Anda di halaman 1dari 22

MANAJEMEN BREEDER DAN PENETASAN

Disusun Oleh :
Kelas D
Kelompok 2

M. Dandy Herliansyah 200110170270


Indah Pratiwi K 200110180075
Ridha Hanifa Erawanti 200110180088
Naufal Ardiana Jiyad 200110180095
Shelviana Lestari 200110180168
Yusuf Nurdiansyah 200110180216

LABORATORIUM MANAJEMEN TERNAK UNGGAS


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
SUMEDANG
2020
I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manajemen/pengelolaan adalah pengetahuan yang meliputi
seluruh faktor manusia untuk mendapatkan cara yang optimal untuk
mencapai produksi secara efisien, baik efisiensi fisik dari
produksi ataupun efisiensi keuangan. Manajemen penetasan adalah
suatu cara pengelolaan usaha ternak unggas dibidang penetasan
telur untuk meningkatkan produksi anak ayam (DOC) melalui produksi
dan efisiensi sehingga diperoleh keuntungan yang maksimal.
Penetasan terdiri dari dua macam, yaitu penetasan alamiah
dan penetasan buatan/artificial. Penetasan alamiah adalah suatu
proses menetaskan telur fertil (Blastoderm) yang dierami oleh
seekor induk ayam (selama 21 hari) sampai menetas menjadi anak
ayam. Penetasan buatan/artificial adalah suatu usaha menetaskan
telur dengan bantuan alat yang dibuat dengan fungsi menyerupai
induk alami sehingga dapat menetaskan telur secara bersamaan
dengan jumlah yang banyak.
Telur tetas ayam adalah telur yang diperoleh dari induk
yang dikawinkan dan diharapkan selama 21 hari penetasan akan
menghasilkan anak ayam. Telur fertil adalah telur yang telah
ditunasi dimana perkembangan sel telur pada saat oviposition telah
mencapai stadium balstoderm. Telur fertil diperoleh dari induk
yang dikawinkan dengan pejantan 30 jam setelah perkawinan
(fertilitas Max : 2-6 hari stl perkawinan)->spermatozoa tahan
hidup di oviduct 11-14 hari-> 6-10 stl perkawinan telur masih
fertil). Telur infertil adalah telur yang tidak ditunasi dan
digunakan sebagai telur konsumsi. Macam-macam mesin tetas terdiri
dari : mesin tetas tradisional/manual (gabah), mesin tetas semi
otomatis, dan mesin tetas otomatis/ modern.
1.2 Identifikasi Masalah
1. Bagaimana persiapan kandang dan peralatan (Open Housed dan
Closed Housed System)
2. Bagaimana starting manajement dalam manajemen breeder
3. Bagaimana growing manajement dalam manajemen breeder
4. Bagaimana laying manajement dalam manajemen breeder
5. Bagaimana manajemen perkawinan dalam breeder
6. Bagaimana manajemen telur tetas dan penetasana dalam
breeder
7. Bagaimana penanganan limbah dalam manajemen breeder
8. Bagaimana biosecurity operasional dalam manajemen breeder

1.3 Maksud dan Tujuan


1. Mengetahui persiapan kandang dan peralatan (Open Housed dan
Closed Housed System)
2. Mengetahui starting manajement dalam manajemen breeder
3. Mengetahui growing manajement dalam manajemen breeder
4. Mengetahui laying manajement dalam manajemen breeder
5. Mengetahui manajemen perkawinan dalam breeder
6. Mengetahui manajemen telur tetas dan penetasana dalam
breeder
7. Mengetahui penanganan limbah dalam manajemen breeder
8. Mengetahui biosecurity operasional dalam manajemen breeder
II

PEMBAHASAN

2.1 Persiapan Kandang dan Peralatan


Kandang untuk terbagi menjadi dua yaitu kandang terbuka (open house)
dan kandang tertutup (close house). Daya tampung kandang terbuka untuk ayam
bibit pedaging dewasa 3-4 ekor/m 2 dengan sistem litter atau 4-5 ekor/m2 dengan
sistem 2/3 slat. Daya tampung kandang tertutup untuk ayam bibit pedaging
dewasa 4-5 ekor/m2 dengan sistem litter atau 5-6 ekor/m2 dengan sistem 2/3 slat.
Bangunan kandang harus mempunyai ventilasi yang cukup dan suhu pada siang
hari berkisar 26-30ºC dengan kelembaban relatif 70-90%. Peralatan yang
digunakan di kandang umumnya terdiri dari blower, cooling pad, lampu sebagai
pencahayaan, baby chick (tempat pakan ayam umur 3-24 hari), feeder tray (tempat
pakan ayam jantan fase starter), nipple (untuk minum), male feeder (tempat pakan
ayam jantan yang ada rantainnya), female feeder (tempat pakan
betina), hanging (tempat pakan ayam jantan), hover (tempat pakan ayam betina
yang berbentuk tabung) dan sangkar (untuk tempat bertelur).
Atap kandang dapat dipasang ventilator yang berfungsi menghisap udara
kotor dari dalam kandang. Bahan bangunan dapat memberikan kemudahan
pemeliharaan, sanitasi dan disinfeksi kandang, serta berlantai kedap air (Permetan,
2011). Pencahayaan pada kandang pun sangat penting. Prinsip program
pencahayaan di dalam kandang adalah semakin bertambahnya umur ayam maka
intensitas pencahayaan yang digunakan semakin dikurangi untuk memaksimalkan
perkembangan dewasa tubuhnya. Sebelum DOC masuk ke kandang, kandang
perlu di persiapkan terlebih dahulu. Kandang dibersihkan terlebih dahulu dan
disemprot desinfektan. Suhu di kandang close house juga perlu diset agar nantinya
saat DOC masuk kandang suhunya sudah stabil. Persiapkan pula peralatan
penunjang pemeliharaan dalam keadaan bersih.
2.2 Starting Manajemen
Ayam pada periode starter sampai grower merupakan waktu yang
signifikan pengaruhnya terhadap produksi telur. Masa awal atau
periode starter merupakan fase penting yang harus diperhatikan dalam menjamin
pertumbuhan seluruh organ vital dalam tubuh ayam, jika terhambat maka
pertumbuhan pada umur berikutnya akan terhambat (Nugroho dkk., 2012). Sistem
pemeliharaan ayam pembibit fase starter yaitu dimulai dari umur 1 hari sampai
umur 28 hari (4 minggu). Anak ayam (DOC) pada fase ini membutuhkan kondisi
yang hangat supaya ayam merasa nyaman sehingga untuk mengatur temperatur
yang nyaman untuk anak ayam tersebut digunakan alat pemanas buatan (brooding
system) (Permentan, 2011). Sistem pencahayaan pada fase starter membutuhkan
cahaya lebih terang karena ayam membutuhkan suhu yang hangat untuk
menyesuaikan tubuhnya agar tetap pada suhu yang nyaman. Negara dkk. (2013)
menyatakan bahwa pencahayaan saat fase starter berperan penting dalam proses
pertumbuhan melalui pengaturan sekresi hormon somatotropin.
Pakan pada fase starter berbentuk crumble dan harus memiliki nutrisi yang
cukup untuk kebutuhan ayam. Bisa juga diberikan feed additive untuk melengkapi
kebutuhan mutrisi mikro seperti vitamin, mineral dan asam amino. Pemberian
pakan fase starter pada awal pemeliharaan menggunakan tempat pakan baby chick
dan seiring berjalannya waktu dapat menggunakan feeder tray. Kartasudjana dan
Suprijatna (2006) menyatakan bahwa ransum untuk ayam pembibit yang
diberikan biasanya ransum yang mengandung protein 15% dan energi metabolis
2.900 kkal/kg. Cara pemberian ransum untuk ayam pembibit tidak diberikan ad
libitum tetapi dengan cara terbatas (restricted feeding)  yaitu pemberian pakan
dengan sistem jatah. Cara ini dilakukan dengan tujuan agar ayam pembibit yang
dipelihara tidak terlalu gemuk. Jika bobot ayam terlalu gemuk dapat menyebabkan
banyak kerugian yaitu produksi menurun, lebih peka terhadap penyakit, mudah
terkena cekaman panas dan mortalitasnya lebih tinggi. 
Air minum pada fase starter diberikan secara ad libitum. Air minum yang
disalurkan melalui nipple sebelumnya ditampung dalam 2 tandon air minum, yaitu
satu tandon berisi air yang diampur kaporit atau chlorin yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas air minum dan yang satunya lagi berisi air yang dicampur
dengan vitamin untuk mencegah stress pada ayam akibat cekaman panas dan
mencegah feed shock saat vaksin.

2.3 Growing Management


Periode grower adalah ayam yang berumur 7 sampai 13 minggu, pada fase
ini kontrol pertumbuhan dan keseragaman perlu dilakukan, hal ini berhubungan
dengan sistem reproduksi dan produksi ayam tersebut. Periode grower secara
fisik tidak mengalami perubahan yang berarti, perubahan hanya dari ukuran
tubuhnya yang semakin bertambah dan bulu yang semakin lengkap serta kelamin
sekunder yang mulai nampak (Rasyaf, 1997).
Pada periode grower sistem produksi ayam mulai tumbuh dan sistem
hormon reproduksi mulai berkembang dengan baik, berkaitan dengan
berkembangnya sistem reproduksi ada faktor yang harus diperhatikan yaitu faktor
ransum dan cahaya, karena kegagalan dalam memperhatikan keduanya akan
berakibat fatal terhadap produksi dimasa bertelur kelak (Siregar dan Sabrani,
1986).
Fase grower antara umur 14 – 20 minggu disebut fase developer
(pengembangan). Pemeliharaan fase grower, fase produksi dan program
peremajaan dengan melalui force molting. Fase developer merupakan fase
pertumbuhan yang sudah menurun, sedangkan konsumsi ransum terus bertambah.
Sehingga jika ransum yang diberikan adlibitum maka akan terjadi kegemukan
dan pada saat akan berproduksi telur pertama yang dihasilkan kecil- kecil
sehingga penggunaan energi tidak efisien.
Pengelolaan Fase Grower Fase grower pada ayam petelur, terbagi ke
dalam dua kelompok umur yaitu 6 – 14 minggu dan umur 14 – 20 minggu
sering disebut dengan fase developer. Ada beberapa cara pemeliharaan
untuk mengurangi terjadinya stress akibat pemindahan kandang, yaitu :
1. Brooding house
Kandang yang digunakan untuk pemeliharaan ayam (DOC), dilanjutkan
pemeliharaan sampai mencapai umur 6 – 14 minggu. Kandang yang
digunakan kandang sistem litter. Dipindahakan dari kandang grower
sekitar 14 minggu.
2. Grow - Lay – House
Kandang yang digunakan pada fase pertumbuhan, juga digunakan sampai
akhir bertelur yaitu sejak umur 6 minggu.
3. Brood – Grow – Lay – House
Ayam dipelihara dalam kandang yang sama, sejak ayam dipelihara umur
satu hari sampai akhir bertelur. Kepadatan kandang dapat
mempengaruhi pertumbuhan yang baik. Bila kandang terlalu padat,
umumnya menyebabkan pertumbuhan yang lambat, kanibalisme, efisiensi
penggunaan ransum rendah. Luas tempat pakan, tempat air minum,
luas lantai perelor dipengaruhi oleh tipe lantai kandang, besar badan ayam,
temperatur lingkungan, ventilasi kandang dan perlengkapan kandang.
Tahap pemeliharaan lebih lanjut yang harus dilakukan untuk
mempertahankan populasi ayam ras petelur, yaitu: 1) pemberian pakan dan
minum, bertambahny/a umur akan semakin meningkatkan kuantitas (jumlah)
pakan yang dikonsumsi; 2) pengendalian suhu kandang, ayam ras petelur
memiliki kebutuhan suhu kandang yang berbeda untuk setiap periode
kehidupannya; 3) pengendalian kepadatan kandang; 4) penyinaran; 5)
pengontrolan pertumbuhan ayam; 6) pemindahan ke kandang batera (Rasyaf,
1997).

2.4 Laying Management


2.4.1 Pemberian Pakan
Konsumsi pakan ayam petelur dipengaruhi oleh kesehatan ayam,
temperatur lingkungan, selera ayam dan produksi. Di Indonesia pakan ayam
petelur masa bertelur I membutuhkan pakan sebanyak 18 % dan 15 % protein
ransum untuk masa bertelur II. Saat produksi telur masih menanjak selama dua
bulan semenjak 5% HD-kebutuhan protein cukup tinggi. Selama masa bertelur
pemberian ransum berganti dua kali, pertama sewaktu mencapai 5% hen-day
diberikan ransum ayam bertelur fase I (ransum layer I atau prelayer) dan setelah
mencapai puncak produksi diberikan ransum ayam bertelur fase II (ransum layer
II) (Rasyaf, 1997). Kebutuhan energi ayam petelur pada umur 14 minggu hingga
mencapai 5% hen-day sebanyak 2750 kkal/Kg. Setelah mencapai 5% hen-day
digunakan ransum dengan kandungan energi 2850 kkal/Kg.
Menurut Siregar dan Sabrani (1986), ayam berumur 42 minggu
membutuhkan PK 21% dan ME 2950 kkal/Kg, 43-84 minggu membutuhkan PK
19 dan ME 2850 kkal/Kg, 85- 112 membutuhkan PK 16-17% dan ME 2800
kkal/Kg dan 112 minggu membutuhkan PK 21% dan 3100 kkal/Kg. Kelebihan
energi disimpan dalam bentuk lemak. Menurut Surdayani dan Santoso (2000),
bahwa pemberian ransum untuk periode petelur dapat diberikan sesuai dengan
umur ayam, yaitu ayam 19-35 minggu membutuhkan ransum dengan protein
19%; energi metabolisme 2.800 kkal/kg; dan kalsium 3,8-4,2%, untuk ayam umur
53 minggu sampai 76 atau 80 minggu membutuhkan protein 18%; energi
metabolisme 2750 kkal/kg; dan kalsium4,0-4,4%.
2.4.2 Perkandangan
a. Bentuk Kandang
Kandang untuk layer adalah kandang terbuka tanpa dinding. Arah
kandang adalah arah Utara ke Selatan agar kandang mendapatkan sinar
matahari pagi dan sore. Kandang utama berukuran 5×15 meter dengan
tinggi sekitar 3.5 m (1000 ekor ayam). Masing-masing ayam dimasukkan
dalam kandang baterai.Panjang kandang baterai adalah 110 cm yang
dibagi menjadi 4 ruangan yang sama luas. Masing-masing kandang baterai
dapat memuat maksimal 2 ekor ayam layer yang siap bertelur.
b. Pencahayaan
Ayam mengenali adanya cahaya melalui mata (retinal
photoreceptors) dan melalui photosensitive cells di otak (extra-retinal
photoreceptors). Cahaya dengan gelombang cahaya yang panjang lebih
mudah penetrasi memalui kulit dan batok kepala dibandingkan cahaya
dengan panjang gelombang yang pendek. Dengan demikian, pertumbuhan
dan perilaku ayam berhubungan dengan retinal photoreception
(gelombang cahaya pendek) sedangkan reproduksi berhubungan dengan
extra-retinal photoreceptors . Melalui penelitian tersebut didapatkan
cahaya berwarna biru membuat ayam menjadi lebih tenang, merah
mengurangi kanibalisme dan pencabutan bulu oleh ayam lain, cahaya
berwarna hijau-biru menstimulasi pertumbuhan sedangkan orange-merah
menstimulasi reproduksi (Suprijatna, 2005).
Pada saat ini tersedia beberapa macam lampu yang digunakan
dalam bisnis poultry yaitu Incandescent, Fluorescent, Metal Halide dan
High-Pressure. Incandescent merupakan lampu standart yang sering
digunakan dalam peternakan, Fluorescent merupakan jenis lampu yang
lebih baik dari pada lampu incandescent bulb untuk digunakan pada
Leghorn layers, Metal Halide ini jarang digunakan pada chicken house
tetapi digunakan pada area warehouse dan egg handling rooms, High-
Pressure merupakan lampu yang terbukti sukses digunakan sebagai
fasilitas dalam dunia poultry terutama pada breeder houses dan turkey.

2.5 Manajemen Perkawinan


Pencampuran jantan dan betina sebaiknya dilakukan pada umur 20 minggu
karena ayam sudah dalam keadaan desawa fisik dan kelamin, rasio perbandinga
jantan dan betina sebaiknya 1 : 10, pencampuran dilakukan pada malam hari agar
mengurangi stress (Rahayu dkk., 2011). Pencampuran dilakukan saat dewasa
tubuh, pencampuran sebaiknya dilakukan 2 minggu sebelum peneluran pertama,
proses pencampuran sebaiknya dilakukan pada malam hari untuk mengurangi
ayam stress (Suprijatna, 2005). Secara umum perkawinan pada ayam dibagi
menjadi dua yaitu:
2.5.1 Perkawinan tunggal
Perkawinan secara tunggal dilakukan dengan menjodohkan satu ekor
jantan dengan satu ekor atau sekelompok betina. Induk jantan hanya satu sehingga
betina tidak bisa memilih pejantan lain. Hasil perkawinan secara terarah ini akan
menghasilkan garis keturunan yang terkontrol. Perkawinan secara tunggal sangat
penting dalam proses breeding (pembibitan) karena memungkinkan peternak
mendapatkan bibit sesuai kriteria yang diinginkan. Pola pembibitan dapat
ditentukan, antar lain inbreed, outbreed, dan linebreed. Ketiga cara ini dilakukan
terutama untuk mendapatkan galur murni. Perkawinan silang antargalur
digunakan untuk mendapatkan hibridanya, terutama untuk final stock (ternak
produksi).
Peternak mengawinkan ayam jantan dan betina dengan perbandingan 1:1,
1:2, 1:5, atau 1:6. Pilihan itu sangat tergantung pada jumlah ayam jantan dan
betina yang dimiliki. Perkawinan diatur sehingga menghasilkan telur tetas yang
subur. Setiap kali kawin, satu per satu induk betina disodorkan ke dalam kandang
jantan. Begitu betina dimasukkan ke dalam kandang, biasanya akan langsung
dikawini jantan. Telur tetasnya positif menghasilkan DOC calon petelur. Oleh
karena genetik jantannya petelur unggul, anaknya diharapkan juga akan menjadi
petelur unggul. Perkawinan dapat dilakukan seminggu sekali, tetapi kualitas
pejantan harus diketahui terlebih dahulu agar hasilnya maksimal.
2.5.2 Perkawinan Ganda
Dalam perkawinan ganda, jantan yang digunakan sebagai pemacek lebih
dari satu ekor. Misalnya, dua ekor induk jantan dijodohkan dengan 5-10 ekor
betina. Cara perkawinan ini sulit untuk mengetahui darah yang mengalir pada
anak ayam hasil keturunannya secara individu. Keuntungannya, telur tetas yang
dihasilkan jarang yang kosong dan betina dapat memilih jantan yang dikehendaki.

2.6 Manajemen Telur Tetas dan Penetasan


2.6.1 Manajemen telur tetas sebelum diinkubasi
Telur tetas sebelum melalui tahapan inkubasi terdapat beberapa proses
yaitu koleksi telur tetas, seleksi telur tetas, fumigasi telur tetas, dan penyimpanan
telur tetas. Faktor yang mempengaruhi daya tetas telur menurut King’ori (2011),
yaitu:
a. Koleksi telur tetas. Pengambilan atau koleksi telur tetas dari sarang
dilakukan 2 kali dalam satu hari. Frekuensi pengambilan telur yang sering
bertujuan supaya telur tetas tidak tersimpan lama di dalam sarang sehingga
kebersihan telur tetas dapat terpelihara. Pengkoleksian telur pada pagi hari
diletakkan di samping kandang (tempat sementara telur tetas) dan pada
sore hari dilakukan koleksi telur, kemudian di bawa ke ruang
penyimpanan telur tetas.
b. Pengangkutan telur tetas. Selama pengangkutan telur tetas ditempatkan
dalam egg tray untuk menghindari goncangan ketika dalam perjalanan.
Pengangkutan telur diilakukan pada sore hari dan diupayakan sesegera
mungkin untuk menyimpan telur tetas.
c. Seleksi telur tetas. Ada beberapa kreteria seleksi telur tetas yang harus
dipenuhi dalam kegiatan penetasa yaitu ukuran telur, warna dan bentuk
telur, kualitas kerabang, dan kualitas bagian dalam telur. Hal tersebut
dilakukan sebagai upaya peningkatan daya tetas.
d. Sanitasi Telur Tetas. Telur sebelum keluar dari kloaka sudah
terkontaminasi mikroorganisme yang berasal dari saluran urinary dan
saluran pengeluaran kotoroan. Telur tetas sebelum dimasukkan ke dalam
mesin tetas, diperlukan usaha untuk menghilangkan bibit penyakit yang
menempel pada kerabang, agar bibit penyakit tidak mencemari isi telur.
Sanitasi atau pembersihan terhadap telur dan peralatan penetasan dapat
dilakukan dengan menggunakan bahan yang bersifat membunuh
mikroorganisme, seperti bakteri yang dapat mempengaruhi daya tetas
telur.
e. Penyimpanan telur tetas. Telur tetas memiliki batas waktu tertentu dalam
masa penyimpanan yaitu tidak lebih dari 7 hari. Penyimpan telur tetas
selama proses kegiatan memperhatikan hal-hal meliputi temperatur dan
kelembapan lokasi penyimpanan, posisi, dan lama penyimpanan telur
tetas.
2.6.2 Manajemen Penetasan
Proses inkubasi ayam KUB dilakukan selama 21 hari dengan kegiatan
secara intensif dilakukan meliputi pembalikan telur, kontrol suhu dan
kelembapan, pencatatan, dan candling. Secara alami, penetasan telur dilakukan
dengan cara pengeraman oleh induknya. Pengeraman ini dapat terjadi bila sifat
mengeram telur pada unggas tersebut sudah muncul. Hanya saja, jumlah telur
yang dapat ditetaskan sangat sedikit. Penetasan secara alami tidak lagi dilakukan
karena tidak efisien, terlebih dalam usaha peternakan komersil (Paimin, 2012).
Pembalikan telur dilakukan selama 3 kali sehari dan selama proses pembalikan
sekaligus dilakukan kontrol dan pencatatan suhu maupun kelembapan. Suhu yang
baik untuk penetasan adalah 37,8°C, dengan kisaran 37,2 sampai 38,2°C
(Hodgetts, 2000). Pada suhu ini akan dihasilkan daya tetas yang optimum.
Temperatur dan kelembaban merupakan faktor penting untuk perkembangan
embrio. Temperatur yang terlalu tinggi akan menyebabkan kematian embrio
ataupun abnormalitas embrio, sedangkan kelembaban mempengaruhi
pertumbuhan normal dari embrio (Wulandari, 2002).

2.7 Penanganan Limbah


Limbah ternak yaitu sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan
seperti usaha pemeliharaan ternak, pengolahan produk ternak, rumah potong
hewan, dan lainnya. Menurut Sihombing (2000), limbah peternakan pada
umumnya meliputi semua kotoran hasil dari kegiatan dalam peternakan yang
dapat berupa zat padat, cair, dan gas. Total limbah yang dihasilkan peternakan
tergantung dari species ternak, besar usaha, tipe usahadan lantai kandang.
Limbah penetasan adalah sisa hasil penetasan telur tetas yang terdiri dari
telur infertil, telur tetas dengan embrio mati dan DOC afkir. Limbah
penetasan yang dihasilkan oleh perusahaan penetasan diperkirakan sebanyak 23
kg dari 1.000 butir telur yang ditetaskan dengan kelembaban 55-60% (Abiola
dkk., 2012). Limbah penetasan yang tidak diolah dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan. Pengolahan limbah penetasan dapat dilakukan dengan
berbagai proses diantaranya perebusan, pemanasan, pengeringan, fermentasi,
autoklaf, iradiasi dan ekstrusi (Khan dan Bhatti, 2001).
Hasil olahan limbah penetasan dapat digunakan sebagi bahan pakan
sumber mineral, kalsium, phospor, serta kandungan protein yang cukup baik
(Lilburn dkk., 1997). Limbah penetasan mempunyai kecernaan protein yang
tinggi sebesar 86% serta keseimbangan asam-asam amino dari limbah penetasan
lebih baik jika dibandingkan dengan tepung ikan (Rasool dkk., 1999).
Penggunaan limbah penetasan sebagai bahan pakan lebih menguntungkan
dibandingkan dengan penggunaan tepung kedelai maupun tepung ikan karena
limbah penetasan memiliki nilai gizi yang hampir setara dengan tepung daging
(Lilburn dkk., 1997).

2.1 Biosecurity Operasional pada Breeder


Menurut Shulaw dan Bowman (2001), biosekuriti adalah semua praktek-
praktek manajemen yang diberlakukan untuk mencegah organism penyebab
penyakit ayam dan zoonosis yang masuk dan keluar peternakan. Tujuan utama
dari penerapan biosekuriti adalah meminimalkan keberadaan penyebab penyakit,
meminimalkan kesempatan agen berhubungan dengan induk semang, membuat
tingkat kontaminasi lingkungan oleh agen penyakit seminimal mungkin
( Zainuddin dan Wibawan, 2007).
Menurut Stanton (2004), pelaksanaan biosecurity ini berkaitan erat dengan
sanitasi dan higienitas. Yang harus diperhatikan adalah menjaga agar tidak ada
kontaminan yang masih menempel pada tubuh manusia sehingga dapat menulari
ayam di kandang. Menurut EF (2003) penerapan biosecurity operasional pada
breeder yaitu :
- Karyawan atau orang yang terlibat dalam bisnis peternakan ayam pembibit
sebaiknya tidak diperbolehkan memelihara burung atau ayam di
rumahnya.
- Orang yang akan masuk ke peternakan pembibit, sebelumnya tidak boleh
kontak dengan unggas lain atau mengunjungi tempat lain (peternakan
komersial, tempat pengolahan hasil ternak, dan lain-lain) yang status
higienitasnya lebih rendah, minimum dua hari sebelum kunjungan.
- Orang yang ingin memasuki lokasi peternakan diharuskan mengikuti
persyaratan sanitasi peternakan, misalnya melakukan dipping sepatu bot,
desinfeksi dengan spray, mandi, mengganti baju dan alas kaki khusus. Hal
ini berlaku juga untuk sanitasi kendaraan (desinfeksi dengan cairan
desinfektan).
Aspek sanitasi ini berkaitan erat dengan penerapan higiene. Yang harus
diperhatikan adalah menjaga agar jangan ada kontaminan yang masih menempel
pada tubuh sehingga dapat menulari ayam di kandang. Hal ini dapat diterapkan
dengan mencuci tangan, mengganti baju yang kotor, melakukan dipping sepatu
bot dan spraying seluruh anggota badan (Stanton, 2004). Orang yang memasuki
lokasi peternakan diharuskan mengikuti persyaratan sanitasi peternakan, yaitu
disinfeksi dengan spray, mandi, mengganti baju, dan alas kaki khusus.
III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Daya tampung kandang terbuka untuk ayam bibit pedaging dewasa 3-4
ekor/m2 dengan sistem litter atau 4-5 ekor/m2 dengan sistem 2/3 slat. Daya
tampung kandang tertutup untuk ayam bibit pedaging dewasa 4-5
ekor/m2 dengan sistem litter atau 5-6 ekor/m2 dengan sistem 2/3 slat.
Peralatan yang digunakan di kandang umumnya terdiri dari blower,
cooling pad, lampu sebagai pencahayaan, baby chick,  feeder
tray, nipple, male feeder, female feeder, hanging, hover dan sangkar.
2. Fase starter membutuhkan cahaya lebih terang karena ayam membutuhkan
suhu yang hangat untuk menyesuaikan tubuhnya agar tetap pada suhu
yang nyaman. Pakan pada fase starter berbentuk crumble dan harus
memiliki nutrisi yang cukup untuk kebutuhan ayam.
3. Kepadatan kandang dapat mempengaruhi pertumbuhan yang baik. Bila
kandang terlalu padat, umumnya menyebabkan pertumbuhan yang lambat,
kanibalisme, efisiensi penggunaan ransum rendah. Luas tempat pakan,
tempat air minum, luas lantai perelor dipengaruhi oleh tipe lantai
kandang, besar badan ayam, temperatur lingkungan, ventilasi kandang dan
perlengkapan kandang.
4. Pemberian ransum untuk periode layer dapat diberikan sesuai dengan
umur ayam, yaitu ayam 19-35 minggu membutuhkan ransum dengan
protein 19%; energi metabolisme 2.800 kkal/kg; dan kalsium 3,8-4,2%,
untuk ayam umur 53 minggu sampai 76 atau 80 minggu membutuhkan
protein 18%; energi metabolisme 2750 kkal/kg; dan kalsium4,0-4,4%.
Melalui penelitian tersebut didapatkan cahaya berwarna biru membuat
ayam menjadi lebih tenang, merah mengurangi kanibalisme dan
pencabutan bulu oleh ayam lain, cahaya berwarna hijau-biru menstimulasi
pertumbuhan sedangkan orange-merah menstimulasi reproduksi.
5. Secara umum perkawinan pada ayam dibagi menjadi dua, perkawinan
tunggal dan perkawinan ganda. Perkawinkan tunggal dimana ayam jantan
dan betina dengan perbandingan 1:1, 1:2, 1:5, atau 1:6. Setiap kali kawin,
satu per satu induk betina disodorkan ke dalam kandang jantan. Begitu
betina dimasukkan ke dalam kandang, biasanya akan langsung dikawini
jantan. Perkawinan ganda, jantan yang digunakan sebagai pemacek lebih
dari satu ekor. Misalnya, dua ekor induk jantan dijodohkan dengan 5-10
ekor betina. Cara perkawinan ini sulit untuk mengetahui darah yang
mengalir pada anak ayam hasil keturunannya secara individu.
Keuntungannya, telur tetas yang dihasilkan jarang yang kosong dan betina
dapat memilih jantan yang dikehendaki.
6. Telur tetas sebelum melalui tahapan inkubasi terdapat beberapa proses
yaitu koleksi telur tetas, seleksi telur tetas, fumigasi telur tetas, dan
penyimpanan telur tetas. Proses inkubasi ayam KUB dilakukan selama 21
hari dengan kegiatan secara intensif dilakukan meliputi pembalikan telur,
kontrol suhu dan kelembapan, pencatatan, dan candling.
7. Hasil olahan limbah penetasan dapat digunakan sebagi bahan pakan
sumber mineral, kalsium, phospor, serta kandungan protein yang cukup
baik. Limbah penetasan mempunyai kecernaan protein yang tinggi
sebesar 86% serta keseimbangan asam-asam amino dari limbah
penetasan lebih baik jika dibandingkan dengan tepung ikan.
Penggunaan limbah penetasan sebagai bahan pakan lebih menguntungkan
dibandingkan dengan penggunaan tepung kedelai maupun tepung ikan
karena limbah penetasan memiliki nilai gizi yang hampir setara dengan
tepung daging.
8. Pelaksanaan biosecurity ini berkaitan erat dengan sanitasi dan higienitas.
Yang harus diperhatikan adalah menjaga agar tidak ada kontaminan yang
masih menempel pada tubuh manusia sehingga dapat menulari ayam di
kandang. Orang yang akan masuk ke peternakan pembibit, sebelumnya
tidak boleh kontak dengan unggas lain atau mengunjungi tempat lain
(peternakan komersial, tempat pengolahan hasil ternak, dan lain-lain) yang
status higienitasnya lebih rendah, minimum dua hari sebelum kunjungan.
Orang yang ingin memasuki lokasi peternakan diharuskan mengikuti
persyaratan sanitasi peternakan, misalnya melakukan dipping sepatu bot,
desinfeksi dengan spray, mandi, mengganti baju dan alas kaki khusus. Hal
ini berlaku juga untuk sanitasi kendaraan (desinfeksi dengan cairan
desinfektan).
DAFTAR PUSTAKA

Medion. 2015. Menangani Pullet Masuk Baterai. Melalui :


https://www.medion.co.id/id/menangani-pullet-masuk-baterai/. (diakses 7
Oktober 2020, jam 22:00 WIB)

Abiola, S.S., N.E. Radebe, C. v. d. Westhuizen and D.O. Umesiobi. 2012. Whole
hatchery waste meal as alternative protein and calcium sources in broiler
diets. Archivos de zootecnia. 61: 229-234.

[EF] Euribrid Farm. 2003. Biosecurity Requirements for Poultry-Farms.


Boxmeer:
Euribrid.

Kartasudjana, R dan E. Suprijatna. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar


Swadaya. Jakarta.

Khan, S.H. and B.M. Bhatti. 2001. Effect of autoclaving, toasting and cooking on
chemical composition of hatchery waste meal. Pakistan Veterinary
Journal. 21 : 22-26.

Lilburn, M.S., G.W. Barbour, R. Nemasetoni, C. Coy, M. Werling and A.G.


Yersin.
1997. Protein quality and calcium availability from extruded and
autoclaved turkey hatchery residue. Poultry Science. 76 : 841-848.

Negara. A. H. S., E. Sudjarwo dan H. Prayogi. 2013. Pengaruh lama pencahayaan


dan intensitas cahaya terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan
dan konversi pakan pada burung puyuh Jepang. Universitas Brawijaya,
Malang.
Nugroho, C. S., O. Sjofjan dan E. Widodo. 2012. Pengaruh penambahan probiotik
dalam air minum terhadap kualitas telur ayam petelur. Universitas
Brawijaya, Malang.
Peraturan Menteri Pertanian. No: 40/Permentan/OT.140/7/2011. Pedoman
Pembibitan Ayam Ras yang Baik.
Rasool S, Rehan M, Haq A, Alam MZ. 1999. Preparation and nutritional
evaluation
of hatchery waste meal for broilers. Asian-Australasian J Anim Sci.
12:554-557.

Rasyaf, M. 1997. Penyajian Makanan Ayam Petelur. Kanisius. Yogyakarta.

Shulaw, W.P. and G.L. Bowman. 2001. On-frambiosecurity: Traffic control and
sanitation. J. Vet. Prevent. Med. 6:1-3.
Peraturan Menteri Pertanian. No: 40/Permentan/OT.140/7/2011. Pedoman
Pembibitan Ayam Ras yang Baik.
Nugroho, C. S., O. Sjofjan dan E. Widodo. 2012. Pengaruh penambahan probiotik
dalam air minum terhadap kualitas telur ayam petelur. Universitas
Brawijaya, Malang.
Negara. A. H. S., E. Sudjarwo dan H. Prayogi. 2013. Pengaruh lama pencahayaan
dan intensitas cahaya terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan
dan konversi pakan pada burung puyuh Jepang. Universitas Brawijaya,
Malang.
Kartasudjana, R dan E. Suprijatna. 2006. Manajemen Ternak Unggas.
Penebar Swadaya. Jakarta
Sihombing, D.T.H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha
Peternakan.
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Siregar, M.P., M. Sabrani, and S. Pramu. 1980. Teknik Beternak Ayam Petelur.
Mergie Grup. Jakarta.

Suprijatna Edjeng. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta: Penebar Swada

Stanton, N. 2004. Biosecurity trifold. Maryland Department of Agriculture News


1(1). http://www.aphis.usda.gov/vs.html. (diakses tanggal 21 Oktober
2020).

Zainuddin D, Wibawan WT. 2007. Biosekuriti dan Manajemen Penanganan


Penyakit Ayam Lokal.
www.peternakan.litbang.deptan.go.id/attachments/biosekuriti_ayamlokal.p
df (diakses tanggal 21 Oktober 2020).
Rasyaf, M. 1997. Penyajian Makanan Ayam Petelur. Kanisius. Yogyakarta.
Siregar, M.P., M. Sabrani, and S. Pramu. 1980. Teknik Beternak Ayam Petelur.
Mergie Grup. Jakarta.
Suprijatna Edjeng. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta: Penebar Swada.
Hodgetts. 2000. Incubation The Psichal Requiments. Abor Acressservice. Bulletin
No 15, August
King’ori, A.M. 2011. Review of the factors that influence egg fertility and
hatchabilty in poultry. International Journal of Poultry Science. 10(6):
483-492\
Paimin, F.B. 2012. Membuat dan Mengelola Mesin Tetas. Penebar Swadaya:
Jakarta.
Rahayu, Imam, Titi Sudaryani, Hari Sentosa. 2011. Panduan Lengkap Ayam.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Suprijatna, E. U, Atmomarsono. R, Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Abiola, S.S., N.E. Radebe, C. v. d. Westhuizen and D.O. Umesiobi. 2012. Whole
hatchery waste meal as alternative protein and calcium sources in broiler diets.
Archivos de zootecnia. 61: 229-234.
[EF] Euribrid Farm. 2003. Biosecurity Requirements for Poultry-Farms.
Boxmeer: Euribrid.
Khan, S.H. and B.M. Bhatti. 2001. Effect of autoclaving, toasting and cooking on
chemical composition of hatchery waste meal. Pakistan Veterinary Journal. 21 :
22-26.
Lilburn, M.S., G.W. Barbour, R. Nemasetoni, C. Coy, M. Werling and A.G.
Yersin. 1997. Protein quality and calcium availability from extruded and
autoclaved turkey hatchery residue. Poultry Science. 76 : 841-848.
Rasool S, Rehan M, Haq A, Alam MZ. 1999. Preparation and nutritional
evaluation of hatchery waste meal for broilers. Asian-Australasian J Anim Sci.
12:554-557.
Shulaw, W.P. and G.L. Bowman. 2001. On-frambiosecurity: Traffic control and
sanitation. J. Vet. Prevent. Med. 6:1-3.
Sihombing, D.T.H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha
Peternakan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Stanton, N. 2004. Biosecurity trifold. Maryland Department of Agriculture News
1(1). http://www.aphis.usda.gov/vs.html. (diakses tanggal 21 Oktober 2020)
Zainuddin D, Wibawan WT. 2007. Biosekuriti dan Manajemen Penanganan
Penyakit Ayam Lokal.
www.peternakan.litbang.deptan.go.id/attachments/biosekuriti_ayamlokal.pdf
(diakses tanggal 21 Oktober 2020).
LAMPIRAN

Pembagian Tugas

M. Dandy Herliansyah 200110170270 Pembahasan :


- manajemen perkawinan
- manajemen telur tetas
dan penetasan

Indah Pratiwi K 200110180075 Pembahasan :


-persiapan kandang dan
peralatan (open house
dan close house)
- starting manajemen

Ridha Hanifa Erawanti 200110180088 Pembahasan :


- penanganan limbah
- biosecurity operasional
di breeder

Naufal Ardiana Jiyad 200110180095 Cover, pendahuluan,


kesimpulan, daftar
pustaka, lampiran
Shelviana Lestari 200110180168 Edit, ppt, moderator
Yusuf Nurdiansyah 200110180216 Pembahasan :
- growing manajemen
- laying manajemen

Anda mungkin juga menyukai