Disusun Oleh :
Kelompok 3
1. Alfian Dwi Saputro ( A11701515 )
2. Andi Rahmawan ( A11701516 )
3. Aninditya Anandari N. ( A11701520 )
4. Anggita Yuli Wijiastuti ( A11701519 )
5. Anisa Nur Ngaeni ( A11701522 )
6. Annisa Nurfina ( A11701523 )
7. Arni Zuhro ( A11701526 )
8. Askinatul Fuadah ( A11701529 )
9. Ayu Wulandari ( A11701532 )
10. Fahrunnisa Al Azizah ( A11701541 )
11. Fitria Khoirunnisa ( A11701550 )
12. Gea Andriani ( A11701552 )
KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
2020
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT. yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, dengan ini penulis panjatkan puji syukur atas kehadirat Alloh SWT.
yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kami sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan “Efektivitas Pemberian Oral Hygiene Pada Pasien Yang
Terpasang Ventilator Mekanik”
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan sampai
terselesaikannya Laporan “Efektivitas Pemberian Oral Hygiene Pada Pasien Yang
Terpasang Ventilator Mekanik” ini masih banyak kekurangan, maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kemajuan dan
perbaikan untuk masa mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1
1.2 Tujuan................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Oral Hygiene ...................................................................................... 3
2.2 Ventilator Mekanik............................................................................. 7
BAB III ANALISIS PICO
3.1 Tabel ................................................................................................... 22
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Jurnal 1............................................................................................... 26
4.2 Jurnal 2............................................................................................... 26
4.3 Jurnal 3............................................................................................... 27
4.4 Jurnal 4............................................................................................... 28
4.5 Jurnal 5............................................................................................... 29
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan......................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 31
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
kumur yang digunakan untuk menghilangkan bau mulut, obat kumur yang
bersifat aseptic adalah obat yang banyak digunakan untuk bidang
kedokteran gigi sebagai terapi berbagai kondisi klinis untuk mengurangi
pembentukan plak gigi dan mengurangi kejadian kerusakan gigi. Banyak
studi penelitian mengenai oral hygiene pada pasien yang terpasang
ventilator menggunakan terapi farmakologi Chlorhexidinen Glukonat dan
Povidone Iodine.
Sebuah jurnal penelitian “Komparasi Pemberian Hexadol dan
Chlorhexidine sebagai oral Hygiene terhadap pencegahan Ventilator
Associated Pneumonia (VAP)” penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbedaan CPIS pada pemberian Hexadol dan Chlorhexidine sebagai oral
hygiene terhadap pencegahan VAP pada pasien terpasang ventilator
mekanik. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa gambaran
CPIS sesudah oral Hygiene dengan Hexadol dan Chlorhexidine selama
instubasi terhadap pencegahan Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
selama perawatan di ruang IPI didapatkan 1 orang (3,33%) terkena VAP pada
kelompok perlakuan oral hygiene menggunakan chlorhexidine. Pengggunaan
oral hygiene 2 kali perhari menggunakan hexadol (hexetidine) sama baiknya
dengan penggunaan oral hygiene menggunakan Chlorhexidine pada pasien
terpasang ventilator mekanik untuk pencegahan Ventilator Associated
Pneumonia (VAP) diruang IPI sampai ekstubasi.
1.2 Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
8) Meningkatkan rasa nyaman dan meningkatkan harga diri dan
penampilan.
9) Pada pasien tidak sadar oral hygiene dilakukan untuk mencegah
penumpukan bakteri di orofaring
4
pembungkus handuk atau kasa pada ujung batang jari. Pasta gigi
membantu tetapi tidak perlu.
2. Kumur-kumur antiseptik
Terdapat berbagai bahan aktif yang sering digunakan sebagai
kumur-kumur, seperti metal salisilat, chlorhexidine 0,20% dan
H2O2 1,5% atau 3,0%. Kumur-kumur yang lebih murah dan cukup
efektif adalah dengan air garam hangat.
3. Dental flos atau benang gigi
Cara ini mulai banyak diperkenalkan dan cukup ampuh untuk
membersihkan di sela-sela gigi.
4. Pembersih lidah
Tumpukan debris di dorsum lidah penuh dengan kuman-kuman
oportunis serta candida yang bermukim sebagai flora normal
maupun transient.
5
a) Penderita diposisikan miring dengan kepala miring menghadap
petugas.
b) Pasang pengalas dibawah dada sampai dagu lalu letakkan
bengkok dibawah pipi.
c) Ambil air disemprotkan ke dalam rongga mulut, kemudian
letakkan suction dibawah lidah, ambil spattel dengan tangan
kiri untuk menekan dorsum lidah hingga mulut terbuka.
d) Kemudian berikan chlorhexidine 0,2% sebanyak 15 ml pada
area gigi, gusi, mulut dan lidah dengan kassa steril.
2) Oral Hygiene Teknik Komperehensif
6
2.2 Ventilator Mekanik
a. Definisi
Ventilator mekanik merupakan alat pernapasan yang menghasilkan
tekanan positif yang berfungsi untuk mengembangkan paru dan
pemberian oksigen sehingga dapat mempertahankan fungsi paru dalam
hal ventilasi. Bantuan ventilasi yang diberikan mesin ventilator dapat
berupa pemberian volume, tekanan, atau gabungan keduanya. Ventilasi
mekanik merupakan terapi defenitif pada klien kritis yang mengalami
hipoksemia dan hiperkapnia. Memberikan asuhan keperawatan pada
klien dengan ventilasi mekanik dilakukan antara lain pada unit
perawatan kritis, medikal bedah umum, bahkan di rumah (Sundana,
2018).
b. Klasifikasi
Ventilasi mekanik diklasifikasikan berdasarkan cara alat tersebut
mendukung ventilasi, dua kategori umum adalah ventilator tekanan
negatif dan tekanan positif (Shaila, 2010).
1) Ventilator Tekanan Negatif
Ventilator tekanan negatif mengeluarkan tekanan negatif pada
dada eksternal. Dengan mengurangi tekanan intrathoraks selama
inspirasi memungkinkan udara mengalir ke dalam paru-paru
sehingga memenuhi volumenya. Ventilator jenis ini digunakan
terutama pada gagal nafas kronik yang berhubungan dengan
kondisi neurovaskular seperti poliomyelitis, distrofimuscular,
sklerosisi lateral amiotrifik dan miastenia gravis. Penggunaan tidak
sesuai untuk pasien yang tidak stabil atau pasien yang kondisinya
membutuhkan perubahan ventilasi sering.
2) Ventilator Tekanan Positif
Ventilator tekanan positif menggembungkan paru-paru dengan
mengeluarkan tekanan positif pada jalan nafas dengan demikian
7
mendorong alveoli untuk mengembang selama inspirasi. Pada
ventilator jenis ini diperlukan intubasi endotrakeal atau
trakeostomi. Ventilator ini secara luas digunakan pada klien dengan
penyakit paru primer. Terdapat tiga jenis ventilator tekanan positif
yaitu tekanan bersiklus, waktu bersiklus dan volume bersiklus.
Ventilator tekanan bersiklus adalah ventilator tekanan positif yang
mengakhiri inspirasi ketika tekanan preset telah tercapai. Dengan
kata lain siklus ventilator hidup mengantarkan aliran udara sampai
tekanan tertentu yang telah ditetapkan seluruhnya tercapai, dan
kemudian siklus mati. Ventilator tekanan bersiklus dimaksudkan
hanya untuk jangka waktu pendek di ruang pemulihan. Ventilator
waktu bersiklus adalah ventilator mengakhiri atau mengendalikan
inspirasi setelah waktu ditentukan. Volume udara yang diterima
klien diatur oleh kepanjangan inspirasi dan frekuensi aliran udara.
Ventilator ini digunakan pada neonatus dan bayi. Ventilator volume
bersiklus yaitu ventilator yang mengalirkan volume udara pada
setiap inspirasi yang telah ditentukan. Jika volume preset telah
dikirimkan pada klien, siklus ventilator mati dan ekshalasi terjadi
secara pasif. Ventilator volume bersiklus sejauh ini adalah ventilator
tekanan positif yang paling banyak digunakan.
c. Prinsip Kerja
Prinsip utama kerja ventilator dalam memberikan bantuan ventilasi
adalah hubungan timbal balik antara volume dan tekanan. Pemberian
volume udara ke dalam paru, mengakibatkan pertambahan volume
udara serta tekanan di dalam paru, begitupun sebaliknya apabila
diberikan tekanan udara ke dalam paru, maka akan mengakibatkan
bertambahnya volume dan juga tekanan udara di dalam ruang paru.
Bantuan ventilasi yang diberikan oleh mesin ventilator dapat berupa
8
pemberian volume, tekanan (pressure) atau gabungan keduanya
volume dan tekanan. Sesuai dengan prinsip kerja dari ventilator
adalah memberikan tekanan positif ke dalam paru yang akan
mengakibatkan pengembangan ruang di dalam paru sehingga volume
dan tekanan udara di dalam paru pun ikut bertambah Gambaran
ventilator mekanik yang ideal adalah (Sinderby, et al., 2012):
1) Sederhana, mudah dan murah
2) Dapat memberikan volume tidak kurang 1500cc dengan frekuensi
nafas hingga 60X/menit dan dapat diatur ratio I/E.
3) Dapat digunakan dan cocok digunakan dengan berbagai alat
penunjang pernafasan yang lain.
4) Dapat dirangkai dengan PEEP
5) Dapat memonitor tekanan , volume inhalasi, volume ekshalasi,
volume tidal, frekuensi nafas, dan konsentrasi oksigen inhalasi
6) Mempunyai fasilitas untuk humidifikasi serta penambahan obat
didalamnya
7) Mempunyai fasilitas untuk SIMV, CPAP, Pressure Support
8) Mudah membersihkan dan mensterilkannya.
9
e. Indikasi
Indikasi ventilasi mekanik (Shaila, 2010):
1) Gagal Nafas
Pasien dengan distres pernafasan gagal nafas, henti nafas (apnu)
maupun hipoksemia yang tidak teratasi dengan pemberian
oksigen merupakan indikasi ventilator mekanik. Idealnya pasien
telah mendapat intubasi dan pemasangan ventilator mekanik
sebelum terjadi gagal nafas yang sebenarnya. Distres pernafasan
disebabkan ketidakadekuatan ventilasi dan atau oksigenasi.
Prosesnya dapat berupa kerusakan paru (seperti pada pneumonia)
maupun karena kelemahan otot pernafasan dada (kegagalan
memompa udara karena distrofi otot).
2) Insufisiensi Jantung
Tidak semua pasien dengan ventilator mekanik memiliki kelainan
pernafasan primer. Pada pasien dengan syok kardiogenik dan CHF,
peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem pernafasan
(sebagai akibat peningkatan kerja nafas dan konsumsi oksigen)
dapat mengakibatkan jantung kolaps. Pemberian ventilator untuk
mengurangi beban kerja sistem pernafasan sehingga beban kerja
jantung juga berkurang
3) Disfungsi Neurologis
Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalami apneu
berulang juga mendapatkan ventilator mekanik. Selain itu
ventilator mekanik juga berfungsi untuk menjaga jalan nafas
pasien. Ventilator mekanik juga memungkinkan pemberian
hiperventilasi pada klien dengan peningkatan tekanan intra
cranial.
10
Komplikasi yang dapat timbul dari penggunaan ventilasi mekanik
(Sundana, 2018):
a) Atelektasis
b) Infeksi pulmonal
c) Tension pneumothoraks
d) Hipertensi
e) Obstruksi jalan nafas
f) Kelainan fungsi ginjal
g) Kelainan fungsi susunan saraf pusat
11
terhadap pertukaran gas yang adekuat, tanda dan gejala hipoksia,
dan respon terhadap tindakan. Pertukaran gas yang tidak adekuat
dapat berhubungan dengan faktor-faktor yang sangat beragam;
tingkat kesadaran, atelektasis, kelebihan cairan, nyeri insisi, atau
penyakit primer seperti pneumonia. Pengisapan jalan nafas bawah
disertai fisioterapi dada (perkusi, fibrasi) adalah strategi lain untuk
membersihkan jalan nafas dari kelebihan sekresi karena cukup
bukti tentang kerusakan intima pohon trakeobronkial. Intervensi
keperawatan yang penting pada klien yang mendapat ventilasi
mekanik yaitu auskultasi paru dan interpretasi gas darah arteri.
Perawat sering menjadi orang pertama yang mengetahui
perubahan dalam temuan pengkajian fisik atau kecenderungan
signifikan dalam gas darah yang menandakan terjadinya masalah
(pneumotoraks, perubahan letak selang, emboli pulmonal).
2) Penatalaksanaan jalan nafas
Ventilasi tekanan positif kontinu meningkatkan pembentukan
sekresi apapun kondisi pasien yang mendasari. Perawat harus
mengidentifikasi adanya sekresi dengan auskultasi paru sedikitnya
2-4 jam. Tindakan untuk membersihakn jalan nafas termasuk
pengisapan, fisioterapi dada, perubahan posisi yang sering, dan
peningkatan mobilitas secepat mungkin. Humidifikasi dengan cara
ventilator dipertahankan untuk membantu pengenceran sekresi
sehingga sekresi lebih mudah dikeluarkan. Bronkodilator baik
intravena maupun inhalasi, diberikan sesuai dengan resep untuk
mendilatasi bronkiolus.
3) Mencegah trauma dan infeksi
Penatalaksanaan jalan nafas harus mencakup pemeliharaan
selang endotrakea atau trakeostomi. Selang ventilator diposisikan
sedemikian rupa sehingga hanya sedikit kemungkinan tertarik
12
atau penyimpangan selang dalam trakea. Perawatan trakeostomi
dilakukan sedikitnya setiap 8 jam jika diindikasikan karena
peningkatan resiko infeksi. Higiene oral sering dilakukan karena
rongga oral merupakan sumber utama kontaminasi paru-paru
pada pasien yang diintubasi pada pasien lemah. Adanya selang
nasogastrik dan penggunaan antasida pada pasien dengan
ventilasi mekanik juga telah mempredisposisikan pasien pada
pneumonia nosokomial akibat aspirasi. Pasien juga diposisikan
dengan kepala dinaikkan lebih tinggi dari perut sedapat mungkin
untuk mengurangi potensial aspirasi isi lambung.
4) Peningkatan tingkat mobilitas optimal
Mobilitas pasien terbatas karena dihubungkan dengan ventilator.
Mobilitas dan aktivitas otot sangat bermanfaat karena menstimuli
pernafasan dan memperbaiki mental. Latihan rentang gerak
pasif/aktif dilakukan tiap 8 jam untuk mencegah atrofi otot,
kontraktur dan statis vena.
5) Meningkatkan komunikasi optimal
Metode komunikasi alternatif harus dikembangkan untuk pasien
dengan ventilasi mekanik. Bila keterbatasan pasien diketahui,
perawat menggunakan pendekatan komunikasi; membaca gerak
bibir, menggunakan kertas dan pensil, bahasa gerak tubuh, papan
komunikasi, papan pengumuman. Ahli terapi bahasa dapat
membantu dalam menentuka metode yang paling sesuai untuk
pasien.
6) Meningkatkan kemampuan koping.
Dengan memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan
perasaan mengenai ventilator, kondisi pasien dan lingkungan
secara umum sangat bermanfaat. Memberikan penjelasan
prosedur setiap kali dilakukan untuk mengurangi ansietas dan
13
membiasakan klien dengan rutinitas rumah sakit. Klien mungkin
menjadi menarik diri atau depresi selama ventilasi mekanik
terutama jika berkepanjangan akibatnya perawat harus
menginformasikan tentang kemajuannya pada klien, bila
memungkinkan pengalihan perhatian seperti menonton TV,
bermain musik atau berjalan-jalan jika sesuai dan memungkinkan
dilakukan. Teknik penurunan stress (pijatan punggung, tindakan
relaksasi) membantu melepaskan ketegangan dan memampukan
klien untuk menghadapi ansietas dan ketakutan akan kondisi dan
ketergantungan pada ventilator (Shaila, 2010).
14
dalam terapi medis sesuai empiris pada 2 hari pertama pemberian
ventilasi mekanik, dan pasien ICU medis dan bedah) (El-Khatib, et al.,
2010).
b. Etiologi
Tingkat kematian yang lebih tinggi pada VAP disebabkan adanya
kolonisasi bakteri pada paru. Mikroorganisme penyebab terjadinya
VAP antara lain Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa,
Acinetobacter sp, dan Maltophilia stenotrophomonas.16 Bakteri
penyebab VAP digolongkan menjadi 3 kelompok berdasarkan onset
atau lamanya pola kuman, antara lain (Rorres, et al., 2011):
1) Bakteri pada kelompok 1 dengan onset dini adalah haemophilus
influenza, moraxella, staphylococcus aureus, cattarrhalis
streptococcus pneumoniae, kuman gram negatif (Escherichia coli,
Klebsiella spp, Proteus spp, Enterobacter spp), serta methicillin
sensitive staphylococcus aureus (MSSA).
2) Bakteri pada kelompok 2 dengan onset lambat adalah bakteri
penyebab kelompok 1 ditambah Legionella pneumophilia, kuman
anaerob, dan Methicillin resistan Staphylococcus aureus (MRSA).
3) Bakteri pada kelompok 3 adalah Pseudomonas aeruginosa,
Acinetobacter spp, dan MRSA.
c. Faktor Resiko
Faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya VAP adalah
pemakaian intubasi pada pasien. Tindakan intubasi mempermudah
masuknya kuman dan menyebabkan kontaminasi ujung pipa
endotrakeal pada penderita dengan posisi terlentang. Selain itu
terjadinya VAP dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti posisi
pasien yang datar, makroaspirasi lambung, bronkoskopi serat optik,
dan penghisapan lendir sampai trakea maupun ventilasi manual yang
15
dapat mengkontaminasi kuman patogen ke dalam saluran pernapasan
bawah (Marc, et al., 2014).
d. Diagnosis
Diagnosis VAP dapat ditegakkan berdasarkan 3 komponen tanda
infeksi sistemik yaitu demam lebih dari 38,3 0C, takikardi, dan
leukositosis lebih dari 12 x 109 /ml disertai gambaran infiltrat baru
ataupun perburukan di foto toraks serta penemuan bakteri penyebab
infeksi paru. Torres dkk. menyatakan bahwa diagnosis VAP meliputi
tanda-tanda infiltrat baru maupun progresif pada foto torak disertai
gejala demam, leukositosis maupun leukopeni dan sekret purulent
(Torres, et al., 2011). Spesifisitas diagnosis VAP dapat ditingkatkan
dengan menghitung clinical pulmonary infection score (CPIS) yang
dilihat dari gambaran foto torak. Terdapat korelasi antara skor CPIS
lebih dari 6 dengan diagnosis pncumonia (Koenig, 2010). Beberapa
penelitian membuktikan bahwa pemeriksaan foto torak berulang
memiliki akurasi diagnostik lebih dari 68% yang umumnya disertai
gambaran air bronchogram. Berdasarkan derajat penyakit, faktor
risiko dan onsetnya maka klasifikasi untuk mengetahui kuman
penyebab VAP, sebagai berikut (Chastre & Fagon, 2010):
1) Penderita dengan faktor risiko biasa, derajat ringan-sedang dan
16
e. Patogenesis
VAP merupakan respon inflamasi dari penderita sebagai hasil invasi
mikroorganisme pada saluran pernafasan bagian bawah dan
parenkim paru. Perubahan kemampuan pertahanan tubuh pasien,
paparan antibiotik sebelumnya, dan keadaan kritis pasien akan
memicu kolonisasi bakteri-bakteri patogen yang potensial di
orofaring. Kolonisasi bakteri patogen ini dengan cepat menggantikan
flora normal yang ada. Sinus dan plak gigi juga berpotensi sebagai
sumber infeksi lain. Bakteri dalam droplet tersebut ikut berkolonisasi
pada tabung endotrakheal atau tabung trakheostomi dan masuk ke
dalam paru. Di dalam saluran nafas bawah dan di parenkim paru,
kuman tersebut akan menghasilkan biofilm. Biofilm tersebut
memudahkan kuman untuk menginvasi perenkim paru lebih lanjut,
menimbulkan proliferasi dan reaksi peradangan di parenkim paru
sehingga terjadilah VAP (Torres, et al., 2011). Mikroorganisme
penyebab VAP dapat masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui
(Marc, et al., 2011):
1) Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu
seperti kasus neorologis dan usia lanjut.
2) Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu nafas yang
digunakan pasien.
3) Hematogenik
4) Penyebaran langsung.
17
Kuman gram negatif dan staphylococcus aureus merupakan koloni
yang sering ditemukan disaluran pernafasan atau saat perawatan
lebih dari 5 hari. VAP dapat pula terjadi akibat makroaspirasi
lambung. Pengisapan lendir sampai trakea maupun ventilasi manual
dapat menkontaminasi kuman patogen kedalam saluran pernafasan
bawah (Fowler, et al., 2013). Pada pernafasan normal terdapat variasi
mekanisme pertahanan tubuh yang akan melindungi paru-paru dari
infeksi, antara lain zat-zat antimkroba di air liur, mekanisme
trakeobronkial, gerak mukosilier untuk membersihkan secret,
imunitas selular dan humoral serta sistem fagositik. Pada pasien kritis
terjadi gangguan sistem imun sehingga mekanisme pertahanan
tubuhnya terganggu dan tidak dapat berlangsung efektif. Ketika
bakteri patogen mencapai saluran nafas yang lebih distal, sistem
imunitas paru akan bereaksi untuk menginaktivasi makrofag alveolus,
neutrofil, dan elemen-elemen penyusun system imun humoral untuk
membunuh organism pathogen yang ada. Saat system imun tubuh
memberikan reaksi yang berlebihan, terjadilah respon inflamasi di
paru dan terjadilah pneumonia (Fowler, et al., 2013).
f. Penatalaksanaan
Pemberian terapi awal, dengan pemberian antibiotic empiris yang
adekuat dapat meningkatkan angka ketahanan hidup penderita VAP.
Dalam sebuah penelitian, keterlambatan dalam terapi yang sesuai
selama 24 jam atau lebih dikaitkan dengan kematian sebesar 69,7%,
dibandingkan 28,4% pada pasien yang diobati tapa penundaan, atau
adanya infiltrate paru yang diikuti setidaknya dua dari tanda berikut :
demam, leukositosis, dan sekresi purulent (Singh & Yu, 2015).
18
g. Pencegahan
Pencegahan yang berkaitan dengan penurunan insidensi VAP dibagi
menjadi 2 kategori, yaitu (Tablan, et al., 2014):
1) Strategi farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kolonisasi
kuman patogen di dalam saluran cerna, antara lain:
a) Mencegah pembentukan biofilm kuman.
b) Dekolonisasi traktus aerodigestif
c) Mencegah anti penggunaan antibiotik yang tidak perlu
d) Menghindari penggunaan profilaksis stress ulcer yang
berlebihan
e) Menggunakan antibiotik yang sesuai pada penderita resiko
tinggi
f) Dekontaminasi dan menjaga kebersihan mulut
2) Strategi non farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan
kejadian aspirasi, antara lain:
a) Penggunaan ventilasi mekanik sesingkat mungkin
b) Posisi penderita semifowler atau setengah duduk
c) Intubasi oral atau nonnasal
d) Menghindari reintubasi dan pemindahan penderita jika tidak
diperlukan
e) Menghindari lambung penuh
f) Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperlukan
g) Menghindari intubasi trakea
h. Flora Mulut dan Saluran Napas
Flora dalam tubuh manusia dapat menetap atau transien. Mikroba
normal yang menetap tersebut dapat dikatakan tidak menyebabkan
penyakit dan mungkin menguntungkan bila ia berada di lokasi yang
semestinya dan tanpa adanya keadaan abnormal. Mereka dapat
menyebabkan penyakit bila karena keadaan tertentu berada ditempat
19
yang tidak semestinya atau bila ada faktor predisposisi (Suharto,
2014). Sebagai contoh, flora normal di saluran pencernaan berperan
dalam sintesis vitamin K dan membantu absorbsi zat makanan
tertentu. Pada mukosa dan kulit, flora normal dapat mencegah
kolonisasi bakteri patogen melalui bacterial interference (Suharto,
2014). Mekanisme ini tidak jelas, dapat berupa persaingan untuk
mendapatkan reseptor atau ikatan pada sel-sel inang, persaingan
untuk mendapatkan makanan, saling menghambat melalui hasil
metabolik atau racun, saling menghambat dengan zat-zat antibiotika
atau bakteriosid, atau mekanisme lainnya. Penekanan flora normal
jelas menimbulkan sebagian kekosongan lokal yang cenderung diisi
oleh mikroorganisme dari lingkungan atau dari bagian tubuh lain.
Organisme ini berlaku sebagai oportunis dan dapat menjadi patogen
(Jawetz, et al., 2010). Sebagai contoh adalah Streptococcus viridans,
bakteri yang tersering ditemukan di saluran nafas atas, bila masuk
aliran darah setelah ekstraksi gigi atau tonsilektomi dapat sampai ke
katup jantung yang abnormal dan menyebakan subacute bacterial
endocarditis (Jawetz, et al., 2010). Pada mulut dan saluran napas
bagian yang mengandung mikroorganisme adalah mulut, nasofaring,
orofaring, tonsil. Sedangkan laring, trakea, bronkhus, bronkhiolus,
alveolus dan sinus hidung biasanya steril (Suharto, 2014). Mulut amat
kaya akan mikroorganisme, Staphylococcus epidermidis,
Staphylococcus aureus, beberpa mikrokokus berpigmen, dan
staphylococcus yang bersifat anaerob ditemukan di permukaan gigi
dan saliva. Dijumpai pula Strepcococcus viridans (grup mitis dan
salivarius), Enterococcus, Neisseria berpigmen, Veillonella spp,
Corynerium anaerob, Actinomyces, Escherichia coli, Klebsiella-
enterobacter group, Haemophilus, Bacteroides, Fusobacterium,
Vibriosputorum dan beberapa Spirochaeta (Treponema denticum dan
20
Borrelia refringens). Strptcoccus pyogenes dapat dijumpai pada 5-10%
mulut normal (Suharto, 2014). Strepcoccus pneumonia terdapat
dipermukaan gigi 25% orang dewasa normal. Infeksi pada mulut dan
saluran pernapasan seringkali melibatkan bakteri anaerob. Infeksi
periodontal, abses perioral, sinusitis, dan mastoiditis terutama
disebabkan oleh Prevotella melaningogenica, Fusobacterium dan
Peptostreptococcus. Aspirasi air liur dapat menimbulkan pneumonia
nekrosis, abses paru, dan empyema (Jawetz, et al., 2010).
21
BAB III
ANALISIS PICO
22
(2020) Mengguna gan dengan berisi menggunakan
kan Enzym peneliti 6 parameter enzyme
Lactopero an diagnosis VAP lactoprexide dan
xidase control (Ventilator chlorhexidine
dengan group Aquired
Chlorhexid pretest Pneumonia).
ine dalam -
Pencegah postest
an VAP di
ICU RS X
23
el mekanik,
sehingga dapat
membantu dalam
upaya
pencegahan
terjadinya VAP.
24
dan untuk
kategori kadar
Leukosit pada
kedua kelompok
berada pada <
4000 atau >11000
sebanyak 24
responden (80%).
5. Amat Pengaruh Pre- 15 Penelitian Hasil penelitian
Tohirin, Oral Eksperi Respo mengambil ini dapat
Mona Hygiene mental nden pasien dengan disimpulkan rata-
Saparw Mengguna dengan alergi rata skor CPIS
ati ,Siti kan One hexetidine, sebelum
Haryani Hexadol Group pasien HIV, pelaksanaan oral
Gargle Pretest PPOK, hygiene dengan
Dalam – penyakit paru, menggunakan
Meminima posttes luka bakar, hexadol gargle
lkan t menggunakan adalah 3,2
Kejadian kortikosteroid kemudian rata-
Ventilator dalam jangka rata skor CPIS
Associated lama, dan sesudah
Pneumoni pasien yang pelaksanaan oral
a (Vap) Di meninggal hygiene dengan
Ruang Icu sebelum menggunakan
Rsud pengambilan hexadol gargle
Tugurejo data posttest. adalah 1,6. Hasil
Semarang Alat penelitian penelitian
menggunakan menunjukkan Ada
SOP oral pengaruh yang
hygiene dan barmakna antara
lembar kejadian
observasi Ventilator
Clinical Associated
Pulmonary Pneumonia (VAP)
Infection Score sebelum dan
(CPIS). Data sesudah oral
pre-test hygiene
diambil pada menggunakan
hari pertama hexadol gargle di
sedangkan ICU RSUD
data post-test Tugurejo
diambil pada Semarang,
hari kelima dengan nilai p
25
terpasang value adalah
ventilator 0,003 (p < 0,05).
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Jurnal 1
Jurnal ditulis oleh Khan, Mohammad , (2017) dengan judul “Oral Care
Effect on Intubated Patient with 0.2 per cent Chlorhexidine Gluconate and
Tooth Brushing in Intensive Care Unit”. Jumlah populasi sebanyak 9
responden dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok eksperimen
sebanyak 4 responden dan kelompok kontrol sebanyak 5 responden. Mei –
Juni 2016, sekitar 9 pasien (5 laki-laki dan 4 perempuan) dilibatkan dalam
penelitian (N = 9), meskipun sekitar 10 lebih pasien telah memenuhi kriteria
pendaftaran tetapi mereka menolak memberikan informasi menyetujui dan
berpartisipasi. Rentang usia untuk subjek adalah dari 18 tahun hingga 81
tahun. Intervensi pada sembilan pasien ini secara acak dialokasikan ke
kelompok control atau perlakuan eksperimental dengan menggunakan
perangkat lunak 'Research Randomizer' yang dihasilkan computer. Penelitian
ini menggunakan protocol eksperimental tiga kali sehari karena sifat
substantif klorheksidin dan untuk mengakomodasi efektivitas peneliti dan
ahli bedah gigi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawatan kebersihan
mulut tiga kali sehari dari subjek yang diintubasi 0,2 persen chlorhexidine
gluconate serta dengan menyikat gigi mungkin memiliki kebijakan potensial
dalam mengurangi VAP di ICU; meskipun demikian, penggunaannya
membutuhkan lebih banyak pengujian
4.2 Jurnal 2
Jurnal ditulis oleh Agus & Raushan (2020) dengan judul “Perbandingan
efektifitas oral hygiene menggunakan enzym lactoperoxidase dengan
26
chlorhexidine dalam pencegahan VAP di ICU RS X”. Jumlah populasi sebanyak
127 pasien. Populasi pada penelitian ini adalah pasien ICU RS X yang
terpasang ventilator selama 3 bulan mulai dari 15 November 2018 sampai
dengan 15 Januari 2019. Karakteristik responden yaitu pasien-pasien ICU
yang baru masuk dan terintubasi di ICU sesuai indikasi medis selama < 42
jam, usia produktif (20-55 tahun), dan keluarga yang bersedia berpartisipasi,
bukan pasien lansia > 65 tahun, tidak memiliki riwayat: PPOK, re-intubasi,
pasien dengan MDR, TB, kontraindikasi oral hygiene, sepsis. Berdasarkan
karakteristik usia responden yang mengalami kejadian VAP paling banyak
pada usia lansia awal (45-55) tahun .Berdasarkan karakteristik jenis kelamin,
responden yang mengalami kejadian VAP seimbang antara laki-laki (50%)
dan perempuan (50%).Oral hygiene tidak ada perbedaan yang signifikan
antara oral Hygiene dengan menggunakan Enzym Lactoperoxide dan
Chlorhexidine dalam pencegahan VAP.
4.3 Jurnal 3
Penelitian yang dilakukan Nurfitri pada tahun 2017 dengan judul
“Efektifitas Anti Bakterial Stik Salvadora Persica Terhadap Pencegahan
Kolonisasi Patogen Oral Pada Pasien Terventilasi Mekanik Di Intensive Care
Unit (ICU) RS. DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar”. Jumlah populasi pasien
ICU yang terventilasi mekanik di ICU RSUP. DR. Wahidin Sudirohusodo pada
bulan Maret 2017 berkisar 32 orang. Dengan jumlah sampel sebanyak 23
orang. 15 pasien sebagai kelompok intervensi dan 8 pasien sebagai
kelompok kontrol. Dalam pelaksanaan penelitian eksperimen, kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol diatur secara intensif sehingga kedua
variabel mempunyai karakteristik yang sama. Pada kelompok eksperimen
diberikan treatment berupa penggunaan bahan salvadaro persica dalam
tindakan oral care, sedangkan kelompok kontrol hanya menggunakan bahan
sesuai dengan SOP ICU RSWS dalam tindakan oral care. Peneliti menetapkan
27
kriteria inklusi, eksklusi, dan dropout. Kriteria Inklusi yaitu pasien dengan
usia > 15 tahun, pasien terintubasi < 24 jam, dan pasien minimal GCS 2
terintubasi (E1M1Vt). Kriteria eksklusi: pasien post op bedah mulut, pasien
dengan keganasan (misal, kanker pada mulut), dan pasien yang reintubasi.
Kriteria Drop Out: Pasien meninggal dan pasien ekstubasi < 48 jam. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa efek antibakteri stik Salvadora Persica efektif
menurunkan kolonisasi patogen oral pada pasien terventilasi mekanik. Oral
care dengan menggunakan stik Salvadora Persica per 12 jam efektif
menurunkan jumlah kolonisasi patogen oral pada pasien terventilasi
mekanik. Oral care dengan menggunakan stik Salvadora Persica pada pasien
terventilasi mekanik ≤ 24 jam efektif mencegah peningkatan kolonisasi
patogen oral sehingga menurunkan resiko terjadinya VAP.
4.4 Jurnal 4
Penelitian yang dilakukan oleh Hadi pada tahun 2014 dengan judul "
Komparasi pemberian hexadol dan chlorhexidhine sebagai oral hygiene
terhadap pencegahan ventilator associated pneumonia (VAP)". Jumlah
sampel sebanyak 30 responden: 15 responden pada kelompok hexadol dan
15 responden pada kelompok chlorhexidine, sampel ini direkrut dengan
tehnik, purposive sampling. Efektivitas dari oral hygiene yaitu hexadol dan
chlorhexidine yang biasa digunakan pada pasien dengan ventilator mekanik
dapat dinilai dengan CPIS. Responden pada kelompok hexadol dilakukan oral
hygiene dengan menggunakan larutan hexadol dua kali sehari dan pada
kelompok chlorhexidine dilakukan oral hygiene dengan larutan
Chlorhexidine dua kali sehari. VAP diukur dengan CPIS meliputi 6 komponen:
temperatur tubuh, foto thoraks, pemeriksaan leukosit, sputum, dan ARDS.
Masing-masing komponen diberi score dan jumlah score CPIS rentang 0-9.
Score CPIS 1 – 5 (tidak terjadi VAP) dan 6 – 9 (terjadi VAP). Hasil penelitian
menunjukan bahwa dr gambaran CPIS pada pada pasien dengan Ventilator
28
mekanik diruang IPI hampir seluruh reponden tidak terdapat tanda-tanda
VAP (96,67%), tetapi hanya 1 (3,33%) responden terdiagnosis VAP pada
kelompok chlorhexidine, bahwa skor CPIS 0-5 pada kelompok perlakuan oral
hygiene menggunakan chlorhexidine berjumlah 14 pasien (95,4%) dan skor
CPIS 6-9 atau terdiagnosa VAP berjumlah 1 pasien (6,6%). Kemudian pasien
yang memiliki skor CPIS 3 berjumlah 5 pasien (33,3%) dan pasien yang
memiliki skor CPIS 1,2,5 masing-masing 3 pasien (20%). Selanjutnya pada
kelompok perlakuan oral hygiene menggunakan Hexadol menunjukkan
bahwa skor CPIS 0-5 atau tidak terdiagnosa VAP berjumlah 15 pasien (100%).
4.5 Jurnal 5
Jurnal dibuat oleh Amat Tohirin, Mona Saparwati, Siti Haryani pada
tahun 2019 dengan judul Pengaruh Oral Hygiene Menggunakan Hexadol
Gargle Dalam Meminimalkan Kejadian Ventilator Associated Pneumonia
(Vap) Di Ruang Icu Rsud Tugurejo Semarang dengan desain Pre-
Eksperimental dengan One Group Pretest–posttest pada 15 responden.
Prosedur penilaian Penelitian mengambil pasien dengan alergi hexetidine,
pasien HIV, PPOK, penyakit paru, luka bakar, menggunakan kortikosteroid
dalam jangka lama, dan pasien yang meninggal sebelum pengambilan data
posttest. Alat penelitian menggunakan SOP oral hygiene dan lembar
observasi Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS). Data pre-test diambil
pada hari pertama sedangkan data post-test diambil pada hari kelima
terpasang ventilator dan mendapatkan hasil rata-rata skor CPIS sebelum
pelaksanaan oral hygiene dengan menggunakan hexadol gargle adalah 3,2
kemudian rata-rata skor CPIS sesudah pelaksanaan oral hygiene dengan
menggunakan hexadol gargle adalah 1,6. Hasil penelitian menunjukkan Ada
pengaruh yang barmakna antara kejadian Ventilator Associated Pneumonia
(VAP) sebelum dan sesudah oral hygiene menggunakan hexadol gargle di ICU
RSUD Tugurejo Semarang, dengan nilai p value adalah 0,003 (p < 0,05).
29
Pembahasan Keseluruhan
Begitu juga dengan penelitian lain dalam 4 artikel di atas yang intinya
membahas tentang efektifitas oral hygiene menggunakan berbagai macam
Enzyme, salah satunya seperti lactoperoxidase dengan Chlorhexidine yang
memberikan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang segnifikan antara oral
hygiene dengan menggunakan enzyme lactoprexide dan Chlorhexidine
dalam pencegahan terjadinya VAP.
30
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dan analisis dari beberapa jurnal disimpulkan
bahwa risiko pneumonia akibat ventilator pada pasien yang diintubasi dapat
dikurangi dengan mempertahankan perawatan mulut tiga kali sehari dengan cara
menyikat gigi yang dikombinasikan dengan klorheksidin glukonat 0,2 persen dan
oral hygiene dengan menggunakan hexadol gargle menunjukkan Adanya
pengaruh yang barmakna antara kejadian Ventilator Associated Pneumonia
(VAP) sebelum dan sesudah oral hygiene menggunakan hexadol gargle. Serta
efek antibakteri stik Salvadora Persica efektif menurunkan kolonisasi patogen
oral pada pasien terventilasi mekanik
31
DAFTAR PUSTAKA
Andini, Aulia Rizki. (2012). Pengaruh Pemberian Povidone Iodine 1% Sebagai Oral
Hygiene Terhadap Jumlah Bakteri Orofaring Pada Penderita Dengan
Ventilator Mekanik. Karya Tulis Ilmiah: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.
Atmaja, H. K. (2014). Komparasi Pemberian Hexadol Dan Chlorhexidine Sebagai
Oral Hygiene Terhadap Pencegahan Ventilator Associated Pneumonia
(VAP). Jurnal Kesehatan Prima, 1185-1191.
Khan, Mohammad, Zeehaida Mohamed, SaedahAli, Norkhafizah Saddki, Sam'an
Malik Masudi, & Ninin Sukminingrum. (2017). Oral Care Effect on
Intubated Patient With 0.2 Per Cent Chlorhexidine Gluconate and Tooth
Brushing in Intensive Care Unit. Journal of Advanced Oral Research DOI:
10.1177/2229411217729099
Marlisa. (2019). Faktor Resiko Terjadinya Ventilator Associated Pneumonia (Vap)
32
Wijaya, Dibyo Mukti. (2012). Pengaruh Pemberian Chlorhexidine Sebagai Oral Hygiene
Terhadap Jumlah Bakteri Orofaring Pada Penderita Dengan Ventilator Mekanik.
Karya Tulis Ilmiah: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
33