesaikan mata kuliah ini mahasiswa mampu menerapkan ajaran
agama Islam dan menggunakannya untuk menganalisis kasus-kasus yang terjadi di
masyarakat dan memberikan alternative solusinya.

B. Sub-CPMK/Sub-CLO
Setelah mengikuti kegiatan MPK Agama Islam:
1. Mahasiswa mampu menerapkan materi BRP dalam pembelajaran.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan sejarah dan makna agama Islam.
3. Mahasiswa mampu memaknai pokok-pokok ajaran agama Islam.
4. Mahasiswa mampu menerapkan pokok-pokok ajaran agama Islam.
5. Mahasiswa mampu mengimani pokok-pokok ajaran agama Islam.
6. Mahasiswa mampu memaknai hubungan agama Islam dan budaya.
7. Mahasiswa mampu mengidentifikasi pokok-pokok ajaran agama Islam dan
pengembangannya di bidang budaya, seni, dan IPTEK.
8. Mahasiswa mampu menganalisis kasus-kasus yang terjadi di masyarakat
berdasarkan ajaran agama Islam.
9. Mahasiswa mampu mengonstrusikan nilai-nilai ajaran agama Islam dalam
kehidupan sehari-hari.
10. Mahasiswa mampu menyimpulkan materi ajar MPK Agama Islam.

4
III. Rencana Pembelajaran
Ming Sub-CPMK/ Bahan Metod Waktu Pengalama Bobot Indikator Rujuka
gu Sub-CLO Kajian e yang n Belajar Penerap Pencapaia n/
ke (Kemampuan Pemb dibutuhk (*O-L-U) an sub- n sub- Refere
pada Setiap elajar an CPMK CPMK nsi
Akhir Tahap an pada
Pembelajaran MK
)

1 Mahasiswa Pendah CL 2x50 Ceramah 5% Mahasiswa BRP


mampu uluan, menit Tanya mampu Modul/
menerapkan Penjela jawab menjelaska Materi
materi BRP san Umpan n BRP dan Ajar
dalam BRP, balik membentu
pembelajaran Pemben Pembentuka k
tukan n kelompok kelompok
kelomp
ok
2 Mahasiswa Sejarah CL 2x50 Presentasi 7,5% Mahasiswa BRP
mampu Turun menit Diskusi mampu Modul/
menjelaskan dan Kelas memprese Materi
Sejarah Turun Perkem Umpan ntasikan Ajar
dan bangan Balik dan
Perkembangan Agama Penjelasan menjelaska
Agama Islam Islam Dosen n Sejarah
Turun dan
Pengisian Perkemban
Borang C1 gan Agama
dan C2 Islam

3 Mahasiswa Makna CL 2x50 Presentasi 7,5% Mahasiwa BRP


mampu Agama menit Diskusi mampu Modul/
menjelaskan Islam Kelas memprese Materi
Makna Agama Bagi Umpan ntasikan Ajar
Islam Bagi Kehidu Balik dan
Kehidupan pan Penjelasan menjelaska
Dosen n Makna
Agama
Pengisian Islam Bagi
Borang C1 Kehidupan
dan C2

4 Mahasiswa Manusi CL 2x50 Presentasi 7,5% Mahasiswa BRP


mampu a menit Diskusi mampu Modul/
menjelaskan Beraga Kelas memprese Materi
Manusia ma Umpan ntasikan Ajar
Beragama Islam Balik dan
Islam Penjelasan menjelaska
Dosen n Manusia
Beragama
Pengisian Islam
Borang C1
dan C2

5 Mahasiswa Akidah CL 2x50 Presentasi 7,5% Mahasiswa BRP


mampu atau menit Diskusi mampu Modul/
memaknai, Iman Kelas memprese Materi

5
mengimani, Islam Umpan ntasikan, Ajar
menerapkan, Balik memaknai,
dan Penjelasan mengimani
mengidentifika Dosen ,
si Akidah menerapka
atau Iman Pengisian n, dan
Islam Borang C1 mengidenti
dan C2 fikasi
Akidah
atau Iman
Islam

6 Mahasiswa Syariah CL 2x50 Presentasi 7,5% Mahasiwa BRP


mampu Islam menit Diskusi mampu Modul/
memaknai, Kelas memprese Materi
mengimani, Umpan ntasikan, Ajar
menerapkan, Balik memaknai,
dan Penjelasan mengimani
mengidentifika Dosen ,
si Syariah menerapka
Islam Pengisian n, dan
Borang C1 mengidenti
dan C2 fikasi
Syariah
Islam

7 Mahasiswa Akhlak CL 2x50 Presentasi 7,5% Mahasiswa BRP


mampu Islam menit Diskusi mampu Modul/
memaknai, atau kelas memprese Materi
mengimani, Ihsan Umpan ntasikan, Ajar
menerapkan, balik memaknai,
dan Penjelasan mengimani
mengidentifika Dosen ,
si Akhlak menerapka
Islam atau Pengisian n, dan
Ihsan Borang C1 mengidenti
dan C2 fikasi
Akhlak
Islam atau
Ihsan

UJIAN TENGAH SEMESTER


8
9 Mahasiswa Aliran CL 2x50 Presentasi 7,5% Mahasiswa BRP
mampu dan menit Diskusi mampu Modul/
menjelaskan Mazhab Kelas memprese Materi
dan yang Umpan ntasikan, Ajar
mengidentifika Berkem Balik menjelaska
si Aliran dan bang Penjelasan n dan
Mazhab yang dalam Dosen mengidenti
Berkembang Pemaha fikasi
dalam man Pengisian Aliran dan
Pemahaman Ajaran Borang C1 Mazhab
Ajaran Islam Islam dan C2 yang
Berkemba
ng dalam
Pemahama
n Ajaran
Islam

6
10 Mahasiswa Keluarg CL 2x50 Presentasi 7,5% Mahasiwa BRP
mampu a dan menit Diskusi mampu Modul/
menjelaskan, Masyar Kelas memprese Materi
memahami, akat Umpan ntasikan, Ajar
dan memaknai Islam Balik menjelaska
Keluarga dan Penjelasan n,
Masyarakat Dosen memahami
Islam , dan
Pengisian memaknai
Borang C1 Keluarga
dan C2 dan
Masyaraka
t Islam

11 Mahasiswa Lemba CL 2x50 Presentasi 7,5% Mahasiswa BRP


mampu ga menit Diskusi mampu Modul/
menjelaskan, Islam: kelas memprese Materi
memahami, Masjid, Umpan ntasikan, Ajar
dan memaknai Lemba balik menjelaska
Lembaga ga Penjelasan n,
Islam: Masjid, Pendidi Dosen memahami
Lembaga kan , dan
Pendidikan Islam, Pengisian memaknai
Islam, Kehidu Borang C1 Lembaga
Kehidupan pan dan C2 Islam:
Berbangsa dan Berban Masjid,
Bernegara gsa dan Lembaga
Berneg Pendidikan
ara Islam,
Kehidupan
Berbangsa
dan
Bernegara

12 Mahasiswa Lemba CL 2x50 Presentasi 7,5% Mahasiswa BRP


mampu ga menit Diskusi mampu Modul/
menjelaskan, Ekono Kelas memprese Materi
Umpan ntasikan, Ajar
memahami, mi
Balik menjelaska
memaknai Islam Penjelasan n,
Lembaga Dosen memahami
Ekonomi Islam ,
Pengisian memaknai
Borang C1 Lembaga
dan C2 Ekonomi
Islam
13 Mahasiswa Pengem CL 2x50 Presentasi 7,5% Mahasiwa BRP
mampu bangan menit Diskusi mampu Modul/
menjelaskan Budaya Kelas memprese Materi
Umpan ntasikan, Ajar
dan memahami dan
Balik menjelaska
konsep Seni Penjelasan n dan
pengembangan Berdasa Dosen memahami
budaya dan r konsep
seni Islam Ajaran Pengisian pengemba
Agama Borang C1 ngan
Islam dan C2 budaya dan
seni Islam

14 Mahasiswa Pengem CL 2x50 Presentasi 7,5% Mahasiswa BRP

7
mampu bangan menit Diskusi mampu Modul/
menjelaskan Iptek kelas memprese Materi
konsep Berdasa Umpan ntasikan, Ajar
balik menjelaska
pengembangan r
Penjelasan n konsep
Iptek berdasar Ajaran Dosen pengemba
ajaran agama Agama ngan Iptek
Islam Islam Pengisian berdasar
Borang C1 ajaran
dan C2 agama
Islam

15 Mahasiswa Pemicu PBL 2x50 Presentasi 5% Mahasiswa BRP


mampu : menit Diskusi mampu Modul/
menjelaskan, Covid- kelas memprese Materi
Umpan ntasikan Ajar
memaknai, 19
balik materi ajar
menerapkan Penjelasan dengan
materi Pokok Dosen menjelaska
Bahasan 1-12 n,
dan Pengisian memaknai,
menggunakann Borang C1 menerapka
ya untuk dan C2 n materi
Pokok
menganalisis
Bahasan 1-
kasus pemicu 12 untuk
menganalis
is kasus
pemicu

UJIAN AKHIR SEMESTER


16

*) O: Orientasi
L: Latihan
U: Umpan Balik

IV. Rancangan Tugas dan Latihan

Minggu Nama Sub-CPMK Penugasan Ruang Cara Batas Luaran


ke Tugas Lingkup Pengerjaan Waktu Tugas
yang
Dihasilkan
1 Pembentu Mahasiswa mampu Membentuk 13 Mahasiswa Berhitung 1-6 100 menit 13 kelompok
kan menerapkan materi kelompok dalam kelas
secara acak
kelompok BRP dalam
pembelajaran
2 LTM, Mahasiswa mampu Penulisan LTM, Sejarah Individual, dan 1 minggu LTM
PPT dan menjelaskan PPT, dan Turun dan Kelompok PPT
Sejarah Turun dan Makalah Makalah
Makalah Perkembanga
Perkembangan
Agama Islam n Agama

8
Islam
3 LTM, Mahasiswa mampu Penulisan LTM, Makna Individual, dan 1 minggu LTM
PPT dan menjelaskan Makna PPT, dan Agama Islam Kelompok PPT
Agama Islam Bagi Makalah Makalah
Makalah Bagi
Kehidupan
Kehidupan
4 LTM, Mahasiswa mampu Penulisan LTM, Manusia Individual, dan 1 minggu LTM
PPT dan menjelaskan PPT, dan Beragama Kelompok PPT
Makalah
Makalah Manusia Beragama Makalah
Islam
5 LTM, Mahasiswa mampu Penulisan LTM, Akidah atau Individual, dan 1 minggu LTM
PPT dan memaknai, PPT, dan Iman Islam Kelompok PPT
mengimani, Makalah
Makalah Makalah
menerapkan, dan
mengidentifikasi
Akidah atau Iman
Islam
6 LTM, Mahasiswa mampu Penulisan LTM, Syariah Islam Individual, dan 1 minggu LTM
PPT dan memaknai, PPT, dan Kelompok PPT
mengimani, Makalah
Makalah Makalah
menerapkan, dan
mengidentifikasi
Syariah Islam
7 LTM, Mahasiswa mampu Penulisan LTM, Akhlak Islam Individual, dan 1 minggu LTM
PPT dan memaknai, PPT, dan atau Ihsan Kelompok PPT
mengimani, Makalah
Makalah Makalah
menerapkan, dan
mengidentifikasi
Akhlak Islam atau
Ihsan
8 UJIAN TENGAH SEMESTER : TIDAK ADA TUGAS
9 LTM, Mahasiswa mampu Penulisan LTM, Aliran dan Individual, dan 1 minggu LTM
PPT dan menjelaskan dan PPT, dan Mazhab yang Kelompok PPT
mengidentifikasi Makalah
Makalah Makalah Berkembang
Aliran dan Mazhab
yang Berkembang dalam
dalam Pemahaman Pemahaman
Ajaran Islam Ajaran Islam
10 LTM, Mahasiswa mampu Penulisan LTM, Keluarga dan Individual, dan 1 minggu LTM
PPT dan menjelaskan, PPT, dan Masyarakat Kelompok PPT
memahami, dan Makalah
Makalah Makalah Islam
memaknai
Keluarga dan
Masyarakat Islam
11 LTM, Mahasiswa mampu Penulisan LTM, Lembaga Individual, dan 100 menit LTM
PPT dan menjelaskan, PPT, dan Islam: Kelompok PPT
memahami, dan Makalah
Makalah Makalah Masjid,
memaknai
Lembaga Islam: Lembaga
Masjid, Lembaga Pendidikan
Pendidikan Islam, Islam,
Kehidupan
Kehidupan
Berbangsa dan
Bernegara Berbangsa
dan
Bernegara

9
12 LTM, Mahasiswa mampu Penulisan LTM, Lembaga Individual, dan 1 minggu LTM
PPT dan menjelaskan, PPT, dan Ekonomi Kelompok PPT
memahami, Makalah
Makalah Makalah Islam
memaknai Lembaga
Ekonomi Islam
13 LTM, Mahasiswa mampu Penulisan LTM, Konsep Individual, dan 1 minggu LTM
PPT dan menjelaskan dan PPT, dan pengembanga Kelompok PPT
memahami konsep Makalah
Makalah Makalah n budaya dan
pengembangan seni Islam
budaya dan seni
Islam
14 LTM, Mahasiswa mampu Penulisan LTM, Konsep Individual, dan 1 minggu LTM
PPT dan menjelaskan konsep PPT, dan pengembanga Kelompok PPT
pengembangan Iptek Makalah
Makalah Makalah n Iptek
berdasar ajaran berdasar
agama Islam ajaran agama
Islam
15 LTM, Mahasiswa mampu Penulisan LTM, Pokok Individual, dan 1 minggu LTM
PPT dan menjelaskan, PPT, dan Bahasan 1-12 Kelompok PPT
memaknai, Makalah
Makalah Makalah dan
menerapkan materi mpnggunaann
Pokok Bahasan 1-12 ya untuk
dan
menganalisis
menggunakannya
kasus pemicu
untuk menganalisis
kasus pemicu

16 UJIAN AKHIR SEMESTER: TIDAK ADA TUGAS

V. Kriteria Penilaian (Evaluasi Hasil Pembelajaran)

Bentuk Sub-CPMK Instrumen/ Frekuensi Bobot


Evaluasi Jenis Evaluasi
Assesment (%)
LTM Mahasiswa mampu menyusun LTM topik ajar Penugasan 1 10
yang ditugasi oleh kelompok
Aktivitas Mahasiswa mampu menunjukkan tanggung Presentasi 1 5
Kelas jawabnya dalam penyelesaian tugas,kerjasama
tim, aktif dalamdiskusi, dan sikap kritis, logis, Diskusi 13 10
inovatif, dan konstruktif.

Makalah Mahasiswa mampu menyusun makalah secara Penugasan 1 15


Kelompok kelompok

UTS Mahasiswa mampu menjawab soal UTS Esai 1 25


dengan analisis kritis

10
UAS Mahasiswa mampu menjawab soal UAS Esai 1 35
dengan analisis kritis
Total 100

Rubrik:
Adapun kriteria penilaian bentuk-bentuk evaluasi yang diadakan dalam mata kuliah ini adalah
sebagai berikut:

a. Presentasi:
Nilai 90-100 : Apabila mahasiswa dapat mempresentasikan materi dengan penjelasan
yang dapat dipahami, menguasai materi dengan baik, bahasa tubuh
yang baik, dan mampu menanggapi pertanyaan dengan baik dengan
ketepatan 90-100%.

Nilai 70-89 : Apabila mahasiswa dapat mempresentasikan materi dengan penjelasan


yang dapat dipahami, menguasai materi dengan baik, bahasa tubuh
yang baik, dan mampu menanggapi pertanyaan dengan baik, dengan
ketepatan 70-89%.

Nilai 60-69 : Apabila mahasiswa dapat mempresentasikan materi dengan penjelasan


yang dapat dipahami, menguasai materi dengan baik, bahasa tubuh
yang baik, dan mampu menanggapi pertanyaan dengan baik, dengan
ketepatan 60-69%.

b. Diskusi Kelompok:
Nilai 90-100 : Apabila mahasiswa dapat menjelaskan materi tugas dengan benar,
menanggapi secara aktif, memotivasi teman untuk berdiskusi,
bertanggung jawab, bersedia menerima tugas dan peran khusus dalam
kelompok dengan ketepatan 90-100%.

Nilai 70-89 : Apabila mahasiswa dapat menjelaskan materi tugas dengan benar,
menanggapi secara aktif, memotivasi teman untuk berdiskusi,
bertanggung jawab, bersedia menerima tugas dan peran khusus dalam
kelompok dengan ketepatan 75-80%.

Nilai 60-69 : Apabila mahasiswa dapat menjelaskan materi tugas dengan benar,
menanggapi secara aktif, memotivasi teman untuk berdiskusi,
bertanggung jawab, bersedia menerima tugas dan peran khusus dalam
kelompok dengan ketepatan 60-69%.

11
c. Laporan Tugas Mandiri:
Nilai 90-100 : Apabila mahasiswa dapat menulis materi secara lengkap, dengan
format yang benar, dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar dengan ketepatan 90-100%.

Nilai 70-89 : Apabila mahasiswa dapat menulis materi secara lengkap, dengan
format yang benar, dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar dengan ketepatan 70-89%.

Nilai 60-69 : Apabila mahasiswa dapat menulis materi secara lengkap, dengan
format yang benar, dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar dengan ketepatan 60-69%.

d. Makalah Kelompok:
Nilai 90-100 : Apabila mahasiswa dapat menulis materi secara lengkap, dengan
format yang benar, menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar serta menemukan rujukan yang relevan dengan materi dengan
ketepatan 90-100%.

Nilai 70-89 : Apabila mahasiswa dapat menulis materi secara lengkap, dengan
format yang benar, menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar serta menemukan rujukan yang relevan dengan materi dengan
ketepatan 70-89%.

Nilai 60-69 : Apabila mahasiswa dapat menulis materi secara lengkap, dengan
format yang benar, menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar, serta menemukan rujukan yang relevan dengan materi dengan
ketepatan 60-69%.

e. Ujian Tertulis (UTS dan UAS)


(1) Mampu menjawab setiap pertanyaan dengan tepat (50%);
(2) Mampu menganalisis kasus yang diberikan dalam soal ujian dengan jelas dan tepat
(40%);
(3) Mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar (10%).

12
RENCANA PEMBELAJARAN JARAK JAUH (RPJJ)
MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA
TAHUN AKADEMIK 2020-2021

I. Pendahuluan
1. Penjelasan BRP MPK Agama Islam
2. Pembagian Kelompok: 13 Kelompok

II. Kelompok 1.
PB.I: Sejarah Turun dan Perkembangan Agama Islam
1. Sejarah Turun dan Perkembangan Agama Islam Pada Masa Nabi
Muhammad saw.
a. Geografis dan Sejarah Masyarakat Arab
b. Latar Belakang dan Tujuan Turunnya Agama Islam Kepada
Nabi Muhammad saw.
c. Proses Turunnya Agama Islam Kepada Nabi Muhammad saw.
d. Hubungan Agama Islam Dengan Agama Para Nabi
Sebelumnya.
e. Metode Dakwah Nabi Muhammad saw.
f. Nabi Muhammad saw Diutus Untuk Seluruh Umat Manusia
2. Sejarah Masuk dan Perkembangan Agama Islam di Indonesia
a. Asal Mula Islam Masuk ke Indonesia
b. Kegiatan Dakwah di Indonesia
c. Dakwah Islam di Indonesia dari Zaman Kerajaan Sampai
Zaman Penjajahan
d. Dakwah di Era Kemerdekaan

III. Kelompok 2
PB II: Makna Agama Islam Bagi Kehidupan
1. Pengertian Agama Islam
2. Fungsi Agama Islam
3. Karakteristik Ajaran Agama Islam
4. Ruang lingkup Ajaran Agama Islam
5. Sumber Ajaran Agama Islam
a. Al-Qur'an
b. Sunnah/Hadis
c. Ijtihad/Rakyu

IV. Kelompok 3
PB III: Manusia Beragama Islam
1. Karakteristik Manusia Beragama Islam
2. Penyebutan Manusia Dalam Al-Qur'an

13
3. Tujuan Penciptaan Manusia
4. Proses Penciptaan Manusia
5. Alam Kehidupan Manusia
6. Kedudukan Manusia
7. Potensi Manusia
8. Karakter Manusia
9. Martabat Manusia
10. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama Islam
11. Tanggung Jawab Manusia Beragama Islam
a. Konsep Tanggung Jawab Kehidupan Manusia
b. Tanggung Jawab Manusia Sebagai Hamba Allah
a) Pengertian Manusia sebagai Hamba Allah
b) Bentuk Tanggung Jawab Manusia sebagai Hamba Allah
c. Tanggung Jawab Manusia Sebagai Khalifah Allah
a) Pengertian Manusia sebagai Khalifah Allah
b) Bentuk Tanggung Jawab Manusia sebagai Khalifah Allah
d. Korelasi Tanggung Jawab Manusia sebagai Hamba Allah
dengan Tanggung Jawab Manusia sebagai Khalifah Allah

V. Kelompok 4
PB IV: Akidah atau Iman Islam
1. Pengertian Akidah atau Iman Islam
2. Ruang Lingkup Materi Akidah atau Iman Islam
3. Kedudukan Akidah atau Iman Islam
4. Pengertian dan Kedudukan Tauhid Allah dalam Ajaran Islam
5. Macam-macam Tauhid
6. Implementasi Akidah atau Iman Islam Dalam Kehidupan
a. Bentuk Implementasi Akidah atau Iman Islam Dalam
Kehidupan
b. Pengaruh Akidah atau Iman Islam Dalam Kehidupan
c. Tantangan Akidah atau Iman Islam Dalam Kehidupan Modern
d. Proses Pembentukan Akidah atau Iman
e. Tanda-tanda Orang Beriman

VI. Kelompok 5
PB V: Syariah Islam
1. Pengertian Syariah Islam
2. Ruang Lingkup Materi Syariah Islam
3. Perbedaan Syariah Islam Dengan Fikih Islam
4. Implementasi Syariah Islam Dalam Kehidupan.
a. Implementasi Ibadah Mahdhah Dalam Kehidupan.
b. Implementasi Muamalah Dalam Kehidupan Sosial
a) Implementasi Muamalah di Bidang Ekonomi
b) Implementasi Muamalah di Bidang Sosial (Pergaulan Antar
Manusia)
c) Implementasi Muamalah di Bidang Politik
d) Implementasi Muamalah di Bidang Hukum
e) Implementasi Muamalah di Bidang Kesehatan

VII. Kelompok6

14
PB VI: Akhlak Islam atau Ihsan
1. Pengertian Akhlak Islam atau Ihsan
2. Ruang Lingkup Akhlak Islam atau Ihsan
3. Nilai-Nilai Akhlak Islam atau Ihsan
4. Implementasi Akhlak atau Ihsan Dalam Kehidupan.
5. Hubungan Akhlak Dengan Akidah atau Iman
6. Hubungan Akhlak dengan Syariah atau Islam

VIII. UJIAN TENGAH SEMESTER

IX. Kelompok 7
PB VII: Aliran dan Mazhab yang Berkembang dalam Pemahaman Ajaran Islam
1. Pengertian Aliran dan Madzhab
2. Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Paham atau Madzhab Dalam
Islam
3. Aliran Yang Berkembang Di Bidang Akidah
4. Paham dan Madzhab yang Berkembang di Bidang Syariat
5. Aliran Yang Berkembang di Bidang Akhlak
6. Salah Paham Terhadap Islam
7. Metode Memahami Ajaran Agama Islam
8. Paham-paham yang Bertentangan dengan Ajaran Agama Islam

X. Kelompok 8
PB VIII: Keluarga dan Masyarakat Islam
1. Keluarga Islam
a. Pengertian Keluarga Islam
b. Karakteristik Keluarga Islam
c. Ketentuan Agama Islam dalam Pembentukan Keluarga Islam
d. Tanggungjawab Kehidupan Keluarga
2. Masyarakat Islam
a. Pengertian Masyarakat Islam
b. Karakteristik Masyarakat Islam
c. Ketentuan Agama Islam Dalam Pembentukan Masyarakat Islam
3. Kerukunan Hidup Umat Beragama
a. Persatuan
b. Kerukunan
c. Islam dan Toleransi
d. Kerukunan Hidup Interen/Sesama Umat Islam
e. Kerukunan Hidup Umat Islam dengan Non Islam
f. Kerukunan Hidup Umat Islam Dengan Pemerintah

XI. Kelompok 9
PB IX: Lembaga Islam
1. Masjid
a. Pengertian Masjid
b. Fungsi Masjid.
c. Keutamaan Memakmurkan Masjid
d. Cara dan Bentuk Memakmurkan Masjid
e. Adab Terhadap Masjid
2. Lembaga Pendidikan Islam

15
a. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam.
b. Fungsi Lembaga Pendidikan Islam
c. Prinsip-Prinsip Lembaga Pendidikan Islam
d. Tujuan Lembaga Pendidikan Islam
e. Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan Islam
f. Macam-macam Lembaga Pendidikan Islam
g. Manajemen Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam
XII. Kelompok 10
PB X: Lembaga Ekonomi Islam
1. Pengertian Lembaga Ekonomi Islam
2. Fungsi Lembaga Ekonomi Islam
3. Macam-macam Lembaga Ekonomi Islam
a. Zis (Zakat, Infak, dan Shadaqah)
b. Wakaf
c. Bank Perkreditan Rakyat Syariah
d. Bank Syariah
e. Asuransi Syariah
f. Pegadaian Syariah
g. BMT atau Baitul Mal wa Tamwil

XIII. Kelompok 11
PB.XI: Pengembangan Budaya dan Seni Berdasar Ajaran Agama Islam
1. Pengembangan Budaya Islam
a. Pengertian Budaya Islam
b. Ruang Lingkup Budaya Islam
c. Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah Tentang Budaya Islam
d. Konsep Pengembangan Budaya Islam
e. Kegunaan Budaya Islam
2. Pengembangan Seni Islam
a. Pengertian Seni Islam
b. Perspektif Al-Quran dan Sunnah Tentang Seni
c. Konsep Pengembangan Seni Islam
d. Kegunaan Seni Islam

XIV. Kelompok 12
PB.XII: Pengembangan Iptek Berdasar Ajaran Agama Islam
1. Pengertian Iptek
2. Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Iptek
3. Sunnah/Hadis Rasulullah saw Tentang Iptek
4. Konsep Pengembangan Iptek
5. Tujuan Pengembangan Iptek
6. Nilai Kebenaran Iptek
7. Kegunaan Iptek

XV. Kelompok 13
PB.XIII: Pemicu
1. Eksplorasi Masalah Pemicu
2. Analisis Masalah Pemicu Berdasarkan Ajaran Agama Islam

XVI. UJIAN AKHIR SEMESTER

16
MODUL/MATERI AJAR
MATAKULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN
AGAMA ISLAM
(MEMBANGUN PRIBADI MUSLIM MODERAT)

VERSI PEMBELAJARAN JARAK JAUH (PJJ)

Tim Penulis:

Drs. Mujilan, M.Ag.


Dr.Drs.KH.Zakky Mubarak, MA.
Dr, Drs. Kaelany HD, M.Ag.
Dr. Drs. Nurwahidin, M.Ag.
Dr.Dra.Husmiaty Hasyim, M.Ag.
Sihabudin Afroni, Lc., MA.
A. Rozaq, SS., M.Hum.
Pepen Apendi, S.Ag., M.Hum.
Ahmad, SQ., M.Ag.
Drs. Zainal Arifin, SH, MH
Drs. Surya Dwira, M.Si.
Muhamad Yusuf, M.Si.
Eneng Ervi Siti Zahroh Zidni, M.Si.
Sardi Mustaupa, S.Si., M.M.
Rusanani, S.Pd., M.Pd.I
Hidayatullah, M.Ag.
Ahmad Baedowi, M.Si.
Muhammad Barqun Safe'i, S.Sos.I., MA.

Editor :
Drs. Mujilan, M.Ag.

17
PENGELOLAAN KULIAH PENGEMBANGAN
KEPRIBADIAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS INDONESIA
TAHUN 2020-2021

KATA PENG ANTAR

Universitas Indonesia sebagai salah satu Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia


memiliki tanggung jawab dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu,
pelaksanaan program akademik berorientasi pada tercapainya sasaran pembelajaran yang
berkualitas. Dengan program itu diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang memiliki
kualitas intelektual, spiritual dan kehandalan profesional, memiliki komitmen moral dan
kepedulian sosial. Universitas Indonesia membekali mahasiswanya agar berpikir kritis, kreatif
dan inovatif. Karena itu sejak awal proses pembelajarannya, diterapkan suatu kegiatan yang
disebut Pengelolaan Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Tinggi (PKPKPT).

Materi Pembelajaran MPK Agama Islam ini disusun berdasarkan :


5. Agama Islam merupakan realita sejarah yang berkembang dari masa kemasa. Oleh
karena itu, tahap pertama dalam proses pembelajaran MPK Agama Islam melakukan
kajian sejarah agama Islam, makna agama Islam bagi kehidupan, dan manusia beragama
Islam
6. Agama Islam memiliki pokok-pokok ajaran yang mendasari sikap dan perilaku
penganutnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian tentang pokok-pokok ajaran
agama Islam dari Kitab Suci Alqur'an dan Sunnah Rasulullah saw/Hadis.
7. Agama Islam mengandung ajaran dalam dimensi sosial dan budaya Islam. Oleh karena
itu, perlu kajian tentang keluarga Islam, masyarakat Islam, kerukunan hidup umat
beragama dan hubungan antara agama Islam dengan bangsa dan negara, serta
pengembangan budaya, seni, dan iptek berdasar ajaran agama Islam.

Proses pembelajaran dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahapan perolehan


pengetahuan, tahapan latihan dan tahapan umpan balik. Mahasiswa melakukan tugas
pembelajaran secara berkelompok dan kegiatan mandiri. Kemampuan mahasiswa melakukan
tugas membahas pokok bahasan tertentu merupakan komponen keberhasilan yang diharapkan
dan pada saat membahas masalah tersebut mereka mengacu pada nilai-nilai ajaran agama
Islam dan akademik. Pada setiap pokok bahasan mahasiswa ditugaskan untuk membuat
Latihan Tugas Mandiri (LTM) yang kemudian didiskusikan bersama teman dalam
kelompoknya agar terjadi proses pembelajaran yang mendalam tentang pokok bahasan itu.
Hasil belajar mahasiswa dituangkan dalam bentuk makalah kelompok. Di akhir kegiatan
mahasiswa menyampaikan presentasi sebagi hasil belajar mandiri dan kelompoknya. Sampai
akhir kegiatan masing-masing mahasiswa memperoleh kesempatan melakukan presentasi
sebanyak satu kali. Dengan presentasi mahasiswa diharapkan lebih mampu menyampaikan
ide-ide dengan sikap dan bobot ilmiah.

Untuk mendukung tercapainya pengembangan kemampuan intelektual mahasiswa,


pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah active learning dengan menggunakan
metode collaborative learning (CL) dan problem based learning (PBL). Melalui metode
tersebut kemampuan yang diharapkan dapat dicapai mahasiswa adalah kemampuan

18
berkomunikasi dan bekerjasama dalam kelompok, mengelola informasi secara efektif,
berpikir kritis dan analitis, bersikap rasional dan mandiri, bertanggung jawab meningkatkan
iman, takwa dan akhlak mulia/etika akademik, serta menerapkan langkah-langkah solusi
masalah secara ilmiah dan didasari ajaran agama Islam yang dianutnya.

Materi pembelajaran MPK Agama Islam ini diharapkan dapat membantu mahasiswa
untuk mengembangkan kajian tentang Islam secara komprehensif guna membentuk pribadi
muslim yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berilmu, beramal,
berakhlak mulia, memiliki etos kerja yang tinggi, menjunjung tinggi dan menerapkan nilai-
nilai ajaran agama Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara,
serta menjadikan ajaran agama Islam tersebut sebagai landasan berpikir dan berperilaku
dalam pengembangan budaya, seni, iptek, dan profesinya kelak.

Depok, Agustus 2020

Koordinator MPK Agama


Universitas Indonesia,

Drs. Mujilan, M.Ag.

19
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I SEJARAH DAN MAKNA AGAMA ISLAM


1. Sejarah dan Perkembangan Agama Islam
2. Makna Agama Islam Bagi Kehidupan
3. Manusia Beragama Islam

BAB II POKOK-POKOK AJARAN AGAMA ISLAM


1. Akidah atau Iman
2. Syariah atau Islam
3. Akhlak atau Ihsan

BAB III DIMENSI SOSIAL DAN BUDAYA ISLAM


1. Keluarga Islam
2. Masyarakat Islam
3. Pranata Sosial Islam
4. Lembaga Ekonomi Islam
5. Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dalam Ajaran Agama Islam
6. Pengembangan Budaya, Seni dan Iptek Berdasar Ajaran Agama Islam

DAFTAR PUSTAKA

20
BAB I
SEJARAH DAN MAKNA AGAMA ISLAM

1. Sejarah dan Perkembangan Agama Islam


1.1. Sejarah Turun dan Perkembangan Agama Islam Pada Masa Nabi Muhammad
SAW.
1.1.1. Geografis dan Sejarah Masyarakat Arab

Jazirah Arab dibentuk oleh empat persegi panjang yang amat luas, meliputi kurang lebih
seperempat juta mil persegi. Di sebelah utara dibatasi oleh mata rantai daerah-daerah yang
terkenal dalam sejarah dengan sebutan daerah Bulan sabit yang subur (Fertile Crescent), yaitu
daerah Mesopotania, Syiria, dan Palestina, dengan tanah perbatasan yang berpadang pasir; di
sebelah timur dan selatan dibatasi oleh Teluk Parsi dan Samudera Hindia; sebelah barat
dibatasi Laut Merah. Daerah barat-daya dari Yaman terdiri dari kota-kota pegunungan yang
mengandung banyak air, yang sejak dulu kala memungkinkan pertumbuhan pertanian dan
perkembangan kebudayaannya yang relatif maju. Sisanya terdiri dari stepa (tanah datar yang
luas dan kering) yang tidak mengandung air dan merupakan padang pasir, diselingi oleh oasis
(tanah subur di tengah gurun pasir) yang secara kebetulan ada; dan dari beberapa jalan kafilah
dan jalan perniagaan. Penduduknya terutama terdiri dari orang desa nomaden, yang hidup dari
peternakan, perniagaan ke daerah oasis dan daerah tetangganya yang sudah menggarap tanah
(Lewis:1994: 1).

Padang pasir negeri Arab ini berjenis-jenis, dan yang terpenting adalah yang disebut
Nufud, yaitu lautan aneka ragam bukit pasir yang selalu bergeser, sehingga merupakan
pemandangan alam dengan lingkungan yang selalu berubah, tanahnya agak keras dan terletak
di daerah yang semakin mendekati Syria dan Irak; daerah stepa yang tanahnya lebih pepat,
yang kebetulan air hujan dapat mengairinya, menghasilkan tanaman rempah-rempah dan
tanaman keras. Sisa daerah lainnya adalah padang pasir yang sangat luas dan tak dapat
ditembus orang dari arah barat daya. Komunikasi antar daerah sangat terbatas dan sulit, sama
sekali tergantung ada tidaknya wadi (jalur sungai yang mengiring), sehingga penduduk daerah
yang saling berjauhan hanya sedikit sekali kesempatannya untuk saling mengadakan kontak
satu sama lain (Lewis:1994: 1).

Bagian tengah dan utara jazirah, secara tradisional oleh orang Arab dibagi menjadi tiga
lingkungan (zone). Pertama Tihama, berasal dari bahasa Semit yang berarti tanah rendah,
yaitu tanah datar yang dirombak, dan lereng-lereng disepanjang pantai Laut Merah. Kedua,
Hijaz, yang berarti rintangan, membujur ketimur. Istilah ini asal mulanya diartikan bagi
sederertan pegunungan yang semata-mata memisahkan daerah pantai tanah datar dari plateu
(dataran tinggi) Najd, sebagian terbesar dari padanya adalah padang pasir Nufud (Lewis:1994:
2).

21
Sejak zaman dahulu kala, negeri Arab telah tumbuh menjadi daerah transit antara
negeri-negeri di Laut Merah dan Timur Jauh, dan sejarahnya berkembang semakin meluas
disebabkan oleh kesibukan lalu-lintas antara Timur dan Barat. Komunikasi ke dalam dan ke
luar jazirah Arab didukung oleh bentuk geografisnya, melewati jalur-jalur tertentu yang
terjaga dengan baik. Yang pertama dari jalur-jalur itu ialah jalan raya Hijaz, mulai dari
pelabuhan-pelabuhan Laut Merah dan pos-pos perbatasan Palestina dan Transyordania,
menelusur bagian tengah pantai-pantai Laut Merah terus menuju ke Yaman. Jalan inilah yang
dari masa ke masa ramai oleh deretan kafilah, antara kerajaan Alexandria dan pengganti-
penggantinya di Timur Dekat dengan negeri-negeri Asia Jauh. Di daerah itu pulalah terletak
jalan kereta api Hijaz (Lewis:1994: 2).

Jalur kedua melewati Wadi’d Dawasir, mulai dari penghujung timur-laut Yaman ke
pusat negeri Arab, yang menghubungkannya dengan jalur-jalur lain, yaitu Wadi’s Rumma, ke
selatan Mesopotamia. Jalur tersebut adalah penghubung (medium) yang utama pada masa
dulu antara Yaman dengan kebudayaan-kebudayaan Asyiria dan Babilonia. Akhirnya wadi’s
Sirhan yang mengaitkan Arab Tengah dengan tetangga Syria via oasis Jawf (Lewis:1994: 2).

Para ahli geografi purba membagi Jazirah Arabia sebagai berikut:


a. Arabia Petrix, yaitu daerah-daerah yang terletak di sebelah barat daya Lembah Syiria.
b. Arabia Deserta, yaitu daerah Syiria sendiri.
c. Arabia Felix, yaitu negeri Yaman yang terkenal dengan nama Bumi Hijau (Amin: 2010:
55).

Ahli sejarah membagi penduduk Jazirah Arab sebagai berikut:


1. Arab Baidah (bangsa Arab yang telah punah), yaitu orang-orang Arab yang telah lenyap
jejaknya dan tidak diketahui lagi, kecuali karena tersebut dalam kitab-kitab suci, seperti
kaum Ad, dan Tsamud. Di antara Kabilah mereka yang termasyhur, yaitu Ad, Tsamud,
Thasam, Jadis, dan Jurhum
2. Arab Baqiyah (bangsa Arab yang masih lestari), dan mereka terbagi dalam dua kelompok,
yaitu sebagai berikut.
a. Arab Aribah, yaitu kelompok Qathan, dan tanah air mereka yaitu Yaman. Di antara
kabilah-kabilah mereka yang terkenal, yaitu Jurhum, Ya’rab, dan dari Ya’rab ini
lahirlah suku-suku Kahlan dan Himyar.
b. Arab Musta’ribah, mereka adalah sebagian besar penduduk Arabia dari dusun sampai
ke kota, yaitu mereka yang mendiami bagian tengah jazirah Arabia dan negeri Hijaz
sampai Lembah Syria. Mereka dinamakan Arab Musta’ribah karena pada waktu
Jurhum dari suku Qahtaniyah mendiami Mekah, mereka tinggal bersama Nabi Ibrahim
as. serta ibunya, di mana kemudian Ibrahim dan putra-putranya mempelajari bahasa
Arab. Dari merekalah kemudian timbul bermacam kaum dan suku Arab, termasuk
kaum Quraisy yang tumbuh dari induk suku Adnan Amin: 2010: 56).

Diantara suku-suku yang hidup dan berpengaruh di jazirah Arab adalah suku Quraisy,
dan suku Quraisy terbagi menjadi beberapa kabilah, diantaranya yang terkenal adalah Jumh,
Sham, Ady, Makhzum, Taim, Zuhroh, dan marga-marga Qushay bin Kilab, yaitu: Abdud Dar
bin Qushay, Asad bin Abdul Uzza bin Qushay dan Abdu Manaf bin Qushay. Abdu Manaf
memiliki 4 anak: Abdu Syams, Naufal, al-Muththalib, dan Hasyim. Dari keluarga Hasyim
inilah Nabi Muhammad saw lahir. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Muththalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murroh bin Ka’ab bin
Lu’ai bin Ghalib bin Fihir bin Malik bin Nadhor bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah
bin Ilyas bin Mudhor bin Nizar bin Ma’ad bin ’Adnan (setelah ’Adnan tidak ada riwayat yang

22
shahih sampai Nabi Adam AS) (Al- Bajuri: 12). Sedangkan keturunan Nabi Muhammad dari
garis ibu adalah Muhammad bin Aminah binti Wahab bin Abdul Manaf bin Zuhroh bin Kilab.
Dari Kilab garis keturunan Nabi Muhammad saw dari garis ibunya Aminah bertemu dengan
garis keturunan ayahnya Abdullah. (Al- Bajuri: 12 dan Al- Mubarakfuri: 2013: 24).

Hasyim merupakan pembesar kabilah pada zamannya. Ia disebut dengan panggilan


Hasyim (penghancur), karena dia rutin meremukkan (hasyama) roti kering untuk dicampur
dengan daging, lalu dijadikan bubur. Bubur itu ia tinggalkan sehingga bisa dimakan banyak
orang hingga kemudian dia dijuluki Hasyim. Adapun nama aslinya adalah ’Amr. Hasyim-lah
orang yang mencetuskan dua perjalanan musim panas ke Syam. Dia juga dikenal dengan
panggilan Sayyid Al- Bathha’ (pemimpin Al- Bathha) (Al- Mubarakfuri: 2013:25).

1.1.2. Latar Belakang dan Tujuan Turunnya Agama Islam Kepada Nabi Muhammad
saw.

Nabi Muhammad saw dilahirkan di tengah-tengah Bani Hasyim di Makkah pada hari
Senin pagi, 9 Rabi’ul Awwal (Al-Mubarakfuri: 2013: 27). Ada pula yang mengatakan tanggal
12 Rabi’ul Awwal Tahun Gajah, yang bertepatan dengan 22 April 571 M. Bidan yang
membantu kelahiran beliau adalah Al- Syifa binti ’Amr, ibunda Abdurrahman ibn ’Auf.
Ketika melahirkan Rasulullah saw, terpancarlah cahaya dari Aminah yang menerangi istana-
istana yang ada di Syam. Kemudian Al- Shifa datang mengabarkan kepada Abdul Muththalib
tentang kelahiran Rasulullah saw. Abdul Muththalib lalu datang dengan sumringah dan
bergembira. Dia membawa dan memasukkan bayi Aminah ke Ka’bah, bersyukur kepada
Allah, lalu mendoakan dan menamainya Muhammad, dengan harapan cucunya itu menjadi
orang yang terpuji dimasa yang akan datang (Al- Mubarakfuri: 2013: 27). Abdul Muththalib
selanjutnya mengadakan aqiqah dan mengkhitan Muhammad pada hari ketujuh setelah
kelahiran, dan memberi makan kepada orang-orang sebagaimana kebiasaan bangsa Arab
ketika dikaruniai anak (Al- Mubarakfuri: 2013: 27). Muhammad kecil kemudian di asuh oleh
Ummu Aiman, seorang wanita berkebangsaan Habsyah (Etiopia) yang merupakan hamba
sahaya ayahnya, Abdullah. Ummu Aiman tetap menjadi hamba sahaya sampai dia masuk
Islam, lalu turut berhijrah, dan meninggal dunia lima atau enam bulan setelah Nabi
Muhammad saw. wafat (Al- Mubarakfuri: 2013:27).

Sejak kecil Nabi Muhammad saw. tumbuh dewasa menjadi seorang yang berakal sehat,
energik, dan berperangai baik. Beliau tumbuh dewasa dengan menghimpun segenap sifat-sifat
terpuji dan adab yang mulia. Beliau menjadi teladan utama bagi manusia dalam hal pemikiran
yang benar dan pandangan yang lurus. Sebagaimana beliau menjadi contoh terbaik dalam hal
akhlak mulia, perangai baik, keistimewaan dalam kejujuran, sifat amanah, kepribadian,
keberanian, keadilan, kebijaksanaan, kewaspadaan (dari hal-hal tidak baik), sikap hidup
zuhud, qana’ah, kesabaran, syukur, malu, memenuhi janji, rendah hati, dan sikap untuk saling
menasihati (Al- Mubarakfuri: 2013:38).

Muhammad saw. juga dikenal sebagai orang yang gemar menyambung silaturahim (tali
kekerabatan), sanggup menanggung beban berat dalam hidup manusia, mau membantu orang
yang kesulitan dalam menyambung hidup dengan menunjukkan lapangan pekerjaan,
memuliakan tamu, dan membenci hal-hal yang sifatnya khurafat (mitos atau takhayul) dan
keburukan yang tengah merebak di kaumnya. Muhammad saw. tidak pernah ikut merayakan
berbagai hari perayaan untuk menyembah berhala dan perayaan-perayaan kemusyrikan.
Beliau juga tidak mau memakan daging yang dipersembahkan untuk berhala atau disembelih

23
dengan menyebut nama-nama selain nama Allah. Hampir-hampir beliau tidak sanggup
menahan emosi ketika seseorang bersumpah dengan nama Lata dan Uzza, apalagi menyentuh
patung-patung sembahan tersebut atau mendekatkan diri kepada mereka. Muhammad saw.
tidak pernah meminum khamr dan masuk ketempat-tempat hiburan. Beliau tidak pernah
menghadiri acara-acara hiburan dan pesta, atau mendatangi klub-klub malam yang menjadi
tempat bersenang-senang para pemuda dan tempat berkumpulnya para pecinta pesta di
Mekkah (Al- Mubarakfuri: 2013: 38).

Sejak masih muda Muhammad saw telah menunjukkan sifat yang istimewa. Umur 6
tahun diajak berziarah oleh ibunya dan pembantunya Ummu Aiman ke kuburan ayahnya di
Madinah dan juga berziarah kepada keluarganya yang ada di Madinah, ketika beliau kembali
dari Madinah bersama Aminah dan Ummu Aiman, Aminah wafat di tengah perjalanan saat
kembali ke Mekah. Sejak itulah Muhammad menjadi yatim piatu dan kembali ke Mekah
dengan Ummu Aimah (Syamrakh: 2010), kemudian dia ikut kakeknya, Abdul Mutthalib. Dua
tahun kemudian kakeknya meninggal, dan dia diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Ketika
umur 12 tahun, Muhammad dibawa pamannya turut serta dengan kafilah dagang ke Syam
(Suriah). Seorang pendeta Kristen bernama Buhairah, bergetar hatinya ketika memandang
dari atas biaranya. Awan yang bergumpal menaungi kafilah mengendarai unta di dalam
kafilah yang sedang menuju kota, inilah roh kebenaran yang dijanjikan itu, pikirnya.
Berdasarkan petunjuk Taurat dan Injil, Pendeta itu mengetahui ciri-ciri seorang Nabi yang
akan datang di akhir zaman. Maka ia berpesan kepada Abu Talib agar menjaga anak tersebut,
jangan sampai diketahui orang-orang yang dengki.

Umur 25 tahun Muhammad saw menikah dengan Khadijah dan dikaruniai 6 orang anak:
2 putra: Qasim dan Abdullah, dan 4 putri: Zainab, Ruqaiyah, Ummu Kalsum, dan Fatimah.
Pada umur 35 tahun Muhammad SAW dapat menyelesaikan suatu peristiwa yang hampir
menimbulkan perselisihan antar suku, ketika para suku itu masing-masing merasa lebih
berhak untuk meletakkan Hajar Aswad di tempatnya. Muhammad saw mengambil surbannya
dan meletakkan batu itu di atasnya, dan mempersilakan secara bersama setiap kepala suku
membawanya. Atas keputusannya yang melegakan semua pihak itu ia dijuluki Al-Amin,
artinya orang yang terpercaya. Menjelang umur 40 tahun ia sering mengasingkan diri ke Gua
Hira', sekitar 6 km dari Kota Mekah.

Dengan latar belakang kondisi bangsa Arab yang telah diuraikan di atas maka masa
dimana Muhammad dilahirkan disebut dengan zaman Jahiliah, masa kegelapan dan
kebodohan dalam hal agama, sehingga keadaan seperti ini mendorong nabi untuk bertahanus
di Gua Hira, untuk mendapat ketenangan dan petunjuk dari Allah swt. Beliau merasa prihatin
atas kondisi bangsa Arab yang menyembah berhala. Di tempat inilah beliau menerima wahyu
pertama, yang berupa Surah al-‘Alaq ayat 1-5. Dengan wahyu pertama ini, maka beliau telah
diangkat menjadi Nabi, utusan Allah (Amin: 2010: 65).

1.1.3. Proses Turunnya Agama Islam Kepada Nabi Muhammad SAW.

Pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 dari usianya (tahun Gajah)/6 Agustus 611 M, ia
melihat cahaya terang benderang memenuhi ruang gua Hira'. Tiba-tiba suatu makhluk unik
berada di depannya lalu memerintah: “Iqra’”! (bacalah). Muhammad menjawab, “Saya tak
pandai membaca.” Setelah tiga kali diulang, dan Muhammad menjawab serupa, makhluk unik
yang kemudian diketahui sebagai Jibril itu memeluk Muhammad saw erat-erat, lalu
menyampaikan wahyu sebagaimana tertera dalam QS. 96 (Al-'Alaq): 1-5.

24
Dengan turunnya wahyu pertama ini resmilah Muhammad SAW sebagai Nabi dan
Rasul. Beberapa minggu kemudian Jibril datang kembali dan menyampaikan wahyu
sebagaimana tertera dalam QS. 68 (Al-Qalam).

Dalam hal ini dakwah Nabi Muhammad SAW dibagi menjadi dua periode yaitu:
a. Periode Mekah, ciri pokok dari periode ini adalah pembinaan dan pendidikan tauhid
(dalam arti luas);
b. Periode Madinah, ciri pokok dari periode ini adalah pendidikan sosial dan politik
(dalam arti luas) (Amin: 2010: 65).

1.1.4. Hubungan Agama Islam Dengan Agama Para Nabi Sebelumnya.

Para Nabi dan Rasul sepanjang sejarah kehidupan manusia dari manusia pertama, Adam
as sampai ke nabi terakhir, Muhammad saw cukup banyak. Namun secara pasti jumlahnya
tidak diketahui. Dalam QS. 35 (Fathir) : 24 Allah berfirman yang artinya:

“ Tidak satu umat (kelompok masyarakat) pun kecuali telah pernah diutus kepadanya
seorang pembawa peringatan”. (QS. 35:24).”

Pada dasarnya setiap manusia telah ada hidayah yang menyertai kelahirannya, yaitu
instink (naluri) untuk mempertahankan hidupnya, kemudian dilengkapi dengan panca-indera,
akal atau fitrah dan qolbu untuk menerima kebenaran. Dan dengan akal sehatnya seseorang
akan memahami apa yang baik dan apa yang buruk, sebagaimana firman Allah dalam QS. 17
(Al-Isra') : 15. Allah berfirman:

1.1.5. Metode Dakwah Nabi Muhammad SAW.

Wahyu-wahyu pertama sampai ketiga turun dengan tema-tema yang sesuai dengan masa
pemantapan, yaitu perintah:
1. Membaca, iqra’ (sebagai sarana yang paling penting dalam menuntut ilmu)
2. Dalam menuntut ilmu (mencari dan menggali ilmu pengetahuan) hendaklah atas dasar
iman kepada Pencipta, sehingga segala ilmu yang diperoleh senantiasa berorientasi untuk
mengabdi kepada-Nya, dan untuk menggapai keridhaan-Nya.
3. Pentingnya alat (sarana) mencari dan menyebarkan ilmu pengetahuan: Iqra’ (membaca),
perlunya menulis dan alat tulis (‘allama bil-qalam) dan Nun (ada yang menafsirkan
dengan tinta).
4. Sebelum adanya kewajiban shalat 5 waktu, telah ada perintah kepada Nabi shalat malam
(tahajud), dan agar Nabi banyak membaca Alqur'an.
5. Keseimbangan antara memperbanyak ibadah (di waktu malam) dan bekerja keras (di
siang hari) untuk kehidupan dan perjuangan di jalan Allah.

Wahyu ke-empat adalah QS. 74 (Al-Muddatstsir) : 1-7 yang memerintah Nabi untuk
bangkit menyampaikan dakwah:

Dengan turunnya Surah Al-Muddatstsir ayat 1-7 tersebut, mulailah Rasulullah saw
berdakwah. Pertama-tama, ia melakukannya secara diam-diam di lingkungan rumah dan
keluarganya sendiri serta di kalangan rekan-rekannya. Dengan demikian, maka orang yang

25
pertama kali menyambut dakwahnya adalah Khadijah, istrinya. Dialah wanita yang pertama
kali masuk Islam, menyusul setelah itu adalah Ali bin Abi Thalib, dialah pemuda muslim
pertama. Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Ia merupakan pria
dewasa yang pertama masuk Islam. Lalu menyusul Zaid bin Haritsah, bekas budak yang telah
menjadi anak angkatnya, dan Ummu Aiman, pengasuh Nabi Muhammad saw sejak ibunya
masih hidup.

Dakwah yang dilakukan Nabi secara sembunyi-sembunyi, adalah dakwah yang terjadi
pada periode Mekkah, pada tiga tahun pertama (Amin: 2010: 65). Abu Bakar dikenal dengan
tonggak mata rantai masuk Islamnya sahabat yang mendapat julukan Assabiqunal Awwalun
(orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam), mereka adalah Utsman bin Affan, Zubair bin
Awwan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdul Rahman bin ‘Auf, Talhah bin Ubaidillah, Abu
‘Ubaidillah bin Jarrah, dan al- Arqam bin Abil Arqam, yang rumahnya dijadikan markas
untuk berdakwah (rumah Arqam) (Amin: 2010: 66).

Setelah beberapa lama Nabi SAW menjalankan dakwah secara diam-diam, turunlah
perintah agar Nabi saw melakukan dakwah secara terang-terangan. Turunnya ayat 94 Surat
Al- Hijr, adalah perintah kepada Nabi Muhammad saw untuk memulai berdakwah secara
terang-terangan (Amin: 2010: 66) . Hal tersebut difirmankan Allah dalam QS.15 (Al- Hijr):
94.

Mula-mula dia mengundang kerabat karibnya dalam sebuah jamuan. Namun, dakwah
yang dilakukan Nabi tidak mudah karena mendapat tantangan dari kaum kafir Quraisy. Hal
tersebut timbul karena beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:

1. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa
tunduk kepada seruan Nabi Muhammad SAW. berarti tunduk kepada pimpinan Bani
Abdul Muthallib.
2. Nabi Muhammad saw menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya.
3. Para pimpinan Quraisy tidak mau percaya ataupun mengakui serta tidak menerima ajaran
tentang kebangkitan kembali dan pembalasan akhirat.
4. Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa Arab,
sehingga sangat berat bagi mereka untuk meninggalkan agama nenek moyang dan
mengikuti agama Islam.
5. Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki (Amin: 2010:
66).

Khutbah Nabi Muhammad saw kepada kerabatnya membuat orang marah. Sebagian
yang hadir ada yang berteriak-teriak marah dan ada yang mengejeknya gila. Namun ada pula
yang diam saja. Pada kesempatan itu Abu Lahab berteriak, ”Celakalah engkau hai
Muhammad. Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?” Sebagai balasan terhadap ucapan
Abu Lahab ini turunlah ayat yang menjelaskan tentang perbuatan Abu Lahab, yaitu QS. 111
(Al-Lahab).

Reaksi-reaksi keras yang menentang dakwah Nabi Muhammad SAW bermunculan.


Namun, usaha-usaha dakwahnya tetap dilanjutkan terus tanpa mengenal lelah, sehingga
hasilnya mulai nyata. Jumlah pengikut Nabi Muhammad SAW yang tadinya hanya belasan
orang, makin hari makin bertambah. Hampir setiap hari ada yang bergabung kedalam barisan
pemeluk Islam. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, kaum budak, pekerja, dan orang-
orang miskin serta lemah, namun semangat yang mendorong mereka beriman sangat

26
membaja. Tantangan yang paling keras terhadap dakwah Nabi Muhammad SAW datang dari
para penguasa dan pengusaha Mekah, kaum feodal, dan para pemilik budak. Mereka
menyusun siasat untuk dapat melepaskan hubungan antara Abu Thalib dan Nabi Muhammad
saw. Mereka meminta agar Abu Thalib memilih satu di antara dua: memerintahkan Nabi
Muhammad SAW agar berhenti dari dakwah atau menyerahkan keponakannya itu kepada
mereka. Abu Thalib terpengaruh dengan ancaman tersebut dan dia minta agar Nabi
Muhammad saw menghentikan dakwahnya, tetapi Nabi Muhammad SAW menolak
permintaan pamannya itu, dan bersabda yang artinya: “Demi Allah, saya tidak akan berhenti
memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara
mengucilkan saya.”Mendengar jawaban kemenakannya itu, Abu Thalib kemudian berkata:
“Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu.

Gagal dengan cara ini, mereka kemudian mengutus Walid bin Mughirah dengan
membawa seorang pemuda untuk dipertukarkan dengan Nabi Muhammad SAW. Pemuda itu
bernama Umarah bin Walid, seorang pemuda yang gagah dan tampan. Walid bin Mughirah
berkata: “Ambillah dia menjadi anak saudara, tetapi serahkan kepada kami Muhammad untuk
kami bunuh, karena dia telah menentang kami dan memecah belah kita.” Usul kaum Quraisy
itu langsung ditolak keras oleh Abu Thalib dengan berkata: ”Sungguh jahat pikiran kalian.
Kalian serahkan anak kalian untuk saya asuh dan beri makan, dan saya serahkan kemenakan
saya untuk kalian bunuh. Sungguh suatu saran yang tak mungkin bisa saya terima.”.

Setelah gagal membujuk Nabi Muhammad SAW dengan diplomatik dan bujuk rayu,
kaum Quraisy mulai melakukan tindakan kekerasan. Mereka mempergunakan kekerasan fisik
setelah mengetahui bahwa rumah tangga mereka sendiri, para budak mereka juga sudah
banyak yang memeluk agama Islam. Setiap suku menghukum dan menyiksa anggota
keluarganya yang masuk Islam sampai dia murtad kembali. Usman bin Affan, misalnya,
dikurung dalam kamar gelap dan dipukuli sampai babak belur oleh anggota keluarganya
sendiri. Kekejaman yang dilakukan oleh penduduk Mekah terhadap kaum muslimin itu
mendorong Nabi Muhammad SAW untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya keluar Mekah.
Dengan pertimbangan yang mendalam, pada tahun kelima kerasulannya, Nabi Muhammad
saw menetapkan Abessinia atau Habasyah (Ethiopia) sebagai negeri tempat pengungsian,
karena raja negeri itu adalah seorang yang adil, lapang hati, dan suka menerima tamu. Ia
merasa pasti bahwa pengikutnya akan diterima dengan terbuka. Rombongan pertama yang
terdiri dari 10 orang pria dan 5 orang wanita berangkat. Di antara anggota rombongan terdapat
Usman bin Affan beserta isterinya Ruqaiyah, (putri Rasulullah saw), Zubair bin Awwam, dan
Abdurrahman bin ‘Auf. Kemudian menyusul rombongan kedua dipimpin oleh Ja’far bin Abi
Thalib. Ada yang mengatakan rombongan ini terdiri dari 80 pria. Sumber lain menyebutkan
mereka terdiri dari 83 pria dan 18 wanita.

Menguatnya posisi Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tersebut membuat reaksi
kaum Quraisy semakin keras. Karena mereka berpendapat bahwa kekuatan Nabi Muhammad
SAW terletak pada perlindungan Bani Hasyim, maka mereka berusaha melumpuhkan Bani
Hasyim secara keseluruhan dengan melakukan blokade. Mereka memutuskan segala bentuk
hubungan dengan suku ini. Tidak seorang pun penduduk Mekah boleh melakukan hubungan
dengan Bani Hasyim, termasuk hubungan jual-beli dan pernikahan. Persetujuan yang mereka
buat dalam bentuk piagam itu mereka tandatangani bersama-sama dan mereka gantungkan di
atas Ka’bah. Akibatnya, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan.

1.1.6. Nabi Muhammad SAW Diutus Untuk Seluruh Umat Manusia

27
Ada sementara orientalis yang menduga bahwa Nabi Muhammad SAW mulanya hanya
bermaksud mengajarkan agamanya kepada orang-orang Arab, tetapi setelah beliau berhasil di
Madinah, beliau memperluas dakwahnya untuk seluruh manusia. Pendapat ini keliru, karena
bertentangan dengan firman Allah dalam QS. 34 (Saba') : 28.

Mengenai kesempurnaan agama Islam yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW dijelaskan
oleh Allah dengan firman-Nya dalam QS. 5 (Al-Maidah) :3.

1.2. Sejarah Masuk dan Perkembangan Agama Islam di Indonesia


1.2.1. Asal Mula Islam Masuk ke Indonesia

Para sejarawan berbeda pendapat tentang awal mula masuknya Islam ke Indonesia
apakah pada abad ke-7 (abad 1 Hijriah)?. Pendapat yang umum mengatakan Islam baru
berkembang di nusantara pada abad ke 13 M. Mereka berpatokan pada bukti-bukti keberadaan
pemerintahan Islam. Bukti perkembangan Islam di Indonesia yang cepat pada abad ke 15-16
M dan pendapat yang menyatakan bahwa Islam baru ada di Indonesia pada abad ke 13, bukan
berarti sebelum itu Islam belum masuk ke Indonesia. Di Jawa Timur, Leran (Gresik), telah
ditemukan batu nisan bertanggal 1082 M dari Fatimah Binti Maimun yang menunjukkan
adanya penganut Islam pada abad ke 11 M. Selain itu, catatan perjalanan yang dibuat orang
Cina dari zaman dinasti T’ang, menunjukkan bahwa telah ada komunitas muslim, khususnya
di Utara Sumatera, pada abad ke 7 Masehi (Thomas W. Arnold, tt.) Ironisnya, tidak ada
catatan dari orang Arab tentang komunitas mereka di Asia Tenggara. Catatan orang Arab
tentang Islam di Indonesia baru ada pada abad ke 14 M dari Ibnu Batutah.

Terkait dengan polemik kapan masuknya Islam ke Indonesia untuk pertama kalinya,
berdasarkan historiografi klasik terdapat empat grand pointer (Mubarak: 2014: 149):

1. Islam dibawa langsung dari Arab


2. Islam diperkenalkan oleh para guru dan juru dakwah professional (yaitu mereka yang
khusus bertugas menyebarkan ajaran Islam semisal zending).
3. Penduduk yang mula-mula masuk Islam berasal dari kalangan penguasa, dan
4. Mayoritas para juru dakwah professional datang pada abad ke- 12 dan ke-13.

Selanjutnya untuk memperkuat grand pointer di atas, Mubarak dalam bukunya


mengambil pendapat Azra yang mengatakan bahwa meskipun mungkin Islam telah
diperkenalkan ke Nusantara sejak abad pertama Hijrah (abad ke-7 M), tetapi hanya setelah
abad ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata dan proses Islamisasi baru mengalami
akselerasi antara abad ke- 12 dan abad ke- 16 (Mubarak: 2014: 149).

Mengenai tempat asal datangnya Islam ke Indonesia atau Asia Tenggara secara umum,
menurut Azra, sedikitnya ada tiga teori besar (Azra: 2005: 17-19):

1. Teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, atau tepatnya
Hadramaut. Teori ini dikemukakan Crawfurd, Keyzer, Niemann, De Hollander, dan Veth.
Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab, meskipun ia menyebut
adanya hubungan dengan orang-orang Mohammedan di India Timur. Keyzer beranggapan
bahwa Islam datang dari Mesir yang bermadzhab Syafi’i. Teori semacam ini dikemukakan
juga oleh Hamka dalam seminar Sejarah Masuknya Islam di Indonesia, pada 1962.

28
Menurutnya, Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab, bukan melalui India, dan
bukan pula pada abad ke-11, melainkan pada abad I Hijriyah/ abad VII Masehi.
2. Teori yang mengatakan bahwa Islam datang dari India. Teori ini dikemukakan Pijnapel
tahun 1872. Ia menyimpulkan, dari catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo dan Ibnu
Batutta, bahwa orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India
yang membawa Islam ke Asia Tenggara melalui jalur perdagangan. Teori ini
dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang melihat para pedagang kota pelabuhan Dakka
di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah ini. Kemudian teori Snouck ini
dikembangkan oleh Morrison pada 1951. Ia menunjukkan pantai Koromandel di India
sebagai tempat bertolaknya para pedagang muslim dalam pelayaran mereka menuju
Nusantara.
3. Teori yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (kini
Bangladesh). Dia mengutip Tome Pures yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang
terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Di samping itu, Islam
muncul pertama kali di Semenanjung Malaya, dari arah pantai timur, bukan dari Barat
(Malaka), pada abad ke-11, melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu.
Ia beralasan bahwa secara doktrin, Islam di Semenanjung lebih mirip dengan Islam di
Phanrang; elemen-elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ada
di Leran. Kemungkinan besar teori yang ketiga ini hanya perkiraan belaka, sebab mazhab
yang dominan di Benggala adalah madzhab Hanafi, sementara mayoritas muslim di
Semenanjung dan Nusantara secara keseluruhan bermadzhab Syafi’i.

1.2.2.Kegiatan Dakwah di Indonesia

Secara etimologis, kata dakwah merupakan bentuk masdar dari kata yad'u (fi'il
mudhari') dan da'a (fi'il madli) yang artinya adalah memanggil (to call), mengundang (to
invite), mengajak (to summer), menyeru (to propo), mendorong (to urge) dan memohon (to
pray). Selain kata dakwah, Alqur’an juga menyebutkan kata yang memiliki pengertian yang
hampir sama dengan dakwah, yakni kata tabligh yang berarti penyampaian, dan bayan yang
berarti penjelasan. (Pimay, 2006: 2).

Sedangkan pengertian dakwah secara terminologi dapat dilihat dari pendapat beberapa
ahli antara lain:
a. Samsul Munir Amin (2009: 6) menyebutkan bahwa dakwah merupakan bagian yang
sangat esensial dalam kehidupan seorang muslim, dimana esensinya berada pada ajakan,
dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima
ajaran agama Islam dengan penuh kesadaran demi keuntungan dirinya dan bukan untuk
kepentingan pengajaknya.
b. Wahidin Saputra (2011: 2) menyebutkan dakwah adalah menjadikan perilaku muslim
dalam menjalankan Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin yang harus didakwahkan
kepada seluruh manusia.

Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW agar berlaku lembut kepada setiap orang,
dan perlakuan lemah lembut itulah yang melapangkan jalan serta membukakan hati orang
untuk menerima Islam, sebagaimana dinyatakan dalam QS. 3 (Ali Imran).

Dakwah yang dilakukan oleh para ulama' di Indonesia sangat memperhatikan kondisi
sosial budaya masyarakat Indonesia. Karena itu metode yang dipergunakan dalam berdakwah
adalah:

29
a. Keteladanan
Para ulama' menunjukkan contoh yang konkrit dalam menjalani kehidupan sehari-hari
sebagai manusia teladan. Praktik kehidupan yang mereka tampilkan menjadi daya tarik
betapa indahnya hidup dalam Islam, seperti kesantunan dalam berbicara, kejujuran, murah
hati dengan suka menolong orang yang kesusahan, dll.
b. Ceramah
Ceramah agama Islam merupakan dakwah model klasik dengan mengajak orang untuk
diberikan pencerahan tentang ajaran Islam.
c. Perkawinan
Perkawinan menjadi metode dakwah yang sangat efektif dalam berdakwah hingga saat ini,
hanya saja jangkauannya yang sangat terbatas, biasanya terbatas pada istri dan
keluarganya.
d. Menggunakan kesenian sebagai daya tarik massa;
Pada masa awal perkembangan Islam di Indonesia ketika media massa belum berkembang
seperti saat ini, kesenian mempunyai daya tarik yang kuat untuk memanggil massa.
Melalui pagelaran kesenian tersebut dakwah dimasukkan dalam substansi kesenian atau
disajikan disela-sela pagelaran kesenian.
e. Pendekatan tasawuf (mistisisme dalam Islam).
Ketika Islam masuk ke Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia menganut agama
Hindu dan Buddha. Titik temu antara ajaran agama Islam dengan ajaran Hindu dan
Buddha adalah melalui ajaran tasawuf, seperti dzikir, doa, i'tikaf, dll.

Diantara para ulama' yang sangat berperan dalam dakwah Islam di Indonesia adalah
yang dikenal dengan sebutan Wali Songo, yaitu:

1. Sunan Gresik (w. 12 Rabi'ul Awal 822 H)


2. Sunan Ampel (w. 1481)
3. Sunan Bonang (w.1525 M)
4. Sunan Drajat (w. abad ke-16)
5. Sunan Kudus (w. 1550 M)
6. Sunan Giri (w. 1506)
7. Sunan Kalijaga (w. prtengahan abad ke-15)
8. Sunan Muria
9. Sunan Gunung Jati

1.2.3. Dakwah Islam di Indonesia dari Zaman Kerajaan Sampai Zaman Penjajahan

Dalam waktu yang relatif sangat cepat, ternyata agama Islam dapat diterima dengan
baik oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, mulai dari rakyat jelata hingga raja-raja.
Penganut agama Islam pada akhir abad ke-6 H (abad ke- 12 M), dan tahun-tahun selanjutnya,
berhasil menjadi suatu kekuatan muslim Indonesia yang ditakuti dan diperhitungkan. Ada
beberapa hal yang menyebabkan agama Islam cepat berkembang di Indonesia (Amin: 2010:
316-317). Menurut Dr. Adil Muhyiddin Al- Allusi, seorang penulis sejarah Islam dari Timur
Tengah, dalam bukunya Al- Urubatu wal Islamu fi Janubi Syarqi Asia al-Hindu wa Indonesia
(Al-Allusi: 1988), ada tiga faktor yang menyebabkan Islam cepat berkembang di Indonesia,
yaitu :

1. Faktor Agama

30
2. Faktor Politik
3. Faktor Ekonomi

Kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia dan mempunyai peran besar dalam
meletakkan dasar agama Islam di Indonesia dalam proses penyebaran agama Islam di
Indonesia adalah:

1. Kerajaan Perlak
2. Kerajaan Samudra Pasai
3. Kerajaan Aceh Darussalam
4. Kerajaan Siak
5. Kerajaan Islam Palembang Darussalam
6. Kerajaan Demak
7. Kerajaan Pajang
8. Kerajaan Mataram Islam
9. Kerajaan Cirebon
10. Kerajaan Banten
11. Kerajaan Sukadana (Kalimantan Barat)
12. Kerajaan Banjar (abad ke-16)
13. Kerajaan Goa (Makasar)
14. Kerajaan Bugis
15. Kerajaan Ternate
16. Kerajaan Tidore
17. Kerajaan Bacan
18. Kerajaan Jailolo
19. Kesultanan Buton (Abad ke-16)
20. Kesultanan Kutai (Abad ke-16)
21. Kesultanan Bima (Abad ke-17)

Kedatangan Belanda dan Portugis atau orang-orang Eropa Barat sedikit banyak
mengubah peta dakwah di Indonesia, dari yang tadinya damai menjadi bertambah dengan
unsur kekerasan dan perang. Terdapat sejumlah faktor yang menjadi pemicu kedatangan
bangsa Barat ke Indonesia dan kemudian melakukan penjajahan, yaitu:

Pertama, pengalaman perjalanan Marcopolo yang dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul
Le Livre de Marco Polo. Di dalam buku tersebut Marcopolo menceritakan
keindahan Dunia Timur dan menyatakan bahwa Dunia Timur lebih maju dari Dunia
Barat.
Kedua, sebagai dampak renaissans. Eropa mengalami kemajuan dalam sains dan teknologi.
Orang Barat tidak percaya lagi pada dogma gereja bahwa dunia ini seperti meja.
Mereka mulai percaya bahwa bumi ini bulat seperti bola. Oleh karena itu, mereka
berani berlayar di lautan yang sebelumnya tidak pernah mereka jelajahi.
Ketiga, suplai kebutuhan Eropa dari Timur berupa rempah-rempah menjadi berkurang dan
mahal sebagai dampak lanjut dari penaklukan Turki terhadap Konstantinopel. Hal
ini memicu mereka untuk mendapatkan kebutuhannya langsung dari sumbernya.
(Sarotono Kartodirdjo dkk., III, 1975: 327-380)

Bentuk perlawanan kaum muslimin Indonesia terhadap kolonialisme Belanda terbagi


menjadi 2, yaitu: sebelum abad ke 19 yang berbentuk perlawanan fisik dan perlawanan pada
abad ke 19 dengan menggunakan metode baru. Perlawanan awal sebenarnya sudah

31
berlangsung sejak kedatangan bangsa Barat di nusantara. Terdapat perbedaan bentuk
perlawanan muslim Indonesia abad ke 19 dengan abad sebelumnya. Sebelum abad ke 19,
yang berperang adalah kerajaan Islam di Indonesia menghadapi persekutuan para pedagang
Belanda yang dipersenjatai (VOC). Sedangkan pada abad ke19, kerajaan-kerajaan Islam di
nusantara tidak lagi memerangi Belanda karena sudah di taklukkan, jadi yang berperang
terhadap Belanda adalah rakyat muslim menghadapi pemerintah kolonial Belanda. Pada Abad
ke 19, seluruh wilayah Indonesia sudah ditaklukkan dan dikuasai Belanda, kecuali Aceh. Pada
masa ini muncul pertempuran-pertempuran besar di berbagai wilayah. Di Sumatera muncul
perang Paderi (1821-1838), Perang Aceh (1873-1912); di Jawa timbul perang Diponegoro
(1825-1830); di Kalimantan ada perang Banjar (1859-1862); di Indonesia Timur berkobar
perang yang dipimpin Patimura (1817). Di samping perang besar, muncul pula perlawanan
dengan skala kecil seperti: pemberontakan petani Cilegon di Banten (1888), gerakan Baujaya
di Semarang (1841), gerakan Haji Jenal Ngarip di Kudus (1847), Peristiwa Ciomas, Bogor
(1886), gerakan Cikandi Udik (1845) yang kesemuanya itu dapat dipatahkan Belanda. Ajaran
Islam menjadi inspirator munculnya perlawanan itu.(Sartono Kartodirdjo dkk., IV, 1975: 239-
307)

Setidaknya ada 5 aspek dari Islam yang mendorong munculnya semangat perlawanan
yaitu:
1. Izin berperang (QS, 22:39),
2. Ideologi Jihad,
3. Cinta tanah air,
4. Gema takbir,
5. Doktrin amar ma’ruf nahi munkar.

Berkaitan dengan belum ditaklukkannya Aceh hingga awal abad ke-20, maka
ditugaskanlah Christian Snouck Hurgronje untuk menyelidiki kekuatan dan kelemaham umat
Islam. Dalam kerangka tugas tersebut, Dr. Snouck pergi ke Mekah dan mengaku telah
beragama Islam dengan nama Abdul Gafar. Dia sempat meneliti pola perilaku orang
Indonesia yang bermukim di Mekah selama 6 bulan hingga akhirnya diusir setelah terbukti
hanya berpura-pura Islam. Dari hasil pengamatan Snouck, kemudian menjadi buku berjudul
De Atjehers, dia menasehati Belanda jika ingin memenangkan pertempuran dengan kaum
Muslim Aceh adalah: 1) dirikan sekolah sekuler sebanyak mungkin, 2) adu domba antara
muslim abangan dengan putihan, 3) adu domba antara tokoh adat dengan ulama, 4) tindas
gerakan politik Islam, 5) bantu umat Islam dalam melaksanakan ritual agama.

Awal Pembaharuan Islam di Indonesia bermula pada abad ke 19. Fenomena dan
dampak pembaharuan Islam ini muncul pertama kali di Minangkabau (Sumatera Barat).
Perang Paderi (Paderi sebutan Belanda terhadap perang tersebut yang berasal dari bahasa
Portugis, Pader yang berarti Bapak/Pendeta) adalah konsekuensi logis dari adanya
pembaharuan pemikiran tentang Islam. Kaum Paderi adalah orang-orang Minang yang
bermukim di Mekah dan belajar Islam dari kaum Wahabi (pengikut Syekh Muhammad bin
Abdul Wahab). Mereka membawa paham Wahabi ke Indonesia. Oleh karena itu, kaum Adat
yang juga beragama Islam, dianggap oleh kaum Paderi tidak melaksanakan Islam dengan
sungguh-sungguh. Hal itu terlihat dari peri kehidupan mereka sehari-hari yang suka mengadu
ayam, berjudi dan mabuk-mabukan. Persoalan itulah yang kemudian menimbulkan perang
besar di Minangkabau. Dari Minangkabau muncul pembaharu bernama Syekh Ahmad Khatib
yang kemudian berpengaruh pada gerakan pembaharuan Islam di abad ke-20. Puncak karirnya
adalah menjadi imam mazhab Syafii di Masjidil Haram. Ia dikenal sebagai tokoh yang

32
menentang pola pembagian waris di Minangkabau yang berdasarkan keturunan dari pihak ibu
dan tarekat Naqsabandiyah. Walaupun menjadi imam mazhab Syafii, tetapi ia tidak pernah
melarang murid-muridnya membaca tulisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Murid-
muridnya tidak hanya dari orang Minang seperti Mohammad Jamil Jambek, Haji Abdul
Karim Amrullah (Ayahnya Hamka, Ketua MUI pertama), tetapi ada juga orang Jawa seperti
KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Di tanah Jawa muncul pembaharuan Islam. Di belahan Barat Jawa terdapat Syekh
Nawawi al- Bantani. Syeikh Nawawi Al- Bantani di lahirkan di Tanara, Serang, Banten, pada
1230 H/ 1813 M. Ayahnya bernama Kyai Umar bin Kyai Arabi bin Kyai Ali bin Ki Jamal bin
Ki Janta bin Ki Masbuqi bin Ki Maqsum bin Ki Maswi bin Tajul Arsy (Pangeran Sunyararas)
bin Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati. Sedangkan ibunya bernama Nyai Zubaidah
binti Singaraja. Kedua orang tua Syeikh Nawawi al-Bantani adalah keturunan darah biru yang
selalu mengedepankan imu agama (Ulum: 2015: 50).

Dari salah satu keturunannya yang masih ada sampai sekarang adalah KH. Dr. (HC)
Ma’ruf Amin yang saat ini menjabat sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia (MUI),
Syeikh Muhammad Arsyad Al- Banjari, seorang ulama yang menjadi mufti besar Kalimantan
(Amin: 2010: 340). Beliau dikenal juga sebagai Tuanku Haji Besar dan Datu Kelampayan
(Ariani:2010: 378). Saghir Abdullah, seorang peneliti Kalimantan, menjulukinya sebagai
Matahari Islam Nusantara (Abdullah: 1983:2). Kiprah Syekh Arsyad tidak saja dikenal di
daerah Kalimantan Selatan dan Indonesia tetapi juga pada negeri-negeri jiran seperti
Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Hal ini disebabkan karya
yang monumental, kitab Sabilal al-Muhtadin (Ariani:2010: 378) banyak dipelajari oleh umat
Islam di negara-negara tersebut. Lebih dari itu, kitab ini tersimpan rapi di beberapa
perpustakaan besar dunia, seperti Mekkah, Mesir, Turki dan Beirut (Humaidy: 2004: 5).

Sementara itu, di Jawa Tengah ada Ahmad Ripangi. Ia mengarang buku dalam bahasa
Jawa dalam bentuk puisi yang meliputi ushuluddin, fikih dan tasawuf. Ia sangat militan dalam
mengkritik perilaku umat Islam di Jawa yang dianggapnya tidak sesuai dengan Alquran dan
Sunnah. Oleh karena para pemimpin agama di Jawa yang diangkat Belanda merasa terganggu
dengan ajaran Ahmad Ripangi, maka kemudian Belanda mengasingkannya ke Ambon.

Pada awal abad ke 20, perlawanan kaum muslimin terhadap penjajahan tidak lagi dalam
bentuk militer, walaupun masih ada sejumlah pemberontakan bersenjata. Para tokoh
perlawanan menyadari perlunya pengorganisasian dalam melawan kolonialisme, sehingga
pertumpahan darah sia-sia dapat dihindarkan. Oleh karena itu, muncullah pada masa ini
organisasi-organisasi yang bergerak menyadarkan umat tentang pentingnya kemerdekaan dan
bebas dari penjajahan. Akan tetapi, sayangnya di antara organisasi itu sebagiannya tidak
mendasarkan perjuangannya kepada Islam walaupun tokoh-tokohnya adalah muslim. Bentuk
perlawanan terhadap penjajah pada abad 20 memperlihatkan adanya perubahan paradigma,
yaitu tidak menekankan unsur militer saja, tetapi memanfaatkan hampir semua aspek yang
ada seperti partai politik, organisasi sosial dan pendidikan, media massa untuk membentuk
opini, lobi dengan kaum oposisi di Parlemen Belanda dsb. Inilah yang kemudian menuai
hasilnya dalam bentuk kemerdekaan Indonesia kemudian. Unsur yang menjadi perhatian
utama gerakan Islam pada awal abad ke 20 adalah pendidikan dengan menggunakan sistem
organisasi moderen. Di samping itu, pengajaran agama Islam umumnya masih menggunakan
bahasa atau tulisan Arab tanpa memperdulikan apakah masyarakat umum dapat mengerti dan
memahaminya. Pada masa ini Alquran diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sehingga
lebih dipahami. Bahkan, khutbah Jumat yang pada abad sebelumnya menggunakan bahasa

33
Arab, diganti dengan bahasa Indonesia kecuali dalam menukil ayat Alquran atau Hadis. Hal
lain yang menambah kemajuan umat Islam Indonesia pada masa ini adalah adanya kajian
fiqih kontemporer yang sesuai dengan perkembangan yang ada. Di bidang ekonomi dan
politik, pada masa ini muncul Jami’atul Khair 1905, Sarekat Islam tahun 1911 M. Organisasi
ini awalnya bernama Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi. Sejarawan
berbeda pendapat mengenai tahun berdirinya. Deliar Noer menyebut tahun 1911; Ahmad
Mansur Suryanegara menyebut tahun 1906. Warna politik organisasi ini semakin kental
dengan masuknya tokoh yang bernama HOS Cokroaminoto tahun 1912. Pada tahun 1915 Haji
Agus Salim ikut menjadi aktivis organisasi tersebut. Organisasi ini berhasil merekrut anggota
dalam jumlah yang besar sehingga diproklamasikannya kemerdekaan RI. Di bidang sosial dan
pendidikan muncul organisasi Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Persatuan Islam
(Persis), Al Irsyad, Sumatra Thawalib, Jamiatul Wasshliyah dan Persatuan Umat Islam (PUI).
Muhammadiyah berdiri tahun 1912 yang pendiriannya sebagai reaksi atas gerakan
kristenisasi. Aktivitas kristenisasi yang meningkat dengan banyak dibangunnya sekolah dan
rumah sakit, merangsang tokoh-tokoh Islam di Yogya melakukan hal serupa. Berdirinya NU
pada tahun 1926 sebagai suatu usaha untuk melestarikan pendidikan pesantren di seluruh
Indonesia, yang mengembangkan ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Organisasi ini
mengarahkan umat Islam agar memiliki pemahaman yang bersifat wasathiyah (moderat),
tawazun (seimbang), i’tidal (adil dan lurus) dan tasamuh (toleran). Oragnisasi ini dibentuk
untuk melanjutkan perjuangan para wali dan para ulama yang mengembangkan pemahaman
Islam melalui sanad yang jelas, dari Nabi Muhammad saw, khulafaurrasyidin, para sahabat,
tabi’in dan seterusnya.

Persatuan Islam (Persis) dan Al Irsyad sebenarnya juga termasuk ke dalam kelompok
pembaharu, namun fokus kerja mereka berbeda. Persis cenderung lebih menekankan pada
pemurnian ibadah (khas) sesuai dengan sunnah Nabi tanpa harus berpegang kaku pada
mazhab. Sementara Al Irsyad cenderung khusus untuk mengenbangkan kehidupan sosial,
pendidikan dan dakwah pada masyarakat keturunan Arab di Indonesiaa.

1.2.4. Dakwah di Era Kemerdekaan

Awalnya, Kerajaan Jepang berjanji akan membantu Indonesia bebas dari penjajahan
Belanda. Akan tetapi, yang terjadi kemudian adalah eksploitasi Indonesia untuk kepentingan
industri Jepang dan Perang Dunia II dimana Jepang terlibat di dalamnya. Setelah Jepang
mengalami kemunduran dalam PD II, mereka menjanjikan kemerdekaan Indonesia dan
mewadahinya dengan membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Persiapan
Kemerdekaan) dan Dokuritsu Zyunbi Inkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan). Badan tersebut
menghasilkan Konstitusi (UUD) yang di dalamnya ada peraturan tentang “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Peraturan ini disepakati,
termasuk golongan Kristen yang diwakili Mr. Maramis, tanggal 22 Juni 1945 dan dikenal
dengan Piagam Jakarta. Dalam perkembangan berikutnya pada tanggal 18 Agustus 1945,
peraturan tersebut ada sedikit perubahan dengan menghapus Ketuhanan dengan Kewajiban
menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diganti dengan Ketuhanan yang Maha
Esa. Perubahan ini dilakukan untuk menghindari perpecahan dikalangan masyarakat
Indonesia, yang baru merdeka. Perubahan ini dalam rangka mengantisipasi beberapa usul
yang disampaikan dari wilayah Indonesia bagian Timur. Perubahan tersebut diatas disetujui
juga oleh wakil ummat Islam seperti Wahid Hayim dan Abdul Kahar Mudzakkir. Menurut Ki
Bagus Hadikusumo, orang terakhir yang dibujuk mengubah Piagam Jakarta, yang dimaksud

34
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid; dan Tuhan yang dimaksud adalah Allah seperti
tertera di alinea pertama Pembukaan UUD 1945.

Betapapun ada perbedaan antara kaum tradisional dengan modernis dalam masalah
pemahaman keagamaan, namun sikap mereka terhadap kolonialisme Belanda sama. Hal ini
terbukti setelah proklamasi kemerdekaan 1945, mereka bahu-membahu berjihad
mempertahankan kemerdekaan. Tokoh dan pendiri NU, KH.Hasyim Asy‘ari, bahkan
mengeluarkan fatwa yang menyatakan wajib hukumnya memerangi tentara sekutu termasuk
Belanda dengan mengeluarkan Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945. Resolusi itu
mewajibkan umat Islam membela tanah air Indonesia, dan apabila meninggal menjadi syahid.
Resolusi Jihad itu (22 Oktober 1945) sekarang ditetapkan menjadi Hari Santri Nasional.
Sementara itu, Sudirman, salah seorang anggota Muhammadiyah dan mantan komandan
tentara Pembela Tanah Air (PETA) semacam milisi bentukan Jepang untuk melawan sekutu
di Jawa Tengah, diangkat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Indonesia.

Keterlibatan kaum muslimin dalam mengelola pemerintahan Indonesia merdeka


sebenarnya telah dimulai sejak terbentuknya berbagai organisasi seperti Masyumi (Majelis
Syuro Muslimin Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama), PSII, dan PERTI. Tokoh-tokoh Islam
tersebut pada revolusi fisik telah turut dalam pemerintahan seperti M. Natsir yang menjabat
Menteri Penerangan dan Moh. Roem yang terlibat perundingan dengan Belanda (yang
terkenal dengan perundingan Roem-Royen). M. Natsir berperan penting dalam
mengembalikan bentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi negara kesatuan
dengan mosi integralnya. Peran itulah yang kemudian menjadi sebab dipercayanya M. Natsir
oleh Presiden Sukarno untuk membentuk kabinet dan menjadi Perdana Menteri pada tahun
1950; kabinet pertama yang dipercayakan kepada tokoh dari partai politik Islam. Peran
Kabinet Natsir (1950-1951) yang penting adalah menjadikan Indonesia sebagai anggota PBB
yang ke-60. Tokoh-tokoh NU dan Partai Islam lain juga berperan, misalnya: Wahid Hasyim
sebagai Menteri Agama, demikian juga tokoh-tokoh yang berasal dari kalangan
Muhammadiyah.

Kabinet berikutnya yang dipimpin tokoh Masyumi adalah Burhanudin Harahap (1955-
1956). Dalam kabinet ini juga terdapat unsur dari NU, yaitu Muahmmad Ilyas sebagai
Menteri Agama dan R Sunarjo sebagai menteri dalam negeri. Dari kalangan PSII Harsono
Cokroaminoto dan demikian juga tokoh Muhammadiyah. Burhanudin berhenti menjadi
Perdana Menteri bukan karena mendapatkan mosi tidak percaya dari anggota parlemen
ataupun karena kesalahan dalam keputusan politik, justru karena sukses menjalankan program
utama kabinet yaitu Pemilihan Umum 1955. Dalam pemilu pertama itu yang dilaksanakan
Menteri Dalam Negeri oleh R Sunarjo sebagai kabinet Burhanudin harahap, partai politik
Islam memperoleh pendukung sekitar 40%. Ada empat partai yang memperoleh suara
dukungan terbesar yaitu: Partai PNI mendapat 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, PKI
39 kursi. Pemilu itu dinilai paling berkualitas sepanjang abad ke-20. Pada masa ini pula
muncul Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat, yang
dikenal umum sebagai pemberontakan dan sering dikaitkan dengan Perjuangan Rakyat
Semesta (Permesta) di Sulawesi. PRRI adalah sebuah gerakan yang timbul karena
kekecewaan sejumlah tokoh politik terhadap pemerintahan Presiden Sukarno. Sejumlah tokoh
partai Masyumi terlibat dalam kasus tersebut, seperti M. Natsir dan Syafrudin Prawiranegara.
“Pemberontakan” PRRI akhirnya ditumpas Sukarno dan tokoh-tokohnya dipenjarakan.

Era Demokrasi Terpimpin dimulai pada tanggal 5 Juli 1959, yaitu sesaat setelah
dikeluarkannya Dekrit Presiden yang membubarkan parlemen. Karena parlemen setelah

35
berkali-kali sidang tidak dapat memutuskan dasar negara RI, karena masing-masing kelompok
tidak bisa memenuhi persyaratan. Zaman ini diwarnai dengan pembubaran partai politik yang
menentang kebijakan Presiden Sukarno, termasuk di dalamnya partai Masyumi. Partai Islam
yang bertahan di masa ini dan ikut terlibat dalam pemerintahan Sukarno adalah Nahdhatul
Ulama. Setelah bubarnya Masyumi, partai NU menjadi wakil umat Islam di kancah
pemerintahan untuk melanjutkan persaingan dengan PKI. Selanjutnya setelah PKI terlibat
dalam gerakan 30 September 1965 maka partai NU-lah yang pertama kali mengusulkan
pembubaran PKI pada 5 Oktober 1965. Dimasa pemerintahan Bung Karno selain dikalangan
NU juga ada beberapa tokoh yang masuk kabinet dari kalangan Ormas Islam lain. Sebagai
contoh KH. Idham Kholid (Menkokesra) dari NU, M. Dahlan (Menag) dari NU, dan dari
Ormas Islam yang lain adalah Mulyadi Joyomartono, dan Said Sukanto Cokroatmojo dari
Muhammadiyah dan Sarikat Islam.

Presiden Sukarno akhirnya harus turun dari kursi kekuasaan dan kemudian digantikan
Suharto. Pertama, karena Sukarno memberikan mandat politis kepada Suharto dalam bentuk
Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) tahun 1966 M. Kedua, karena Suharto dianggap
sebagai pemimpin yang berhasil menumpas gerakan Komunis. Pada mulanya, perubahan
rezim kekuasaan dari Sukarno ke Suharto dianggap sebagai peluang untuk berperannya
kembali Islam dalam panggung politik. Hal ini dibuktikan dengan dibebaskannya tokoh-tokoh
penentang Sukarno dari penjara seperti M. Natsir, Hamka, KH. Imron Rosyadi dsb. Kebijakan
Suharto setelah resmi diangkat sebagai Presiden tahun 1967, adalah mengorbitkan Golongan
Karya (Golkar) sebagai mesin politiknya. Pada pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971,
terdapat sepuluh partai yang bersaing berebut kursi parlemen; diantaranya yaitu: GOLKAR
236 kursi, NU 58 Kursi, Parmusi 24 kursi, PNI 20 Kursi, PSII 10 kursi, Parkindo 10 kursi,
Katolik 3 kursi, Perti 2 kursi, IPKI 0, Murba 0. Dari 10 partai tersebut 4 adalah Partai Islam,
yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Akan tetapi pada pemilu berikutnya tahun 1977, terjadi
penggabungan partai sehingga hanya ada tiga partai yang bersaing, yaitu: 1. PPP, yang
dianggap mewakili Islam 2. Golkar, partainya pemerintah yang berkuasa dan 3. PDI, yang
dianggap mewakili Nasionalis. Pada pemilu 1987, tidak ada lagi partai Islam. PPP telah
mengubah simbol partai dari Ka’bah menjadi Bintang dan mengganti asasnya dari Islam
menjadi Pancasila. Dekade 1980-an terjadi fenomena deislamisasi politik dan kampanye
negatif terhadap Islam yang dilakukan besar-besaran oleh pemerintah. Tahun 1982, Pancasila
ditetapkan sebagai satu-satunya azas (atau dikenal juga dengan azas tunggal) yang dianggap
sebagian tokoh muslim sebagai kampanye anti Islam. Meskipun demikian ternyata dakwah
Islam terus berkembang tidak melalui jalur politik, tetapi melalui jalur pendidikan,
pengembangan pesantren, birokrasi, dakwah di sekolah-sekolah umum, dan di perguruan
tinggi. Dengan demikian Islam tetap menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia.

Di Era Reformasi muncul kembali peran Islam, terutama di lapangan politik. Masa
reformasi bermula dari kebijkan depolitisasi Islam pada zaman Suharto. Ketika Islam dilarang
dijadikan label politik tahun 1980-an, sebagaimana air yang dibendung, ia mencari format dan
bentuk baru sebagai manifestasinya. Oleh karena itu, pada tahun 1990-an muncul gerakan
mengartikulasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari yang lebih personal seperti: semangat
mengkaji Islam dalam bentuk grup-grup halaqoh, penerjemahan dan penerbitan buku-buku
dan majalah-majalah yang lebih komprehensif dan mendetil dalam membahas Islam,
fenomena semakin banyaknya wanita yang menggunakan jilbab, dsb. Disamping itu, gerakan
Islam tahun 1990-an mempunyai perhatian dan keterkaitan dengan perkembangan isu-isu
Islam Internasional seperti Palestina, Afghanistan dan Irak. Krisis moneter yang terjadi tahun
1997, menyebabkan dasar-dasar ekonomi yang menjadi legitimasi orde baru menjadi rapuh.
Ketika krisis moneter itu berkembang menjadi krisis ekonomi yang menyebabkan inflasi

36
hingga 150%, dan kemudian berkembang lagi menjadi krisis multi dimensi, maka
pemerintahan Suharto tidak dapat dipertahankan lagi. Peristiwa Trisakti tahun 1998, yang
menyebabkan tewasnya 4 mahasiswa akibat peluru yang dilepaskan aparat keamanan menjadi
pemicu kerusuhan yang timbul di mana-mana. Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan
mahasiswa dengan mengepung dan menduduki gedung parlemen untuk menuntut adanya
reformasi, yang artinya menuntut mundurnya Suharto dari kursi kekuasaan. Organisasi
kepemudaan yang terlibat dalam peristiwa itu antara lain BEM, HMI, PMII, IMM, KAMMI;
saat ini beberapa tokohnya duduk di parlemen. Pada akhirnya gerakan reformasi mencapai
puncaknya tanggal 20 Mei 1998. Pada tanggal tersebut, Suharto menyatakan mundur sebagai
Presiden RI di Istana Negara dan posisinya digantikan oleh BJ. Habibie. Dalam masa
pemerintahannya yang singkat, Habibie (yang juga pendiri dan ketua ICMI [Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia] pertama) berhasil menurunkan inflasi dan menstabilkan nilai
tukar rupiah dari Rp 16.000 per 1 dolar AS menjadi Rp 12.000. Pada masa pemerintahanya
muncul banyak Partai Politik baru berbasis Islam seperti Partai Amanat Nasional (PAN),
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan (PK).
Pemilu yang diadakan oleh Presiden Habibie tahun 1999 dianggap lebih berkualitas
dibandingkan dengan pemilu di zaman Orde Baru. Dari 550 kursi parlemen, sekitar 40%nya
diduduki oleh Partai berbasis Islam. Islam di Indonesia menjadi agama yang memberikan
inspirasi pembebasan, persatuan dan keutuhan nusantara lebih dari 8 abad.

2. Makna Agama Islam Bagi Kehidupan


2.1. Pengertian Agama Islam

Secara etimologi, kata Islam berasal dari bahasa Arab, diambil dari derivasi kata dasar
salima-yaslamu-salamatan wasalaman, yang artinya “ selamat, damai, tunduk, patuh, pasrah,
menyerahkan diri, rela, puas , menerima, sejahtera dan tidak cacat” (Al-Munawir, 1984 : 669).
Dari ilmu morfologi, kata Islam diambil dari aslama-yuslimu-islaman, memiliki beragam
makna, antara lain dijelaskan dalam Alqur'an : 1). Ketaatan, dijelaskan, QS.72 (Al-Jin) : 14;
2). Menyerahkan diri, QS.2 (Al-Baqarah) : 112; dan 3). Tunduk dan patuh, QS.3 (Ali Imran) :
85.
Pengertian Islam secara terminologis atau istilah adalah agama atau peraturan-peraturan
Allah yang diwahyukan kepada Nabi dan Rasul-Nya sebagai petunjuk bagi umat manusia
agar mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. (Zakky Mubarak Syamrakh, 2010 : 51).
Jadi, kata agama dalam bahasa Indonesia mempunyai pengertian sama dengan kata al-dien
dalam bahasa Arab dan Semit, atau dalam bahasa-bahasa Eropa sama dengan religion
(Inggris), la religion (Perancis), de religie (Belanda), die religion (Jerman).

Secara bahasa, perkataan agama berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tidak pergi,
tetap di tempat, diwarisi turun temurun. Sedang kata dien mengandung arti menguasai,
menundukkan, patuh, utang, balasan, atau kebiasaan. Dien juga mengandung pengertian
peraturan-peraturan, berupa hukum yang harus dipatuhi, baik dalam bentuk perintah yang
wajib dilaksanakan maupun berupa larangan yang harus ditinggalkan berikut balasan dan
ganjarannya.

Kata dien dan kata jadiannya dalam Alqur’an disebut sebanyak 94 kali dalam berbagai
makna dan konteks, antara lain berarti pembalasan (QS 1:4); undang-undang duniawi atau
peraturan yang dibuat (QS 12:76); agama yang datang dari Allah: Dienullah (QS 3:83). Bila
Dien dirangkaikan dengan kata al-haq sehingga membentuk kata Dienulhaq, maknanya
adalah agama yang dibawa Rasulullah Muhammad saw sebagai agama yang benar, yakni

37
Islam (QS 9:33). Pada ayat lain, kata din menunjukkan arti bukan hanya agama Islam saja,
tetapi juga selain Islam, seperti ayat Alqur’an yang berbunyi Lakum dienukum wa liya dien.
(bagimu agamamu dan bagiku agamaku) (QS 109:6 dan QS 61:9).

Inti agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang berimplikasi pada kepercayaan
kepada aturan Tuhan bagi manusia. Kepercayaan tersebut tumbuh dalam kehidupan manusia
sejak pertama manusia diciptakan. Kepercayaan manusia kepada ajaran agama, khususnya
Tuhan, dilandasi oleh:
1. Adanya kepercayaan bahwa di luar kekuatan manusia ada kekuatan yang lebih
perkasa yaitu kekuatan Ghaib. Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan
ghaib itu sebagi tempat memohon pertolongan. Manusia merasa harus mengadakan
hubungan baik dengan kekuatan Ghaib tersebut dengan mematuhi perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.
2. Keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia dan kebahagiaan hidupnya
di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan Ghaib tersebut.
3. Adanya respon yang bersifat emosional dari manusia, baik dalam bentuk perasaan
takut atau perasaan cinta. Selanjutnya respons itu mengambil bentuk pemujaan atau
penyembahan dan tatacara hidup tertentu bagi masyarakat yang besangkutan.
4. Paham adanya yang kudus (the sacred) dan suci, seperti kitab suci, tempat ibadah,
dan sebagainya.

Suatu kepercayaan dikategorikan sebagai sebuah agama apabila memenuhi empat


kriteria berikut:
1. Adanya kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi asal dari segala
yang ada;
2. Adanya ajaran ibadah yang mengatur pengabdian manusia kepada Tuhan Yang Maha
Esa tersebut;
3. Adanya Nabi yang menerima wayu Tuhan Yang Maha Esa, yang berisi ajaran-ajaran
Tuhan dalam sebuah Kitab Suci;
4. Adanya ajaran akhlak/moral untuk berbuat baik, yang berisi nilai-nilai kebaikan dan
bersumber pada nilai ke-Tuhanan yang Maha Esa tersebut.

Dalam ajaran agama Islam, Allah hanya menurunkan satu agama saja, yaitu Islam.
Karena itu sekalipun di dunia ini banyak sekali agama yang berkembang, Allah hanya
mengakui kebenaran satu agama saja, yaitu Islam, seperti dinyatakan dalam QS. 3 (Ali Imran)
: 19, begitu juga dalam QS. 5 (Al-Maidah): 3.

2.2. Fungsi Agama Islam

Fungi utama agama Islam dalam kehidupan umat manusia secara umum adalah:
a. Sebagai hidayah, yaitu petunjuk kebenaran sehingga manusia mengetahui jalan kehidupan
yang benar, yang mengantarkannya pada kehidupan yang damai, yang menjaga
keselamatan agar tidak tersesat pada kehidupan yang menyengsarakannya.
b. Sebagai aturan atau jalan kehidupan yang menjaga manusia dari kesesatan.
c. Sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit hati, seperti pemarah, dengki, kikir,
malas, dsb.
d. Sebagai penolong manusia untuk memperoleh kemudahan dalam menghadapi berbagai
permasalahan yang sulit, seperti bagaimana proses perkembangan embrio sejak terjadi
konsepsi.

38
e. Sebagai motivator agar manusia tetap tabah menghadapi berbagai cobaan dan kesulitan
hidup, atau bahkan mungkin perlakuan tidak adil dari penguasa yang dhalim, sehingga
manusia tidak putus asa, karena setiap usaha menegakkan kebenaran itu pasti ada
cobaannya, dan setiap kesulitan itu akan mendatangkan kemudahan.

Dari aspek hukum, tujuan agama Islam diturunkan oleh Allah kepada manusia ada lima,
yaitu:
a. Memelihara agama dengan mentauhidkan Allah disertai dengan ketaatan menjalankan
aturan Allah.
b. Memelihara jiwa (diri) dengan kewajiban mempertahankan hidup, dan dilarang membunuh
diri maupun jiwa orang lain dan apapun yang berkaitan dengan kerusakan diri.
c. Memelihara keturunan dengan adanya lembaga pernikahan untuk memelihara kejelasan
keturunan seseorang, dan dilarang melakukan perzinaan (hubungan seks di luar nikah).
d. Memelihara akal dengan kewajiban menghindari segala macam hal yang menyebabkan
akal cidera dan tidak normal, seperti meminum minuman yang memabukkan, termasuk
macam-macam narkoba: narkotika, putaw, heroin, morfin, eksatasi dsb.
e. Memelihara harta dengan keharusan memperoleh harta secara halal serta dilarang
mendapatkannya dengan cara yang haram, seperti mencuri, merampas, merampok, menipu,
korupsi, dll.

2.3. Karakteristik Ajaran Agama Islam

Sebagai satu-satunya agama yang diturunkan oleh Allah, Islam merupakan agama yang
memiliki karakteristik berikut:
a. Agama Tauhid, artinya Islam adalah satu-satunya agama yang mengajarkan ke-Esaan
Allah secara murni, bahkan dalam agama Islam, Tauhid merupakan ajaran yang mendasari
semua ajaran Islam.
b. Agama sempurna, artinya agama Islam mengandung ajaran yang memberi petunjuk pada
seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan kesempurnaan ajaran Islam tersebut, orang
Islam memiliki landasan dasar dalam berbuat, sehingga apabila perbuatannya sesuai
dengan ajaran Islam, akan memperoleh nilai ibadah, dan diberikan balasan pahala oleh
Allah. Kesempurnaan ajaran agama Islam tersebut secara tegas disebutkan dalam QS. 5
(Al-Maidah): 3.
c. Agama fitrah, artinya ajaran agama Islam itu sesuai dengan fitrah kehidupan manusia.
Karena itu ajaran agama Islam tidak menimbulkan efek negatif dalam kehidupan manusia.
d. Agama universal, artinya agama yang berlaku untuk seluruh umat manusia sampai akhir
masa. Nabi Muhammad saw adalah nabi yang terakhir, nabi penutup, sehingga agama
Islam yang diterimanya dari Allah merupakan agama yang berlaku terus menerus sampai
akhir masa.
e. Agama yang mengandung kebenaran mutlak, artinya kebenaran ajaran Islam tidak
bergantung pada dukungan pembenaran unsur lain, karena agama Islam berupa firman-
firman Allah, dan Allah adalah Yang Maha Benar Mutlak.
f. Agama mudah dan fleksibel, artinya pelaksanaan ajaran agama Islam sangat mudah dan
memberikan kemudahan kepada umat Islam untuk mengamalkannya sesuai dengan
kemampuannya. Islam menghargai kondisi-kondisi tertentu dalam kehidupan manusia.
g. Agama yang adil, artinya agama yang menempatkan sesuatu pada tempatnya. Keadilan
dalam agama (hukum) Islam meliputi berbagai aspek kehidupan, keadilan dalam berbagai
hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, hubungan antara manusia dengan sesama
manusia dan alam sekitarnya.

39
h. Agama yang menebarkan kemaslahatan. Sesungguhnya dasar pembinaan dan prinsip
bangunan syariat Islam itu kebijaksanaan dan kemaslahatan (kebaikan) manusia dari dunia
sampai akhirat. Allah dalam menetapkan hukum selalu memepertimbangkan kemaslahatan
hidup umat manusia. Syariat diturunkan Allah untuk mewujudkan manfaat atau memenuhi
kebutuhan/kebaikan manusia
i. Agama yang memberikan kebebasan/kemerdekaan disertai tanggung jawab kepada
manusia. Kebebasan dalam agama Islam menghendaki agar agama Islam disiarkan tidak
berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, argumentasi untuk membangun
pemahaman yang obyektif akan kebenaran ajaran Islam sehingga lahir kesadaran untuk
menerima dan mentaatinya.
j. Agama Rohmatan lil 'Alamin. Makna Rohmatan lil 'alamin adalah menjadi rahmat, kasih
sayang Allah kepada semua makhluk-Nya. Allah yang Maha Rahman dan Rahim,
mengasihi semua makhluk yang Allah ciptakan, bukan hanya orang Islam saja, bahkan
bukan hanya manusia saja, tetapi semua makhluk.

2.4. Ruang lingkup Ajaran Agama Islam

Secara garis besar, agama Islam mengandung tiga ajaran pokok, yaitu (1) akidah atau
iman; (2) syari'ah atau Islam; dan (3) akhlak atau ihsan. Pembagian ruang lingkup ajaran
agama Islam pada ketiga ajaran tersebut didasarkan pada aspek hubungan antara fungsi ajaran
agama Islam dengan potensi kehidupan manusia yang menerima amanah sebagai khalifah
Allah di bumi untuk menunaikannya sehingga agama Islam sebagai "rohmatan lil 'alamin" di
alam kehidupan ini dapat terealisasi.

2.5. Sumber Ajaran Agama Islam

Dalam sebuah Hadis dikisahkan, bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan uji
kelayakan dan kepatutan semacam fit and proper test terhadap seorang sahabat yang akan
diangkat sebagai gubernur di Yaman: yang artinya : Diriwayatkan dari al-Harits bin Amr,
bahwa Rasulullah SAW mengutus Muadz ke Yaman. Beliau bertanya, “Bagaimana kamu
mengambil dasar hukum di sana/Yaman) ? “ Muadz menjawab “ Aku akan menghukumi
perkara dengan apa yang terdapat di dalam Kitabullah (Alqur’an), “ Jika di Kitabullah, hukum
tersebut tidak ada ? tanya beliau lagi. “Aku akan menghukuminya dengan apa yang terdapat
di dalam Sunnah Rasulullah SAW. Jika di Sunnah Rasulullah, hukum itu tidak ada ?tanya
beliau lagi. Muadz kembali menjawab, “ Aku akan berijtihad dengan pikiranku, “ maka
beliaupun bersabda, “ Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan
Rasulullah SAW.“ (H.R.Al-Tirmidzi, no:1249, Abu Dawud, no. 3119, dan Ahmad : 21000).
Dalam riwayat yang lain Rasulullah SAW berpesan yang artinya: “Kutinggalkan kepadamu
dua perkara, dan kamu sekalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya,
yaitu Kitabullah (Alqur`an) dan (Sunnah) Rasul-Nya. Dari pesan Nabi Muhammad SAW
tersebut, para sahabat dan para ulama sesudahnya berpendapat bahwa sumber ajaran Islam
ada 2 (dua), yaitu: Alqur`an dan Sunnah atau Hadis. Untuk memahami dua hadis yang
berbeda tersebut dalam istilah ilmu Ushul Fiqih dikenal dengan cara “al-jam’u wa al-taufiq”,
menggabungkan pemahaman keduanya sehingga makna yang diperoleh adalah: Alquran dan
Hadis sebagai sumber utama sedangkan rakyu atau i8jtihad sebagai sumber pengembangan.
Penegasan tentang sumber ajaran agama Islam yang menyebutkan ketiga sumber ajaran
tersebut dan tertibnya terdapat di dalam QS.4 (Al-Nisa'): 59.

40
2.5.1. Alqur'an

a. Pengertian Alqur'an

Alqur'an adalah Kalamullah, diturunkan dengan bahasa Arab, dan membacanya adalah
ibadah. Alqur'an juga Kitabullah yang merupakan sumber ajaran Islam yang utama. Dengan
ketentuan tersebut, maka terjemahan dalam bahasa apapun, bukanlah Alqur’an. Dengan kata
lain Alqur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dalam
bahasa Arab secara berangsur-angsur melalui malaikat Jibril sebagai mukjizat dan pedoman
hidup bagi umatnya, yang bernilai ibadah bagi orang yang membacanya, di awali dengan
surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nas.

b. Sejarah Turun dan Penulisan Alqur’an

Alqur`an diturunkan secara berangsur-angsur selama lebih kurang 23 tahun (sejak Nabi
diangkat menjadi Rasul umur 40 tahun sampai menjelang wafatnya pada umur 63 tahun).
Sebagaimana lazimnya setiap Rasul diutus dengan bahasa kaumnya, maka demikian juga
Alqur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab. Sebagai firman
Allah, Alqur'an dalam bentuk aslinya berada dalam induk Al-Kitab yang terpelihara (Lauh
Mahfuzh).

Untuk menyampaikan firman-Nya kepada manusia, Allah memilih Nabi atau Rasul lalu
Allah menyampaikannya dengan 3 cara:
a. Dengan wahyu (langsung ke dalam hati Nabi)
b. Dari belakang tabir (wahyu diserap oleh indra Nabi tanpa melihat pembawa wahyu).
c. Dengan mengutus malaikat (Jibril) yang membawa wahyu.

c. Kandungan Alqur’an

Secara garis besar/umum, Alqur'an mengandung prinsip-prinsip pokok ajaran sebagai


petunjuk, pedoman bagi manusia dalam menghadapi kehidupan yang luas dan terus
berkembang, yaitu:
a. Pokok-pokok keimanan/keyakinan
b. Prinsip-prinsip syari’ah
c. Janji atau kabar gembira kepada yang berbuat baik (basyir) dan ancaman siksa bagi orang
yang berbuat dosa (nadzir)
d. Kisah-kisah, sejarah
e. Dasar-dasar dan isyrat-isyarat ilmu pengetahuan, seperti: astronomi, fisika, kimia, ilmu
hukum, ilmu bumi, ekonomi, pertanian, kesehatan, teknologi dan lain sebagainya.

d. Fungsi Alqur’an

Secara garis besar, fungsi Alqur'an tersebut adalah :


1. Sebagai petunjuk (hidayah) bagi manusia.
2. Sebagai penjelasan terhadap segala sesuatu.
3. Sebagai rahmat dan kabar gembira kepada manusia yang berserah diri.
4. Sebagai penawar jiwa yang sakit (syifa')

41
e. Kedudukan Alqur’an

Dalam Tarikh Tasyri’ Islami (sejarah pembinaan hukum Islam), kita menemukan
bahwa Alqur’an merupakan pedoman pertama dan utama bagi umat Islam. Pada masa
Rasulullah SAW, setiap persoalan selalu dikembalikan solusi dan pemecahannya kepada
Alqur’an. Rasulullah SAW. sendiri, dalam tata perilaku sehari-hari, selalu mengacu kepada
Alqur’an. Hidup beliau kata Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah RA, merupakan
pengejawantahan dan refleksi dari nilai-nilai yang terkandung di dalam Alqur’an. “Akhlaknya
adalah Alqur’an,” demikian jawab Aisyah ketika di tanya Sa’ad bin Hisyam soal budi pekerti
(akhlak) Rasulullah SAW. (H.R. Ahmad, no. 24629).

Menurut Zakky Mubarak yang mengutip dari Syaikh Rasyid Ridha, bahwa mayoritas
ulama Ushul Fiqh berpendapat bahwa ayat-ayat hukum yang berhubungan dengan masalah
ibadah, masalah pengadilan, dan masalah politik, di dalam Alqur’an tidak lebih dari
sepersepuluh isi Alqur’an. Sebagian ulama menghitung bahwa ayat-ayat hukum yang
berhubungan dengan masalah ibadah dan muamalah ada lima ratus (sebagian ahli lain ada
yang berpendapat bahwa hanya dua ratus ayat). Ayat-ayat hukum tersebut kebanyakan
berhubungan dengan masalah ibadah atau masalah keagamaan secara khusus, karena masalah
duniawi kebanyakan berdasarkan 'urf (kebiasaan), pengetahuan, dan ijtihad ulama. (Rasyid
Ridha, 1983: 470).

2.5.2. Sunnah/Hadis
a. Pengertian Sunnah/Hadis

Menurut wasiat Nabi yang menjadi pedoman umatnya dari kehidupan beliau adalah
Sunnah, tetapi juga dikenal dengan istilah hadis. Istilah hadis menurut para ahli hadis adalah
sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa pebuatan, perkataan,
maupun persetujuan beliau (taqrir). Kata sunnah menurut kamus bahasa Arab bermakna
jalan, arah, peraturan, mode atau cara tentang tindakan atau sikap hidup.

Artikel definitif Al (alif dan lam) merupakan simbol untuk menunjukkan makna
spesifik. Jadi Sunnah bermakna keteladanan kehidupan Nabi (yang benar-benar
dilakukannya). Sedang hadis mempunyai arti cerita, riwayat atau kabar yang dinisbahkan
kepada Nabi. Sebuah hadis mungkin tidak mencakup sunnah, atau boleh jadi hadis bisa
merangkum lebih dari sebuah sunnah. Maka para muhadisin mengklasifikasi suatu hadis dan
mendudukkannya apakah hadis tersebut dapat dijadikan pedoman dan rujukan sebagai sunnah
atau hadis tersebut berstatus dhaif atau lemah, atau palsu yang ditolak (mardud) untuk
dijadikan pedoman atau sumber ajaran Islam.

b. Sejarah Sunnah/Hadis.

Seratus tahun setelah hijrah (abad ke-1), ketika para ahli hadis mengumpulkan dan
menuliskan hadis-hadis Nabi, terdapat banyak sekali hadis. Untuk menguji validitas dan
kebenaran suatu hadis, para muhadisin (pengumpul dan periwayat hadis) menyeleksi berbagai
riwayat tentang hadis dengan memperhatikan jumlah dan kualitas jaringan periwayat hadis
tersebut yang dikenal dengan sanad. Bila periwayat hadis itu dalam jaringan pertama (yang
menyaksikan kejadian suatu hadis, umpamanya menyangkut cara Nabi shalat adalah orang
banyak, kemudian menceritakannya kepada orang banyak pula, dan seterusnya hingga sampai

42
ke pencatat hadis sehingga tidak dimungkinkan orang-orang itu berbohong, maka hadis yang
serupa ini disebut mutawatir. Jika perawinya sedikit (penyampaian riwayat dengan jumlah
terbatas) dan seterusnya sampai pada pencatat hadis (perawi), maka jalur periwayatan serupa
ini disebut ahad.

c. Klasifikasi Sunnah/Hadis

Ditinjau dari segi bentuknya, hadis diklasifikasikan kepada:


1) Fi’li (perbuatn Nabi)
2) Qauli (perkatan Nabi)
3) Taqriri (keiizinan atau persetujuan Nabi), seperti perbuatan sahabat yang disaksikan
Nabi, dan Nabi tidak menegornya.

Ditinjau berdasarkan jumlah perawinya (dari segi jumlah orang yang menyampaikan
hadis, atau sanadnya), hadis dapat diklasifikasikan kepada:
1) Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut akal tidak
mungkin mereka bersepakat dusta.
2) Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak pula,
tetapi jumlahnya tidak sampai kepada derajat mutawatir.
3) Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih yang tidak sampai pada
tingkat masyhur maupun mutawatir. Ada ulama yang memasukkan hadis masyhur kepada
golongan hadis ahad.

Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya, hadis dibagi menjadi:


a. Hadis maqbul, yaitu hadis yang dapat diterima
b. Hadis mardud, yaitu hadis yang ditolak.

Ditinjau dari kualitasnya, hadis dibagi menjadi:


1) Shahih, yaitu hadis yang sehat, yang diriwayatkan oleh orang-orang yang baik dan kuat
hafalannya, materinya baik dan persambungan sanadnya dapat dipertanggungjawabkan.
2) Hasan, yaitu hadis yang memenuhi persyaratan hadis shahih kecuali dari segi hafalan
perawinya kurang baik.
3) Dhaif, yaitu lemah, baik karena terputus salah satu sanadnya atau karena salah seorang
pembawanya kurang baik.
4) Maudhu’, yaitu hadis palsu, hadis yang dibikin oleh seseorang dan dikatakannya sebagai
sabda atau perbuatan Nabi .

d. Kedudukan dan Fungsi Sunnah/Hadis

Dalam konteks sumber ajaran Islam, Sunnah/Hadis mempunyai kedudukan berikut:


a) Sunnah adalah sumber ajaran agama Islam kedua setelah Alquran.
b) Kepatuhan kepada Sunnah Rasulullah berarti patuh dan cinta kepada Allah.
c) Sebagai petunjuk tata cara pelaksanaan ketentuan Allah dalam Alquran yang tidak
dijelaskan oleh di dalam Alqur'an tata cara pelaksanaannya, seperti pelaksanaan shalat,
puasa, zakat, dan haji.

Kitab-kitab hadis banyak sekali, dan diantara kitab-kitab tersebut ada 7 kitab hadis yang
dianggap para ulama sebagai kitab hadis yang utama sehingga disebut Kutub Sittah, yaitu:
a) Shahih Bukhari

43
b) Sahahih Muslim
c) Sunan Abu Daud
d) Sunan Nasai
e) Sunan Tirmidzi
f) Sunan Ibnu Majah
g) Musnad Imam Ahmad

2.5.3. Ijtihad/Rakyu

a. Pengertian Ijtihad/Rakyu

Al-ra’yu artinya penglihatan yang berasal dari kata ra`a (melihat). Akan tetapi yang
dimaksud dengan penglihatan di sini bukanlah penglihatan mata, melainkan penglihatan akal.
Al-ra`yu merupakan hasil suatu proses yang terjadi pada akal manusia setelah terlebih dahulu
memperoleh masukan (input). Oleh karena itu, sering terjadi bahwa proses pemikiran itu
sangat tergantung kepada jumlah masukan yang dimiliki seseorang (seperti: penguasaan
tentang Alqur'an dan Sunnah, penguasaan bahasa Arab dan perangkatnya, keluasan ilmu
pengetahuan dan pengalamannya, dsb). Makin kaya masukan, makin dalam proses
pemikirannya. Proses pemikiran ini sering juga disebut ijtihad.

Ijtihad diambil dari kata ijtahada - yajtahidu – ijtihadan, yang artinya mengerahkan
segala kemampuan dengan kesungguhan dan ketekunan secara optimal untuk menggali dan
menetapkan suatu hukum (syara’) dari sumber Alqur`an dan Sunnah. Karena itu ijtihad tidak
boleh bertentangan dengan Alqur`an dan Sunnah. Kesungguhan memahami sumber ajaran
Islam (Alqur`an dan Sunnah) dilakukan para mujtahid dengan jalan memahami apa yang
tersurat (teks) dan apa yang tersirat (konteks) dalam nash (Alqur`an dan Sunnah) seraya pula
memperhatikan jiwa, rahasia hukum, 'illat (alasan atau sebab-akibat), dan unsur-unsur
kemaslahatan yang dikandung kedua sumber tersebut.

b. Dasar, Kedudukan dan Fungsi Ijtihad/Rakyu

Ijtihad merupakan keunikan yang spesifik dalam ajaran Islam yang universal, sehingga
penerapan hukum-hukum syara’ serta pengalihan hukum dan norma baru dapat diselaraskan
dengan situasi dan kondisi yang berlaku tanpa keluar atau meninggalkan sumber pokoknya
(Al-qr`an dan Sunnah). Berbagai masalah kontemporer yang muncul dewasa ini, yang secara
teknis belum didapati di dalam Alqur`an dan Sunnah, menempatkan kedudukan ijtihad makin
terasa penting.

c. Syarat-syarat Berijtihad

Para ulama menetapkan beberapa syarat bagi orang yang hendak melakukan ijtihad,
syarat-syarat tersebut adalah:
a. Mengetahui nash Alqur`an dan Sunnah
b. Mengetahui dan menguasai bahasa Arab
c. Mengetahui soal-soal ijma’
d. Mengetahui ushul fiqih.
e. Mengetahui nasikh dan mansukh.
f. Mengetahui ilmu-ilmu penunjang lainnya.

44
d. Menyikapi Hasil Ijtihad/Rakyu

Hasil ijtihad para mujtahid dapat saja terjadi perbedaan disebabkan oleh perbedaan
tingkat pengetahuan, pengalaman, budaya masyarakat dimana mujtahid hidup, kekhasan
masalah yang diijtihadi, metode ijtihad yang dipergunakan, dan lain sebagainya (A.Hanafi,
Pengantar dan Sejarah Hukum Islam : 52).

Menyikapi adanya perbedaan hasil ijtihad tersebut bagi umat Islam yang tidak punya
kompentensi untuk melakukan ijtihad sendiri adalah :
a). Ittiba', yaitu melakukan kajian berbagai aspek ijtihad secara komprehensif dari para
mujtahid yang menghasilkan ijtihad yang berbeda-beda tersebut.
b). Taqlid, yaitu mengikuti hasil ijtihad ulama' mujtahid yang diyakini kekuatannya tanpa
melakukan kajian proses dan hasil ijtihad tersebut bagi umat Islam yang tidak
mempunyai kompetensi untuk melakukan kajian ijtihad.
c). Menghargai hasil ijtihad lain yang tidak diikuti.

3. Manusia Beragama Islam


3.1. Karakteristik Manusia Beragama Islam
3.1.1. Penyebutan Manusia Dalam Alqur'an

Konsep manusia di dalam Alqur’an dipahami dengan memperhatikan kata-kata yang


saling menunjuk pada makna manusia, yaitu kata basyar, insan, an-nas, bani Adam, dan
abdun. Allah memakai konsep basyar dalam Alqur’an sebanyak 37 kali, salah satunya QS. 18
(Al-Kahfi) : 110, yaitu : innama anaa basyarun mitslukum (sesungguhnya aku ini hanya
seorang manusia seperti kamu). Konsep basyar selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis
manusia, seperti asalnya dari tanah liat atau lempung kering (QS. 15 : Al-Hijr : 33; dan QS.
30 : Al-Rum : 20), manusia makan dan minum (QS. 23 : Al-Mukminun : 33). Basyar adalah
makhluk yang sekedar ada (being), yang memiliki insting seperti yang dimiliki oleh hewan.
Kata insan disebutkan dalam Alqur’an sebanyak 65 kali, diantaranya adalah dalam QS. 96 :
Al-’Alaq : 5, yaitu : ’allamal insaana maa lam ya’lam (Dia mengajarkan manusia apa yang
tidak diketahuinya). Konsep insan selalu dihubungkan dengan sifat psikologis atau spiritual
manusia sebagai makhluk yang berpikir, berilmu, dan memikul amanah (QS. 33 : Al-Ahzab :
72). Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming), dan terus bergerak maju ke arah
kesempurnaan. Kata al-nas disebut sebanyak 240 kali, seperti dalam QS. 39 : Al-Zumar : 27 :
”wa laqad dharabna linnaasi fii haadzal qur’aani min kulli matsal” (sesungguhnya telah
Kami buatkan bagi manusia dalam Alqur’an ini setiap macam perumpamaan). Konsep al-nas
menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial atau secara kolektif. Kata Bani Adam,
menunjuk pada aspek historis, bahwa semua umat manusia berasal dari Nabi Adam, seperti
disebutkan dalam QS. 7 (Al-A’raf) : 31 : ya bani Adam, khudzuu ziinatakum ’inda kulli
masjidin (Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid).
Adapun kata ’abdun, menunjuk aspek posisi manusia sebagai hamba Allah yang harus tunduk
dan patuh kepada-Nya.

3.1.2. Tujuan Penciptaan Manusia

45
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada penciptanya, yaitu Allah.
Pengertian beribadah kepada Allah tidak boleh diartikan secara sempit, dengan membatasi
pengertiannya hanya pada aspek ritual yang tercermin dalam shalat saja. Peribadahan berarti
pengabdian atau ketundukan diri manusia kepada Allah dengan mentaati hukum Allah dalam
menjalankan kehidupan di muka bumi ini, baik yang berupa hubungan vertikal dengan Allah,
maupun horizontal dengan sesama manusia dan makhluk Allah lainnya.

Peribadahan manusia kepada Allah lebih mencerminkan kebutuhan manusia terhadap


terwujudnya sebuah kehidupan dengan tatanan yang baik dan adil. Oleh karena itu
peribadahan harus dilakukan secara sadar. ikhlas atau suka rela, karena Allah sebenarnya
tidak membutuhkan peribadahan manusia.

3.1.3. Proses Penciptaan Manusia

Dalam QS. 23 (Al-Mukminun) : 12-14 Allah menjelaskan dalam firman-Nya bahwa


manusia diciptakan dari suatu saripati (berasal) dari tanah, kemudian saripati itu dijadikan air
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim), kemudian air mani itu di jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu dijadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
dijadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu dibungkus dengan daging. kemudian
dijadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.

Dalam ayat tersebut dijelaskan tentang penciptaan manusia dari unsur fisik, sedangkan
manusia dicipta dari dua unsur, yaitu unsur fisik dan unsur ruh, sebagaimana dijelaskan dalam
QS.15 (Al-Hijr) : 28-29.

3.1.4. Alam Kehidupan Manusia

Kehidupan manusia berlangsung dalam empat tahapan kehidupan, yaitu :


a. Alam rahim, yaitu alam kehidupan sejak terjadi konsepsi sampai lahir;
b. Alam dunia, yaitu alam kehidupan sejak kelahiran sampai meninggal dunia;
c. Alam barzah atau alam kubur, yaitu alam kehidupan sejak kematian sampai kiamat;
d. Alam akhirat, yaitu alam kehidupan sejak kiamat, yaitu kehancuran alam beserta isinya
sampai kehidupan di surga atau neraka sebagai balasan terhadap perbuatan manusia
selama hidup di dunia. Alam akhirat terdiri dari empat tahadap, yaitu (1) yaumu ba'ats
atau hari kebangkitan; (2) yaumu mahsyar atau hari dikumpulkannya manusia di
mahsyar; (30 yaumu miizan atau yaumu hisab, yaitu hari penimbangan/perhitungan amal
perbuatan; dan (4) yaumu jaza' atau hari pembalasan terhadap hasil penimbangan/
perhitungan amal perbuatan manusia, kalau hasilnya baik manusia akan dibalas dengan
kehidupan yang menyenangkan di surga, dan kalau sebaliknya hasilnya buruk, manusia
akan dibalas dengan kehidupan yang menyengsarakan di neraka.

3.1.5. Kedudukan Manusia

Sejak sebelum manusia diciptakan, Allah telah menyampaikan irodahnya kepada para
malaikat bahwa manusia akan diciptakan sebagai khalifah-Nya di bumi sebagaimana Allah
firmankan dalam QS. 2 (Al-Baqarah) 30, dan juga dalam QS. 6 (Al-An'am) 165.

46
Makna khalifah Allah adalah pengemban amanah Allah. Amanah yang Allah
percayakan kepada manusia adalah menegakkan aturan Allah di bumi ini sehingga tercipta
kehidupan yang harmonis, yang adil, sehingga manusia khususnya dan semua makhluk pada
umumnya merasakan rahmat Allah. Rahmat Allah tersebut dalam kehidupan manusia
digambarkan dengan kehidupan yang makmur sebagaimana disebutkan dalam firman Allah
dalam QS. 11(Hud) : 61.

3.1.6. Potensi Manusia

Manusia memiliki potensi, yaitu kelengkapan yang diberikan pada saat dilahirkan ke
dunia. Potensi yang dimiliki manusia dapat dikelompokkan pada dua aspek, yaitu potensi
fisik, dan potensi ruhaniah. Potensi fisik manusia telah dijelaskan pada bagian yang lalu,
sedangkan potensi ruhaniah adalah akal, qalb, dan emosi atau perasaan. Dalam Alqur’an akal
diartikan dengan kebijaksanaan (wisdom), inteligensia (intelligent), dan pengertian
(understanding). Dengan demikian, di dalam Alqur’an akal diletakkan bukan hanya pada
ranah rasio semata, tetapi juga rasa, bahkan lebih jauh dari itu, akal diartikan dengan hikmah
atau kebijaksanaan.

Al-Qalb berasal dari kata qalaba yang berarti berubah, berpindah, atau berbalik. Musa
Asy’ari (1992) menyebutkan arti qalb dengan dua pengertian, yaitu pengertian kasar atau
fisik, yang berupa segumpal daging yang berbentuk bulat panjang, terletak disebelah kiri,
yang sering disebut jantung, dan pengertian yang halus yang bersifat Ketuhanan serta
ruhaniah, yaitu hakikat manusia yang dapat menangkap segala pengertian, berpengetahuan,
dan arif. Dengan demikian, akal digunakan manusia dalam rangka memikirkan alam,
sedangkan mengimani Allah adalah kegiatan yang berpusat pada qalbu. Keduanya merupakan
kesatuan daya ruhani untuk dapat memahami kebenaran, sehingga manusia dapat memasuki
kesadaran tertinggi yang menerima, memahami, dan meyakini kebenaran Ilahi.

Adapun nafsu (bahasa Arab al-Hawa, dalam bahasa Indonesia sering disebut hawa
nafsu), adalah suatu kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya.
Dorongan ini sering disebut dorongan ghoriziyah, insting, karena sifatnya yang bebas tanpa
mengenal baik dan buruk. Oleh karena itu nafsu sering disebut sebagai dorongan kehendak
bebas. Dengan nafsu, manusia dapat bergerak dinamis dari suatu keadaan ke keadaan yang
lain. Kecenderungan nafsu yang bebas, jika tidak terkendali dapat menyebabkan manusia
memasuki kondisi yang membahayakan dirinya. Untuk mengendalikan nafsu, manusia
menggunakan akalnya, sehingga dorongan-dorongan tersebut dapat menjadi kekuatan positif
yang menggerakkan manusia ke arah tujuan yang jelas dan baik. Agar manusia dapat bergerak
ke arah yang jelas dan baik, maka agama berperan untuk menunjukkan jalan yang harus
ditempuhnya. Nafsu yang terkendali oleh akal dan qalbu, yang berada pada jalur yang
ditunjukkan agama disebut al-nafs al-muthmainnah.

Dalam QS.12 (Yusuf) : 53 diingatkan oleh Allah bahwa nafsu yang baik tersebut adalah nafsu
yang dirahmati Allah. Dengan demikian, manusia ideal adalah manusia yang mampu menjaga
fitrah (hanif) nya, dan mampu mengelola serta memadukan potensi fisik atau lahir, akal, qalb,
dan nafsunya secara harmonis.

3.1.7. Karakter Manusia

47
Pada diri manusia terdapat perpaduan karakter yang berlawanan. Manusia adalah hadis,
baru, dari sifat jasmiahnya, dan azali dari roh Ilahiahnya. Oleh karena itu pada diri manusia
terdapat karakter baik yang mencerminkan sifat Tuhan dan karakter buruk yang
mencerminkan sifat buruk nafsu yang mengutamakan pada kepuasan pada materi,
sebagaimana dsebutkan dalam QS. 91 (Al-Syams) : 7-10.

3.1.8. Martabat Manusia

Sekalipun manusia telah Allah ciptakan dalam bentuk yang terbaik dan dimuliakan
dibanding makhluk lainnya, tetapi martabat manusia ditentukan oleh nilai perbuatan dalam
kehidupannya. Martabat manusia tersebut adalah :
1). Muttaqun, orang yang bertakwa, yaitu orang yang mentaati aturan Allah dengan
mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
2). Mukmin, orang yang beriman, yaitu orang yang mempercayai ke enam rukun iman dan
mengikrarkannya secara lisan, serta mengamalkan perintah-perintah Allah dengan
anggota badannya.
3). Muslim, orang yang beragama Islam, yaitu orang yang mengikrarkan dua kalimat
syahadat disertai dengan ketaatan, kepatuhan, kepasrahan, dan ketundukan terhadap
aturan-aturan Allah.
4). Muhsin, orang yang berbuat baik, yaitu orang yang beramal untuk kebaikan hidup
dirinya, orang lain, dan makhluk lain.
5). Mukhlish, orang yang ikhlash, yaitu orang yang melakukan kegiatan dengan niat hanya
karena Allah.
6). Mushlih, orang yang menciptakan kebaikan, yaitu orang yang beramal untuk memberikan
kemanfaatan hidup diri sendiri, orang lain, dan makhluk lain.
7). Kafir, orang yang mengingkari atau menolak, yaitu orang yang mengingkari ada-Nya
Allah, atau menolak perintah Allah.
8). Fasik, orang yang keluar dari kebenaran, yaitu orang yang semula mukmin tetapi
kemudian tidak mau taat pada aturan Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan aturan Allah.
9). Munafik, orang yang pura-pura beragama Islam atau beriman, yaitu orang yang apabila
berkata dusta, apabila berjanji ingkar, dan apabila diberikan amanah berkhianat.
10). Musyrik, orang yang menyekutukan Allah, yaitu orang yang menyekutukan Allah dengan
selain Allah sebagai Tuhan, atau menyekutukan peribadahan kepada Allah dan kepada
selain Allah.
11). Murtad, orang yang kembali keluar atau keluar dari Islam, yaitu orang yang semula
beragama Islam kemudian keluar dari Islam, baik orang tersebut kemudian menganut
agama selain Islam atau tidak beragama.

3.1.9. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama Islam

Sekalipun manusia telah Allah ciptakan sebagai makhluk terbaik dan Allah karuniakan
potensi yang terlengkap dibandingkan dengan potensi makhluk lainnya, tetapi manusia tetap
relatif, artinya punya keterbatasan. Relativitas manusia tersebut mengakibatkan manusia tidak
mampu mencapai kepastian yang mengandung kebenaran mutlak. Karena itu sejak awal
manusia diciptakan, Allah selalu memberikan petunjuk kepada manusia untuk membimbing
relativitas potensinya agar manusia tidak tersesat, atau mengalami kesulitan, atau bimbang
dalam ketidak-pastian. Petunjuk tersebut Allah berikan melalui wahyu yang Allah turunkan

48
kepada rasul-Nya. Ajaran yang terdapat didalam wahyu Allah tersebut yang disebut agama,
atau dalam istilah Alqur'an disebut syariah, artinya jalan kehidupan. Secara universal,
manusia memiliki karakter yang sama. Karena itu Allah turunkan satu syariah, satu agama
sejak manusia yang pertama Allah ciptakan sekaligus rasul pertama, yaitu Rasulullah Adam
AS sampai manusia terakhir yang hidup di bumi ini kepada rasul terakhir, yaitu Rasulullah
Muhammad SAW. Syariah atau agama yang Allah turunkan kepada semua manusia adalah
Islam sebagaimana disebutkan dalam QS.3 (Ali Imran) : 19.

3.2. Tanggung Jawab Manusia Beragama Islam


3.2.1.Tanggung Jawab Manusia Sebagai Hamba Allah

Makna yang esensial dari kata ’abdun (hamba) adalah pengabdian sebagai wujud
ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan. Ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan manusia hanya
layak diberikan kepada Allah, yang dicerminkan dalam ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan
pada kebenaran dan keadilan berdasarkan ketentuan Allah. Dalam hubungan dengan Allah,
manusia menempati posisi sebagai ciptaan, dan Allah sebagai Pencipta. Posisi ini mempunyai
konsekuensi adanya keharusan manusia menghambakan diri kepada Allah, dan dilarang
menghamba pada sesama manusia atau makhluk lainnya. Kesediaan manusia untuk
menghamba hanya kepada Allah dengan sepenuh hatinya, akan mencegah manusia pada
penghambaan terhadap sesama manusia atau makhluk lainnya. Tanggung jawab ’abdullah
terhadap dirinya adalah memelihara ketakwaan yang melahirkan ketaatan untuk mengerjakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tanggung jawab manusia kepada Allah untuk
mengabdi tersebut di dalam Alqur'an disebut hablun min Allah.

3.2.2. Tanggung Jawab Manusia Sebagai Khalifah Allah

Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi
khalifah memegang amanah atau mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka
bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan
dirinya mengolah serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan
kehidupan. Sebagai wakil Allah, Allah mengajarkan kepada manusia kebenaran dalam segala
ciptaan-Nya dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum kebenaran
yang terkandung dalam ciptaan-Nya. Kekuasaan manusia sebagai wakil Allah dibatasi oleh
aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang mewakilkannya, yaitu
hukum-hukum Allah, baik yang tertulis dalam kitab suci Alqur’an (ayat Quraniyah) dan
Sunnah Rasulullah saw, maupun yang tersirat dalam alam semesta (ayat kauniyah).

Dengan demikian, manusia sebagai hamba dan khalifah Allah merupakan kesatuan yang
saling menyempurnakan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang memiliki kebebasan
berkreasi dan sekaligus menghadapkannya pada tuntutan kodrat yang menempatkan posisinya
pada keterbatasan.

49
BAB II
POKOK POKOK AJARAN AGAMA ISLAM

1. Akidah atau Iman Islam


1.1. Pengertian, Ruang Lingkup Materi, Kedudukan Akidah atau Iman Islam

1.1.1. Pengertian Akidah atau Iman Islam

Akidah secara etimologi berasal dari kata 'aqada ya'qidu 'aqdan, artinya simpul atau
ikatan dari dua utas tali dalam satu buhul sehingga menjadi tersambung. Aqada berarti pula
janji yang kokoh, karena janji merupakan ikatan kesepakatan antara dua pihak yang
mengadakan perjanjian. Akidah menurut terminologi adalah sesuatu yang mengharuskan hati
membenarkannya, yang membuat jiwa tenang dan menjadi kepercayaan yang bersih dari
kebimbangan dan keraguan. Atau sering juga disebut dengan keyakinan. Istilah akidah masih
bersifat umum untuk berbagai agama, sedangkan iman dari segi bahasa berarti kepercayaan
atau keyakinan, dan dari segi istilah sama dengan akidah.

Dalam redaksi Alquran, akidah Islam disebut dengan iman. Iman bukan hanya berarti
percaya, melainkan keyakinan yang kuat yang mendorong dan mendasari seorang muslim
untuk berbuat. Oleh karena itu lapangan iman itu sangat luas. Iman senantiasa bersinergi
dengan perbuatan atau amal saleh. Karena itu iman didefinisikan dengan : “Mengucapkan
dengan lisan, membenarkan dengan hati dan melaksanakan dengan segala anggota badan
(perbuatan)". Iman hendaknya berwujud penyataan dengan lidah, dilandasi dengan keyaknian
dalam hati dan sebagai buktinya disertai dengan perbuatan baik dan ikhlas yang sesuai dengan
perintah Allah dan Rasul-Nya.

Dalam ajaran Islam, akidah Islam (al-aqidah al-Islamiyah) merupakan keyakinan atas
sesuatu yang terdapat dalam apa yang disebut dengan rukun iman, yaitu keyakinan kepada
Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta qadha' dan qadar. Hal
ini didasarkan kepada Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Umar bin
Khathab RA  yang dikenal dengan ‘Hadis Jibril’. Akidah Islam adalah pokok kepercayaan
seorang muslim yang harus dipegang sebagai sumber keyakinan yang mengikat. Ketika ia
berakidah Islam maka ia terikat dengan segala aturan hukum yang datang dari Islam. Menjadi
seorang mukmin berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran
agama Islam.

Akidah Islam membentuk perilaku kehidupan seorang muslim. Ada beberapa pokok
manfaat dan pengaruh iman dalam kehidupaan manusia antara lain:
1. Iman menyelapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda
2. Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut
3. Iman menanamkan sikap “self help” dalam kehidupan
4. Iman memberikan ketentraman jiwa
5. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan thayibah)
6. Iman memelihara sikap ikhlas dan konsekuen
7. Iman memberikan keberuntungan.

50
1.1.2. Ruang Lingkup Akidah atau Iman Islam

Para ulama membagi ruang lingkup akidah ke dalam 4 (empat) pembahasan, yaitu : (1)
Ilahiyat, yaitu pembahasan yang berkenaan dengan masalah Ketuhanan utamanya
pembahasan tentang Allah. (2) Nubuwwat, yaitu pembahasan yang berkenaan dengan utusan-
utusan Allah, yaitu para nabi dan para rasul Allah. (3) Ruhaniyat, yaitu pembahasan yang
berkenaan dengan makhluk gaib, seperti Jin, Malaikat, dan Iblis. (4) Sam’iyyat, yaitu pem-
bahasan yang bekenaan dengan alam ghaib, seperti alam kubur, akhirat, surga, neraka, dan
lain-lain.  

Materi iman atau yang sering disebut dengan Rukun Iman yang harus diyakini seorang
muslim ada enam, sebagai mana sabda Rasulullah saw : “Iman itu hendaknya engkau
percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir,
qadha dan qadar Allah yang baik dan yang buruk“ (HR. Muslim.). Enam hal di atas
merupakan materi keimanan yang harus diyakini dan dihayati setiap muslim. Berikut
penjelasan singkatnya :

a. Iman kepada Allah. Beriman kepada Allah maksudnya adalah meyakini dalam hati
dengan sesungguhnya tanpa keraguan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa dan
Maha Kuasa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada satupun yang
menyerupai-Nya. Allah Esa dalam wujud-Nya, Esa dalam dzat-Nya, Esa dalam sifat-
sifat-Nya, dan Esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Ajaran Keesaaan Allah disebut
dengan Tauhid. Selanjutnya Keesaan Allah dijabarkan dalam Tauhid Uluhiyyah, Tauhid
Rububiyah, dan Tauhid Asma wa Sifat.
b. Iman kepada Malaikat. Beriman kepada malaikat artinya meyakini bahwa Allah
menciptakan malaikat, yaitu mahluk ghaib yang diciptakan dari cahaya, senantiasa patuh
dan melaksanakan tugas-tugas yang diberikan Allah.
c. Iman kepada Kitab. Beriman kepada Kitab-kitab Allah artinya meyakini bahwa Allah
menurunkan wahyunya kepada para Nabi dan Rasul yang tertulis dalam kitab-kitab-Nya.
Kitab-kitab Allah berisi berbagai informasi, aturan dan hukum-hukum Allah bagi
manusia. Kitab suci yang disebutkan dalam Alqur’an ada empat, yaitu: (1) Kitab Taurat,
yang diturunkan kepada Nabi Musa as, (2) Kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi
Daud as., (3) Kitab Injil, yang diturunkan kepada Nabi Isa as, dan (4) Kitab Alqur'an,
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
d. Iman kepada para Rasul. Beriman kepada para Rasul maksudnya adalah meyakini bahwa
Allah memilih hamba-Nya yang dijadikan Rasul. Hamba terpilih ini menjadi
pembimbing bagi umat manusia menuju jalan yang diridhai oleh Allah. Menurut Imam
Ahmad Ibnu Hambal, Nabi seluruhnya berjumlah 124 ribu, sedangkan Rasul berjumlah
313 orang, (dalam riwayat lain 315 orang). (Zaki Mubarak : 45). Adapun Rasul yang
disebutkan dalam Alquran berjumlah 25 orang, dari Nabi Adam as sampai Nabi
Muhammad SAW. Iman kepada Rasul juga mengharuskan kita meyakini bahwa Nabi
Muhammad saw adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi sesudahnya.
e. Iman kepada Hari Akhir. Beriman kepada Hari Akhir adalah meyakini akan kedatangan
Hari Akhirat. Iman kepada hari akhir meyakini adanya kehidupan yang kekal abadi
setelah hancurnya alam semesta ini. Manusia akan mendapat balasan yang seadil-adilnya
atas amal perbuatan yang dilakukan sewaktu hidup di dunia.

51
f. Iman kepada Qadha dan Qadar Allah. Beriman kepada Qadha dan Qadar Allah
maksudnya meyakini bahwa Allah menetapkan ketentuan atau takdir-Nya terhadap segala
sesuatu, yang baik maupun buruk. Qadha pengertiannya menurut bahasa adalah
ketetapan, sedangkan Qadar adalah ukuran. Segala sesuatu yang ada di alam nyata
maupun ghaib terwujud menurut qadha dan qadar Allah. Semua kejadian dan peristiwa
telah direncanakan dan dalam ketetapan ilmu Allah.

1.1.3. Kedudukan Akidah atau Iman Islam

Dalam ajaran Islam, akidah memiliki kedudukan yang sangat penting, ibarat suatu
bangunan, akidah adalah pondasinya. Sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti Syariah dan
Akhlak merupakan sesuatu yang dibangun di atasnya. Perumpamaan yang sangat menarik
dalam Alqur’an bahwa seorang mukmin itu laksana "Kalimatan thoyyibah" (kalimat yang
baik), dan laksana pohon yang baik (syajaratun thoyyibah). (QS.14:24-25). Kalimat yang baik
itu adalah laa ilaha illa Allah (syahadat).  Dalam Tafsir Jaami’ul Bayan, Ibnu Jarir Ath-
Thabari juga menjelaskan kalimatan thoyyibah adalah persaksian tiada Tuhan selain Allah,
dan syajarotun toyyibah adalah seorang mukmin, ashluha tsabitun artinya laa ilaha illa
Allah  yang tertanam di dalam hati seorang mukmin, wa far’uha fis-samaai yakni amal
perbuatannya akan menjulang ke langit.

 Jika kita renungkan ayat di atas, indikator pohon yang baik atau berkualitas ada tiga
hal:
a. Ashluha tsabitun (akarnya menghujam ke perut bumi). Akar yang kuat menjadi dasar dan
tumpuan tumbuhnya pohon yang besar. Di sinilah pentingnya peran sang penanam yang
ikhlas dan sungguh-sungguh, berkorban tanaga, pikiran dan membutuhkan waktu yang
cukup lama. Semakin dalam akarnya, maka semakin kuat pula pohon itu, tidak mudah
tumbang walau dihantam badai. Akar ibarat akidah tauhid (iman) yang tertanam di dalam
lubuk hati sanubari seorang mukmin. Jika akidahnya kuat, maka ia mampu menghadapi
cobaan dan godaan hidup seberat apapun. 
b. Far’uha fis-samai (dahannya menjulang ke langit). Pohon yang sudah berurat berakar,
akan menumbuhkan batang yang besar, dahan dan ranting yang banyak serta berdaun
lebat. Ia akan membagikan oksigen yang bersih dan kesejukan bagi manusia, hijau dan
menyejukkan. Inilah ibarat seorang mukmin yang taat dalam menjalankan syariah Islam,
baik dalam ibadah ritual maupun sosial (muamalah).
c. Tu’tii ukulaha kulla hiin (berbuah setiap waktu). Pohon yang baik tidak hanya berakar
kuat dan berdahan besar, tapi juga berbuah banyak dan enak.

1.1.4 Ketauhidan Allah

Inti dari Akidah Islamiyah adalah tauhid. Tauhid merupakan awal dan akhir seruan
Islam. Tauhid menurut bahasa artinya meng-Esakan. Sedangkan menurut istilah adalah
kepercyaaan dan keyakinan bahwa Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Esa (faith in the unity
of God)./Suatu kepercayaan yang menegaskan bahwa hanya Allah lah yang Esa dalam dzat-
Nya yang menciptakan, memelihara, mengatur alam semesta ini. Dialah Allah satu-satunya
Dzat yang memberi hukum, yang wajib disembah, dimohon petunjuk dan pertolongan-Nya.
Dialah Allah Dzat yang luhur, yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, berbeda dengan
seluruh makhluk-Nya, Dialah Allah sumber segala kebaikan dan kebenaran, Maha Adil dan
Maha Suci. Lawan dari Tauhid adakah syirik, yaitu mempersekutukan Allah, suatu

52
kepercayaan tentang adanya tuhan selain Allah. Kepercayaan syirik ini adalah dosa besar di
sisi Allah, bahkan disebut sebagai dosa yang tak diampuni oleh Allah sebagaimana
difirmankan dalam QS. 4 (Al-Nisa;) :48.

Tauhid merupakan satu-satunya sebab untuk menggapai ridho Allah Ta’ala, cinta dan
pahala-Nya. Berbeda dengan syirik yang merupakan sebab turunnya siksa Allah, kemurkaan
dan kepedihan azab-Nya. Tauhid dalam Islam merupakan keimanan yang progresif. Dalam
pandangan Islam Tauhid yang sempurna adalah tauhid yang bukan hanya mempercayai saja
ke-Esaaan Alah dalam Zat, Sifat dan perbuatan Allah, namun juga mengucapkan dan
mengamalkan dengan anggota badannya. Tauhid akan tercermin dalam ibadah dan kehidupan
praktis sehari-hari seorang muslim. Dalam menegakkan Tauhid, seseorang harus menyatukan
iman dan amal, konsep dan pelaksanaan, pikiran dan perbuatan serta teks dan konteks. Tauhid
yang telah tertanam mantap dalam hati seorang hamba akan meringankannya dari segala
kesulitan, musibah, kepedihan dan kesedihannya.

1.1.5 Macam-macam Tauhid

Menurut Imam Ath-Thahawi dalam kitabnya Syarh al-Aqidah al-Thahawiyah, tauhid


dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian :

a. Tauhid Rububiyah

Tauhid Rububiyah yaitu meng-Esakan Allah dalam hal penciptaan, kepemilikan serta
pemeliharan alam semesta.. Mempercayai dan meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allah Rabb
yang menciptakan, menghidupkan, mengatur segala apa yang ada di alam semesta raya ini.
Allah berfirman yang artinya: “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam“. (Q.S Al-
Fatihah:2). Yang termasuk tauhid rububiyah diantaranya meliputi: Beriman kepada Allah
sebagai satu-satunya pencipta, pemberi rezeki, penentu qodha dan qodar, yang mematikan dan
menghidupkan setiap makhluk. Tidak ada makhluk yang ikut serta menjadi sekutu bagi-Nya
dalam menciptakan alam raya ini.

Tauhid Rububiyah akan rusak apabila kita mengakui bahwa yang mengurus alam ini
ada dua tuhan ataupun lebih, seperti dipercayai oleh bangsa Persi pada zaman dahulu. Adapun
Alqur’an menetapkan ke-Esaan Allah dalam menjadikan alam (Tauhid Rububiyah) dengan
berbagai dalil dan akal yang logis. Memang Alqur’an mengokohkan ke-Esaan Allah
sebagaimana Alqur’an mengokohkan adanya Allah. Lebih jelasnya, Tauhid Rububiyah adalah
keyakinan terhadap Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang menciptakan, menguasai dan
mengurus serta mengatur alam semesta. Ini menunjukkan juga bahwa Allah itu Esa dan tidak
ada sekutu bagi-Nya.

b. Tauhid Uluhiyah

Pengertian Tauhid Uluhiyah ialah pengesaan Allah dalam ibadah, yakni bahwasanya
hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi dan diagungkan. Yaitu mengesakan Allah
dengan cara ibadah, seperti shalat, dzikir, berdoa, dan lain-lainnya. Allah berfirman yang
artinya: “Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, Tidak ada Tuhan melainkan Dia“.
(Q.S Al-Baqarah: 163). Selain itu, dapat kita lihat juga dalam Alqur’an surat Al-Anbiya ayat
25, QS. Al-Nahl ayat 36, QS. Al-An’am ayat 102, QS. Al-Bayyinah ayat 5.

53
Kata uluhiyah diambil dari akar kata Ilah yang berarti: Yang Disembah dan Yang
Ditaati. Kata ilah ini digunakan untuk menyebut sesembahan baik yang hak maupun  yang
batil. Untuk sesembahan yang hak terlihat misalnya dalam firman Allah dalam surat Al-
Baqarah ayat 255, sedang untuk sembahan yang batil terlihat dalam surat Al-Jatsiyah ayat 23.
Realisasi yang benar dari Tauhid Uluhiyah hanya bisa terjadi dengan dua dasar: Pertama,
memberikan semua bentuk ibadah hanya kepada Allah SWT semata tanpa adanya sekutu
yang lain. Kedua, hendaklah semua bentuk ibadah itu sesuai dengan perintah Allah dan
dengan  meninggalkan larangan-Nya. Kedua dasar itu disimpulkan dalam kata: ikhlas (berniat
semata-mata untuk Allah) dan mutaba’ah (mengikuti Sunnah Rasulullah SAW dalam
pelaksanaan). Kedua kata ini sebenarnya merupakan intisari dari dua kalimat syahahat.
(Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah). Sebab ia
mengadung  pengesaan bagi Sang Pengutus Rasul, yaitu Allah; dan pengesaan bagi Sang
utusan yaitu Rasulullah SAW. Maka tiada ibadah dan ketaatan kecuali hanya untuk Allah
SWT semata, dan tiada jalan yang benar untuk melaksanakan ibadah dan ketaatan  itu kecuali
hanya Sunnah Rasulullah saw. Semua jalan selain itu tidak akan mengantar sampai tujuan.

c. Tauhid Asma’ dan Sifat

Tauhid Asma' dan Sifat adalah mengesakan Allah dengan nama dan sifat-sifat-Nya yang
Dia jelaskan dalam kitab suci-Nya maupun melalui lisan Rasul-Nya, yakni dengan
menetapkan nama dan sifat yang Dia tetapkan dan menafikan apa yang Dia nafikan, tanpa
merubah atau mengingkari, menanyakan bagaimana ataupun menyerupakan. Akan tetapi kita
beriman bahwa sesungguhnya Allah tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya.

Kalimat asma’ adalah bentuk jama’ dari  kalimat ism yang berati nama. Asma Allah 
berarti nama-nama Allah. Sedangkan kalimat sifaat  bentuk jama’ dari kata sifat yang berarti
sifat.  Kalimat sifat dalam bahasa Arab berbeda dengan kalimat sifat dalam bahasa Indonesia.
Dalam bahasa arab kalimat sifat mencakup segala informasi yang melekat pada suatu yang
wujud. Sehingga sifat bagi benda dalam bahasa arab mencakup sifat benda itu sendiri, seperti
besar  kecilnya, tinggi rendahnya, warnanya, keelokannya, dan lain-lain. Juga mencakup apa
yang dilakukannya, apa saja yang dimilikinya, keadaan, gerakan, dan informasi lainnya yang
ada pada benda tersebut. Dengan demikian, kalimat sifat Allah mencakup perbuatanNya,
kekuasaan-Nya, apa saja yang ada pada Allah, dan segala informasi tentang Allah. Diantara
sifat-sifat Allah adalah Allah memiliki tangan yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-
Nya, Allah memiliki kaki yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, Allah turun ke
langit dunia, Allah bersemayam di Arsy, Allah tertawa, Allah murka, Allah berbicara, dan
lain-lain. Dan sekali lagi, sifat Allah tidak hanya berhubungan dengan kemurahan-Nya,
keindahan-Nya, keagungan-Nya, dan lain-lain.

Mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya menuntut seseorang


muslim  meyakini   secara mantap bahwa Allah SWT. menyandang seluruh sifat
kesempurnaan dan suci dari segala sifat kekurangan, dan bahwa Dia berbeda dengan seluruh
makhluk-Nya. Caranya adalah dengan: Itsbatun yakni menetapkan (mengakui) nama-nama
dan sifat-sifat Allah yang menunjukkan  ke-Maha Sempurnaan Allah yang Dia sandangkan
untuk Dirinya atau disandangkan oleh Rasulullah saw dan nafyun,yakni meniadakan atau
menolak nama-nama dan sifat-sifat yang menunjukkan ketidak sempurnaan Allah dengan
tidak melakukan tahrif (pengubahan) lafazh atau maknanya, tidak ta’thil (pengabaian), yakni
menyangkal seluruh atau sebagian nama dari sifat itu, tidak takyif (pengadaptasian) dengan

54
menentukan esensi dan kondisinya, dan tidak tasybih (penyerupaan) dengan sifat-sifat
makhluk-Nya.

Berdasarkan penjelasan dari ayat-ayat Alqur’an, Tauhid asma’ wa shifat berdiri diatas
tiga asas,  yaitu:
Pertama : Mensucikan dan meninggikan Allah SWT dari sifat-sifat dan perkara-perkara
yang menyerupai-Nya dengan makhluk-Nya atau dari segala kekurangan;
Kedua : Meyakini nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan
dalam Alqur’an dan Hadis; tanpa membatasinya dengan mengurang-ngurangi atau
menambah-nambah, atau berpaling, sekalipun sedikit, atau mengabaikannya;
Ketiga : Membuang jauh-jauh khayalan untuk memvisualisasikan sifat-sifat Allah SWT.

1.2. Implementasi Akidah atau Iman Islam Dalam Kehidupan.


1.2.1. Pengaruh Akidah atau Iman Islam Dalam Kehidupan

Dalam Islam, antara iman dan amal shaleh terdapat hubungan yang terintegtasi. Iman
berorientasi pada rukun iman yang enam, sedangkan amal shaleh berorientasi pada rukun
Islam yang lima, yaitu tentang ibadah dan pengamalannya, dan muamalah dengan sesama
manusia. Meskipun hal yang paling menentukan adalah akidah/iman, tetapi tanpa integrasi
amal dalam perilaku seorang muslim, maka keislaman seorang menjadi tidak utuh. Sebab
eksistensi perilaku luar seorang muslim cermin batinnya. Amal merupakan wujud keimanan
seseorang. Dalam Alquran banyak sekali dijelaskan sifat atau tanda orang beriman.
Implementasi iman seseorang dapat terlihat pada sifat yang melekat pada tingkah lakunya.
Orang yang menerapkan iman maka akan muncul darinya amal dan ketinggian akhlak dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh disebutkan sifat/tanda orang beriman dalam QS.23 (Al-
Mukminun) : 2-11, antara lain : (1) Khusyu' dalam menjalankan shalat, (2) Menjauhkan diri
dari perbuatan yang tidak berguna, (3) Menunaikan zakat, (4) Menjaga amanah dan janji, (5)
Menjaga shalat.

Seorang hamba yang beriman pada Allah akan taat menjalankan amal ibadah,
menyembah hanya kepada Allah semata, tidak mensekutukan-Nya dengan apapun. Apabila
menghadapi tantangan, hambatan, dan masalah, maka ia akan bertawakkal dengan berserah
diri kepada-Nya. Ia meyakini bahwa segala sesuatu di dunia terjadi dengan kehendak Allah.
Di samping itu, ketika manusia beriman dengan malaikat-Nya, maka ia wujudkan dalam
kehidupan ini untuk selalu menjalankan kebaikan, sebagaimana juga malaikat berbuat baik
menjalankan perintah Allah. Implementasi iman kepada kitab suci, dapat diwujudkan dengan
memiliki kepercayaan diri yang kuat akan kebenaran aturan Allah dalam kitab suci-Nya.
Maka ia akan menata hidupnya menyesuaikan dengan rencana Allah, sehingga hidupnya
memiliki harapan masa depan yang jelas dan pasti. Iman kepada Rasul dapat diwujudkan
dengan meneladani perilaku para Rasul dalam kehidupan. Iman kepada para rasul dapat
direalisasikan dengan berusaha selalu berlaku jujur (shidiq), bertanggungjawab mengemban
amanah, menyampaikan nasehat/misi kebenaran (tabligh), berlaku cerdas dan bijaksana
(fathonah). Sejarah hidup para rasul merupakan inspirasi bagi umat beriman untk menjalani
hidup dengan benar, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan.

Iman kepada Hari Akhir akan berdampak pada perilaku sehari-hari. Keimanan ini
melahirkan keyakinan bahwa tidak ada yang sia-sia dalam hidup ini, semua akan dihitung dan
dicatat. Setiap detik diupayakan memiliki makna yang baik yang akan berbuah pahala di
akhirat. Adapun iman kepada Qadha dan Qadar menumbuhkan kesadaran bahwa segala yang

55
ada dan terjadi di alam semesta ini merupakan kehendak dan kuasa Allah. Maka sebagai
orang yang beriman tidak boleh meratapi takdir, mencela bagian/nasib yang diberikan Allah.
Allah memberikan yang terbaik sesuai dengan sifat Kasih dan Sayang-Nya. Iman kepada
Qadha dan Qadar melahirkan sikap optimis, tidak mudah putus asa dan kecewa. Orang
beriman bila mendapat keberuntungan, ia bersyukur dan merasa bahwa semua karunia Allah,
sehingga ia ingin berbagi dengan orang lain. Ketika ia mendapat kemalangan atau musibah ia
hadapi dengan sabar dan tabah. Sikap positif ini akan dapat pahala yang luar biasa dari Allah.

1.2.2. Tantangan Akidah atau Iman Islam Dalam Kehidupan Modern

Kehidupan modern identik dengan kecenderungan mendewakan ilmu pengetahuan dan


teknologi, mengutamakan kehidupan dunia dan mengesampingkan agama. Mereka
beranggapan bahwa hanya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat meningkatkan taraf
kehidupan. Padahal tidak selamanya yang terjadi dalam kehidupan ini seperti yang
diharapkan, karena kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang
pada masyarakat modern akan memberikan dua dampak bagi kehidupan manusia, yaitu dapat
memberikan dampak positif dan, pada sisi lain, juga dapat menimbulkan dampak negatif.

Selain problematika dalam aspek pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,


dalam masyarakat modern mengalami berbagai problem dalam aspek lainnya, seperti dalam
aspek politik, aspek sosial, aspek spiritual, dan aspek etika, dan aspek-aspek lainnya. Dalam
aspek politik, banyak terjadi perebutan kekuasaan, politik menghalalkan segala cara dan
politik mampu menjadikan manusia lupa akan kehidupan akhirat. Selain itu aspek sosial,
terkait dengan masyarakat majemuk. Dengan multi ras, suku dan agama yang hidup di tengah
masyarakat, maka berpotensi menimbulkan gesekan dan konflik. Sikap fanatisme dan
intoleransi menimbulkan perpecahan antar elemen masyarakat. Padahal, pluralitas dalam
masyarakat modern adalah sesuatu yang wajar, yang sudah menjadi sunnatullah. Dalam aspek
spiritual, masyarakat modern senantiasa terbuai dalam situasi keglamoran, hedonis,
meninggalkan pemahamn agama, hidup dalam sikap sekuler yang menghapus visi ke-Ilahian.
Hilangnya visi keilahian tersebut  mengakibatkan kehampaan spiritual dan mengakibatkan
manusia jauh dengan Sang Maha Pencipta, meninggalkan ajaran-ajaran yang dimuat dalam
kitab suci agama. Akibat dari itu, dalam kehidupan masyarakat modern sering dijumpai
banyak orang yang merasa gelisah, tidak percaya diri, stres dan tidak memiliki pegangan
hidup. Kegelisahan hidup mereka sering disebabkan karena takut kehilangan apa yang
dimiliki. Rasa khawatir terhadap masa depan yang tidak dapat dicapai sesuai dengan harapan,
persaingan yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan hidup, dan akibat banyak pelanggaran
dosa yang dilakukan.

Dalam aspek etika, masyarakat moderen mengalami krisis moral yang berkepanjangan.
Masyarakat modern seringkali menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji dan
menyimpang dari norma-norma yang berlaku, baik norma agama, adat istiadat, susila, dan
hukum. Bentuk penyimpangan moral tersebut seperti, menurunnya kualitas moral bangsa
yang dicirikan dengan membudayanya praktek KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme),
meningkatnya kriminalitas diberbagai kalangan, serta menurunnya etos kerja di berbagai
instansi-instansi pemerintahan, merosotnya nilai-nilai keadilan, spiritual, kemanusiaan dll.

1.2.3. Proses Pembentukan Akidah atau Iman

56
Benih iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang
berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan yang intensif,
besar kemungkinan menjadi punah. Demikian halnya dengan benih iman. Berbagai pengaruh
terhadap seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian seseorang, baik dari lingkungan
keluarga, masyarakat, pendidikan dll. Pendidikan dalam keluarga misalnya, sangat
berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap iman seseorang. Tingkah laku
orang tua di dalam rumah tangga senantiasa merupakan contoh dan teladan bagi anak-anak.
Jangan diharapkan anak berperilaku baik apabila orang tuanya selalu melakukan perbuatan
yang tercela. Pada dasarnya, proses pembentukan iman, diawali dengan proses perkenalan,
kemudian meningkat menjadi senang atau benci. Mengenal ajaran Allah adalah langkah awal
dalam mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak mengenal ajaran Allah maka orang
tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah. Disamping proses pengenalan, proses
pembiasaan juga perlu diperhatikan, karena tanpa pembiasaan, seseorang bisa saja yang
tadinya benci menjadi senang. Seorang anak harus dibiasakan terhadap apa yang
diperintahkan Allah dan menjahui larangan Allah agar kelak terampil melaksanakan ajaran
Allah.

Dalam proses penanaman iman, terdapat lima prinsip dasar, yaitu :

a. Prinsip Pembinaan Berkesinambungan


Proses pembentukan iman adalah suatu proses yang penting, terus menerus, dan tidak
berkesudahan. Belajar adalah suatu proses yang memungkinkan orang semakin lama semakin
mampu bersikap selektif. Implikasinya ialah diperlukan motivasi sejak kecil dan berlangsung
seumur hidup.

b. Prinsip Internalisasi dan Individuasi


Suatu nilai hidup antara lain iman dapat lebih mantap terjelma dalam bentuk tingkah laku
tertentu, apabila anak didik diberi kesempatan untuk menghayatinya melalui suatu
peristiwa internalisasi (yakni usaha menerima nilai sebagai bagian dari sikap mentalnya)
dan individuasi (yakni menempatkan nilai serasi dengan sifat kepribadiannya). Melalui
pengalaman penghayatan pribadi, ia bergerak menuju satu penjelmaan dan perwujudan nilai
dalam diri manusia secara lebih wajar dan “amaliah”, dibandingkan bilamana nilai itu
langsung diperkenalkan dalam bentuk “utuh”, yakni bilamana nilai tersebut langsung
ditanamkan kepada anak didik sebagai suatu produk akhir semata-mata. Prinsip ini
menekankan pentingnya mempelajari iman sebagai proses (internalisasi dan individuasi).

c. Prinsip Sosialisasi
Pada umumnya nilai-nilai hidup baru benar-benar mempunyai arti apabila telah memperoleh
dimensi sosial. Oleh karena itu suatu bentuk tingkah laku terpola baru teruji secara tuntas
bilamana sudah diterima secara sosial. Implikasi metodologinya ialah bahwa usaha
pembentukan tingkah laku mewujudkan nilai iman hendaknya tidak diukur keberhasilannya
terbatas pada tingkat individual (yaitu hanya dengan memperhatikan kemampuan seseorang
dalam kedudukannya sebagai individu), tetapi perlu mengutamakan penilaian dalam kaitan
kehidupan interaksi sosial (proses sosialisasi) orang tersebut.

d. Prinsip Konsistensi dan Koherensi


Nilai iman lebih mudah tumbuh terakselerasi, apabila sejak semula ditangani secara konsisten,
yaitu secara tetap dan konsekuen, serta secara koheren, yaitu tanpa mengandung pertentangan
antara nilai yang satu dengan nilai lainnya. Implikasi metodologinya adalah bahwa usaha
yang dikembangkan untuk mempercepat tumbuhnya tingkah laku yang mewujudkan nilai

57
iman hendaknya selalu konsisten dan koheren. Alasannya, caranya dan konsekuensinya dapat
dihayati dalam sifat dan bentuk yang jelas dan terpola serta tidak berubah-ubah tanpa arah.

e. Prinsip Integrasi
Hakikat kehidupan sebagai totalitas, senantiasa menghadapkan setiap orang pada
problematika kehidupan yang menuntut pendekatan yang luas dan menyeluruh. Jarang sekali
fenomena kehidupan yang berdiri sendiri. Begitu pula dengan setiap bentuk nilai hidup yang
berdimensi sosial. Oleh karena itu tingkah laku yang dihubungkan dengan nilai iman tidak
dapat dibentuk terpisah-pisah. Makin integral pendekatan seseorang terhadap kehidupan,
makin fungsional pula hubungan setiap bentuk tingkah laku yang berhubungan dengan nilai
iman yang dipelajari. Implikasi metodologinya ialah nilai iman hendaknya dapat dipelajari
seseorang tidak sebagai ilmu dan keterampilan tingkah laku yang terpisah-pisah, tetapi
melalui pendekatan yang integratif, dalam kaitan problematik kehidupan yang nyata.

1.2.4. Tanda-tanda Orang Beriman

Iman merupakan pokok penting dalam hidup beragama. Tanpa iman hidup ini akan sia-
sia. Orang-orang yang beriman memiliki tanda atau cirinya tersendiri. Tidak semua orang
Islam itu beriman tapi semua orang yang beriman sudah pasti Islam. Sangat banyak tanda-
tanda atau ciri-ciri orang beriman di dunia ini. Maka marilah kita simak satu persatu tentang
tanda-tanda tersebut sebagaimana disebutkan dalam Qs. 8 (Al-Anfal) : 2-4.

Berdasarkan ketentuan dalam ayat tersebut dapat kita simpulkan bahwa tanda-tanda
orang beriman diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Jika disebut nama Allah, bergetar hatinya. Adapaun kenapa dia bergetar hati adalah
karena dia takut kepada Allah, dia tahu siapa dia (sebagai hamba) dan siapa Allah
(sebagai Tuhan), dia takut akan azab Allah, dia takut karena Allah melihat apapun yang
dia kerjakan. Sangat jarang orang-orang begini di zaman yang seraba canggih ini, karena
banyaknya pengaruh jahiliah yang membuat terperosotnya moral dan rusaknya akidah.
2. Bertambah imannya ketika mendengar ayat Allah SWT. Bertambahnya iman seseorang
yang mendengar ayat-ayat Allah karena dia tahu akan kebenaran ayat-ayat Allah dan
keluhurannya. Ketika dia mendengar ayat-ayat Allah, maka dia akan menyimak
kandungannya untuk menjadi pedoman hidup dan menjadikannya bertambah yakin
kepada Allah sebagi Tuhan Semesta Alam. Bukan hanya sekedar menyimak dan
mendengar karena dia akan melaksankan atau mengamalkan apapun yang dia dengar
berdasarkan ilmu yang dia miliki.
3. Bertawakkal kepada Allah SWT. Bertawakal adalah berserah diri kepada Allah atau
bersandar pada yang ditentukan Allah dengan iringan usaha. Bertawakal dengan artian
seseorang percaya penuh bahwa Allah akan memberikan yang terbaik setelah apa yang di
usahakan kepadanya. Karena sesunggunya mereka tahu bahwa Allah Maha Kuasa dan
Maha Bijaksana dalam segala hal, sehingga semua yang Allah berikan adalah yang
terbaik. Lagi pula semua ketentuan dan kejadian di dunia ini adalah semua beradasarkan
ketentuan Allah. 
4. Khusyu' dalam mendirikan shalat. Sangat banyak orang Islam yang mengerjakan shalat
siang dan malam dan bahkan shalat sunat sekalipun. Bukan hanya sekedar shalat akan
tetapi harus kusyu’ didalam shalatnya. Tidak semua orang dapat kusyu' didalam shalatnya
karena hanya orang yang benar-benar beriman sajalah yang mampu melakukannya
seperti yang difrimankan Allah dalam berbagai ayat Alquran.

58
5. Senantiasa mengeluarkan zakat dan sedekah. Zakat dan sedekat merupakan kewajiban
bagi kita yang mampu. Tidak banyak dari orang yang mampu mengeluarkan zakat dan
sedekah akan melakukannya karena mereka kikir dan takut miskin. Padahal zakat atau
sedekah tidak akan mengurangi harta kita bahkan Allah akan memberikan keberkatan
kepada harta yang kita miliki.

2. Syariah Islam
2.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Syariah Islam

2.1.1. Pengertian Syariah Islam.

Syariah menurut bahasa berarti jalan. Dahulu orang Arab mempergunakan kata itu
untuk menyebut jalan setapak menuju ke sumber mata air. Dalam hal ini syariah dapat berarti
jalan yang harus dilalui oleh setiap muslim. Secara terminologi syariah berarti sistem norma
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan
hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Syariah merupakan aspek norma, aturan atau
hukum dalam ajaran Islam. Keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari aqidah Islam.
Menjalankan syariah merupakan bukti dan wujud keimanan dalam Islam. Akidah takkan
sempurna tanpa syariah. Melaksanakan syariahpun akan dinilai sia-sia apabila tanpa
berakidah terlebih dahulu. Syariah adalah norma hukum dasar, yang wajib diikuti setiap
muslim yang diwahyukan Allah. Norma hukum dasar ini dijelaskan dan dirinci oleh Nabi
Muhammad SAW melalui Sunnahnya. Oleh karena itu syariah terdapat dalam Alquran dan
Sunnah Rasulullah. Ilmu yang membahas syariah, dinamakan Ilmu Fikih. Jadi Ilmu Fikih
adalah ilmu yang membahas hukum Islam yang berhubungan dengan perbuatan para orang
mukallaf. Pemahaman hukum syariah dituangkan dalam kitab-kitab fikih dan disebut dengan
hukum fikih.

2.1.2. Ruang Lingkup Syariah Islam

Syariah Islam mencakup semua aspek kehidupan manusia baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat, dalam hubungan dengan diri sendiri, manusia lain, alam
lingkungan maupun hubungan dengan Tuhan. Secara umum syariah terbagi menjadi dua
bagian, yaitu ibadah khusus dan ibadah umum. Ibadah khusus sering disebut dengan istilah
ibadah saja atau ibadah mahdhah, sedangkan ibadah umum sering diungkapkan dengan istilah
muamalah atau ibadah ghairu mahdhah. Bidang ibadah melingkupi berbagai ritual yang wajib
dilakukan seorang muslim dalam berhubungan dengan Allah, seperti shalat, puasa, zakat dan
haji. Adapun muamalah dalam pengertian yang luas mencakup ketetapan Allah yang langsung
berhubungan dengan kehidupan sosial manusia, seperti ekonomi, pernikahan, hutang piutang,
kesehatan, politik dan sebagainya.

Tata-cara ibadah khusus lazimnya diuraikan secara terperinci dan dicontohkan langsung
oleh Rasulullah SAW. Oleh karenanya, umat Islam harus mengikuti ketentuan yang
diperintahkan Allah dan diajarkan Rasullullah saw. Ibadah bersifat tertutup, tidak seorangpun
boleh menambah aturan atau tatacara yang baku tersebut. Pelanggaran terhadap tatacara,
syarat-rukun dalam ibadah ini menjadikan ibadah tersebut tidak sah alias batal. Akan tetapi
muamalah biasanya hanya disebutkan pokok-pokoknya saja. Karena itu sifatnya terbuka
untuk dikembangkan melalui ijtihad. Dalam ibadah khusus, para ulama menetapkan kaidah
yaitu “Semua tidak boleh dilaksankan, kecuali yang diperintahkan Allah atau dicontohkan

59
Rasul-Nya". Melakukan hal baru (bid’ah) dalam ibadah menjadikan praktik ibadah itu ditolak.
Adapun dalam bidang muamalah, maka berlaku kaidah “Semua boleh dilakukan, kecuali yang
dilarang Allah dan Rasul-Nya". Ruang lingkup muamalah sangat luas. Jenis dan macamnya
tidak ditentukan dalam Alquran maupun Sunnah. Suatu perbuatan dapat dikategorikan dalam
ibadah yang bersifat umum apabila perbuatan tersebut bukan termasuk yang dilarang Allah
dan Rasul-Nya dan dilakukan dengan niat karena Allah, untuk memperoleh ridha Allah, dan
menurut ketentuan Allah.

Ibadah khusus, keberadaanya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari
Alqur’an maupun dari Sunnah. Tata caranya juga harus mengacu pada contoh dari Nabi
Muhammad SAW. Shalat, mislanya, maka gerakan, doa dan tata caranya harus mengikuti apa
yang dipraktikkan Rasulullah SAW. Sebagaimana dalam sebuah sabdanya, beliau menyatakan
: "Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat". Asas ibadah adalah ketataan. Adapun
prinsip muamalah adalah menjaga hubungan dengan sesama manusia berjalan dengan
harmonis, adil, saling meridloi antar pihak yang terlibat, mendatangkan kemaslahatan,
menghindari kemudaratan, tidak merugikan dan tidak dirugikan serta selaras dengan aturan
yang ditetapkan Allah. Oleh karenanya, muamalah dalam ajaran Islam bersifat fleksibel dan
luas. Semua aktivitas muamalah boleh selama tidak ada larangan. Kaidah perumusan fikihnya
mungkin saja mengikuti perkembngan zaman. Boleh saja tata caranya mengalami modernisasi
dengan syarat tidak melanggar aturan umum yang ditetapkan syariah Islam.

2.1.3. Perbedaan Syariah Islam Dengan Fikih Islam

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan merupakan bagian dari ajaran Islam.
Ada dua istilah yang berhubungan dengan hukum Islam tersebut. Pertama Syariah; dan kedua
adalah Fikih. Syariah merupakan hukum Islam yang ditetapkan langsung dan tegas oleh
Allah. Materi hukum yang terdapat dalam syariah seringkali menyangkut hal-hal yang pokok
dan utama. Hukum ini dapat dan perlu dikembangkan dengan ijtihad. Hasil
pengembangannya inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Fikih. Dalam praktiknya
dalam kehidupan sehari-hari, kedua istilah itu (Syariah dan Fikih) dirangkum dalam istilah
Hukum Islam. Hal ini dapat dimengerti karena keduanya sangat erat hubungannya, dapat
dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Syariah merupakan landasan fikih dan fikih
merupakan pemahaman orang (yang memenuhi syarat) tentang syariah tersebut. Oleh karena
itu seseorang yang akan memahami hukum Islam dengan baik dan benar harus dapat
membedakan antara syariah Islam dengan Fikih Islam.

Hukum Islam kategori syariah bersifat konstan, tetap, berlaku sepanjang zaman. Ia tidak
mengenal perubahan dan tidak boleh disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Situasi dan
kondisilah yang menyesuaikan dengan syariah. Sedang hukum Islam kategori Fikih bersifat
fleksibel, elastis, relatif, mengenal perubahan, dan dapat disesuaikan dengan situasi dan
kondisi sepanjang ada alasan ('illat) yang kuat. Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa
Inggris, syariah Islam disebut Islamic Law, sedangkan Fikih Islam diistilahkan dengan
Islamic Jurisprudence. Secara sederhana syariah merupakan ketentuan hukum yang disebut
langsung oleh Allah melalui firman-Nya dalam Alqur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW
dalam kitab-kitab Hadis. Sedang Fikih adalah rumusan–rumusan hukum yang dihasilkan oleh
ijtihad para ahli hukum Islam. Oleh karena Fikih adalah hukum yang dikembangkan dari
pemahaman manusia, maka produk fikih sangat mungkin berbeda-beda.

60
Hukum Fikih, sebagai hukum yang diterapkan pada kasus tertentu secara kongkrit,
mungkin berubah dari masa ke masa dan mungkin pula berbeda dari satu tempat ke tempat
lain. Ada satu kaidah Fikih yang menyatakan bahwa perubahan tempat dan waktu
menyebabkan perubahan hukum (fikih). Jadi hukum Fikih cenderung relatif, bersifat dhanni
(dugaan kuat) , tidak absolut (qath’i) sebagaimana hukum syariah yang menjadi norma dasar
hukum fikih. Karena hukum Fikih harus berlandaskan hukum syariah, maka hukum fikih
tidak boleh bertentangan dengan hukum syariah, apalagi kalau ketentuan syariah itu jelas
lafalnya (qath’i), tidak mungkin diartikan lain dari makna yang dikandungnya. Contoh:
Ketentuan syariah Islam tentang wanita dan pria sama-sama menjadi ahli waris almarhum
orang tuanya. Hukum fikih tidak boleh menyatakan suatu ketentuan, misalnya, wanita tidak
berhak menjadi ahli waris seperti keadaan masyarakat Arab sebelum Islam.

Pada pokok perbedaan antara syariah dan Fikih adalah sebagai berikut :
1. Syariah terdapat dalam Alqur’an dan Hadis, dan Fikih terdapat dalam kitab-kitab Fiqih.
2. Syariah bersifat fundamental, ruang lingkupnya lebih luas dari Fikih, sedang Fikih
bersifat instrumental.
3. Syariah berlaku abadi sebagai suatu ketentuan Allah dan Rasul-Nya, sedang Fikih
merupakan karya manusia, sifatnya berubah dari masa ke masa.
4. Syariah hanya satu, sedang Fikih amat mungkin lebih dari satu. Hal ini dapat kita lihat
pada aliran-aliran fikih yang disebut mazahib atau kelompok-kelompok.
5. Syariah menujukkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan keragamannya.
(M. Daud Ali, 1999)

Sebagaimana diuraikan di atas, Fikih senantiasa berubah. Karena sifatnya yang


berubah-ubah Fikih biasanya disandarkan kepada ulama mujtahid yang memformulasikannya.
Seperti Fiqh Hanafi, Fikih Syafi’i, Fikih Maliki, Fikih Hambali dan sebagainya, sedangkan
syariah senantiasa disandarkan kepada Allah dan Rasul-Nya.

2.2. Implementasi Syariah Islam Dalam Kehidupan.


2.2.1. Implementasi Ibadah Mahdhah Dalam Kehidupan.

Dalam ajaran Islam, syariah dengan dua bagiannya ibadah dan muamalah merupakan
aspek operasional dalam beragama. Ruang lingkup ibadah berkisar sekitar bersuci dan rukun
Islam (minus syahadat). Jadi pembahasan ibadah khusus meliputi Thaharah, Shalat, Zakat,
Puasa dan Haji. Syahadat merupakan kajian akidah karena menyangkut pernyataan keyakinan
kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Namun syahadat merupakan hal yang amat
penting karena ketiadaannya menjadikan seluruh ibadah tidak berguna dan sia-sia dihadapan
Allah SWT. Begitu pula, keislaman seseorang tidaklah cukup hanya dalam ucapan syahadat
saja, namun harus diwujudkan dengan melaksanakan ritual ibadah dan interaksi sosial yang
sesuai ajaran Islam.

Setelah mengikrarkan dua kalimat syahadat seorang muslim diwajibkan melaksanakan


shalat lima waktu sehari semalam, yang didahului dengan thaharah (bersuci). Thaharah secara
garis besar terdiri dari beberapa bagian, yaitu bersuci dari najis dan bersuci dari hadas.
Bersuci dari hadas terdiri dari dua bagian, yaitu hadas besar yang dapat dihilangkan dengan
mandi, dan hadas kecil, cara bersucinya dengan berwudhu. Zakat adalah memberikan
sebagian harta yang telah ditetapkan bagi orang-orang yang mampu dan diberikan kepada
mereka yang berhak menerimanya, yang disebut mustahik. Mustahik terdiri dari delapan

61
golongan, yaitu fakir, miskin, ibnu sabil, gharim, 'amil, muallaf, budak yang ingin
memerdekakan dirinya dan sabilillah.

Puasa di bulan Ramadhan diwajibkan bagi umat Islam. Puasa dilakukan dengan
meninggalkan makan, minum, bercampur dengan istri/suami dan segala yang
membatalkannya dari fajar di waktu subuh sampai terbenam matahari di waktu maghrib.
Melaksanakan ibadah haji, diwajibkan seumur hidup sekali bagi setiap orang muslim yang
memiliki kemampuan, baik biaya maupun keamanan perjalanan. Berhaji artinya mengunjungi
Baitullah di Mekah dan tempat-tempat lain yang disyariatkan dalam rangka ibadah mencari
keridhaan Allah SWT.

Seorang muslim yang menerapkan ibadah dengan benar, maka ia akan memiliki pribadi
yang tangguh berakhlak mulia. Ibadah dalam Islam adalah sarana penerapan nilai-nilai utama
dalam kehidupan. Ritual Ibadah bukan hanya kumpulan doa tanpa makna atau gerakan tanpa
tujuan. Berbagai ritual ibadah diperintahkan Allah melalui Nabi atau Rasul banyak bermuara
pada pembentukan akhlak, seperti dalam perintah shalat. Shalat adalah salah satu ibadah
wajib yang diperintahkan oleh Allah. Perintah shalat disebutkan dalam banyak ayat Alqur’an.
Begitu pentingnya shalat sehingga kelak shalat adalah ibadah pertama yang diperiksa dalam
perhitungan amal di akhirat dan menjadi tolok ukur seluruh amal ibadah lainnya. Pada
hakikatnya shalat akan membentuk manusia berakhlak mulia, bahkan kalau kita telusuri
proses ritual shalat selalu dimulai dengan berbagai persyaratan tertentu, seperti harus suci
badan, pakaian dan tempat, dengan cara mandi dan berwudhu. Intinya shalat dipersiapkan
untuk membentuk sikap manusia selalu bersih, patuh, taat peraturan dan melatih seseorang
untuk tepat waktu.

Ibadah puasa dilakukan untuk meninggikan kualitas manusia yang di dalam bahasa
Alqur’an dipergunakan sebutan takwa. Berdasarkan hal ini, maka puasa sangat berhubungan
erat dengan pembentukan mental dan karakter manusia. Ritual puasa bertujuan membentuk
akhlak mulia. Bila sedang berpuasa, kita dilarang mencaci, bergunjing, berbohong, berbuat
maksiat, berkata kotor. Ternyata ritual puasa disiapkan untuk mendidik dan membentuk kita
agar berperilaku terpuji, sebuah kepribadian yang mencerminkan sebagai muslim yang
berakhlak mulia. Ajaran zakat mempunyai dampak sosial yang dahsyat dalam rangka
mengatasi persoalan ekonomi dan kesejahteraan umat. Zakat menumbuhkan sifat solidaritas
sosial, kepedulian sesama manusia. Bagi orang yang menunaikan zakat atau muzakki, zakat
membersihkan jiwa dari sifat kikir, egois dan tamak. Zakat merupakan wujud kesyukuran
muslim terhadap karunia harta yang diberikan Allah kepadanya.

Adapun ibadah haji sebagai ritual dalam Islam mempunyai peran penting dalam
pembentukan akhlak mulia. Hal ini dapat kita ketahui dari berbagai larangan selama
pelaksanaan haji berlangsung, seperti larangan membunuh binatang, berkata kotor, berbuat
keji, fasik, bertengkar, bergunjing, saling berbantahan, mencuri dan berbagai tindakan maksiat
lainnya. Demikian juga hikmah ritual haji di antaranya adalah saling pengertian, rasa
tanggung jawab, persamaan hak, saling menghargai, berfikir universal, persaudaraan universal
dan bersabar dalam berbagai situasi. Dalam ibadah haji kita dididik untuk meninggalkan
perbuatan asusila, maksiat, dan berbagai tindakan amoral lainnya. Ini semua merupakan bukti
bahwa ibadah haji dipersiapkan untuk membentuk manusia berakhlak mulia. Bila dalam
ibadah haji berperilaku tercela maka ibadah haji secara spiritual akan sia-sia. Haji seperti itu
tidak bernilai spiritual di sisi Allah, hanya menjadi sebuah wisata untuk menghilangkan
kejenuhan sehari-hari tanpa memberi arti. 

62
2.2.2. Implementasi Muamalah Dalam Kehidupan Sosial

a. Implementasi Muamalah di Bidang Ekonomi

Muamalah di bidang ekonomi yang dimaksud disini adalah aturan hukum Islam tentang
usaha-usaha memperoleh dan mengembangkan harta, jual beli, hutang piutang, jasa penitipan
dsb. Ekonomi Islam berwatak ke-Tuhanan. Hal ini tercermin pada aturan dan sistem yang
harus dipedomani oleh pelaku ekonomi. Ciri tersebut bermula dari suatu keyakinan bahwa
kepunyaan Allahlah semua faktor ekonomi termasuk diri manusia itu sendiri. Kepada-Nya
dikembalikan segala sesuatu. Manusia dapat mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin
namun tetap dalam batas koridor aturan main Allah SWT. (Q.S; Al-Ra’du 26, QS. Al-Syuura:
12). Ekonomi Islam mempunyai nilai-nilai normatif yang mengikat. Setiap tindakan seorang
muslim tidak boleh lepas dari nilai. Jadi dalam mengimplentasikan muamalah di bidang
ekonomi nilai-nilai moral merupakan syarat nilai (value loaded), bukan sekedar nilai tambah
(added value), apalagi bebas nilai (value neutral). Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, ekonomi
Islam mepunyai empat ciri khas atau karakteristik. Empat karakteristik tersebut adalah :
Rabbaniyyah (ketuhanan), Akhlak, Kemanusiaan, dan Pertengahan.
a). Ekonomi Rabbaniyyah, yaitu ekonomi Islam sebagai ekonomi Ilahiah. Seorang muslim
ketika menanam, bekerja, ataupun berdagang dan lain-lain adalah dalam rangka
beribadah kepada Allah. Ketika mengkonsumsi dan menikmati berbagai harta yang baik
menyadari itu sebagai rezki dari Allah. Seorang muslim tunduk kepada aturan Allah,
tidak akan berusaha dengan sesuatu yang haram, tidak akan melakukan yang riba, tidak
melakukan penimbunan, tidak akan berlaku zalim, tidak akan menipu, tidak akan berjudi,
tidak akan mencuri, tidak akan menyuap dan tidak akan menerima suap. Seorang muslim
tidak akan melakukan pemborosan, dan tidak kikir.
b). Ekonomi Akhlak, artinya tidak adanya pemisahan antara kegiatan ekonomi dengan
akhlak. Islam tidak mengizinkan umatnya untuk mendahulukan kepentingan ekonomi di
atas nilai-nilai dan keutamaan yang diajarkan agama.
c). Ekonomi Kemanusiaan, yaitu kegiatan ekonomi yang tujuan utamanya adalah
merealisasikan kehidupan yang baik bagi umat manusia dengan segala unsur dan
pilarnya. Selain itu bertujuan untuk memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan
hidupnya yang disyariatkan. Nilai kemanusaian terhimpun dalam ekonomi Islam seperti
nilai kemerdekaan, kemuliaan, keadilan, persaudaraan, saling mencintai dan saling tolong
menolong di antara sesama manusia.
d). Ekonomi Pertengahan, yaitu nilai pertengahan atau nilai keseimbangan. Pertengahan
yang adil diantara dua sistem, sistem kapitalis yang sangat individualistis, berpihak pada
kelompok pemilik modal dan sistem sosialis yang memasung kebebasan individu dan
memandang kepentingan negara di atas segala sesuatu.

Secara umum beberapa nilai prinsipil dalam ekonomi Islam adalah :


a) Alam ini mutlak milik Allah;
b) Alam merupakan karunia Allah untuk dinikmati dan dimanfaatkan secara bijak oleh
manusia dalam bata-batas kewajaran;
c) Hak milik perseorangan diakui sebagai hasil usaha yang halal dan dipergunakan dengan
cara halal untuk hal yang halal pula;
d) Allah melarang menimbun kekayaan tanpa ada manfaat bagi sesama manusia;
e) Di dalam harta orang kaya itu terdapat hak orang fakir miskin dan kelompok penerima
lainnya dengan menunaikan zakat;

63
f) Kegiatan ekonomi berjalan atas asas kebersamaan dan keadilan, tidak merugikan pihak
lain maupun dirugikan .

b. Implementasi Muamalah di Bidang Sosial (Pergaulan Antar Manusia)

Salah satu fungsi hukum Islam adalah sarana untuk mengatur sebaik mungkin proses
interaksi sosial sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman dan sejahtera.
Kesempurnaan Islam dapat dilihat dari aturannya mengenai kehidupan sosial, hubungan antar
manusia dalam masyarakat. Alqur’an demikian rinci menyampaikan hal-hal tersebut. Sebagai
contoh, Alqur’an menyebutkan bagaimana aturan hubungan antara laki-laki dan perempuan,
larangan memperolok-olok orang lain, larangan mengejek orang lain, dan perintah untuk tidak
sombong. Islam juga membahas mengenai karakteristik masyarakat Islam yang di dalamnya
diatur nilai-nilai Islam.

Pergaulan merupakan suatu fitrah bagi manusia karena sesungguhnya manusia


merupakan makhluk sosial. Karena ruang lingkup kehidupan sosial sangat luas, dalam kajian
ini hanya mengulas tentang norma/aturan pergaulan antar manusia. Berikut dijelaskan dalam
syariah Islam terkait dengan hubungan/pergaualan antar sesama manusia:

a) Pergaulan Antar Lawan Jenis


Pada prinsipnya pergaulan antara lelaki dan perempuan dalam Islam selama berasaskan
kepada tujuan kebaikan ataupun keperluan yang dibenarkan syara', maka perlu menjaga
batas-batas pergaulan sebagaimana yang telah digariskan Islam. Syariat muamalah yang
terkait pergaulan lawan jenis dalam Islam meliputi :
(1) Hendaknya setiap muslim menjaga pandangan matanya dari melihat lawan jenis
secara berlebihan. Dengan kata lain hendaknya dihindarkan berpandangan mata
secara bebas.
(2) Hendaknya setiap muslim menjaga auratnya masing-masing dengan cara berbusana
Islami agar terhindar dari fitnah. Secara khusus bagi wanita dijelaskan dalam QS. 24 :
31. Batasan aurat bagi pria adalah antara pusat ke lutut, sedangkan wanita adalah
seluruh badan kecuali muka dan tapak tangan;
(3) Tidak berbuat sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada perbuatan zina (QS. 17: 32),
misalnya berkhalwat (berdua-duaan di tepat yang terlindung dari pandangan orang
lain) dengan lawan jenis yang bukan mahram
(4) Menjauhi pembicaraan atau cara berbicara yang bisa ‘membangkitkan syahwat’.
Arahan mengenai hal ini kita temukan dalam QS.33:31;
(5) Hendaknya tidak melakukan ikhtilat, yakni berbaur antara pria dengan wanita dalam
satu tempat. Hal ini diungkapkan Abu Asied, bahwa “Rasulullah SAW pernah keluar
dari masjid dan pada saat itu bercampur baur laki-laki dan wanita di jalan, maka
beliau bersabda: “Mundurlah kalian (kaum wanita), bukan untuk kalian bagian
tengah jalan; bagian kalian adalah pinggir jalan (HR. Abu Dawud).

b) Pergaulan Sejenis.

Nabi Muhammad SAW menetapkan tata krama yang harus diperhatikan, beliau
bersabda: “Tidak dibolehkan laki-laki melihat aurat (kemaluan) laki-laki lain, begitu
juga perempuan tidak boleh melihat kemaluan perempuan lain. Dan tidak boleh laki-laki

64
berkemul dengan laki-laki lain dalam satu kain, begitu juga seorang perempuan tidak
boleh berkemul dengan sesama perempuan dalam satu kain.” (HR. Muslim)

c. Implementasi Muamalah di Bidang Politik


a). Pengertian Politik Islam

Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah Dalam Al-Muhith
disebutkan, bahwa siyasah berakar kata sasa-yasusu. Dalam kalimat sasa addawaba
yasusuha siyasatan berarti mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya. Bila dikatakan sasa
al amru artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Secara ringkas Politik Islam adalah
pengurusan atas segala urusan seluruh umat Islam. Sedangkan dalam kamus Littre (1870)
politik adalah ilmu memerintah dan mengatur negara, dan dalam kamus Robert (1962) politik
adalah seni memeritah dan mengatur masyarakat manusia. Dengan demikian Politik Islam
adalah seni memerintah dan mengatur masyarakat berdasarkan ajaran Islam dan semua urusan
seluruh umat. Pengaturan masyarakat tidak hanya khusus untuk umat Islam saja, akan tetapi
semua yang berada dibawah kekuasaan wilayah Islam. Hal ini pada awal pemerintahan Islam
di Madinah sejak Nabi Muhammad SAW, membangun Madinah sudah dikatakan sebagai
kepala Negara karena Islam telah mempunyai wilayah kekuasaan, masyarakatnya (rakyatnya)
yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar, Undang-undang peraturannya (Piagam
Madinah), masyarakat di luar muslimpun tetap dilindungi berdasarkan peraturan-peraturan
Nabi saw.

b). Kedudukan Politik dalam Islam

Terdapat tiga pendapat di kalangan pemikir muslim tentang kedudukan politik dalam
Islam, yaitu:
Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap,
didalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Kemudian
lahir sebuah istilah yang disebut degan fikih siyasah (sistem kenegaraan dalam
Islam) yang merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Lebih jauh kelompok ini
berpendapat bahwa sistem ketatanegaraan yang harus diteladani adalah sistem yang
telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh para Khulafa' al-Rasyidin
yaitu sistem khilafah.
Kedua, kelompok yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat,
artinya agama tidak ada hubungannya dengan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi
Muhammad SAW hanyalah seorang rasul, seperti rasul-rasul yang lain bertugas
menyampaikan risalah Tuhan kepada segenap alam. Nabi tidak bertugas untuk
mendirikan dan memimpin suatu negara.
Ketiga, menolak bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap yang terdapat di dalamnya
segala sistem ketatanegaraan, tetapi juga menolak pendapat bahwa Islam
sebagaimana pendapat Barat yang hanya mengatur hubungn manusia dengan
Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem
ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai bagi kehidupan bernegara.

Agama dan Politik adalah dua hal yang integral. Semua agama pasti membutuhkan
kekuasaan yang mampu menciptakan kesejahteraan bagi umatnya serta memberikan
perlindungan kepada pengikut setia yang menyebarkan ajarannya. Oleh karena itu Islam tidak
bisa dilepaskan dari aturan yang mengatur urusan masyarakat dan negara, sebab Islam
bukanlah agama yang mengatur ibadah secara individu saja. Islam juga mengajarkan

65
bagaimana betuk kepedulian kaum muslimin dengan segala urusan umat yang menyangkut
kepentingan dan kemaslahatan mereka, mengetahui apa yang diberlakukan penguasa terhadap
rakyat, serta menjadi pencegah adanya kedholiman oleh penguasa. Eksistensi politik
sebenarnya sudah terlihat sejak dulu. Dalam sejarah perjuangan para sahabat terdapat bukti-
bukti yang menunjukkan bahwa agama Islam memang memiliki otoritas terhadap politik.
Dalam mengangkat seorang khalifah, para sahabat memberikan syarat agar memegang teguh
Alqur’an dan Sunnah. Jika tidak, karena tahu bahwa politik tidak mungkin dipisah-pisahkan
dari agama, maka mereka akan mengangkat khalifah berdasarkan pertimbangan yang terbaik.
Dalam hal ini, berarti politik itu bukan baru lahir pada masa Rasullah. Karena sejak manusia
mengenal kata memimpin dan dipimpin, maka politik ada saat itu. Para pemikir muslim
sebagian besar sepakat bahwa Madinah adalah Negara Islam yang pertama dan apa yang
dilakukan Rasulullah setelah hijjrah dari Mekah ke Madinah adalah memimpin masyarakat
Islam dan memerankan dirinya bukan hanya sebagai Rasul tetapi juga sebagai kepala negara
Islam Madinah.

c). Landasan Politik di Masa Rasulullah SAW.

Langkah-langkah Rasulullah dalam memimpin masyarakat setelah hijrahnya ke


Madinah, juga beberapa kejadian sebelumnya, menegaskan bahwa Rasulullah adalah kepala
sebuah masyarakat yang disebut sebagai Negara. Bukti sejarahnya adalah:

(a). Perjanjian Aqabah.


Pada tahun kesebelas kenabian, enam orang dari suku Khajraz di Yatsrib bertemu
dengan Rasulullah di Aqabah, Mina. Sebagai hasil kesepakatan, mereka semua masuk Islam.
Mereka berjanji akan mengajak penduduk Yatsrib untuk masuk Islam juga. Selanjutnya
mereka menepati janji membawa 2 kali lipat orang laki-laki yang diajak bertemu dengan
Rasulullah di Aqabah. Mereka selain masuk Islam, juga mengucapkan janji setia (bai’at)
kepada Rasulullah untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak
berdusta, serta tidak menghianati Nabi. Inilah yang disebut Bai’at Aqabah Pertama.
Kemudian pada musim haji berikutnya sebanyak 75 penduduk Yatsrib yang sudah masuk
Islam berkunjung ke Mekah menjumpai Nabi di Aqabah. Di tempat itu mereka mengucapkan
bai’at yang isinya sama dengan bai’at yang pertama, hanya pada janji yang kedua ini mereka
berjanji akan membela Nabi sebagaimana membela anak istri mereka. Janji ini disebut Bai’at
Aqabah Kedua.

Kedua Bai’at ini menurut Munawir Sadjali (Islam dan Tata Negara, 1993) merupakan
batu pertama bangunan Negara Islam. Bai’at tersebut merupakan janji setia beberapa
penduduk Yatsrib kepada Rasulullah, yang merupakan bukti pengakuan Muhammad sebagai
pemimpin umat bukan hanya sebagai Rasul. Dengan dua bai’at ini Rasulullah telah memiliki
pendukung yang terbukti sangat berperan dalam tegaknya Negara Islam yang pertama di
Madinah. Atas dasar kesepakatan dan perjanjian keamanan dari pendukung ini maka
Rasulullah meminta para sahabat untuk hijrah ke Yatsrib, dan beberapa waktu kemudian
Rasulullah sendiri ikut hirah bergabung dengan mereka.

(b). Piagam Madinah.

Umat Islam memulai hidup bernegara setelah Rasulullah hijrah ke Yatsrib, yang
kemudian berubah menjadi Madinah. Di Madinahlah untuk pertama kali lahir satu komunitas
Islam yang bebas dan merdeka di bawah pimpinan Nabi Muhammad. Penduduk Madinah ada

66
tiga golongan. Pertama kaum Muslimin yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshor, dan ini
kelompok mayoritas. Kedua kaum Musyrikin, yaitu orang-orang suku Aus dan Khazraj yang
belum masuk Islam, kelompok ini minoritas. Ketiga kaum Yahudi yang terdiri dari empat
kelompok. Satu kelompok tinggal di dalm kota Madinah yaitu Banu Qunaiqa, tiga kelompok
lainnya tinggal di luar kota Madinah, yaitu Banu Nadlir, Banu Quraidhah, dan Yahudi
Khaibar. Jadi Madinah adalah masyarakat majemuk. Setelah sekitar dua tahun berhijrah
Rasulullah mengajukan satu piagam yang mengatur hubungan antar komunitas yang ada di
Madinah, yang dikenal dengan Piagam (watsiqah) Madinah. Inilah yang dianggap sebagai
konstitusi Negara tertulis pertama di dunia. Piagam Madinah ini adalah konstitusi negara yang
berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat Islam.

d). Peranan Nabi Muhammad SAW Sebagai Kepala Negara.

(a). Dalam Negeri.

Sebagai kepala Negara Rasulullah, mengutamakan pengembangan sumber daya


manusia, sehingga menjadi manusia yang tangguh dengan penanaman aqidah dan ketaatan
pada syari’at Islam. Disinilah Rasulullah dengan misi kerasulannya memberikan perhatian
utama. Beliau melanjutkan apa yang telah beliau ajarkan kepada para sahabat di Mekah, di
Madinah Rasulullah terus melakukan pembinan seiring dengan turunnya wahyu. Rasulullah
juga membangun mesjid yang dijadikan sebagai pusat pmbinaan umat. Di berbagai bidang,
Rasulullah melakukan pengaturan sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT. Di Bidang
pemerintahan, sebagai kepala pemerintahan Rasulullah mengangkat beberapa sahabat untuk
menjalankan berbagai fungsi yang diperlukan agar manajemen pengaturan masyarakat
berjalan dengan baik. Rasulullah juga mengangkat Abu Bakar dan Umar bin Khathab sebagai
wazir. Juga mengangkat beberapa sahabat yang lain sebagai pemimpin wilayah Islam,
diantaranya Muadz bin Jabal sebagai Wali dan Qadhi di Yaman.

(b). Luar Negeri.

Sebagai Kepaa Negara, Rasulullah melaksanakan hubungan dengan Negara-negara lain.


Menurut Tahir Azhari, (Negara Hukum, 1992) Rasulullah mengirim sekitar 30 buah surat
kepada kepala Negara lain, diantaranya kepada Al-Muqauqis Penguasa Mesir, Kisra Penguasa
Persia dan Kaisar Heraclius, Penguasa tinggi Romawi di Palestina. Nabi mengajak mereka
masuk Islam, sehingga politik luar negri negara Islam adalah dakwah semata. Bila mereka
tidak bersedia masuk Islam, maka diminta untuk tunduk, dan bila tidak mau juga, maka
barulah Negara itu diperangi.

Menurut Abdul Halim Mahmud (1998), bahwa Islam memiliki politik luar negeri.
Tujuan dari politik luar negeri tersebut adalah penyebaran dakwah kepada manusia di penjuru
dunia, mengamankan batas teritorial umat Islam dari fitnah agama, dan sistem jihad
fisabilillah untuk menegakkan kalimat Allah SWT. Jadi politik bermakna instansi dari Negara
untuk kedaulatan Negara dan ekonomi.

e). Prinsip Politik Islam

Muhammad S.El.Wa dalam bukunya “On The Political System of Islamic


State” mengatakan bahwa prinsip politik Islam pada hakekatnya terdiri atas “Musyawarah

67
(syura), Keadilan, Kebebasan, Persamaan dan Pertanggungjawaban pemimpin atas berbagai
kebijakan yang diambilnya.”.

(a). Prinsip Musyawarah


Musyawarah merupakan prinsip pertama dalam tata aturan politik Islam yang amat
penting, artinya penentuan kebijaksanaan pemerintah dalam sistem pemerintahan  Islam
haruslah berdasarkan atas kesepakatan musyawarah. Kalau kita kembali pada nash, maka
prinsip ini sesuai dengan ketentuan QS.3 (Ali Imran) : 159. Rasulullah saw sendiri sering
bermusyawarah dengan para sahabatnya  dalam segala urusan. Setiap pemimpin
pemerintahan (penguasa, pejabat, atau imam) harus selalu bermusyawarah dengan rakyat
atau umatnya. Musyawarah merupakan media pertemuan dari kelompok orang-orang
yang mempunyai kepentingan akan hasil keputusan itu. Dengan musyawarah itu pula
semua pihak ikut terlibat dalam menyelesaikan persoalan. Dengan demikian hasil
musyawarah itupun akan diikuti mereka, karena merasa ikut menentukan dalam
keputusan itu.
(b). Prinsip Keadilan
Kata ini sering digunakan dalam Alqur’an dan telah dimanfaatkan secara terus menerus
untuk membangun teori kenegaraan Islam. Banyak sekali ayat Alqur’an yang
memerintahkan berbuat adil dalam segala aspek kehidupan manusia, seperti disebutkan
dalam firman Allah QS.16 (Al-Nahl):90. Dijadikan keadilan sebagai prinsip
politik Islam, mengandung suatu konsekuensi bahwa para penguasa atau penyelenggara
pemerintahan harus melaksanakan tugasnya dengan baik dan juga berlaku adil terhadap
suatu perkara yang dihadapi. Penguasa haruslah adil dan mempertimbangkan hak-hak
warganya dan juga mempertimbangkan kebebasan berbuat bagi warganya berdasarkan
kewajiban yang telah mereka laksanakan. Adil menjadi prinsip politik Islam agar para
penguasa melaksanakan pemerintahannya dan bagi warganya harus pula adil dalam
memenuhi kewajiban dan memperoleh haknya.
(c).  Prinsip Kebebasan
Kebebasan di sini mengandung makna positif, yaitu kebebasan bagi warga negara untuk
memilih sesuatu yang lebih baik, maksudnya kebebasan berfikir untuk menentukam mana
yang baik dan mana yang buruk, sehingga proses berfikir ini dapat melahirkan perbuatan
yang baik sesuai dengan hasil pemikirannya. Kebebasan berfikir dan kebebasan berbuat
ini pernah diberikan oleh Allah kepada Adam dan Hawa untuk mengikuti petunjuk atau
tidak mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Allah.
(d). Prinsip Persamaan
Prinsip ini berarti bahwa setiap individu dalam masyarakat mempunyai hak yang sama,
juga mempunyai persamaan mendapat kebebasan, tanggung jawab, tugas-tugas
kemasyarakatan tanpa diskriminasi rasial, asal-usul, bahasa dan keyakinan. Dengan
prinsip ini sebenarnya tidak ada rakyat yang diperintah secara sewenang-wenang, dan
tidak ada penguasa yang memperbudak rakyatnya karena ini merupakan kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh penguasa.
(e). Prinsip Pertanggungjawaban dari Pemimpin Pemerintah tentang Kebijakan yang
diambilnya.
Jika seorang pemimpin pemerintahan melakukan hal yang cenderung merusak atau
menuruti kehendak sendiri maka umat berhak memperingatkannya agar tidak meneruskan
perbuatannya itu, sebab pemimpin tersebut berarti telah meninggalkan kewajibannya
untuk memenuhi hak rakyatnya. Penguasa di dunia ini merupakan khalifah yang
menjalankan amanat Allah, maka tindakan penyalahgunaan jabatan berati berjalan di atas
jalan yang dilaknat Allah, menindas rakyat, melanggar perintah Alqur’an dan Sunnah.
Pemimpin tersebut berhak diturunkan dari jabatannya.

68
Menurut Tahir Azhari, (Negara Hukum, 1992), diantara prinsip-prinsip politik Islam
adalah :

(a) Keharusan mewujudkan persatuan dan kesatuan umat (Al-Mu’min:52)


(b) Keharusan menyelesaikan masalah ijtihadiah dengan damai (Al-Syura:38 dan Ali
Imran:159)
(c) Ketetapan menunaikan amanat dan melaksanakan hukum secara adil (Al-Nisa:58)
(d) Kewajiban mentaati Allah dan Rasulullah serta Ulil Amri (Al-Nisa:59)
(e) Kewajiban mendamaikan konflik dalam masyarakat Islam (Al-Hujarat:9)
(f) Kewajiban mempertahankan kedaulatan Negara dan larangan agresi (Al-Baqarah:190)
(g) Kewajiban mementingkan perdamaian dari pada permusuhan (Al-Anfal:61)
(h) Keharusan meningkatkan kewaspadaan dalam pertahanan dan keamanan (Al-Anfal:60)
(i) Keharusan menepati janji (Al-Nahl:91)
(j) Keharusan mengutamakan perdamaian diantara bangsa-bangsa (Al-Hujarat:13)
(k) Keharusan peredaran harta keseluruh masyarakat (Al-Hasyr:7)
(l) Keharusan mengikuti pelaksanaan hukum

d. Implementasi Muamalah di Bidang Hukum


(Dinukil dari buku”Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hokum Islam di Indonesia”, edisi ke-tiga, karangan
Prof.H.Mohhammad Daud Ali, SH., terbitan Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 38-57)

a). Pengertian Hukum Islam

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam.
Sebagai sistem hukum ia mempunyai beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan lebih
dahulu, sebab, kadangkala membingungkan, kalau tidak diketahui persis maknanya. Yang
dimaksud adalah istilah-istilah (1) hukum, (2) hukm dan ahkam, (3) syariah atau syariat, (4)
fiqih atau fiqh dan beberapa kata lain yang berkaitan dengan istilah-istilah tersebut.

b). Hukum

Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana segera terlintas dalam pikiran kita
peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah-laku manusia dalam suatu
masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti
hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan
seperti hukum Barat. Hukum Barat melalui asas konkordansi, sejak pertengahan abad ke-19
(1855) berlaku di Indonesia. Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum yang
sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat
tertentu. Dalam konsepsi hukum perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum
hanyalah hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.

Di samping itu, ada konsepsi hukum lain, di antaranya adalah konsepsi hukum Islam.
Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan
lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan.
69
Hubungan-hubungan itu, seperti telah berulang disinggung di muka, adalah hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan
manusia lain dan hubungan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.
Interaksi manusia dalam berbagai tata hubungan itu diatur oleh seperangkat ukuran tingkah-
laku yang di dalam bahasa Arab, disebut hukm jamaknya ahkam.

c). Hukum dan Ahkam

Perkataan hukum yang kita pergunakan sekarang dalam bahasa Indonesia berasal dari
kata hukm (tanpa u antara huruf k dan m) dalam bahasa Arab. Artinya, norma atau kaidah
yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah-laku
atau perbuatan manusia dan benda. Hubungan antara perkataan hukum dalam bahasa
Indonesia tersebut di atas dengan hukm dalam pengertian norma dalam bahasa Arab itu,
memang erat sekali, sebab, setiap peraturan, apa pun macam dan sumbernya mengandung
norma atau kaidah sebagai intinya (Hazairin, 1982: 68). Dalam ilmu hukum Islam kaidah itu
disebut hukm. Itulah sebabnya maka di dalam perkataan sehari-hari orang berbicara tentang
hukum suatu benda atau perbuatan. Yang dimaksud, seperti telah disebutkan di atas, adalah
patokan, tolok ukur, ukuran atau kaidah mengenai perbuatan atau benda itu.

Dalam sistem hukum Islam ada lima hukm atau kaidah yang dipergunakan sebagai
patokan mengukur perbuatan manusia baik di bidang ibadah maupun di lapangan muamalah.
Kelima jenis kaidah tersebut, disebut al-ahkam al-khamsah atau penggolongan hukum yang
lima (Sajuti Thalib, 1985: 16), yaitu (1) ja’iz tau mubah atau ibahah, (2) sunnat, (3) makruh,
(4) wajib dan (5) haram.

Penggolongan hukum yang lima atau yang disebut juga lima kategori hukum atau lima
jenis hukum ini, di dalam kepustakaan hukum Islam disebut juga hukum taklifi (Masyfuk
Zuhdi, 1987: 5) yakni norma atau kaidah hukum Islam yang mungkin mengandung
kewenangan terbuka, yaitu kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu hukum taklifi itu, mengandung anjuran untuk dilakukan karena jelas manfaatnya bagi
pelaku (sunnat). Mungkin juga mengandung kaidah yang seyogianya tidak dilakukan karena
jelas tidak berguna dan akan merugikan orang yang melakukannya (makruh). Mungkin juga
mengandung perintah yang wajib dilakukan (fardu atau wajib), dan mengandung larangan
untuk dilakukan (haram). Masing-masing penggolongan, penjenisan dan kategori hukum ini
dibagi lagi oleh para ahli hukum Islam ke dalam beberapa bagian yang lebih rinci dengan
tolok ukur tertentu yang dapat dipelajari dalam kitab-kitab ‘ilmu usul fiqih’, yaitu ilmu
pengetahuan yang membahas dasar-dasar pembentukan hukum fiqih Islam. Penjelasan lebih
lanjut tentang hukum taklifi yang merupakan bagian hukum syara’ atau hukum syar’i ini akan
diuraikan nanti dalam al-ahkam al-khamsah (di bawah). Hukum syara’ atau hukum syar’i ini
disebut juga hukum syariat. Selain dari (1) hukum taklifi tersebut di atas, hukum syariat itu
terdiri juga dari (2) hukum wadh’i, yakni hukum yang mengandung ‘sebab’, ‘syarat’ dan
‘halangan’ terjadinya hukum dan hubungan hukum. Ketiga kandungan hukum wadh’i itu
adalah: (1) ‘Sebab’, yang menurut rumusannya, merupakan sesuatu yang tampak yang
dijelaskan tanda adanya hukum. Misalnya (a) kematian menjadi sebab adanya (hukum)
kewarisan, (b) akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan suami-istri. Karena rumusannya
yang demikian itu, banyak ahli yang menyamakan sebab dengan illat, yaitu keadaan yang
mempengaruhi ada atau tidak adanya suatu hukum.

70
d). Ruang-Lingkup Hukum Islam

Jika kita bandingkan hukum Islam bidang muamalah ini dengan hukum Barat yang
membedakan antara hukum privat (hukum perdata) dengan hukum publik, maka sama halnya
dengan hukum adat di tanah air kita, hukum Islam tidak membedakan (dengan tajam) antara
hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena menurut sistem hukum Islam
pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada hukum publik ada segi-segi
perdatanya. Itulah sebabnya maka dalam hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang hukum
itu. Yang disebutkan adalah bagian-bagiannya saja seperti misalnya, (1) munakahat, (2)
wirasah, (3) mu’amalat dalam arti khusus, (4) jinayat atau ‘ukubat, (5) al-ahkam as-
sulthaniyah (khilafah), (6) siyar, dan (7) mukhasamat (H.M. Rasjidi, 1971: 25).

Kalau bagian-bagian hukum Islam itu disusun menurut sistematik hukum Barat yang
membedakan antara hukum perdata dengan hukum publik seperti yang diajarkan dalam
Pengantar Ilmu Hukum di tanah air kita, yang telah pula disinggung di muka, susunan hukum
muamalah dalam arti luas itu adalah sebagai berikut: Pertama: (a). Hukum perdata (Islam)
adalah (1) munakahat mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan,
perceraian serta akibat-akibatnya; (2) wirasah mengatur segala masalah yang berhubungan
dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum Kewarisan
Islam ini disebut juga hukum fara’id, (3) muamalat dalam arti yang khusus, mengatur
masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, dan sebagainya; Kedua: (b). Hukum publik
(Islam) adalah (4) jinayat yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang
diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang
dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana. jarimah hudud adalah perbuatan pidana
yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi
Muhammad saw (hudud jamak dari hadd = batas). Jarimah ta’zir adalah perbuatan pidana
yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi
pelakunya (ta’zir= ajaran atau pengajaran); (5) ah-ahkam as-sulthaniyah membicarakan soal-
soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan,baik pemerintah pusat maupun
daerah, tentara, pajak dan sebagainya; (6) siyar mengatur urusan perang dan damai, tata
hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain; (7) mukhasamat mengatur soal peradilan,
kehakiman, dan hukum acara.

Jika bagian-bagian hukum Islam bidang muamalah dalam arti luas di atas dibandingkan
dengan susunan hukum Barat seperti yang telah menjadi tradisi diajarkan dalam Pengantar
Ilmu Hukum di tanah air kita, maka butir (1) dapat disamakan dengan hukum perkawinan,
butir (2) dengan hukum kewarisan, butir (3) dengan hukum benda dan hukum perjanjian,
perdata khusus, butir (4) dengan hukum pidana, butir (5) dengan hukum ketatanegaraan yakni
tata negara dan administrasi negara, butir (6) dengan hukum internasional, dan butir (7)
dengan hukum acara.

e). Ciri-ciri Hukum Islam

Dari uraian di atas dapat ditandai ciri-ciri (utama) hukum Islam, yakni (1) merupakan
bagian dan bersumber dari agama Islam; (2) mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat

71
dipisahkan dari iman atau akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam; (3) mempunyai dua istilah
kunci yakni (a) syariat dan (b) fiqih. Syariat terdiri dari wahyu Allah dan Sunnah Nabi
Muhammad saw, fiqih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syariah; (4)
terdiri dari dua bidang utama yakni (a) ibadah dan (b) muamalah dalam arti yang luas. Ibadah
bersifat tertutup karena telah sempurna dan muamalah dalam arti khusus dan luas bersifat
terbuka untuk dikembangkan oleh manusia yang memenuhi syarat dari masa ke masa; (5)
strukturnya berlapis, terdiri dari (a) nas atau teks Alquran, (b) Sunnah Nabi Muhammad SAW
(untuk syariat), (c) hasil ijtihad manusia yang memenuhi syarat tentang wahyu dan sunnah,
(d) pelaksanaannya dalam praktik baik (i) berupa keputusan hakim, maupun (ii) berupa
amalan-amalan umat Islam dalam masyarakat (untuk fiqih); (6) mendahulukan kewajiban dari
hak, amal dari pahala; (7) dapat dibagi menjadi (a) hukum taklifi atau hukum taklif al-ahkam
al-khamsah yang terdiri dari lima kaidah, lima jenis hukum, lima kategori hukum, lima
penggolongan hukum yakni ja’iz, sunnat, makruh, wajib dan haram, dan (b) hukum wadh’i
yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya hubungan hukum. Dalam
bukunya Falsafah Hukum Islam, T.M. Hasbi Ash Shiddieqy (1975: 156-212), menyebut ciri-
ciri khas hukum Islam. Yang relevan untuk dicatat di sini adalah, hukum Islam (8) berwatak
universal, berlaku abadi untuk umat Islam di mana pun mereka berada, tidak terbatas pada
umat Islam di suatu tempat atau negara pada suatu masa saja; (9) menghormati martabat
manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani serta memelihara kemuliaan
manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan; (10) pelaksanaannya dalam praktik digerakkan
oleh iman (akidah) dan akhlak umat Islam.

f). Tujuan Hukum Islam

Kalau kita pelajari dengan saksama ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya yang
terdapat di dalam Alquran dan kitab-kitab Hadis yang sahih, kita segera dapat mengetahui
tujuan hukum Islam. Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah
kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil
(segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat, yaitu yang tidak
berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah
kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial.
Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan
yang kekal di akhirat kelak. Abu Ishaq Al-Shatibi (m.d. 790/1388) merumuskan lima tujuan
hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta,
yang (kemudian) disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya. Kelima tujuan hukum Islam
itu di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari’ah (baca:
al-maqasid al-ssyari’ah kadang-kadang disebut al-maqadissyar’iyah) (tujuan-tujuan hukum
Islam).

Tujuan hukum Islam tersebut di atas dapat dilihat dari dua segi yakni (1) segi ‘Pembuat
Hukum Islam’ yaitu Allah dan Rasul-Nya dan (2) segi manusia yang menjadi pelaku dan
pelaksana hukum Islam itu. Kalau dilihat dari (1) Pembuat Hukum Islam, tujuan hukum Islam
itu adalah: Pertama, untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer,
sekunder dan tertier, yang dalam kepustakaan hukum Islam masing-masing disebut dengan
istilah dharuriyyat, hajjiyat dan tahsiniyyat. Kebutuhan primer (dharuriyyat) adalah
kebutuhan utama yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar
kemaslahatan hidup manusia benar-benar terwujud (penjelasannya di halaman berikut).
Kebutuhan sekunder (hajjiyat) adalah kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai kehidupan
primer, seperti misalnya kemerdekaan, persamaan, dan sebagainya, yang bersifat menunjang

72
eksistensi kebutuhan primer. Kebutuhan tertier (tahsiniyyat) adalah kebutuhan hidup manusia
selain dari yang sifatnya primer dan sekunder itu yang perlu diadakan dan dipelihara untuk
kebaikan hidup manusia dalam masyarakat misalnya sandang-pangan, perumahan dan lain-
lain. Kedua, tujuan hukum Islam adalah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam
kehidupannya sehari-hari. Ketiga, supaya dapat ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan
benar. Manusia wajib meningkatkan kemampuannya untuk memahami hukum Islam dengan
mempelajari ushul al fiqh (baca; usulul fiqih) yakni dasar pembentukan dan pemahaman
hukum Islam sebagai metodologinya. Di samping itu, dari segi (2) pelaku hukum Islam yakni
manusia sendiri, tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang berbahagia dan
sejahtera. Caranya adalah, seperti telah disinggung di muka, dengan mengambil yang
bermanfaat, mencegah atau menolak yang mudharat bagi kehidupan. Dengan kata lain, tujuan
hakiki hukum Islam, jika dirumuskan secara umum, adalah tercapainya keridhaan Allah
dalam kehidupan manusia di dunia ini dan di akhirat kelak (Juhaya S. Praja, 1988: 196).

Kepentingan hidup manusia yang bersifat primer yang disebut dengan istilah
dharuriyyat tersebut di atas merupakan tujuan utama yang harus dipelihara oleh hukum Islam.
Kepentingan-kepentingan yang harus dipelihara itu, yang juga telah disinggung di atas, adalah
lima, yaitu pemeliharaan (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta.

Pemeliharaan (1) agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah
karena agama merupakan pedoman hidup manusia, dan di dalam agama Islam selain
komponen-komponen akidah yang merupakan pegangan hidup setiap muslim serta akhlak
yang merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat juga syariah(t) yang merupakan jalan
hidup seorang muslim baik dalam berhubungan dengan Tuhannya maupun dalam
berhubungan dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Ketiga komponen itu, dalam
agama Islam, berjalin berkelindan. Karena itulah maka hukum Islam wajib melindungi agama
yang dianut oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut
keyakinan (agama)-nya.

Pemeliharaan (2) jiwa merupakan tujuan kedua hukum Islam. Karena itu hukum Islam
wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Untuk itu
hukum Islam melarang pembunuhan (QS.17:33) sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia
dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk dan mempertahankan
kemaslahatan hidupnya.

Pemeliharaan (3) akal sangat dipentingkan oleh hukum Islam, karena dengan
mempergunakan akalnya, manusia dapat berpikir tentang Allah, alam semesta dan dirinya
sendiri. Dengan mempergunakan akalnya manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Tanpa akal, manusia tidak mungkin pula menjadi pelaku dan pelaksana hukum
Islam. Oleh karena itu, pemeliharaan akal menjadi salah-satu tujuan hukum Islam.
Penggunaan akal itu harus diarahkan pada hal-hal atau sesuatu yang bermanfaat bagi
kepentingan hidup manusia, tidak untuk hal-hal yang merugikan kehidupan. Dan untuk
memelihara akal itulah maka hukum Islam melarang orang meminum setiap minuman yang
memabukkan yang disebut dengan istilah khamar dalam Alquran (5: 90) dan menghukum
setiap perbuatan yang dapat merusak akal manusia.

Pemeliharaan (4) keturunan, agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan umat
manusia dapat diteruskan, merupakan tujuan keempat hukum Islam. Hal ini tercermin dalam
hubungan darah yang menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi (QS 4: 11), larangan-
larangan perkawinan yang berzina (QS 17: 32). Hukum kekeluargaan dan kewarisan Islam

73
adalah hukum-hukum yang secara khusus diciptakan Allah untuk memelihara kemurnian
darah dan kemaslahatan keturunan. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam Al-Quran,
ayat-ayat hukum mengenai kedua bagian hukum Islam ini diatur lebih rinci dan pasti
dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya. Maksudnya adalah agar pemeliharaan dan
kelanjutan keturunan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.

Pemeliharaan (5) harta adalah tujuan kelima hukum Islam. Menurut ajaran Islam, harta
adalah pemberian Tuhan kepada manusia, agar manusia dapat mempertahankan hidup dan
melangsungkan kehidupannya. Oleh karena itu, hukum Islam melindungi hak manusia untuk
memperoleh harta dengan cara-cara yang halal dan sah serta melindungi kepentingan harta
seseorang, masyarakat dan negara, misalnya dari penipuan (QS 4: 29), penggelapan (QS 4:
58), perampasan (QS 5: 33), pencurian (QS 5: 38), dan kejahatan lain terhadap harta orang
lain. Peralihan harta seseorang setelah ia meninggal dunia pun diatur secara rinci oleh hukum
Islam agar peralihan itu dapat berlangsung dengan baik dan adil berdasarkan fungsi dan
tanggung jawab seseorang dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat (QS 4: 7, 11, 12,
167, dan lain-lain).

g). Pandangan Hukum Islam tentang Korupsi

Korupsi merupakan cerminan dari akhlak mazmumah (akhlak buruk). Korupsi berasal
dari kata latin Corruptio atau Corruptus. Kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prnacis
Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia disebut
korupsi. Sedangkan korupsi dalam bahasa Arab terdapat kata fasada yang secara etimologi
artinya rusak atau buruk. Prilaku ini merusak tatanan hidup sebuah negara yang pada akhirnya
bisa menjadi prilaku budaya karena dianggap menjadi hal yang biasa. Menurut Syed Husein
Alatas, bahwa esensi korupsi ialah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang
mengkhianati kepercayaan. Hal ini mencakup dua bentuk korupsi lainnya yang sulit untuk
dimasukkan ke dalam ciri-ciri di atas, yaitu nepotisme dan korupsi otogenik, yaitu korupsi
yang dilakukan oleh seorang diri. (Syed Husein Alatas:1987:viii). Pemikiran Syed Husein
Alatas tersebut secara langsung menunjukkan bahwa korupsi identik dengan kata khianat.
Perbuatan khianat tersebut selaras dengan kemunafikan, sebagaimana Rasulullah telah
bersabda, “Tanda orang munafik itu ada tiga, apabila ia berucap berdusta, jika ia berjanji
tidak ditepati, apabila ia diberi kepercayaan mengkhianati (HR. Bukhori dan Muslim).
Adapun khianat dalam bahasa Arab juga bisa disebut dengan “ghulul‟. Ghulul secara
erimologis yaitu artinya khianat di dalam harta rampasan perang dan selainnya (Ikbal
Zaki:2011:683). Dengan kata lain mengambil hak yang bukan miliknya.

Quraisy Syihab dalam tafsirnya al-Misbah mengungkapkan bahwa senyatanya


pengkhianatan yang disebutkan dalam ayat ini terjadi pada saat perang Uhud. Perang Uhud
adalah suatu kejadian di mana muslimin mengalami kekalahan. Salah satu faktor kekalahan
tersebut disinyalir adalah kerakusan sahabat yang kemudian menghambur ke bawah gunung
untuk mengambil harta rampasan perang. Rasulullah SAW memperluas makna ghulul
menjadi dua bentuk:
1. Komisi, yaitu tindakan mengambil sesuatu penghasilan di luar gaji yang telah diberikan.
2. Hadiah, yaitu pemberian yang didapatkan seseorang karena jabatan yang melekat pada
dirinya. Mengenai hal ini Rasulullah SAW bersabda “Hadiah yang diterima para pejabat
adalah korupsi (ghulul)”.(HR. Ahmad).

74
Musthafa bin Abdullah, yang lebih dikenal sebagai Katib Chelebi (1609-1657 M), seorang
cendekiawan Turki menulis tentang korupsi dan mengacu pada sumber-sumber yang sudah
ada pada sebelumnya. Ia mengikhtisarkan pandangan-pandangan penulis sebelumnya yang
mengkelompokkan penyuapan kedalam tiga jenis dalam rangka penilaian boleh tidaknya
menurut moral. Jenis-jenis tersebut antara lain:
a. Penyuapan yang baik pihak pemberi maupun pihak penerimanya secara moral bersalah.
Sebagai contoh, penyuapan terhadap seorang hakim agar mendapat vonis yang
menguntungkan;
b. Penyuapan yang boleh diberikan tetapi tidak boleh diterima. Ini adalah korupsi defensif.
Bila seorang penguasa yang kejam menginginkan hak milik seseorang, tidak berdosalah
memberikan kepada penguasa tersebut sebagian dari harta itu untuk menyelamatkan
selebihnya;
c. Penyuapan yang pihak pemberinya bersalah sedangkan pihak penerimanya tidak bersalah.
Ini adalah korupsi investif yang direncanakan oleh pihak pemberi dengan tujuan yang
korup (Katib Chelebi:1957:124-127).

Menurut pendapat Katib Chelebi, korupsi identik dengan risywah. Risywah berasal dari
bahasa Arab yaitu rasya, yarsyu, rasywan, yang berarti “sogokan” atau bujukan. Istilah lain
yang searti dan biasa dipakai di kalangan masyarakat ialah “suap” dan “pelicin”. Untuk itu,
risywah merupakan prilaku yang menyimpang dan tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.
Menurut Ali bin Muhammad as-Sayyid as-Sarif Al-Jurjani (740 H – 816 H), seorang ahli
bahasa dan fikih, risywah ialah sesuatu (pemberian) yang diberikan kepada seseorang untuk
membatalkan sesuatu yang hak (benar) atau membenarkan yang bathil. Pernyataan tersebut
mengandung makna bahwa risywah adalah alat untuk mencapai kesenangan dengan cara yang
salah atau curang. Adapun sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud
dan Turmudzi berbunyi: “Rasulullah melaknat orang yang menyogok dan orang yang
disogok”(HR.Abu Daud dan Tirmidzi). Hadis tersebut mendeksripsikan bahwa risywah
merupakan kegiatan yang dilarang bahkan diharamkan. Oleh karena itu risywah merupakan
salah satu bentuk pemberian tanpa ada dasar keikhlasan untuk mencari ridha Allah, melainkan
untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan syariat-Nya.

Muhammad bin Ismail al-Kahlani As-San’ani (1099-1182 H), seorang faqih dan
muhadits menuturkan risywah dari sudut motif dan tujuannya, terbagi dua macam, yaitu: (a)
agar hakim berlaku tidak adil; dan (b) agar hakim berlaku adil. Untuk jenis pertama, beliau
berpendapat bahwa hukumnya haram, baik bagi orang yang memberikan sogokan maupun
bagi yang menerima sogan tersebut. Untuk yang kedua, yang diharamkan adalah menerima
sogok sebab berbuat adil merupakan kewajiban hakim dan keadilan adalah hak yang harus
diperoleh oleh pihak yang berperkara tanpa harus diminta. As-Shan’ani melanjutkan bahwa
hakim juga dilarang menerima pemberian berupa hadiah dari pihak-pihak yang berperkara,
meskipun pemberian itu tidak dikaitkan dengan perkara yang sedang diadilinya. Menurutnya,
pemberian hadiah hanya bisa diterima apabila:
a. Hakim itu sebelumnya biasa menerima hadiah dari orang yang memberi hadiah atas
kebaikannya semata-mata
b. Nilai hadiah bagi hakim tersebut tidak lebih besar dari hadiah-hadiah yang biasa
diterimanya

Melihat pendapat al-Jurjani dan al-San’ani tentang risywah tersebut maka hukumnya
haram terhadap pemberian hadiah kepada seseorang atau hakim untuk mencapai tujuan
tertentu. Implikasi dari hadiah tersebut bisa berlaku tidak atau kurang adil dalam
menyelesaikan urusan yang dibebankan kepada orang-orang yang telah diamanahkan dalam

75
hal atau pekerjaan tersebut. Didin Hafidhuddin mengatakan bahwa koruptor dikategorikan
melakukan jinayah kubro (dosa besar) dan harus dikenai sangki dibunuh, disalib atau
dipotong tangan dan kakinya dengan cara menyilang atau diusir. Dalam konteks ajaran Islam
yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan
(al-‘adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab (Mansyur Semma;2008:33).
Pendapat tersebut menganalogikan bahwa korupsi sama dengan mengambil hak orang lain
dan mencuri sehingga hukumannya dengan dipotong tangannya. Konteks tersebut melihat
dari firman Allah dan Hadis Nabi Muhammad SAW.

Adapun pandangan yang berbeda dari Ibnu Manzur, pakar bahasa Arab, dalam bukunya
Lisan Al-Arab menyebutkan, jika diperlukan, menyogok dibolehkan. Pada posisi ini mungkin
risywah untuk menghindari kelaliman. Hal ini dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi bahwa
seseorang yang dihadapkan kepada situasi demikian seperti haknya terancam, sebaiknya
bersabar dan menahan diri tidak melakukan sogok atau suap menyuap, sampai ditemukan
jalan keluar yang sebaik-baiknya. Akan tetapi, menurutnya lebih lanjut, jika keadaaan
terpaksa, seperti jiwa atau haknya terancam, maka sogok-menyogok boleh saja dilakukan.

Disisi lain, bagaimana hukum pemanfaaatan korupsi oleh para koruptor? Mazhab
Syafi’i, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanafi mengatakan bahwa salat dengan menggunakan
kain yang diperoleh dengan cara yang batil (menipu/korupsi) adalah sah selama dilaksanakan
sesuai dengan syarat dan rukun yang ditetapkan. Meskipun demikian, para pemimpin mazhab
tersebut berpendapat bahwa memakainya adalah dosa, dengan alasan kain itu bukan miliknya
yang sah. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, salat dengan menggunakan hasil korupsi tidak
sah, karena menutup aurat dengan bahan yang suci adalah salah satu syarat sah shalat.
Menurutnya menutup aurat dengan kain yang haram memakainya sama dengan salat memakai
pakaian yang najis.

e. Implementasi Muamalah di Bidang Kesehatan

(a). Anjuran Menjaga Kesehatan


Sudah menjadi semacam kesepakatan, bahwa menjaga diri agar tetap sehat dan tidak
terkena penyakit adalah lebih baik daripada mengobati, untuk itu sejak dini diupayakan agar
orang tetap sehat. Untuk mendapatkan keterangan dan sandaran yang berkaitan dengan
menjaga kesehatan, akan dilihat beberapa hal yang dilakukan Nabi saat sehat, seperti terdapat
dalam anjuran Nabi kepaa Ibnu abbas : Rosulullah, ajarkan kepadaku suatu doa yang akan
kubaca dalam doaku. Nabi menjawab, mintalah kepada Allah ampunan dan kesehatan,
kemudian. Aku menghadap lagi pada kesempatan yang lain, saya bertanya : Ya Rosulullah,
ajarkanlah aku suatu doa yg akan kubaca. Nabi menjawab : Wahai Abbas, wahai Paman
Rosulullah, mintalah kepada Allah kesehatan di dunia dan akhirat ( HR Ahmad, al Turmudzi
dan al-Bazzar). Beberapa upaya yang mesti dilakukan agar orang tetap sehat antara lain
dengan mengonsumsi gizi yang cukup, olahraga cukup, jiwa tenang serta menjauhkan diri
dari berbagai pengaruh yang dapat menjadikannya terjangkiti penyakit.

b). Nilai Sehat dalam Ajaran Islam


Dengan merujuk konsep sehat yang dewasa ini dipahami dari rumusan WHO : health is
a state complete physical, mental and social-being, not merely the absence of disease on
infirmity (sehat adalah suatu keadaan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang baik, tidak hanya
76
tidak berpenyakit atau cacat). Sejak tahun 1984, WHO menambahkan satu unsur lagi, yaitu
sehat spiritual / agama, sehingga menjadi sehat bio-psiko-sosio-spiritual. Maka yang
dinamakan sehat bila sesorang memiliki tubuh jasmani yang tidak berpenyakit, mental yg
baik, sosial yang baik, dan spiritual atau iman yang baik dan benar.

c). Menjaga Kebersihan dan Kesehatan dalam Ajaran Islam


Dalam terminologi Islam, masalah yang berhubungan dengan kebersihan disebut al-
thaharah. Al-thaharah merupakan salah satu upaya preventif, berguna untuk menghindari
penyebaran berbagai jenis kuman dan bakteri. Dalam Islam kesucian dan kebersihn meupakan
bagian dari ibadah. Nabi bersabda : “kunci shalat adalah bersuci”(HR Ibnu Mjah, Ahmad).
Dari Abi Malik Al-Asy’asri, ia berkata : Rasulullah bersabda “bersuci termasuk sebagian
iman”( HR Muslim dan Al-Darimi)

(a). Thaharah dari Hadas dan Najis


Thaharat dianjurkan untuk menghilangkan hadas dan najis. Hadas terbagi dua ; hadas
besar dan kecil. Hadas kecil dihilangkan dengan cara berwudu atau tayamum, hadas besar
dihilangkan dengan mandi atau tayamum. Berbagai ritual Islam mengharuskan seseorang
senantiasa membersihkan diri dengan menghilangkan najis. Para ulama fikih membagi najis
dalam tiga kelompok; yaitu ringan (mukhaffafat), sedang (muthawasithah), dan berat
(mughalladhah). Contoh najis ringan adalah kencing bayi laki-laki yang belum makan kecuali
asi. Cara menyucinya minimal dengan memercikkan air. Contoh najis sedang adalah bangkai,
darah, nanah, tinja, urin. Cara menyucinya dengan menghilangkan seluruh unsur najisnya,
meliputi bau, warna dan zat. Najis berat contohnya anjing, menghilangkannya menurut hadis
adalah: Sucinya bejana milik salah seorang diantara kalian, jika anjing menjilatnya,
hendaknya dibasuh tujuh kali, yang pertama dengan debu (HR Muslim dan Ahmad)

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadis di atas :


Pertama: Tentang anjing yang menjilat bejana. Menurut mayoritas ulama tidak saja terbatas
pada bejana dan tidak mesti dalam bentuk jilatan, tetapi juga melalui sentuhan,
seperti anjingnya yang basah atau yang disentuhnya basah atau dua duanya basah.
Sebagian kecil ulama berpendapat menurut teks hadis
Kedua: Penggunaan debu sebagai medium penghilang najisnya. Menurut sebagian ulama,
ketentuan itu tidak dapat digantikan dengan bahan lain. Menurut sebagian ulama
kontemporer, boleh saja diganti dengan sabun. Penggunaan debu menunjukkan
kepraktisan saja, debu sebagai media yang paling mudah didapatkan.
Ketiga: Tujuh basuhan merupakan batasan minimal, atau menurut sebagian ulama perlu
dilakukan berulang–ulang. Menurut penelitian ulama bilangan tujuh sebagai
bilangan yang banyak dalam bahasa arab.

(b). Sarana Bersuci

Kebersihan adalah pangkal kesehaan, sarana utama untuk kebersihan adalah air.
Kegunaan air untuk bersuci antara lain dinyatakan dalam Alqur’an, dan Alloh menurunkan
kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu (QS. Al-Anfal ;11).
Air yang digunakan diisyaratkan bersih, suci dan menyucikan (thahir wa muthahhir), tidak
mengandung najis (mutanajjis) dan bukan air limbah (musta’mal). Dalam keadaan darurat
dapat digunakan benda lain sebagai pengganti, yaitu debu untuk menghilangkan hadas dengan

77
persyaratan yang sama, suci dan menyucikan serta batu atau sejenisnya yang disunahkan 3
buah. Dalam penggunaannya dianjurkan pula berulang-ulang sehingga dapat dipastikan benar
benar membersihkan

(c). Siwak

Syariat Islam juga memperhatikan kebersihan mulut dan gigi melalui perintah siwak.
Dalam arti khusus, bersiwak adalah membersihkan gigi dengan menggunakan kayu siwak,
sedangkan dalam arti umum adalah tiap benda yang digunakan untuk membersihkan gigi.
Dari pengertian ini, siwak dapat diartikan dengan sikat gigi atau sejenisnya. Nabi
menganjurkan bersiwak setiap kali hendak shalat, memasuki masjid, sebelum tidur, ketika
bangun tidur dsb. Hudzaifah meriwayatkan bahwa Rasulullah jika bangun malam maka
menggosok giginya dengan siwak. Betapa pentingnya siwak ini, dinyatakan dalam hadis.
Sekiranya tidak memberatkan umat pasti akan diwajibkannya. Disebutkan dalam hadis:
Sekiranya tidak memberatkan umatku atau kepada manusia maka pasti aku perintahkan
mereka bersiwak setiap kali shalat (HR Bukhri Muslim). Siwak juga berfungsi untuk
menciptakan kesehatan pergaulan, menghindari adanya bau makanan melalui bau mulut,
seperti setelah memakan bawang merah dan sejenisnya. Siwak menyucikan mulut dan
diridhoi Rob (HR Bukhari). Secara khusus bersiwak dinyatakan dapat membuat seseorang
lebih percaya diri saat berkomunikasi dengan orang lain, sebagaimana dinyatakan dalam hadis
: Siwak itu dapat menambah kefasihan seorang laki laki (HR Abu Na’im).

d). Kebersihan Lingkungan

Sampah merupakan tempat berkembangbiaknya kuman dan bibit penyakit. Ajaan Islam
sangat menekankan kebersihan lingkungan rumah, antara lain dinyatakan : bersihkan
lingkunagn rumahmu (HR Turmudzi). Nabi juga memperhatikan kebersihan jalan dan
mengancam orang yang suka membuat gangguan atau membuang kotoran di jalan.
Disebutkan dalam hadis : Iman itu memiliki cabang tujuh puluh atau enam puluh, yang paling
utama adalah Laa ilaaha illallah dan yang paling bawah adalah membuang atau
menyingkirkan sesuatu atau yang dapat menggangu orang yang lewat dan malu termasuk
cabang iman (HR Bukhari dan Muslim).

Disamping itu Islam juga mementingkan kesehatan pergaulan akibat bau makanan dari
mulut. Islam juga menekankan penampilan fisik agar selalu rapi dan bersih. Siapa yang
mempunyai rambut agar ia memuliakannya (HR Abu Dawud ). Anjuran menyisir dan
memangkasnya sehingga tampak rapi, juga bermanfaat tidak menjadi sarang kuman, kotoran
atau binatang tertentu. Secara khusus Nabi pernah menegur seseorang yang rambutnya
tampak kusut : Apakah orang ini tidak punya sesuatu yang dapat melicinkan rambutnya?
(HR Abu Dawud). Dalam sebuah hadis juga banyak ditemukan keterangan yang
menganjurkan untuk memberihkan pakaian, antara lain Nabi menegur seseorang yang
berpenampilan kotor, kumal. Nabi menganjurkan untuk membersihkan pakaiannya. Dalam
suatu riwayat Nabi bersabda: Apakah orang ini tidak punya sesuatu untuk menyuci
pakaiannya? (HR Abu Dawud )

78
e). Pengobatan dalam Ajaran Islam

Sebagaimana banyak disebutkan dalam Alqur’an, bahwa Nabi diutus sebagai Rasul
Allah, mengemban misi membawa peringatan, penuntun akhlak yang terpuji, bukan untuk
menjadi tabib, dokter atau tenaga medis. Namun dalam syariat Islam yang dibawanya
terkandung ilmu pengetahuan, termasuk kedokteran. Karena itu, dalam literatur Islam dikenal
adanya pegobatan Nabi (thibbunnabawi). Thibbunnabawi merupakan himpunan ucapan–
ucapan Nabi mengenai penyakit, pengobatan, orang sakit dsb. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
menyatakan bahwa secara global pengobatan yang dilakukan Nabi terdiri atas 3 cara, yaitu
menggunakan obat alami, obat Ilahi, dan obat keduanya

Pertama: Obat alami


Macam-macam obat alami ini adalah:
(a). Bekam.
Dalam sebuah Hadis dinyatakan : “sebaik baik obat kalian adalah bekam”( as-Silsilah
ash-Shahihah)
(b). Madu
Seorang laki laki datang kepada Nabi seraya mengatakan,”saudaraku mengeluhkan
perutnya.” Nabi bersabda : “berilah ia minum madu...(Muttafaq 'alaih). Dalam hadis lain
diriwayatkan : “kesembuhan itu pada tiga perkara: minum madu, berbekam dan
sengatan dengan api (rajahan), namun aku melarang umatku dari rajahan “ (HR Al-
Bukhari)
(c). Habbatus-Sauda.
Rasulullah bersabda : “Pada habbatus Sauda terdapat obat dari segala peyakit kecuali
kematian” (Muttafaq alaih)
(d). Air Zam Zam
Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya ia diberkati, ia adalah makanan yang
mengenyangkan “ (Riwayat Athayalisi dalam musnadnya dan di sahkan Al-Bani.)
(e). Talbinah
Rasulullah bersabda : “Talbinah adalah penenang hati orang yang sakit yang
menghilangkan sebagian kesedihan” (Muttafaq 'alaih)

Kedua: Obat Ilahi


Pengobatan dengan obat Ilahi maksudnya adalah dengan ruqyah dan do’a. Hukum
mengamalkan ruqyah diperbolehkan menurut Ijma ulama. Dari ‘Auf bin Malik, ia berkata :
Kami biasa melakukan ruqyah pada masa jahiliyah, kami menanyakannya kepada Nabi. Ya
Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang itu? Nabi menjawab : Berpalinglah dari
ruqyahmu itu kepadaku, tidak apa-apa melakukan ruqyah selama tidak mengandung unsur
syirik ( HR Muslim dan Abu Dawud). Dari Aisyah, ketika Rasulullah menjenguk orang sakit
atau orang sakit dibawa kepada beliau, maka beliau bersabda : “Hilangkanlah penyakit,wahai
Rabb manusia. Sembuhkanlah dan Engkau Pemberi kesembuhan, tiada kesembuhan kecuali
kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit” (Muttafaq 'alaih)

Ketiga: Obat alami dan Ilahi


Cara ini adalah gabungan dari pengobatan secara alami dan Ilahi.

f). Sifat yang Harus Dimiliki oleh Tenaga Medik dan Para Medik

79
Yang dimaksud dengan tenaga medik adalah para dokter, sedang tenaga para medik
ialah perawat, bidan, laboran dsb. Mereka merupakan manusia-manusia yang mempunyai
keahlian yang terdidik dalam mengobati penyakit, dan merawat penderita, tingkah laku
mereka yang baik dapat mempercepat kesembuhan. Haruslah ada hubungan kejiwaan yang
akrab antara mereka dengan penderita. Islam mengajarkan supaya usaha mulia ini haruslah
didasarkan atas iman dan pengabdian diri kepada-Nya.

Melihat bagaimana besarnya amal dan pengabdian yang diberikan oleh dokter dan
tenaga para medik, maka Islam mengajarkan beberapa sifat yang harus dipunyai antara lain :
(a). Beriman
Sebab tanpa iman, segala amal saleh sebagai dokter dan tenaga para medik akan hilang
sia-sia di mata Allah. Dalam QS. 103 (Al-Ashr) : 1-3 disebutkan : Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh....
(b). Tulus dan ikhlas karena Allah. Dalam QS.98 (Al-Bayyinah) : 5 Allah menjelaskan yang
artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama
yang lurus.
(c). Jujur, artinya menyampaikan secara terbuka tentang apa yang diketahui.
(d). Penyantun, artinya ikut merasakan penderitaan orang lain, dan karena itu suka
menolong orang lain yang dalam kesukaran. Dalam QS. 3 (Ali Imran) : 159 Allah
berfirman yang artinya:159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-
Nya.
(e). Peramah, bergaul tidak kaku dan menyenangkan. Dalam sebuah Hadis disebutkan yang
artinya: “Sesungguhya kamu tidak dapat memberikan lelapangan manusia dengan
hartamu, tetapi manis muka dan baik budi yang dapat melapangkan mereka “ (HR. Abu
Ya’la disahkan oleh Hakim)
(f). Sabar, tidak emosional dan lekas marah. Dalam QS.42 (Al-Syuura) : 43 Allah berfirman
yang artinya: Tetapi orang yang bersabar dan mema'afkan, sesungguhnya (perbuatan )
yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.
(g). Tenang, tidak gugup betapapun dalam keadaan gawat. Rasulullah saw bersabda yang
artinya : “Tetaplah kamu bersifat tenang” (HR. Al-Thabrani dan Baihaqi).
(h). Teliti, berhati–hati, cermat dan rapi. Rasulullah saw bersabda yang
artinya : ;”Sesungguhnya Allah menyukai jika seseorang mengerjakan suatu pekerjan
dengan teliti” (HR. Baihaqi, Abu Ya’la, Ibnu Asakir dll)

g). Kewajiban Orang Sakit

Sakit akan menyebabkan gangguan kesejahteraan pribadinya dan juga dapat


berpengaruh kepada keluarga dan lingkungannya. Oleh karena itu beberapa kewajiban orang
sakit :
(a). Wajib berobat ke dokter. Dalam sebuah Hadis diriwayatkan : “Rasulullah mengunjungi
orang sakit, lalu bersabda : Bawalah ke dokter. Maka berkatalah orang yang

80
hadir :”Engkau berkata demikian ya Rasululah? Beliau menjawab : Ya, karena Allah
tidak menurunkan sesuatu penyakit melainkan menurunkan pula obatnya” (HR Bukhari
dan Muslim)
(b). Sabar dan tidak gelisah dalam menghadapi cobaan/penyakit adalah selaras dengan
firman Allah dalam QS. (Lukman) : 17 yang artinya : Hai anakku, dirikanlah shalat
dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
(c). Dzikrullah atau selalu ingat kepada Allah. Dalam QS. 13 (Al-Ra'du) : 13 Allah
berfirman yang artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram.
(d). Bertobat. Apabila pasien menyadari cobaan yang diiterimanya iu ada kaitan dengan
dosa yang diperbuatnya, maka bertobatlah kepada Allah. Dalam QS. (Al-Tahrim) : 8
Allah berfirman yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada
Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan
Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan
Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di
hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami,
sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu."
(e). Tetap mengharapkan sembuh. Dalam QS. 12 (Yusuf) : 87 Allah berfirman yang artinya:
Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya
dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa
dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".
(f). Berwasiat. Bagi pasien disunahkan agar berwasiat untuk ahli warisnya, apalagi kalau
sakitnya dirasakan berat. Dalam QS.2 (Al-Baqarah) : 180 Allah berfirman yang artinya :
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

h). Adab Merawat Orang yang Sedang Sakaratul Maut dan Meninggal Dunia.

Manusia yang sedang sakit atau menderita, layaknya cenderung mendekatkan diri
kepada Allah. Oleh karena itu segenap tindak tanduk dan tutur kata tenaga medik dan para
medik hendaknya menunjukkan kearifan dan kasih sayang. Terlebih lagi kepada orang yang
sedang sakit keras atau menghadapi sakaratul maut.

(a). Sakaratul maut dilihat dari ajaran Islam


Sakaratul maut arti hafiahnya adalah mabuk maut, maksudnya adalah si sakit dalam
keadaan naza’, yaitu dalam keadaan dicabut nyawanya oleh malaikat maut, sedang
dalam proses pemisahan nyawa dari badannya. Rasulullah mengunjungi orang sakit ( yg
sedang sakaratul maut) kemudian beliau bersabda : Aku tahu apa yang djumpai, tidak
ada satu uratpun darinya kecuali mengalami/merasakan sakitnya maut atas
ketajamannya (HR Ibnu Abu Dunya). Dalam melukiskan cengkeraman maut itu
Rasullulah bersabda : Dia seperti tiga ratus pukulan dengan pedang (HR Ibnu Abu
Dunya Al Hasan). Diriwayatkan dalam sebuah Hadis yang artinya: Menjelang
Rasululah wafat, di sisi beliau ada sebuah mangkuk berisi air, kemudian beliau

81
mencelupkan tangan ke dalam air, mengusap wajah dan berdoa: Ya Allah
mudahkanlah atas saya sakaratul maut (HR. Bukhari dan Muslim)
(b). Kewajiban tenaga medik / para medik terhadap pasien meninggal dunia.
a. Tutup mata dan mulutnya, ikat dagunya agar mulut tidak terbuka kembali, letakkan
kedua tangannya di dada, dan ikat kedua jempol kakinya agar kaki tidak terbuka,
b. Menghadapkan si pasien ke arah kiblat, dengan posisi miring di atas sisi kanan.
Abu Qatadah meriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad SAW ketika tiba di Madinah
menanyakan Bara’ bin Ma’rur, kemudian dijawab : Dia telah meninggal dunia dan
mewasiatkan sepertiga hartanya buat engkau ya Rasulullah dan dia telah
mewasiatkan juga agar dia dihadapkan ke kiblat bila dia sudah dekat wafat. Maka
Nabi besabada : wasiatnya sudah sesuai dengan Islam (HR. Al-Hakim )
c. Mentalkin pasien. Rasulullah bersabda : Talkinkanlan orang–orang yang hampir
wafat dengan kalimat Laa ilaaha illallah (HR Al-Jamaah). Dalam Hadits yang lain
diriwayatkan yang artinya : Barang siapa yang akhir kehidupannya mengucapkan
Laa ilaaha illallah pasti masuk surga (H Ahmad dan Abu Dawud)

3. Akhlak Islam atau Ihsan

3.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Akhlak Islam


3.1.1. Pengertian Akhlak

Kata akhlak merupakan bentuk jamak (plural) dari kata khuluk, berasal dari bahasa
Arab yang berarti tabiat, perangai, tingkah laku, kebiasaan, kelakuan. Menurut istilah, akhlak
ialah sifat yang tertanam di dalam diri seorang manusia yang bisa mengeluarkan sesuatu
dengan senang dan mudah tanpa adanya suatu pemikiran dan paksaan. Dalam KBBI,
akhlak berarti budi pekerti atau kelakuan. Menurut Ibnu Maskawaih, akhlak ialah sifat yang
tertanam dalam jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Perkataan akhlak bersumber dari kalimat dalam
Alqur’an, diantaranya QS.68 (Al-Qalam). Definisi tersebut menggambarkan bahwa akhlak
secara substansial adalah sifat hati (kondisi hati), bisa baik bisa buruk yang tercermin pada
perilaku. Tingkah laku yang dapat dikatakan sebagai akhlak seseorang haruslah dilakukan
berulang-ulang, tidak cukup hanya sekali melakukan perbuatan tersebut. Akhlak bukan hanya
perbuatan lahir, namun merupakan cermin keadaan jiwa. Perbuatan itu sudah melekat dalam
jiwanya sehingga dapat dilakukan secara spontan tanpa banyak pertimbangan

Dalam bahasan ini akhlak tidak terlepas dari akidah dan syariah, karena akhlak
merupakan pola tingkah laku yang timbul sebagi manifestasi dari aspek keyakinan dan
ketaatan kepada norma. Akhlak merupakan perilaku yang tampak terlihat jelas dalam kata-
kata maupun perbuatan yang dimotivasi oleh iman dan amaliah ibadah. Jika iman dan praktik
ibadahnya baik semestinya yang muncul adalah akhlak yang baik (al-akhlak al-karimah). Jika
iman dan ibadahnya buruk, maka yang keluar dalam perilakunya adalah akhlak yang buruk
(al-akhlak al-mazmumah). Akhlak mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam Islam.
Bahkan boleh dinyatakan bahwa tujuan seseorang beragama adalah terciptanya idividu dan
masyarakat yang berakhlak mulia.

Pembahasan tentang nilai sikap dan perilaku, disamping istilah akhlak juga ditemukan
istilah moral dan etika. Ke-tiganya terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan ketiganya
adalah sama-sama membahas tentang nilai sikap dan perilaku manusia. Sedangkan
perbedaannya diantaranya adalah :

82
a. Akhlak bersumber pada Alqur'an dan Sunnah, moral bersumber pada nilai-nilai yang
tumbuh dan berlaku pada masyarakat tertentu, sedangkan etika bersumber pada nilai-nilai
hasil pemikiran filsafat;
b. Akhlak mengandung nilai kebenaran mutlak, sedangkan moral dan etika mengandung
nilai kebenaran relatif;
c. Akhlak bersifat tetap sekalipun aplikasinya dapat bervariasi dan berkembang, sedangkan
moral dan etika selalu berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran serta budaya
masyarakat;
d. Akhlak berlaku secara universal, sedangkan moral dan etika berlaku secara lokal dan
sektoral;
e. Materi ajaran akhlak hanya satu, sedangkan materi moral dan etika bisa saja lebih dari
satu atau banyak;
f. Pengamalan ajaran akhlak selalu berimplikasi pada nilai ibadah, sedangkan pengamalan
moral dan etika dapat berimplikasi pada nilai ibadah atau tidak. Hal tersebut bergantung
pada materi ajaran moral dan etika, apakah sesuai atau tidak dengan ajaran akhlak.

3.1.2. Ruang Lingkup Akhlak Islam

Ruang lingkup akhlak Islam sama dengan ruang lingkup ajaran agama Islam itu sendiri.
Karena ajaran agama Islam mencakup segenap aktivitas manusia, maka ruang lingkup
akhlakpun dalam Islam mencakup semua aktivitas manusia di seluruh bidang kehidupan.
Sasaran akhlak Islam mencakup pola perilaku kepada Allah, kepada sesama manusia, hingga
pola perilaku kepada alam sekitarnya (binatang, tumbuhan dan makhluk yang tak bernyawa).
Uraian singkat ketiga ruang lingkup akhlak Islam tersebut adalah:

a. Akhlak Kepada Allah

Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya


dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Allah Sang Khalik. Setidaknya ada empat
alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah, yaitu (1). karena Allahlah yang telah
menciptakan manusia; (2). karena Allahlah yang telah memberikan perlengkapan
pancaindera, berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan qalbu atau hati sanubari,
disamping anggota tubuh yang kokoh dan sempurna kepada manusia; (3). karena Allahlah
yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup
manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang
ternak dan sebagainya; (4). karena Allahlah yang telah memuliakan manusia dengan
diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan. Banyak cara yang dapat dilakukan
dalam berakhlak kepada Allah, diantaranya dengan cara men-Tauhidkan-Nya, takwa kepada-
Nya, mencintai-Nya, ridho dan ikhlas terhadap segala ketentuan-Nya dan bertaubat,
mensyukuri nikmat-Nya, bertasbih, beristighfar, selalu bedoa kepada-Nya, beribadah, dan
selalu mencari keridhoan-Nya.

b. Akhlak Kepada Manusia

83
Akhlak kepada manusia melingkupi akhlak kepada diri sendiri dan kepada orang lain.
Akhlak kepada diri sendiri adalah menyayangi diri sendiri dengan menjaga diri dari perbuatan
buruk. Menjaga kesehatan diri, fisik dan jiwa kita. Bersuci, mandi setiap hari merupakan
bentuk pemeliharaan diri secara fisik, sedangkan memelihara hati agar selalu ikhlas, rendah
hati, sabar, jujur, mengendalikan dorongan hawa nafsu, dll. merupakan akhlak baik dengan
jiwa spiritual kita.

Berakhlak yang baik kepada orang lain dapat dirinci sasarannya kepada: a) Rasulullah
selaku pemimpin dan suri tauladan umat Islam, diantaranya dengan mencintai Rasulullah,
meneladani sifat dan Sunnah Rasulullah dalam kehidupan; b) Orang tua dan keluarga,
diantaranya dengan mencintai kedua orang tua, merendahkan diri di hadapan mereka, berkata
dengan lemah lembut, mendoakan keselamatan dan ampunan bagi mereka; c) Tetangga,
diantaranya dengan saling mengunjungi, saling membantu, saling memberi, saling
menghindari permusuhan dsb; d) Masyarakat, diantaranya dengan saling menghormati, saling
menasehati, saling bermusyawarah, saling menolong dsb; e) Anggota masyarakat lainnya,
dengan menghormati tamu, memberi makan fakir miskin, menunaikan amanat, dsb.

c. Akhlak Kepada Alam Sekitar

Berakhlak kepada alam sekitar berarti menyikapi alam dengan cara memelihara
kelestariannya. Alam ini Allah tundukkan untuk kepentingan manusia dan Allah memberi
amanat kepada manusia untuk menjaganya. Maka manusia harus mengendalikan dirinya
dalam mengeksploitasi alam. Manusia harus memberi kesempatan kepada alam untuk
merehabilitasi. Pemanfaatan alam didasari sikap tanggung jawab, tanpa merusaknya, sebab
alam yang rusak akan dapat merugikan manusia sendiri. Sikap yang baik terhadap alam
antara lain: 1) sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup; b) menyayangi dan
menjaga kelestrian flora dan fauna; dan c) memanfaatkan alam secara bertanggung jawab,
dsb.

Pembagian akhlak dari sisi sifatnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1). akhlak yang
baik, atau disebut juga akhlak mahmudah; dan 2). akhlak yang buruk atau akhlak
madzmumah. Akhlak baik antara lain: cinta kepada Allah, cinta kepda Rasul, taat beribadah,
senantiasa mengharap ridha Allah, tawadhu’, taat dan patuh kepada Rasulullah, bersyukur
atas segala nikmat Allah, bersabar atas segala musibah dan cobaan, ikhlas karena Allah, jujur,
menepati janji, khusyu' dalam beribadah kepada Allah, mampu mengendalikan diri,
silaturahmi, menghargai orang lain, sopan santun, suka bermusyawarah, suka menolong kaum
yang lemah, suka bekerja, hidup bersih dll. Sifat yang termasuk akhlak mazmumah adalah
segala sifat yang bertentangan dengan akhlak mahmudah, antara lain: kufur, syirik, munafik,
fasik, murtad, takabur, riya', dengki, bohong, menghasut, kikir, bakhil, boros, dendam,
khianat, tamak, fitnah, qati’urrahim, ujub, mengadu domba, sombong, dll.

3.1.3. Nilai-Nilai Akhlak Islam

Diantara nilai-nilai akhlak Islam dan potensial menciptakan kehidupan sosial yang
harmonis adalah:

1) Ikhlas

84
Ikhlas adalah salah satu hal yang bisa menyebabkan suatu amalan ibadah kita diterima Allah.
Yang dimaksud dengan pengertian ikhlas adalah memurnikan ibadah atau amal shalih hanya
untuk Allah dengan mengharap ridho dari-Nya semata. Jadi dalam beramal kita hanya
mengharap balasan dari Allah, tidak dari manusia atau makhluk-makhluk yang lain. Hal-hal
yang merusak keikhlasan misalnya riya' (pamer), 'ujub (membanggakan diri) dan sum’ah
(ingin kesohor). Imam Ibnul Qayyim menjelaskan arti ikhlas, yaitu meng-Esakan Allah di
dalam tujuan atau keinginan ketika melakukan ketaatan.

2) Jujur
Jujur adalah sifat penting dalam ajaran agama Islam. Jujur adalah berkata terus terang. Lawan
kata kejujuran adalah kebohongan. Orang yang bohong atau pendusta tidak ada nilainya
dalam Islam. Bohong adalah modal utama seorang munafik, penfitnah, pengadu domba,
penipu, koruptor, dsb. Kebohongan merupakan pembuka sifat buruk lainnya. Salah satu
akhlak menonjol dari Rasulullah SAW adalah shidiq  (jujur). Shidiq berarti benar atau jujur.
Akhlak jujur seperti Rasulullah tersebut wajib dimiliki juga oleh setiap muslim dan muslimah
di mana dan kapanpun berada. Seorang muslim dituntut selalu berada dalam
keadaan jujur lahir batin. Jujur hati (shidq al-qalb), jujur dalam perkataan (shidq al-hadits)
dan jujur dalam perbuatan (shidq al-`amal). Kejujuran sangat dijunjung tinggi dalam Islam.

3) Adil
Kata adil berasal dari bahasa Arab yang berarti seimbang, proporsional, tidak berat sebelah.
Adil secara istilah ada beberapa makna antara lain: menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Menurut Al-Ghozali, adil adalah keseimbangan antara sesuatu yang lebih dan yang kurang.
Sedangkan menurut Ibnu Miskawaih, keadilan adalah memberikan sesuatu yang semestinya
kepada orang yang berhak terhadap sesuatu itu. Kata adil dilawankan dengan kata dzalim,
yang berarti aniaya, menempatkan sesuatu yang bukan pada tempatnya. Islam memerintahkan
kepada kita agar kita berlaku adil kepada semua manusia

Allah menurunkan ajaran Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat yang


menyelamatkan dan membawa rahmat pada seluruh alam (rahmatan lil alamin) (Qs.21: Al-
Anbiya’: 107). Untuk itu, Islam  meletakkan ajaran adil sebagai salah satu di antara nilai-nilai
kemanusiaan yang asasi dan dijadikan sebagai pilar kehidupan pribadi, rumah tangga dan
masyarakat. Allah mengutus para Rasul dalam rangka untuk menegakkan dan mewujudkan
keadilan di muka bumi.

4) Rendah Hati
Sifat rendah hati adalah diantara sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Hamba-
hamba Allah yang rendah hati adalah mereka yang berjalan di muka bumi ini dengan tenang,
mantap dan tidak menyombongkan diri. Andaikata kebetulan sedang diberi nikmat
oleh Allah berupa kekayaan, maka ia tidak memamerkan kekayaannya itu. Andaikata ia
seorang yang diberi ilmu oleh Allah, maka ia tidak sombong dengan ilmunya. Andaikata ia
adalah orang yang berpangkat, maka kepangkatan dan jabatannya tidak lantas membuatnya
merendahkan orang lain. Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan yang artinya:
Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap
rendah  hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang
lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain. (HR. Muslim).

5) Kasih Sayang

85
Nabi Muhammad SAW diutus Allah tiada lain untuk merahmati semesta alam (QS. 21:107).
Maka tentulah bukan kebetulan bila ternyata Nabi Muhammad SAW dan agama yang
dibawanya merupakan rahmat, merupakan kasih sayang bagi semesta alam. Siapapun yang
mempelajari sirah Nabi Muhammad SAW akan menjumpai kisah-kisah kasih sayang Nabi
Muhammad SAW, sebagaimana siapapun yang mempelajari agama Islam akan dengan mudah
menemukan bukti hikmah-hikmah kasih sayang Islam. Kasih sayang bisa dengan mudah
ditemui dalam kehidupan sehari-hari sang Rasul, baik sebagai bapak dan suami dalam
lingkungan keluarga, sebagai saudara di kalangan kerabat, sebagai teman di kalangan sahabat,
sebagai guru di antara para murid, sebagai pemimpin di kalangan ummat, bahkan sebagai
manusia di tengah mahluk-mahluk Allah yang lain.

6) Sabar
Sabar adalah suatu sikap menahan emosi dan keinginan, serta bertahan dalam situasi sulit
dengan tidak mengeluh. Sabar merupakan kemampuan mengendalikan diri yang juga
dipandang sebagai sikap yang mempunyai nilai tinggi dan mencerminkan kekokohan jiwa
orang yang memilikinya. Sabar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan tahan
menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati) dan lain-
lainnya. Allah telah memerintahkan kepada seluruh hamba-Nya untuk sabar bukan saja dalam
menghadapi cobaan dan ujian, namun juga dalam berbagai aspek kehidupan lainnya. Ada
banyak persoalan dan situasi yang kita hadapi di dunia yang harus kita sikapi dengan sabar.
Para ulama menerangkan bahwa kesabaran dapat kita implementaskan dalam situasi berikut :
1) Sabar dalam melaksanakan perintah Allah; b) Sabar untuk meninggalkan dan menjauhi
larangan Allah; c). Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan; dan d). Sabar dengan orang-
orang sekitar yang tidak senang dengan kita.

3.2. Implementasi Akhlak atau Ihsan Dalam Kehidupan.

Perbaikan akhlak merupakan bagian dari tujuan pendidikan Islam. Pendidikan haruslah
berorientasi pada implementasi nilai-nilai yang diajarkan ke dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan yang hanya berfokus pada kecerdasan intelektual telah gagal membawa manusia
menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Pendidikan yang berhasil
hendaknya mampu membangun kebaikan sikap dan perilaku peserta didik disamping
kecerdasannya. Upaya impelmentasi nilai harus terus mendapat sokongan agar nilai-nilai
tersebut menjadi bagian dari kehidupan diri seseorang. Dalam akhlak, nilai-nilai keutamaan
tidaklah cukup dengan hanya mengetahuinya. Tetapi harus ditambah dengan melatihnya terus
menerus untuk menjadi orang-orang yang memiliki keutamaan tersebut. Dalam ilmu tasawuf,
perbaikan akhlak harus berawal dari pensucian hati atau tasfiat al-qalb. Pensucian hati
diawali dengan menjauhi berbagai larangan Allah dan melaksanakan kewajiban-kewajibann-
Nya. Juga diikuti dengan melaksanakan hal-hal yang disunnatkan. Barulah kemudian
melakukan al-Riyadhah. Al-Riyadhah artinya latihan spiritual, membiasakan diri dengan
berzikir mengingat Allah dan melakukan berbagai macam kebajikan.

Hati orang beriman itu bersih. Kemaksiatan yang diperbuat manusia menjadikan hatinya
kotor, kelam dan berkarat. Taat kepada perintah Allah tidak mengikuti godaan syahwat dapat
mengkilaukan hati. Sebaliknya hati menjadi hitam akibat dosa dan maksiat. Maka barang
siapa melakukan dosa, segera hapuskan dengan istighfar dan diikuti dengan kebajikan.
Kebajikan dapat mengembalikan cahaya yang redup. Di dalam hati yang bersih, akan muncul
cahaya yang menyebar ke seluruh anggota badan. Cahaya itu terlihat dengan tutur kata yang

86
lembut, bijak, suka memaafkan, suka menolong orang lain dan perilaku baik lainnya dalam
kehidupannya sehari-hari.

Upaya mengubah kebiasaan yang buruk menurut Ahmad Amin, yang dikutip Ishak
Soleh adalah dengan melakukan hal-hal berikut ini :

a. Menyadari perbuatan buruk, bertekad untuk meninggalkannya.


b. Mencari waktu yang baik untuk mengubah kebiasaan itu untuk mewujudkan niat dan
tekad semula.
c. Menghindarkan diri dari segala yang dapat menyebabkan kebiasaan buruk itu terulang.
d. Berusaha untuk tetap berada dalam keadaan yang baik.
e. Menghindarkan diri dari kebiasaan buruk dan meninggalkannya sekaligus.
f. Menjaga dan memelihara baik-baik kekuatan penolak kemaksiatan dalam jiwa, berusaha
selalu istiqamah, ikhlas, dan jiwa tenang.
g. Memilih teman bergaul yang baik, sebab pengaruh kawan itu besar sekali dalam
pembentukkan watak pribadi.
h. Menyibukkan diri dengan pekerjaan yang bermanfaat.

3.3. Hubungan Akhlak Dengan Akidah atau Iman dan Syariah atau Islam

3.3.1. Hubungan Akhlak Dengan Akidah atau Iman

Rasulullah SAW menegaskan bahwa kesempurnaan iman seseorang terletak pada


kesempurnaan dan kebaikan akhlaknya. Sabda beliau: “Orang mukmin yang paling sempurna
imannya ialah mereka yang paling bagus akhlaknya ”. (HR. Muslim). Akidah tanpa akhlak
ibarat sebatang pohon yang tak banyak guna, tidak dapat menjadi tempat berlindung di saat
kepanasan dan tidak pula ada buahnya yang dapat dipetik. Sebaliknya akhlak tanpa akidah
hanya merupakan layang-layang bagi benda yang tidak tetap, yang selalu bergerak. Kuat atau
lemahnya iman dapat diketahui melalui tingkah laku (akhlak) seseorang. Tingkah laku
seseorang cerminan dari imannya yang ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia
mempunyai iman yang kuat; dan jika perbuatannya buruk, maka dapat dikatakan ia
mempunyai iman yang lemah. Imam Al-Ghazali mengatakan, bahwa iman yang kuat
memunculkan akhlak yang baik dan mulia, sedang iman yang lemah melahirkan akhlak yang
buruk. Orang yang berperangai tidak baik dikatakan oleh Nabi sebagai orang yang kehilangan
iman. Beliau bersabda :”Malu dan iman itu keduanya bergandengan, jika hilang salah
satunya, maka hilang pula yang lain”. (HR. Hakim). Rasa malu sangat berpautan dengan
iman hingga boleh dikatakan bahwa tiap orang yang beriman pastilah ia mempunyai rasa
malu, dan jika ia tidak mempunyai rasa malu, berarti tidak beriman atau lemah imannya.
Allah menjadikan keimanan (aqidah) sebagai dasar (pondasi) agama-Nya, ibadat (syariah)
sebagai rukun (tiang) ataupun bangunan yang berdiri di atasnya. Kedua hal inilah yang akan
menimbulkan akhlak yang luhur.

Akidah mampu menciptakan kesadaran diri bagi manusia untuk berpegang teguh
kepada norma dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Keberadaan akhlak memiliki peranan yang
istimewa dalam akidah Islam sebagaimana yang termaktub dalam hadis berikut: “Orang
mukmin yang sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya,” (HR. Tirmidzi). Dari hadis
ini dapat disimpulkan bahwa akhlak itu harus berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup
disimpan dalam hati, namun harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, untuk melihat kuat atau lemahnya iman dapat diketahui melalui tingkah laku

87
(akhlak) seseorang, karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari imannya yang
ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai iman yang kuat, dan jika
perbuatannya buruk, maka dapat dikatakan ia mempunyai Iman yang lemah.

3.3.2. Hubungan Akhlak dengan Syariah atau Islam

Sebagai bentuk perwujudan  iman (aqidah), akhlaq mesti berada dalam bingkai aturan
syari’ah Islam. Karena seperti dijelaskan diatas, berakhlak baik juga dalam rangka ibadah
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Syariah menjadi standard ukuran yang menentukan
apakah suatu amal-perbuatan itu benar atau salah. Ketentuan syariah merupakan aturan dan
rambu-rambu yang berfungsi membatasi, mengatur dan menetapkan mana perbuatan yang
mesti dijalankan dan yang mesti ditinggalkan. Ketentuan hukum pada syariah pada asasnya
berisi tentang keharusan, larangan dan kewenangan untuk memilih. Ketentuan ini meliputi
wajib, sunnah/mandub, mubah (wenang), makruh dan haram. Syariah memberi batasan-
batasan terhadap akhlaq sehingga praktik akhlaq tersebut berada didalam kerangka aturan
yang benar tentang benar dan salahnya suatu amal perbuatan (ibadah).

Jadi, jelas bahwa akhlaq tidak boleh lepas dari batasan dan kendali syariah. Syariah
menjadi bingkai dan praktik akhlaq, atau aturan yang mengatasi dan mengendalikan akhlaq.
Praktik akhlaq tidak melebihi apalagi mengatasi syariah, tetapi akhlaq harus lahir sebagai
penguat dan penyempurna terhadap pelaksanaan syariah. Sedangkan akhlaq yang tidak
menjadi penyempurna pelaksanaan syariah adalah perbuatan batal. Jadi, kedudukan akhlak
adalah sebagai penguat dan penyempurna proses ibadah seseorang.

Dengan demikian, syariah berfungsi sebagai jalan yang akan menghantarkan seseorang
kepada kesempurnaan akhlak. Sedangkan akhlak adalah nilai-nilai keutamaan yang bisa
menghantarkan seseorang menuju tercapainya kesempurnaan keyakinan. Akhlak adalah
perwujudan dari proses amal ibadah, sehingga seseorang hamba dapat meningkatkan kualitas
iman dan amal ibadahnya dengan akhlak tersebut.

4. Aliran atau Mazhab yang Berkembang dalam Pemahaman Ajaran Islam

4.1. Pengertian Aliran dan Madzhab

Kata faham, yang kemudian menjadi bahasa Indoensia paham, merupakan masdar (kata
kerja yang dibendakan) dari kata kerja “fahima-yafhamu” yang artinya adalah pemahaman,
maksudnya adalah sesuatu yang dapat dimengerti oleh seseorang. Kata madzhab merupakan
masdar mim dari kata kerja “dzahaba-yadzhabu” yang memiliki beberapa pengertian, antara
lain:(1) pergi, (2) berpendapat, (3) jalan pikiran, (4) menyengaja, dan (5) pandangan.
(perhatikan beberapa kamus, seperti al-Ma’ani fi al-Mu’jam al-Jami’, Lisan al-Arab, dan lain
sebagaina). Dalam pengertian terminologi, madzhab merupakan kumpulan dari pandangan-
pandangan dan pendapat-pendapat keagamaan, ilmiah maupun falsafah yang satu sama lain
saling terkait, sehingga dapat mewujudkan pemahaman yang utuh. Dengan demikian,
madzhab adalah suatu pedoman berdasarkan pemikiran para ahli yang dijadikan rujukan oleh
sejumlah atau sekelompok orang.

Dalam perkembangan selanjutnya, istilah madzhab lebih banyak digunakan dalam


bidang Syariah yang berkembang menjadi ilmu fiqih. Aliran atau madzhab, dijumpai juga

88
dalam kajian ilmiah, kajian filsafat, teologi, dan tasawuf. Dalam kajian fiqih misalnya, dikenal
secara umum ada empat madzhab, yaitu (1) Madzhab Abu Hanifah (Hanafi), (2) Madzhab
Malik bin Anas (Maliki), (3) Madzhab Muhammad bin Idris al-Syafi’i (al-Syafi’i), dan (4)
Madzhab Ahmad bin Hambal (Hambali). Inilah madzhab yang mu’tamad yang dijadikan
pedoman oleh umat Islam secara mayoritas. Selain itu ada madzhab-madzhab lain seperti
Madzhab Daud al-Dzahiri (al-Dzahiri), Madzhab al-Auza’i, Madzhab Sufyan bin Uyainah
dan sebagainya. Madzhab dalam bidang Akidah yang berkembang menjadi Ilmu Kalam atau
teologi, biasa disebut Aliran. Dalam Ilmu Kalam dijumpai beberapa macam aliran, antara lain
(1) Aliran Khawarij, (2) Syiah, (3) Jabariyah, (4) Qadariyah, (5) Murji’ah, (6) Muktazilah, (7)
Ahlu Sunnah wal Jamaah, dan sebagainya.

Dalam bidang Akhlak yang berkembang menjadi ilmu Tasawuf dijumpai berbagai
aliran yang dipelopori antara lain oleh al-Muhasibi, Dzunnun al-Mishri, Abu Yazid al-
Bustami, Rabi’ah al-Adawiyah, al-Junaid al-Baghdadi, al-Ghazali, dan sebagainya. Tokoh-
tokoh tasawuf tersebut, mengembangkan beberapa pemahaman, seperti al-Ma’rifat, al-
Mahabbah, al-Ittihad, al-Huluul dan Wihdatul Wujud. Dari aliran-aliran tersebut yang
diterima oleh mayoritas umat Islam adalah aliran al-Ma’rifat dan al-Mahabbah. Al-Ma’rifah
yaitu mengenal Allah dengan keyakinan yang teguh dan mendalam, serta terlepas dari segala
macam keraguan. Sedangkan al-Mahabbah yaitu tasawuf yang mengajarkan agar mencintai
Allah secara mendalam, sehingga tidak ada lagi cinta selain kepada-Nya. Al-Ittihad adalah
paham tasawuf yang mengajarkan bahwa sewaktu-waktu manusia yang sudah mensucikan
dirinya, dapat bersatu dengan Tuhan. Al-Huluul merupakan paham tasawuf yang mengajarkan
bahwa apabila seseorang telah dapat mensucikan dirinya dan sudah dapat menghilangkan
eksistensinya sehingga yang ada hanya eksistensi Allah saja. Dalam kondisi seperti ini,
sewaktu-waktu Allah merasuki jiwa orang tersebut. Sedangkan Wihdatul Wujud adalah aliran
tasawuf yang mengajarkan kesatuan wujud antara hamba dan Tuhannya (Manunggaling
Kawula Gusti). Dari aliran-aliran tersebut, sebagaimana telah disinggung di atas, ada tiga
aliran yang ditolak oleh mayoritas umat Islam, yaitu al-Ittihad, al-Huluul, dan Wihdatul
Wujud. Sedangkan al-Ma’rifat, al-Mahabbah, dan yang lainnya pada umumnya diterima oleh
mayoritas umat Islam.

Secara garis besar, aliran tasawuf dibagi menjadi dua bagian, yaitu tasawuf akhlaki dan
tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaki diterima oleh mayoritas umat Islam, sedangkan tasawuf
falsafi hanya dianut sebagian kecil dari umat Islam. Selain madzhab-madzhab yang ada di
dalam khazanah keilmuan Islam, madzhab, paham, atau aliran juga terdapat dalam kajian
yang bersifat umum, seperti aliran atau madzhab di bidang sains, bidang filsafat, bidang
teknologi, ilmu-ilmu sosial, ilmu politik, dan sebagainya.

4.2. Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Paham atau Madzhab Dalam Islam

Sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya perbedaan paham dan madzhab dalam
Islam sangat banyak, bisa terjadi dalam berbagai segi. Perbedaan yang terjadi di kalangan
akidah yang dikembangkan dalam ilmu kalam, diawali dari masalah politik, yaitu yang
disebut tanaazu’ al-khilafah yaitu perebutan kekhilafahan atau kepemimpinan. Selanjutnya
perbedaan-perbedaan di bidang ini berkembang disebabkan hal-hal lain, yang sedikit banyak
ada persamaan dengan timbulnya madzhab-madzhab, baik dalam bidang Syariat, yang
berkembang dalam Fiqih, maupun Akhlak yang berkembang menjadi Tasawuf. Timbulnya
tanaazu’ al-khilafah yang kemudian menimbulkan berbagai banyak aliran, terjadi pada masa

89
Khalifah Ali bin Abi Thalib yang diangkat sebagai khalifah keempat menggantikan Utsman
bin Affan.

Setelah Ali diangkat sebagai khalifah, banyak tantangan yang dihadapi, diantaranya
adalah timbulnya pemberontakan-pemberontakan dari dalam seperti terjadinya Perang
Berunta atau Waq’atul Jamal. Pemberontakan ini dipicu oleh ambisi Thalhah dan al-Zubair
dengan memanfaatkan wibawa sayyidah Aisyah RA. Dinamai Perang Berunta, karena Aisyah
dalam peperangan itu mengendarai unta. Pemberontakan ini dengan mudah dapat dipatahkan,
dan Khalifah Ali RA. melindungi sayyidah Aisyah, sehingga beliau selamat dan tidak terluka
sedikitpun. Pemberontak lainnya gugur dalam peperangan itu. Selepas perang berunta,
Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang dulunya pernah menjabat gubernur di Syam pada zaman
Utsman bin Affan, juga memberontak kepada Ali dengan mengerahkan pasukan yang sangat
banyak. Terjadilah pertempuran terbuka antara Khalifah Ali dengan pasukan tentaranya
dengan Muawiyah juga dengan tentaranya di Shiffin. Shiffin adalah nama padang pasir yang
luas yang menjadi arena pecahnya peperangan antara kedua pasukan tersebut.

Pihak Khalifah Ali memperoleh kemenangan dalam peperangan ini, setelah Muawiyah
dan para pendukungnya hampir dapat dikalahkan, tinggal menunggu waktu. Tiba-tiba pihak
Mu’awiyah yang didampingi oleh politisi senior dan berpengalaman Amru bin Ash
menyampaikan usul untuk mengadakan tahkim (arbitrase) antara Ali dan Mu’awiyah. Pihak
Amr bin Ash dari Muawiyah menyampaikan slogan kembali kepada Alqur’an dan
perdamaian. Menghadapi isu arbitrase ini, pasukan Ali bin Abi Thalib yang sangat kuat itu
terpecah menjadi dua bagian. Kelompok pertama menerima artbitrase tersebut karena
bagaimanapun, kalau kita diajak damai harus menerima. Kelompok kedua menolak arbitrase
itu, mereka mengatakan bahwa tawaran itu hanya siasat politik busuk mereka. Karena itu
pemberontak harus terus diperangi sampai selesai.

Dengan mengutamakan musyawarah, Khalifah Ali dan pendukungnya menerima


arbitrase itu, maka dilakukanlah arbitrase tersebut, Khalifah Ali diwakili oleh Abu Musa al-
Asy’ari sedangkan pihak Muawiyah diwakili oleh Amru bin Ash. Menghadapi arbitrase ini,
akhirnya kelompok kedua dari pasukan Ali memisahkan diri dan menentang arbitrase
tersebut, karena dianggap melanggar ajaran agama. Mereka melanggar ajaran agama, karena
bersedia berdamai dengan kaum pemberontak. Akhirnya kelompok ini keluar dari pasukan
Ali dan menjadi semakin ekstrem. Mereka mengkafirkan para tokoh seperti Muawiyah, Amru
bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan Ali bin Abi Thalib. Karena mereka keluar dari pasukan Ali
dan memusuhi keduanya, baik kepada pihak Muawiyah atau kepada pihak Ali sendiri, mereka
disebut kaum Khawarij. Kalimat itu diambil dari kata kharaja yang artinya keluar dan
memisahkan diri dari pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Kaum Khawarij dalam perkembangan selanjutnya menjadi sangat ekstrem dan keras,
serta radikal. Mereka memerangi dan membunuh setiap orang yang dianggap kafir. Mereka
juga mengkafirkan orang-orang yang berbuat dosa besar. Demikian kerasnya kelompok ini,
sehingga mereka melakukan suatu makar untuk berusaha membunuh Ali bin Abi Thalib, Abu
Musa al-Asy’ari, Muawiyah, dan Amru bin Ash. Mereka semua telah dianggap menjadi
orang-orang kafir. Dari masalah politik yang disebut dengan perebutan kekuasaan, kini
beralih kepada masalah akidah. Hal ini ditandai dengan kafir mengkafirkan dan
mengelompokkan sebagian orang yang harus diperangi. Kelompok ini selanjutnya
mengembangkan ajaran yang sangat ekstrem dan sangat bertentangan dengan jaran Islam
yang sesungguhnya.

90
Sebagai reaksi dari timbulnya aliran khawarij yang sangat keras memusuhi sayidina Ali,
maka lahirlah kelompok yang mendukung dan mencintai Khalifah Ali. Mereka itu disebut
kaum Syiah Ali, yang artinya para pendukung Ali bin Abi Thalib. Dalam perkembangan
selanjutnya, kelompok ini disebut dengan Syiah. Sebagian dari kelompok ini, sebagaimana
kelompok lain,ada juga yang semakin ekstrem, yang melenceng dari ajaran agama Islam.
Setelah timbul dua aliran yang berkembang dalam wilayah keyakinan atau teologi, kemudian
lahirlah aliran-aliran lain sebagaimana disebutkan di atas. Perbedaan yang terjadi di bidang
syariah yang berkembang menjadi fiqih dan akhlak yang berkembang menjadi tasawuf,
timbulnya berbeda dengan aliran teologi. Perbedaan dalam dua bidang ini lebih banyak
disebabkan oleh masalah lain, misalnya soal perbedaan cara pandang, perbedaan dalam
memahami nash-nash Alqur’an dan Sunnah, perbedaan dalam memahami istilah-istilah dari
teks, baik Alqur’an maupun Sunnah, dan sebagainya.

Penyebab perbedaan pandangan dalam Islam dalam perkembangan selanjutnya baik


dalam ilmu kalam, ilmu fiqih, maupun ilmu tasawuf sangat banyak macam dan ragamnya.
Penyebab ini begitu luas sehingga tidak mungkin digambarkan dalam tulisan yang singkat ini.
Karena itu pembahasan ini hanya akan menjelaskan secara singkat penyebab-penyebab
timbulnya madzhab dan paham dalam Islam.

4.3. Aliran Yang Berkembang Di Bidang Akidah

Akidah, pengertiannya menurut bahasa adalah ‫( الربطبالقوة‬mengikat sesuatu dengan


kuat), ‫( اإلبرام‬menetapkan), sangkutan atau simpul, membangun lengkung, mengokohkan,
membuat dan mengadakan perjanjian. Berasal dari kata 'aqada-ya’qidu. Secara istilah akidah
berarti keyakinan yang sangat kuat yang dipercayai dalam hati dan tidak disertai dengan
keraguan, lafadz jama’nya aqaid. (al-Munawwir, 1984:1023). Dalam pengertian lengkapnya,
akidah adalah suatu kepercayaan dan keyakinan yang menyatakan bahwa Allah SWT itu
adalah Tuhan Yang Maha Esa, Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada
sesuatupun yang menyerupai-Nya. Keyakinan terhadap keesaan Allah SWT disebut juga
“Tauhid”, dari kata “wahhada–yuwahidu”, yang artinya mengesakan. Sedangkan ilmu yang
membahas masalah ini disebut dengan ilmu Tauhid, atau Ilmu Kalam (ilmu yang membahas
Kalam Allah, apakah ia qadim atau hadis). Disebut juga Ilmu Ushuluddin karena ilmu
tersebut membahas pokok-pokok Agama.

Akidah pada dasarnya adalah teks-teks Alqur’an atau Sunnah yang menjelaskan tentang
ketuhanan dan keyakinan. Karena akidah ini merupakan teks dari Alqur’an dan Sunnah, maka
tidak ada perbedaan di kalangan para ulama, misalnya, dalam memahami surat Al-Ikhlas :
“Katakanlah: Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-
Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia”. Bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Esa (tunggal),
tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya,
merupakan kesepakatan semua ulama dan umat Islam, tidak ada perbedaan antara satu dengan
yang lainnya.

Dalam rangka pengembangan pemahaman teks Alqur’an, yang menyatakan bahwa


Allah itu Esa (satu atau tunggal), dipertanyakan apakah satunya Allah itu sama dengan
satunya makhluk, seperti batu, kayu, atau benda-benda lainnya?. Menjawab pertanyaan ini,
para ahli akidah menyampaikan pandangan-pandangannya, misalnya mereka menyatakan
bahwa satunya Allah dengan benda itu berbeda. Dzat Allah tidak terdiri dari bagian-bagian,
91
tidak memerlukan ruang dan waktu, sedangkan dzat makhluknya terdiri dari bagian-bagian,
dari molekul sampai atom, dan memerlukan ruang dan waktu. Kajian ini dilakukan dalam
rangka memurnikan ajaran tauhid, sehingga terhindar dari noda-noda syirik. Pendalaman
akidah, oleh para ahli sebagaimana disebutkan di atas, berkembang menjadi suatu disiplin
ilmu tersendiri yang disebut Ilmu Kalam. Ilmu ini, merupakan hasil ijtihad para ahli di bidang
itu untuk mempertahankan akidah dan keimanan dengan menggunakan akal dan pikiran.
Karena ilmu kalam merupakan hasil dari pemahaman para ahli, maka mempunyai
kecenderungan yang berbeda-beda, sehingga menimbulkan beberapa aliran.

Disiplin ilmu ini dinamakan Ilmu Kalam, diambil dari kata Kalam Allah atau Alqur’an
yang pernah menjadi perdebatan pada awal perkembangan Islam klasik. Perdebatan itu
berkisar pada status Alqur’an (kalam tadi) apakah ia qadim (terdahulu yang tidak ada
awalnya) atau hadis (baru). Dari perdebatan inilah, ilmu ini dinamakan Ilmu Kalam. Aliran-
aliran dalam Ilmu Kalam telah disinggung secara ringkas pada kajian yang lalu, selanjutnya
kajian di bidang ini akan memasuki pengenalan secara lebih mendalam tentang aliran-aliran
yang ada dalam disiplin ilmu tersebut, yaitu (1) Aliran Khawarij, (2) Aliran Syiah, (3) Aliran
Murji’ah, (4) Aliran Jabariyah, (5) Aliran Qadariyah, (6) Aliran Muktazilah, (7) Aliran Ahlu
Sunnah wal Jamaah yang terdiri dari Asy’ariyah dan al-Maturidiyah.

Aliran (1) Khawarij, sebagai paham radikalisme agama dalam perkembangan pemikiran
Islam. Menurut KBBI, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan
atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Sedangkan
radikalisme agama berarti kekerasan tersebut melibatkan agama. Dengan demikian
radikalisme agama akan ditandai dengan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Secara bahasa, radikalisme berasal dari bahasa Latin, radix, yang berarti akar. Ia adalah
paham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar untuk mencapai
kemajuan. Dalam perspektif ilmu sosial, radikalisme erat kaitannya dengan sikap atau posisi
yang mendambakan perubahan terhadap status quo dengan cara menggantinya dengan sesuatu
yang sama sekali baru dan berbeda (Edi Susanto , 2007).

Sejarah kekerasan dan radikalisme sering kali membawa nama agama. Hal ini dapat
dipahami karena agama memiliki kekuatan yang dahsyat, yang melebihi kekuatan politik,
sosial, dan budaya. Agama bahkan bisa diangkat sampai pada tingkat supranatural. Atas nama
agama, kemudian radikalisme diabsahkan dalam berbagai tindakan. Mulai dari mengkafirkan
orang-orang yang tak sepaham (takfir) sampai melakukan pembunuhan terhadap musuh yang
tidak seideologi dengannya (Dede Rodin, 2016). Menurut Yusuf al-Qardhawi, faktor utama
munculnya radikalisme dalam beragama adalah kurangnya pemahaman yang benar dan
mendalam atas esensi ajaran agama Islam itu sendiri dan pemahaman literalistik atas teks-teks
agama (Yusuf al-Qardhawi, 2001).

Sebetulnya radikalisme agama sudah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW. Imam
Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa beliau berkata: ketika itu Ali pernah
mengirim dari Yaman untuk Rasulullah sepotong emas dalam kantong kulit yang telah
disamak, dan emas itu belum dibersihkan dari kotorannya. Maka Nabi membaginya kepada
empat orang: ‘Uyainah bin Badr, Aqra’ bin Habis, Zaid al-Khail, dan yang ke-empat
‘Alqamah atau ‘Amir bin ath-Thufail. Maka seseorang dari para shahabatnya menyatakan:
“Kami lebih berhak dengan (harta) ini dibanding mereka.” Ucapan itu sampai kepada Nabi,
maka beliau bersabda: Apakah kalian tidak percaya kepadaku, padahal aku adalah
kepercayaan Dzat yang ada di langit (yakni Allah), wahyu turun kepadaku dari langit di
waktu pagi dan sore”. Kemudian datanglah seorang laki-laki yang cekung kedua matanya,

92
menonjol bagian atas kedua pipinya, menonjol kedua dahinya, lebat jenggotnya, botak
kepalanya, dan tergulung sarungnya. Orang itu berkata: “Takutlah kepada Allah wahai
Rasulullah! Maka Rasulullah kemudian berkata: Celaka engkau! Bukankah aku manusia
yang paling takut kepada Allah? Kemudian orang itu pergi. Maka Khalid bin al-Walid
berkata: Wahai Rasulullah, bolehkah aku penggal lehernya? Nabi berkata: Jangan, dia
masih shalat (yakni masih muslim). Khalid berkata: Berapa banyak orang yang shalat dan
ber-syahadat ternyata bertentangan dengan isi hatinya. Nabi berkata: Aku tidak diperintah
untuk meneliti isi hati manusia, dan membelah dada mereka. Kemudian Nabi melihat kepada
orang itu, sambil berkata: “Sesungguhnya akan keluar dari keturunan orang ini sekelompok
kaum yang membaca Kitabullah (Alqur’an) secara kontinyu, namun tidak melampaui
tenggorokan mereka (yakni tidak paham makna aslinya). Mereka melesat (keluar) dari
(batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah dari (sasaran) busurnnya. Dan saya kira
beliau berkata: “Jika aku menjumpai mereka, niscaya aku akan bunuh mereka seperti
dibunuhnya kaum Tsamud”.

Pada perkembangannya, kelompok yang bertindak kasar akan berkembang menjadi


kaum khawarij. Gerakan radikalisme yang sistematis dan terorganisir baru dimulai setelah
terjadinya Perang Shiffin (perang pemberontakan Muawwiyah terhadap Ali bin Abi Thalib) di
masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib. Hal ini ditandai dengan munculnya sebuah gerakan
teologis radikal yang disebut dengan khawarij. Secara etimologis, kata khawarij berasal dari
bahasa Arab, yaitu “kharaja” yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Dari
pengertian ini, kata tersebut dapat juga dimaknai sebagai golongan orang Islam atau Muslim
yang keluar dari kesatuan umat Islam (Anzar Abdullah, 2016). Ada pula yang mengatakan
bahwa pemberian nama itu di dasarkan pada Q.S. An-Nisa’ [4]: 100 Surat Annisa ayat 100,
yang menyakatan: “Keluar dari rumah kepada Allah dan Rasulnya”. Dengan kata lain,
golongan “Khawarij” memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah atau
kampung halaman untuk “berhijrah” dan mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya
(Achmad Gholib, 2005).

Dalam konteks teologi Islam, Khawarij berpedoman kepada kelompok atau aliran kalam
yang berasal dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang kemudian keluar dari barisannya, karena
ketidaksetujuannya terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) ataupun
perjanjian damai dengan kelompok pemberontak Mu’awiyah bin Abi Sufyan mengenai
persengketaan kekuasaan (khilafah). Menurut kelompok Khawarij, keputusan yang diambil
Ali adalah sikap yang salah dan hanya menguntungkan kelompok pemberontak. Situasi inilah
yang melatarbelakangi sebagian barisan tentara Ali keluar meninggalkan barisannya
(Azyumardi Azra, 1999). Arbitrase terjadi dalam konteks Perang Shiffin, antara kelompok Ali
bin Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai hasil dari pertikaian
politik pasca kematian Khalifah Usman bin Affan. Sebagaimana di dalam sejarah, ketika Ali
terpilih menjadi khalifah, ia mendapatkan tantangan dari beberapa pemuka sahabat yang ingin
menjadi khalifah, di antaranya ialah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Damaskus waktu
itu. Mu’awiyah tidak mengakui Ali sebagai khalifah, sebagaimana juga Talhah dan Zubair.
Mereka menuntut kepada Ali, agar menghukum pembunuh Khalifah Usman bin Affan. Ali
dan para sahabat yang lain serta umat Islam pada umumnya sulit untuk menetapkan siapa
pembunuh Utsman itu, karena pembunuhan terhadap Utsman dilakukan secara massal
sehingga tidak diketahui siapa pembunuhnya.

Pertikaian politik tersebut terus meningkat dalam pemberontakan yang pertama kali
dilakukan oleh Tolhah dan Zubair, dengan memanfaatkan Ummul Mukminin ‘Aisyah RA.
‘Aisyah Waktu itu mengendarai unta dalam peperangan itu sehinnga perang tersebut disebut

93
waq’atul jamal atau perang berunta. Tohah dan Zubai gugur beserta para pengikutnya,
sedangkan Sayyidah ‘Aisyah RA (Ummul Mukminin) dijaga dan diselamatkan oleh Ali bin
Abi Thalib oleh para tantara dan para pengikutnya dan beliau dikembalikan di rumah
tinggalnya di Madinah. Pemberontkan berikutnya yang lebih besar dilakukan oleh mantan
Gubernur Damaskus yaitu Muawwiyah bin Abi Sufyan, sehinnga terjadilah pertempuran di
Shiffin.

Pasukan Ali dapat mendesak dan memukul mundur tentara Mu’awiyah. Tantara
Muawwiyah tinggal menghitung hari akan cepat dapat dihancurkan. Dalam lingkungan
Muawwiyah ada seorang politisi yang sangat lihai bernama Amru bin Ash, yang terkenal
sebagai orang yang licik, dengan idenya dialah meminta berdamai dengan mengangkat al-
Qur’an ke atas. Seorang sahabat dari kelompok Ali yang bernama Qurra’ mendesak Ali
supaya menerima tawaran itu. Dengan permintaan itu, dicarilah kerangka perdamaian dengan
mengadakan arbitrase (tahkim) di antara kedua belah pihak. Sebagai perantara, diangkat dua
orang: Amru bin al-Ash dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali.
Sejarah mencatat, bahwa dalam perjanjian damai itu, kedua belah pihak menandatangani
kesepakatan masing-masing wakil yaitu: Amru bin Ash dan Abu musa al- Ash’ari akan
mencabut kepemimpinan Ali dan Muawwiyah kemudian dikembalikan kepada ummat Islam
untuk memilihnya kembali. Cara menyampaikannya, Abu Musa al-Asya’ri berbicara di depan
ummat Islam untuk mencabut kepemimpinan Ali dan di serahkan kepada Ummat Islam.
Amru bin Ash juga akan berbicara di depan ummat Islam untuk mencabut kepemimpinan
Muawwiyah dan diserahkan kepada Ummat Islam. Dalam pelaksanaanya, karena kelicikan
pihak Amru bin Ash, beliau sangat lihai dia mengatakan pada Abu Musa al- ‘Asya’ri “engkau
adalah seorang yang alim lebih berpengalaman dan lebih tua daripada ku karena itu aku
minta agar engkau berbicara terlebih dahulu kepada ummat Islam”. Maka dengan
kejujurannya Abu Musa al-‘Asyari, sesuai dengan perjanjiannya Abu Musa al- ‘Asya’ri
mencabut kepemimpinan Ali dan diserahkan kepada ummat Islam. Setelah selesai beliau
berbicara, tampillah Amru bin Ash kepada ummat Islam dan mengkhianati perjanjian tadi, dia
mengatakan “wahai ummat Islam kalian telah mengetahui bahwa Abu musa Al-‘Asyari
sebagai wakil dari pihak Ali telah mencabut kepemimpinan Ali, maka sekarang saya
menetapkan kepemimpinan di berikan kepada Muawwiyah”. Akhirnya arbtrase menjadi
kacau kembali dan tidak dapat diselesaikan dalam musyawarah itu dan kepemimpinan tidak
bisa disatukan. Arbitrase itu menguntungkan pihak Muawwiyah, karena kalau tidak ada
Arbitase pasukan Muawwiyah sudah dapat dikalahkan. Sebagian dari pasukan Ali merasa
kecewa dengan Arbitarse ini dan menera menuduh yang terlibat dalam arbitrase itu menjadi
kafir. Mereka mengkafirkan Ali, Muawwiyah, Abu Musa al-‘Asy’ari dan Amru bin Ash.
Kelompok ini kemudian keluar (kharaja) dan memisahkan diri dari pasukan Ali yang
kemudian dikenal dengan kelompok Khawarij.

Jadi Khawarij, sebagai sebuah kelompok sempalan dalam Islam yang berpikir radikal,
merupakan sebuah bentuk yang lahir dari kekecewaan politik terhadap arbitrase yang
merugikan kelompok Ali bin Abi Thalib. Akhirnya, sebagain dari pendukung Ali keluar, dan
berpendapat ekstrim bahwa perang tersebut tidak dapat diselesaikan dengan tahkim manusia.
Tetapi putusan hanya datang dari Allah SWT dengan cara kembali kepada hukum yang ada di
dalam Alqur’an dan Sunnah Nabi (menurut pemahaman mereka). Menurut pandangan mereka
adalah La hukma Illa Lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah). Mereka, yang keluar dari
kelompk Ali bin Abi Thalib ini, yang kemudian dinamakan golongan “Khawarij” mereka
memandang dan mencap bahwa Ali bin Abi Thalib, Amir bin al-Ash, Abu Musa al-Asy’ari,
dan Mu’awiyah, serta yang lainnya yang setuju atau menerima arbitrase atau tahkim adalah

94
sebagai kafir, karena tidak kembali ke Alqur’an dalam menyelesaikan pertikaian tersebut
(Anzar Abdullah, 2016).

Persoalan takfiri (mengkafirkan) ini menjadi dasar awal persoalan teologis dalam Islam,
di mana kelompok “khawarij” adalah pendirinya. karena mereka memandang sahabat yang
terlibat dalam arbitrase itu adalah kafir, maka berarti mereka diklaim kluar dari Islam atau
murtad, dan harus diperangi. Akhirnya, sebagaimana terbukti dalam sejarah, Khalifah Ali bin
Abi Thalib berhasil dibunuh oleh kaum Khawarij (Anzar Abdullah, 2016).

Radikalisme Khawarij sebagai pemberontak telah terbukti dalam sejarah. Tidak hanya di
masa Ali, Khawarij meneruskan perlawananya terhadap kekuasaan Islam resmi, baik di
zaman Dinasti Bani Umayyah maupun Abbasiyah. Oleh karena itu, mereka memilih Imam
sendiri dan membentuk pemerintahan kaum Khawarij (Harun Nasution, 1996). Radikalisme
gerakan ini bukan saja pada aspek pemahaman, tetapi juga pada aspek tindakan. Khawarij
memahami ajaran Islam secara harfiyah (tekstual), sebagaimana terdapat dalam Alqur’an dan
Hadis Nabi; dan mereka merasa wajib melaksanakannya tanpa perlu penafsiran macam-
macam. Alamat kafir dan musyrik dialamatkan oleh kaum Khawarij kepada siapa saja orang
yang tidak sepaham dengan golongannya, bahkan terdapat orang yang sepaham tetapi tidak
mau hijrah ke daerah mereka. Bahkan mereka menyebutnya sebagai “dar al-harb”, sehingga
dapat dibunuh (Achmad Gholib, 2005). Berhubung dengan perbuatan yang sangat kejam itu,
Azyumardi Azra menyebut aksi kaum Khawarij sebagai isti’rad, yaitu eksekusi keagamaan,
bukan sebuah jihad (Azyumardi Azra, 2006)

Kemudian dari uraian di atas ini menjadi ciri utama gerakan radikalisme yakni
sebagaimana halnya Dzul Khuwaisiroh dan Khawarij yang melakukan tindakan keras namun
sering mengatasnamakan agama yang berasal dari ayat Alqur’an dan hadis Nabi SAW. yang
dijadikan legitimasi dan dasar tindakannya. Padahal, Islam adalah agama universal dan
moderat (wasatiyah) yang mengajarkan nilai-nilai toleransi (tasamuh) yang menjadi salah
satu ajaran inti Islam yang sejajar dengan ajaran lain, seperti keadilan (‘adl), kasih sayang
(rahmat), dan kebijaksanaan (hikmah). Sebagai rahmat bagi semesta alam, Alqur’an mengakui
kemajemukan keyakinan dan keberagamaan. Tetapi, sayang aksi dan tindakan kekerasan
masih juga sering kali terjadi. Dan, sekali lagi, itu diabsahkan dengan dalil ayat-ayat Alqur’an
dan hadis Nabi SAW. Ayat Alqur’an yang sering kali dijadikan landasan dan justifikasi
radikalisme atas nama agama (Islam), khususnya ayat-ayat jihad dan perang (J.B.
Banawiratma, 2016). Karena aliran ini melakukan pemahaman secara tekstual dan sempit,
maka perselisihan dalam tubuh aliran Khawarij tidak dapat dihindari. Mereka saling
mengkafirkan dan saling memerangi dari kalangan mereka sendiri. Timbullah kemudian (a)
al-Muhakkimah, kelompok ini merupakan aliran Khawarij yang asli, yang awalnya adalah
bagian dari pasukan Ali bin Abi Thalib. Aliran ini terus mengembangkan pemahaman yang
semakin sempit dan semakin keras. Mereka memahami teks-teks Alqur’an dan Sunnah secara
dzahiriyahnya saja, sehingga banyak pandangan-pandangannya yang menyimpang dari ajaran
Islam yang sesungguhnya. Karena orang yang pernah berbuat dosa besar dianggap telah kafir,
maka harus dibinasakan. Dengan demikian, apabila ada seorang muslim yang berbuat dosa
besar seperti zina, minum-minuman keras atau meninggalkan shalat, dianggap telah kafir dan
harus dibunuh dan diperangi; (b) Aliran al-Azaariqah di bawah pimpinan Nafi’ ibnu al-Arzaq.
Kemudian, timbul lagi (c) Aliran al-Najdad, dipimpin oleh Najdah ibnu Amir al-Hanafi di
Yamamah. Kelompok berikutnya (d) al-Ajaaridah dipimpin oleh Abdul Karim ibnu Ajrad.
Aliran selanjutnya adalah al-Sufriyah, dipimpin oleh Ziyad ibnu al-Asfar. Aliran berikutnya
(e) al-Ibadiyah. (Harun Nasution, 2016:15-18)

95
Neo Khowarij (Khawarij dalam bentuk yang baru) atau Islam Radikal. Secara
sederhana, radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh empat hal yang
sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: Pertama, sikap tidak toleran dan tidak mau
menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yakni sikap yang
membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Ketiga, sikap eksklusif, yakni sikap
tertutup dan berusaha berbeda dengan kebiasaan orang banyak. Keempat, sikap revolusioner,
yakni kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan (J.B.
Banawiratma, 2016).

Secara filosofis, fenomena radikalisme agama merupakan persoalan yang berhubungan


dengan pengalaman inti (core experience), memori kolektif (collective memory) dan
penafsiran (interpretation) agama (J.B. Banawiratma, 1993). Oliver Roy misalnya, menyebut
gerakan Islam yang berorientasi pada pemberlakuan syariat Islam sebagai Islam
fundamentalis, yang ditunjukkan dengan gerakan Jami‘ah Islamiah dan Islamic Salvation
Front (FIS) (Azyumardi Azra,1996). Dimana dari beberapa kelompok tadi memiliki cita-cita
yang hampir sama yakni menerapkan syari’at Islam dalam pemahaman mereka yang sering
berbeda dengan pemahaman mayoritas umat Islam dalam kehidupan bernegara. Menurut
pandangan mereka negara yang tidak berdasarkan syari’at islam dalam versi mereka disebut
negara thagut, yaitu negara kaum kafir dan musyrik. yang dimaksud adalah negara yang tidak
menganut system Islam atau dengan kata lain ingin mendirikan khilafah Islamiyah dalam
versi mereka (khawarij), dimana khilafah adalah sebuah system pemerintahan yang dianggap
sesuai ajaran agama Islam tanpa memperdulikan kepentingan dan kebutuhan penduduk lain di
suatu negara yang memiliki kepercayaan yang berbeda. Sehingga jika negara yang tidak
menerapkan syari’at Islam maka negara tersebut termasuk kepada golongan thogut dimana
jika sudah masuk kepada golongan tersebut maka wajib diperangi, dan dari sinilah lahir
gerakan-gerahan jihad untuk memerangi negara yang dianggap thogut, sekalipun dalam
negara tersebut banyak sekali yang menganut ajaran agama Islam yang berbeda dengan
pemahaman mereka (khawarij/radikal).

Dari sinilah para neo Khawarij atau kaum radikalisme melakukan kesalahan dalam tafsir
ayat-ayat jihad dalam Alqur’an. Sehingga lahirlah para terorisme, Tindakan aksi radikalisme
dan terorisme yang dilakukan oleh para radikalis dan teroris selalu menjustifikasi gerakannya
sebagai bentuk jihad. Hal ini adalah kesalahan yang sangat fundamental. Karena konsep jihad
sendiri tidak dipahami secara holistik dan komprehensif. Pertanyaan penting yang dapat
diajukan kepada peganjur radikalisme atau terorisme adalah apakah benar tindakan mereka itu
jihad seperti yang dianjurkan oleh Islam? Jangan-jangan para teroris yang mengaku berjihad
itu tidak memahami makna jihad yang sebenarnya. Mereka hanya tahu kulitnya saja, tanpa
mengetahui isinya. Lebih berbahaya lagi, kalau ternyata apa yang mereka sebut sebagai jihad
itu ternyata adalah upaya penyelewengan nash Alqur‘an dan hadis (Muhammad Harfin Zuhdi,
2017).

Dalam Alqur‘an dan hadis memang terdapat beberapa ayat dan matan hadis yang
memerintahkan umat Islam untuk berjihad. Namun demikian, ayat dan matan hadis yang
berkaitan dengan konsep jihad atau peperangan seringkali ditafsirkan secara serampangan.
Penafsiran secara subyektif dan jauh dari ilmiah inilah yang kemudian menjadi justifikasi
sekaligus stimulus bagi banyak gerakan (harakah) politik Islam yang pada gilirannya justru
menstigma wajah umat Islam secara keseluruhan (Muhammad Harfin Zuhdi, 2017).

Dari sini kemudian muncul gerakan-gerakan yang mempolitisir agama yang pada
hakekatnya bertentangan dengan substansi agama itu sendiri. Oleh karenanya, fenomena

96
radikalisme agama, sekali lagi, jangan dipahami terjadi karena ajaran agama yang salah,
melainkan karena pemahaman yang keliru terhadap konsep ajaran agama (baca:jihad) dan
karena faktor lain, seperti sosial, ekonomi dan politik. Pemahaman agama juga tidak bisa
berdiri sendiri. Faktor sosial, lingkungan, pendidikan dan politik ikut andil dalam
mempengaruhi pemahaman keagamaan seseorang (Muhammad Harfin Zuhdi, 2017).

Aliran (2) Syiah, kalau aliran Khawarij menentang dan memusuhi Ali bin Abi Thalib,
maka aliran Syiah adalah aliran yang membela dan mendukung Ali. Aliran ini disebut Syiah,
berasal dari kata “Syiah Ali” yang maksudnya adalah pengikut Ali bin Abi Thalib. Aliran ini
berkeyakinan bahwa kepemimpinan umat Islam, harus berada di tangan Ahlul Bait, yaitu
keturunan Nabi Muhammad SAW. melalui Fatimah al-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Dari
keduanya melahirkan keturunan, yaitu Hasan dan Husein dan keturunan mereka seterusnya.
Aliran ini mempercayai bahwa para imam itu bersifat ma’shum, terpelihara dari berbuat dosa.
Karena itu, ketaatan para jamaah ataupun rakyat kepada para imamnya sangat kuat. Dalam
sejarah perkembangannya, aliran ini terpecah menjadi beberapa bagian, seperti Syiah Itsna
Asyariah, atau Syiah dua belas imam, Syiah Sab’iyah atau Ismailiyah, Syiah Zaidiyah, Syiah
Ja’fariyah, dan berbagai aliran lainnya. Sebagian dari aliran-alirannya seperti juga aliran-
aliran yang lain, ada yang menjadi ekstrem sehingga dianggap menyimpang dari ajaran Islam.

Aliran (3) Murji’ah. Sebagai reaksi terhadap aliran Khawarij yang sangat ekstrem,
keras, dan radikal, serta sering melakukan teror, maka lahirlah aliran Murji’ah, aliran yang
terlampau liberal yang mengajarkan bahwa setiap orang muslim yang percara kepada Allah
(beriman), ia tetap muslim meskipun mengerjakan dosa besar. Dosanya adalah urusan
pribadinya dengan Tuhan. Apabila Tuhan berkehendak untuk mengampuni, pasti diampuni.
Golongan ini disebut Murji’ah, diambil dari kata rajaa, berasal dari kata arja’a-yurji’u yang
artinya mengharap, menyerahkan, dan menangguhkan. Mereka mengharap pengampunan dari
Allah, atas segala dosa yang dikerjakan manusia, menangguhkan dan menyerahkan dosa itu
pada ketentuan Allah di akhirat. Dalam perkembangan selanjutnya, aliran Murji’ah
berkembang menjadi dua kelompok. Kelompok (a) Murji’ah yang moderat, yang
mengembangkan pandangan bahwa seorang muslim yang berbuat dosa besar itu tetap muslim.
Mengenai dosanya, diserahkan kepada keputusan Allah SWT. Mungkin orang itu
memperoleh siksa terlebih dahulu, sesuai dengan ukuran dosanya, baru kemudian dibebaskan
dari siksa tersebut.

Masih dalam aliran Murji’ah yang moderat, mereka berpandangan bahwa mungkin saja
orang yang berdosa besar itu diampuni oleh Allah SWT. dengan rahmat dan kasih sayang-
Nya. Karena sesungguhnya, Allah SWT Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Kelompok
(b) Aliran Murji’ah yang ekstrem, yang dipimpin oleh Jahm Ibnu Shafwan. Aliran ini disebut
juga alirah Jahmiyah. Aliran ini berpandangan bahwa seorang muslim yang percaya kepada
Tuhan, dan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan tidaklah menjadi kafir. Karena
sesungguhnya keimanan seseorang atau kekafirannya terletak di dalam hati, bukan dalam
bagian lain dari tubuh manusia. Orang yang melakukan sikap seperti ini dalam pandangan
mereka tetap muslim, tidak menjadi kafir, meskipun lahiriahnya ia menyembah berhala,
mengikuti ajaran, dan mengikuti kegiatan agama lain, asal hatinya tetap beriman kepada
Allah, mereka tetap sebagai seorang muslim. (Harun Nasution, 2016:24

Aliran berikutnya (4) adalah Jabariyah. Aliran ini timbul dari pengembangan pemikiran,
bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya, termasuk manusia. Tuhan
memiliki kekuasaan yang mutlak, serta berkehendak secara mutlak pula. Dari sini timbullah
pertanyaan dalam diri manusia, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung

97
pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Apakah manusia tidak memiliki kemampuan
sama sekali, sehingga bergantung secara keseluruhan kepada kekuasaan mutlak Tuhan,
ataukah manusia diberi kewenangan oleh Tuhan untuk melakukan aktifitasnya? Dengan
demikian, manusia memiliki kemampuan untuk menentukan perbuatannya.

Dalam menyikapi pertanyaan seperti ini, kaum Jabariyah berpendapat bahwa manusia
tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan kehendak dan
perbuatannya. Manusia dalam paham mereka terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Karena
itu, nama Jabariyah diambil dari kata jabara yang artinya adalah memaksa. Aliran ini
berpandangan bahwa perbuatan manusia itu dikerjakan secara terpaksa berdasarkan kehendak
Tuhan. Paham ini disebut juga paham fatalisme (Inggris) atu predestination. Semua perbuatan
manusia telah ditentukan oleh takdir Tuhan sejak semula. Aliran ini, sungguh pun
dipopulerkan oleh Jahm ibnu Shafwan, sesungguhnya perintis yang paling awal dipelopori
oleh al-Ja’d ibnu Dirham. Jahm ibnu Shafwan dalam Aliran Jabariyah ini sama dengan Jahm
yang mendirikan golongan al-Jahmiyah yang termasuk dalam kalangan Murji’ah yang
ekstrem.

Paham golongan ini menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk
berbuat apapun. Manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan
tidak mampu memilih. Manusia dalam segala perbuatannya adalah terpaksa oleh ketentuan
Tuhan. Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan Tuhan di dalam dirinya, tidak berbeda
dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda mati, seperti air mengalir, batu bergerak,
matahari terbit dan terbenam, dan sebagainya. Segala perbuatan manusia merupakan
perbuatan yang dipaksakan atas dirinya, termasuk dalam perbuatan-perbuatan untuk
mengerjakan kewajiban, memperoleh pahala atau menerima siksa. (Harun Nasution,
2016:35).

Aliran yang ke (5) adalah aliran Qadariyah. Aliran ini merupakan lawan yang ekstrem
dari Aliran Jabariyah. Kalau menurut aliran Jabariyah, manusia tidak memiliki kekuasaan,
kehendak, dan tidak bisa memilih, maka aliran Qadariyah berpendapat bahwa manusia
memiliki kemampuan, kehendak, dan bisa menentukan pilihan oleh dirinya sendiri, bukan
terpaksa oleh takdir dari Tuhan. Aliran Qadariyah menegaskan bahwa manusia memiliki
kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya sendiri. Manusia
mempunyai kemampuan dan kebebasan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Karena
itu, aliran ini diambil dari kata Qadar atau kemampuan. Dalam bahasa Inggris aliran ini
dikenal dengan nama freewill dan freeact. Aliran ini dipelopori oleh Ma’bad al-Juhaini dan
temannya, Ghailan al-Dimasyqi.

Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuataannya, manusia sendirilah


yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendaknya dan kekuasaannya sendiri.
Manusia sendirilah yang melakukan untuk menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atau perbuatan
buruk, berdasarkan kemauan dan dayanya sendiri. Dalam paham ini, manusia merdeka dan
bebas dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik atas kemauan dan kehendaknya sendiri,
demikian juga dalam perbuatan jahat. Dalam paham ini, tidak dibahas tentang nasib manusia
yang telah ditetapkan terlebih dahulu, yang hanya bertindak mengikuti nasibnya yang telah
ditentukan dari zaman azali. (Harun Nasution, 2016:34).

Aliran selanjutnya (6) Muktazilah. Aliran ini dinamai Muktazilah, diambil dari awal
mula peristiwanya, yaitu ketika Washil bin Atha’ yang menjadi murid Hasan al-Bashri
berbeda pandangan dengan pendapat gurunya. Dalam majelis itu, ada salah seorang yang

98
menanyakan kepada Hasan al-Basri mengenai hukumnya orang yang berdosa besar,
bagaimana kedudukan mereka, muslim atau kafir. Di mana pula mereka ditempatkan di
akhirat. Ketika Imam Hasan al-Bashri sedang berpikir untuk menjawab pertanyaan itu, tiba-
tiba Washil bin Atha yang menjadi muridnya mendahului menjawab. Ia mengatakan bahwa
orang yang berbuat dosa besar itu tidak mukmin dan tidak kafir, akan tetapi mengambil posisi
di antara keduanya (al-Manzilah baina al-Manzilatain). Sejak peristiwa itu, Washil bin Atha'
berdiri keluar dari majelis Hasan al-Bashri dan memisahkan diri ke tempat lain. Maka
dikatakan oleh murid-murid Imam Hasan al-Bashri: “Washil telah memisahkan diri dari kami
(i’tazala ‘annaa)”. Sejak saat itu, Washil bin Atha disebut Muktazilah.

Ajaran yang paling utama yang dikemukakan aliran ini adalah konsep al-Manzilah
baina al-Manzilatain atau suatu tempat di antara dua tempat. Istilah ini diberikan kepada
orang muslim yang berbuat dosa besar dan tidak bertaubat, maka kedudukan orang itu,
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki posisi (tempat) di antara kafir dan
mukmin. Dengan demikian, ajarannya berbeda dengan ajaran Khawarij dan Murji’ah. Ajaran
yang kedua, lebih mendekati kepada ajaran Qadariyah yang menyatakan bahwa manusia itu
memiliki kebebasan untuk melakukan perbuatan-perbuatannya dan menetapkan pilihan-
pilihan. Ajaran yang ketiga, aliran ini meniadakan sifat-sifat Tuhan, maksudnya bahwa sifat-
sifat Tuhan yang disebutkan di dalam Alqur’an dan Sunnah, bukanlah sifat yang mempunyai
wujud sendiri di luar Dzat Tuhan, tetapi sifat-sifat itu merupakan esensi dari Tuhan itu
sendiri. Ajaran dari aliran ini lebih banyak melakukan pendekatan dengan akal, sehingga
banyak melakukan takwil terhadap ayat-ayat Alqur’an agar disesuaikan dengan akal manusia.
Demikian kuatnya kekuatan akal dalam aliran ini, sehingga apabila ada ketetapan wahyu yang
bertentangan dengan akal, maka akal itulah yang dikuatkan, sebaliknya wahyu tersebut
dilakukan pentakwilan yang melenceng dari makna yang sesungguhnya. (Harun Nasution,
2016:43-45).

Aliran yang ke (7) Ahlusunnah wal Jama’ah. Istilah Ahlusunnah wal Jama’ah diambil
dari pengertian Sunnah (Hadis, yaitu segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan dari Nabi saw.
Istilah ini ditonjolkan karena aliran-aliran yang telah disebutkan di atas, dan terutama aliran
Muktazilah tidak banyak memakai Sunnah, sedangkan aliran ini berpedoman kepada Alqur’an
dan Sunnah. Dengan demikian, Ahlusunnah adalah aliran yang banyak berpegang teguh pada
Sunnah sebagai pedoman yang kedua setelah Alqur’an. Istilah al-Jama’ah diambil dari
pengertian mayoritas umat Islam yang disebut juga al-Sawad al-A’dzam, yaitu umat Islam
yang terbanyak. Dengan demikian, Ahlusunnah mengembangkan pemahaman agama yang
dipedomani oleh bagian terbesar dari umat Islam.

Selain berpegang kepada Alqur’an dan Sunnah, Ahlusunnah wal Jamaah juga mengikuti
bimbingan para sahabat Nabi, terutama al-Khulafa' al-Rasyidun, yaitu Abu Bakar ra., Umar
bin Khathab, ra., Usman bin Affan ra., dan Ali bin Abi Thalib ra.. Pengembangan selanjutnya
paham ini mengikuti juga bimbingan para tabi’in, yaitu para ulama setelah periode para
sahabat Nabi. Mereka memiliki nasab keilmuan yang terus menerus dari guru yang satu ke
guru yang lain, sampai kepada para sahabat, dan Nabi saw. Aliran ini, mengambil jalan
tengah yang moderat, tidak ekstrem dan tidak keras, seperti aliran-aliran sebelumnya. Karena
itu, definisinya yang paling mudah Ahlusunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang
mengikuti jalan yang ditempuh oleh Nabi dan para sahabatnya, serta para tabi’in. ( ‫من سار على‬
‫ النبي وأصحابه والتابعين‬t‫)طريق‬.

Aliran ini dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari, cucu dari Abu Musa al-Asy’ari yang
pernah menandatangani arbitrase antara Ali dan Mu’awiyah. Nama lengkapnya adalah Abu

99
al-Hasan Ali Ibnu Ismail al-Asy’ari, lahir di Basrah pada 873 M, dan wafat di Baghdad 935
M. Al-Asy’ari asal mulanya adalah murid dari al-Juba’i seorang tokoh Muktazilah yang
sangat cerdas. Al-Asy’ari sebagai murid pilihan yang sangat cerdas pula sering mewakili
gurunya dalam perdebatan-perdebatan ilmiah keagamaan yang terjadi pada masa itu. Al-
Asy’ari menjadi pengikut Muktazilah kurang lebih selama empat puluh tahun. Kemudian, ia
melakukan pemikiran-pemikiran yang mendalam untuk membahas dan mempertimbangkan
aliran itu. Sampai kemudian ia tidak puas dengan aliran tersebut, akhirnya ia keluar dari aliran
itu.

Keluarnya al-Asy’ari dari aliran Muktazilah, diawali setelah terjadi perdebatan antara
dia dengan gurunya al-Juba’i. Perdebatan itu dikemukakan sebagai berikut:

Al-Asy’ari: “Wahail al-Juba’i, bagaimanakah kedudukan tiga orang ini, yaitu seorang
mukmin, kafir, dan anak kecil di akhirat?”. Al-Juba’i menjawab: “Yang Mukmin di akhirat
masuk surga, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari neraka”. Al-Asy’ari
bertanya lagi: “Apabila anak kecil itu ingin memperoleh tempat surga, apakah bisa?”. Al-
Juba’i menjawab: “Tidak bisa, tidak mungkin ia mendapat tempat di surga karena
kepatuhannya kepada Tuhan waktu kecil belum mempunyai kepatuhan untuk berhak masuk
surga”. Al-Asy’ari bertanya lagi: “Kalau sekiranya anak kecil itu protes kepada Tuhan,
mengapa aku tidak dihidupkan sampai dewasa, sehingga aku bisa berbuat baik dan kemudian
bisa masuk surga”. Al-Juba’i mejawab: “Allah akan mengatakan padanya, Aku lebih tahu
tentang dirimu, karena kalau kamu sampai dewasa, kamu akan menjadi orang jahat, maka
demi kasih sayang-Ku, Aku wafatkan engkau di waktu kecil”. Al-Asy’ari bertanya lagi:
“Kalau demikian, orang kafir dan orang jahat akan protes kepada Allah, wahai Allah,
Engkau telah mengetahui bahwa kalau aku dewasa akan menjadi orang kafir dan jahat,
mengapa engkau tidak wafatkan aku di waktu kecil seperti anak itu”.

Dalam pertanyaan terakhir dari al-Asy’ari ini, ternyata al-Juba’i seorang yang sangat cerdas
pandai berdiskusi dan berdebat, serta memiliki argumen yang rasional, tidak bisa menjawab
sepatah katapun.

Setelah terjadi dialog itu, kemudian al-Asy’ari mengasingkan diri khusus untuk
mempelajari kembali ajaran-ajaran Muktazilah dan aliran-aliran lain, selama kurang lebih
lima belas hari. Setelah mengasingkan diri, kemudian al-Asy’ari keluar dari rumahnya, dan
menyampaikan orasi di mesjid raya. Ia menyatakan keluar dari Muktazilah dan
menyampaikan rumusan-rumusan baru tentang teologi yang kembali kepada teologi yang
dikembangkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Yang dimaksud dari teologi ini adalah Aliran
Ahlusunnah wal Jama’ah. Selain dari al-Asy’ari, aliran Ahlusunnah wal Jamaah juga
dikembangkan oleh Abu Manshur al-Maturidi di Samarkand. Nama lengkapnya adalah Abu
Manshur Muhammad ibnu Muhammad ibnu Mahmud al-Maturidi, lahir di Samarkand pada
pertengahan kedua dari abad ke-9 M, dan meninggal pada tahun 944 M.(Harun Nasution,
2016:65-70).

Ajaran pokok dari aliran Ahlusunnah adalah mengikuti pemahaman Nabi dan para
sahabatnya, dan dipahami secara integral dan holistik, tidak dipahami secara parsial dan
ekstrem. Aliran-aliran lain, memahami Islam secara parsial. Mengambil sebagian ayat atau
hadis yang menunjang pendapatnya saja, sehingga pemahamannya tidak utuh, pemahamannya
bersifat parsial dan terjerembab dalam pemahaman yang keras, radikal, dan banyak menjurus
ke teror kepada sesama umat manusia. Segera setelah al-Asy’ari memproklamirkan diri keluar
dari Muktazilah dan mendirikan paham Ahlusunnah wal Jama’ah, langsung diikuti oleh umat

100
Islam dari berbagai kalangan, dan menyebar ke seluruh dunia. Aliran ini merupakan aliran
yang diikuti oleh mayoritas umat Islam, sampai sekarang. Aliran-aliran lain telah hilang dari
sejarah, kecuali sebagian kecil saja yang masih bertahan dan itupun menjadi aliran yang
dianut oleh kalangan minoritas umat Islam.

4.4. Paham dan Madzhab yang Berkembang di Bidang Syariat

Sebagaimana Akidah, Syariah juga berdasarkan ijtihad dan pemikiran para ahli di
bidangnya berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri, yang disebut Ilmu Fiqih. Kajian ini
disarikan dari beberapa sumber, di antaranya adalah Asbaab Ikhtilaf al-Fuqaha yang disusun
oleh Syaikh Ali al-Khafif, penerbit Daarul Fikr, dan para ahli lainnya. Penyebab timbulnya
perbedaan madzhab, aliran, atau paham antara lain adalah: (1) disebabkan perbedaan dalam
Qiraat Alqur’an, (2) perbedaan dalam memahami term-term yang musytarak atau multitafsir,
(3) disebabkan sampai atau tidaknya nash hadits pada kelompok ulama tertentu, (4) perbedaan
pemahaman dalam istilah tertentu, (5) perbedaan pandangan dalam beberapa hal yang tidak
terdapat nash Alqur’an maupun Hadis, dan (6) pengalaman di lapangan dalam membimbing
umat.

Penyebab perbedaan pandangan yang ke (2), banyaknya dijumpai dalam ayat-ayat


Alqur’an lafadznya bersifat musytarak atau multitafsir, sehingga menimbulkan perbedaan
pandangan dan penafsiran. Lafadz musytarak misalnya kita mengambil ayat di atas yang
menjelaskan tentang batalnya wudhu pada lafadz aulamastum al-nisa'.

Lafadz laamasa merupakan lafdzun musytarak yang multitafsir, bisa diartikan (a)
menyentuh, (b) menyentuh dengan rangsangan, (c) hubungan seksual suami istri. Ulama yang
mengambil makna pertama dalam arti menyentuh, maka seorang pria yang berwudhu apabila
menyentuh perempuan, maka wudhunya batal. Seorang ulama yang mengambil makna
menyentuh dengan rangsangan, maka apabila ada seorang pria yang berwudhu kemudian ia
menyentuh perempuan dan terangsang, maka wudhunya batal, kalau tidak terangsang, tidak
batal. Ulama yang mengambil makna yang ketiga (hubungan seksual suami istri), maka
pemahamanya apabila ada seorang pria yang berwudhu kemudian melakukan hubungan
seksual, maka batal wudhunya. Sedangkan menyentuh perempuan baik dengan terangsang
atau tidak, maka tidak membatalkan wudhu.

Perbedaan pandangan ke (3) disebabkan oleh sampai atau tidaknya suatu hadis kepada
ulama tertentu, atau kelompok ulama tertentu. Bagi kelompok ulama yang memperoleh
informasi dari sebuah hadis, terjadi perbedaan pandangan dengan kelompok ulama yang tidak
memperoleh suatu hadis tertentu.

Perbedaan pandangan ke (4) disebabkan oleh perbedaan pemahaman dalam istilah


tertentu, misalnya pemahaman tentang orang yang diberi amanah harus mengembalikan
amanah itu pada pemiliknya secara sempurna atu tidak.

Perbedaan pandangan (5) disebabkan oleh tidak terdapatnya nash, baik Alqur’an
maupun Sunnah dalam suatu masalah, terutama masalah-masalah yang baru. Sebagai contoh
penemuan-penemuan baru dalam bidang kedokteran, misalnya bagaimana hukumnya transfusi
darah, hukum transplantasi organ tubuh, hukum euthanasia, hukum aborsi sebelum mencapai
kehamilan usia 120 hari, dan berbagai masalah lain yang timbul dalam kehidupan modern dan
post-modern. Menghadapi kenyataan ini maka tidak bisa dihindari adanya banyak perbedaan

101
antara satu ulama dengan ulama yang lainnya, karena penentuan hukumnya dilakukan secara
ijtihad.

Perbedaan pandangan (6) berdasarkan perbedaan pengalaman di lapangan. Ulama-


ulama Madinah karena merupakan sumber hadis, maka lebih banyak menggunakan hukum
dengan ketetapan dari tradisi ulama Madinah. Sebaliknya ulama-ulama di Syam karena waktu
itu tidak banyak memperoleh informasi hadis, maka mereka menetapkan hukum dengan
Alqur’an dan dengan ijtihad. Cara seperti ini, mengakibatkan juga perbedaan pandangan yang
banyak. Sebagai contoh, Imam Malik lebih mengambil ketetapan dari tradisi ulama Madinah
dari pada keterangan dari Hadis Ahad. Sedangkan di tempat lain, lebih menguatkan Hadis
Ahad dari tradisi ulama-ulama Madinah maupun Mekah.

4.5. Aliran Yang Berkembang di Bidang Akhlak

Salah satu wujud dari ajaran pokok ajaran agama Islam adalah Akhlak. Akhlak pada
wujudnya yang paling awal dalah teks-teks Alqur’an dan Sunnah yang mengajarkan tentang
budi pekerti yang luhur. Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan ijtihad para ahli,
melahirkan Ilmu Tasawuf. Karena Ilmu Tasawuf merupakan hasil ijtihad para ahli, maka
terdapat aliran-aliran sebagaimana disinggung dalam kajian di atas. Akhlak pengertiaanya
menurut bahasa adalah perangai, adab, perbuatan, ‘urf, baik yang terpuji maupun yang tercela.

Pengertian akhlak secara sosiologi di Indonesia, maksudnya adalah perangai dan


tingkah laku yang baik. Karena itu, apabila dikatakan bahwa Ahmad seorang yang berakhlak,
maksudnya ia memiliki perangai yang baik. Apabila kata akhlak dikaitkan dengan kata Islam
atau disebut al-Akhlak al-Islamiyah, berarti perbuatan dan tingkah laku yang terpuji sesuai
dengan tuntunan Alqur’an dan Sunnah. Akhlak secara garis besar terdiri dari dua bagian, yaitu
(1) akhlak terhadap khaliq (pencipta) yaitu Allah SWT, dan (2) akhlak terhadap makhluk,
yaitu segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah. Makhluk ini terdiri dari alam jamadi (benda
mati) yang terdiri dari benda padat, benda cair, dan gas. Selanjutnya adalah alam Nabati
(flora) yang terdiri dari berbagai macam jenis tumbuh-tumbuhan. Alam hewani (fauna), dan
alam insani (manusia) yang terdiri dari berbagai macam ras dan suku.

Akhlak terhadap khaliq (Allah SWT) adalah dengan jalan mentaati segala perintah-Nya,
menjauhi segala larangan-Nya, berdoa kepada-Nya, bertaubat dan beristighfar. Akhlak
terhadap makhluk (nyata) dibagi dua terdiri dari akhlak terhadap manusia dan selain manusia.
Akhlak terhadap manusia terdiri dari akhlak terhadap Nabi dan Rasul, akhlak terhadap diri
sendiri, akhlak terhadap keluarga, akhlak terhadap masyarakat, akhlak terhadap bangsa, dan
hubungan antar bangsa. Akhlak terhadap Nabi dan Rasul misalnya adalah mentaati segala
perintahnya, menjauhi segala larangannya, mengikuti sunnahnya, meneladani perilakunya,
dan mencintai para Nabi dan Rasul, melebihi cintanya pada sesuatu termasuk kecintaannya
terhadap dirinya sendiri. Akhlak kepada diri sendiri, misalnya berbuat kebajikan, menjauhi
berbagai hal yang tercela, menjaga kesehatan, memanfaatkan usianya untuk berbuat baik agar
bermanfaat bagi sebanyak mungkin umat manusia dan makhluk lain. Akhlak terhadap
keluarga misalnya berbakati kepada orangtua baik ibu, ayah, kakek, nenek dan seterusnya,
menyayangi dan membimbing anak-anak dan berbuat kebajikan secara umum untuk keluarga.

Akhlak terhadap masyarakat diantaranya adalah saling berwasiat tentang kebenaran,


keadilan, ketabahan dan kesabaran, saling tolong-menolong dalam kebajikan, saling merajut
silaturrahim dan cinta kasih antar sesama anggota masyarakat. Akhlak terhadap bangsa adalah

102
kita harus mentaati keputusan-keputusan yang telah disepakati dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Melakukan aktivitas terpuji yang dapat meningkatkan kualitas bangsa dan
negara. Saling bersikap toleransi dalam berbagi perbedaan. Akhlak terhadap hubungan antar
bangsa misalnya kita harus mengusahakan perdamaian dunia dan menolak segala bentuk
kekerasan atau peperangan. Masing-masing negara tidak ikut campur tangan terhadap urusan
negara lain.

Akhlak selain manusia, seperti alam jamadi, hendaklah menjaga kelestariannya dan
memanfaatkannya dengan baik demi kemaslahatan semua makhluk. Akhlak terhadap alam
nabati adalah menjaga kelestariannya, memanfaatkannya untuk kebaikan bersama dan tidak
merusaknya. Akhlak terhadap alam hewani adalah menyayangi hewan, tidak menyiksanya
atau menyakitinya dan memanfaatkan hewan untuk kebaikan sesama makhluk dengan tanpa
menyakiti. (Zakky Mubarak, 2014:166-171).

Dalam rangka mewujudkan akhlak sebagaimana disebutkan di atas dalam kehidupan


sehari-hari, para ulama yang ahli di bidang ini melakukan berbagai macam ijtihad, dan
menetapkan tata cara agar bisa diperaktikkan oleh setiap orang yang ingin memiliki akhlak
yang luhur. Hasil ijtihad itu menjadi disiplin ilmu tersendiri yang disebut ilmu tasawuf.
Tasawuf pengertiannya secara etimologis dijumpai banyak makna, diantaranya: (1) diambil
dari kata ahlu shuffah, yaitu para sahabat Nabi yang tinggal disamping masjid Nabawi yang
menghabiskan umurnya untuk mendalami ajaran Islam dari Nabi saw, mereka hidupnya
sangat sederhana. Makna yang ke (2) diambil dari al-Shaf barisan shalat yang paling depan,
maksudnya orang-orang sufi itu memperoleh keutamaan bila dibandingkan dengan manusia
muslim pada umumnya. Makna yang ke (3) diambil dari kata shafiyyun yang artinya jernih
atau suci. Maksudnya seorang shufi adalah mereka yang telah dapat mensucikan dirinya dari
penyakit rohani (kejiawaan), melalui latihan-latihan yang berat dan terstruktur.

Makna yang ke (4) diambil dari kata shopos berasal dari kata dalam bahasa Yunani
yang berarti hikmah. Dinamai demikian, karena orang-orang shufi memiliki hikmah yang
tinggi, dan memiliki kebijaksanaan yang tulus. Makna berikutnya (5) berasal dari kata shauf
yang artinya adalah bulu domba atau kain woll kasar yang terbuat dari bulu-bulu hewan.
Dinamai demikian, karena orang-orang shufi sering mengenakan pakaian sederhana seperti
ini, sebagai protes terhadap kemewahan yang berlebihan dan perbuatan-perbuatan maksiat
yang sering dilakukan oleh para pejabat negara, keluarga dan antek-anteknya. Pakaian
sederhana ini sebagai lawan dari pakaian mewah, seperti sutra dan sejenisnya yang sering
dikenakan oleh para pemimpin dan keluarganya. Dari kelima istilah di atas, yang paling tepat
secara bahasa adalah pengertian yang kelima. Kata itu apabila ditashrif, maka ketemulah kata
tasawuf yang merupakan mashdar dari kata tasawwafa, yang artinya orang yang mengenakan
pakaian dari bulu domba. (Mushtafa al-Suk’ah: 1972: 574-591).

Pengertian tasawuf secara terminologis, dalam pengertiannya yang sangat sederhana


adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagi seoang muslim untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan sedekat-dekatnya. Jalan itu biasanya ditempuh
melalui zuhud dan beberapa stasiun yang harus dilalui seperti (1) taubat, (2) wara’, (3) faqir,
(4) tawadhu, (5) takwa, (6) tawakkal, (7) ridha, (8) cinta, dan (9) makrifat. Stasiun-stasiun ini
ada sedikit perbedaan yang dikemukakan oleh ahli tasawuf yang satu dengan ahli tasawuf
yang lain. Namun demikian, perbedaan itu tidak terlalu besar.

Al-Zuhud maksudnya, bahwa seorang yang menuju jalan tasawuf atau sufi harus
meninggalkan dunia dan hidup kebendaan. Seorang calon shufi harus terlebih dahulu menjadi

103
zahid yang disebut juga asketik. Setelah menjadi seorang yang zahid, baru ia bisa mengikuti
stasiun-stasiun berikutnya, sebagaimana disebutkan di atas, yaitu:
1) Stasiun (1) Taubat, maksudnya seorang shufi atau tasawuf harus bertaubat dari segala
kesalahannya. Dimulai tobat dari dosa-dosa besar, tobat dari dosa-dosa kecil dan
meninggalkan segala sesuatu yang syubhat ataupun meragukan.
2) Stasiun (2) Wara’ maksudnya, seorang calon sufi harus meninggalkan segala hal yang
bersifat syubhat atau yang meragukan, misalnya ketika ia akan memakan daging hewan,
sembelihannya benar atau tidak, sesuai dengan ajaran Islam atau tidak? Atau jika makanan
lain dipertanyakan apakah diperoleh dengan cara yang halal atau tidak. Apabila hal itu
tidak pasti dan timbul keraguan, maka segera ditinggalkan.
3) Stasiun (3) Faqr, maksudnya adalah tidak mengharap lebih dari apa yang dia peroleh,
tidak ngoyo mencari rezeki, kecuali hanya untuk dapat menjalani kehidupan dan
melaksanakan kewajiban-kewajiban. Pantangan meminta bantuan kepada orang lain,
sungguhpun ia sangat membutuhkan.
4) Stasiun (4) Shabr, yaitu bersikap tabah dalam melaksanakan segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-Nya. Menerima secara tulus terhadap musibah yang menimpa
dirinya. Hanya menunggu pertolongan yang datangnya dari Allah. Sabar dalam menjalani
penderitaan dan tidak menunggu pertolongan dari siapapun kecuali dari Allah.
5) Stasiun (5) Tawadhu', adalah bersikap rendah hati merendah dalam segala hal, meskipun
ia memiliki kemampuan dan keistimewaan-keistimewaan yang ada padanya.
6) Stasiun (6) Takwa, pengertiannya secara bahasa adalah bersikap hati-hati, menjaga diri
dan takut terhadap murka Allah. Secara etimologis maksud dari takwa adalah
menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dengan keikhlasan
yang murni dan ketulusan yang mendalam.
7) Stasiun (7) Tawakkal, maksudnya adalah menyerahkan diri atau pasrah terhadap
ketentuan dan ketetapan dari Allah SWT terhadap dirinya dan terhadap makhluk lain pada
umum-Nya. Dengan demikian, seorang yang bertawakkal akan selalu berada dalam
keadaan tenang dan tentram. Apabila mendapat karunia, ia bersyukur dan apabila kena
musibah dia bersabar dan selalu menyerahkan diri kepada Allah. Mereka juga selalu
mengalah, tidak mau makan apabila ada orang lain yang lebih membutuhkan pada
makanan itu. Tidak terlalu memikirkan terhadap hari esok atau masa depan dalam
kehidupan dunia, ia merasa cukup dengan apa yang ada. Percaya kepada janji Allah,
menyerahkan segalanya kepada Allah, dan karena Allah.
8) Stasiun (8) Ridha, maksudnya adalah menerima dengan tulus segala ketentuan dan
ketetapan dari Allah SWT, menerima qadha' dan qadar-Nya dengan perasaan bahagia.
Mengeluarkan perasaan benci dari dirinya sehingga yang tinggal di dalam dirinya hanya
perasaan cinta, senang, dan bahagia. Merasa senang bila ditimpa malapetaka sebagaimana
ia merasa senang ketika ia memperoleh nikmat. Tidak merasakan sedih terhadap qadha'
dan qadar-Nya, malahan menyambutnya dengan perasaan cinta yang bergelora, ketika
mendapat berbagai cobaan.
9) Stasiun (9) Cinta, yang dimaksud dengan cinta di sini adalah cinta yang sangat mendalam
kepada Allah SWT. Mereka meraih dan memeluk kepatuhan yang sangat mendalam
kepada perintah Tuhan dan membenci terhadap segala aktivitas yang membangkang
terhadap-Nya. Menyerahkan diri sepenuh hati kepada yang dicintai, yaitu Allah SWT
.Mengosongkan hati dari segala sesuatu kecuali dari yang amat dicintainya yaitu Allah
SWT.
10) Stasiun (10) Makrifat (Gnosis), maksudnya adalah mengenal Allah secara mendalam
sehingga dapat tergambarkan hubungan yang sangat erat antara manusia dengan
Tuhannya dengan bentuk gnosis, pengenalan terhadap Tuhan dengan hati sanubari.
Apabila seorang sufi telah mencapai tingkatan makrifat, maka ia akan memperoleh

104
pengetahuan dari Allah SWT yang tidak diperoleh orang lain melalui ilham. Dengan
demikian, pengetahuan yang dimiliki seorang yang telah mencapai tingkatan ini, sangat
luas dan mendalam dan banyak hal yang tidak bisa diketehaui oleh manusia pada
umumnya.

Tasawuf sampai tingkatan inilah yang diterima oleh mayoritas umat Islam. Tingkatan-
tingkatan berikutnya dianggap sudah ekstrem sehingga tidak bisa diterima kecuali oleh
sebagian kecil umat Islam. Tingkatan tasawuf yang ditolak oleh mayoritas umat Islam dan
hanya diikuti oleh sebagian kecil dari mereka adalah paham tasawuf yang mengarah kepada
al-Ittihad yang memiliki dua bentuk, yaitu al-Hulul dan Wihdatul Wujud. Al-Huluul
dikemukakan oleh Abu Manshur al-Hallaj, sedangkan Wihdatul Wujud dikemukakan oleh
Ibnu Arabi. (Harun Nasution, 2016:66-67).

Al-Ittihad merupakan salah satu tingkatan dalam tasawuf setelah tingkatan-tingkatan


yang disebutkan di atas. Dalam paham ini, seorang sufi merasa dirinya telah bersatu dengan
Tuhan. Suatu tingkatan dari cinta yang sangat mendalam sehingga yang mencintai (sufi) dan
yang dicintai (Allah) telah menjadi satu. Seorang sufi yang telah dapat mensucikan dirinya
dengan stasiun-stasiun yang telah disebutkan di atas, dan telah dapat menghilangkan
eksistensinya (fana), maka ia merasa bersatu dengan Tuhan. Ittihad ini bisa melalui dua
bentuk, yaitu melalui al-Hulul, yaitu paham yang mengatakan bahwa Tuhan masuk ke dalam
tubuh manusia tertentu, mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang
ada di dalam Tubuh itu dilenyapkan. Dengan demikian, seorang sufi yang telah mencapai
tingkatan ini, kadang-kadang menyebut dirinya Ana al-Haq (aku ada adalah sebagian dari
tanda-tanda kebesaran Tuhan).

Bentuk yang kedua dari al-Ittihad adalah Wahdatul Wujud (kesatuan wujud/unity of
existence). Paham ini merupakan suatu tingkatan dari paham hulul dan dikembangkan oleh
Muhyiddin Ibnu Arabi yang lahir tahun 1194 M. (Harun Nasution, 2016:75). Dalam paham
wahdatul wujud, nasut yang ada di dalam hulul diubah oleh Ibnu Arabi menjadi al-Khalq
(makhluk), dan lahut menjadi al-Haq (Tuhan). Al-Khalq dan al-Haq adalah dua aspek bagi
segala sesuatu, aspek yang bagian luar disebut al-Khalq, sedangkan aspek yang berada di
dalam disebut al-Haq. Kata-kata al-Khalq dengan al-Haq merupkan sinonim dari al-‘Ardh
(aksiden) dan al-Jauhar (substansi) dan dari aspek al-Dzahir (lahir) dan al-Bathin (batin).
Menurut paham ini segala sesuatu yang ada mempunyai dua aspek, yaitu aspek lahir dan batin
yang merupakan al-‘Ardh dan al-Khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan dan aspek dalam
yang merupakan al-Jauhar dan al-Haq yang memiliki sifat ketuhanan. Dalam perkataan yang
singkat, bahwa pada segala sesuatu terdapat sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan.

Oleh karena paham al-Ittihad, al-Huluul dan Wihdatul wujud merupakan paham sufi
yang dianggap ektrem oleh mayoritas umat Islam, sebaiknya dipelajari hanya sebagai
pengetahuan untuk memperluas wawasan, tidak untuk diamalkan atau diyakini. Adapun
paham-paham sufi yang selain itu, sebagaiaman disebutkan di atas, seperti al-Zuhud, al-
Mahabbah, al-Makrifah, dan sebagainya bisa diterima oleh mayoritas umat Islam. Hal ini bisa
diamalkan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan yang sedekat-dekatnya,
sebagaimana dekatnya seorang kekasih dengan kekasihnya atau demikian dekat sebagaimana
orang yang mencintai dan yang dicintai (Allah SWT.).

105
4.6. Salah Paham Terhadap Islam

Agama Islam dalam perkembangan dakwah dan peyebarannya serta pengamalannya


sering disalahpahami oleh berbagai kalangan. Kesalahpahaman terhadap Islam itu tidak hanya
terjadi di kalangan non-muslim, tetapi juga di kalangan sebagian orang Islam yang umumnya
tidak mereka sadari. Kesalahpahaman terhadap Islam, telah banyak dikemukakan oleh para
ahli antara lain oleh Muhammad Qutb dalam bukunya “Syubuhat Haulal Islam” (Darus
Syuruq, Kairo 1992), Nazaruddin Razak dalam “Dienul Islam” (al-Ma’arif, Bandung 1971),
Muhammad Daud Ali dalam “Pendidikan Agama Islam”, (Jakarta, Raja Gravindo Persada,
2000), dan beberapa ahli lain. Berdarkan pada literatur yang ada, kesalahpahaman itu
umumnya terjadi pada beberapa hal, yaitu:
(1) Salah memahami ruang lingkup agama Islam,
(2) Salah menggambarkan kerangka dasar dari ajaran agama Islam,
(3) Kesalahan metode mempelajari Islam,
(4) Salah memahami Islam dari perilaku pemeluknya,
(5) Salah memahami Islam tidak dari ahlinya,
(6) Salah memahami Islam tidak secara utuh.

Kesalahpahaman sebagaimana disebutkan di atas, secara terperinci dikemukakan


sebagaimana berikut: (1) salah memahami ruang lingkup ajaran agama Islam. Agama Islam
merupakan agama yang sangat luas, tidak hanya mencakup ibadah mahdlah atau hubungan
manusia dengan Tuhan, tapi juga menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya,
hubungan manusia dengan makhluk lain, agama yang memerintahkan umatnya agar dapat
memaksimalkan akal dan pikirannya untuk melahirkan penemuan-penemuan baru di bidang
sains dan teknologi. Islam juga mencakup politik, peradaban, kebudayaan, kegiatan ilmiah,
agama dengan acuan hukum yang sangat lengkap, dan sebagainya. Hal ini sering
disalahpahami oleh berbagai kalangan, seolah-olah Islam itu hanya agama yang mengatur
ibadah saja atau hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan kesalahpahaman ini, maka wajah
Islam tidak dapat ditampilkan secara utuh, tetapi hanya ditampakkan bagian-bagian yang kecil
saja.

Kesalahpahaman yang ke (2) salah menggambarkan kerangka dasar dari ajaran agama
Islam. Kerangka dasar agama Islam mencakup tiga hal pokok, yaitu akidah, syariah, dan
akhlak. Akidah merupakan ajaran yang mencakup iman dan keyakinan setiap orang Islam
kepada Allah SWT Yang Maha Esa dan Yang Maha Kuasa. Termasuk dalam akidah adalah
keyakinan-keyakinan lain yang bersumber dari wahyu Allah, seperti percaya kepada malaikat,
kitab suci, nabi dan rasul, hari akhirat, qadha' dan qadar, serta kepercayaan-kepercayaan
lainnya. Kerangka dasar yang kedua adalah syariah, yaitu segala peraturan yang menyangkut
ibadah dan muamalah. Ibadah mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan
muamalah mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan
makhluk lain.

Kerangka dasar yang ketiga adalah akhlak yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan makhluk lain
yang berkaitan dengan budi pekerti yang luhur. Dari tiga kerangka dasar itu, berkembang
menjadi disiplin ilmu tersendiri yang sangat luas, yaitu ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf.
Kerangka dasar yang lengkap ini sering disalahpahami oleh berbagai kalangan dengan melihat
Islam hanya sebagai ilmu kalam saja, atau sebagian dari fiqih saja, atau sebagain dari tasawuf,
sehingga pemahamnnya menjadi salah.

106
Kesalahan ke (3) kesalahan metode mempelajari Islam, para ahli terutama orientalis
sering melakukan pendekatan terhadap agama Islam dengan menjadikan Islam sebagai objek
kajian dengan cara-cara yang tidak Islami. Mereka menyamakan istilah-istilah dalam Islam
dengan istilah-istilah yang ada pada agama lain. Sebagai contoh, sering dikemukakan oleh
kaum orientalis dan mereka yang tidak memahami sejarah Islam, menuduh bahwa agama
Islam itu disebarkan dengan pedang. Padahal, kalau diteliti dari kenyataan sejarah,
peperangan-peperangan yang dilakukan Nabi hanya bersifat membalas serangan musuh-
musuhnya. Nabi saw. tidak pernah memulai peperangan terhadap kalangan non muslim. Hal
ini sangat jelas apabila kita melihat kenyataan, ketika Nabi diusir dari tanah kelahirannya,
kemudian beliau hijrah ke Madinah, selalu diserang berkali-kali seperti perang badar, Perang
Uhud, Perang Khandaq, dan sebagainya. Semua itu terjadi di sekeliling Madinah,
menunjukkan bahwa Nabi mendapatkan serangan dari musuh-musuhnya. Karena terus
menerus diserang, maka terpaksa beliau lawan serangan itu. Kalaupun dalam perkembangan
selanjutnya ada peperangan-peperangan lain, semua itu sifatnya adalah mempertahankan diri.

Kesalahan ke (4) melihat Islam dari perilaku pemeluknya. Agama Islam seperti juga
agama lain, telah banyak dipeluk oleh ratusan juta umat manusia. Namun demikian, belum
mampu membimbing umatnya untuk bisa melaksanakan seluruh ajaran Islam. Demikian juga
agama lain, telah diikuti oleh ratusan juta umat manusia, tetapi juga belum mampu membuat
umatnya melaksanakan seluruh ajaran agamanya. Karena itu, masih banyak perilaku umat
Islam atau umat agama lain yang belum Islami atau belum sesuai dengan ajaran agamanya.
Karena itu, apabila kita ingin mempelajari agama Islam atau agama-agama lain dengan
mengambail standar dari perilaku umatnya maka akan terjadi kekeliruan dan kesalahan.
Sebagai contoh misalnya, semua agama melarang umatnya untuk melakukan kekerasan
terhadap sesama umat manusia, tetapi pada kenyataan di lapangan, di seluruh wilayah di
dunia masih banyak pemeluk agama yang melakukan kekerasan.

Kesalahan ke (5) memahami Islam bukan dari ahlinya. Banyak kalangan yang sering
mempelajari Islam bukan dari ahlinya, tentu saja akan terjadi kesalahan yang fatal. Dalam
bidang apapun, termasuk di dalam berbagai disiplin ilmu, apabila dipelajari bukan dari
ahlinya akan sesat dan menyesatkan. Kesalahan ke (6) memahami Islam tidak secara utuh.
Berbagai kalangan sering memahami Islam tidak seutuhnya, tetapi memahaminya secara
parsial sehingga tidak bisa memformulasikan Islam secara baik. Mereka memahami ajaran
Islam dari bagian-bagian tertentu saja, seperti kita memformulasikan suatu ruangan. Dari
ruangan itu, hanya salah satu benda yang ada di sana, misalnya hanya membahas lampu
kristal yang ada di dalamnya. Sehingga uraiannya tidak dapat menggambarkan seluruh
ruangan itu, hanya dapat menggambarkan sebagian kecil dari ruangan tersebut, yaitu
lampunya.

4.7. Metode Memahami Ajaran Agama Islam

Dalam rangka menghindari kesalahpahaman terhadap Islam sebagaimana tersebut di


atas, maka harus dilakukan metode atau cara sebagai berikut: (1) harus memahami ruang
lingkup agama Islam secara menyeluruh dan sesuai dengan metode yang diajarkan Islam.
Dengan demikian, maka kesalahan seperti ini tidak akan terjadi. Metode yang ke (2) kerangka
dasar agama Islam harus dipelajari secara lengkap dan berusaha memahami pokok-pokok
ajaran agama Islam dan bagian-bagiannya secara lengkap sehingga tidak terjadi kekeliruan.
Metode yang ke (3) metode mempelajri agama Islam harus dilakukan sesuai dengan ajaran

107
Islam itu sendiri, tidak bisa disamakan dengan metode mempelajari agama lain, karena
banyak perbedaan-perbedaan di dalamnya.

Metode yang ke (4) pelajarilah Islam dari sumbernya yang asli, yaitu Alqur’an dan
Sunnah, serta Ijma’ dan Qiyas. Demikian juga harus mengikuti bimbingan para sahabat Nabi,
para Tabiin, dan ulama-ulama yang berkompeten di bidangnya masing-masing. Bimbingan
dari para Tabiin dan ulama diambil dari kitab-kitab mereka yang jumlahnya sangat banyak.
Tidak bisa mempelajari Islam dengan melihat perilaku sebagian umatnya. Metode yang ke (5)
Sumber dari ajaran Islam terdiri dari Alqur’an dan Sunnah, dikembangkan dengan ijma dan
qiyas serta bimbingan para sahabat Nabi dan Tabiin dan para ulama. Dengan cara ini, kita
telah mempelajari Islam dari para ahlinya, sehingga akan terhindar dari kesalahan dan
kekeliruan. Mempelajari Islam harus melalui guru-guru dan para ulama yang
berkesinambungan dari masa kini sampai masa-masa sebelumnya melalui sanad dari ulama-
ulama masa kini (khalaf) sampai ulama salaf, para tabi’in, para sahabat, dan sampai kepada
Nabi SAW.

108
BAB III
DIMENSI SOSIAL DAN BUDAYA ISLAM

1. Keluarga Islam
1.1. Pengertian Keluarga Islam

Di dalam bahasa Arab, kata “keluarga” disebut ahl atau ahila yang berarti keluarga


secara menyeluruh termasuk kakek, nenek, paman, bibi dan keponakan. Dalam pengertian
yang lebih luas, keluarga dalam Islam merupakan satu kesatuan unit yang besar yang
disebut ummah atau komunitas umat Islam. Keluarga Islam adalah keluarga yang rumah
tangganya ditegakkan adab-adab Islam, baik yang menyangkut individu maupun keseluruhan
anggota rumah tangga. Keluarga Islam adalah sebuah rumah tangga yang didirikan di atas
landasan ibadah, mereka bertemu dan berkumpul karena Allah, saling menasehati dalam
kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar, karena kecintaan mereka kepada Allah SWT. Keluarga Islam adalah keluarga yang
rumah tangganya menjadi teladan, panutan dan dambaan umat, mereka betah tinggal di
dalamnya karena kesejukan iman dan kekayaan rohani, mereka berkhidmat kepada Allah
dalam suka maupun duka, dalam keadaan senggang maupun sempit.

Kata sakinah berasal dari bahasa Arab yang berarti tenang atau “ketenangan”. Al-
Jurjani mengemukakan satu definisi, yaitu adanya ketenteraman bahwa Allah senantiasa
bersifat Rahmah yang selalu dilimpahkan kepada makhluk-Nya ke dalam hati pada saat
datangnya goncangan dan cobaan. Dalam keseluruhannya sakinah merupakan ketentraman
jiwa dan ketenangan batin (al-Jurjani, tt.:106). Sakinah merupakan suatu ketenangan yang
sering didahului oleh gejolak, karena dalam setiap rumah tangga diwarnai dengan gejolak,
bahkan kesalahpahaman, namun ia dapat segera tertanggulangi lalu melahirkan sakinah
(ketenangan). Kata Mawaddah, memiliki arti kelapangan dada dan terhindarnya jiwa
seseorang dari kehendak yang buruk. Mawaddah artinya adalah cinta sejati, cinta tidak
lengkap kecuali bila semua unsur-unsur terpenuhi, yaitu perhatian, tanggung jawab,
penghormatan, serta pengetahuan. Cinta yang dibingkai dalam hati yang mawaddah, tidak
lagi akan memutuskan hubungan. Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan terhindar
dari keburukan-keburukan. Sedangkan Rahmah adalah kasih sayang, kondisi psikologis yang
muncul di dalam hati, karena menyaksikan ketidakberdayaan, sehingga mendorong yang
bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu, dalam kehidupan keluarga, masing-
masing suami istri rela bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta
menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya. (M. Quraish Shihab, 2013: 209).
Dengan demikian keluarga Islam yang sakinah, mawaddah dan rahmah adalah keluarga yang
didalamnya penuh dengan ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan, akibat menyatunya
pemahaman dan kesucian hati, serta bergabungnya kejelasan pandangan dengan tekad yang
kuat.

1.2. Karakteristik Keluarga Islam

Rasulullah SAW. adalah orang yang sangat berhasil memberikan suri tauladan yang
baik bagi umatnya, mulai dari masalah memimpin umat sampai kepada memimpin keluarga.
Dalam hal memimpin keluarga misalnya, Nabi Muhammad SAW. mengajarkan kepada

109
umatnya agar membina rumah tangga yang harmonis, keluarga yang bahagia, yang dipenuhi
dengan ketenangan dan cinta kasih, Beliau bersabda yang artinya:

“Ada tiga kebahagiaan, yaitu: (1) memiliki istri yang shalihah, bila engkau memandangnya
menyenangkanmu, dan bila engkau pergi hatimu mempercayai bahwa ia dapat menjaga
dirinya dan menjaga hartamu, (2) kendaraan yang layak, dan (3) rumah yang luas yang
banyak didatangi tamu. (HR. Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mubarak ‘ala al-Shahihain, II/175
No. 2684).

Dalam hadis di atas digambarkan tentang kebahagiaan manusia atau keluarga Islam
akan tercapai bila memenuhi beberapa hal, yaitu rumah yang luas, maksudnya bukan berarti
rumah yang secara fisik berukuran luas, tetapi merupakan tempat tinggal yang memberikan
kenyamanan, ketentraman, dan kelapangan hati seperti rumah yang dimiliki oleh Rasulullah
saw. Kendaraan yang layak maksudnya tidak terbatas pada mobil pribadi atau kendaraan lain,
tetapi kendaraan yang bisa menghantarkan pemiliknya ke tempat-tempat yang baik dan
diridhai oleh Allah, sedangkan istri atau suami yang shalihah dan shalih merupakan
pendamping hidup yang senantiasa beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah serta selalu
mengingatkan jika salah satu di antara keluarga melakukan kesalahan.

Keluarga Islam adalah keluarga yang rumah tangganya sakinah, mawadah, dan rahmah
(perasaan tenang, cinta dan kasih sayang). Perasaan itu senantiasa melingkupi suasana rumah
tangga setiap harinya. Seluruh anggota keluarga merasakan suasana “surga” di
dalamnya. Baiti jannati (rumahku surgaku), demikian slogan mereka sebagaimana diajarkan
oleh Rasulullah SAW. untuk membentuk ummah yang kuat. Fatima Heeren dalam
bukunya Women in Islam (1993), menyebutkan empat syarat dalam membangun keluarga
Islam, yaitu : (1) keluarga Islam harus menjadikan keluarga sebagai tempat utama
pembentukan generasi yang kuat dengan cara menyediakan keluarga sebagai tempat yang
aman, sehat dan nyaman bagi interaksi antara orang tua dan anak; (2) kehidupan berkeluarga
harus dijadikan sarana untuk menjaga nafsu seksual laki-laki dan perempuan; (3) keluarga
Islam harus menjadikan keluarga sebagai tempat pertama dalam menanamkan nilai-nilai
kemanusiaan seperti cinta dan kasih sayang; (4) keluarga Islam harus dijadikan sebagai
tempat bagi setiap anggotanya untuk berlindung dan tempat memecahkan segala
permasalahan yang dihadapi anggotanya.

1.3. Ketentuan Agama Islam dalam Pembentukan Keluarga Islam

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang anggota-anggotanya terikat


secara lahir dan batin dan terkait secara hukum karena pertalian darah dan pernikahan. Ikatan
itu menetapkan kedudukan tertentu pada masing-masing anggota keluarga, ada hak dan
kewajiban, tanggung jawab bersama, saling mengharapkan, dan saling mengasihi. Suatu
keluarga biasanya terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Ini merupakan keluarga inti.
Keluarga yang lebih besar bisa juga tediri dari kakek, nenek, keponakan, paman dan bibi, baik
dari pihak ayah maupun ibu.

Agama Islam adalah ketentuan-ketentuan Allah yang membimbing dan mengarahkan


manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia berperan ketika pemeluknya memahami,
menghayati, dan mengamalkan dengan baik secara sungguh-sungguh. Al-Quran menunjukkan
bahwa salah satu tujuan utama pernikahan adalah menciptakan keluarga sakinah, mawaddah,

110
dan rahmah antara suami, istri, anak-anaknya serta keluarga lain, yaitu sebuah keluarga yang
dicita-citakan dan diidamkan oleh umat manusia secara keseluruhan.

Dalam proses pembentukan keluarga Islam, ada beberapa ketentuan yang harus
diperhatikan, yaitu :
a. Calon suami atau istri sama-sama orang beriman, sebagaimana dijelaskan dalam QS. 2
(Al-Baqarah) : 221. Dalam sebuah Hadis Rasulullah SAW bersabda bahwa wanita
dinikahi karena empat faktor : kecantikannya, hartanya, nasabnya, dan agamanya. Pilihlah
karena agamanya, maka engkau akan beruntung.
b. Calon suami bukan mahram, artinya tidak terdapat halangan untuk menikah.
c. Calon suami dan calon istri ridha, setuju untuk menikah.
d. Memenuhi ketentuan khusus poligami dalam pernikahan poligami.
e. Calon istri tidak sedang dalam masa iddah atau dalam pinangan orang lain.
f. Calon istri tidak terikat pernikahan dengan pria lain.
g. Calon suami menyiapkan mahar atau mas kawin. Apabila pada waktu akad nikah calon
suami belum memiliki mahar, boleh dihutang dan dibayar setelah akad nikah sesuai
kesepakatan dengan calon istri.
h. Pada saat akad nikah dilakukan pencatatan nikah oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Dalam proses akad nikah harus memenuhi rukun nikah, yaitu :


a. Ada calon suami dan calon istri;
b. Ada dua orang saksi;
c. Ada wali nikah;
d. Ada akad nikah, yaitu ijab dan qabul.

1.4. Tanggungjawab Kehidupan Keluarga

Apabila keluarga Islam telah terbentuk maka tugas dan tanggungjawab dalam
kehidupan keluarga Islam adalah :
a. Mendidik Keluarga Secara Islam
Setelah mampu membina keluarga dalam kehidupan secara mandiri sesuai dengan
perintah Allah, maka tugas selanjutnya adalah mendidik keluarga dan anak-anak agar
menjadi generasi penerus yang saleh. (QS.3 (Ali Imran) :9), dan juga menjadi orang-orang
yang senantiasa menjaga diri dan keluarga dari segala hal yang menjerumuskan ke dalam
api neraka. (QS.66 (Al-Tahrim) :6).
b. Berbakti kepada orang tua.
Setelah hidup mandiri dengan keluarga yang sakinah, dipenuhi dengan ketentraman dan
kebahagiaan, jangan lupa hendaknya selalu berbakti kepada orang tua yang telah
melahirkan, menyusui, merawat, membimbing, dan memberi nafkah selama bertahun-
tahun, sehingga menjadi anak yang baik dan terpuji. Berbakti kepada orang tua dalam
pandangan Islam, merupakan keharusan yang selalu dijaga dengan baik. Dalam beberapa
ayat Alqur’an disebutkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua demikian pentingnya,
sehingga diletakkan pada posisi yang signifikan, setelah kita berbakti kepada Allah.
(QS.31 (Luqman) :14, dan QS.46 (Al-Ahqaf) :15).

2. Masyarakat Islam
2.1.Pengertian Masyarakat Islam

111
Sebagai agama besar yang dianut oleh satu milyar lebih umat manusia, Islam telah
membentuk masyarakat yang kuat dalam tatanan yang penting dan teratur yang disebut
dengan masyarakat Islam. Islam adalah agama wahyu terakhir yang disebarkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Beliau menyebarkan agama ini sehingga banyak orang yang masuk Islam
dan menjadikan umat Islam menjadi umat yang kuat dalam masyarakat yang aman, tertib dan
tentram. Agama Islam menjadikan orang-orang yang menganutnya menjadi sebuah
masyarakat Islam yang sangat erat. Pengertian dari masyarakat Islam itu sendiri adalah
masyarakat yang seluruh atau sebagian besar anggotanya merupakan orang-orang Islam dan
berpedoman pada ajaran Islam.

Menurut Muhammad Quthb, bahwa masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang
segala sesuatunya bertitik tolak dari Islam dan tunduk pada sistematika Islam. Berangkat dari
hal tersebut di atas, maka suatu masyarakat yang tidak diliputi oleh suasana Islam, corak
Islam, bobot Islam, prinsip Islam, syariat dan aturan Islam serta berakhlak Islam, bukan
termasuk masyarakat Islam. Masyarakat Islam bukan hanya sekedar masyarakat yang
beranggotakan orang Islam, sementara syariat Islam tidak ditegakkan di atasnya, meskipun
mereka shalat, puasa, zakat dan haji. Lebih jauh lagi bahwa masyarakat Islam bukanlah
masyarakat yang melahirkan suatu jenis Islam khusus untuk dirinya sendiri, diluar ketetapan
Allah yang telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Atas dasar itulah, masyarakat Islam harus
menjadikan segalah aspek hidupnya, prinsip-prinsipnya, amal perbuatannya, nilai hidupnya,
jiwa dan raganya, hidup dan matinya terpancar dari sistem Islam. Oleh karena itu, kekuasaan
yang mengatur kehidupan manusia haruslah kekuasaan yang mengatur adanya manusia itu
sendiri. Dengan demikian, tetaplah Allah saja yang mempunyai kekuasaan tertinggi, sehingga
masyarakat Islam senantiasa diperintah dan diatur oleh pola syariat-Nya.

Dalam pandangan Muhammad Quthb bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat yang
berbeda dengan masyarakat lain. Letak perbedaannya yaitu, peraturan-peraturannya khusus,
undang-undangnya yang Qur’ani, anggota-anggotanya yang beraqidah satu, aqidah Islamiyah
dan berkiblat satu. Sedangkan menurut Mahdi Fadhlullah bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat Islam adalah satu-satunya masyarakat yang tunduk kepada Allah dalam segala
masalah dan memahami bahwa makna ibadah itu tidak cukup dengan melakukan syiar-syiar
keagamaan seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lainnya, karena itu hanya bentuk ibadah
nyata. Dari pengertian di atas, terdapat kejelasan bahwa yang menjadi dasar pengikat
masyarakat Islam adalah rasa iman kepada Allah. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
yang mengikat masyarakat Islam adalah dasar persamaan aqidah, bukan didasarkan atas
ikatan jenis bangsa, tanah air, warna kulit, maupun bahasa. Masyarakat Islam inilah yang
memiliki watak dan adat istiadat yang terpadu walaupun terdiri dari beberapa suku bangsa,
warna kulit, dan bahasa. Ia tetap memiliki dan menjalin ikatan yang kuat berupa tali
persaudaraan yang mengakar dari nilai-nilai agama Islam.

2.2. Karakteristik Masyarakat Islam

Masyarakat Islam memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dengan masyarakat


non Islam, yaitu :
a. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang ber-Tauhid, artinya beriman kepada Allah
Yang Maha Esa. Dasar Ketauhidan ini tidak mengurangi toleransi, kebebasan yang
diberikan oleh Islam kepada individu dalam beragama.
b. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang terbuka berdasarkan pengakuan pada kesatuan
umat dan cita-cita persaudaraan sesama manusia. Islam menganggap rasisme, sukuisme,

112
kastaisme, dan dinastiisme sebagai suatu hal yang mengingkari ketentuan Allah dan
berkhianat terhadap sesama umat manusia.
c. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang terpadu, integratif, dimana agama menjadi
perekat yang menyatukannya. Masyarakat yang demikian hanya mungkin terbina, apabila
mengikuti prinsip-prinsip keseimbangan dalam segala aspek kehidupan mereka. Karena
itu masyarakat yang terpadu merupakan masyarakat yang seimbang.
d. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dinamis dan progresif, karena manusia
ditugaskan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Mereka diperintahkan untuk
mewujudkan shibghah Allah dan keagungan serta kemuliaan-Nya (al-Asma al-Husna).
Dengan demikian, ia seharusnya berfungsi secara dinamis dan progresif dalam
menciptakan sarana dan prasarana bagi wujudnya kesejahteraan manusia, lahir dan batin
dalam segala aspeknya.
e. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang demokratis, baik secara spiritual, sosial,
ekonomi, maupun demokrasi politik. Islam membentuk lembaga keilmuan dan
menghapus feodalisme spiritual. Menjadikan ilmu pengetahuan dan takwa sebagai hak
setiap orang untuk mencapai kesempurnaan kehidupan pribadinya. Islam menciptakan
kesetaraan sosial dengan menghilangkan perbedaan berdasarkan ras, bangsa, suku, dinasti
dan lainnya. Ia menciptakan sestem ekonomi dengan berbagai hukum dan kelembagaan,
sehingga memberikan perhatian dan kesempatan yang adil bagi semua anggota
masyarakat untuk menjamin kehidupan yang layak dan seimbang.
f. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang berkeadilan, yang membentuk semua aspek
dari keadilan sosial baik di bidang moral, hukum, ekonomi, dan politik yang telah
ditetapkan dalam aturan dan kelembagaan yang telah disepakati.
g. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang berwawasan ilmiyah, terpelajar, karena sangat
menekankan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Nabi Muhammad SAW. telah
menetapkan pencarian ilmu sebagai kewajiban bagi setiap muslim, dan menuntut ilmu
walau ke tempat yang jauh sekalipun. Kehidupan seperti ini, akan menjadi pondasi yang
kokoh bagi kehidupan masyarakat modern, bukan sebagai masyarakat yang hanya pandai
meniru budaya asing.
h. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang disiplin. Allah telah menetapkan segenap
ajaran-Nya berdasarkan aturan-aturan dan batas-batas yang terang, yang berkaitan
langsung dengan kedisiplinan baik dalam bidang ibadah maupun muamalah.
i. Masyarakat Islam menentukan pada kegiatan keumatan yang memiliki tujuan yang jelas
dan perencanaan yang sempurna, menggunakan manajemen yang rasional dan efektif,
serta dilakukan dengan disiplin yang tinggi dalam melaksanakan prinsip-prinsip
kehidupan dan kemasyarakatan.
j. Masyarakat Islam membentuk persaudaraan yang tangguh, menekankan kasih sayang
antara sesama. Penduduk negeri atau masyarakat digambarkan sebagai keluarga besar,
yang kaya dan kuat melindungi yang miskin dan lemah, sebaliknya yang miskin dan
lemah hormat kepada yang kaya dan kuat, saling memerintahkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran.
k. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang sederhana, yang berkesinambungan. Islam
mengutuk kesenangan duniawi yang berlebihan, melarang mengeluarkan dan
menghamburkan harta secara boros dan sia-sia, memerintahkan anggota masyarakat agar
tidak mengikuti nafsu yang bersifat hewani.

113
2.3. Ketentuan Agama Islam Dalam Pembentukan Masyarakat Islam

Masyarakat Islam dibentuk berdasarkan ajaran dan tata nilai Islam, yang mengandung
arti bahwa prinsip-prinsip dasar yang membentuk dan membina masyarakat itu adalah nilai-
nilai luhur ajaran agama Islam. Masyarakat ini berorientasi pada pondasi tauhid, karena itu,
falsafah sosialnya didasarkan pada sistem nilai yang paling utama. Masyarakat itulah yang
mampu mempraktikkan sanksi-sanksi yang murni dalam upaya menegakkan kebenaran,
keadilan, kasih sayang serta pelayanan masyarakat yang dibentuk berdasarkan etika
Ketuhanan Yang Maha Esa yang bertopang pada: (a) mentaati perintah Allah yang
dicerminkan dengan kasih sayang terhadap sesama anggota masyarakat; (b) bersyukur
terhadap rahmat dan nikmat Allah, segala puji bagi-Nya semata, yang dicerminkan pada
upaya mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat material dan spiritual,
berlandaskan pada kaidah-kaidah moral yang mulia; (c) rasa dekat dengan Tuhan yang
dicerminkan dalam perasaan takut pada larangan-Nya yang akan membentuk sikap dan jiwa
yang adil dan bertanggungjawab, menghindari tingkah laku curang dan menolak kejahatan
dalam anggota masyarakat (Departemen Agama RI, 1997: 50).

Masyarakat Islam dibentuk dan dibina berdasarkan azas dan prinsip dasar etika
kemulian manusia. Semua anggota masyarakat diarahkan untuk melaksanakan kebaikan
sehingga meraih kemuliaan lahir dan batin, di dunia maupun akhirat. Untuk mencapai
kemuliaan itu, memerlukan pembentukan kekuatan iman bagi setiap individu anggota
masyarakat, yang apabila disebut asma Allah, merasakan dan menghayati sifat-sifat
keagungan dan kemuliaan-Nya, bertambahlah keimanan mereka, dan kepada Tuhanlah
mereka bertawakkal. Mereka adalah anggota masyarakat yang mendirikan shalat dengan
khusyu’ dan menafkahkan sebagian rizki yang mereka miliki. Kemuliaan manusia,
mengharuskan setiap orang menghormati orang lain dalam segala interaksi sosialnya.
Manusia lain perlu dihargai dan diberikan hak-haknya sebagai anggota masyarakat secara
adil, atas dasar persamaan derajat di hadapan Tuhannya. Takwalah yang menentukan derajat
seseorang dan status kedudukannya dalam kehidupan dunia dan akhirat.

3. Pranata Sosial Islam

3.1. Masjid
3.1.1. Pengertian Masjid

Secara etimologi kata masjid merupakan isim makan dari kata


‘sajada”-“yasjudu”-“sujudan”, yang artinya tempat sujud, dalam rangka beribadah kepada
Allah, atau tempat untuk mengerjakan shalat. Sedangkan pengertian masjid secara sosiologis,
yang berkembang pada masyarakat Islam Indonesia, ia dipahamai sebagai suatu tempat atau
bangunan tertentu yang diperuntukkan bagi orang-orang muslim untuk mengerjakan shalat,
baik secara perorangan maupun berjamaah. Ia juga diperuntukkan untuk ibadah-ibadah lain
dan melaksanakan shalat Jum’at. Dalam perkembangan selanjutnya, masjid dipahami sebagai
tempat yang dipakai untuk shalat sehari-hari dan dipakai untuk ibadah shalat Jum’at, yang
disebut jami’ atau disebut masjid jami’. Sedangkan bangunan yang serupa masjid yang
dipakai untuk mengerjakan shalat wajib dan sunnah, yang tidak dipakai untuk shalat Jum’at
disebut “mushalla”. Kata ini merupakan isim makan dari “shalla”-“yushalli”-“shalatan”
yang artinya tempat shalat. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa setiap masjid berarti
mushalla, tetapi tidaklah semua mushalla adalah masjid. Mushalla sering disebut dengan
nama tajug, langgar, surau, meunasah dan sebagainya.

114
3.1.2. Fungsi Masjid.

Fungsi masjid pada masa Rasululah saw. dapat diuraikan antara lain sebagai berikut: (1)
untuk melaksanakan ibadah mahdhah seperti shalat wajib, shalat sunnah, sujud, i’tikaf, dan
shalat-shalat sunnah yang bersifat insidental seperti shalat 'Ied, shalat gerhana, dan
sebagainya; (2) sebagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam; (3) sebagai pusat informasi
Islam; (4) tempat penyelesaian perkara dan pertikaian, menyelesaikan masalah hukum dan
peradilan serta menjadi pusat penyelesaian berbagai problem yang terjadi pada masyarakat;
(5) masjid sebagai pusat kegiatan ekonomi. Yang dimaksud kegiatan ekonomi, tidak berarti
sebagai pusat perdagangan atau industri, tetapi sebagai pusat untuk melahirkan ide-ide dan
sistem ekonomi yang Islami, yang melahirkan kemakmuran dan pemerataan pendapatan bagi
umat manusia secara adil dan berimbang; (6) sebagai pusat kegiatan sosial dan politik.
Kegiatan sosial tidak bisa dipisahkan dari masjid sebagai tempat berkumpulnya para jamaah
dalam berbagai lapisan masyarakat.

Masjid merupakan pusat ibadah, dakwah dan peradaban Islam dalam sejarahnya yang
panjang, mengalami berbagai macam perubahan dan pergeseran, mulai dari perubahan yang
bersifat positif sampai pergeseran yang bersifat negatif. Selama berada dalam pergeseran yang
bersifat negatif, ia bergeser dari fungsi yang sesungguhnya sampai pada fungsi yang sangat
terbatas. Ia tidak lagi menjadi pusat dakwah dan perubahan Islam, tetapi hanya berfungsi
sebagai tempat ibadah mahdhah saja. Bila kita melakukan pengamatan secara teliti terhadap
kenyataan yang berkembang dewasa ini, pada umumnya masjid-masjid yang ada dapat
dikategorikan dalam dua bagian, yaitu (1) masjid yang sesuai dengan konsep ajaran Islam,
atau paling tidak, bisa mendekati fungsi masjid yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., dan
(2) masjid-masjid yang tidak sesuai lagi dengan profil mesjid yang dikehendaki ajaran Islam.

3.1.3 Keutamaan Memakmurkan Masjid

Memakmurkan masjid berarti membangun, mendirikan dan memelihara masjid,


meghormati dan menjaganya agar bersih dan suci, serta mengisi dan menghidupkannya
dengan berbagai ibadah dan ketaatan kepada Allah swt. Setiap amal yang baik pasti ada nilai
keutamaan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Keutamaan yang
sedemikian besar memotivasi kaum muslimin untuk selalu melaksanakan kebaikan itu, begitu
pula bila kita memakmurkan masjid sehingga menjadi penting untuk kita pahami nilai
keutamaannya. Nilai keutamaan tersebut adalah:

1. Membuktikan kebenaran iman


Kedatangan seorang muslim ke masjid adalah dalam rangka memakmurkannya dengan
berbagai aktivitas yang bermanfaat bagi diri, keluarga dan masyarakatnya. Ini membuatnya
harus diakui sebagai orang yang dapat membuktikan keimanan. Karenanya kitapun tidak
perlu lagi meragukan keimanan orang yang suka datang ke masjid.

2. Mendapatkan perlindungan pada hari kiamat


Orang yang sering datang ke masjid dalam rangka memakmurkannya menunjukkan bahwa ia
memiliki ikatan bathin dengan masjid. Manakala seseorang telah memiliki ikatan dengan
masjid, maka dia akan menjadi salah satu kelompok orang yang kelak akan dinaungi oleh
Allah pada hari akhirat.

115
3. Mendapatkan derajat yang tinggi dan ampunan Allah.
Mencapai derajat yang tinggi dan memperoleh ampunan dari Allah SWT merupakan dambaan
setiap muslim, apalagi kalua derajat tersebut dianugerahkan oleh Allah serta memperoleh
ampunan-Nya.

4. Memperoleh ketenangan dan rahmat Allah SWT


Memakmurkan masjid membuat seorang muslim akan memperoleh ketenangan, rahmat dan
kemampuan melewati jembatan menuju surga.

5. Setiap langkah dicatat sebagai pahala.


Keutamaan yang juga amat istimewa bagi orang yang melaksanakan shalat secara berjamaah
adalah ia akan memperoleh pahala yang lebih besar bila jarak tempuhnya menuju masjid lebih
jauh, karena langkah-langkah kakinya akan dihitung dan dicatat sebagai pahala.

3.1.4. Cara dan Bentuk Memakmurkan Masjid

Setiap pribadi muslim harus menunjukkan tanggungjawabnya terhadap masjid. Hal ini
akan membuatnya termotivasi dan ikhlas untuk memakmurkan masjid. Seorang muslim dapat
menunjukkan tanggungjawabnya memakmurkan masjid dalam banyak bentuk, antara lain :

1. Membangun masjid sesuai kebutuhan


Membangun masjid adalah langkah awal memakmurkan masjid. Karena tanpa adanya masjid,
bagaimana mungkin kita dapat memakmurkannya. Namun demikian, mendirikan masjid
harus dengan pertimbangan bila memang dibutuhkan dan atas dasar taqwa. Karena itu
membangun masjid memiliki keutamaan yang amat besar.

2. Memelihara bangunan masjid


Kecintaan kita pada suatu benda biasanya membuat kita harus selalu memperhatikan dan
merawat benda itu. Begitulah pula semestinya kecintaan kita pada masjid, kita harus selalu
merawat dan menjaga kebersihannya agar ibadah tetap nyaman sehingga terjaga
kekhusyu’annya. Karena itu Rasulullah memerintahkan untuk membangun masjid, menjaga
kebersihannya, dan memberikan wewangian didalamnya.

3. Mendirikan shalat berjamaah


Hal yang utama dalam memakmurkan masjid adalah mempergunakannya utuk melaksanakan
shalat berjamaah, khususnya bagi kaum laki-laki, karena amat ditekankan untuk shalat
berjamaah di masjid.

4. Belajar dan mengajar ilmu


Memfungsikan masjid sebagai madrasah berarti di dalamnya disampaikan ilmu pengetahuan
kepada umat Islam.

5. Berdzikir dan tilawah Alqur’an


Umat Islam harus menjalankan aktivitas peribadatan di masjid. Selain melaksanakan shalat
berjamaah, berdzikir dan membaca Alqur’an merupakan sesuatu yang amat penting untuk
dilakukan di masjid.

116
3.1.5. Adab Terhadap Masjid

Memahami adab terhadap masjid sangatlah penting bagi umat Islam. Hal ini
dimaksudkan agar kita tidak salah faham dalam memfungsikan masjid dan berinteraksi di
dalamnya dari segi syariah. Berikut ada beberapa adab terhadap masjid yang harus
diwujudkan, yaitu:

1. Membangun masjid, menjaga kebersihannya dan rajin pergi ke masjid dalam rangka
memakmurkannya dengan berbagai kegiatan positif yang didasari dengan ikhlas karena
Allah.
2. Pergi ke masjid dengan menggunakan pakaian yang sebaik-baiknya, yakni pakaian yang
menutup aurat baik laki-laki maupun perempuan. Berpakaian yang baik adalah yang
memenuhi standar agama, yakni tidak menyingkap, tidak membentuk tubuh dan tidak
transparan.
3. Melangkahkan kaki kanan terlebih dahulu ketika masuk ke masjid dan membaca doa
dengan doa sesuai yang diajarkan Rasulullah SAW.
4. Melaksanakan shalat tahiyatul masjid sebelum duduk.
5. Tidak boleh berjalan di depan orang yang sedang shalat.
6. Wanita dibolehkan datang ke masjid, baik untuk shalat berjamaah, mengikuti pengajian
atau aktivitas lainnya yang sesuai dengan misi masjid. Namun jika wanita itu sedang
berhalangan atau sedang haid dan nifas maka dilarang baginya untuk berdiam diri (i’tikaf)
di masjid. Imam Syafi’i membolehkan wanita yang sedang haid atau nifas berlalu di
dalam masjid jika ia yakin tidak akan mengotori masjid. Karena, hukum mengotori masjid
dengan najis atau kotoran lainnya adalah haram. Juga karena terdapat riwayat Aisyah yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Ambilkan aku sajadah (tikar)
dari masjid. Maka aku menjawab, Aku sedang haid, lantas Nabi Muhammad SAW
bersabda:”Sesungguhnya haidmu tidak terletak di tanganmu” (HR Muslim)
7. Berdoa saat keluar dari masjid, dan hendaklah melangkahkan dengan kaki kiri terlebih
dahulu.

3.2. Lembaga Pendidikan Islam


3.2.1. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam.

Lembaga menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah bakal dari sesuatu, asal mula
yang akan menjadi sesuatu, bakal, bentuk, wujud, rupa, acuan, ikatan, badan atau organisasi
yang mempunyai tujuan jelas terutama dalam bidang keilmuan. Menurut Ensiklopedi
Indonesia, lembaga pendidikan yaitu suatu wadah pendidikan yang dikelola demi mencapai
hasil pendidikan yang diinginkan. Badan pendidikan sesungguhnya termasuk pula dalam alat-
alat pendidikan, jadi badan/lembaga pendidikan yaitu organisasi atau kelompok manusia yang
karena sesuatu dan lain hal memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan agar
proses pendidikan dapat berjalan dengan wajar.

Secara terminologi lembaga pendidikan Islam adalah suatu wadah, atau tempat
berlangsungnya proses pendidikan Islam. Lembaga pendidikan itu bersifat konkrit berupa
sarana dan prasarana dan juga bersifat yang abstrak, dengan adanya norma-norma dan
peraturan-peraturan tertentu, serta penanggung jawab pendidikan itu sendiri.

117
3.2.2. Macam-macam Lembaga Pendidikan Islam

Lembaga Pendidikan Islam formal di Indonesia dapat dikategorikan ke dalam tiga


golongan, yakni: (1) pesantren, (2) madrasah, dan (3) sekolah Islam. Dalam hal ini akan
diuraikan beberapa garis besarnya saja agar dapat dibedakan sifat dan wataknya masing-
masing, yaitu :

a. Pesantren.
Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang tradisional
di Indonesia. Menurut para ahli, lembaga pendidikan ini sudah ada sebelum Islam datang
ke Indonesia. Oleh karena itu, namanya berasal dari dua kosa kata bahasa asing yang
berbeda. Pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti tempat menginap atau
asrama (Zamakhsyari Dhofier, 1983:18), sedangkan pesantren dengan awalan “pe” dan
akhiran “an”, berasal dari kata santri, bahasa Tamil yang berarti para penuntut ilmu (Yusuf
Amir Feisal, 1984:19) atau diartikan juga juru mengaji (Zamakhsyari Dhofier, 1983:18).
Karena makna yang dikandung oleh namanya itu, sebuah pesantren, selalu
mempertahankan unsur-unsur aslinya, yaitu: (a) pondok; (b) masjid; (c) pengajian kitab-
kitab klasik yang disebut kitab-kitab kuning; (d) santri; dan (e) kiai atau guru mengaji
(Zamakhsyari Dhofier, 1983:43). Kelima unsur ini, selalu ada dalam setiap pondok
pesantren.

b. Madrasah.
Pada permulaan abad ke-20 muncul lembaga pendidikan Islam baru yang disebut
madrasah. Perkataan madrasah berasal dari bahasa Arab darasa yang artinya belajar.
Dengan demikian, madrasah berarti tempat belajar. Lembaga pendidikan baru ini hadir di
tengah-tengah dunia pendidikan Islam di Indonesia, terutama di luar Jawa, karena berbagai
dorongan dan alasan: (1) sebagai manifestasi dan realisasi cita-cita pembaharuan dan
sistem pendidikan Islam di Indonesia; (2) sebagai salah satu usaha menyempurnakan
sistem pendidikan pesantren, yang dipandang tidak memungkinkan lulusannya
memperoleh kesempatan kerja seperti sekolah umum yang didirikan oleh Pemerintah
Belanda; (3) adanya sikap sementara umat Islam yang lebih condong mengikuti sistem
pendidikan model Barat yang lebih memungkinkan (anak-anak) mereka maju dalam ilmu,
ekonomi, dan teknologi.

c. Sekolah Islam.
Lembaga pendidikan Islam ketiga ini merupakan pengembangan madrasah dengan falsafah
pendidikan yang dipengaruhi oleh ajaran Barat. Kurikulumnya lebih dekat pada kurikulum
sekolah-sekolah umum. Kendatipun predikatnya Islam, namun pelajaran Islam kurang
mendapat tempat dalam kurikulumnya. Yang diutamakan adalah persamaan status dan
pengakuan yang sama dengan sekolah umum. Antara sekolah umum dengan sekolah Islam
ini terdapat persamaan, hanya dalam pelaksanaan pengajaran agamanya saja yang berbeda.

3.2.3. Fungsi Lembaga Pendidikan Islam

Lembaga Pendidikan Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam,
dan sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam. Kebutuhan itu bermacam-
macam, antara lain kebutuhan keluarga, hukum, ekonomi, politik, sosial, budaya, termasuk
kebutuhan pendidikan. Sebagai lembaga, ia mempunyai beberapa fungsi, di anataranya
adalah: (1) memberikan pedoman pada anggota masyarakat (muslim) bagaimana mereka

118
harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul dan
berkembang dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan pokok
mereka; (2) memberikan pegangan kepada masyarakat dalam melakukan pengendalian sosial
menurut sistem tertentu yakni sistem pengawasan tingkah laku para anggotanya; dan (3)
menjaga keutuhan masyarakat.

Lembaga pendidikan Islam memiliki peran yang sangat fundamental dalam


mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada umat Islam. Oleh karena itu peran lembaga
pendidikan bukanlah sekedar mentransfer ilmu pengetahuan (knowledge), tetapi juga
melakukan transfer nilai (values) kepada setiap peserta didik. Pada era modern ini, setiap
keluarga tentu membutuhkan lembaga pendidikan yang berkualitas untuk mendidik putra-
putrinya. Oleh karena itu para pengelola lembaga pendidikan Islam harus bekerja profesional,
sebab lembaga pendidikan yang terorganisasi dengan baiklah yang bisa menjawab kebutuhan
itu. Munculnya lembaga pendidikan yang berkualitas tentu akan menjadi tumpuan harapan
masyarakat untuk melahirkan sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan zaman,
yaitu sumber daya manusia yang tidak hanya berkualitas secara akademis, tetapi juga secara
non akademis.

Melihat pentingnya lembaga pendidikan Islam dalam menyiapkan sumber daya manusia
yang berkualitas, sejak awal Rasulullah saw. telah memberikan perhatian khusus kepada
pengembangan pendidikan. Ketika pertama kali mengembangkan ajaran Islam di kota Mekah,
beliau telah menggunakan beberapa lembaga sebagai sentra pendidikan untuk mengajarkan
agama Islam. Melalui sentra-sentra pendidikan yang ada ketika itu, kaum muslimin
memperoleh berbagai pengetahuan yang menjadi modal bagi mereka untuk keluar dari
kebodohan dan penindasan orang lain. Pengetahuan-pengetahuan yang mereka peroleh itu,
kemudian mereka ajarkan kepada istri, anak, dan sanak keluarga mereka, sehingga lahirlah
sebuah komunitas muslim yang sangat kuat.

Melihat dari beberapa fungsi yang melekat pada lembaga sosial tersebut di atas, jelas
bahwa kalau seseorang hendak mempelajari dan memahami masyarakat tertentu, ia harus
memperhatikan dengan seksama lembaga yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan
(Soerjono Soekanto, 1982:193).

4. Lembaga Ekonomi Islam


4.1. Pengertian Lembaga Ekonomi Islam

Lembaga ekonomi Islam merupakan salah satu instrument yang digunakan untuk
mengatur aturan-aturan ekonomi Islam. Sebagai bagian dari sistem ekonomi, lembaga
tersebut merupakan bagian dari keseluruhan sistem sosial. Oleh karenanya, keberadaannya
harus dipandang dalam konteks keseluruhan keberadaan masyarakat, serta nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

4.2. Macam-macam Lembaga Ekonomi Islam


4.2.1.Ziswaf (Zakat, Infak, Shadaqah, dan Wakaf)

a. Zakat.
Zakat adalah pembayaran sejumlah harta tertentu kepada mustahik, yaitu orang atau badan
yang berhak menerima zakat menurut ketentuan secara khusus. Zakat ada dua macam, yaitu :

119
(1) zakat fitrah, yaitu pembayaran sejumlah harta dalam bentuk makanan pokok kepada
mustahik pada hari raya 'Idul Fitri. Zakat fitrah berorientasi pada pensucian jiwa dari sifat-
sifat buruk sebagai rasa syukur atas nikmat Allah dan menumbuhkan kepekaan sosial untuk
menjalin solidaritas sosial; dan (2) zakat mal, yaitu pembayaran sejumlah harta kepada
mustahik atas nikmat harta yang dikaruniakan oleh Allah yang telah mencapai nishab.

b. Infak.
Infak secara umum adalah mempergunakan harta yang dikaruniakan Allah menurut ketentuan
syariah Islam. Secara khusus, infak adalah mempergunakan sebagian harta untuk kepentingan
Islam.

c. Shadaqah.
Shadaqah adalah mempergunakan sebagian harta untuk diberikan kepada umat Islam yang
membutuhkan bantuan, seperti fakir dan miskin. Disamping sebagai rasa syukur kepada Allah
atas rizki yang dikaruniakan Allah, shadaqah juga sebagai bentuk kepedulian sosial kepada
orang yang kekurangan dan membutuhkan bantuannya.

d. Wakaf.
Wakaf adalah menyerahkan harta untuk diambil manfaatnya bagi kepentingan umat Islam
dengan tetap mempertahankan kelestarian harta pokok wakafnya. Pada umumnya wakaf
berupa harta tidak bergerak, tetapi dalam perkembangannya wakaf juga dapat dilakukan
dalam bentuk wakaf barang bergerak dan bahkan wakaf tunai berupa uang.

4.2.2. Bank Perkreditan Rakyat Syariah

Menurut undang undang (UU) Perbankan No. 7 tahun 1992, BPR adalah lembaga
keuangan yang menerima simpanan uang hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan.
Pada UU Perbankan No. 10 tahun 1998, disebutkan bahwa BPR adalah lembaga keuangan
bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah. Pengaturan pelaksanaan BPR yang menggunakan prinsip syariah tertuang pada surat
direksi Bank Indosnesia No. 32/36/KEP/ tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan
prinsip syariah tanggal 12 Mei 1999. Dalam hal ini pada teknisnya BPR syariah beroperasi
layaknya BPR konvensional namun menggunakan prinsip syariah.

4.2.3. Bank Syariah

Istilah bank tanpa bunga sebenarnya dapat memberikan konotasi yang berbeda dari
esensi bank syariah. Istilah tanpa bunga sering diasosiasikan dengan tanpa biaya (no interest)
yang sebenarnya tidak tepat. Oleh karena itu sebaiknya kita pakai saja istilah bank bagi hasil
yang juga dipakai bank Indonesia atau tepatnya bank syariah. Bank syariah merupakan sebuah
lembaga keuangan yang berdasarkan hukum Islam yang merupakan sebuah lembaga baru
yang amat penting dan strategis peranannya dalam mengatur perekonomian dan
mensejahterakan umat Islam.

Cara beroperasi bank syariah ini hakikatnya sama dengan bank konvensional biasa,
yang berbeda hanya dalam masalah bunga dan praktik lainya yang menurut syariah Islam
tidak dibenarkan. Bank syariah memang tidak menggunakan konsep bunga seperti bank
konvensional lainnya, namun bukan berarti bank syariah tidak mengenakan beban kepada

120
mereka yang menikmati jasanya. Beban tetap ada namun konsep dan cara perhitungannya
tidak seperti perhitungan bunga dalam bank konvensional.

4.2.4. Asuransi Syariah

Pengertian asuransi syariah menurut fatwa DSN-MUI adalah usaha saling melindungi
dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset
atau tabarru' memberikan pola pengembalian resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan
syariah.

4.2.5. Pegadaian Syariah

Pegadaian syariah dalam hukum Islam berjalan di atas dua akad transaksi syariah yaitu:

a. Akad Rahn. Secara istilah, rahn berarti menjadikan sesuatu barang yang berharga sebagai
jaminan hutang dengan dasar bisa diambil kembali oleh orang yang berhutang setelah dia
mampu menebusnya.
b. Akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui
pembayaran upah sewa. Melalui akad ini dimungkinkan bagi penggadai untuk menarik
sewa atas penyimpanan barang yang berharga milik nasabah yang telah melakukan akad.

4.2.6. BMT atau Baitul Mal wa Tamwil

BMT terdiri dari dua istilah yaitu baitul mal dan baitul tamwil. Baitul maal lebih
mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti zakat,
infak dan shadaqah, sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dana dan
penyaluran dana komersial. Baitul Maal wal Tamwil (BMT) atau Usaha Mandiri Terpadu,
adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuh
kembangakan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta
membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari
tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem ekonomi yang salaam:
keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian, dan kesejahteraan. BMT bersifat terbuka,
independen, tidak partisan, berorientasi pada pengembangan tabungan dan pembiayaan untuk
mendukung bisnis ekonomi yang produktif bagi anggota dan kesejahteraan sosial masyarakat
sekitar, terutama usaha mikro dan fakir miskin.

4.3. Fungsi Lembaga Ekonomi Islam

Fungsi semua lembaga Islam di Indonesia sebetulnya sama saja, termasuk fungsi
lembaga ekonomi itu sendiri, yaitu sebagai sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam,
dan sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam. Kebutuhan itu bermacam-
macam, antara lain kebutuhan keluarga, pendidikan, hukum, politik, sosial, budaya maupun
kebutuhan ekonomi. Sebagai lembaga, ia mempunyai beberapa fungsi, di antaranya adalah :
(1) memberikan pedoman pada anggota masyarakat (muslim) bagaimana mereka harus
bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul dan
berkembang dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan pokok
mereka; (2) memberikan pegangan kepada masyarakat bersangkutan dalam melakukan
pengendalian sosial menurut sistem pengawasan tingkah laku para anggotanya; dan (3)

121
menjaga keutuhan masyarakat. Hanya saja yang membedakan antara lembaga Islam yang satu
dengan lembaga Islam yang lain adalah konsentrasinya. Lembaga ekonomi Islam tentu saja
lebih berkonsentrasi pada hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan ekonomi Islam di
Indonesia, begitu juga dengan lembaga Islam yang lainnya.

5. Kehidupan Berbangsa dan Bernegara


5.1. Persatuan

Persatuan adalah gabungan (ikatan, kumpulan dan sebagainya) beberapa bagian yang
sudah menyatu. Dalam persatuan itu bisa saja banyak hal yang berbeda seperti perbedaan
agama, suku bangsa, bahasa daerah, adat istiadat, agama dsb bersatu dalam suatu wadah.
Wadah itu bisa umpamanya organisasi, kumpulan pada suatu lembaga pendidikan, pada suatu
wilayah, umpamanya tingkat RT, Kelurahan, Kecamatan, dan bisa dalam satu negara. Contoh
persatuan adalah apa yang kita pupuk dan kembangkan secara terus menerus di negara kita
Indonesia ini. Dalam keaneka-ragaman kita bersatu dalam suatu negara, “Negara Kesatuan
Republik Indonesia” (NKRI). Kita bersatu diikat oleh komitmen bersama: Satu nusa, satu
bangsa, satu bahasa (Indonesia). Semboyan kita “Bhineka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tapi
tetap satu). Satu negara, satu bangsa, satu bahasa, bersatu mengisi kemerdekaan, membangun
bersama dengan tujuan yang sama: mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan negara
adil dan makmur yang merata.

Alqur’an memerintahkan persatuan dan kesatuan, karena pada hakikatnya manusia


adalah umat yang satu. Arti umat adalah kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik
persamaan tempat, wilayah, waktu, bahasa, agama, atau mungkin satu keturunan. Walaupun
Alqur’an mengakui adanya kelompok, suku, dsb, namun Alqur’an juga mengisyaratkan
bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan sifat dapat digabungkan ke dalam satu wadah. Dalam
konteks paham kebangsaan, Rasulullah saw memasukkan sahabatnya Salman Al-Farisi dari
Persia, Suhaib dari Rumawi, dan Bilal dari Ethiopia ke dalam kelompok orang Arab. Jumlah
anggota satu ummat tidak dijelaskan oleh Alqur’an. Ada yang berpendapat minimal empat
puluh orang atau seratus orang. Tetapi Alqur’an pun menggunakan kata ummat bahkan untuk
seseorang yang memiliki banyak keistimewaan atau jasa, yang biasanya hanya dimiliki oleh
beberapa orang.

Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata ummat dalam Alqur’an sangat
lentur dan fleksibel. Tidak ada batas minimal atau maksimal untuk suatu persatuan. Alqur’an
juga menjelaskan bahwa manusia mulanya memang berasal dari satu keturunan, dan
kemudian berkembang menjadi golongan-golongan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.
Tuhan menghendaki adanya bangsa-bangsa, dengan proses yang dilakukan umat manusia
yang secara sepakat ingin bersatu menjadi suatu golongan dari yang terkecil hingga terbesar.

Alqur’an mengakui manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial.


Manusia berasal dari satu pasang kemudian berkembang biak, lalu berkelompok-kelompok,
berbangsa-bangsa, menurut suku, wilayah, dan bisa menurut ras, dsb, tetapi dalam
bertanggung jawab kepada Allah tentang amal perbuatannya adalah secara individu. Dalam
QS 49:13 tersebut dijelaskan bahwa Tuhan memandang tinggi rendahnya derajat martabat tiap
orang tergantung pada tingkat takwa masing-masing individu. Dasar kemuliaan manusia
bukan keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaannya kepada Allah.

122
5.2. Kerukunan

Bermacam-macam suku, golongan, bahasa, etnis, ras, kulit, adat istiadat manusia
merupakan salah satu bentuk dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Hal tersebut ditegaskan dalam
QS. 30 (Al-Rum) : 22.Pengelompokan dalam suku bangsa tidak boleh menyebabkan
fanatisme buta, apalagi menimbulkan sikap superioritas, dan pelecehan. Harmoni sosial hanya
akan terwujud apabila masing-masing anggota masyarakat saling menghargai dan
menghormati.

Agama Islam adalah agama damai. Dari arti etimologisnya, “Islam” artinya selamat,
damai, sejahtera dan berserah diri (kepada Tuhan Yang Maha Esa). Kita tidak ingin
mengganggu pemeluk agama lain, baik dengan cara memaksa, atau menghalang-halangi
mereka dalam menjalankan agamanya. Sebaliknya kita pun tidak ingin diganggu pemeluk
agama lain. Inilah hakikat kedamaian. Kita bersikap toleran terhadap semua umat sebagai satu
umat manusia. Tetapi tidak dalam arti kita mencampur-adukkan ajaran-ajaran agama dalam
satu paham “sinkretisme”. Kita masing-masing tetap dalam agama, kepercayaan dan sistem
pengamalan agama kita masing-masing.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, kita menemukan keragaman dalam berbagai bidang,


seperti suku bangsa, bahasa daerah, adat istiadat, budaya, warna kulit dan sebagainya, tetapi
kita sepakat untuk bersatu membentuk suatu bangsa yang besar, “Bangsa Indonesia” dalam
suatu Negara Kesatuan Rebublik Indonesia. Meski kita berbeda bahasa daerah, tapi kita
sepakat untuk mempergunakan satu bahasa nasional Bahasa Indonesia. Kita terikat dalam
suatu kesepakatan bersama untuk membangun suatu negara kesatuan dengan semboyan
“Bhineka Tunggal Ika”. Meski kita berbeda tapi tetap satu. Kita bersatu dalam keberagaman.

5.3. Islam dan Toleransi

Kata toleransi berasal dari bahasa latin tolerare yang berarti bertahan atau memikul.
Toleran disini diartikan saling memikul walaupun pekerjaan itu tidak di sukai, atau
memberikan tempat kepada orang lain, walaupun kedua belah pihak tidak sependapat
(Siagian, 1993:115). Dengan demikian, toleransi menunjuk pada adanya suatu kerelaan untuk
menerima kenyataan adanya orang lain yang berbeda. Menurut Wabste’s New America
Dictionary, arti toleransi adalah liberty toword the option others, patients with other
(memberikan kebebasan (membiarkan) pendapat orang lain berlaku sabar menghadapi orang
lain). Toleransi diartikan memberikan tempat kepada pendapat yang berbeda. Pada saat
bersamaan sikap menghargai pendapat yang berbeda itu disertai dengan sikap menahan diri
atau sabar. Oleh kerena itu, diantara orang-orang yang berbeda pendapat harus
memperlihatkan sikap yang sama, yaitu saling menghargai dengan sikap yang sabar.

Persamaan kata toleransi dalam bahasa Arab adalah kata tasamuh. Tasamuh dalam
bahasa Arab berarti membiarkan suatu untuk dapat saling mengizinkan dan saling
memudahkan. Dari kata tasamuh tersebut dapat diartikan agar diantara mereka yang berbeda
pendapat hendaknya bisa saling memberikan tempat dalam berpendapat. Masing-masing
kelompok yang berbeda pendapat memperoleh hak untuk mengembangkan pendapat dan
tidak saling menjegal satu sama lain.

Dari beberapa pendapat di atas toleransi dapat diartikan sebagai sikap menenggang,
memberikan, membolehkan, baik berupa pendirian, kepercayaan, dan kelakuan yang dimiliki

123
seseorang atas yang lainnya. Dengan kata lain toleransi adalah sikap lapang dada terhadap
prinsip-prinsip orang lain. Toleransi tidak berarti seorang harus mengorbankan kepercayaan
atau prinsip yang di anutnya. Dalam toleransi sebaliknya tercermin sikap yang kuat atau
istiqomah untuk memegang keyakinan atau pendapat sendiri.

Toleransi adalah suatu sikap menenggang rasa dengan menghargai, membiarkan atau
membolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan orang lain
yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sikap ini perlu dan penting dimiliki
setiap orang, kelompok, golongan yang hidup dalam masyarakat yang pluralistik (yang terdiri
dari berbagi suku, agama, budaya, bahasa, kebiasaan, adat-istiadat) seperti halnya dalam
masyarakat kita di Indonesia. Semboyan yang merekat kehidupan kita menjadi satu bangsa
yang bersatu “Bhineka Tunggal Ika” sangat sesuai dengan jiwa dan sikap hidup bertoleransi
ini.

Dalam setiap agama, begitu juga dalam Islam kehidupan toleransi sangat dianjurkan.
Anjuran ini dapat kita petik dari berbagai ayat Alqur’an antara lain:

a. Manusia diciptakan oleh Allah mulanya dari satu pasang kemudian berkembang biak
dan dijadikannya bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar satu sama yang lain saling
kenal mengenal, dan berlomba meningkatkan ketakwaannya kepada Allah. Karena
kemuliaan yang hakiki disisi-Nya adalah orang yang paling bertakwa.
b. Tidak boleh dan tidak seyogyanya seseorang atau satu golongan manusia menghina,
mencela, mencemooh memperolok-olok orang lain. Boleh jadi yang dicemooh lebih baik
dari yang mencemooh.
c. Dalam kehidupan beragama tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikuti agama
yang dianutnya.
d. Sekalipun Allah telah menurunkan agama Islam sebagai agama yang benar dan agar
umat manusia mengimaninya, tetapi Allah memberi kebebasan kepada umat manusia
sebagai pertanggungjawaban pribadi, apakah ia mau beriman kepada Allah atau mau
kufur kepada-Nya.

Toleransi secara aktif adalah sikap turut serta merasakan perasaan atau pikiran yang
sama dengan orang atau kelompok lain, seperti ikut serta merasakan sedih dan turut
belasungkawa atas bencana, musibah yang menimpa tetangga, kenalan, sahabat, tanpa
membedakan agama, suku, golongan dsb. Sebagai sesama manusia, kita merasakan perasaan
tetangga itu. Begitu juga kalau ada tetangga yang kekurangan, yang mengalami kesulitan
dalam hidup. Agama Islam mengajarkan sikap toleransi. Nabi Muhammad SAW mengatakan:
“Tidak beriman seseorang yang tidur kenyang sedang tetangganya tidak bisa tidur karena
lapar.”Toleransi dalam sikap pasif bisa berarti memberikan kebebasan (membiarkan) orang
lain untuk melakukan kesukaannya sesuai dengan bakat, kesenangan, pekerjaan, hobi, adat
istiadat, atau mungkin menjalankan ajaran agamanya. Akan tetapi perlu diingat bahwa batas-
batas kebebasan melakukan sesuatu dalam rangka bertoleransi hendaklah memperhatikan
kebebasan orang lain. Seorang pemuda yang senang musik umpamanya ia bebas untuk
menyetel musik yang ia sukai, tetapi kebebasannya terbatas dengan kebebasn orang lain yang
sedang membutuhkan ketenangan, umpamanya sedang belajar, sedang tidur dsb.

Dalam sejarah kehidupan umat Islam sikap toleransi telah diletakkan pada saat awal
Nabi Muhammad SAW. membangun Negara Madinah. Nabi melihat adanya pluralitas yang
terdapat dikota Madinah. Pluralitas yang dihadapi Nabi antara lain tidak hanya karena
perbedaan etnis semata, tetapi juga perbedaan yang disebabkan agama. Madinah tidak besifat

124
homogen dengan agama, tetapi di Madinah disamping sebagian penduduknya beragama
Islam, terdapat pula penduduk yang bergama Yahudi bahkan Watsani. Melihat pluralitas
keagamaan ini Nabi berinisiatif untuk membangun kebersamaan dalam kehidupan bangsa
yang berbeda agama. Inisiatif itu kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan Piagam
Madinah. Dalam pandangan Nurholish Madjid (1992:195), Piagam Madinah merupakan
dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama dan berusaha.
Bahkan sesungguhnya Nabi menjamin keamanan ummat non Islam dimana saja, sepanjang
masa, sepanjang mereka saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

Contoh lain dari wujud toleransi Islam terhadap agama diperlihatkan oleh Umar Ibn al-
Khaththab. Umar Ibn al-Khaththab membuat pernjanjian dengan penduduk Yerusalem setelah
kota suci itu ditaklukkan oleh kaum muslimin. Isi perjanjian tersebut antara lain berbunyi: Ia
(Umar) menjamin mereka keamanan untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja
dan salib-salib mereka, serta yang dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan untuk beragama
secara keseluruhan. Gereja–gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, tidak
akan dikurangi sesuatu apapun dari gareja–gareja itu dan tidak pula dari lingkungannya.
Kebijakan politik yang dilakukan baik Nabi maupun Umar diatas tentu dengan dasar-dasar
pijakan yang terdapat dalam Al-Quran.

Ketentuan Allah didalam Al-Quran menjadi dasar tentang adanya kebebasan manusia
untuk menentukan pilihan atas agama. Prinsip–prinsip itulah yang seharusnya menjadi dasar
kebijakan politik umat Islam pada zaman modern ini, sebagaimana prinsip-prinsip kebebasan
beragama yang terjadi pada zaman klasik, tetapi hal itu kelihatannya jauh dari kenyataan saat
ini. Dalam hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar
umat Islam berbuat baik dan bertindak adil dengan siapapun yang tidak memerangi umat
Islam. Islam mengutamakan terciptanya suasana perdamaian. Adanya kerjasama yang baik
antara umat Islam dengan umat bergama lain tidakkah menjadi halangan dalam Islam. Dalam
QS. 60 (Al-Mumtahanah) : 7-8 secara tegas Allah juga menjelaskan, bahwa sikap toleran
umat Islam dapat menimbulkan rasa simpati umat non Islam, dan hal itu bisa memotivasi
lahirnya iman di dalam dada mereka.

Seiring arti toleransi di atas yaitu memberikan tempat kepada orang yang berbeda
agama, tidak berarti mengakuai kebenaran semua agama. Toleransi tidak dapat diartikan
melakukan pembenaran semua agama dan tidak pula diartikan kesediaan untuk mengikuti
ibadah-ibadah agama lain. Allah telah menentukan bahwa agama yang diridhoi di sisi-Nya
hanyalah agama Islam. Antara agama Islam dengan agama kenabian mungkin ditemukan
adanya persamaan, tidak ada perbedaan dalam beberapa hal, yang menurut keyakinan Islam,
hal itu karena semula agama tersebut juga berasal dari Allah, tetapi dalam perkembangan
terjadi campur tangan manusia. Begitu pula agama Islam dan agama bukan kenabian,
kemungkinan terdapat persamaan, terutama dalam ajaran moralnya, karena akal budi manusia
bisa sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang sejalan dengan wahyu. Islam merupakan
agama fitrah, yang mampu dikenali dalam ajaran kemanusiaannya dengan pikiran dan hati
nurani yang jernih. Itulah sebabnya, Islam berkali-kali menegaskan untuk menegakkan yang
ma’ruf dan mencegah yang munkar, yang mampu dikenali dengan potensi diri manusia yang
jernih.

Toleransi harus dibedakan dari kompromisme, yaitu menerima apa saja yang dikatakan
orang lain asal bisa menciptakan kedamaian dan kerukunan, atau saling memberikan dan
menerima demi tercapai kebersamaan. Kompromisme tidak dapat diterapkan dalam
kehidupan beragama. Kompromisme dalam beragama akan melahirkan corak keagamaan

125
yang sinkretik. Nabi Muhammad SAW pernah diminta kaum musyrik Mekah ikut melakukan
ibadah menurut ajaran mereka, dan mereka secara bergiliran akan melakukan peribadahan
menurut ajaran yang disampaikan oleh Nabi, yaitu Islam. Menghadapi ajakan kaum musyrik
tersebut Allah menurunkan wahyu dalam QS. 109 (Al-Kafirun) : 1-6.

Betapun baiknya ajaran Islam tentang bagaimana seharusnya ummat Islam bersikap
terhadap kaum agama lain, tetapi apabila menyangkut akidah dan pelaksanaan ibadah tidak
terjadi kompromi di dalamnya. Ibadah adalah kekhasan hubungan manusia dengan Allah, dan
hanya Allah sendiri yang mengetahui cara yang harus dilakukan umat manusia untuk
beribadah kepada Allah, Tuhannya tersebut. Karena itu umat manusia harus mengikuti cara-
cara yang telah diperintahkan oleh Allah.

5.4. Kerukunan Umat Beragama Dengan Pemerintah

Dalam QS. 4 (Al-Nisa’) : 59 secara tegas Allah memerintahkan mentaati Ulil Amri
disamping taat kepada Allah dan Rasul-Nya.Pemerintah adalah orang yang diberikan amanah,
kepercayaan untuk memimpin agar tercipta kehidupan yang harmonis, yang aman, yang
sejahtera, yang dilindungi oleh Allah sebagaimana digambarkan dalam QS. 34 (Saba’).
Program-program Pemerintah tidak akan dapat berjalan dengan baik kalau tidak didukung
oleh rakyat. Begitu pula sebaliknya, keinginan dan usaha rakyat juga tidak akan membuahkan
hasil dengan baik kalau tidak didukung oleh Pemerintah. Karena itu diperlukan kebersamaan
antara rakyat dengan Pemerintah untuk menciptakan kehidupan yang aman, sentosa, makmur,
dan memperoleh ampunan Allah.

6. Pengembangan Budaya, Seni, dan Iptek Berdasar Ajaran Agama Islam


6.1. Pengembangan Budaya Islam
6.1.1. Pengertian Budaya Islam

Budaya atau kebudayaan atau kultur menurut definisi Sir Edward B. Taylor dari
pertengahan abad ke-19 adalah “Keseluruhan kompleks yang terbentuk di dalam sejarah dan
diteruskan dari angkatan ke angkatan melalui tradisi yang mencakup organisasi sosial:
ekonomi, agama, kepercayaan, kebiasaan, hukum, seni, teknik dan ilmu.” Dari definisi ini
dapatlah disimpulkan bahwa kebudayaan dapat mencakup rohani dan maddi (material), baik
potensi-potensi, maupun keterampilan (Inggris: technique; Yun: technikos, dari techne =
keterampilan, kepandaian membuat/mencapai sesuatu). Kebudayaan selalu bersifat sosial,
karena tidak ada kebudayaan perseorangan, melainkan selalu meliputi sekelompok manusia:
suku, sukubangsa, dan bangsa (nation). Kebudayan juga mengalami evolusi, dan perubahan
dari masa ke masa. Maka kebudayaan erat kaitannya dengan sejarah, perkembangan ilmu dan
kreasi manusia (berevolusi dan historic). Dalam pengertian sempit ada yang membatasi
dengan seni dan ilmu. Di dalam arti ini orang berbudaya adalah orang yang berilmu dan
mencintai seni. (lihat Ensiklopedi Indonesia, Van Hoeve, Jilid 1, hal 531-532).

Islam sebagai agama sempurna yang seimbang antara mementingkan kehidupan akhirat
dan tak melupakan dunia, sangat membuka luas upaya manusia dalam menciptakan berbagai
kreasi, berbagai bentuk dan warna budaya untuk kemakmuran hidup di dunia ini. Dalam
Kerangka Dasar Ajaran Islam atau ruang lingkup ajaran agama Islam, bidang ini
dikategorikan sebagai ”muamalah”. Islam menghargai budaya yang muncul dari berbagai
masyarakat sebagai suatu kekayaan peradaban. Tradisi-tradisi, adat istiadat, dan aturan-aturan

126
yang mewarnai perilaku masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari tidak dilarang
selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

Banyak kita temukan bentuk yang sama dan juga berbeda dalam perikehidupan kaum
muslimin di berbagai belahan bumi, umpamanya: mode pakaian, bahasa, masakan dan
makanan, adat istiadat, sistem pendidikan, hukum, ekonomi, dan tata cara pergaulan sehari-
hari, pemerintahan, penciptaan alat-alat tradisional maupun modern, dsb. Dalam
perkembangannya, ada diantaranya yang tetap mempertahankan budaya lama, dan ada lagi
yang berubah, dan kadang berakulturasi antara berbagai budaya masyarakat. Justru Islam
menganjurkan agar dalam menciptakan kemajuan-kemajuan peradaban, sebagai bagian dari
budaya manusia, berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik dan terunggul.

6.1.2. Ruang Lingkup Budaya Islam

Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw memang turun dan berkembang
bermula di Jazirah Arab. Juga, baik Nabi Muhammad saw sendiri maupun sumber ajaran
Islam, Alqur’an dan Sunnah berbahasa Arab. Contoh-contoh kasus, seperti jenis makanan,
cara makan-minum, berpakaian, kendaraan, tata cara kehidupan banyak yang khas
Arab dan dikemukakan dalam tataran kehidupan di zaman Nabi hidup, abad ke-6 dan ke-7 M.
Tidak dapat disangkal, beberapa corak budaya Arab, sedikit banyak ada pengaruhnya
terhadap kehidupan masyarakat muslim di berbagai belahan bumi. Malah ada pula kelompok
masyarakat yang ingin meniru sedekat-dekatnya tata-cara kehidupan sehari-hari seperti Nabi
yang khas Arab itu. Sebagai contoh untuk meniru Nabi, orang memakai jubah, surban,
memelihara jenggot, dsb. Apakah boleh? Tentu ya boleh, tetetapi Nabi sendiri mengatakan
bahwa hal-hal yang berkaitan dengan agama, seperti soal akidah dan ibadah, kepadanyalah
kita merujuk dan meniru, tapi dalam masalah dunia, yang erat kaitannya dengan budaya dan
peradaban yang lebih berdimensi urusan dunia, dia mengatakan, ”Anda lebih tahu tentang
dunia Anda”. Tentulah Nabi tahu akan sifat budaya dan peradaban dari masa ke masa, dari
suatu tempat ke tempat lain, memang selalu berubah dan terus berkembang, sehingga karakter
agama Islam yang menghendaki kemudahan dan tidak menginginkan kesulitan, tidak mau
membelenggu umat yang memiliki sifat berubah dan berkembang.

Alqur’an memiliki kata-kata, kalimat-kalimat dengan istilah yang kaya makna. Suatu
kata umpamanya telah ditemukan maknanya di suatu zaman, tapi di zaman lain, makna itu,
dapat berubah dan berkembang. Sebagai contoh kita ambil, kata: sayyaroh (dulu artinya
kafilah, atau para pelancong yang berkelompok-kelompok, kini artinya mobil yang jenisnya
sangat banyak); sulthon (yang dulu artinya kekuasaan, atau penguasa, kini ada yang
mengartikannya sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi atau iptek. Qalam yang dulu artinya
pena, kini ada yang mengartikannya sebagai teknologi informasi, atau apa saja media alat
menyebarkan ilmu pengetahuan dan informasi.

6.1.3. Perspektif Alqur’an dan Sunnah Tentang Budaya Islam

a. Ayat-ayat Alqur’an Tentang Budaya Islam

Salah satu unsur budaya yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat adalah
bahasa. Alqur’an yang diturunkan dengan bahasa Arab, selain memang kitab ini sangat kaya
makna, juga mengandung keindahan sastra, mudah dihafal dan enak didengar. Jutaan orang

127
menyimpan mushafnya, dan setiap orang muslim belajar membacanya, menghafalnya
sebagian atau seluruhnya, dan ada pula oang-orang yang secara khusus menggali makna,
terjemahan, tafsir dan takwilnya. Setiap orang dalam masyarakat dituntut untuk berbudaya,
berkreasi menciptakan hal-hal yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Budaya
yang baik dalam Islam dikenal sebagai amal shalih. Amal shalih tidak terbatas pada ibadah
saja, bahkan segala perbuatan, aktivitas, kreasi, ciptaan-ciptaan seni berupa sesuatu yang
bermanfaat bagi masyarakat adalah amal shalih. Dalam istilah lain budaya di dalam Alqur’an
dikenal dengan kasab (usaha, perbuatan, tindakan, perkataan, kreasi, dsb).

Kasab bisa berupa perbuatan (budaya) yang baik dan bermanfaat, dan bisa pula berupa
perbuatan (budaya) yang buruk. Budaya buruk seperti ketidak pedulian pada lingkungan,
membabat hutan semena-mena, membuang sampah sembarangan, dsb. Berbudaya di dalam
Alqur’an juga dikenal sebagai “musta’mir” (pemakmur), beramal dan berbuat berbagai hal
serta menciptakan alat-alat (teknologi) untuk memakmurkan bumi.

b. Sunnah Rasulullah SAW Tentang Budaya Islam

Budaya adalah usaha, perbuatan, perkataan, tindakan, ciptaan, kreasi, yang telah
menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Nabi SAW mengingatkan, yang artinya: "Allah
menyenangi pekerja, yang melakukan pekerjaannya dengan baik” (HR. Ath-Thabrani).
Budaya dan kebiasaan bertegur sapa menurut Sunnah Nabi Muhammad saw dijelaskan, yang
artinya: " (Agar kiranya) yang muda memberi salam kepada yang tua (lebih besar), yang
berjalan kepada yang duduk, dan yang sedikit kepada yang banyak.” (HR. Muttafaq 'alaih).
Budaya memakai tangan kanan. Suatu hal yang perlu dipertahankan dan dididikkan kepada
anak-anak dan keluarga, supaya dalam memberi, menerima dan melakukan hal-hal yang baik
dan terpuji dilakukan dengan memakai tangan kanan sebagaimana sabda Rasulullah saw yang
artinya: "Jika Anda makan, makanlah dengan tangan kanan, minum dengan tangan kanan,
mengambil dengan tangan kanan, dan memberi dengan tangan kanan.” (HR. Al-Hasan bin
Saifan). Budaya saling menolong dan menghargai pertolongan perlu terus dipertahankan dan
dalam ragka ini budaya saling mengungkapkan rasa terima kasih juga demikian.

6.1.4. Konsep Pengembangan Budaya Islam


a. Tujuan Pengembangan Budaya Islam

Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk memasuki agama kita, karena memang tidak
ada paksaan dalam beragama. Akan tetapi kebiasaan-kebiasaan umat Islam dalam
melaksanakan agamanya dengan baik, akan menjadi daya tarik yang kuat bagi umat lain
untuk sekurang-kurangnya bersimpati kepada agama Islam. Banyak hal yang khas dari
budaya Islam yang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Budaya mudik pada hari
lebaran umpamanya, adalah khas budaya Islam Indonesia. Budaya-budaya lain seperti
bersalam-salaman, menerima tamu dengan ramah, murah senyum, dan saling memaafkan,
agar tetap dipertahankan sebagai budaya yang mulia.

Budaya meliputi juga ilmu dan seni perlu ditingkatkan dan dikembangkan supaya
menjadi sistem pergaulan yang baik dalam masyarakat. Dalam mengembangkan budaya,
agama Islam tidak menutup kesempatan untuk saling menerima dan memberi dengan
perilaku, adat istiadat yang telah ada dalam masyarakat. Selama hal itu tidak merusak akidah
dan ibadah, kita tidak menutup diri untuk menerima budaya itu sebagai bagian dari tata hidup.

128
Justru salah satu maksud dari pengembangan budaya Islam adalah untuk menghapus dan
membebaskan umat dari perilaku syirik umpamanya, atau melenyapkan budaya-budaya yang
dilarang dan bertentangan dengan agama Islam.

b. Ketentuan Dalam Pengembangan Budaya Islam

Islam dapat menerima seluruh hasil karya manusia selama sejalan dengan ajaran Islam.
Namun demikian, perlu kehati-hatian dalam menginterpretasi ajaran Islam dibidang budaya
agar disatu sisi tidak menimbulkan kesulitan, dan disisi lain tidak terjebak dalam persoalan
subhat. Dalam konteks ini, perlu digarisbawahi bahwa Alquran memerintahkan kaum
muslimin untuk menegakkan kebajikan, memerintahkan perbuatan ma’ruf (hal yang sudah
dekenal oleh orang banyak sebagai kebaikan) dan mencegah perbuatan mungkar (hal yang
berlawanan dengan kebaikan). Ma’ruf merupakan budaya masyarakat yang sejalan dengan
nilai-nilai agama Islam, sedangkan mungkar adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan
ajaran Islam.

Dari sini, hendaknya setiap muslim memelihara nilai-nilai budaya yang ma’ruf dan
sejalan dengan ajaran Islam, dan ini akan mengantarkan mereka untuk memelihara hasil seni
budaya setiap masyarakat yang bermanfaat. Seandainya terdapat pengaruh yang negatif dan
dapat merusak adat-istiadat serta kreasi seni dari suatu masyarakat, maka kaum muslimin
daerah itu harus tampil mempertahankan ma’ruf yang diakui oleh masyarakatnya, serta
membendung setiap usaha, dari manapun datangnya, yang dapat merongrong ma’ruf tersebut.
Bukankah Alqur'an memerintahkan untuk menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang
munkar. Islam dengan demikian sangat menghargai segala kreasi manusia, termasuk kreasi
manusia yang lahir dari penghayatan rasa manusia terhadap seluruh wujud ini, selama kreasi
tersebut sejalan dengan fitrah kesucian jiwa manusia.

6.1.5. Kegunaan Budaya Islam

Adakah kegunaan budaya Islam? Ya, tentulah sangat berguna, dan sangat banyak
gunanya, karena kebudayaan merupakan suatu identitas umat. Ada ungkapan, ”Jangan lihat
sepatu seseorang, tapi perhatikan berapa jauh dia melangkah”. Sepatu adalah alat melangkah,
tapi kalau sepatu tak dipakai untuk melangkah apa gunanya? Islam adalah agama yang bagus
dan terpuji, memiliki aturan-aturan yang luas dan lengkap agar pemeluknya dapat berhubngan
dengan Tuhannya (hablun minallah) dan tampil berwibawa di dalam gelanggang dunia, dalam
tataran pergaulan ummat manusia (hablun minannas). Tapi kalau umatnya tidak mau
menjalankan aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya dengan baik dan benar, sehingga berperilaku
yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, maka hal itu ibarat orang memiliki sepatu yang bagus
tetapi tidak dipakai untuk melangkah. Budaya yang baik, dan perilaku terpuji, merupakan
ajaran utama dalam agama Islam.

Orang Islam hendaknya menjadi orang yang berbudaya mulia dan terpuji. Arti asli dari
Islam sebagai damai dan cinta kedamaian, merupakan pijakan yang pas dalam
mengembangkan budaya Islam, sehingga sikap toleransi, tenggang rasa, ramah, saling
memaafkan, tidak pendendam, dan segala bentuk akhlak terpuji tampil dan muncul dari
perilaku yang membudaya dalam masyarakat Islam. Sebaliknya perilaku teror, senang
membuat huru hara, beringas, tidak menenggang rasa, penyebar fitnah, dsb bukanlah datang

129
dari ajaran Islam. Umat Islam seyogyanya menjadi ummat yang mulia, terpuji dan pelopor
kebaikan, kedamaian dan keadilan.

6.2. Pengembangan Seni Islam


6.2.1. Pengertian Seni Islam

Secara umum kata atau term seni berarti ‘halus’(tt. rabaan); kecil dan halus; tipis dan
halus; ‘lembut dan tinggi (tt. suara), ‘mungil dan elok’ (tt. badan). Seni adalah keahlian
membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya); karya yang
diciptakan dengan keahlian yang luar biasa, seperti tari, lukisan, ukiran. (KBBI, 2002: 1037).
Makna lain dari seni adalah kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi
(luar biasa; orang yang berkesanggupan luar biasa; genius. (KBBI, 2002: 1038). Menurut
Gazalba sebagaimana dikutip oleh M. Asy’ari seni adalah manifestasi dari budaya manusia
yang memenuhi estetika. Inti dari seni adalah usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang
menyenangkan, baik dalam bidang seni sastra, seni musik, seni tari, seni rupa maupun seni
drama. (M. Asy’ari, 2007: 170 ). Seni Islam menurut Seyyed Hossein Nasr merupakan hasil
dari pengejewantahan keesaan pada bidang keanekaragaman yang merefleksikan kandungan
prinsip keesaaan Ilahi, kebergantungan seluruh keanekaragaman kepada Yang Esa,
kesementaraan dunia dan kualitas-kualitas positif dari kosmos atau makhluk sebagaimana
difirmankan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran Surat 3: 191. (Nasr, 1993: 18). Sedangkan
seni Islam menurut Quraish Shihab dalam Rizali adalah ekspresi tentang keindahan wujud
dari sisi pandangan Islam tentang Islam, hidup dan manusia yang mengantar menuju
pertemuan sempurna antara kebenaran dan keindahan (Shihab dalam Rizali, 2012: 3)

6.2.2. Perspektif Alquran dan Sunnah Tentang Seni

Allah adalah pecinta dan pencipta seni, maka Alquran merupakan karya seni pertama
dalam Islam yang merupakan standar keindahan bagi seni umat Islam (al-Faruqi dalam
Asy’ari, 2007: 171). Menurut penilaian Hukum Islam, kesenian pada dasarnya adalah mubah,
jaiz, boleh. Karya seni yang merupakan karya ibadah (pengabdian) adalah yang bercirikan:
Pertama, ikhlas karena Allah sebagai titik tolak; Kedua, mardhatillah sebagai titik tuju;
Ketiga, amal shaleh sebagai jalan hidup. (Zainuddin, 2010: 329).

Ada beberapa seni yang masih jadi perdebatan hukumnya dikalangan umat Islam yaitu
musik dan lukisan. Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Buhkari disebutkan bahwa kelak
akan ada dari umatku yang menghalalkan zina, khamr, dan alat-alat music. (al-Munajid
dalam Asy’ari, 2007: 171). Menurut Asy’ari, nyanyian yang dilarang oleh Allah adalah isi
nyanyian yang dapat menyesatkan dan mematikan hati manusia. Tapi jika nyanyian-nyanyian
spiritual yang isinya bernafaskan Islam dan mengajak pada kebaikan diperbolehkan. Kata
Nasr, oleh para sufi, nyanyian dan musik dijadikan sebagai sarana untuk membuka khazanah
kebenaran Ilahi. (Nasr, 1993: 172).

Berkenaan dengan menggambar, ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari-
Muslim, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang melukis gambar (makhluk hidup)
ini, kelak di hari kiamat bakal disiksa dan disuruh kepada mereka ‘hidupkan hasil lukisanmu
itu’”, sementara dalam riwayat yang sama ada penjelasan “Kita diperbolehkan menggambar
pemandangan alam dan hal-hal lain yang tidak bernyawa” (Al-Hafidh dalam Asy’ari, 2007:
171). Larangan menggambar dalam hadis tersebut adalah larangan menggambar hal-hal yang

130
bernyawa, tetapi diperbolehkan menggambar obyek yang lain seperti pemandangan alam. Dan
menurut al-Faruqi dalam Asy’ari kegiatan menggambar pemandangan alam ini harus
ditingkatkan sebagai proses penemuan di dalam alam akan esensi meta natural (al-Faruqi
dalam Asy’ari, 2007: 171).

Norma-norma yang harus dijadikan pegangan dalam berkesenian menurut Islam, yaitu:
a. Dilarang melukis lukisan yang bersifat pornografi serta melukis hal-hal yang bernyawa.
b. Dilarang menciptakan hikayat yang menceritakan dewa-dewa, kebiasaan pengarang yang
mengkritik Tuhan.
c. Dilarang menyanyikan lagu-lagu yang berisikan kata-kata yang tidak sopan (cabul).
d. Dilarang memainkan musik yang merangsang kepada gerakan-gerakan sensual.
e. Dilarang berpelukan antara laki-laki dan perempuan atas nama tarian.
f. Dilarang menampilkan drama dan film yang melukiskan kekerasan, kebencian, dan
kekejaman.
g. Dilarang memakai pakaian yang memamerkan aurat. (Gazalba dalam Asy'ari, 2007: 172)

6.2.3. Konsep Pengembangan Seni Islam

Perkembangan seni Islam diawali dari adanya perpaduan antara peradaban orang-orang
Arab dengan beranekaragam peradaban penduduk asli Timur Tengah dan Timur Dekat, serta
terjadinya perpaduan dari berbagai jenis kebudayaan di bawah naungan Islam. Seni artistik
yang memiliki perspektif nilai Islam telah diwariskan oleh kaum muslimin baik yang
berkebangsaan Arab maupun non Arab pada seni Islam. Para seniman muslim berusaha
menunjukkan konsep tauhid dalam karya seninya.

Bentuk-bentuk seni yang ada pada masa awal adalah :

a. Puisi.
Jenis puisi yang di izinkan Islam yaitu yang sifatnya Islami. Para penyair puisi harus
membawakan konten puisinya sesuai dengan nilai Islam dan mengungkapkan cita-cita
Islam lewat syair. Tokoh-tokoh penyair Islam diantaranya adalah Hasan bin Tsabit dan
Ka’b bin Zuhayr.
b. Masjid.
Konsep masjid pada awal perkembangan seni Islam adalah Islamis, namun tenaga atau
tukangnya bukan orang Islam. Pada masa itu, agama asal negara dan kebangsaan sang
tukang kurang penting. Contohnya masjid Al-Nabawi (Masjid Nabi) di Madinah dibangun
abad pertama hijriyah/abad ke-7 M, Masjid Jami’ Al-Umawi (Masjid Umayyah) di
Damaskus, dan Qubbat al-Sakhra (Kubah Batu) di Yerussalem dibangun tahun 72 H/691
M. oleh Khalifah Abdul Malik. (M. Abdul Jabbar Beg, 1988: 3 dan 13).

Kebangkitan Seni Islam pada abad pertengahan terjadi pada bidang:


a. Seni sastra.
Tokoh seni sastra yang dikenal masa ini yaitu Jalaluddin Muhammad bin Muhammad Al-
Balkhi Al-Qanawi atau Jalaludin Rumi. Karyanya yang terbesar, yaitu "Diwani Syamsi
Tabriz" dan "Al-Masnawi" Karya-karyanya yang lain adalah Maqabati Syamsi Tabriz,
Rubaiyyat dan Maktubat. Dari karya-karya ini kemudian ia dikenal sebagai tokoh aliran
sufi mualawiyah. Selain Jalaluddin Rumi, ada penyair sufi Inda yaitu Malik Muhammad
Jayadi dengan karya alegorisnya yang mengandung pesan kebajikkan berjudul
Padmawat.   

131
b. Seni kaligrafi
Seni kaligrafi adalah seni menulis indah dengan media kertas, dinding bangunan, kayu
daun pntu jendela, tiang yang menghiasi bangunan masjid, istana, makam, dan fasilitas
umum seperti perpustakaan, sekolah serta sarana lainnya. Seni ini sudah berkembang
sejak masa Nabi Muhammad saw.
c. Arsitektur.
Arsitektur yang berkembang pada zaman pertengahan adalah pencampuran antara seni
arsitektur Yunani, Romawi, Persia, dan Arab. Seni arsitektur ini bisa dilihat pada
bangunan masjid indah yang dibangun oleh Dinasti Usmani diantaranya adalah Masjid
Muhammad AI-Fatih, Masjid Sulaiman, Masjid Salim, dan beberapa masjid lainnya. Juga
masjid yang dibangun Dinasti Safawi di kota Isfahan, ibukota Safawi.

Menurut al-Faruqi dalam Rizali bahwa pada seni Islam terdapat enam karakteristik
estetis pengungkapan tauhid yang meliputi: Abstraction, Modular Structure, Successive
combinations, Repetition, dan Dynamism Intriccy. (Rizali, 2012: 5).

Diantara kaedah-kaedah (rambu-rambu) yang menjadi kriteria pengembangan seni


dalam Islam menurut Yusuf al-Qardhawi adalah :
a. Harus mengandung pesan-pesan kebijakan dan ajaran kebaikan diantara sentuhan
estetikanya agar terhindar laghwun (perilaku absurdisme, hampa, sia-sia),
b. Menjaga dan menghormati nilai-nilai susila Islam dalam pertunjukannya,
c. Tetap menjaga aurat dan menghindari erotisme dan keseronokan,
d. Menghindari semua syair, teknik, metode, sarana dan instrumen yang diharamkan syariah
terutama yang meniru gaya khas ritual religius agama lain (tasyabbuh bil kuffar) dan
yang menjurus kemusyrikan,
e. Menjauhi kata-kata, gerakan, gambaran yang tidak mendidik atau meracuni fitrah,
f. Menjaga disiplin dan prinsip hijab,
g. Menghindari perilaku takhonnuts (kebancian),
h. Menghindari fitnah dan praktik kemaksiatan dalam penyajian dan pertunjukannya,
i. Dilakukan dan dinikmati sebatas keperluan dan menghindari berlebihan (israf dan
tabdzir) sehingga melalaikan kewajiban kepada Allah.

Menurut Islam, seni bukan sekedar untuk seni yang absurb dan hampa nilai (laghwun).
Keindahan bukan berhenti pada keindahan dan kepuasan estetis, sebab semua aktivitas hidup
tidak terlepas dari lingkup ibadah yang universal. Seni Islam harus memiliki semua unsur
pembentuknya yang penting, yaitu : jiwanya, prinsipnya, metode, cara penyampaiannya,
tujuan dan sasarannya. Motivasi seni Islam adalah spirit ibadah kepada Allah SWT, bukan
mencari popularitas ataupun materi duniawi semata.

Seni Islam harus memiliki risalah dakwah melalui sajian seninya, yaitu melalui tiga
pesan :
a.   Ketauhidan dengan menguak dan mengungkap kekuasaan, keagungan dan transendensi
(kemahaan-Nya) dalam segala-galanya, ekspresi dan penghayatan keindahan alam,
ketakberdayaan manusia dan ketergantungannya terhadap Allah, prinsip-prinsip Uluhiyah
dan 'Ubudiyah.
b.   Kemanusiaan dan penyelamatan HAM serta memelihara lingkungan, seperti  mengutuk
kedzaliman/penindasan, penjajahan, perampasan hak, penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan, memberantas kriminalitas, kejahatan, kebodohan, kemiskinan, perusakan
lingkungan hidup, menganjurkan keadilan, kasih sayang, kepedulian sosial, dsb.

132
c.   Akhlak dan kepribadian Islam, seperti pengabdian, kesetiaan, kepahlawanan atau
kesatriaan, solidaritas, kedermawanan, kerendahan hati, keramahan, kebijaksanaan,
perjuangan atau kesungguhan, keikhlasan, dst. Juga penjelasan nilai-nilai ke-Islaman
dalam berbagai segi yang menyangkut keluarga dan kemasyarakatan, pendidikan,
ekonomi, dan politik.

Seni adalah sesuatu yang bersifat abstrak, dapat dipandang, didengar dan disentuh oleh
jiwa tetapi sulit dinyatakan melalui kata-kata. Sukar untuk mentakrifkan seni secara tepat
sesukar untuk menerangkan konsep keindahan dan kesenangan itu sendiri. Al-Farabi
menjelaskan bahwa seni adalah ciptaan yang berbentuk keindahan. Al-Ghazali juga
menjelaskan bahwa seni adalah kerja yang berkaitan dengan rasa jiwa manusia yang sesuai
dengan fitrahnya.

 Menurut perspektif Islam, daya kreatif seni adalah dorongan atau desakan yang
diberikan oleh Allah yang perlu digunakan sebagai bantuan untuk ‘memeriahkan/
mensyiarkan’ kebesaran Allah. Berseni haruslah beralamatkan kepada perkara-perkara makruf
(kebaikan), halal, dan berakhlak. Jiwa seni mestilah ditundukkan kepada fitrah asal kejadian
manusia kerana kebebasan jiwa. Dalam membentuk seni hendaklah menurut kesucian
fitrahnya yang dikaruniakan Allah. Fungsi seni lebih kurang sama dengan akal supaya
manusia menyadari keterkaitan antara alam, Ketuhanan dan rohani atau dengan alam fisikal.
Lantas ia menyadari keagungan Tuhan dan keunikan penciptaan-Nya. Konsep kesenian
menurut perspektif Islam ialah membimbing manusia ke arah konsep Tauhid dan pengabadian
diri kepada Allah. Seni dibentuk untuk melahirkan manusia yang benar-benar baik dan
beradab. Motif seni beralamatkan kebaikan dan berakhlak. Selain itu, seni juga seharusnya
lahir sebagai satu proses pendidikan yang bersifat positif dan tidak lari dari pada batas-batas
syariah.

6.2.4. Kegunaan Seni Islam

Alquran sendiri memperhatikan nada dan langgam ketika memilih kata-kata yang
digunakannya setelah terlebih dahulu memperhatikan kaitan antara kandungan kata dan pesan
yang ingin disampaikannya. Sebelum seseorang terpesona dengan keunikan atau
kemukjizatan kandungan Al-Quran, terlebih dahulu ia akan terpukau oleh beberapa hal yang
berkaitan dengan susunan kata-kata dan kalimatnya, antara lain menyangkut nada dan
langgamnya.

Walaupun ayat-ayat Alquran ditegaskan oleh Allah bukan syair, atau puisi, namun ia
terasa dan terdengar mempunai keunikan dalam irama dan ritmenya. Ini disebabkan karena
huruf dari kata-kata yang dipilihnya melahirkan keserasian bunyi, dan kemudian kumpulan
kata-kata itu melahirkan pula keserasian irama dalam rangkaian kalimat ayat-ayatnya.
Bacalah misalnya surat Al-Syams, atau Al-Dhuha atau Al-Lahab dan surat-surat lainnya, atau
baca misalnya surat Al-Nazi’at ayat 15-26.

Yang ingin digarisbawahi di sini adalah nada dan irama yang unik itu. Ini berarti bahwa
Allah sendiri berfirman dengan menyampaikan kalimat-kalimat yang memiliki irama dan
nada. Nada dan irama itu tidak lain dari apa yang kemudian diistilahkan oleh sementara
ilmuwan Alquran dengan Musiqa Alquran (Musik Alquran). Ini belum lagi jika ditinjau dari
segi ilmu tajwid yang mengatur antara lain panjang pendeknya nada bacaan, bahkan belum
lagi dari lagu-lagu yang diperkenalkan oleh ulama-ulama Alquran. Imam Bukhari, dan Abu

133
Daud meriwayatkan sabda Nabi yang artinya: “Perindahlah Alquran dengan suara kamu.”
Bukankah semua ini menunjukkan bahwa “menyanyikan” Alquran tidak terlarang, dan karena
itu menyanyi secara umum pun tidak terlarang kecuali kalau nyanyian tersebut tidak sejalan
dengan tuntunan Islam. Apakah seni suara (nyanyian) harus dalam bahasa Arab? Ataukah
harus berbicara tentang ajaran Islam? Dengan tegas jawabannya adalah: Tidak.

6.3. Pengembangan IPTEK Dalam Islam

6.3.1. Pengertian Iptek

Iptek singkatan dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kata ilmu adalah pengetahuan
tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang
dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di (bidang pengetahuan) itu.
Pengetahuan berasal dari kata ”tahu” (mengerti) sesudah melihat (menyaksikan), mendengar,
atau mengalaminya sendiri. Pengetahuan itu akan menjadi suatu ilmu setelah disusun dan
dirumuskan secara sistematis. Dalam agama Islam istilah ilmu sangat dikenal, bahkan di
dalam Alquran kata ilmu dengan berbagai bentuknya disebutkan dengan berulang-ulang
sebanyak 854 kali. Kata ini digunakan berkaitan dengan arti suatu proses pencapaian
pengetahuan dan obyek pengetahuan.

‘Ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar
katanya mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata ‘alamun jamaknya a’lam
(bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘alam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dan sebagainya.
Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini berbeda
dengan ‘arafa (mengetahui), ‘arif (yang mengetahui), dan ma’rifah (pengetahuan).

Allah tidak dinamakan ‘arif, tetapi ‘alim, yang berkata kerja ya’lam (Dia Mengetahui),
dan biasanya Alquran menggunakan kata itu untuk Allah Yang Maha Mengetahui, walaupun
ghaib, tersembunyi, atau dirahasiakan. Perhatikanlah: ya’lamu maa fi al-arhaam (Allah
mengetahui sesuatu yang berada di dalam rahim), maa tahmil kullu untsa (apa yang
dikandung oleh setiap betina/perempuan), maa fi anfusikum (yang di dalam dirimu), maa fis
samawat wa maa fil ardh (yang ada di langit dan di bumi), khaainat al-‘ayun wa maa tukhfy
ash-shuduur (kedipan mata dan yang disembunyikan dalam dada). Demikian juga ‘ilm yang
disandarkan kepada manusia, semuanya mengandung makna kejelasan. Dalam pandangan
Alquran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-
makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercermin dari kisah kejadian
manusia pertama yang dijelaskan dalam QS.2 (Al-Baqarah) : 31 dan 32:

Teknologi, adalah kemampuan teknik dalam pengertiannya yang utuh dan menyeluruh,
bertopang kepada pengetahuan ilmu-ilmu alam yang bersandar kepada proses teknis tertentu.
Sedangkan teknik adalah pengetahuan dan kepandaian membuat sesuatu yang berkenanan
dengan hasil industri (bangunan, mesin dsb). Istilah teknik, berasal dari bahasa Yunani
teknikos, artinya dibuat dengan keahlian. Secara luas, teknik adalah semua manifestasi dalam
arti materiil yang lahir dari daya cipta manusia untuk membuat segala sesuatu yang
bermanfaat guna mempertahankan kehidupan. Dalam arti klasik, teknik adalah ilmu
pengetahuan dalam pengertian luas, yang bertopang kepada ilmu-ilmu alam dan eksakta yang
mewujudkan ilmu-ilmu: perencanaan, konstruksi, pengamanan, utilitas, tepat guna, dan
sebagainya dari semua bangunan teknik, sipil maupun militer.

134
Menelusuri pandangan Alquran tentang teknologi, mengundang kita menengok sekian
banyak ayat Alquran yang berbicara tentang alam raya. Menurut sebagian ulama, terdapat
sekitar 750 ayat Alquran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya, dan yang
memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan
berulang-ulang Alquran menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan Allah
untuk manusia.

Penundukan tersebut secara potensial, terlaksana melalui hukum-hukum alam yang


ditetapkan Allah dan kemampuan yang dianugerahkan-Nya kepada menusia. Segala sesuatu
di alam raya ini memiliki ciri dan hukum-hukumnya. Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki
ukuran (QS.13:8). Matahari dan bulan yang beredar dan memancarkan sinar, hingga rumput
yang hijau subur atau layu dan kering, semuanya telah ditetapkan oleh Allah sesuai ukuran
dan hukum-hukumnya. Semua yang berada di alam raya ini tunduk kepada-Nya. Benda-benda
alam apalagi yang tidak bernyawa tidak diberi kemampuan memilih, tetapi sepenuhnya
tunduk kepada Allah melalui hukum-hukum-Nya. Pada sisi lain, manusia diberi kemampuan
untuk mengetahui ciri hukum-hukum yang berkaitan dengan alam raya sebagaimana
diinformasikan oleh Allah dalam QS.2 (Al-Baqarah) : 31.

Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini
berarti manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya. Adanya potensi itu dan tersedianya
lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap
perintah dan hukum-hukum Allah, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian
mengenai hukum-hukum tersebut. Karenanya, semua itu mengantarkan manusia berpotensi
untuk memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Allah. Keberhasilan memanfaatkan alam
itu merupakan buah teknologi.

Dalam ayat-ayat di atas tergambar dua ciri pokok ulil albab, yaitu tafakkur dan dzikir.
Kemudian keduanya menghasilkan natijah yang diuraikan pada ayat 195. Natijah bukanlah
sekadar ide-ide yang tersusun dalam benak, melainkan melampauinya sampai kepada
pengalaman dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh dapat ditambahkan
bahwa “khalq as-samawat wal ardh” disamping berarti membuka tabir sejarah penciptaan
langit dan bumi, juga bermakna “memikirkan tentang sistem tata kerja alam semesta”. Karena
kata khalq selain berarti “penciptaan”, juga berarti “pengaturan dan pengukuran yang cermat”.
Pengetahuan tentang hal terakhir ini mengantarkan ilmuwan kepada penciptaan teknologi
yang menghasilkan kemudahan dan manfaat bagi umat manusia. Jadi dapatlah dikatakan
bahwa teknologi merupakan sesuatu yang dianjurkan oleh Alquran

Ini berarti bahwa sains dan hasil-hasilnya harus selalu mengingatkan manusia terhadap
kehadiran dan Kemahakuasaan Allah, selain juga harus memberi manfaat bagi kemanusiaan,
sesuai dengan prinsip Bismi Rabbik. Teknologi dan hasil-hasilnya disamping harus
mengingatkan manusia kepada Allah, juga harus mengingatkan bahwa manusia adalah
khalifah yang kepada-Nya tunduk segala yang berada di alam raya ini.

6.3.2. Ayat-ayat Alqur’an Tentang Iptek

Alquran memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan


ilmiahnya. Jangankan manusia biasa, Rasulullah Muhammad saw pun diperintahkan berusaha
dan berdoa agar selalu ditambah pengetahuannya: Qul Rabbi zidni ‘ilma (berdoalah [hai

135
Muhammad], “Wahai Tuhanku, tambahkanlah untukku ilmuku”) (QS Thaha, 20:114), karena
fauqa kullu dzi ‘ilmin ‘aliim (di atas setiap yang berilmu ada yang lebih mengetahui.

Manusia memiliki naluri selalu haus akan pengetahuan. Rasulullah SAW bersabda:
“Dua keinginan yang tidak pernah puas, keinginan menuntut ilmu dan keinginan menuntut
harta.” Hal ini dapat menjadi pemicu manusia untuk terus mengembangkan teknologi dengan
memanfaatkan anugerah Allah yang dilimpahkan kepadanya. Karena itu, laju teknologi
memang tidak dapat dibendung. Hanya saja menusia dapat berusaha mengarahkan diri agar
tidak memperturutkan nafsunya untuk mengumpulkan harta dan ilmu/tekologi yang dapat
membahayakan dirinya. Agar ia, tidak menjadi seperti kepompong yang membahayakan
dirinya sendiri karena kepandaiannya, Allah telah menjelaskannya d dalam QS.10 (Yunus) :
24.

Alqur`an memuji sekelompok manusia yang dinamainya “albab”. Objek ilmu meliputi
materi dan non materi, fenomena dan non fenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dapat
dilihat, diketahui manusia pun tidak. Dari sini jelas pula bahwa pengetahuan manusia amatlah
terbatas. Alqur`an ketika mula pertama diturunkan, telah menegur kekeliruan yang dilakukan
manusia. Selama di era kejahilan, Tuhan-tuhan diciptakan dan disembah sebagai berhala.
Masyarakat tersentak ketika muncul suatu informasi bahwa “diri mereka” sendiri diciptakan
secara berproses dari segumpal darah kemudian diciptakan menjadi manusia, lalu lahir ke
dunia. Agar mereka belajar, mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan
membaca, mencoba, memperhatikan, menyelidiki dan merumuskan suatu teori. Kesemuanya
hendaklah dilakukan dengan berbasis iman, dengan menyebut nama Tuhan atau mengucap
“bismi rabbika allazi khalaq” (Membaca dan belajar dengan nama Tuhanmu Yang
Menciptakan).

Tuhan mengajar manusia (wa `allama Aadamal asma-a kullaha), mengajari Adam
nama-nama benda seluruhnya. Alam semesta ini sebagai kosmos yang berarti “serasi,
harmonis.” Dalam bahasa Arab “alam” adalah satu akar kata dengan ilmu (ilmu pengetahuan)
dan `alamah (alamat, pertanda). Disebut demikian karena jagad raya ini adalah pertanda
adanya Yang Maha Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu sebagai pertanda
adanya Tuhan, jagad raya ini disebut ayat-ayat yang menjadi sumber ajaran dan pelajaran bagi
manusia. Salah satu pelajaran dan ajaran yang diambil dari pengamatan terhadap alam
semesta ialah keserasian, keharmonisan dan ketertiban. Hakikat kosmos adalah teologis, yakni
penuh maksud, memenuhi maksud penciptanya, dan kosmos bersifat demikian adalah karena
adanya rancangan (teknologi). Alam tidaklah diciptakan dengan sia-sia, atau secara main-
main. Alam bukanlah ada secara kebetulan, ada dengan tidak disengaja. Alam diciptakan
dengan kondisi sempurna.

Alqur’an sangat konsen dalam mendorong manusia untuk terus mencari ilmu
pengetahuan dan mengembangkannya menjadi nyata dalam teknologi agar manusia
menyadari akan kebesaran Pencipta-Nya. Apapun yang akan ditemukan oleh manusia dalam
kemajuan ilmu dan teknologi akan mengantar manusia pada suatu pengakuan terhadap
kebesaran dan kekuasaan Allah sebagai Pencipta.

Diantara ayat-ayat Alqur'an ada yang berbicara tentang teknologi khusus, seperti :
a. Teknologi Transportasi: QS.16 (Al-Nahl)
b. Teknologi Informasi: QS.96 (Al-'Alaq) : 4-5
c. Teknologi Antariksa: QS.55 (Al-Rahman) : 33.

136
6.3.3. Sunnah Rasulullah SAW Tentang Iptek

Sunnah-sunnah Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang iptek sangat banyak karena
memang Islam sangat memperhatikan iptek. Karena itu hanya sebagian kecil saja yang dinukil
dalam tulisan ini, yaitu :

a. Dari Abud Darda` RA, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda yang artinya:
“Barangsiapa menempuh suatu jalan yang padanya dia mencari ilmu, maka Allah akan
mudahkan dia menempuh jalan dari jalan-jalan (menuju) jannah, dan sesungguhnya para
malaikat benar-benar akan meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu, dan
sesungguhnya seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampun untuknya oleh makhluk-
makhluk Allah yang di langit dan yang di bumi, sampai ikan yang ada di tengah lautan
pun memintakan ampun untuknya. Dan sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu
atas seorang yang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas
seluruh bintang, dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi
tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka hanyalah mewariskan
ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka sungguh dia telah mengambil bagian
yang sangat banyak.” (HR. Abu Dawud no.3641, At-Tirmidziy no.2683, dan isnadnya
hasan, lihat Jami’ul Ushuul 8/6)

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud RA, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah
SAW bersabda yang artinya:
“Semoga Allah memuliakan seseorang yang mendengar sesuatu dari kami lalu dia
menyampaikannya (kepada yang lain) sebagaimana yang dia dengar, maka kadang-
kadang orang yang disampaikan ilmu lebih memahami daripada orang yang
mendengarnya.” (HR. At-Tirmidziy no. 2659 dan isnadnya shahih, lihat Jaami’ul Ushuul
8/18)
b. Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW beliau bersabda yang artinya:
“Apabila seorang keturunan Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali
dari tiga hal: shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau seorang anak shalih
yang mendo’akannya.” (HR. Muslim no.1631)
c. Adapun pahala menuntut ilmu Rasululllah saw. bersabda: “Orang yang menuntut ilmu
berarti menuntut rahmat; orang yang menuntut ilmu berarti menjalankan rukun Islam dan
pahala yang diberikan kepadanya sama dengan pahala para nabi.” (H.R. Ad-Dailami dari
Anas RA.).
d. Nabi Muhammad saw juga sangat menghargai orang yang berilmu. “Ulama adalah
pewaris para Nabi” Begitu sabdanya seperti yang dimuat dalam HR Abu Daud.
e. Bahkan Nabi tidak tanggung-tanggung lebih menghargai seorang ilmuwan daripada satu
kabilah, :“Sesungguhnya matinya satu kabilah itu lebih ringan daripada matinya seorang
‘alim.” (HR Thabrani)
f. Seorang ‘alim juga lebih tinggi dari pada seorang ahli ibadah yang sewaktu-waktu bisa
tersesat karena kurangnya ilmu. “Keutamaan orang ‘alim atas orang ahli ibadah adalah
seperti keutamaan diriku atas orang yang paling rendah dari sahabatku.” (HR At-
Tirmidzi).
g. Nabi Muhammad SAW mewajibkan ummatnya untuk menuntut ilmu. “Menuntut ilmu itu
wajib bagi muslimin dan muslimah” begitu sabdanya. “Tuntutlah ilmu dari sejak lahir
hingga sampai ke liang lahat.”

137
h. Perintah untuk berguru sangat dianjurkan walaupun harus sampai kenegeri Cina. “Uthlubul
‘ilma walaw bishshiin”, Hadits ini diriwayatkan dari jalan Abu ‘Atikah Al Bashri, dari
Anas bin Malik.
i. Sabda Rasulullah SAW: "Apabila kamu melewati taman-taman surga, minumlah hingga
puas. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud taman-taman surga
itu?” Nabi SAW menjawab, “Majelis-majelis taklim.” (HR. Ath-Thabrani)
j. “Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke
surga.” (HR. Muslim.
k. "Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang ‘abid (ahli ibadah) ibarat bulan
purnama terhadap seluruh bintang". (HR. Abu Daud )

6.3.4. Konsep Pengembangan Iptek

Dalam ajaran Islam, usaha pengembangan iptek merupakan bagian dari pengabdian
manusia kepada Allah, untuk meningkatkan kualitas ketakwaannya kepada Allah, sehingga
tidak ada kegiatan yang sia-sia atau yang hanya berakhir di kehidupan dunia ini semata.
Untuk meraih nilai pengabdian tersebut, pengembangan iptek harus memenuhi ketentuan sbb:

a. Niat karena Allah.


Karena menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap orang Islam, maka mengembangkan
iptek merupakan perwujudan ketaatan seorang muslim terhadap kewajiban tersebut. Niat
karena Allah dalam setiap usaha akan melandasi keikhlasan dan ketundukan pada aturan
Allah.
b. Mengintegrasikan pengetahuan yang disediakan oleh Allah dalam bentuk ayat-ayat kauniah
dan ayat-ayat tanziliah. Ayat kauniah adalah pengetahuan yang terhampar di alam
kehidupan dan ayat tanziliah adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw
berupa Alqur'an.
c. Berorientasi pada kemashlahatan umat manusia. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa
sebaik-baik manusia adalah orang yang paling tinggi kebaikannya terhadap orang lain.
Karena itu iptek jangan sampai menimbulkan kerugian bagi kehidupan umat manusia.
d. Menjaga keseimbangan alam. Kegiatan penelitian dalam rangka pengembangan iptek harus
memperhatikan keseimbangan alam, jangan sampai menimbulkan kerusakan yang dapat
mengganggu keseimbangannya yang justru akan merugikan manusia sendiri.
e. Menyadari bahwa iptek adalah hasil kerja manusia yang tidak dapat menghasilkan
kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak hanyalah datang dari Allah Yang Maha Mutlak.
karena itu kebenaran iptek harus diposisikan dibawah kebenaran mutlak yang ditunjukkan
oleh Allah.
f. Berorientasi pada keridhaan Allah. Tujuan tertinggi dari setiap amal usaha manusia adalah
tercapainya ridha Allah terhadap amal usahanya tersebut.

6.3.5. Tujuan Pengembangan Iptek

Alqur’an sangat konsen dalam mendorong manusia untuk terus mencari ilmu
pengetahuan dan mengembangkannya menjadi nyata dalam teknologi agar manusia
menyadari akan kebesaran Penciptanya. Apapun yang akan ditemukan oleh manusia dalam
kemajuan ilmu dan teknologi akan mengantar manusia pada suatu pengakuan terhadap
kebesaran dan kekuasaan Allah sebagai Pencipta:

138
Manusia bukan hanya dituntut menguasai bumi, malah ditantang untuk menerobos
langit, dan manusia memang juga diberi potensi-potensi untuk keluar batas-batas bumi agar
dapat mengamati alam semesta sebagai tanda-tanda kebesaran Allah, Penciptanya. Di dalam
Alqur'an, Allah menantang makhluk-Nya, jin dan manusia. Perkataan “sulthan” dalam ayat
QS. Al-Rahman memiliki arti “kekuatan”, dari masa ke masa membawa makna yang terus
berkembang. Kalau dulu mungkin diartikan sebagai sulthan (penguasa), sekarang ini arti
harfiah “penguasa” dan “kekuatan” lebih dapat disumbangkan oleh kekuatan dan kekuasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan iptek itu manusia telah dapat mencapai tepian ufuk
langit hingga sampai ke bulan, dan kini serta terus menerus tiada henti manusia terus
berupaya untuk menggapai cakrawala, ufuk langit yang lebih tinggi.

Sebaliknya menembus bumi dan langit tanpa ilmu pengetahuan dan teknologi akan sia-
sia. Petani dengan alat sederhana, seperti cangkul dan linggis umpamanya, seberapa dalamkah
ia dapat menggali menembus bumi. Paling dalam 10 sampai 20 m. Lebih dalam dari itu,
manusia sudah mulai memerlukan alat-alat yang lebih canggih, dan itu akan dapat dipenuhi
melalui teknologi. Dengan teknologi, manusia telah mampu menggali sampai jauh ke dasar
bumi, malah ke bawah dasar laut telah dibuat jalan kereta api, seperti terowongan yang
menghubungkan Inggris dan Prancis. Dengan teknologi manusia dapat mengirimkan robot-
robot untuk menyelidiki dasar laut. Malah ada yang telah mengancang-ancang ingin membuat
permukiman di dalam laut. Manusia bukan hanya dituntut menguasai misteri bumi, melainkan
juga diberi potensai-potensi ke luar batas-batas bumi guna menemukan dan meyakini
kebesaran Allah yang telah menciptakannya. Penundukan Allah terhadap alam raya bersama
potensi yang dimiliki manusia bila digunakan secara baik akan menimbulkan teknolgi. Karena
itu teknologi dan hasil-hasilnya di samping harus mengingatkan manusia kepada Allah
Pencipta alam semesta ini, juga memberi ingat agar manusia menyadari bahwa ia adalah
khalifah Allah yang dapat menundukkan alam semesta atas izin Penciptanya.

Alqur`an menyodorkan kepada manusia dengan pedoman sains-sains (pengetahuan)


yang berhubungan dengan pengetahuan bumi dan pengetahuan angkasa luar dan memberinya
dengan perlengkapan-perlengkapan agar memperoleh dan menyelidiki segala sesuatu demi
membuka dan membedah urai akan materi-materinya. Cara demikian yang mendorongnya
memperoleh segala sesuatu yang dapat dimungkinkan di dunia dan menggunakannya demi
mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Dengan teknologi, Tuhan menganjurkan kepada
jin dan manusia untuk mencoba meningkatkan kemampuannya supaya dapat menjelajahi
jarak-jarak yang sangat jauh dan yang sulit sekali ditempuh, kemana saja, termasuk juga ke
langit. Untuk menjelajah angkasa luar manusia telah menemukan teknologi antariksa, yaitu
suatu ilmu teknik dalam arti luas yang bertujuan memperoleh manfaat dari penempatan
peralatan, dan kesanggupan manusia untuk mengarungi dan bertempat tinggal di antariksa.
Dengan kapal udara dan jet, manusia dapat melesat dengan cepat menembus cakrawala,
menggapai langit dan luar angkasa. Malah sudah dikirim pesawat tanpa awak penjelajah
pelanet-planet yang dikirim selama bertahun tahun yang lalu sampai sekarang. Secara aktif
pesawat-pesawat tanpa awak itu mendeteksi dan mengirimkan berbagai informasi yang
direkamnya dari angkasa luar.

Setelah manusia diciptakan Allah tidaklah dibiarkan dalam kebodohan sehingga


makhluk ini mengembara di atas bumi dengan tidak berdaya. Tapi, Tuhan Yang Maha
Pengasih telah melimpahkan potensi berupa akal dan qalbu, diajarkannya untuk memahami
elemen-elemen alam lalu menyelidiki dan menggunakan benda-benda yang terpendam dalam
bumi dan yang tersebar di langit demi memenuhi kebutuhannya. Nama-nama benda telah
memberikan indikasi tata-nama lewat manusia yang dapat melihat dan mengerti tentang alam

139
serta karakteristik-karakteristiknya, dari segala benda-benda (segala sesuatu). Yang demikian
itu adalah jelas-jelas merupakan penghargaan yang sangat tinggi bagi manusia:

Manusia mulai berpikir dari apa yang telah diberikan kepadanya berbagai kekuatan dan
kemampuan untuk lebih mendalami rahasia-rahasia dunia fisik. Siapakah sebenarya yang
memberikan kekuatan dan kemampuan kecerdasan manusia untuk menguasi benda-benda
material dan memanfaatkannya demi mencukupi kebutuhannnya sendiri? Ini semua untuk
memberikan keuntungan, dari Allah, bahwa manusia diharapkan mampu mengemban amanah
sebagai khalifah-Nya di atas bumi.

Ingatlah “iqra’ bismirabikalladzi khalaq” (bacalah dengan nama Tuhanmu yang


Menciptakan", bukan Tuhan-tuhan yang diciptakan dan bukan pula tuhan yang tak mampu
menciptakan sesuatu). Itulah tempat manusia tunduk, bukan kepada alam dan segala yang
diciptakan. “`Allama bil-qalam” (yang mengajar dengan qalam). Apakah arti qalam? Makna
qalam terus berkembang dari zaman ke zaman, mulai dari alat tulis sederhana, sampai arti
qalam di abad modern ini, seperti: mesin tik, komputer, mesin-mesin percetakan, cetak jarak
jauh, internet, dan kini hand-phone dengan aneka fungsinya yang terus berkembang.
“Qalam” adalah alat tulis dan alat rekam, sebagai lambang teknologi, karena sesungguhnya
Tuhan bisa saja mengajar manusia bukan dengan cara biasa seperti umpamanya ia mengajar
para nabi dan orang-orang tertentu tanpa alat. Tetapi Tuhan hendak memberi pelajaran kepada
manusia, bahwa dengan alat manusia akan dapat menguasai alam dan menciptakan peradaban
yang lebih maju.

6.3.6. Kegunaan Iptek

Dari wahyu pertama ditemukan petunjuk tentang pemanfaatan ilmu. Melalui Iqra’
bismi Rabbika, digariskan bahwa titik tolak atau motivasi pencarian ilmu, demikian juga
tujuan akhirnya, haruslah karena Allah. Syaikh Abdul Halim Mahmud, mantan pemimpin
tertinggi Al-Azhar, memahami “Bacalah demi Allah” dengan arti untuk kemashlahatan
makhluk-Nya. Bukankah Allah tidak membutuhkan sesuatu, dan justru makhluk yang
membutuhkan Allah ?

Semboyan “Ilmu untuk ilmu” tidak dikenal dan tidak dibenarkan oleh Islam. Apapun
ilmunya, materi pembahasannya harus Bismi Rabbik, atau dengan kata lain harus bernilai
Rabbani, sehigga ilmu yang dalam kenyataan dewasa ini mengikuti pendapat sebagian ahli
“bebas nilai”, harus diberi nilai Rabbani oleh ilmuwan muslim. Umat Islam harus
menghindari cara berpikir tentang bidang-bidang yang tidak menghasilkan manfaat, apalagi
tidak memberikan hasil kecuali menghabiskan energi. Rasulullah saw sering berdoa: “Wahai
Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”Atas dasar ini pula,
berpikir atau menggunakan akal untuk mengungkap rahasia alam metafisika, tidak boleh
dilakukan. Artinya, hati harus dipergunakan untuk menjelajahi alam metafisika.

Menarik untuk dikemukakan bahwa ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang alam
raya, menggunakan redaksi yang berlainan ketika menunjukkan manfaat yang diperoleh dari
alam raya, walaupun objek atau bagian alam yang diuraikan sama. Perhatikan misalnya ketika
Alquran menguraikan as-samawat wal ardh. Dalam QS.2 (Al-Baqarah) :164, penjelasan
ditutup dengan menyatakan, la ayatin liqaum(in) ya’qilun (sungguh terdapat tanda-tanda bagi
orang yang berakal). Sedangkan dalam QS.3 (Ali Imran) :190, ketika menguraikan persoalan

140
yang sama diakhiri dengan kalimat la ayatin li-ulil albab (pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda bagi Ulil Albab atau orang-orang yang memiliki saripati segala sesuatu).

Inilah antara lain fashilat (penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang alam raya, yang
darinya dapat ditarik kesan adanya beragam tingkat dan manfaat yang seharusnya dapat diraih
oleh mereka yang mempelajari fenomena alam: yatafakkarun (yang berpikir), (QS.10
(Yunus):24), ya’lamun (yang mengetahui), (QS.10 (Yunus):5), yatadzakkarun (yang
mengambil pelajaran), (QS.16 (Al-Nahl) :13), ya’qilun (yang memahami), (QS.16 (Al-Nahl) :
12), yasma’un (yang mendengarkan), (QS.30 (Al-Rum) :23), yuuqinun (yang meyakini),
(QS.45 (Al-Jatsiyah) :4), al-mu’minin (orang-orang yang beriman), (QS.45 (Al-Jatsiyah) :3),
al’alimin (orang-orang yang mengetahui), (QS.30 (Al-Rum) :22).

Bagaimanakah hubungan antara agama dan ilmu, apakah tak berlawanan? Sama sekali
tidak! Dapat ditegaskan di sini bahwa tak pernah ada sarjana-sarjana muslim yang dibunuh
atau dipenjarakan seperti yang dialami Miklas Kopernigk (Latin: Nicolaus Copernicus) yang
mati merana pada tahun 1543 M, Giordano Bruno yang dibunuh pada tahun 1600 M, dan
Galileo Galilei yang mati merana di penjara pada tahun 1642 M (setelah dipaksa mengingkari
teorinya yang sejalan dengan teori Koppernigk) dibawah pengadilan iman (inquisition) Gereja
Roma. Atau seperti yang dialami oleh Miguel Serveto (Michael Servet) penemu peredaran
darah (dengan menukil dari Abu al-Hasan ‘Ali ibn an-Nafis, wafat 1288 M), yang dibakar
tahun 1553 M di bawah reformator Jean Calvin.

Sarjana-sarjana muslim bertolak dari Tauhid menganggap hukum-hukum alam sebagai


sunnatullah yang objektif, tertib dan teratur. Mereka tidak merancukan kepercayaan dengan
metoda pembahasan ilmiah atau memutarbalikkan fakta-fakta. Khurafat memang dilarang
oleh Islam. Mereka tidak dibelenggu oleh kedunguan-kedunguan gambaran alam semesta
yang dipunyai Ptolemaios dan dilindungi oleh gereja berdasarkan nash-nash kitab Kejadian
(1:6-8; 1:14-19 dan Kitab Yushak 10-12), Perjanjian Lama. Segala kesimpulan objektif tak
pernah berlawanan dengan Alquran dan Sunnah, bahkan Alquran mereka anggap selalu
memperkuat hasil-hasil penelitian ilmiah mereka.

Islam menjadi ahli waris pusaka kecendekiaan semua peradaban besar sebelumnya,
kecuali peradaban besar Timur Jauh, serta Islam menjadi sebuah tempat belindung di sebuah
jagat ruhani baru. Pasal ini haruslah diulangi, khususnya karena sekian banyak orang di Barat
keliru mengira, bahwa Islam hanya bertindak sebagai sebuah jembatan yang dilalui oleh
gagasan-gagasan masa purba diserahkan kepada Eropa abad-abad tengah. Sebetulnya tiada
sesuatu pun yang lebih jauh dari kebenaran, karena tak ada gagasan, teori, atau ajaran
memasuki benteng pikiran Islam, kalau tidak lebih dahulu dimuslimkan dan diutuh padukan
ke dalam pandangan dunia Islam yang menyeluruh. Apa pun juga yang tak dapat mengikat
perdamaian (salam) dengan Islam, lambat laun terusir dari gelanggang kehidupan cendekia
Islam atau sepenuhnya dibuang ke tepi permadani warna-warni ilmu pengetahuan Islam.

Tertarik oleh metoda ilmiah Islam seorang Katholik Roma anggota Ordo Fransiskan
dari Inggris bernama Roger Bacon (1214-1292) datang belajar bahasa Arab ke Paris antara
tahun 1240 dan 1250 serta antara 1257 dan 1268. Di sana terdapat banyak terjemahan buku-
buku ilmiah Islam ke dalam bahasa Latin dan juga naskah-naskah asli di dalam bahasa Arab.
Ada juga terdapat orang-orang Perancis yang pandai berbahasa Arab disamping mungkin
terdapat pula orang-orang muslimin Spanyol yang bekerja sebagai penerjemah.

141
Dengan modal bahasa Arab, Bacon kemudian mempelajari ilmu pasti dan ilmu
pengetahuan alam seperti juga beberapa orang sarjana Kristen lainnya pada masa itu. Dengan
membawa sejumlah besar buku-buku ilmiah Islam dari Paris kemudian antara tahun 1250 dan
1257 ia pulang dan melanjutkan pelajaran bahasa Arabnya pada Universitas Oxford. Beberapa
buah karya sarjana-sarjana muslim di antaranya Al-Manazhir karya ‘Ali al-Hasan ibn Haitam
(965-1038 M) diterjemahkannya ke dalam bahasa Latin, bahasa ilmiah Eropa pada masa itu.
Di dalam naskah-naskah tersebut terdapat keterangan-keterangan mengenai mesiu dan
mikroskop. Secara tak jujur ia mencantumkan namanya sendiri pada terjemahan-terjemahan
itu dan dengan demikian melakukan plagiat terang-terangan. Hal itu sama sekali berlainan
dengan yang dilakukan kaum muslimin dengan menerjemahkan karya-karya Phytagoras (±
530 - ± 495 pra-M), Plato (425 – 347 pra-M), Aristoteles (388-322 pra-M), Aritarchos (310-
230 pra-M), Euclides (lahir ± 330 pra-M) dan Klaudios Plotemaios (87-168 M) dan lain-lain
dengan menyebutkan pengarang-pengarang aslinya.

Kira-kira empat abad kemudian seorang Ingris lain bernama Francis Bacon (1561-1627)
menyebarkluaskan teori induksi dan percobaan-percobaan (experiment) ilmiah atau
empirisme ilmiah di dalam karya-karyanya The Advancement of Learning (1605), Novum
Organum (1620), De Augmentis Scientiarum (1623), Sylva Sylvarum (1624) dan New Atlantis
(1624). Dengan adanya penemuan cetak buku (1450) oleh Johann Gutenberg (1400-1468-an)
buku-buku tersebut telah dicetak dan sekalipun dibakar oleh gereja, sebagian dapat
diselamatkan dan kemudian dicetak ulang. Demikianlah Dunia Barat yang buta mengenai
asal-usul apa yang disebut Baconian philosophy itu kemudian telah mengasalkan (ascribed)
metoda ilmiah kepadanya. Barulah atas dasar metoda ilmiah itu kemudian ilmu pengetahuan
dan teknologi berkembang dengan pesat di Eropa dan Amerika Serikat. Kegiatan
menterjemahkan buku-buku ilmiah Islam sebenarnya memang telah dimulai oleh seorang
Perancis bernama Gerbert d’Aurignac (940-1003) ke dalam bahasa Latin, karena bahasa-
bahasa nasional belum lagi berkembang pada masa itu. Ilmu Gerbert yang bersekolah di
Catalonia, Spanyol Timur-Laut, pada masa itu demikian unggul dan menonjol, hingga di
kemudian hari ia menaiki tahta Paus sebagai orang Perancis pertama yang menjadi Paus
Sylvester II. Pengikutnya adalah Gerard de Cremona, lahir di Cremona, Lombardia, Italia
Utara. Ia tinggal di Toledo, Spanyol, dimana terdapat banyak kaum muslimin yang pandai
berbahasa Latin, di samping bahasa Spanyol. Dengan bantuan mereka ia telah selesai
menterjemahkan 92 buah buku ilmiah Islam ke dalam bahasa Latin, antara lain buku Al-Asrar
(Rahasia-rahasia) karya Abu Bakr Muhammad ibn Zakaria Ar-Razi (Razes, Rases, atau
Rhazes, 866-926) dan karya dokter Abul Qasim Az-Zahrawi (w. 926) tentang metoda
pembedahan, serta buku Abu Muhammad Dhiyauddin Al-Baithar (Alpetragius, w. 1248)
tentang ilmu tumbuh-tumbuhan. Kebangkitan kembali (renaissance) pada abad ke-14,
reformasi abad ke-15, rasionalisme abad ke-17, dan pencerahan (aufklaerung, enlightenment)
abad ke-18, memancar karya-karya ilmiah kaum muslimin itu, tetapi telah terlepas dari
Tauhid serta berubah menjadi antroposentrik dan menjadi duniawiah (secularistic).

Uraian di atas, mengemukakan bahwa buku-buku filsafat dan ilmiah dilatinkan dari atau
melalui bahasa Arab diakui sendiri oleh sarjana-sarjana Barat. Dr. W.F. Stuterheim berkata,
“Tak perlu dikatakan betapa besar peranan mereka (kaum muslimin) di dalam menyimpan
perbendaharaan Yunani bagi Barat pada suatu masa ketika Barat belum lagi berminat
kepadanya.” Berkata pula A. Armitage, “Dengan jalan ini kadang-kadang pada abad ke-12
sarjana-sarjana Kristen-Eropa memperoleh pemilikan Almagest karangan Ptolemaios dan
karya-karya ilmiah Aristoteles belum lagi ada di dalam asli-asli Yunaninya, melainkan di
dalam terjemahan-terjemahan Latin dari Bahasa Arab.”

142
Di bidang ilmu alam jumlah penemuan-penemuan mereka lebih besar lagi. Kesimpulan
ringkas berikut membuktikan pentingnya suatu pengetahuan tingkat tinggi mengenai ilmu
alam teoretik khususnya mengenai optika dan mengenai penciptaan-penciptaan alat-alat
mekanika yang paling berguna; penemuan bahan-bahan kimia yang paling pokok seperti
alkohol, asam sendawa dan asam belerang; tindakan-tindakan hakiki seperti penyulingan
(distilasi); penerapan kimia kepada farmasi dan perdagangan, terutama pembuatan oksida-
oksida dari logam-logam, pembuatan kertas dari kain-kain usang yang mereka jadikan
pengganti papyrus, atau kertas sutera Tiongkok. Mungkin merekalah yang pertama kalinya
menggunakan pedoman untuk pelayaran; betapapun juga merekalah yang membawa
penemuan pokok ini ke bawah perhatian Eropa.

Pada akhirnya penemuan senjata-senjata api. Pada tahun 1205 ‘Amir Ya’qub di dalam
pertempuran Mahdiyya telah menggunakan artileri sebagai senjata terakhir; pada tahun 1273
Sultan Abu Yusuf pada pertempuran Sijilmasa (di Maroko Selatan) mempergunakan meriam-
meriam. Pada tahun 1342 dua orang Inggris, Lord Derby dan Lord Salisbury, hadir pada
pertempuran Algericas, yang dipertahankan dengan cara yang sama oleh orang-orang Arab.
Ketika musafir-musafir ini telah menyaksikan daya akibat mesiu, maka mereka bawa
penemuan ini ke negeri mereka. Karena merekalah orang-orang Inggris di Cressy
mempergunakannya empat tahun kemudian.

Di dalam ilmu kedokteran kaum Muslimin mengikuti pengarang-pengarang Yunani


serta kemudian membuat kemajuan-kemajuan yang sangat pesat. Hampir seluruh pengetahuan
kedokteran Eropa pada kurun Renaissance berasal dari mereka. Kemajuan yang paling
menonjol yang mereka capai di dalam ilmu kedokteran ialah di dalam pembedahan; pelukisan
penyakit-penyakit; material medica (bahan-bahan obat) dan farmasi. Mereka menemukan
sejumlah cara kerja yang banyak di antaranya: penggunaan air dingin pada typhus, pada
zaman modern muncul kembali setelah berabad-abad dilupakan. Materia medica berutang
budi kepada mereka mengenai banyak obat-obatan seperti kassia, daun sena Mekah (obat
pencahar), kelembak, buah asam, kamper, alkohol, ammonia, dan lain-lain. Merekalah
pencipta-pencipta farmasi yang sebenarnya. Kebanyakan preparat-preparat yang sekarang
masih dipakai disandarkan asalnya kepada mereka: sirop, emulsi. pomade, salep, air sulingan
dan lain sebagainya.

Ilmu bedah berutang budi mengenai perkembangannya yang pertama kepada orang-
orang Arab. Karya mereka dipergunakan sebagai dasar bagi pengajaran pada fakultas-fakultas
kedokteran sampai belum lama berselang. Pada abad ke-sebelas hitungan tahun kita, mereka
telah mengetahui pengobatan catarac dengan pengenceran atau ekstrak kristalin; lithonomi;
pengobatan perdarahan-perdarahan dengan membasahinya dengan air dingin; pemakaian
obat-obatan yang menggigit kulit; seton-seton dan pembakaran dengan api. Pembiusan, yang
penemuannya dianggap dari jaman modern, rupa-rupanya telah mereka ketahui. Memang
mereka berbicara tentang kegemaran mereka akan pembiusan sebelum melakukan
pembedahan-pembedahan, agar si sakit dapat ditidurkan, hingga muncul hilangnya kesadaran
dan daya rasanya. Mereka pun mempunyai kepercayaan yang tak tanggung-tanggung akan
ilmu kesehatan di dalam pengobatan kedokteran serta menaruh kepercayaan yang besar akan
alat-alat bantuan alam. Ilmu kedokteran yang dinanti-nantikan yang sekarang tampak-
tampaknya merupakan kata putus ilmu pengetahuan modern, bersoal jawab dengan cara yang
sama

143
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Jabbar, M, Seni di dalam Peradaban Islam. Bandung: Pustaka, 1988


Abdullah, Abdul Gani. Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima 1947-1957, Disertasi ,Jakarta:
IAIN SyarifHidayatullah, 1987.
Abdullah, Taufik (editor), Ensiklopedi Tematik Dunia Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta,
2002.
Abdul Mujib, M.Ag. dan Jusuf Mudzakir, M.Si., Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2001
Abdurrahman, Asjmuni, H., Pengantar kepada Ijtihad ,Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Abdushshamad, Muhammad Kamil, Penerjemah Alimin, Lc., M.Ag. dkk., Mukjizat Ilmiah
dalam Alqur’an, Jakarta : Akbar, 2003.
Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), hlm. 47
Adabi Darban, Peranserta Islam Dalam Perjuangan Indonesia, Yogyakarta: UII, 1990.
Adams, Charles J. “Islam” dalam The Great Religions, New York: The Free Press, 1965.
Aghnides, Nicholas, P. Pengantar Ilmu Hukum Islam, Solo: SitiSyamsiah, 1984.
Agil Asshofie, Radikalisme Gerakan Islam, http://agil-asshofie.blogspot. com/2011/10/
radikalisme-gerakan-politik.html, diakses pada 25 Januari 2016.
Ahmad, Dasuki. Kamus Pengetahuan Islam, Kuala Lumpur: Pustaka, 1976.
Alatas, S.H., The Sociology of Corruption, Singapura: Times Internasional, 1980.
_____, Korupsi; Sifat, Sebab, dan Fungsi, Jakarta: LP3S, 1987.
Al-Attas, M. Al-Naquib. Islam and Secularism atau Islam dan Sekularisme, Kuala Lumpur:
Abim, 1978, Bandung: Pustaka, 1981.
Ali, Mohammad Daud, 1998, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Rajawali Pers
_____, Bangunan-bangunan Islam, Jakarta: Bintang, 1968.
Ali, Muhammad, Teologi Pluralis-Multikultural Menghargai Kemajemukan Menjalin
Kebersamaan, Jakarta : Kompas, 2003.
Anderson, Norman. Law Reform in the Muslim World, University of London the Athlone
Press, 1976.
Anshari, Endang Saifudin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Bandung: Pustaka, 1983
Anzar Abdullah, Gerakan Radikalisme Dalam Islam: Perspektif Historis, ADDIN, Vol. 10,
No. 1, Februari 2016.
Arnold, T.W., Sejarah Dakwah Islam, Jakarta: Widjaya, 1979.
Ar, Sirojuddin, dkk.1997. Ensklopedi Hukum Islam Jilid III. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve)
_____, Ensklopedi Hukum Islam Jilid V, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Ash-Shiddieqy, Hasbi TM. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1971.
_____, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Asy’arie, Musa, dkk. Menuju Masyarakat Anti Korupsi, Jakarta: Departeman Komunikasi dan
Informatika, 2005.
Aulawi, Wasit, HA. Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Pidato
Pengukuhan, Jakarta, IAIN, 1989.
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1996).
_____, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post-
Modernisme (Jakarta: Paramadina, 2006).
Basyir, Ahmad Azhar. Asas-asas Hukum Mu’amalat, Yogyakarta: UII, 1983.
144
Benda, H.J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan
Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1985.
_____, H.J. The Crescent and the Rising Sun, The Hague and Bandung: van Hoeve, 1958.
Boland, B.J., Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: Grafitipers, 1985.
Coulson, N.J. A History of Islamic Law, Edinburg: Edinburg University, Press, 1964.
Darwis Hude, M., Emosi Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam
A-Qur’an, Jakarta : Erlangga, 2006
David, Rene dan John E.C. Bierley. Major Legal Systems in the World Today, London:
Stevens & Sons Ltd., 1968.
Dede Rodin, Islam dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-ayat “Kekerasan” dalam Alqur’an,
Addin, Vol. 10, No. 1, Februari 2016.
Denffer, Ahmad Von. ‘Ulum al-Qur’an atau Ilmu Alqur’an’, Jakarta: Rajawali, 1989.
Departemen Agama RI, Dirjen Bimbaga Islam, Buku Teks Pendidikan Agama Islam, Bulan
Bintang, 2002.
_____, Alquran dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Alquran, Jakarta.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1997.
Dijk. C. Van., Darul Islam, Jakarta: Grafitipers, 1987.
Djatnika, Rahmat, 1990, Sistem Etika Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Edi Susanto, Kemungkinan Munculnya Paham Islam Radikal di Pesantren, dalam Jurnal
Tadris (Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam Pamekasan, 2007), Vol. 2, No. 1.
Faruki, Ismail. Al-Ahkam Al-Khamsah, the five values, dalam Islamic Studies (Journal), Vol.
V, Maret 1966 No. 1 Rawalpindi, Pakistan.
Federspiel, Howard., Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, New
York: Cornell Univ., 1970.
Gazalba. Sidi, Asas Ajaran Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Gibb, H.A.R. Mohammedanism, London: Oxford University Press, 1969.
Graaf, H.J. De, dan Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Jakarta:
Grafitipers, 1986.
Graaf H.J. De, Disintegrasi Mataram di Bawah Amangkurat I., Jakarta: Grafitipers, 1987.
_____, Runtuhnya Istana Mataram, Jakarta: Grafiti Pers, 1987.
Haekal, Muhammad Husein. Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Pustaka Jaya, 1979.
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
_____, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
_____,“Hubungan Timbal Balik antara Adat dan Syara’ di dalam Kebudayaan
Minangkabau”, Panji Masyarakat nomor 61/IV/1970.
Hanafi, A. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Hart, Michael H. Hart. The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History, New
York: Hart Publishing Company Inc., 1978.
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (Bandung:
Mizan, 1996).
Haryono, Anwar. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
Hasan, Ahmad. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: Pustaka, 1984).
_____. Al-Furqan, Jakarta: DDII, 1962.
Hassan, Mohd. Kamal. “Beberapa Pengamatan Umum tentang Ilmu-ilmu Kemasyarakatan
dan Pengajian Islam dalam Konteks Pembangunan Negara,” Makalah dalam Seminar
Islam di Pusat-pusat Pengajian Tinggi Asean, Bangi: UKM, 1978.
Hatta, Mohammad. Pengertian Pancasila, Jakarta: Idayu, 1978.
Hazairin. Kuliah Hukum Islam I 1954/1955, disusun oleh Mohammad Daud Ali, 1955.
_____, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, 1968.

145
Ibnu Miskawaih, Abu Ali Ahmad, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Penerjemah Heri Hidayat,
Bandung: Mizan.
Imarah, Muhammad, Dr., Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattanie, Islam dan Pluralitas
Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, Jakarta : Gema Insani Press,
1999
J.B. Banawiratma, ―Bersama Saudara-Saudari Beriman Lain: Perspektif Gereja Katolik,‖ in Dialog:
Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian Interfidei, 1993).
Kaelany, HD, Dr.MA., 2007, Islam Agama Universal, Jakarta: Midada Rahma Press.
_____, 2007, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Cet.2, Jakarta: Bumi Aksara
Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900, Jilid 1. Jakarta:
Gramedia, 1987.
Maarif, A. Syafii, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin,
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1988
Majelis Ulama Indonesia, Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: 1991.
Muhammad Harfin Zuhdi, Radikalisme Agama Dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman Keagamaan,
AKADEMIKA, Vol. 22, No. 01 Januari-Juni 2017.
Mujilan, Drs., M.Ag., dkk, 2009, Sistem Evaluasi Pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Departemen Agama RI
Mujilan, Drs, MA dan Dr. Nurwahidin, MA. MPK Pendidikan Agama Islam (bagi mahasiswa
Universitas Indonesia),Jakarta, Midada Press, 2013.
Nasution, Harun, 1995, Islam Rasional, Bandung: Mizan.
_____, 1978, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
_____, 1975, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan
Bintang
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1982.
_____, Partai Islam di Pentas Nasional, Jakarta: Grafitipers, 1987.
Qaiyim, Ibn, Drs., Islam Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni, dalam Islam Agamaku,
Buku Teks UP, Midada Rahma Press, Jakarta, 2008.
Qardhawi, Yusuf, Dr., Penerjemah KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., dkk., Peran Nilai dan
Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta : Rabbani Press, 2001
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: UGM Press, 1991.
Semma Manshur, Negara dan Korupsi – Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia
Indonesia, dan Prilaku Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Shafiyyurrahman, Syaikh, al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad
saw dari Kelahiran hingga Detik-detik Terakhir, Kantor Atase Agama Kerajaan Saudi
Mahdi Fadhlullah, Titik Temu Agama Dan Politik, Solo: Ramadhani, 1991.
Shabir, Majdi, Al-Mu’jam Al-Wasith, Egypt:Maktabah al-Shouruk al-Dauliyah, 2008.
Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996
_____, Wawasan al-Quran, Mizan, Bandung, 1999.
Thaba, Abdul Azis, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: GIP, 1996.
Tim Prima Pena, tt. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ttp : Gita Media Press.
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, Jakarta: Gema Insani Pers, 2002
Van Hoeve, tth., Ensiklopedi Indonesia, Jakarta : PT. Ikhtiar Baru, cet. Ke VI.
Yani, Ahmad, Panduan Memakmurkan Masjid, Jakarta : Khairu Ummah, 2012
_____, Melayani Jamaah Masjid, Jakarta Khairu Ummah, 2016
Yusuf al-Qaradhawi, as-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Juhudwa at-Tatarruf, cet. ke-1
(Kairo: Darasy-Syuruq , 2001).
Zakky Mubarak Syamrakh, Dr. Menjadi Cendikiawan Muslim (Kuliah Islam di Perguruan
Tinggi), Jakarta, Yayasan Ukhuwah Insaniah, 2010.

146
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyi Al-Kattani, dkk,
Jakarta : Gema Insani Pers, 2016

147

Anda mungkin juga menyukai